Tag Archives: Pendanaan startup 2020

Menurut laporan Alpha JWC dan Kearney, ekonomi digital di area tier 2 dan 3 diproyeksi tumbuh lima kali lipat dalam lima tahun ke depan

Alpha JWC: Kota Tier 2 dan 3 Menjadi Kunci Lompatan Ekonomi Digital di Indonesia

Alpha JWC Ventures bersama Kearney menerbitkan laporan terbaru terkait potensi pertumbuhan digital non-metropolitan di Indonesia. Laporan berjudul “Unlocking the next wave of digital growth: beyond metropolitan Indonesia” ini merupakan hasil kolaborasi dengan Credit Suisse, Amazon Web Service (AWS), dan Xiaomi Indonesia.

Dalam paparannya, Co-Founder dan General Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe mengatakan, pihaknya ingin memberikan pemahaman lebih dalam mengenai potensi pertumbuhan digital di kota-kota tier 2 dan 3 Indonesia. Tujuannya tak lain untuk menarik minat investor global sehingga dapat membantu mempercepat pertumbuhan digital di area tersebut.

Laporan ini disusun berdasarkan hasil wawancara dengan berbagai pemangku kepentingan (stakeholder) di berbagai industri yang tersebar di 13 kota tier 2 dan 3, serta hasil survei terhadap 2.100 responden consumer dan 1.100 retailer di 23 kota di Indonesia.

Investasi digital Indonesia di 2020

Sebagai pembuka, laporan ini mengungkap investasi digital di Indonesia naik dua kali lipat di 2020 dengan total nilai $4,4 miliar (Rp64,1 triliun) dari $2,1 miliar di 2019. Menariknya, meski total nilai investasi digital naik secara tahunan, jumlah kesepakatan (deal) tercatat turun dari 221 menjadi 173 deal.

“Pandemi Covid-19 membuat investasi startup di early stage hingga Pra Seri A menurun. Startup di later stage dan sudah punya traction bagus, mendapat alokasi pendanaan yang besar. Contoh, Ajaib menerima pendanaan Seri A yang saya pikir terbesar di Indonesia,” ujar Jefrey.

Menurut Jefrey, investor mengucurkan banyak investasi di Indonesia, tetapi masih menahan diri dan berhati-hati. Terlebih due diligence masih sulit dilakukan di situasi pandemi Covid-19. Kendati demikian, berdasarkan hasil wawancara dengan 15 investor, sebanyak 80% mengaku optimistis investasi di sektor digital bakal kembali naik di Indonesia.

Hal ini diperkuat sejumlah faktor, antara lain meningkatnya pertumbuhan marko ekonomi, adopsi layanan digital, hingga upaya pemerintah mendorong ekosistem startup digital di kota tier 2 dan 3.

Potensi digital non-metropolitan

Salah satu temuan menarik yang turut disoroti dalam laporan ini adalah potensi dan proyeksi kontribusi kota-kota di tier 2 dan 3 terhadap ekonomi digital Indonesia. Untuk memberikan paparan mendalam, Nielsen turut berpartisipasi memetakan informasi yang diperoleh di lapangan.

Berdasarkan klasifikasi laporan ini, tier 1 (metropolitan) terdapat 15 kota, tier 2 (rising urbanites) ada 76 kota, tier 3 (slow adopter) ada 101 kota, dan tier 4 (rigid watchers) ada 322 kota di Indonesia. Periset menggunakan beberapa skor parameter untuk mengklasifikasikan kota, antara lain expenditure per capita (35%), ukuran populasi (25%), penetrasi internet (20%), GDP provinsi (10%), dan kepadatan penduduk (10%).

Secara umum, pertumbuhan ekonomi digital di kota-kota tier 2 dan 3 diestimasi naik lima kali lipat dalam lima tahun ke depan. Dari sejumlah wawancara dengan responden C-Level di startup SME, fintech, dan social commerce, konsumen di tier 2 dan 3 tumbuh signifikan sehingga ekspektasi pertumbuhan dalam 1-2 tahun ke depan diharapkan 50% datang dari luar Pulau Jawa.

Saat ini, metropolitan tercatat masih berkontribusi besar (24%) terhadap GDP nasional. Kendati demikian, pertumbuhan ekonomi di area non-metropolitan juga meningkat pesat. Apabila potensi digital di tier 2 dan 3 dapat dikembangkan secara signifikan, kontribusi GDP-nya dapat naik 3-5% di 2030, dan GDP Jakarta otomatis bakal menyusut 5-6%.

