Dignitas meluncurkan platform baru bernama _FE untuk mengembangkan ekosistem esports perempuan. Dalam tiga bulan ke depan, _FE akan meluncurkan berbagai program untuk mendukung atlet esports dan kreator konten perempuan, baik yang masih ada di tingkat pemula serta amatir, maupun yang sudah menjadi profesional.
Salah satu program tersebut adalah diskusi rutin untuk membahas tentang berbagai isu yang dihadapi oleh perempuan di dunia gaming. Selain itu, _FE juga akan membuat situs yang berisi konten gaming perempuan, jadwal kompetisi esports perempuan, serta artikel tentang para perempuan di dunia gaming. Melalui _FE, Dignitas juga akan mengadakan seminar edukasi virtual bagi perempuan yang tertarik untuk masuk ke dunia esports, baik sebagai pemain profesional atau streamer, maupun sebagai orang-orang yang bekerja di balik layar, seperti analis merek atau manajer media sosial.
Beberapa program lain yang _FE adakan antara lain menyelenggarakan kompetisi untuk gamer perempuan, membangun komunitas di Discord, membuat merek pakaian khusus gamer perempuan, mengadakan acara di markas Dignitas di Los Angeles dan New York, serta merekrut pemain profesional dan kreator konten baru.
Inisiatif _FE akan akan dipimpin oleh Heather “sapphiRe” Garozzo, Vice President of Talent, Dignitas. Garozzo tak hanya pernah menjadi juara Counter-Strike: Global Offensive World Champion, dia juga memiliki pengalmaan hampir 20 tahun dalam dunia esports, broadcast, marketing, dan manajemen talenta. Dia juga merupakan satu-satunya perempuan yang pernah masuk dalam Hall of Fame milik Esports Insider.
“Konsep untuk membuat _FE telah ada sejak awal 2017, ketika Dignitas merekrut tim khusus perempuan, yang bertanding dengan nama Dignitas FE,” kata Garozzo pada GamesBeat. “Perempuan yang bekerja di Dignitas, baik sebagai pemain profesional, streamer, maupun eksekutif, sangat tertarik untuk mendukung gamer perempuan muda.”
Lebih lanjut, Garozzo berkata, “Semua pekerja perempuan Dignitas pernah berbagi pengalaman mereka di dunia gaming dalam diskusi di berbagai universitas. Tahun ini, kami ingin bisa membagikan pengetahuan kami dan memberikan dukungan kami pada komunitas gaming dalam lingkup yang lebih luas.”
Saat ini, tim perempuan Dignitas terdiri dari lima orang. Tim yang berlaga di CS:GO dan Valorant itu dipimpin oleh Emmalee “Emuhleet” Garrido, yang pernah memenangkan CS:GO World Champion dua kali. Dia merupakan salah satu perempuan paling sukses di dunia esports. Empat anggota tim Dignitas FE lainnya adalah Amanda “rain” Smith dari Kanada, Kiara “milk” Makua dari Hawaii, Melisa “Theia” Mundorff dari AS, dan Juliana “showliana” Maransaldi dari Brasil.
Dignitas juga memiliki dua kreator konten perempuan, yaitu Hercurlyse dan artStar. Hercurlyse merupakan bintang TikTok dengan 20 ribu pengikut baru setiap bulannya. Sementara Carolyn “artStar” Noquez pernah dua kali menjadi Female World Champion sebelum memutuskan untuk menjadi streamer di Twitch.
Industri gaming dan esports dikenal sebagai dunia yang masih didominasi oleh pria. Menurut data dari perusahaan riset pasar Interpret, jumlah pemain perempuan di game esports untuk PC dan konsol hanya mencapai 35 persen dari total, sementara jumlah penonton esports perempuan justru lebih rendah lagi pada angka 30 persen.
Menariknya, jumlah penonton esports perempuan menunjukkan kenaikan. Jumlah penonton esports perempuan pada Q4 2018 naik 6,5 persen jika dibandingkan pada periode yang sama dua tahun sebelumnya. Kemungkinan, alasan naiknya penonton esports perempuan ini adalah karena semakin populernya esports mobile. Tidak heran, meskipun jumlah perempuan yang memainkan game di konsol dan PC relatif rendah, tapi perempuan justru lebih aktif dalam bermain game mobile, yang dikategorikan sebagai casual gaming. Masih menurut Interpret, 66 persen pemain game kasual adalah perempuan.
