Dalam dunia olahraga, kemampuan para atlet bisa diukur dengan jelas. Misalnya, kemampuan atlet lari diukur dari kecepatannya. Sementara kemampuan atlet angkat besi bisa diukur dari total berat yang dia angkat. Lalu, apa tolok ukur yang digunakan untuk mengetahui kemampuan atlet esports? Ada berbagai hal yang mempengaruhi kemampuan pemain esports. Salah satu metrik yang bisa digunakan untuk mengetahui kemampuan seorang pemain profesional adalah APM.
Apa Itu APM?
APM merupakan singkatan Action Per Minute. Metrik ini menggambarkan berapa banyak tindakan yang bisa pemain eksekusi dalam satu menit. Semakin tinggi APM seseorang, biasanya, semakin mumpuni juga kemampuannya. Karena, APM tinggi membuktikan bahwa seseorang tidak hanya mengerti apa yang harus dia lakukan dalam game, tapi juga menjadi bukti dia punya ketangkasan untuk mengeksekusi apa yang dia rencanakan. Hanya saja, APM tolok ukur mutlak untuk mengetahui kemampuan seorang gamers profesional. Pasalnya, untuk meningkatkan APM, seseorang terkadang melakukan tindakan yang repetitif.
Istilah APM pertama kali digunakan oleh komunitas StarCraft. Penggunaan APM sebagai tolok ukur kemampuan seseorang menjadi populer setelah komunitas gamers StarCraft membuat sejumlah tools yang memungkinkan audiens untuk mengetahui APM dari pemain profesional StarCraft. Setelah peluncuran StarCraft II: Wings of Liberty, APM menjadi salah satu metrik yang ditampilkan pada antarmuka game.
Biasanya, pemain amatir bisa mencapai 50-60 APM. Hal itu berarti, dalam satu detik, dia bisa mengambil satu atau dua tindakan. Pemain profesional bisa mendapatkan APM yang jauh lebih tinggi. Misalnya, para pemain StarCraft profesional bisa mendapatkan 300 APM, menurut laporan Engadget. Di tengah pertarungan sengit, angka ini bisa naik menjadi 600 APM.
“Kebanyakan pemain profesional bisa mendapatkan 500-600 APM,” kata Philip Hübner, Product Manager untuk Intel Extreme Masters pada NBC News. “Jadi, 10 tindakan per detik.”
Seberapa Penting APM untuk Atlet Esports?
Matt Weber, Director of Operations untuk Team Liquid, mengatakan bahwa APM bisa dibandingkan dengan kecepatan pitching pemain baseball. Tentu saja, kecepatan pitching bukan satu-satunya tolok ukur akan kemampuan pemain baseball. Namun, kecepatan pitching bisa menjadi salah satu faktor yang menentukan apakah seseorang bisa bertanding di liga baseball profesional atau tidak. Bagi pemain esports, APM jadi salah satu tolok ukur tersebut.
Istilah APM memang berasal dari komunias StarCraft. Namun, sebenarnya, kita bisa mengukur APM untuk game lain. Hanya saja, jika dibandingkan dengan game esports lain, game RTS seperti StarCraft memang mengharuskan pemainnya untuk mengambil lebih banyak actions. Misalnya, dalam game MOBA seperti Dota 2 atau League of Legends, Anda hanya akan mengendalikan satu karakter. Jadi, Anda hanya akan fokus pada karakter tersebut. Sementara dalam StarCraft, ada banyak hal yang harus Anda perhatikan, mulai dari mengumpulkan sumber daya, membangun pertahanan, menyiapkan pasukan, dan lain sebagainya. Alhasil, APM punya peran yang lebih penting dalam game seperti StarCraft daripada game esports lain,
Weber mengatakan, untuk mengetahui kemampuan teknis seorang pemain StarCraft II, beberapa faktor yang diperhatikan selain kecepatan adalah keakuratan, efisiensi, dan kemampuan untuk melakukan multitasking. Jadi, kemampuan untuk memilih tindakan yang tepat sama pentingnya dengan kemampuan untuk bisa mengambil action dengan cepat.
“Orang seperti saya bisa mendapatkan 300 APM dengan mudah,” ujar Weber. “Tapi, kebanyakan tindakan yang saya ambil merupakan tindakan sia-sia. Karena, untuk mendapatkan 300 APM, saya hanya melakukan tindakan yang sama berulang kali. Misalnya, untuk menggerakkan unit saya, saya bisa melakukan klik 10 kali untuk meningkatkan APM saya.”
Pemain profesoinal StarCraft, Steve Bonnell II alias Destiny bercerita bahwa dia pernah menawarkan jasa mengajar untuk pemain amatir yang ingin bisa bermain dengan lebih baik. Dia mengungkap, ketika dia mengajarkan pemain yang masih di peringkat Bronze dan Silver, dia akan fokus untuk mengajarkan strategi secara umum. Dia justru menomorduakan cara untuk mengatur unit satu per satu. Padahal, kemampuan untuk mengatur unit satu per satu itu justru bisa meningkatkan APM pemain.
“Ketika Anda sudah ada di tingkat Master, dan Anda ingin bisa masuk ke tahap Grandmaster, barulah Anda mulai memikirkan tentang kemampuan mekanis Anda,” ujar Bonnell pada Engadget. “APM adalah salah satu cara untuk mengukur kemampuan mekanis Anda. Namun, APM tinggi bukan jaminan bahwa seseorang bisa mengendalikan unitnya dengan baik. APM bukanlah segalanya.”
Sama seperti Bonnell, Sean “Day9” Plott, komentator StarCraft, mengatakan bahwa pemain amatir tidak perlu terlalu khawatir akan APM. “Ketika Anda berkompetisi di tingkat profesional, barulah Anda harus bertanya pada diri sendiri: ‘Apa kelebihan saya?'” ujar Plott. “Di kompetisi profesional, semua orang sudah tahu semua strategi yang ada. ‘Strategi baru’ jarang digunakan karena semua orang sudah tahu apa yang akan terjadi. Jadi, pemain profesional biasanya mencoba untuk unggul dari lawannya dengan meningkatkan APM mereka.”
Bagaimana Cara untuk Meningkatkan APM?
“Jika Anda ingin meningkatkan kecepatan APM, ada beberapa latihan yang bisa saya sarankan,” kata Plott. “Pertama, mainkan single-player, buat build order dan eksekusi rencana tersebut dengan sempurna — Anda tidak boleh melewatkan satu pekerja, satu pylon, atau satu building pun. Secara otomatis, tubuh Anda akan beradaptasi untuk mengklik dengan lebih cepat. Hal itulah yang paling penting: membuat tangan Anda ingin bergerak lebih cepat.”
