Tag Archives: PC gaming

Laporan Analisis Data dari Upgrade Hardware Para Gamer PC

Dari tahun ke tahun, game terus berevolusi, menjadi semakin kompleks. Alhasil, spesifikasi perangkat yang diperlukan untuk memainkan game tersebut pun menjadi semakin meningkat. Karena itu, para PC gamers akan melakukan upgrade secara rutin. Sayangnya, mobile games yang ingin memperbaiki perangkatnya tidak punya pilihan lain selain membeli smartphone baru. Hanya saja, tidak semua orang dapat membeli smartphone dengan harga mahal. Hal ini memunculkan dilema bagi developer mobile game.

Dilema itu adalah apakah developer harus membuat game yang bisa dijalankan di smartphone dengan spesifikasi yang rendah agar bisa dimainkan oleh banyak orang ataukah mereka harus membuat game dengan spesifikasi yang lebih tinggi agar mereka bisa memberikan pengalaman bermain game yang lebih memuaskan. Untuk menjawab dilema tersebut, Newzoo melacak empat miliar smartphone aktif, yang dirangkum dalam Mobile Device Data.

Developer Bisa Naikkan Spesifikasi Minimal untuk Mobile Game

Beberapa tahun lalu, banyak developer aplikasi mobile yang meluncurkan versi lite dari aplikasi mereka, seperti PUBG Mobile Lite dan Facebook Lite. Tujuannya adalah agar smartphone dengan spesifikasi yang tidak terlalu tinggi pun tetap bisa menggunakan aplikasi tersebut. Harapannya, jumlah orang yang bisa memainkan mobile game atau menggunakan aplikasi itu akan naik. Namun sekarang, tren yang terjadi adalah sebaliknya.

Saat ini, developer aplikasi dan game mobile mulai meluncurkan versi yang lebih baik dari aplikasi atau game yang mereka buat. Salah satu contohnya adalah Garena, yang meluncurkan Free Fire Max pada September 2021. Jika dibandingkan dengan Free Fire standar, Free Fire Max memerlukan RAM yang lebih besar. Jika Free Fire membutuhkan RAM minimal 1GB, Free Fire Max memerlukan 2GB.

Untuk mengetahui apakah keputusan Garena untuk meningkatkan spesifikasi minimal dari Free Fire Max mempengaruhi total addressable market (TAM) dari game itu, Newzoo mengumpulkan data dari mobile gamers di India, negara dengan potensi pertumbuhan mobile game paling besar.

Total addressable market berdasarkan minimal RAM smartphone yang diperlukan. | Sumber: Newzoo

Per September 2021, diketahui bahwa 98% mobile gamers di India menggunakan smartphone dengan RAM setidaknya sebesar 1GB dan 92% mobile gamers bermain menggunakan smartphone dengan RAM sebesar setidaknya 2GB. Sementara itu, jumlah mobile gamers yang menggunakan smartphone yang memiliki RAM setidaknya 3GB adalah 73% dan jumlah pemilik smartphone dengan RAM setidaknya 4GB adalah 53%.

Data di atas menunjukkan, meskipun developer mobile game — dalam kasus ini Garena — meningkatkan spesifikasi minimal untuk game mereka, TAM yang mereka punya tidak berkurang jauh, hanya turun sebesar 6%. Walau, harus diakui, jika spesifikasi minimal dari sebuah game dinaikkan menjadi 3GB, atau malah 4GB, TAM yang dari game tersebut akan mengalami penurunan yang cukup drastis.

Perilaku Gamers PC Dalam Melakukan Upgrade

Saat ini, mobile game memang memberikan kontribusi paling besar pada industri game. Namun, industri game PC tetap memiliki nilai yang fantastis. Pada 2021, jumlah PC gamers mencapai 1,4 miliar orang, sementara nilai industri PC gaming mencapai US$35,9 miliar. Tak hanya itu, pandemi — dan beberapa faktor lain — membuat permintaan akan hardware PC gaming naik.

Untuk mencari tahu tentang perilaku para pemain PC, Newzoo melakukan survei pada lebih dari sembilan ribu PC  gamers di enam negara, yaitu Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Jerman, Prancis, dan Tiongkok.

Berdasarkan survei itu, Newzoo menemukan, sebanyak 40% dari PC gamers merupakan dedicated gamers. Newzoo mengartikan “dedicated gamers” sebagai para gamers yang setidaknya bermain game satu kali dalam seminggu. Hal lain yang Newzoo temukan adalah dari semua dedicated PC gamers, hampir sepertiganya merakit PC mereka sendiri. Sementara sekitar 30% dari mereka membeli PC gaming yang sudah dirakit. Menariknya, di kalangan dedicated gamers, sekitar 38% menggunakan laptop sebagai perangkat mereka.

Laptop Bisa Jadi Langkah Awal untuk Rakit PC Sendiri

Merakit PC sendiri, membeli PC yang sudah dirakit, atau menggunakan laptop; masing-masing pilihan itu memiliki kelebihan dan kelemahan tersendiri. Jika Anda merakit PC sendiri, Anda bisa menyesuaikan PC yang Anda bangun sesuai dengan selera dan dana yang Anda miliki. Sementara itu, jika Anda membeli pre-built PC, Anda memang tidak perlu repot untuk merakitnya, tapi biasanya, pre-built PC punya harga yang lebih mahal.

Jika dibandingkan dengan PC desktop, salah satu keunggulan laptop adalah ia bisa dibawa berpergian. Namun, harga laptop gaming cenderung lebih mahal jika dibandingkan dengan PC. Tak hanya itu, dengan dana yang sama, spesifikasi yang Anda dapat jika Anda membeli laptop gaming biasanya lebih rendah dari desktop gaming. Karena itu, tidak heran jika sebagian pemilik laptop gaming tertarik untuk membeli desktop gaming.

Grafik pemiliki komputer gaming yang ingin membeli perangkat baru. | Sumber: Newzoo

Seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di atas, sekitar 26% dari pemilik laptop gaming mempertimbangkan untuk membeli desktop PC ketika mereka harus mengganti laptop yang mereka gunakan. Sebanyak 17% pemilik laptop tertarik untuk membeli PC yang sudah dirakit, sementara 9% sisanya menaruh minat untuk merakit PC sendiri.