Sementara itu, dari segi industri esports, tim-tim besar juga mulai melirik pemain perempuan. Pada akhir lalu, FaZe Clan memberikan kejutan pada para timnya dengan merekrut Soleil “Ewok” Wheeler. Selain itu, ada juga tim besar yang membentuk tim khusus perempuan, seperti Gen.G yang bekerja sama dengan aplikasi kencan Bumble untuk membentuk tim esports khusus perempuan. Di Indonesia, Anda juga akan menemukan tim-tim esports besar yang membuat tim khusus perempuan. Salah satunya adalah Belletron, divisi perempuan dari Bigetron.
Saat ini, Belletron memiliki tiga divisi, yaitu PUBG Mobile, Mobile Legends, dan Free Fire. Semetara Bigetron memiliki 7 divisi, yaitu PUBG Mobile, Mobile Legends, Free Fire, Arena of Valor, Apex Legends, Auto Chess, dan Tekken 7.
“Selama ini scene esports di Indonesia sangat identik dengan kaum laki-laki. Masih sedikit organisasi-organisasi esports yang berani memberikan full support bagi player perempuan. Saya melihat peluang ini dan saya berani terjun untuk mengembangkan potensi dari para player perempuan,” kata Martin “Lalice” Januar, Manager Belletron Esports dalam pernyataan resmi.
“Ini terbukti dari kesuksesan di PINC Ladies kemarin yang bukan dari kerja keras saya pribadi seorang namun itu adalah berkat usaha, komitmen, dan latihan rutin para pemain serta para staff yang terlibat membantu kesiapan para player. Saya berharap, prestasi ini mampu membuat organisasi esports ataupun event organizer agar lebih memberi ruang berkembang bagi para player perempuan dengan meningkatkan jumlah turnamen atau event lainnya.”
Di kancah global, turnamen esports khusus untuk perempuan juga telah muncul. Salah satu yang kompetisi terbaru adalah DreamHack Showdown. turnamen yang diadakan pada awal Juli itu mempertandingkan CS:GO. DreamHack AB Co-CEO Marcus Lindmark mengatakan bahwa alasan mereka mengadakan turnamen tersebut adalah karena mereka ingin menggandeng semua kalangan, termasuk pemain profesional perempuan lapor Esports Insider.
Perbedaan Bigetron dan Belletron
Selain gender pemainnya, ada satu hal lain yang membedakan antara Bigetron dan Belletron, yaitu porsi latihan. PR Manager Bigetron, Aris Nugraha mengatakan bahwa waktu latihan tim Belletron tidak seketat tim Bigetron.
“Belletron dapat dikatakan player-nya part time,” kata PR Manager Bigetron, Aris Nugraha saat dihubungi melalui pesan singkat. “Serta jadwalnya lebih fleksibel karena kebanyakan pemainnya masih sibuk dengan sekolah atau kuliah.” Meskipun berdiri sebagai tim yang terpisah, Aris berkata bahwa anggota tim Bigetron dan Belletron bisa saling “sharing knowledge” untuk meningkatkan kemampuan diri.
Meskipun memiliki porsi latihan yang lebih ringan, Belletron tetap berhasil meraih prestasi. Mereka berhasil memenangkan PUBG Mobile Indonesia National Championship (PINC) Ladies Season 1 pada Juli lalu. Selain itu, mereka juga memenangkan Princess Cup Season 2 untuk divisi Arena of Valor.
Selain juara di PINC Ladies Season 1 dan Princess Cup Season 2, satu hal lain yang dibanggakan oleh Belletron adalah jumlah pengikut di media sosialnya. Secara keseluruhan, total pengikut akun resmi anggota tim Belletron telah mencapai satu juta. Konten akun resmi Belletron sedikit berbeda dengan Bigetron. Tidak hanya konten tentang prestasi yang dicapai dan perkenalan anggota, di akun itu, anggota Belletron juga sesekali tebar pesona.
Sebenarnya itu bukan hal yang aneh. Sebelum ini, Hybrid juga pernah membahas bagaimana selebriti gaming perempuan biasanya menggunakan penampilan, baik wajah atau tubuh yang menarik, sebagai senjata utama untuk menarik audiens.
Bagi Belletron, pencapaiannya yang sekarang hanyalah langkah pertama. Ke depan, mereka berharap prestasi mereka dapat membuka jalan untuk memudahkan perempuan untuk bekerja di industri esports. “Langkah berikutnya dari Belletron adalah kami ingin menjadi organisasi esports khusus ladies terbaik di Indonesia maupun internasional,” tutup Aris.
Bagi Anda pemerhati industri ataupun fans esports Indonesia, Anda mungkin akan menemukan sejumlah foto ataupun video gadis-gadis cantik yang mendapat predikat Brand Ambassador (BA) di media sosial tim-tim esports dalam negeri.