“Latihan lain yang saya rekomendasikan adalah mengklik dan bergerak secepat mungkin ketika bertanding dengan pemain lain,” jelas Plott. “Hal ini akan membuat Anda sering kalah, karena Anda akan fokus untuk mengklik dengan cepat dan bukannya melakukan tindakan secara efektif. Tapi tidak apa-apa. Karena setelah sekitar dua minggu, tindakan yang biasnya memakan waktu selama 6 miliseconds, Anda akan bisa melakukannya hanya dalam 300 miliseconds. Dengan memaksa diri Anda untuk bermain dengan lebih cepat, tubuh Anda akan terbiasa untuk mengklik dengan lebih cepat.”
Plott menambahkan, ketika hendak menaikkan APM, Anda juga harus punya keinginan untuk bermain dengan lebih baik. Karena, jika seseorang ingin bisa ikut turun dalam kompetisi profesional, maka dia harus sering bermain dan menikmati game yang dia mainkan.
“Anda bisa meningkatkan APM dengan cara yang sama sepeti saat Anda ingin bisa melakukan sesuatu dengan lebih baik, yaitu latihan,” tambah Bonnell. “Anda hanya harus terus bermain sampai jari Anda secara otomatis mengingat posisi mereka. Kecepatan APM Anda akan naik dengan sendirinya.”
Sementara itu, Aleksandar “Beastyqt” Krstić, pemain StarCraft II asal Serbia, mengatakan bahwa salah satu cara untuk meningkatkan APM di StarCraft adalah dengan melakukan spamming pada awal permainan. Dia mengakui, ada banyak orang yang bingung atau justru kesal ketika mereka melihat para pemain profesional melakukan spamming. Namun, Krstić menjelaskan, melakukan spamming di awal permainan merupakan pemanasan untuk jari-jari para pemain.
“Di dunia olahraga, ketika Anda duduk di bangku cadangan, Anda tidak duduk diam. Anda melakukan pemanasan sebelum Anda dipanggil untuk menggantikan pemain lain,” ujar Krstić dalam sebuah video YouTube. “Spamming di StarCraft punya fungsi yang sama seperti pemanasan.” Dia menjelaskan, sulit bagi seseorang untuk mendadak meningkatkan kecepatan jari mereka dari 50 APM menjadi 400 APM. Dengan melakukan spamming klik pada awal game, seseorang bisa perlahan mempersiapkan diri untuk mencapai APM tinggi.
Namun, bagi pemain pemula, Krstić menyarankan, mereka sebaiknya juga tidak melakukan spamming secara berlebihan, yang bisa mengacaukan ritme permainan mereka sendiri. “Spam klik selama mungkin, tapi jangan sampai spamming merusak gaya bermain Anda,” ujarnya. “Jika Anda adalah pemain baru, Anda bisa melakukan spam pada 10 detik pertama. Jika dengan melakukan spammingbuild order Anda justru menjadi kacau, Anda sebaiknya berhenti melakukan spamming.”
Industri esports bisa dibilang sedang dalam masa keemasannya kini. Pemain pun menjadi pusat perhatian dari masa kejayaan tersebut. Uang hadiah berjuta-juta dollar, dikenal banyak orang, membuat beragam kesempatan terbuka lebar bagi pemain esports saat ini. Tapi jika Anda tidak cermat, semua bentuk privilege tersebut bisa hilang dalam jentikan jari saja. Karenanya, ada alasan tertentu kenapa ilmu bisnis menjadi salah satu ilmu yang perlu Anda pelajari apabila Anda adalah seorang pemain esports yang sedang sukses ataupun sebagai seseorang yang sedang merintis karir.
Lalu kenapa bisnis dan apa yang dimaksud dengan “ilmu bisnis” dalam pembahasan ini? Mari kita menyelam ke dalam pembahasan lebih lanjutnya.
Kenapa Belajar Bisnis Penting Bagi Seorang Pemain Esports
Anda mungkin masih bingung soal maksud ilmu bisnis yang saya bahas dalam pembahasan ini. Kata bisnis sendiri memang bisa diartikan menjadi luas sekali. Apakah belajar bisnis di artikel ini maksudnya adalah membuat startup? Berjualan voucher game? Investasi saham? Atau mungkin membuat tambak lele? Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, bisnis diartikan sebagai usaha komersial dalam dunia perdagangan, bidang usaha, atau usaha dagang. Karenanya jenis-jenis kegiatan di atas juga tidak sepenuhnya salah jika disebut bisnis. Namun, bisnis yang saya maksud di sini sebenarnya lebih ke arah berbagai kemampuan yang berhubungan dengan kegiatan bisnis itu sendiri. Karenanya saya menyebutnya sebagai ilmu bisnis.
Lalu pertanyaan berikutnya yang muncul mungkin adalah, kenapa harus bisnis? Padahal seorang pemain esports yang pensiun masih bisa melakukan karir-karir lain yang bersifat depan layar, seperti menjadi shoutcaster, streamer, atau bahkan mungkin YouTuber? Kalau Anda cermat membaca artikel ini sejak awal, Anda mungkin akan sadar kalau jawaban terhadap pertanyaan tersebut sebenarnya sekilas sudah saya tulis di awal paragraf.
Karena pemain esports yang sukses memiliki dua modal yang sangat mumpuni untuk memulai bisnis, modal uang dan modal popularitas. Selain itu, bisnis juga cenderung punya tingkat keberlangsungan yang lebih panjang ketimbang kembali menjadi orang depan layar. Memang, tidak ada yang pasti di dunia ini. Namun menjadi orang depan layar cenderung terbatas usia produktifnya. Bintang esports baru terus bermunculan dari waktu ke waktu, karenanya popularitas Anda sebagai pemain esports pun bisa jadi luntur seiring waktu.
Dua faktor yang saya sebut sebenarnya sudah jadi rahasia umum, namun bisa jadi belum tersadari oleh sang pemain ataupun calon pemain sendiri. Dalam hal modal secara finansial misalnya. Pemain esports paling sukses di zaman sekarang mungkin bisa dibilang sudah punya pendapatan yang mulai menyaingi pendapatan atlet olahraga. Misalnya saja Johan “n0tail” Sundstein, juara dunia Dota 2 yang menurut catatan esportsearnings.com sudah mengumpulkan pendapatan sebanyak US$6,9 juta lebih dari uang hadiah. Pendapatan tersebut baru dari hadiah turnamen saja. Belum menghitung pendapatan lain yang juga diterima namun mungkin tidak dipublikasikan, seperti nilai kontrak endorsement, mungkin gaji, atau mungkin bagi hasil pendapatan dari tim OG yang ia bentuk sendiri.