Meskipun begitu, umumnya, pemilik laptop akan tertarik untuk membeli laptop gaming baru saat mereka harus mengganti perangkat baru. Begitu juga dengan gamers yang merakit PC sendiri atau membeli pre-built PC. Mereka akan lebih tertarik untuk kembali membeli PC yang sudah dirakit atau membeli hardware baru untuk PC rakitan mereka.

Apa yang Membuat PC Gamers Ingin Memperbarui Perangkat Mereka?

Berdasarkan survei yang mereka lakukan, Newzoo juga menemukan bahwa para dedicated biasanya memperbarui hardware yang mereka gunakan setiap 3,3 tahun sekali. Jika dibandingkan dengan jeda waktu rata-rata antara peluncuran konsol baru, para PC gamers memperbarui perangkat mereka dengan lebih cepat. Hal itu berarti, permintaan akan komponen PC akan selalu ada.

Ketika ditanya tentang alasan untuk melakukan upgrade, hampir 75% dedicated gamers mengatakan, mereka memperbarui komputer mereka untuk mendapatkan pengalaman bermain game yang lebih baik. Dan jika mereka menggunakan komputer dengan spesifikasi yang lebih tinggi, mereka tidak hanya mendapatkan pengalaman bermain yang lebih baik, mereka juga bisa memainkan game-game baru yang menuntut spesifikasi yang lebih tinggi.

Alasan PC gamers ingin melakukan upgrade. | Sumber: Newzoo

Seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di atas, selain pengalaman bermain game yang lebih baik, alasan lain bagi dedicated gamers untuk memperbarui komputer mereka adalah karena mereka ingin mendapatkan komputer dengan performa yang lebih baik secara umum. Memang, komputer yang powerful tidak hanya bisa digunakan untuk bermain game, tapi juga untuk melakukan tugas-tugas berat lain, seperti mengedit video, machine learning, dan lain sebagainya.

Sementara itu, hanya 32% responden yang mengatakan, mereka melakukan upgrade komputer mereka mereka tertarik dengan fitur atau teknologi baru yang ditawarkan. Biasanya, teknologi atau fitur baru di dunia komputer melekat pada komponen GPU, seperti ray tracing atau Deep Learning Super Sampling (DLSS). Karena itu, tidak heran jika dedicated gamers menganggap GPU sebagai komponen komputer yang paling penting.

Kabar baik bagi perusahaan manufaktur GPU, tingkat kesetiaan para dedicated gamers pada brand sangat tinggi. Sebanyak 70% gamers mengatakan, kemungkinan besar, mereka akan membeli GPU dengan merek yang sama dengan GPU lama mereka.

Sebelum membeli hardware komputer, dedicated PC gamers biasanya akan mencari pilihan terbaik. Rata-rata, mereka menghabiskan waktu sekitar 5,5 minggu untuk mengevaluasi pilihan yang mereka punya. Sumber referensi yang mereka gunakan untuk mencari opsi hardware terbaik beragam. Sebanyak 50% dedicated PC gamers menggunakan situs resmi dari manufaktur hardware, sementara 46% memilih untuk menjadikan situs penjual retail sebagai acuan. Sebanyak 38% menggunakan referensi dari forum online, 33% membaca situs review dan benchmarking resmi, dan 33% lainnya menonton video review.

Sumber header: Pexels

ASUS Umumkan ROG Strix G35 di Indonesia dan Kolaborasinya dengan Film Spider-Man: No Way Home

ASUS ROG mengumumkan kolaborasi dengan Sony Pictures pada film superhero terbaru yaitu Spider-Man: No Way Home yang telah dapat disaksikan di bioskop-bioskop kesayangan Anda sejak 17 Desember. Kolaborasi ini menegaskan bahwa ROG bukan hanya sekadar brand gaming, tetapi juga sangat dekat dengan pop culture.

ASUS juga turut memperkenalkan ROG Strix G35, PC gaming yang selaras dengan tema Spider-Man: No Way Home yaitu memiliki desain yang sangat unik dan futuristik. Bagian depan dan atas case-nya menggunakan desain windshear yang tidak hanya membuatnya lebih menarik, tetapi juga memiliki fungsi teknis tersendiri.

Desain windshear tersebut berfungsi sebagai ventilasi udara yang berperan penting dalam sistem pendinginan secara keseluruhan. Desain windshear memastikan aliran udara masuk ke dalam case menjadi lebih lancar sehingga membuat sistem pendinginan dapat berjalan secara optimal.

Gaming bukan lagi merupakan sebuah kegiatan semata, tetapi telah menjadi bagian dari pop culture dunia. Kolaborasi kali ini menegaskan bahwa ROG yang merupakan brand gaming ternama dunia tidak bisa dipisahkan dari pop culture,” ujar Jimmy Lin, ASUS Regional Director Southeast Asia.

ROG tidak hanya dirancang untuk gamer, tetapi juga para kawula muda yang tertarik dengan teknologi, sains, dan pop culture seperti halnya Peter Parker dalam film Spider-Man: No Way Home,” tambahnya.

Harga dan Spesifikasi ROG Strix G35

Untuk memainkan game-game AAA kekinian pada resolusi 1080p atau bahkan 4K, PC gaming masih menjadi andalan para hardcore maupun esports gamer. Biasanya PC gaming memiliki performa yang lebih powerful dibandingkan laptop gaming pada rentang harga yang sama.

ROG Strix G35 sendiri ditenagai oleh prosesor hingga Intel i9-11900KF yang dapat dipacu hingga 5,2GHz, serta memiliki konfigurasi 8 core dan 8 trhread. Ia dibekali dengan kartu grafis NVIDIA GeForce RTX 3080 LHR yang sangat powerful.

Kartu grafis dengan sistem pendingin khusus tersebut telah dibekali dengan VRAM DDR6X sebesar 10GB dan telah mendukung berbagai teknbologi grafis terkini seperti real-time ray tracing hingga DLSS 2.0. Kartu grafis ini membuat ROG Strix G35 tampil tidak hanya sebagai mesin untuk bermain game, tetapi juga cocok untuk content creation dan aktivitas lainnya yang membutuhkan performa komputasi tinggi seperti simulasi dan 3D modelling.