Jika Anda cukup kritis, Anda mungkin akan menyadari bahwa tren ini anomali karena tidak ada gadis-gadis berparas rupawan yang diberi label BA esports tadi di media sosial tim-tim besar luar negeri (seperti Fnatic, Team Liquid, SKT T1, Astralis, dkk.). Di tim sepakbola Indonesia, seperti Persija dan Persib, tren ini juga tidak ditemukan. Di tim olahraga luar negeri pun (macam Juventus, Barcelona, ataupun LA Lakers) saya tidak menemukan penampakan gadis-gadis muda yang jadi bintang iklan tim tersebut di media sosialnya masing-masing.
Sebelum lebih jauh, saya ingin katakan terlebih dahulu bahwa tulisan ini ditujukan untuk mempertanyakan signifikansi tren gadis-gadis yang jadi BA esports ke ekosistem kita di Indonesia.
Namun demikian, berhubung saya juga tidak ingin meremehkan ataupun mencederai intelektualitas Anda, saya telah menghubungi berbagai pihak terkait untuk menjawab kenapa tren ini ada di Indonesia sebelum mencoba mengurai signifikansinya.
Kali ini, saya telah menghubungi Justin W (Managing Director untuk ONIC Esports), Yohannes Siagian (Vice President EVOS Esports), Gary Ongko (Owner/CEO dari BOOM ID), dan Agustian Hwang (Country Manager untuk MET Events) untuk mencoba memahami tren ini dari perspektif yang berbeda-beda.
Definisi BA Esports
Jujur saja, dari awal saya katakan, saya sebenarnya kurang setuju dengan istilah brand ambassador untuk kebanyakan gadis-gadis yang saya maksud di atas. Pasalnya, brand ambassador harusnya lebih dari sekadar jadi bintang iklan.
Icha “Mochalatte” Annisa, salah satu talent untuk MET Events dan dikenal sebagai shoutcaster untuk PUBGM dan Free Fire, juga sempat saya tanyai pendapatnya saat bertandang ke kantor Hybrid. Icha juga mempertanyakan kualifikasi apa yang membuat seseorang bisa disebut jadi BA tadi? “Apakah cukup dengan cantik dan hobi bermain game? Mungkin sebenarnya lebih tepat disebut sebagai talent saja, seperti saya di MET Events.” Ujar gadis cantik yang lebih memilih berperan sebagai shoutcaster ini.
Saya sepenuhnya setuju dengan pendapat Icha tadi. Pasalnya, memang ada tokoh-tokoh di ekosistem kita yang memang sudah layak disebut BA untuk timnya masing-masing. Icha sendiri menyebutkan nama Audrey dari FFGaming sebagai contoh. Sedangkan saya menambahkan nama Richard Permana dari TEAMnxl.
Menurut Justin, ONIC Esports juga sebenarnya tidak mengenal posisi BA esports. Ia berpendapat bahwa BA esports itu deskjob nya tidak jelas. “Kalau dari kita, ga bisa nemuin (deskjob-nya) itu. Mungkin tim lain ada ya. Mungkin dari tim lain ada ya. Kalau kita ga ada. Kita bisa aja punya talent cewek dan dianggap BA sama khalayak luas. Namun, internally, kita sendiri enggak pakai istilah BA.” Ujar sang Managing Director yang timnya baru saja memenangkan MSC 2019.
Dengan demikian, gadis-gadis yang tadi saya sebut sebagai BA tadi, selanjutnya akan saya sebut sebagai talent di artikel ini. Lalu pertanyaannya, kenapa ada tren talent gadis-gadis cantik di Indonesia? Inilah 3 jawaban yang saya dapatkan.
1. Jalan pintas menuju popularitas
Buat Anda yang cukup kritis memperhatikan postingan di media sosial, Anda akan melihat bahwa akun gadis-gadis cantik memang lebih mudah mendapatkan angka engagement tinggi. Mereka-mereka yang berparas pas-pasan mungkin harus punya prestasi tersendiri untuk menyamai tingkat engagement yang sama dengan postingan selfie mereka yang rupawan.
Padahal, punya prestasi di bidang apapun itu faktanya tidak mudah dan tidak murah. Demikian juga dengan tim-tim esports. Jadi juara tingkat Minor ataupun kompetisi tingkat internasional itu jelas lebih sulit ketimbang membayar gadis-gadis ABG sebagai model iklan.