Modal popularitas juga merupakan modal lain yang tak kalah penting dalam membangun bisnis. Membangun relasi bisa jadi hal yang mudah apabila Anda adalah seorang pemain esports yang sedang ada di puncak karir. Dengan popularitas yang dimiliki, Anda bisa mudah berkenalan dengan brand-brand besar, mudah berkenalan dengan orang-orang baru, bahkan mungkin orang-orang tersebut bisa jadi datang sendiri tanpa Anda harus melakukan banyak usaha.
Misalnya saja JessNoLimit. Karirnya sebagai pemain esports mungkin bukanlah yang paling cemerlang. Namun Anda bisa lihat sendiri bagaimana dirinya sangat memanfaatkan masa jayanya terdahulu ke dalam kehidupannya sekarang. Walau mungkin tidak bisa dijadikan contoh sebagai mantan pemain esports yang terjun ke bisnis sepenuhnya, tetapi kita bisa melihat bagaimana kelihaian JessNoLimit melihat peluang untuk menjual namanya sendiri sebagai seorang pemain esports yang sukses.
Dua faktor tersebut bisa dibilang menjadi salah satu keuntungan terbesar saat Anda sedang berposisi sebagai seorang pemain esports yang sukses. Coba bayangkan apabila Anda hanyalah seorang pegawai swasta? Mendapat modal uang (yang cukup untuk bisnis) dan mencari modal relasi juga mungkin akan butuh usaha yang amat sangat keras. Tapi saya juga tidak memungkiri menjadi sukses sebagai atlet esports juga butuh kerja keras dengan persaingan yang tak kalah berat. Karenanya tanpa maksud menyinggung pihak manapun, intinya adalah menjadi pemain esports bisa memberikan Anda banyak peluang yang bisa dimanfaatkan dengan baik.
Belajar Bisnis Sambil Meniti Karir Jadi Pemain Esports, Apa Mungkin?
Kalau ditanya bagaimana caranya, satu-satunya jawaban yang bisa saya berikan mungkin adalah belajar.
Ya, oke, saya tahu bahwa jawaban saya membosankan, terima kasih atas pujiannya. Saya sadar, bisa jadi beberapa dari Anda yang memutuskan menjadi pemain esports adalah karena ingin alternatif dari kehidupan formal, belajar, ataupun cara-cara “kuno” dalam mencapai kemapanan dalam hidup.
Namun demikian, hal yang memang tidak bisa dipungkiri adalah bahwa kegiatan “kuno” tersebut tetap menawarkan solusi paling aman di dalam hidup. Bicara kasarnya, memangnya Anda mau mapan hari ini tapi hidup susah di masa senja? Mau tidak mau, Anda tetap perlu belajar walau sudah sukses jadi bintang esports. Belajar yang saya maksud di sini tentu tidak melulu harus lewat pendidikan formal. Seperti yang saya katakan sebelumnya, pembahasan ini juga sebenarnya lebih ke arah keharusan belajar soft-skill dan belajar bagaimana cara dunia bekerja, terutama dari sisi bisnis. Belajarnya pun bisa dari mana saja, dari lingkungan ataupun dari konten-konten di internet.
Membahas lebih lanjut soal belajar jadi atlet esports sambil belajar soft-skill, saya pun berbincang dengan Yohannes Siagian. Pembaca setia hybrid.co.id tentu kenal betul dengan sosok yang satu ini. Redaksi hybrid.co.id juga sudah beberapa kali membahas relasi esports dan pendidikan melalui perbincangan Chief Editor kami, Yabes Elia, dengan “Mas Joey”.
Salah satu alasan saya mengajak mas Joey untuk berbincang soal berkarir menjadi pemain esports dan belajar bisnis adalah karena program pengembangan baru yang ia lakukan melalui brandSomnium Esports. Organisasi esports tersebut baru-baru saja membuat sebuah program pengembangan pemain yang tergolong beda ketimbang program lainnya.
Program tersebut tidak sekadar mengajarkan pemain supaya jago main game saja tapi juga menawarkan pengembangan kemampuan-kemampuan di luar dari gaming. Bahkan program pengembangan pemain milik Somnium juga menawarkan pendidikan gratis bagi peserta yang masih bersekolah namun ingin tetapi ikut program.
Joey pun menjelaskan bahwa kegiatan tersebut merupakan bagian dari bentuk akuisisi Somnium oleh yayasan Garis Putih. Lebih lanjut Joey pun menjelaskan soal apa itu yayasan Garis Putih. “Pada dasarnya Garis Putih merupakan yayasan yang ada pada bidang youth support dan development. Alasan kami melakukan program seperti demikian adalah karena kami merasa anak muda tidak punya banyak kesempatan untuk mengembangkan minat, bakat, dan potensi mereka di masa kini.”
“Kami juga mengamati bahwa saat ini kurang banyak opsi yang dapat dipilih anak muda dalam melakuan eksplorasi diri, kepribadian, ataupun tempat untuk mencari bantuan serta dukungan apabila diperlukan. Hal yang menjadi dasar pemikiran tersebut adalah dari fenomena yang kami lihat bahwa anak muda zaman sekarang kebanyakan hidupnya hanya berkutat di 3 tempat saja, sekolah, rumah, dan tongkrongan/mall. Masa pandemi seperti sekarang semakin membuat keadaan tadi jadi lebih terasa. Fenomena tersebut pun membuat yayasan Garis Putih tergerak untuk mencoba menawarkan solusi. Esports hanya salah satu saja dari rencana besar Garis Putih yang kami lakukan lewat Somnium. Esports hanya salah satu karena Garis Putih nantinya juga punya rencana untuk melakukan kegiatan youth support di bidang lainnya seperti olahraga, kesenian, dan lain-lain.” Tutur Joey menjelaskan.