Selain itu, ROG Strix G35 turut dibekali dengan penyimpanan kencang dan lega yaitu kombinasi antara NVMe PCIe 3.0 SSD dan 3.5 inci 7200RPM SATA HDD. Keduanya memiliki kapasitas penyimpanan 1TB sehingga pengguna tidak perlu khawatir terhadap performa dan kapasitas penyimpanannya. Sementara, kapasitas RAM-nya mencapai hingga 64GB.

Sistem pendinginannya menggunakan dual-chamber yang membagi case ROG Strix G35 menjadi dua buah bagian kanan dan kiri. Di sebelah kiri terdapat motherboard, CPU, dan kartu grafis. Sementara, di bagian kanan terdapat power supply. Berkat sistem pembagian ruang tersebut, distribusi panas di ROG Strix G35 dapat terkontrol karena udara panas yang dihasilkan dari empat komponen tersebut menjadi terbagi dan tidak bercampur di satu ruang.

Sistem dual-chamber juga membuat ruang komponen di ROG Strix G35 menjadi lebih lega dan memungkinkan sirkulasi udara yang lebih lancar. Untuk memaksimalkan pendinginannya, sistem liquid cooling pun digunakan untuk mendinginkan CPU di ROG Strix G35. Tentu saja pengguna ROG Strix G35 memiliki kontrol penuh untuk mengatur seluruh sistem pendingin tersebut melalui aplikasi Armoury Crate.

Untuk memudahkan penggunanya, ROG Strix G35 dilengkapi dengan pegangan (handle) sehingga lebih mudah untuk dipindah. Di bagian handle-nya juga terdapat slot untuk keystone. Sama seperti yang ada di laptop ROG Strix, keystore tersebut berfungsi layaknya kunci yang memungkinkan pengguna menyimpan dan mengaplikasikan profile dan pengaturan yang ada di Armoury Crate. Keystone juga dapat digunakan untuk membuka Shadow Drive atau drive penyimpanan khusus dengan fitur enkripsi yang dapat disembunyikan.

Akses terhadap port I/O di ROG Strix G35 juga lebih mudah. Di bagian atas case-nya terdapat dua port USB Type-A dan satu port USB Type-C sehingga pengguna tidak perlu menguhubungkan setiap perangkat yang menggunakan kedua port tersebut ke bagian belakang. Terdapat pula dua port audio 3.5mm yang berfungsi sebagai input dan output.

PC gaming ASUS ROG Strix G35 hadir dengan dua konfigurasi di Indonesia, harganya mulai dari Rp50.599.000 termasuk keyboard dan mouse dalam paket penjualan. Berikut spesifikasi lengkapnya:

Spesifikasi ROG Strix G35
CPU Intel Core i9-11900KF Processor 3.5GHz (16M Cache, up to 5.2 GHz)
Intel Core i9-11900KF Processor 3.5GHz (16M Cache, up to 5.2 GHz)
Chipset Intel Z590 Chipset
Operating System Windows 11
Memory 64GB DDR4
32GB DDR4
Storage 1TB 3.5” 7200RPM HDD + 1TB M.2 NVMe PCIe 3.0 SSD
Graphics NVIDIA GeForce RTX 3080 LHR with 10GB DDR6X
Front I/O 2 x USB 3.2 Gen 1 type A, 2 x USB 3.2 Gen 1 type C, 1 x Mic in, 1 x Headphone out
Rear I/O
4 x USB 3.2 Gen 1 type A, 3 x USB 3.2 Gen 2 type A, 1 x USB 3.2 Gen 2 type C, 1 x HDMI 2.0, 1 x DisplayPort, 1 x RJ45 LAN, 5 X Audio Jacks, 1 x S/PDIF
Connectivity 802.11 ac gigabit-class Wi-Fi, Bluetooth 5.1
Audio High Definition 7.1 Channel Audio
Dimension 27,9 x 43,3 x 50,1 cm (WxDxH)
Weight 15Kg
Security TPM 2.0
Price Rp51.799.000 (Core i7 / 64GB RAM / RTX 3080 LHR)
Rp50.599.000 (Core i9 / 32GB RAM / RTX 3080 LHR)

8 Gamepad Pilihan untuk PC Gaming yang Dapat Dibeli di Indonesia

Salah satu kelebihan utama PC gaming adalah terkait fleksibilitas yang ditawarkannya. Anda lebih suka bermain menggunakan gamepad ketimbang mouse dan keyboard? Silakan saja, dan lebih enaknya lagi, opsi gamepad yang tersedia bukan cuma terbatas pada satu platform tertentu saja.

Selain masalah selera, masih ada banyak alasan untuk memakai gamepad ketimbang mouse dan keyboard di PC, semisal untuk memainkan fighting game atau racing game, macam Forza Horizon 5 misalnya. Nyatanya, beberapa game memang akan terasa lebih ideal jika dimainkan menggunakan gamepad. Kalau berdasarkan pengalaman pribadi, saya baru bisa menamatkan Hades setelah menggunakan gamepad.

Di artikel ini, saya telah merangkum rekomendasi 8 gamepad pilihan untuk PC gaming yang dapat dibeli di Indonesia. Berikut daftarnya.

1. Xbox Wireless Controller

Controller bawaan Xbox Series X dan Series S ini sepintas kelihatan sangat mirip seperti controller milik Xbox One, dan itu berarti kenyamanannya pun sudah sangat terbukti. Layout tombol-tombolnya tidak berubah, akan tetapi bentuk D-pad-nya kini dibuat menyambung sehingga bakal lebih memudahkan di fighting game atau platformer.

Anda bebas menyambungkannya ke PC via kabel atau Bluetooth, atau bisa juga via sambungan wireless 2,4 GHz menggunakan dongle USB yang dibundel. Kekurangan terbesarnya cuma satu: ia mengandalkan baterai AA ketimbang baterai yang rechargeable. Harganya? Rp1.179.000.

Link pembelian: Xbox Wireless Controller Bundle

2. Xbox Elite Wireless Controller Series 2

Kalau bujet bukan masalah, maka gamepad seharga Rp2.975.000 ini bisa jadi pilihan, terutama jika Anda mengutamakan aspek kustomisasi. Pasalnya, kustomisasi pada gamepad ini tak hanya bisa dilakukan dari sisi software saja, melainkan juga hardware. Anda bahkan bisa mengatur seberapa tegang stik analognya jika perlu.

Seperti saudaranya yang non-elit, controller ini juga menawarkan tiga jenis koneksi: kabel, Bluetooth, dan wireless 2,4 GHz. Yang berbeda, versi elit ini menggunakan baterai yang dapat diisi ulang dengan daya tahan sekitar 40 jam per charge.