Membangun tim yang mampu menjuarai kompetisi tingkat internasional jelas tidak murah karena butuh pemain-pemain berbakat, manajemen yang baik, ataupun pelatih juga yang jelas tidak murahan. Ditambah lagi, butuh waktu juga untuk mengasah kemampuan para pemainnya. Sedangkan membayar gadis-gadis untuk jadi talent itu sebenarnya bisa dibilang jauh lebih murah.
Menurut cerita-cerita yang saya dengar langsung dari orang-orang belakang layar, para gadis yang jadi bintang iklan tim esports tadi range gajinya mulai dari bayaran setingkat UMR sampai belasan juta Rupiah. Sedangkan membangun tim juara ongkosnya bisa mencapai puluhan atau bahkan ratusan juta Rupiah.
Ditambah lagi, uang itu juga mudah dicari. Sedangkan pengalaman itu tak hanya butuh uang tapi juga butuh waktu yang tidak sebentar.
2. Kondisi pasar esports Indonesia
Faktanya, segala sesuatu yang berhubungan dengan eksploitasi asmara atau bahkan seksualitas itu punya peluang besar untuk laris manis di pasaran, di berbagai penjuru dunia. Namun bedanya, para pejuang feminisme di komunitas barat itu jauh lebih agresif dari pada di Indonesia.
Hal itu juga yang dipercayai oleh Yohannes Siagian. Menurutnya, jika tren ini dilakukan di tim-tim luar, hal tersebut justru malah bisa mendatangkan kritikan.
“Kalau melihat situasi entertainment dan celebrity dunia dengan adanya gerakan #metoo dan aksi-aksi lain yang mengedepankan kesetaraan hak wanita dan menuntut tidak adanya diskriminasi terhadap wanita, bisa saja sebuah tim esports atau franchise olahraga lain di USA atau Eropa justru mendapat backlash yang negatif apabila mereka mempromosikan seorang BA berdasarkan kecantikan atau penampilannya.” Jelas Yohannes yang juga merupakan Kepala Pengembangan Program Esports Sekolah PSKD.
Di sisi lain, selain soal budaya massa pasar esports Indonesia, jumlah pasar esports Indonesia sendiri juga sebenarnya tidak sebesar yang dibayangkan. Padahal, jumlah fans-fans atau follower inilah yang biasanya dilihat dan dihitung oleh sponsor. Tim-tim mancanegara (macam Fnatic, Liquid, Astralis, dkk.) mungkin memang kelihatannya besar jumlahnya namun, faktanya, fans mereka tidak hanya berasal dari satu negara.
Hal inilah mungkin yang tidak disadari banyak orang melihat jumlah fans tim-tim esports internasional. Jumlah fans dari berbagai negara itulah yang membuat jumlahnya besar. Sedangkan fans-fans tim esports dalam negeri biasanya berasal dari Indonesia, mengingat kebanyakan konten media sosial tim-tim esports dalam negeri memang masih berbahasa Indonesia.
Gary Ongko, bos besar dari BOOM ID juga sudah menyadari hal ini. “Masalahnya sekarang kan tim-tim Indonesia belum rutin masuk kompetisi internasional (Minor, Major, ESL Pro League, dkk.). Mungkin nanti gayanya (pakai talent-talent gadis cantik) bisa berubah kalau udah rutin ikut turnamen-turnamen besar (tingkat dunia).”
3. Paradigma industri di usia remaja
Industri digital di Indonesia sendiri memang mungkin masih remaja. Karena itulah, para pelakunya juga mungkin masih sangat terpaku pada tolak ukur kuantitas user semata dalam waktu secepat-cepatnya.
Khusus untuk poin ketiga, pendapat ini merupakan hasil dari pengamatan saya pribadi sebagai orang berkecimpung di industri game dan mediadari tahun 2008. Tolak ukur kesuksesan yang terpaku pada sebatas kuantitas dan serba instan ini bisa ditemukan di semua sisi pelaku industrinya, mulai dari media, content creator, tim esports, event organizer, dan juga sponsor.
Memang, saya juga tidak menafikkan bahwa sudah ada juga yang mulai menyadari pentingnya mengejar tolak ukur lain seperti kualitas user (karena faktanya memang ada yang namanya good quality user) ataupun kualitas content. Ada juga yang menyadari bahwa kesuksesan itu butuh waktu dan proses yang tidak sebentar.
Saya pribadi pun sebenarnya tidak bisa menyalahkan paradigma tadi karena saya kira proses pendewasaan industri memang harus melalui fase itu. Ibaratnya, kebanyakan kaum muda itu ya memang maunya jadi selebriti yang tenar dan dikagumi semua orang dalam waktu sesingkat-singkatnya. Namun seiring waktu kita jadi dewasa, kita tahu bahwa ada banyak hal lain yang seharusnya dikejar selain soal ketenaran. Semakin dewasa, saya kira kita juga semakin sabar menjalani proses.