“Tapi satu hal lain yang ingin kembali saya tegaskan kembali adalah bahwa Somnium Development Program itu bukan pendidikan untuk direkrut ke dalam tim esports profesional. Seperti namanya dan sejalan dengan visi misi Garis Putih, fokus program tersebut adalah pengembangan. Harapannya program ini bisa memberi bekal kepada mereka yang ingin meniti karir menjadi pemain esports.” Joey kembali menambahkan
Walaupun program milik Somnium terlihat cukup inovatif, namun program coaching di bidang esports sebenarnya tidak sepenuhnya baru. Dalam tulisan saya yang membahas skema ekosistem esports, Anda juga bisa melihat bahwa ada dua elemen yang bersifat “lain-lain” di sana. Menariknya, dua entitas yang saya tulis pada bagian tersebut sama-sama menawarkan jasa yang sama, yaitu coaching. Dalam daftar yang saya buat, saya memasukan Aegis.gg dan RRQ Academy.
Tetapi dari apa yang saya amati, kedua coaching platform tersebut hanya menawarkan cara untuk menjadi jago saja. Padahal di dunia esports, menjadi jago hanya satu aspek profesionalitas pemain esports saja. Seiring dengan karir yang terus berkembang, pemain esports akan lebih dituntut lebih dan dituntunt dari berbagai macam aspek. Mulai dari ketangguhan mental, profesionalitas secara sikap, sampai tuntutan membangun citra diri di muka publik.
“Kalau ditanya soal apa saja yang diajari, skill main game sudah pasti diajari. Tapi selain itu saya juga menyiapkan pelatihan soft-skill yang arahnya untuk meningkatkan performa permainan, seperti kemampuan analisa game, komunikasi, decision making, dan lain-lain. Di luar dari itu, ilmu-ilmu yang dapat membantu kehidupan mereka pasca pensiun juga diajarkan, termasuk ilmu seperti bisnis ataupun literasi finansial.” Tambah Joey.
Memang menurut saya jago saja tidak cukup membawa karir Anda melejit di dunia esports. Kembali menggunakan Jess No Limit sebagai contoh, Anda pecinta esports MLBB mungkin ingat kalau dia bukan sosok yang paling jago bermain. Namun Jess No Limit punya beberapa kemampuan di luar bermain game yang membuat dirinya berhasil survive pasca pensiun dari pro player. Cerita yang serupa juga sebenarnya bisa dilihat perjalanan dari mantan rekan satu timnya, Jonathan “Emperor” Liandi.
Program player development dari Sominum mungkin bisa jadi salah satu pilhan dalam membangun soft-skill untuk mempersiapkan kehidupan pasca pensiun sebagai pemain esports. Walau memang berpikir “mau jadi apa setelah pensiun sebagai pemain” adalah kewajiban bagi pemainnya sendiri, tapi saya merasa apa yang dilakukan oleh Somnium Esports patut juga dicontoh oleh tim lain.
Mengapa? Saya merasa pemain yang tidak sekadar jago juga memberikan nilai jual lebih bagi tim terkait. Pemain yang jago mungkin bisa memberi kemenangan di lebih banyak turnamen. Tapi pemain yang punya kemampuan menyeluruh (termasuk bisnis atau menjual citra diri) mungkin bisa memberi value yang lebih banyak lagi, entah itu lewat kontrak-kontrak endorsement dan lain sebagainya. Karenanya, saya merasa apa yang dilakuan oleh Somnium Esports itu tidak hanya baru, tetapi juga bisa jadi penting demi masa depan esports yang lebih baik.
Membahas soal kepentingan kemampuan-kemampuan di luar skill bermain game dan pentingnya belajar bisnis, Joey juga menambahkan. “Ya saya setuju belajar bisnis itu penting, tapi di luar dari itu sebenarnya yang lebih penting dan mendasar adalah literasi finansial secara umum. Maksudnya literasi finansial adalah sesederhana seperti menabung, investasi, ataupun mengenali cara serta konsep untuk bisa growing money. Kenapa penting? Karena ketika pemain esports sedang dalam masa karirnya, mereka bukan hanya punya penghasilan besar tapi juga memiliki pengeluaran yang sedikit; bahkan hampir tidak ada.”
“Benar bukan? Semua biaya hidup ditanggung tim. Ada gaming house untuk tempat tinggal, kebutuhan makan kadang ditanggung oleh tim, transportasi juga kadang ditanggung oleh tim. Dengan keadaan hampir zero expenses, pemain esports sebenarnya punya kesempatan menumpuk modal untuk menghadapi kehidupan pasca pensiun sebagai pemain esports.” Joey memperjelas kembali soal pelaung yang dimiliki oleh pemain esports untuk menghadapi kehidupan masa depannya.
“Tapi memang sejauh yang saya lihat juga beberapa pemain esports jaman sekarang mulai melek finansial. Tetapi biasanya memang karena suatu kondisi tertentu lebih dahulu. Sudah pernah “kepentok” misalnya atau ketika si pemain berencana untuk menikah. Biasanya kalau sudah begitu mereka mulai berpikir untuk investasi ataupun mencoba membuat usaha.” Joey menambahkan cerita berdasarkan dari pengamatannya sejauh ini.
Di luar dari pembahasan tersebut, saya juga sadar bahwa usia pemain esports yang masih sangat muda jadi salah satu faktor lain yang membuat mereka kurang sadar akan hal-hal seperti ini. Tetapi mengingat era informasi sekarang ini, pemain esports juga punya keuntungan lain dengan mudahnya akses untuk belajar ilmu-ilmu baru. Selain diajari, Anda juga bisa saja belajar secara otodidak, bahkan mungkin belajar melalui pembahasan-pembahasan Hybrid.co.id. Misalnya apabila Anda ingin tetap berada di ranah esports namun sebagai pelaku bisnis, Anda mungkin bisa belajar dimulai dari artikel pembahasan bentuk ekosistem esports Indonesia atau pembahasan soal alasan bagaimana game kompetitif bisa sukses berkembang menjadi esports.
Belajar Dari Atlet Olahraga dan Esports Yang Mapan Hingga Kini
Ada alasan tertentu kenapa bisnis yang menjadi sorotan pembahasan saya di dalam artikel ini. Selain dari dua faktor di atas, inspirasi artikel ini juga lagi-lagi datang dari salah satu video milik Athletic Interest. Salah satu video di channel tersebut menceritakan soal kisah sukses dari seorang petenis kelas dunia, Roger Federer.
Apa yang ingin saya soroti dari sosok beliau bukan serta-merta kekayaan atau kesuksesannya saja, tetapi juga karakteristik yang membuatnya jadi salah satu atlet olahraga yang berhasil jadi miliarder. Mengutip dari Forbes, Roger Federer telah mengumpulkan sekitar US$130 juta dari kemenangan-kemenangan yang ia raih. Namun, total kekayaanya lebih dari itu dan bahkan uang hadiah turnamen jadi terlihat kecil ketimbang kontrak endorse senilai US$300 juta dengan Uniqlo.