Berdasarkan hasil survei, sebanyak 80% dari total populasi di area non-metropolitan merupakan segmen yang terlambat mengadopsi teknologi (laggards). Karena dominasi laggards di tier 2 dan 3, sebanyak 50% responden mengaku tidak tahu (aware) dengan sejumlah aktivitas digital.

Sumber: Nielsen, Kearney analysis
Sumber: Nielsen, Kearney analysis

Laporan ini menemukan bahwa e-commerce (66%) merupakan aktivitas yang paling dikenali responden. Sementara, awareness untuk aktivitas digital lain tidak sampai 50%, antara lain ride hailing (47%), food delivery (41%), edtech (30%), payment (24%), lending (11%), dan healthtech (5%).

Rendahnya awareness digital di tier 2 dan 3 disebabkan oleh sejumlah faktor. Sebanyak 53% responden mengaku sulit menggunakan layanan, 44% responden menyebut faktor harga dan promosi, dan 41% terkait ketersediaan produk. Menariknya, beberapa aktivitas digital di kota tier 1 kurang dikenali responden, yaitu lending (15-20%), edtech (<10%), healthtech (<10%). Sementara, awareness ketiga kategori layanan tersebut di tier 2 tak sampai 5%.

Menurut laporan ini, saat ini kota tier 2 dan 3 baru di tahapan memulai adopsi digital dan tertinggal 4-5 tahun adopsinya dari kota tier 1. Namun dalam analisisnya, adopsi di tier 2 dan 3 bakal meningkat di 2025 seiring dengan semakin familiar dan terbiasa konsumen menggunakan layanan digital.

Sumber: Nielsen, Kearney analysis
Sumber: Nielsen, Kearney analysis

Lebih spesifik lagi, kota tier 2 dinilai lebih siap mendongkrak pertumbuhan digital dibandingkan tier 3 dan 4. Hal ini karena semakin banyak pemain dan enabler yang fokus di area tersebut. Pemerintah juga dinilai mulai menyebarkan fokus pengembangan infrastruktur di luar Jawa, seperti Kalimantan, Sulawesi, dan provinsi di Indonesia Timur lainnya.

Yang perlu dipertimbangkan startup dan investor

Menurut Shirley Santoso, Partner dan Presiden Direktur Kearney, kunci untuk bisa melakukan leap frog ekonomi digital di Indonesia terletak pada area tier 2 dan 3. Terlebih dengan situasi pandemi, adopsi digital meningkat signifikan. “Hal ini memicu adopsi di tier 1 menjadi lebih matang dan ruang pertumbuhan mengecil. Ini membuat pelaku startup mulai ‘lari’ ke tier 2 dan 3,” tambah Shirley.

Laporan ini juga mengungkap temuan lainnya yang dapat menjadi pertimbangan startup dan investor dalam mengembangkan fokus bisnisnya ke depan. Responden di Jawa menilai ada tiga perhatian utama dalam  mengadopsi digital, yaitu (1) kemudahaan penggunaan, (2) promosi dan harga, serta (3) ketersediaan produk.

Sebaliknya, responden non-Jawa justru lebih memperhatikan aspek (1) keamanan, (2) kemudahan penggunaan, dan (3) pengiriman dalam menggunakan layanan digital.

Apabila para stakeholder dapat menyelesaikan berbagai concern di atas, termasuk peningkatan infrastruktur, porsi ekonomi digital di tier 2 dan 3 dapat meningkat di 2025. Jika dirinci, kontribusi e-commerce bisa naik dari 30% di 2020 menjadi 48% di 2025. Kontribusi payment dapat melesat dari 22% menjadi 41%, dan ride and delivery naik dari 21% ke 35%.

Secara potensi nilai, GMV e-commerce di tier 2 dan tier 3 diproyeksi naik lima kali lipat dari $9 miliar di 2020 menjadi $45 miliar di 2025, sedangkan GTV payment diestimasi tumbuh tujuh kali lipat menjadi $20 miliar di periode sama dari $3 miliar di 2020. Kemudian, porsi ride hailing and delivery diprediksi naik dari $2 miliar ke $5 miliar.

Sumber: Alpha JWC, Kearney analysis
Sumber: Alpha JWC, Kearney analysis

Sejumlah startup tier 1 sebetulnya sudah melakukan ekspansi besar-besaran ke tier 2 dan 3. Dalam catatannya, GrabKios mulai memperluas cakupan di 500 kota, Bukalapak mengklaim telah memiliki 5 juta mitra warung yang terpusat di tier 2 dan 3, serta Tokopedia yang mulai memperluas jangkauan hingga ke pedesaan .