Link pembelian: Xbox Elite Wireless Controller Series 2

3. Sony DualSense Wireless Controller

Controller ini merupakan salah satu alasan di balik kesuksesan PlayStation 5, terutama berkat fitur-fitur seperti advanced haptics dan adaptive trigger. Sayang kecanggihan yang ditawarkan belum sepenuhnya bisa dinikmati di PC, sebab kalangan developer harus memperbarui game-nya masing-masing terlebih dulu. Sejauh ini, jumlah game yang mendukung kedua fitur tersebut di PC belum banyak.

Jumlahnya seiring waktu dipastikan bakal terus bertambah, apalagi mengingat Steam sepenuhnya mendukung controller ini secara resmi. Di Indonesia, gamepad ini bisa dibeli secara resmi seharga Rp1.149.000.

Link pembelian: Sony DualSense Wireless Controller

4. Sony DualShock 4 Wireless Controller

Alternatif yang lebih terjangkau tentu adalah DualShock 4, yang dijual dengan garansi resmi seharga Rp799.000. Ia memang tidak secanggih dan seergonomis saudaranya tadi, tapi setidaknya build quality-nya tetap sangat baik, dan tetap terasa nyaman terutama untuk pengguna yang bertangan kecil.

Kekurangan terbesar DualShock 4 adalah, Anda perlu menginstal software tambahan agar ia bisa bekerja di PC. Untungnya ada software DS4Windows yang gratis dan cukup mudah digunakan.

Link pembelian: Sony DualShock 4 Wireless Controller

5. Razer Wolverine V2 Chroma

Sebagai sebuah perangkat dengan banyak tombol yang dapat diklik, gamepad perlu menawarkan sensasi taktil yang mantap agar penggunanya bisa betah memakainya. Kalau itu yang dicari, maka Wolverine V2 Chroma bisa jadi pilihan berkat mechanical switch yang bernaung di balik tombol action dan D-pad-nya.

Kustomisasi lengkap via software juga merupakan salah satu nilai jual utama dari controller ini. Sayangnya, di angka Rp2.499.000, harganya tidak bisa dibilang murah, apalagi mengingat ia tak dibekali koneksi nirkabel sama sekali. Well, setidaknya pengguna gamepad ini tidak akan dibuat frustrasi karena kehabisan daya baterai.

Link pembelian: Razer Wolverine V2 Chroma

6. Nintendo Switch Pro Controller

Pilihan paling bijak bagi gamer PC yang juga punya Nintendo Switch, controller ini sepenuhnya didukung oleh Steam, dan bakal langsung dikenali sebagai controller Xbox. Namun tidak seperti controller Xbox, ia dibekali baterai rechargeable yang mampu bertahan hingga 40 jam pemakaian dalam sekali pengisian.

Selain menggunakan kabel USB, controller dengan banderol Rp849.000 ini juga dapat dihubungkan via Bluetooth. PC Anda tidak punya Bluetooth? Tambahkan saja adaptor bikinan 8Bitdo yang bisa dibeli seharga Rp175.000.

Link pembelian: Nintendo Switch Pro Controller

7. Logitech F310

Bagi yang memerlukan opsi terjangkau, Anda bisa mempertimbangkan Logitech F310. Dengan banderol cuma Rp285.000, gamepad ini sudah bisa memenuhi kebutuhan gamer PC dalam beberapa judul game yang kurang ideal dimainkan menggunakan mouse dan keyboard. Perangkat ini juga bersifat plug-and-play, yang berarti ia dapat langsung digunakan tanpa perlu menginstal driver atau software ekstra.

Link pembelian: Logitech F310

8. Razer Raion

Khusus penggemar fighting game, Anda bisa melirik Razer Raion. Layout-nya tampak unik dan banyak terinspirasi arcade stick tradisional, dengan enam buah tombol di sebelah kanan dan D-pad 8 arah di kiri. Seperti Razer Wolverine tadi, Raion juga dibekali mechanical switch agar setiap klik tombolnya selalu terasa mantap.

Kebetulan Razer dulunya merancang controller ini buat PlayStation 4, sehingga ia turut dibekali touchpad kecil yang bakal sangat membantu ketika dibutuhkan. Stok perangkat ini di Indonesia sudah cukup langka sekarang, akan tetapi masih ada yang menjualnya seharga Rp690.000 saja (tanpa garansi).

Link pembelian: Razer Raion

Gambar header: Sam Pak via Unsplash.

Nvidia Image Scaling Diperbarui, Kini Open-Source dan Cross-Platform seperti AMD FSR

Bicara soal teknologi upscaling untuk menambah frame rate (fps), kalangan gamer saat ini pada dasarnya punya dua opsi utama: Deep Learning Super Sampling (DLSS) besutan Nvidia dan FidelityFX Super Resolution (FSR) besutan AMD.

Untuk mendapatkan kualitas gambar terbaik, DLSS adalah pilihan yang paling tepat, tapi fitur ini hanya bisa dinikmati jika menggunakan seri kartu grafis RTX, serta belum kompatibel dengan semua game. FSR di sisi lain bisa dinikmati di lebih banyak kartu grafis (baik buatan AMD maupun Nvidia), akan tetapi juga masih bergantung pada dukungan dari masing-masing game.

Alternatifnya, ada opsi ketiga yang tidak kalah menarik, yakni Nvidia Image Scaling. Fitur ini sebenarnya sudah ada sejak 2019, akan tetapi Nvidia baru saja memperbaruinya guna meningkatkan performa sekaligus kualitas gambar yang dihasilkan. Namun bagian yang paling istimewa adalah, Nvidia memutuskan untuk menjadikannya open-source sekaligus cross-platform (sama seperti FSR).

Berhubung open-source, developer kini dapat langsung mengintegrasikan fitur ini langsung ke dalam game bikinannya, dan itu berarti pengguna kartu grafis AMD (dan Intel) pun bisa ikut menikmati fiturnya. Untuk konsumen Nvidia, mereka malah tidak perlu menunggu sama sekali, sebab fitur ini dapat langsung diaktifkan di tingkat driver (yang berarti berlaku untuk semua game) via Nvidia Control Panel.