Tetapi ada cerita tersendiri ketika Roger Federer mengambil kontrak endorsement dengan Uniqlo. Kisah tersebut menuai pertanyaan khalayak karena Roger Federer memilih meninggalkan Nike dan untuk Uniqlo. Bukan cuma gara-gara brand-nya saja, kontrak kerja sama dengan Nike juga menawarkan nilai 3 kali lipat lebih besar ketimbang kerja sama dengan Uniqlo. Salah satu jawaban yang ia berikan adalah. “Kita semua tahu bahwa saya sedang berada di masa senja karir saya, bukan di masa keemasan.” Tutur Roger Federer membuka sesi konfrensi pers membahas soal keputusannya tersebut yang saya kutip dari Forbes.
Mengutip dari SportsPro, Roger Federer juga sempat berkata. “Suatu hari saya akan pensiun dari tenis, tetapi saya tidak akan pensiun dengan kehidupan saya. Kehidupan saya akan terus berjalan (pasca pensiun dari pemain tenis). Dengan demikian, saya percaya bahwa Uniqlo dan Mr Yanai (CEO Uniqlo) akan menganggap saya sebagai sosok penting bagi brand mereka, walaupun saat saya sudah tidak menjadi atlet tenis.”
Pengambilan keputusan yang dilakukan Roger Federer bisa menjadi contoh bagaimana seorang atlet juga harus sadar dan paham cara bisnis bekerja. Nike adalah perusahaan olahraga. Sosok yang akan di-endorse oleh Nike kemungkinan besar adalah atlet-atlet terbaik di bidang olahraganya masing-masing.
Namun Uniqlo bukanlah Nike. Uniqlo adalah brand pakaian untuk sehari-hari. Nike bisa saja memutus kontrak endorse-nya dengan Roger apabila dirinya sudah mulai menurun performanya atau pensiun dari tenis. Di sisi lain, kecil kemungkinan bagi Uniqlo untuk melakukan hal tersebut. Sebagai perusahaan pembuat pakaian kasual, Uniqlo tetap butuh brand ambassador terlepas dari atlet atau bukan. Terlebih, Uniqlo juga tergolong baru mulai membuat pakaian-pakaian untuk kebutuhan olahraga yang hadir dalam branding AIRism. Kontrak kerja sama sepanjang 10 tahun yang termasuk kolaborasi merancang pakaian bersama Uniqlo tentunya akan menjadi investasi masa depan yang baik bagi seorang Roger Federer.
Tindakan yang dilakukan Roger sebenarnya mirip seperti banyak kontrak endorse yang juga dilakukan pemain-pemain esports. Namun dari pembahasan tersebut kita bisa belajar bagaimana Roger Federer tidak hanya tahu soal cara bermain tenis tetapi juga punya kesadaran serta begitu taktis dalam melakukan pergerakan bisnis demi menyambung hidupnya. Bukan hanya di olahraga, esports juga punya beberapa contoh kasus.
Taylor Blevins atau si “Ninja” Fortnite misalnya. Walaupun dirinya bukan pemain esports, namun kita juga bisa melihat bagiamana dia aktif melakukan pergerakan agar tetap relevan dan bertahan pekerjaannya sebagai streamergame. Selain menjadi avatar di Fortnite, Ninja juga melakukan kerja sama dengan beberapa brand seperti Red Bull, Adidas, bahkan dikabarkan akan muncul di film dan serial televisi. Hal-hal tersebut juga bisa dibilang sebagai beberapa bentuk pergerakan bisnis dari Ninja dalam memanfaatkan masa kejayaan yang sedang dijalaninya kini.
Dalam satu kesempatan, Ninja juga sempat membagikan pandangannya terhadap masa depannya saat ia mungkin sudah tak lagi digandrugi. “Hal yang terpenting adalah memahami segmentasi penggemar dan melakukan ekspansi dari sana. Saya sadar kebanyakan penggemar saya adalah anak muda. Saya juga sadar bahwa karir saya di dunia streaming tidaklah abadi. Makanya saya mulai mencoba voice acting untuk kartun atau animasi karena merasa hal tersebut masih dekat dengan segmentasi penggemar saya. Tapi menurut pandangan saya sendiri hal terpenting adalah melakukan sesuatu yang memang saya sukai.” Tutur Ninja kepada New York Times.
Masih ada juga beberapa contoh lain dari sosok esports internasional yang bermuara terjun ke bisnis di ketika mencapai masa senjanya. Salah satu contohnya seperti Mathew Haag “Nadeshot”, mantan pemain profesional, juara dunia Call of Duty tahun 2011, dan kini memanfaatkan masa kejayaan terdahulunya sebagai modal untuk membangun timnya 8-nya sendiri yaitu 100 Thieves.
Tidak usah jauh-jauh, Indonesia juga punya sosok sosok yang mirip seperti Nadeshot. Richard “frgd” Permana misalnya, bermula sebagai pemain esports dari TeamNXL dan kini berakhir sebagai CEO TeamNXL itu sendiri. Ada juga sosok seperti Gary Ongko, yang sebelumnya sempat bermain CS:GO secara semi-profesional dan kini menjadi sosok yang menggerakan BOOM Esports.
Penutup
Seperti saya katakan di awal artikel ini, bisnis sebenarnya cuma satu dari banyak kemungkinan lain yang bisa Anda lakukan saat tak lagi jadi pemain esports.
Tetap sukses atau malah jadi miliarder pasca pensiun sebagai atlet esports itu sangat mungkin, mengingat modal uang dan relasi yang dimiliki. Tapi tentunya Anda harus paham bagaimana cara melakukan keputusan bisnis yang tepat (seperti yang dilakukan Roger Federer contohnya), menjaga dan menjual citra diri Anda, serta paham ke mana menginvestasikan penghasilan yang dimiliki agar tidak salah langkah.
Pada intinya saya berharap para pembaca, terutama yang ingin meniti karir sebagai pemain esports, sadar bahwa menjadi pemain esports memang tidak sesederhana main game lalu dapat uang. Banyak hal yang harus dilakukan, banyak kewajiban yang harus dipenuhi, namun juga dengan banyak hal yang bisa dipelajari dari kesempatan yang ada.
Saya jadi ingin mengutip perkataan dari Roger Federer, bahwa hidup tidak berhenti setelah masa keemasan Anda selesai. Terlebih usia karir esports juga cenderung pendek, yang bisa jadi ada keuntungannya tersendiri; yaitu bisa merintis impian di bidang lain ketika usia Anda masih relatif muda. Semoga artikel ini bisa membantu membuka pandangan Anda dan memberi inspirasi bagi Anda yang sedang berada di jalan tersebut.