“Krisis yang kita hadapi itu tidak hanya krisis ekonomi, tetapi juga krisis kesehatan. Situasi ini memacu kita bagaimana Indonesia dapat mengurus krisis kesehatan dan ekonomi at the same time. Indonesia sudah mulai melakukannya lewat protokol 5M, vaksinasi, dan lainnya. Ini penting untuk bisa melalui krisis dan mendorong kembali segmen travel dan transportasi,” ucap Shirley.

Pendanaan Startup Asia Tenggara 2020

Sepanjang 2020 Unicorn Indonesia Dominasi Perolehan Pendanaan di Asia Tenggara

Cento Ventures baru saja merilis laporan terbaru terkait lanskap investasi sektor teknologi di kawasan Asia Tenggara pada 2020. Dalam laporan bertajuk Southeast Asia Tech Investment 2020, total pendanaan startup di Asia Tenggara tercatat mencapai $8,2 miliar atau sebesar Rp118,8 triliun.

Nilai investasi startup di Asia tenggara dilaporkan turun 3% dibandingkan 2019. Demikian juga jumlah kesepakatan (deal) investasi merosot 8% di periode yang sama. Dari total investasi tersebut, hampir 50% dari total pendanaan di Asia tenggara masuk ke kantong startup raksasa, antara lain Grab, Gojek, Gopay, Bukalapak, dan Traveloka.

Laporan ini juga menyoroti tren pendanaan startup dengan ticket size $50-100 juta dengan total akumulasi hingga $1,1 miliar (Rp15 triliun) atau naik 26% dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara, pendanaan startup dengan ticket size $10-50 juta turun 17% menjadi $1,5 miliar atau Rp21 triliun di 2020.

Menurut pemaparan Investment Associate Cento Ventures Laphat Tantiphipop, kesepakatan investasi yang diterima startup raksasa (mega deals) biasanya mendominasi total akumulasi pendanaan. “Namun, perlu dicatat bahwa smaller deals dapat menjadi satu indikator terhadap ekosistem startup yang lebih baik,” ucapnya.

Lebih lanjut, Indonesia tercatat sebagai penerima investasi paling besar dengan porsi dua pertiga terhadap total pendanaan di Asia Tenggara. Utamanya ini dipicu oleh investasi ke Gojek dan sejumlah deal besar lain, seperti Bukalapak, Kopi Kenangan, Waresix, dan LinkAja.

Tren kenaikan investasi juga terjadi di sejumlah negara, yaitu Malaysia, Thailand, dan Filipina. Sementara, Vietnam justru mengalami penurunan signifikan di 2020 karena sejumlah startup later stage di sana sudah menutup putaran pendanaan dengan nilai besar di 2019.

Sebagai catatan, data ini mengecualikan pendanaan yang diterima grup besar di kawasan tersebut, yaitu Grab, Sea Group, dan Lazada, untuk menghindari bias tren investasi di negara tertentu.

Dari sisi vertikal bisnis, laporan ini juga menemukan bahwa fintech menjadi sektor yang paling banyak memperoleh kesepakatan investasi di Indonesia atau sekitar 51% dibandingkan negara lainnya.

Asia Tenggara paling resilient

Jika dibanding negara-negara besar lain, pasar di Asia Tenggara mengalami dampak fluktuatif paling rendah dalam hal investasi. Partner di Cento Ventures Mark Suckling mengatakan volume investasi di kawasan ini memang menurun, tetapi tidak terlalu signifikan.

Berbeda dengan sejumlah negara lain di luar kawasan ini yang mengalami penurunan tajam, baik dari volume maupun jumlah deal investasi. Asia Tenggara mencatat penurunan volume investasi dan jumlah deal masing-masing 3% dan 8%.

Penurunan ini masih lebih baik daripada Tiongkok yang volume investasinya naik 6%, tetapi deal-nya turun 20%. Sebaliknya, deal investasi di India naik 3%, tetapi volumenya terjun ke 31%.

Tren “exit

Dalam laporannya, Cento mencatat jumlah aksi exit di 2020 tidak jauh berbeda dengan pencapaian di 2018, yaitu dengan nilai di bawah $1 miliar. Menurut Cento, tren ini dinilai wajar mengingat sejumlah rencana exit potensial bernilai besar terpaksa ditunda akibat pandemi. Kebijakan travel restriction menyulitkan proses due dilligence sejumlah rencana exit.