Kualitas gambar yang dihasilkan memang tidak akan sebagus DLSS yang mengandalkan AI (bahkan dalam setelan Performance Mode), akan tetapi Nvidia mengklaim ada peningkatan yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan algoritma versi sebelumnya. Secara umum, kualitas yang dihasilkan Nvidia Image Scaling nyaris identik dengan FSR, demikian pula peningkatan frame rate yang didapat.

Sekali lagi, Nvidia Image Scaling sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggantikan DLSS, melainkan sebagai alternatif bagi yang tidak memiliki kartu grafis RTX maupun pada game yang belum mendukung DLSS.

Bagi gamer yang memiliki spesifikasi PC pas-pasan, fitur seperti Nvidia Image Scaling dan FSR tentu akan sangat membantu meningkatkan pengalaman bermain. Pasalnya, naik dari 30-an fps menjadi 40-an fps saja sudah akan sangat terasa efeknya, dan itu bisa didapat secara cuma-cuma tanpa terlalu mengorbankan kualitas gambar lebih jauh lagi.

Tahun depan, konsumen malah bakal kedatangan satu opsi tambahan lagi, yakni XeSS yang dikembangkan oleh Intel, yang kabarnya juga akan dibuat cross-platform.

Sumber: PC Gamer.

Gigabyte Ungkap Project Cielo, Konsep Gaming PC Portabel yang Dilengkapi 5G

Portabel bukanlah kata sifat yang kerap diasosiasikan dengan sebuah gaming PC. Namun itu tidak mencegah Gigabyte menggunakan kata tersebut dalam mendeskripsikan konsep gaming PC terbarunya.

Dinamai Project Cielo, perangkat ini pada dasarnya merupakan sebuah gaming PC portabel yang nyaris sepenuhnya wireless. Saya bilang nyaris karena ia tidak dibekali layar sendiri, dan itu berarti penggunanya masih perlu setidaknya satu kabel untuk menyambungkan perangkat ke monitor, TV, atau proyektor.

Sepintas bentuknya kelihatan seperti beberapa unit robot vacuum cleaner yang ditumpuk. Tiap-tiap tingkatan tersebut sebenarnya merupakan modul yang terpisah: modul PC di atas, modul baterai di tengah, dan modul speaker Bluetooth di bawah.

Menariknya, ketiga modul tersebut tidak selamanya harus digunakan secara bersamaan. Pengguna juga bisa memakai beberapa kombinasi yang berbeda, seperti misalnya modul PC dan speaker saja untuk pemakaian di rumah, atau modul speaker plus baterai saja untuk meramaikan acara pesta.

Daya tarik lain dari konsep ini adalah 5G. Ya, perangkat ini memiliki antena 5G yang terintegrasi ke sasisnya. Namun yang menarik perhatian saya pribadi adalah, di siaran persnya, Gigabyte ada menyebut bagaimana 5G di perangkat ini dapat memberikan akses instan ke layanan cloud gaming. Pertanyaan saya: kalau kinerjanya sudah mumpuni, kenapa masih harus mengandalkan cloud gaming?

Well, sayangnya Gigabyte tidak merincikan spesifikasi Project Cielo sama sekali, jadi kita pun belum punya gambaran seperti apa kinerjanya saat dipakai bermain judul-judul game AAA.

Gigabyte juga tidak menyinggung soal aspek upgradability dari Project Cielo; apakah komponen-komponennya bisa diganti dengan generasi yang lebih baru, entah secara tradisional atau via modul khusus seperti yang diterapkan oleh Razer dan Intel. Sejauh ini memang belum ada informasi-informasi semacam itu, mungkin karena status perangkatnya yang memang masih sebatas konsep.

Gigabyte melihat Project Cielo sebagai manisfestasi visi mereka akan masa depan PC gaming. Mereka percaya 5G bakal berperan besar dalam menghadirkan pengalaman PC gaming di mana saja dan kapan saja, dan desain non-konvensional seperti ini dibutuhkan demi visi tersebut.

Apakah Project Cielo bakal direalisasikan menjadi produk yang bisa dibeli konsumen ke depannya? Sejauh ini masih belum ada yang tahu.

Sumber: PC Gamer dan PR Newswire.

Semua Game di Steam Bakal Dikategorikan Berdasarkan Kompatibilitasnya dengan Steam Deck

Menjelang peluncuran resmi Steam Deck pada bulan Desember mendatang, Valve rupanya tengah sibuk meninjau ulang seluruh katalog Steam demi mengecek kompatibilitas masing-masing game dengan konsol genggamnya tersebut.

Seperti yang kita tahu, Steam selama ini memang lebih fokus mendistribusikan game untuk PC berbasis Windows ketimbang platform lain. Di saat yang sama, Steam Deck menjalankan sistem operasi berbasis Linux, dan hardware-nya juga berbeda dari PC tradisional. Artinya, tidak semua game yang tercantum di katalog Steam bakal berjalan secara optimal di Steam Deck.

Demi menghindari kesalahpahaman di kalangan konsumen Steam Deck, Valve akan membagi katalog Steam ke empat kategori yang berbeda: Verified, Playable, Unsupported, dan Unknown. Masing-masing disertai ikonnya tersendiri agar lebih mudah dikenali.

Game yang masuk kategori Verified dipastikan kompatibel dengan OS milik Steam Deck dan dapat dioperasikan sepenuhnya menggunakan controller-nya. Game di kategori ini juga siap disajikan di resolusi native milik Steam Deck (1280 x 800 atau 1280 x 720) tanpa masalah.

Tidak kalah penting, game dengan label Verified dijamin tidak akan bentrok dengan software anti-cheat. Nantinya, deretan game yang masuk kategori ini akan punya tempat sendiri di tab “Great on Deck”, baik di Store maupun di Library.

Kategori Playable mencakup game yang perlu diutak-atik secara manual oleh pengguna agar dapat dimainkan di Steam Deck. Agar lebih transparan, Steam akan memberikan detail lebih lengkap mengenai apa yang salah pada laman tiap-tiap game yang masuk kategori ini.

Salah satu contoh game yang masuk kategori Playable adalah Team Fortress 2, dengan alasan beberapa fiturnya tidak bisa diakses menggunakan controller Steam Deck (harus via touchscreen atau virtual keyboard), dan ada beberapa controller glyph yang tidak pas atau bahkan hilang.