Menjadi atlet esportstidak semudah yang dibayangkan oleh banyak orang. Salah satu masalah yang harus dihadapi oleh para pemain profesional adalah tekanan mental. Tekanan mental yang dihadapi oleh seorang pemain profesional sama seperti atlet Olimpiade. Selain itu, jika tidak hati-hati, atlet esports juga bisa terkena cedera. Rotaract Club of Government College of Physiotheraphy menyelenggarakan webinar Game-O pedia untuk membahas tentang cedera yang mungkin dialami oleh atlet esports dan cara menanggulanginya.
Caitlin McGee, Dokter Terapi Fisik di 1HP Gaming dan Terapis Fisik di ATI Physical Therapy menjadi salah satu pembicara dalam webinar tersebut. Dia bercerita, saat ini, para pemain profesional mulai menyadari bahwa terapi tidak hanya bermanfaat untuk menyembuhkan cedera tapi juga dapat mencegah cedera atau bahkan meningkatkan performa para pemain. Dia memberikan contoh pentingnya dari meditasi dan latihan pernafasan.
“Penting bagi para pemain esports untuk dapat mengatur emosi mereka. Jadi, saya pikir, meditasi, yoga, dan latihan pernafasan dapat membantu para pemain untuk mengendalikan emosi mereka dan juga meminimalisir masalah fisik yang muncul karena stres. Misalnya, Anda bisa memperdalam nafas Anda, memperlambat detak jantung Anda sehingga Anda tidak merasa terlalu berdebar-debar,” kata McGee, menurut laporan Animation Express. Lebih lanjut McGee menjelaskan, dengan menenangkan diri, seorang atlet esports dapat meningkatkan akurasi mereka dan membuat keputusan lebih baik.
Pembicara lain yang hadir dalam webinar itu adalah Raul Ramirez, Dokter Terapi Fisik di AccentCare. Bersama McGee, Ramirez membahas tentang pentingnya postur yang baik saat atlet esports bermain game, baik game PC, konsol, maupun mobile. Pasalnya, bermain dalam waktu lama dengan postur tubuh yang buruk dapat menyebabkan cedera pada punggung dan leher. Salah satu cara yang bisa pemain profesional lakukan untuk mencegah cedera adalah dengan melakukan peregangan sebelum bermain.
Ramirez mengatakan, idealnya, ketika hendak bermain dalam waktu lama, seorang atlet esports duduk dalam postur netral, yang memungkinkan mereka untuk mengubah posisi. Dia menjelaskan, postur netral juga tidak membebankan otot-otot para pemain.
“Misalnya, saat bermain game di PC, Anda akan meletakkan satu tangan di atas keyboard dan satu tangan di mouse. Biasanya, masalah terjadi pada bagian belakang tangan. Namun, jika kita memperbaiki posisi duduk menjadi postur netral, tangan kita akan memiliki ruang untuk bergerak ke samping, sehingga otot pada area tangan tidak terlalu terbebani,” ujar Ramirez.
Sayangnya, tidak semua pemain esports peduli akan postur yang baik saat bermain, terutama karena kebanyakan pemain esports masih sangat muda. McGee mengaku, kebanyakan pemain esports memang hanya peduli untuk latihan bermain game, yang bisa menghabsikan waktu selama lima sampai delapan jam sehari. Namun, seorang terapis harus tahu apa yang para atlet esports inginkan dan bagaimana cara dia bisa membantu mereka.
McGee juga mengungkap, seorang terapis juga sebaiknya tidak meminta para pemain esports untuk melakukan perubahan drastis pada pola hidup mereka. Sebagai gantinya, dia menyarankan agar para terapis fokus pada salah satu masalah yang dihadapi oleh seorang pemain profesional. McGee memberikan contoh, jika seorang pemain punya masalah karena dia tidak melakukan olahraga cukup dan punya masalah dengan pola tidur, maka seorang terapis sebaiknya fokus untuk menyelesaikan salah satu masalah tersebut.
“Di komunitas esports, para pemain profesional skeptis akan manfaat yang bisa mereka dapatkan dari gaya hidup yang sehat,” ujar Ramirez. “Namun, begitu mereka melihat bukti nyata dari pola hidup sehat, mereka akan lebih tertarik untuk mencobanya.” Dia juga menjelaskan, melakukan pemanasan juga bisa membantu para pemain untuk fokus pada game. Beberapa pemanasan rutin yang dia contohkan antara lain menggenggam stress ball, memutar pergelangan tangan, dan memutar bagian pundak.
Performa atlet olahraga biasanya sangat dipengaruhi oleh kebugaran fisiknya. Seiring dengan bertambah umur, kebugaran fisik biasanya akan mengalami penurunan. Namun, itu bukan berarti seorang atlet tak lagi dapat meraih gelar juara. Serena Williams misalnya. Petenis perempuan asal Amerika Serikat itu masih bisa memenangkan Wimbledon ketika dia berusia 35 tahun. Seorang atlet biasanya mengompensasi penurunan performa akibat umur dengan bermain dengan lebih cerdas, berdasarkan pengalaman mereka.
Memang, meski kebugaran fisik seorang atlet menurun seiring dengan bertambahnya umur, pengalaman justru hanya terus bertambah. Namun, jika dibandingkan dengan atlet olahraga tradisional, umur pensiun atlet esports lebih singkat. Dari kebanyakan contoh yang kami temukan, umur pro player paling ideal ada di 20an. Padahal, jika kita melihat sejarah atlet sepak bola, Pele masih mampu membawa Brazil jadi juara dunia di usia 30 tahun (Piala Dunia tahun 1970). Buffon masih bermain untuk tim kasta tertinggi, PSG, saat sudah berusia 41 tahun. Sebaliknya, sekilas pemain esports “hanya” harus duduk di depan layar dan bermain game. Meski memang anggapan itu salah. Anda bisa membaca tentang pengorbanan yang harus dilakukan atlet esportsdi sini.
Kebugaran fisik juga penting bagi atlet esports. Hendry ‘Jothree’ Handisurya yang mewakilkan Indonesia di cabang Hearthstone dalam SEA Games 2019, pernah menjelaskan betapa pentingnya kesehatan fisik bagi seorang atlet esports. Hal lain yang penting bagi seorang pemain esports adalah reaction time, yaitu waktu yang diperlukan seseorang untuk bereaksi ketika mereka mendapatkan stimulus. Semakin baik reaction time seorang gamer, biasanya performanya juga semakin baik. Masalahnya, sama seperti kebugaran fisik, reaction time akan mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya umur.