Hal ini salah satunya tercermin dari upaya liquidity dan proceeds untuk nilai $50-100 juta yang turun dari 6 aksi ($404 juta) di 2019 menjadi 3 ($221 juta) di 2020. Yang cukup signifikan adalah upaya liquidity dan proceeds untuk nilai di atas $100 juta merosot dari 5 aksi ($2,09 miliar) di 2019 menjadi 1 aksi ($176 juta) di 2020.

Di Indonesia, strategi exit di sepanjang 2020 cukup banyak terjadi. Mengacu Startup Report 2020 oleh DailySocial, terdapat 13 aksi korporasi melalui skema merger and acquisitions (M&A). Salah satunya adalah akuisisi startup SaaS Moka oleh Gojek pada April 2020. Selain itu, laporan ini juga mencatat dua IPO yang dilakukan oleh startup Indonesia, yakni Pigijo dan Cashlez masing-masing dengan nilai kapitalisasi pasar sebesar Rp17,57 miliar dan Rp400,71 miliar.

Beberapa startup unicorn telah memberikan sinyal untuk melakukan IPO, seperti Gojek, Tokopedia, dan Bukalapak. Demikian juga kabar aksi merger yang akan dilakukan Gojek dan Tokopedia di mana keduanya dikabarkan telah melakukan perjanjian jual beli saham bersyarat (conditional sales purchase agreement/CSPA).

Gambar Header: Depositphotos.com

New Energy Nexus fokus pada pendanaan startup di bidang energi terbarukan

New Energy Nexus Umumkan Pendanaan Pertama, Fokus pada Startup Energi Terbarukan di Indonesia

Lembaga non-profit global New Energy Nexus resmi mengumumkan debut pendanaan di Indonesia kepada PT Bina Usaha Lintas Ekonomi (BLUE), sebuah startup di bidang energi terbarukan dengan nilai pendanaan yang tidak disebutkan.

BLUE menyediakan solusi satu atap untuk barang dan jasa energi terbarukan melalui marketplace Warung Energi. Selain itu, BLUE juga mengembangkan solusi B2B energi surya untuk sistem energi surya secara komersial, industrial, maupun tersentralisasi bagi wilayah perkotaan dan pedesaan di Indonesia.

Adapun, BLUE berpartisipasi pada program inkubasi Smart Energy pada akhir 2019 dan berlanjut ke program akselerasinya di 2020.

Dalam keterangan resminya, Direktur Investasi New Energy Nexus Indonesia Yeni Tjiunardi mengungkapkan bahwa pendanaan perdana ini sekaligus menandakan peluncuran program “Indonesia 1 Fund”. Fokusnya adalah membuka pintu terhadap startup energi terbarukan di Indonesia, dari di tahap seed hingga seri A.

Indonesia 1 Fund akan difokuskan untuk sepuluh area utama, antara lain renewable energy, smart grid, energy efficiency, energy management, customer experience, e-mobility, business model innovation, Internet of Things (IoT) & digitization, serta energy access & energy storage.

Sementara, CEO BLUE Abu Bakar Abdul Karim Almukmin mengatakan bahwa pendanaan ini digunakan untuk memperkuat fondasi perusahaan agar dapat menopang perkembangan strategis yang akan dilakukan selama dua tahun ke depan.

Berupaya menutup gap investasi energi terbarukan di Indonesia

Dihubungi DailySocial secara terpisah, Yeni mengungkapkan bahwa sejak hadir di Indonesia pada 2018, New Nexus Energy telah memiliki 35 startup yang berpartisipasi lewat program inkubasi dan akselerasi Smart Energy.  Satu di antaranya, BLUE, telah memperoleh pendanaan komersial dan lima startup lainnya telah menerima grant.

Sesuai misinya, New Nexus Energy mendukung pelaku usaha di bidang clean energy melalui pendanaan dan program akselerasi. Diawali di California, Amerika Serikat (AS), kini New Energy Nexus juga memperluas cakupan program dan investasinya di Tiongkok, India, Asia Tenggara, dan Afrika Timur.

Kendati demikian, Yeni menilai bahwa masih ada banyak persepsi bahwa investasi pada usaha di bidang ini sulit untuk bisa profitable, atau anggapannya baru terealisasi dalam jangka waktu yang panjang. Persepsi ini membuat jumlah investor peminat menjadi terbatas.