Sebelum ada yang protes, saya pakai kata ‘dewasa’ ya; bukan tua…
Idealnya, bagi saya pribadi, kualitas dan kuantitas (baik itu user ataupun content) itu berbanding lurus. Namun demikian kesulitannya adalah standar kualitas itu juga yang mungkin berbeda-beda, sesuai dengan pengalaman masing-masing individunya.
Saya juga sebenarnya percaya bahwa industri (baik pelaku ataupun pasar) apapun itu juga lambat laun akan semakin dewasa, yang membedakan hanyalah soal waktu; siapa sajakah yang lebih dulu dewasa. Namun demikian, kita sebagai bagian dari pelaku ataupun pasar esports Indonesia, kita juga bisa memilih untuk mengambil peran dalam mendewasakan industri.
4. Skill komersial pemain masih yang perlu diasah
Seperti yang pernah saya tuliskan juga saat saya mencoba mengurai permasalahan ekosistem Dota 2 di Indonesia, tren gadis-gadis yang jadi pemandu sorak di ekosistem esports Indonesia ini juga terkait dengan minimnya skill komersial para pro player esports di Indonesia.
Pasalnya, di luar negeri, peran-peran brand ambassador itu justru tidak jarang juga dipanggul oleh para pemain timnya. Gary mencontohkan jika Fnatic punya pindaPanda dan iceiceice yang bisa mempromosikan brand tim tersebut. Mereka bisa jadi icon tim tersebut meski jabatannya bukan BA. Sedangkan Yohannes juga menambahkan para icon dari tim olahraga yang juga bisa memainkan peran sebagai BA, seperti Ronaldinho untuk Barcelona ataupun Magic Johnson untuk LA Lakers.
Di Indonesia sendiri, memang sayangnya belum banyak para pemain yang punya kemampuan dari sisi komersial tadi. Jika saya harus memberi contoh, 2 nama pemain Indonesia yang langsung muncul di kepala saya adalah Richard Permana dari TEAMnxl> dan JessNoLimit dari EVOS Esports. Keduanya berperan aktif berinteraksi dengan komunitas ataupun media membawa bendera timnya masing-masing, sebagaimana peran BA yang semestinya – bukan hanya sebatas jadi bintang iklan.
Agustian Hwang, yang merintis perjuangan MET di Indonesia sampai sebesar sekarang ini, mengatakan, “Kesulitannya dari para player yang existing mayoritas belum fokus pada pengembangan diri dari sisi komersialnya.”
Saya tahu memang sebenarnya tidak mudah menemukan individu-individu yang punya kapasitas di dua hal yang berbeda, misalnya punya paras yang rupawan tapi juga cukup lincah bermain game seperti ohbaby dari IOG ataupun cukup pintar berbicara seperti Mochalatte di atas. Ataupun, jago bermain game tetapi juga pandai bersikap terhadap media ataupun fans.
Namun demikian, saya sungguh percaya bahwa skill itu bisa dilatih asalkan ada yang mau mengajarkan dan individunya sendiri mau belajar.
Tilikan signifikansi tren gadis-gadis yang jadi BA esports
Setelah tadi saya mencoba menjabarkan kenapa tren ini ada di Indonesia, izinkan saya memberikan opini saya terhadap dampak yang mungkin terjadi.
Pertama, jika boleh saya memberikan masukan, titel BA seharusnya tak lagi diberikan dengan mudah buat yang hanya sekadar jadi bintang iklan. Kenapa? Karena sebutan BA bisa jadi titel dengan kasta tertinggi buat individu-individu yang memang pintar membawa nama baik brand-nya masing-masing.
Dengan jenjang yang jelas untuk orang-orang yang memang serius di sisi branding dan komersialisasi, menurut saya, mereka akan lebih terpacu untuk meningkatkan skill-nya dan lebih aktif berinteraksi (tidak hanya sekadar duduk di pojok ruangan seorang diri atau sekadar foto bersama fans).
Faktanya, justru karena saya percaya ranah ini juga tidak mudah untuk dipelajari, mengumbar titel dengan terlalu mudah justru malah mengurangi keseriusan untuk belajar ataupun malah melecehkan mereka-mereka yang benar-benar punya kapasitas soal ini. Misalnya saja seperti titel wartawan atau jurnalis yang seolah diobral murah meriah buat mereka-mereka bahkan tak tahu kaidah-kaidah jurnalistik yang benar.