Kategori Unsupported jelas ditujukan untuk game yang tidak bisa dijalankan oleh Steam Deck sama sekali. Contoh gampangnya adalah Half-Life: Alyx dan sederet judul game virtual reality (VR) lainnya. Pesan buat Valve: mungkin ini saat yang tepat untuk mengembangkan Half-Life: Alyx versi non-VR.

Terakhir, ada kategori Unknown yang sesimpel belum sempat dicek kompatibilitasnya oleh Valve. Mengecek satu demi satu game yang tersedia di katalog masif Steam tentunya bakal memakan waktu. Jadi upaya ini memang akan terus dijalankan meski Steam Deck nantinya sudah mulai dijual secara resmi.

Perlu dicatat, kategorisasi ini sifatnya tidak permanen. Semisal ada update yang dirilis oleh masing-masing developer game, atau jika software milik Steam Deck sendiri sudah semakin disempurnakan, kategori suatu game bisa saja berubah; dari sebatas Playable menjadi Verified, misalnya.

Valve saat ini juga tengah mengembangkan semacam fitur compatibility checker sehingga konsumen bisa mengecek koleksi game-nya masuk ke kategori mana saja sebelum membeli Steam Deck. Ikon kategorinya tadi akan muncul di setiap judul game, baik di Store maupun di Library.

Sumber: Valve via PC Gamer.

Pandemi Atau Tidak, Pasar PC dan Monitor Gaming Akan Terus Menguat Selama Beberapa Tahun ke Depan

Pandemi COVID-19 dan tuntutan untuk terus berdiam diri di rumah berdampak langsung pada pesatnya pertumbuhan pasar perangkat gaming. Lalu saat semuanya nanti sudah kembali normal, apakah itu berarti pasar gaming bakal mengalami penurunan?

Tidak. Menurut para analis IDC, pasar gaming sebenarnya sudah menguat sejak beberapa tahun sebelum pandemi, dan pandemi sejatinya hanya semakin mengakselerasi pertumbuhannya. Itulah mengapa IDC juga optimistis bahwa pasar gaming, khususnya PC dan monitor gaming, akan terus bertumbuh selama beberapa tahun ke depan.

Laju pertumbuhannya bahkan diprediksi lebih cepat daripada pasar PC dan monitor secara menyeluruh. Untuk pasar PC gaming, yang mencakup desktop sekaligus laptop, IDC mengestimasikan peningkatan jumlah pengapalan barang dari 41,3 juta di tahun 2020 menjadi 52,3 juta di tahun 2025.

Untuk pasar monitor gaming, jumlahnya akan naik dari 14,2 juta unit menjadi 26,4 juta unit dalam rentang periode yang sama. Dari situ kita pun tidak perlu heran kenapa produsen seperti Corsair akhirnya memutuskan untuk ikut terjun ke segmen ini dengan mengumumkan monitor gaming perdananya, Xeneon 32QHD165. Potensi pasarnya memang amat menjanjikan.

Pasar PC gaming belum lama ini juga dimeriahkan oleh kolaborasi IKEA dan ROG dalam menyediakan koleksi furnitur gaming. Lalu di pasar lokal, kita sudah melihat bagaimana tingginya permintaan pasar gaming pada akhirnya berhasil meyakinkan Alienware untuk kembali menjejakkan kakinya secara resmi di Indonesia setelah sempat menghilang selama sekitar lima tahun.

Menariknya, semua ini terjadi selagi krisis kelangkaan chip global terus berkelanjutan. Jadi di saat permintaan akan hardware gaming terus meningkat, stok barang-barangnya justru menipis, atau bahkan tidak ada sama sekali. Kalaupun ada, harganya sering kali melambung jauh di atas harga aslinya.

Laporan terbaru IDC juga memprediksi kenaikan harga jual rata-rata PC gaming dari $925 di tahun 2020 menjadi $1.007 di tahun 2025. Untuk monitor gaming, harga jual rata-ratanya malah diprediksi bakal turun dari $339 menjadi $309 di tahun 2025. Kalau digabung, nilai pasar PC gaming dan monitor gaming diperkirakan bakal menembus angka $60 miliar di tahun 2025.

Sumber: IDC dan PC Gamer. Gambar header: Resul Kaya via Unsplash.

Hybrid.co.id hadir juga di berbagai media sosial. Temukan konten yang menarik di Instagram atau follow akun Twitter kami. Jangan lupa juga untuk Likes Fanpage Facebook Hybrid.

Semua yang Perlu Diketahui dari Steam Deck, Handheld PC Besutan Valve

Tidak bisa dipungkiri, Nintendo Switch berhasil membuat tren handheld console jadi populer kembali. Satu demi satu handheld console yang banyak terinspirasi Switch terus bermunculan — GPD Win 3, Aya Neo, One Xplayer — dan puncaknya adalah ketika perangkat dengan konsep serupa datang dari perusahaan sekelas Valve.

Bagi yang ketinggalan berita, Valve baru saja menyingkap Steam Deck, sebuah perangkat portabel yang diproyeksikan sebagai sebuah handheld gaming PC. Anggap saja ini Switch, tapi yang controller-nya tidak bisa dilepas-pasang, dan yang siap menjalankan segudang game PC.

Steam Deck pada dasarnya merupakan opsi yang masuk akal buat para gamer PC. Kalau Anda punya 100+ game di library Steam Anda sekarang, maka semua itu juga bisa Anda mainkan di Steam Deck tanpa perlu membayar apa-apa lagi.

Valve bahkan berbaik hati dan tidak ingin mengunci pengguna Steam Deck dalam ekosistem mereka. Kalau mau, Anda bahkan bisa meng-install Epic Games Store maupun deretan game launcher lainnya di Steam Deck. Anda bahkan bisa menghapus sistem operasi bawaannya dan meng-install Windows jika memang perlu.

Valve memang merancang Steam Deck sebagai sebuah PC tulen. Perangkat menjalankan versi terbaru SteamOS, sistem operasi berbasis Linux yang dapat berfungsi layaknya sebuah sistem operasi komputer tradisional. Dengan begitu, Steam Deck pun bisa dipakai untuk keperluan-keperluan umum seperti browsing atau streaming video.

Valve memastikan bahwa semua game yang tersedia di katalog Steam dapat berjalan secara optimal di Steam Deck. Untuk mewujudkannya, Valve membekalinya dengan custom AMD APU (4-core/8-thread) yang ditenagai arsitektur CPU Zen 2 dan GPU RDNA 2, plus RAM berkapasitas 16 GB.