Pada 2014, Joe Thompson — yang ketika itu masih menjadi murid Ph.D psikologi di Saint Francis University — membuat studi pada lebih dari 3.000 pemain StarCraft II pada rentang umur 16 tahun sampai 44 tahun. Dari studi itu, dia menemukan bahwa reaction time menurun seiring dengan bertambahnya umur pemain. Temuan ini tidak mengejutkan sebenarnya karena Anda juga pasti menyadari bahwa seseorang jadi lebih lambat bereaksi saat mereka bertambah tua. Satu hal yang menarik dari studi Thompson adalah reaction time mulai mengalami penurunan ketika seseorang masih sangat muda, yaitu 24 tahun. Seolah itu tidak cukup buruk, berdasarkan studi Thompson, seorang pemain tidak bisa memulihkan reaction time mereka setelah mengalami penurunan. Pertanyaannya: apakah pengalaman seorang atlet esports cukup untuk mengompensasi penurunan performa akibat turunnya reaction time?
Sama seperti atlet olahraga tradisional, seorang atlet esports juga semakin berpengalaman seiring dengan bertambahnya umur. Semakin tua seorang pemain, seharusnya mereka bisa menggunakan taktik yang lebih cerdas. Namun, tak begitu faktanya, menurut studi yang dilakukan pada 2017. Studi ini dibagi ke dalam dua bagian. Bagian pertama bertujuan untuk memahami kaitan antara tingkat kecerdasan seseorang dengan performa mereka saat bermain game MOBA seperti League of Legends dan Dota 2.
Di bagian ini, para peneliti menguji tingkat kecerdasan para pemain LoL lokal dengan meminta mereka untuk membuat strategi secara mendadak. Para peneliti kemudian membandingkan tingkat kecerdasan pemain dengan matchmaking ranking (MMR) mereka. Sesuai dugaan, semakin cerdas seseorang, semakin tinggi pula ranking-nya. Pada bagian kedua, para peneliti membandingkan ranking pemain di empat game (Destiny 2, League of Legends, Battflefield 3, dan Dota 2) dengan umur pemain. Athanasios Kokkinakis, penulis utama studi ini, menemukan, ranking tertinggi dipegang oleh pemain yang memiliki umur pada awal sampai pertengahan 20 tahun. Itu artinya, umur yang lebih tua tak menjamin strategi yang lebih baik.
Sementara itu, studi tentang dampak umur pada perilaku pemain Battlefield yang dilakukan Shoshanna Tekofsky pada 2016 menunjukkan bahwa grafik yang membandingkan umur pemain dan performa mereka biasanya memiliki bentuk U terbalik. Jadi, performa pemain remaja cukup baik, performa di awal 20-an tahun adalah yang terbaik, dan pada akhir umur 20-an, performa atlet esports akan mengalami penurunan. Untuk membuat studi ini, Tekofsky menggunakan data dari lebih dari 10 ribu pemain Battlefield.
Dia mengaitkan umur pengguna dengan berbagai achievement dalam game , seperti score, penggunaan class ability, dan apakah pemain sukses mencapai objektif dalam game. Dari studi ini, Tekofsky menemukan, rasio kill dan death tertinggi ada pada pemain pada akhir masa remaja dan pemain yang ada di awal umur 20-an. Rasio kill dan death ini mengalami penurunan pada pemain di pertengahan dan akhir 20 tahunan. “Secara umum, puncak performa terjadi ketika seseorang berumur 20-an,” kata Tekofsky, seperti dikutip dari VICE.com.
Apa itu artinya tak ada tempat untuk pemain yang berumur tua?
Ialah Stan Horaczek, seorang pria berumur 36 tahun yang ingin bermain Overwatch bersama anaknya yang berumur 9 tahun. Ketika dia masih kuliah, dia ikut serta dalam kompetisi LAN Unreal Tournament. Meskipun begitu, dia tetap kesulitan untuk bisa mengimbangi permainan sang anak. “Pada satu titik, terlihat jelas bahwa dia bermain dengan jauh lebih baik dari saya,” katanya pada VICE. “Saya senang bermain dengan anak saya, tapi saya merasa saya mengecewakannya ketika kami bermain bersama.” Karena itu, dia lalu mengambil waktu ekstra untuk berlatih dan belajar strategi dalam bermain Overwatch. Setelah sang anak tidur, dia menghabiskan waktu ekstra untuk bermain Overwatch. Tak hanya itu, dia juga membaca strategi tentang cara memainkan karakter main-nya, Moira. Pada akhirnya, Horaczek merasa dia bisa menyeimbangi permainan sang anak. Sayangnya, ini hanya berlaku ketika mereka bermain Overwatch. Saat mereka bermain game lain, seperti Fortnite, Horaczek kembali mengalami masalah. “Anak saya bisa mencoba game baru dan belajar sambil memainkannya,” kata Horaczek. “Otak tua saya tidak bisa belajar dengan kecepatan yang sama.”
Padahal, generasi milenial tumbuh besar di tengah-tengah sejumlah teknologi baru, termasuk game. Menurut Nielsen, 40 persen audiens game adalah generasi milenial. Selain itu, generasi milenial juga memainkan game online lebih sering daripada Gen X dan mereka juga menonton siaran Twitch sesering Gen Z. Generasi milenial merupakan juga generasi yang paling banyak menghabiskan uang di game jika dibandingkan dengan generasi lain. Sayangnya, ini tidak diikuti dengan performa permainan yang baik.
Memang mudah untuk menyalahkan umur atas penurunan performa seseorang dalam bermain game, baik gamer amatir ataupun profesional. Namun, keberadaan video game sendiri masih cukup muda. Studi yang dilakukan terkait performa bermain game dan umur masih belum konklusif. Masih ada banyak faktor lain yang harus dipertimbangkan tentang mengapa keahlian seseorang dalam bermain game mengalami penurunan. Salah satu faktor yang harus diperhitungkan adalah pengalaman hidup. Karena, seseorang yang tumbuh besar dengan ikut serta dalam turnamen LAN akan memiliki pengalaman berbeda dengan remaja yang tumbuh besar menonton pemain profesional bermain game esports.