Kedua, seperti yang saya ungkapkan di bagian pertama, penggunaan para gadis sebagai talent itu memang berguna sebagai jalan pintas menuju popularitas. Nah, ketakutan saya, jalan pintas ini bisa dianggap jadi solusi permanen.
Misalnya saja, sebuah tim jadi tak lagi fokus mengejar prestasi karena sudah merasa mendapatkan cukup popularitas dan pendapatan dari memanfaatkan kecantikan talent mereka. Sponsor pun juga bisa merasa tak perlu lagi mencari tim berprestasi selama mereka punya gadis cantik yang dilabeli BA tadi.
Memang, faktanya, mengejar prestasi dan popularitas bisa dikerjakan secara bersamaan dan paralel; selama punya sekumpulan sumber daya manusia yang memang punya kapasitas di dua hal tadi. Selain itu, sampai hari ini, menurut saya sendiri kebanyakan tim-tim besar esports Indonesia memang masih mencoba menjalankan keduanya beriringan bersama.
Namun sekali lagi, jalan menuju juara di tingkat internasional itu penuh liku dan jurang terjal. Sebaliknya, ada banyak sekali gadis-gadis muda yang selalu siap diorbitkan jadi selebriti media sosial. Buat saya pribadi, aneh dan ironis saja dilihat jika ada tim esports yang akhirnya hanya sekadar jadi sekumpulan selebriti sosmed namun nihil prestasi.
Ditambah lagi, saya kira perkembangan esports Indonesia juga tidak akan beranjak ke mana-mana jika sudah tidak ada lagi tim-tim yang peduli dengan prestasi di tingkat internasional.
Meski perjalanan para perempuan melawan budaya patriakal sudah cukup panjang, faktanya, masih banyak industri yang menomorduakan kaum hawa. Industri kreatif adalah salah satu ranah yang biasanya masih didominasi oleh kaum pria.
Berbicara mengenai perjuangan perempuan di industri yang seringkali dibalut dengan maskulinitas ini memang panjang dan kompleks. Karena itulah, kami ingin membagi pembahasannya menjadi beberapa bagian. Untuk bagian pertama ini, kami pun memilih untuk membahas topik yang mungkin paling kontroversial; yakni soal menjadikan paras dan tubuh sebagai daya tarik utama.
Untuk mendapatkan perspektif lebih soal hal ini, kami pun menghubungi Nicole Constance yang merupakan seorang Cluster Category Manager Gaming untuk Logitech. Buat yang tidak terlalu familiar dengan industri gaming ataupun teknologi, Logitech adalah salah satu brand tertua dan terbesar di kategori produk peripheral (mouse, keyboard, headset, dkk.) yang didirikan di Swiss tahun 1981.
Ditambah lagi, Nicole juga punya pengalaman unik yang mungkin tak dimiliki oleh kebanyakan perempuan yang bergelut di bisnis. Ia merupakan salah satu pendiri dan anggota pertama dari NXA Gaming. NXA Gaming adalah pionir dari tren gamer girl di Indonesia, dengan Nixia Monica sebagai ujung tombaknya. Karena itulah, Nicole pernah merasakan di dua posisi yang berbeda dan mungkin bertolak belakang.
Selain Nicole, kami juga menghubungi WidaArfiana, yang merupakan General Manager dari Techpolitan. Techpolitan sendiri adalah sebuah pusat edukasi yang kental dengan ranah teknologi, termasuk game. Kawan kami yang satu ini juga sudah malang melintang di industri game dan teknologi sejak 2010. Ia pernah bekerja di salah satu distributor komponen PC terbesar di Indonesia, Nusantara Jaya Teknologi (NJT), dan juga pernah di ASUS Indonesia. Ia juga salah satu dari segelintir orang di industri ini yang benar-benar peduli dengan isu seputar perjuangan perempuan – setidaknya berjuang dengan caranya sendiri, menurut pengakuannya hahaha…
Eksplorasi Tubuh Sebagai Nilai Jual Utama, Salahkah?
Gamer girl atau tak jarang juga disebut influencer (meski tidak tepat juga istilah itu) adalah gadis-gadis muda yang biasanya hobi bermain game, memiliki banyak fans di media sosial, dan memanfaatkan akun mereka tersebut untuk mencari nafkah (biasanya sebagai marketing channel ataupun produksi konten).
Kontroversinya, sekarang ini, kebanyakan dari gamer girl tadi menggunakan paras dan tubuh sebagai daya tarik utama mereka. Beberapa di antaranya bahkan sengaja memamerkan bagian tubuh tertentu untuk mendapatkan lebih banyak penonton.