Maka itu, New Energy Nexus berupaya menjembatani gap investasi di early stage yang dihadapi para startup ini, investor saling menunggu siapa yang akan mengambil langkah pertama. “Padahal, sama seperti early stage investment di bidang lainnya, yang membedakan kesuksesan dan perjalanan bisnis setiap perusahaan adalah kemampuan eksekusi dan pemahaman pasar dari tim tersebut,” ungkapnya.

Lebih lanjut, ia menilai bahwa situasi pandemi menjadi momentum bagi setiap orang untuk berpikir tentang inovasi dan alternatif dari bisnis pada umumnya. Dengan situasi ini, ia melihat semakin banyak pihak memahami dan meyakini potensi ekonomi dari energi terbarukan.

“Investasi ini dapat membantu mempercepat transisi Indonesia ke sistem ekonomi berbasis energi terbarukan,” tuturnya.

Mengingat baru debut pendanaan, saat ini pihaknya berupaya memberikan dukungan berkesinambungan. Pihaknya juga berencana menerapkan pengukuran efektivitas dampak dengan mengacu pada pengalamannya berinvestasi di California dan India.

Saat ini, pihaknya sedang melakukan outreach melalui sejumlah program, yaitu Connex Energy Meetup, (RE)Charge Series Bootcamp, serta program inkubasi dan akselerasi Smart Energy. Penjaringan dilakukan hingga pertengahan November 2020, dengan sesi cohort dimulai pada kuartal keempat 2020.

“Hipotesis kami mengacu pada identifikasi hingga eksekusi model bisnis sesuai kondisi pasar yang punya peluang keberhasilan besar. Tentu kami lihat komposisi tim dan potensi impact (lingkungan, ekonomi, livelihood). Tujuan utama kami memberi dukungan agar mereka bisa berkembang dan menjadi profitable.  Mereka bisa memberikan dampak dengan mengadopsi bisnis berbasis low carbon economy.” Tutupnya.

Pendanaan di semester I 2020 naik dibanding periode sama 2019, tetapi tidak signifikan. Diperkirakan bakal ada perlambatan iklim investasi di semester II.

Tren Perlambatan Iklim Investasi Startup Indonesia di Semester II 2020

Pandemi Covid-19 belum usai, perekenomian juga belum pulih. Indonesia bisa masuk ke periode resesi apabila perekonomian masih mencatat pertumbuhan minus di kuartal III 2020 .

Seluruh sektor bisnis dan industri saat ini sedang mengalami masa sulit karena pandemi. Meskipun demikian, ada juga yang melihat situasi ini sebagai momentum untuk mengakselerasi peran digitalisasi. Ini juga menjadi salah satu manuver terhadap perubahan pasar dan perilaku konsumen di tengah pandemi.

Bagaimana pencapaian transaksi pendanaan startup di Indonesia di semester I 2020 dan seperti apa tren selanjutnya di penghujung 2020?

Pendanaan di semester I 2020

Sebagaimana diberitakan Nikkei, tren investasi di Asia Tenggara justru melonjak pada kuartal II 2020 (periode April-Juni). Pandemi menjadi momentum bagi pelaku bisnis e-commerce dan fintech untuk memperoleh traksi layanan besar seiring dengan kebijakan pemerintah untuk melaksanakan pembatasan sosial dan Work From Home (WFH).

Menurut data DealStreetAsia, Indonesia menyumbang transaksi terbanyak pada periode tersebut dengan 45,8 persen dibandingkan negara lain di kawasan Asia Tenggara. Terbanyak kedua dan ketiga adalah Singapura (33,2%) dan Vietnam (7,9%).

Pada semester I 2020, DailySocial mencatat sebanyak 52 transaksi pendanaan startup Indonesia yang diumumkan. Apabila dibandingkan dengan periode sama tahun lalu, memang ada peningkatan dari sebanyak 50 transaksi pendanaan, tetapi tidak signifikan.

Pendanaan Startup Indonesia Semester I 2020 / DailySocial
Pendanaan Startup Indonesia Semester I 2020 / DailySocial

Jumlah transaksi ini sebetulnya bisa lebih meningkat lebih besar dibandingkan periode sama tahun lalu. Hanya saja pandemi juga mengakibatkan sejumlah kesepakatan pendanaan menjadi mundur dari target semula.