Kokkinakis mengaitkan tentang performa generasi muda yang lebih baik dengan Flynn Effect. “Pada dasarnya, dalam satu abad terakhir, generasi muda memang mendapatkan nilai yang lebih baik dalam tes IQ jika dibandingkan dengan generasi tua,” kata Kokkinakis. “Sebagian orang percaya, ini karena nutrisi yang lebih baik. Sementara sebagian yang lain percaya, generasi muda lebih baik dalam mengerjakan tes.” Dia menganggap, inilah yang terjadi di dunia game dan esports. Generasi milenial memang generasi pertama yang terjun dalam competitive gaming, tapi generasi muda justru mendapatkan untung lebih besar karena mereka bisa mengakses pengetahuan yang dikumpulkan oleh generasi yang lebih tua berdasarkan pengalaman mereka. Gamer muda tak lagi perlu bereksperimen untuk menemukan strategi terbaik dalam sebuah game, mereka bisa menemukan strategi itu di internet dan menerapkannya langsung dalam game. Kokkinakis memberikan contoh, 10 tahun lalu, tips untuk bisa bermain CS:GO lebih baik mungkin hanyalah untuk menembak musuh tepat di kepala. Tapi sekarang, seorang pemain bahkan bisa melatih dirinya untuk terbiasa dengan efek recoil dari senjata.
Omongan Kokkinakis disetujui oleh Eric “adreN” Hoag, pemain CS:GO berumur 29 tahun yang kini menjadi pelatih dari Team Liquid dan pernah menjadi pemain esports selama hampir sepuluh tahun. Menurutnya, ada dua alasan mengapa pemain esports kini menjadi semakin muda. Pertama, pemain muda memiliki waktu yang lebih banyak untuk berlatih. Kedua, mereka mewarisi pengetahuan, tips, dan trik dan generasi yang lebih tua. Inilah yang menyebabkan munculnya banyak talenta muda sekarang.
“Ada begitu banyak detail di Counter-Strike, jika Anda tidak bermain terus-terusan, perlahan, performa Anda akan turun,” kata Hago. “Saat Anda masih muda, Anda bisa menemukan hal-hal kecil baru dalam game itu. Muncul banyak pemain baru, mereka hanya tahu CS:GO terbaru yang dimainkan saat ini, jadi mereka tidak punya kebiasaan buruk dari ketika mereka bermain Counter-Strike: Source, atau Counter-Strike 1.6 (yang merupakan salah satu versi tertua dari CS). Mereka lahir ketika game yang kini dipertandingkan telah ada, dan telah diketahui cara untuk mengeksploitasi game dan menguasai mekanik game. Saya rasa, bagi pemain yang lebih tua, sulit untuk menyesuaikan diri.”
Bagaimana dengan pemain profesional di Indonesia?
Farand “Koala” Kowara, yang masih aktif bermain sebagai anggota Alter Ego walau kini dia telah berumur 31 tahun, berbagi sedikit pengalamannya sebagai pemain esports. Dia bercerita, dia menjadi pemain Dota 2 profesional ketika dia masih berumur 17 tahun. Ketika itu, dia menjadi pro karena bermain memang hobinya. Dia mengakui, seiring dengan bertambahnya umur, dia merasa bahwa reaction time-nya mulai mengalami penurunan. Menurut perkiraannya, waktu reaksinya mulai mengalami penurunan pada umur 28 tahun. “Tapi, primanya sih pas umur 17 tahun,” katanya saat dihubungi oleh Hybrid.co.id melalui pesan singkat.
Sementara ketika ditanya tentang cara yang dia lakukan untuk mengatasi masalah akibat menurunnya reaction time, dia menjawab bahwa dia menjadi lebih sering bermain. “Intinya, reaction time segala macam turun belum tentu benar. Bisa jadi itu apa yang ada di kepala kita sendiri, lebih ke masalah mental saja,” ungkapnya. Sekarang, dia memang masih aktif sebagai pemain Dota 2 profesional. Namun, dia mengaku bahwa dia telah mempertimbangkan untuk pensiun beberapa kali. “Tapi ujung-ujungnya rindu adrenalin saat bertanding,” ujarnya, menjelaskan alasannya untuk kembali ke competitive gaming scene. Ke depan, dia bercerita, rencananya setelah pensiun adalah untuk menjadi shoutcaster.
Kesimpulan
Studi yang dilakukan tentang performa seorang gamer dan umur memang mengesankan bahwa tak ada lagi tempat bagi pemain esports yang sudah “berumur” — yang mungkin sebenarnya masih dianggap muda di luar scene esports. Namun, sebenarnya, tak ada yang menghentikan seseorang untuk bermain, sebagai hobi atau sebagai profesional, ketika dia telah mencapai umur tertentu. Isaak Hayik mencetak rekor sebagai pemain sepak bola profesional tertua dengan umur 73 tahun. Dan dia tetap ingin bermain. Sementara pada 2017, sebuah tim CS:GO bernama Silver Snipers menarik perhatian banyak orang karena anggotanya berada di rentang umu 62 tahun sampai 81 tahun. Ketika itu, mereka masih berlatih secara rutin dan ingin bisa bertanding di turnamen Dreamhack. Tentu saja, ketika sudah mulai menua, pencapaian seorang atlet mungkin tak lagi sehebat ketika dia masih di umur prima.
Dan jika seorang atlet esports memutuskan untuk pensiun, bukan berarti mereka tak lagi bisa berkontribusi di dunia esports. Setelah selesai berkarir sebagai pemain, seseorang bisa menjadi pelatih. Dan pelatih memiliki peran penting dalam pengembangan talenta di masa depan, walau mungkin, pelatih tak lagi jadi sorotan masyarakat. Pelatih tak hanya dicari oleh tim profesional, tapi juga sekolah yang ingin menyediakan program esports. Mantan pemain profesional juga bisa menjadi pelatih dari pemain amatir. Walau ini belum menjadi tren di Indonesia, tapi di Amerika Serikat, semakin banyak pemain amatir yang mencari pelatih untuk bisa bermain lebih baik walau mereka tak memiliki aspirasi untuk menjadi pemain profesional.
Opsi lain yang bisa dipertimbangkan mantan pemain profesional adalah dengan menjadi bagian dari manajemen tim esports. Lagi-lagi, ini adalah pekerjaan di belakang layar. Meskipun begitu, peran manajemen tim juga penting dalam keberlangsungan esports sebagai ekosistem. Jadi, bagi pemain esports yang memang merasa sudah waktunya pensiun tapi masih ingin berkecimpung di dunia esports, tak usah berkecil hati, masih ada pekerjaan lain yang bisa Anda lakukan selain menjadi pemain.