Paham patriakal primitif menganggap perempuan memang hanya sebagai perhiasan, pajangan, penggembira atau apapun itu namanya. Stereotipe itu justru semakin diperkuat dengan perilaku eksplorasi tubuh itu tadi (istilah yang digunakan oleh Wida). Namun demikian, Wida juga menegaskan bahwa setiap perempuan punya kebebasan untuk mengekspresikan tubuhnya masing-masing. Bertindak represif dengan melarang keras hal-hal semacam itu akhirnya juga terjebak kepada perilaku partriakal yang inginnya mengatur semua hal yang bisa dan tidak bisa dilakukan oleh perempuan.
Lagi pula menurut Wida, berperan seperti seorang polisi moral juga tidak akan berdampak apapun. Pasalnya, industri game adalah industri yang mayoritas pasarnya anak laki-laki. Jadi, eksplorasi tubuh adalah salah satu strategi paling mudah yang bisa digunakan para gamer girl untuk mencuri perhatian. “Demand-nya ada dan pasarnya juga ada. Jadi, pasti ada yang lainnya lagi yang akan menggunakan strategi eksplorasi tubuh jika salah satu berhenti.” Ujar Wida.
“Walau memang, ketentuan soal age restriction tetap harus dipatuhi karena ada kewajiban moral yang harus dilaksanakan.” Tambahnya.
Nicole juga sependapat soal ini. Ia memang menyayangkan hal tersebut namun Nicole merasa hal ini terjadi karena ada demand-nya juga. Ia juga percaya bahwa para gamer girl itu sebenarnya bisa memberikan konten yang lebih kreatif ataupun edukatif.
Wida pun menambahkan pendapat yang senada. Menurutnya, meski memang-memang sah-sah saja, eksplorasi tubuh tadi adalah level yang yang paling rendah dalam hal strategi konten. “Jadi pro player,misalnya, adalah level yang lebih tinggi.” Katanya. Karena, strategi eksplorasi tubuh tadi memang tidak dapat digunakan terus menerus.
Karena Paras dan Tubuh adalah Aset Terdepresiasi
Mungkin, banyak kaum muda yang tidak menyadari hal ini. Namun, faktanya, raga kita adalah aset yang mutlak menurun nilainya dari waktu ke waktu. Memang, kita bisa saja menggunakan berbagai cara dan peralatan untuk menjaga paras dan tubuh namun harga yang harus dibayarkan akan semakin besar dari waktu ke waktu.
Maksudnya seperti ini, mungkin penampilan kita memang akan berada di puncak nilainya saat kita berusia 20an. Ketika kita menginjak usia 30an, usaha ataupun modal yang dikeluarkan untuk menjaga penampilan tadi akan lebih besar lagi dari sebelumnya. Tuntutan ini akan semakin besar lagi ketika kita masuk ke usia 40an dan seterusnya.
Contohnya, di usia 20an, mungkin kita tidak butuh berolahraga agar tetap ramping. Namun, di usia 30an (apalagi di era teknologi yang semakin memanjakan manusia sekarang ini), pola makan yang sehat dan olahraga teratur dibutuhkan agar perut tidak buncit. Percayalah, hal ini berlaku baik untuk laki-laki ataupun perempuan (sembari melihat perut saya yang semakin ‘offside’).
Hal ini yang mungkin harus disadari oleh para gamer girl yang mengandalkan strategi eksplorasi tubuh. Sayangnya, tak sedikit (karena memang tidak semuanya), mereka-mereka yang berparas rupawan merasa tak butuh lagi skill atau nilai jual lain karena beranggapan modal tadi sudah cukup untuk menghantarkan mereka mendapatkan semua yang mereka inginkan.
“Eksplorasi tubuh tadi memang level pertama tapi harus mau belajar ke level yang selanjutnya.” Ungkap Wida. Level yang lebih tinggi dari eksplorasi tubuh tadi, menurut Wida, adalah eksplorasi potensi. Lebih lanjut ia menjelaskan, eksplorasi tubuh tadi sebenarnya lebih ideal jika digunakan sebagai salah satu sarana untuk ke posisi yang lebih safe; yang tidak terlalu bergantung pada penampilan semata.
Salah satu solusi karier yang lebih aman untuk jangka panjang tadi adalah dengan pindah ke belakang layar ataupun bergabung dengan korporasi raksasa macam Logitech, seperti yang dilakukan oleh Nicole.