Di atas kertas, performanya jelas jauh melampaui Nintendo Switch, tapi masih terkesan cupu untuk ukuran gaming PC. Namun itu bukan masalah besar mengingat layarnya cuma memiliki resolusi 1280 x 800; cukup tajam untuk ukuran 7 inci, dan di saat yang sama tidak terlalu menuntut performa GPU. Berdasarkan pengalaman hands-on IGN, Steam Deck cukup kapabel untuk menjalankan sejumlah game berat macam Star Wars: Jedi Fallen Order maupun Death Stranding.

Untuk storage-nya, Steam Deck bakal hadir dalam tiga varian: 64 GB, 256 GB, dan 512 GB. Khusus untuk varian 64 GB, jenis storage yang digunakan adalah eMMC, sedangkan varian 256 GB dan 512 GB mengandalkan SSD NVMe yang punya kecepatan baca dan tulis jauh lebih kencang. Masing-masing varian juga dilengkapi slot kartu microSD untuk keperluan ekspansi storage.

Controller yang lengkap dan mode docked

Posisi stik analog yang sejajar dengan tombol D-Pad dan tombol action mungkin terkesan tidak umum bagi konsumen yang sudah terbiasa dengan layout controller milik PlayStation maupun Xbox, namun ini sengaja dilakukan supaya Steam Deck punya cukup ruang untuk sepasang trackpad. Ingat, Steam Deck dirancang untuk memainkan game PC, dan sejumlah judul memang bakal lebih nyaman dimainkan menggunakan mouse atau trackpad.

Alternatifnya, layar LCD milik Steam Deck merupakan sebuah touchscreen, dan ini bakal sangat cocok untuk judul-judul game kasual maupun yang memanfaatkan sistem point-and-click. Di sisi atas, kita bisa menemukan empat tombol trigger, dan di punggungnya pun masih ada empat tombol trigger ekstra yang configurable. Namun kalau memang tidak bisa lepas dari mouse dan keyboard (ataupun periferal-periferal lainnya), Anda bisa menyambungkan semua itu via Bluetooth, atau via USB dengan bantuan USB hub atau dock.

Dock? Ya, seperti halnya Nintendo Switch, Steam Deck juga dapat dihubungkan ke monitor atau TV via sebuah unit dock. Yang berbeda, unit dock-nya ini harus dibeli secara terpisah. Dalam posisi docked, resolusi display-nya rupanya tidak terbatasi di 720p saja, akan tetapi performanya jelas bakal terdampak kalau pengguna mencoba menaikkan resolusinya.

Harga dan ketersediaan

Rencananya, Valve bakal menjual Steam Deck mulai Desember 2021. Di Amerika Serikat, Valve mematok harga $399 untuk varian 64 GB, $529 untuk varian 256 GB, dan $649 untuk varian 512 GB.

Banderol $399 tentu terdengar sangat menarik karena hanya terpaut $50 dari Nintendo Switch OLED yang diluncurkan baru-baru ini. Berdasarkan pernyataan Gabe Newell sendiri selaku bos Valve, Valve sepertinya memang tidak mengambil untung terlalu banyak (atau malah merugi?) dengan menetapkan harga yang sangat agresif untuk Steam Deck. Kemungkinan yang mereka kejar adalah keuntungan dari penjualan game di Steam, kurang lebih sama seperti strategi yang Microsoft terapkan untuk Xbox.

Kepada IGN, perwakilan Valve menjelaskan bahwa seandainya Steam Deck terbukti berhasil menuai respon positif dan laris terjual, mereka pun siap untuk meluncurkan iterasi-iterasi berikutnya. Tidak menutup kemungkinan juga bakal ada produsen hardware lain yang meluncurkan perangkat handheld serupa, terutama mengingat SteamOS memang dapat digunakan secara cuma-cuma.

Hal ini semakin memperkuat asumsi bahwa Valve memang tidak mencari untung dari penjualan hardware Steam Deck itu sendiri. Semakin banyak perangkat serupa yang tersedia di pasaran, berarti semakin banyak pula konsumen yang terekspos oleh dagangan Steam, dan pada akhirnya yang diuntungkan juga Valve sendiri.

Sumber: IGN.

Steam Catatkan Banyak Rekor Baru Selama 2020

Di saat banyak industri yang dibuat berantakan oleh pandemi COVID-19 selama tahun 2020, industri game justru tumbuh sejahtera. Entah itu di platform mobile, console, ataupun PC, pemasukan industri game bertumbuh cukup signifikan dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Di PC, kita bisa mendapat gambaran yang lebih jelas lagi berkat laporan tahunan yang dirilis Steam baru-baru ini. Dijelaskan bahwa meskipun Steam sudah mengalami pertumbuhan yang signifikan sebelum banyak negara yang menerapkan lockdown, waktu bermain game naik drastis ketika orang-orang mulai berdiam diri di rumah. Alhasil, jumlah konsumen yang membeli dan bermain game pun juga meningkat secara dramatis.

Data yang Steam kumpulkan menunjukkan sejumlah rekor baru yang cukup fenomenal, seperti misalnya rekor jumlah pengguna aktif bulanan (120,4 juta), pengguna aktif harian (62,6 juta), pengguna yang online di waktu bersamaan (24,8 juta), pembeli pertama (2,6 juta per bulan), total waktu bermain (31,3 miliar jam), dan jumlah game yang dibeli (21,4% lebih banyak daripada pencapaian di tahun 2019).

Steam 2020 stats overview

Jangankan PC gaming secara umum, VR gaming pun juga mengalami pertumbuhan yang signifikan di tahun 2020, dengan angka penjualan game yang naik sebesar 71% dibanding tahun 2019 – 39%-nya sendiri berasal dari penjualan Half-Life: Alyx saja. Steam bahkan juga mencatat ada lebih dari 1,7 juta pengguna yang memainkan game VR untuk pertama kalinya di tahun 2020.

Masih seputar virtual reality, tercatat ada lebih dari 104 juta sesi VR di Steam tahun lalu, dengan masing-masing sesi yang berdurasi rata-rata 32 menit. Kalau ditotal, ada peningkatan waktu bermain game VR sebesar 30% selama tahun 2020.