Misalnya, Paxel awalnya menargetkan dapat mengantongi pendanaan baru di kuartal II 2020. Namun, rencana ini terpaksa diundur pada kuartal III 2020. Sementara, Mbiz mengaku kesulitan mencari investor baru karena situasi ini. Bahkan perusahaan di bidang e-procurement ini harus merevisi target penggalangan dana.

Dari sisi tahapan, startup pemula (seed) masih mendominasi transaksi pendanaan. Sementara, startup fintech dan edtech menjadi vertikal bisnis yang paling banyak memperoleh suntikan investasi di semester I 2020.

Tren investasi di kuartal III mulai melambat?

Kuartal ketiga 2020 memang belum berakhir. Namun, berdasarkan data yang dirangkum DailySocial, tren investasi pada kuartal ini terbilang cukup melambat.

Pada periode Juli hingga saat ini (year-to-date), terdapat sebanyak 19 transaksi pendanaan startup di Indonesia. Sebagai gambaran, pada kuartal ketiga 2019 terdapat 30 transaksi pendanaan yang diumumkan sebagaimana dirangkum pada Startup Report 2019.

Beberapa di antaranya berasal dari startup unicorn dan tahap lanjut, yaitu Traveloka dengan perolehan dana sebesar Rp3,6 triliun dan Sociolla sebesar Rp841 miliar.

Valuasi Traveloka sendiri diestimasi turun menjadi $2,75 miliar (hampir Rp40 triliun) demi memperoleh suntikan dana segar ini. Aksi down round ini terpaksa diambil karena bisnis perusahaan terpukul akibat Covid-19 sehingga mengakibatkan penurunan layanan.

Lebih lanjut, perolehan investasi periode Juli hingga awal September ini masih didominasi oleh beberapa vertikal bisnis yang mendapatkan keuntungan dari situasi saat ini, misalnya beautytech, e-commerce, logistik, dan fintech.

Startup Vertikal Bisnis Pendanaan
Sociolla Beautytech Series E
Payfazz  Fintech Series B
TiinTiin E-commerce Seed
SYCA Beautytech Seed
Kiddo  Edtech  Seed
Traveloka  OTA Series Unknown
Ayoconnect  Fintech Pre-Series B
Wahyoo  Social Enterprise Series A
CrediBook  Fintech  Seed
eFishery  Aquatech Series B
IUIGA E-commerce Series Unknown
BukuKas SaaS Pre-Series A
Tjetak Others Series A
SIRCLO E-commerce Enabler Series B
PasarPolis  Insurtech Series B
PropertyGuru Group Proptech Series Unknown
Webtrace Logistik Seed
CredoLab  Fintech Series A

Akselerasi digital picu optimisme iklim investasi

Dihubungi secara terpisah, Managing Partner MDI Ventures Kenneth Li mengungkap bahwa tren pendanaan startup di kuartal keempat 2020 diprediksi tetap lebih lambat dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini mengingat situasi pandemi masih berlanjut dan perekonomian belum pulih.

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2020 minus 5,32 persen (year-on-year). Pertumbuhan ini terburuk sejak krisis 1998 di Indonesia. Belum lagi, Jakarta kembali menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) jilid dua mulai pekan ketiga September ini.

Kendati demikian, Kenneth mengaku optismistis terhadap tren investasi ke depan mengingat ada banyak vertikal bisnis startup yang justru terdampak positif dari kondisi ini. Hal ini terutama berkaitan dengan akselerasi kapabilitas digital menjadi lebih cepat dan urgent.

Ia juga melihat ke depannya bisa saja jadi momentum konsolidasi lewat merger dan akuisisi (M&A) bagi industri startup. “Ini karena sekaligus mengevaluasi apakah para founder startup tersebut memiliki kemampuan untuk bertahan. Cara bertahan itu banyak, bisa lewat galang pendanaan baru, pivot, dan konsolidasi,” ujarnya kepada DailySocial.

Sebelumnya, perusahaan VC raksasa Sequoia Capital telah memperingatkan bahwa penyebaran COVID-19 bakal memberikan efek turbulensi terhadap bisnis dan iklim investasi di industri startup dunia. Sequoia bahkan menyebut Covid-19 sebagai “The Black Swan di 2020”.

Sequoia memperingatkan seluruh ekosistem startup dan turunannya untuk memikirkan ulang sejumlah aspek bisnisnya di sepanjang tahun ini. “Meskipun mungkin bisnis Anda belum akan terdampak langsung dari kasus ini, Anda perlu mengantisipasi bahwa konsumen bisa saja mengubah spending habit mereka,” menurut Sequoia.