Kenapa? Pertama, otak atau ketajaman berpikir (yang biasanya lebih diutamakan untuk orang-orang belakang layar) adalah aset kita yang lebih mudah meningkat nilainya seiring waktu – kebalikan dari penampilan kita. Kedua, korporasi besar memang punya rencana jangka panjang yang matang – atau setidaknya sudah ada; berbeda seperti kebanyakan selebriti media sosial.
Nicole pun sempat bercerita kepada kami kenapa ia dulu memilih untuk melepaskan statusnya sebagai selebriti gaming. Ia memang mengaku tertarik untuk mengembangkan industri game dan esports sejak dulu dan ia tak pernah berpikir bahwa menjadi selebriti gaming sebagai impian utamanya. Lagipula, ia beranggapan memajukan industri ini tak bisa dari satu sisi saja.
Menurut Nicole, mereka-mereka yang menggunakan strategi eksplorasi tubuh tadi sebenarnya masih punya peluang untuk bergabung ke korporasi nantinya. Asalkan, mereka punya skillset yang mendukung.
Meski demikian, satu hal yang tak boleh dilupakan adalah kita, manusia, semua punya waktu yang sangat terbatas. Mengasah kemampuan itu juga butuh waktu. Menurut cerita Nicole, ia bergabung bersama Logitech setelah 7 tahun meninggalkan NXA. Inilah yang mungkin penting dicatat untuk mereka-mereka para selebriti media sosial.
Anggap saja seperti ini, popularitas sebagai selebriti tadi bisa jadi baru menurun setelah menginjak usia 30an. Namun, jika mereka baru belajar keahlian lain di usia tersebut, mereka baru akan menginjak level yang sama seperti Nicole sekarang di usia 37. Jika hal itu yang terjadi, kemungkinan besar, perusahaan besar tidak akan akan memilih orang-orang minim pengalaman di usia yang nyaris 40 tahun.
Minimnya Ruang Eksplorasi Potensi untuk Perempuan Muda di Industri Game
Kenyataannya, jika kita ingin lebih fair, perjuangan para figur publik perempuan di industri game dan esports yang tidak mengandalkan eksplorasi tubuh memang jauh lebih berat. Sebagian besar pasar di industri game sendiri yang kebanyakan laki-laki memang seringnya menilai selebriti media sosial hanya dari tampilannya semata. Kami setuju dengan pendapat Wida di atas.
Mereka-mereka yang punya paras dan bodi menarik bisa mendapatkan popularitas dengan lebih cepat dan lebih mudah. Sebaliknya, mereka-mereka yang tak mau eksplorasi tubuh harus berjuang jauh lebih keras untuk bisa sampai ke tingkat popularitas yang sama. Hal inilah yang mungkin harus disadari dan diedukasikan kepada para laki-laki yang mendominasi pasar gaming.
Untuk itu, mungkin kita perlu melihat lebih jauh kenapa tren gaming girl meningkat pesat beberapa tahun terakhir. Kenapa eksplorasi tubuh dan paras bisa jadi jalan pintas mendapatkan popularitas? Karena, yang ditawarkan (baik disengaja ataupun tidak) oleh para selebriti media sosial tadi adalah sebuah ilusi atau impian atas pasangan idaman yang punya ketertarikan yang sama.
Maksudnya seperti ini, jika hanya berbicara soal paras, selebriti layar kaca ataupun layar lebar macam Raisa dan kawan-kawannya juga tidak kalah. Namun kebanyakan pengguna media sosial mungkin sadar bahwa mereka ada di tingkat awan-awan. Kecuali Anda juga seorang selebriti besar, pengusaha kaya raya, ataupun punya nilai jual yang sangat berharga dan langka, selebriti di kelas tadi kemungkinan besar tak mungkin Anda raih. Sedangkan selebriti kelas media sosial mungkin memang seolah lebih achievable.
Karena itulah, biasanya, para selebriti media sosial yang terang-terangan mengaku sudah memiliki pasangan akan menurun cepat popularitasnya; sebab hal tersebut menghancurkan ilusi para penggemarnya.
Jadi, buat para pengguna sosial media, khususnya laki-laki dan jomlo, percayalah para selebriti sosial media itu juga tidak mau sama Anda jika yang Anda lakukan hanyalah share, like, retweet, swipe up, ataupun yang lainnya tanpa interaksi dan komunikasi yang lebih berarti. Tak ada salahnya juga untuk melihat dan menilai lebih jauh seorang selebriti gaming dari sekadar paras dan bodi, seperti kemampuan mereka bermain, kreatifitas konten, pengetahuan yang luas, ataupun yang lain-lainnya.
Karena, bagaimanapun juga, pasar juga turut menentukan kedewasaan konten seperti apakah yang menjadi tren baru di sebuah industri.