Kesimpulannya, Steam benar-benar sibuk di tahun 2020, dan ini bisa kita lihat dari traffic datanya yang luar biasa besar: 25,2 exabyte (1 exabyte = 1 miliar gigabyte). Begitu intensnya traffic di Steam, badan pemerintahan di sejumlah negara dan beberapa perusahaan internet besar sempat mengajak Valve untuk berdikusi terkait bagaimana Steam bisa membantu meminimalkan problem yang muncul akibat melonjaknya traffic global selama pandemi.

Untuk 2021, agenda Steam meliputi peluncuran Steam khusus untuk pasar Tiongkok, penyempurnaan user experience, penyegaran aplikasi Steam Mobile demi memudahkan proses login dan pengamanan akun, serta penyempurnaan pengalaman yang pengguna dapatkan di platform Linux.

Sumber: PC Gamer.

Pemenang Steam Awards 2020 Diumumkan, Red Dead Redemption 2 Sabet Gelar Terbaik

Dari sekian banyak daftar game terbaik yang dipublikasikan oleh beragam pihak setiap tahunnya, mungkin The Steam Awards adalah salah satu yang paling dinantikan. Terlepas dari kemunculan platform pesaing seperti Epic Games Store, Steam tetap menjadi ‘rumah’ terbesar bagi para gamer PC.

Valve pun tidak mau menyia-nyiakan kekuatan komunitas Steam. Untuk Steam Awards edisi 2020 ini, Valve kembali mengajak komunitas penggunanya untuk melakukan voting, menentukan mana saja game yang pantas meraih penghargaan selama tahun pandemi – bahkan nominasinya pun juga ditentukan oleh komunitas.

Total ada 10 kategori yang disiapkan, dan game yang dinominasikan rupanya tidak harus yang dirilis di tahun 2020. Spesifiknya, The Steam Awards 2020 ini berlaku untuk game yang dirilis pada periode November 2019 – November 2020, jadi jangan heran kalau game dengan hype setinggi Cyberpunk 2077 tidak masuk nominasi sama sekali.

Red Dead Redemption 2 / Rockstar Games
Red Dead Redemption 2 / Rockstar Games

Untuk kategori “Game of the Year”, pilihannya akhirnya jatuh pada Red Dead Redemption 2. ‘Simulator koboi’ besutan Rockstar ini memang tidak bisa dibilang baru, akan tetapi ia memang baru mampir ke Steam pada bulan Desember 2019, sehingga sah saja ia menjadi pemenang.

Selain kategori yang paling prestisius tadi, Red Dead Redemption 2 rupanya turut memenangkan kategori “Outstanding Story-Rich Game”, mengalahkan deretan game lain yang memiliki narasi sangat berbobot seperti Detroit Become Human, Mafia, maupun Metro Exodus. Sebagai seseorang yang sudah menghabiskan lebih dari 150 jam memainkan Red Dead Redemption 2 dan menamatkannya sebanyak dua kali, harus saya akui memang jalan ceritanya sangat mengesankan.

Beralih ke kategori “VR Game of the Year”, saya rasa tidak akan ada yang terkejut melihat Half-Life: Alyx sebagai pemenang, sebab dari awal Valve memang sepenuhnya merancang game ini untuk medium virtual reality. Begitu hebatnya Half-Life: Alyx, penjualan VR headset Valve Index sempat naik drastis berkatnya.

Untuk kategori “Most Innovative Gameplay”, pemenangnya adalah Death Stranding persembahan Kojima Productions. Game open-world ini memang punya sejumlah mekanisme gameplay yang sangat unik; bahkan berjalan kaki saja tidak boleh sembarangan di game ini, sehingga pada akhirnya tidak sedikit yang mengecapnya sebagai permainan walking simulator.

Ori and the Will of the Wisps / Moon Studios
Ori and the Will of the Wisps / Moon Studios

Selanjutnya, ada kategori unik bernama “Labor of Love”. Kategori ini disiapkan untuk game lawas yang hingga kini masih terus dijejali konten baru oleh pengembangnya, sehingga tidak mengherankan apabila gelar juaranya jatuh pada Counter-Strike: Global Offensive, yang masih menjadi salah satu game terlaris di Steam meski sudah berusia 8 tahun lebih.

Selagi membahas game multiplayer, kategori “Better with Friends” tahun ini dimenangkan oleh Fall Guys: Ultimate Knockout, battle royale konyol yang sempat membajak Twitch selama sekitar satu pekan pasca perilisan perdananya di bulan Agustus lalu. Game multiplayer lain yang turut dipilih menjadi pemenang adalah Apex Legends untuk kategori “Best Game You Suck At”.

Lanjut ke kategori “Outstanding Visual Style”, ada Ori and the Will of Wisps yang muncul sebagai pemenang. Tidak heran mengingat game tersebut memang lebih manis lagi di mata ketimbang prekuelnya, yang sendirinya sudah sangat memukau secara visual. Dua kategori yang terakhir di edisi 2020 ini adalah “Best Soundtrack” yang dimenangkan oleh Doom Eternal – Mick Gordon FTW! – dan “Sit Back and Relax” yang dimenangkan oleh, well, apa lagi game yang paling menenteramkan kalau bukan The Sims 4.

Hades / Supergiant Games
Hades / Supergiant Games

Tentunya semua ini adalah hasil pemungutan suara mayoritas, dan masing-masing dari kita pasti punya game terbaik versinya sendiri. Buat saya pribadi, game terbaik tahun 2020 adalah Hades garapan Supergiant Games. Alasannya sederhana: saya tidak pernah suka genre roguelike, dan Hades adalah game roguelike pertama yang sudah saya mainkan selama lebih dari 100 jam – sekaligus yang berhasil membujuk saya untuk membeli sebuah controller.

Tadinya saya mau bilang Cyberpunk 2077, dan sampai artikel ini ditulis, saya memang tercatat sudah menghabiskan 113 jam memainkannya (dan menamatkannya satu kali). Sayang game tersebut dilanda terlalu banyak problem, dan menurut saya lebih pantas dikategorikan sebagai game early access di titik ini. Lagipula ia juga tidak memenuhi syarat jadwal perilisan antara November 2019 – November 2020 tadi. Mungkin tahun depan, usai CD Projekt Red membenahinya dengan sungguh-sungguh.

Via: PC Gamer.