Tag Archives: periferal kendali

Mari Berkenalan Dengan Controller DualSense Untuk PlayStation 5

Controller merupakan bagian dari identitas sebuah console game dan, dalam mendesainnya, tiap produsen mengambil pendekatan yang berbeda. Microsoft tak banyak mengubah wujudnya setelah era The Duke. Sedangkan Nintendo terus bereksperimen di tiap generasi hardware. Sementara itu, DualShock yang tadinya merupakan periferal sekunder diadopsi untuk menemani PlayStation 2 hingga produk current-gen Sony.

Melihat respons positif gamer terhadap DualShock, banyak orang (termasuk saya) berasumsi bahwa ‘keturunannya’ juga akan mendampingi PlayStation 5. Dugaan ini betul sekaligus salah. Baru saja Sony menyingkap penerus DualShock 4. Di sana produsen tetap mempertahankan elemen-elemen favorit gamer, namun tak lupa mencantumkan deretan teknologi baru dan mengemas semuanya dalam rancangan bertema futuristis. Menariknya, controller tak lagi mengusung titel ‘DualShock’. Sony menamainya DualSense.

IMG_08042020_123517_(1000_x_650_pixel)

Senior vice president Hideaki Nishino menjelaskan bahwa sesuai namanya, lewat DualSense, timnya mencoba mengedepankan aspek yang jarang jadi perhatian developer game serta desainer periferal: sensasi sentuhan. Itu sebabnya mereka repot-repot mengembangkan teknologi haptic feedback untuk menggantikan metode getaran di DualShock yang mulai menua.

Selanjutnya, Sony membenamkan sistem adaptive trigger di L2 dan R2 sehingga aksi yang Anda lakukan di permainan (seperti menarik tali busur panah atau menekan pedal gas kendaraan) terasa lebih realistis. Demi memaksimalkan efek tersebut, produsen turut memodifikasi sudut tombol pelatuk, sekarang jadi lebih miring.

Dari sisi penampilan, wujud DualSense lebih berisi dari DualShock 4 – jadi sedikit menyerupai controller Xbox One. Tak seperti biasanya, gamepad menyajikan dua warna. Di versi awal ini, warna putih tampak mendominasi permukaan DualSense, dihias oleh hitam di bagian ‘dalam’. Garis-garis dan pelat grip dibuat diagonal dan inilah yang menonjolkan kesan futuristisnya. Sony memindahkan light bar dari depan ke samping touchpad, lalu mengubah tombol PS menjadi bergaya cut out mengikuti logo.

IMG_08042020_123541_(1000_x_650_pixel)

Selain pada body, tema monokromatis diimplementasikan pula pada tombol action (dengan simbol segitiga, kotak, silang dan lingkaran). Warna-warninya digantikan oleh abu-abu. Sony juga memperluas fungsi tombol Share, dan memberinya istilah baru: Create. Produsen belum menjelaskan secara detail fitur-fitur anyar di sana, hanya menjelaskan bahwa tombol ini akan ‘memberikan para pemain cara baru buat menciptakan dan berbagi konten’.

Sebagai pelengkap, Sony menyematkan rangkaian microphone built-in (pertama kalinya tersedia di controller mereka) dan meng-upgrade bagian baterai, memastikan daya tahannya lebih lama tapi juga lebih ringan. Di luar itu, produsen tetap mempertahankan layout tombol dan penempatan stik analog secara simetris khas DualShock.

“DualSense menandai sebuah perubahan radikal dari controller yang kami tawarkan sebelumnya dan mewakili lompatan ke generasi selanjutnya,” tutur CEO SIE Jim Ryan. “Bersama dengan fitur-fitur inovatif di PlayStation 5, periferal anyar ini akan mentransformasi cara kita menikmati permainan – wujud dari misi kami untuk terus mendorong batasan dalam bermain.”

Sumber: PlayStation.

Glamos Berikan Kemampuan Deteksi Gerakan di Perangkat Elektronik Biasa

Beragam pilihan produk tersedia untuk memudahkan kita dalam berinteraksi dengan konten digital. Kini periferal input seperti keyboard dan mouse bertambah ringkas, didukung oleh luasnya aspek kompatibilitas sehingga mereka bisa terkoneksi ke beragam jenis perangkat. Namun di beberapa situasi, metode kendali yang lebih praktis – misalnya menggunakan gerakan tangan – memang lebih baik.

Tentu tak semua perangkat diitunjang sistem input berbasis motion ataupun sentuh. Kondisi inilah yang mendorong seorang mantan teknisi Samsung mengembangkan alat unik bernama Glamos. Dengan memanfaatkan teknologi LiDAR (light detection and ranging), Glamos dirancang untuk mengubah segala layar di rumah jadi touchscreen interaktif. Bukan cuma itu saja, pada dasarnya Glamos bisa bekerja layaknya sensor gerakan ala Kinect.

Portabilitas juga menjadi aspek yang diunggulkan oleh Glamos. Teknologi LiDAR di sana dikemas dalam tubuh super-mungil – berdimensi hanya 37x27x34mm dan memiliki bobot 17,7-gram. Wujud mini tersebut memudahkan kita untuk membawa-bawanya serta mencantumkan Glamos di mana pun. Meski berukuran kecil, ia mempunyai jangkauan deteksi yang lebih luas dari produk dengan fungsi serupa, misalnya Leap Motion atau Airbar.

Selain portabilitas tinggi, produsen Glamos juga menjanjikan kemudahan proses pemasangan. Anda hanya perlu menaruh atau menyematkan Glamos dan mencolokkan kabel, setelah itu ia siap digunakan. Alat ini kompatibel dengan berbagai jenis perangkat (dari mulai smartphone, tablet, laptop, PC desktop, televisi pintar hingga kios digital) serta mendukung sistem operasi Windows, Linux, Mac dan Android.

Glamos 2

Sensor LiDAR biasanya dimanfaatkan oleh robotic vacuum cleaner dan kendaraan driverless. Dan dalam bekerja, Glamos bersandar pada tiga buah elemen: modul cermin yang dapat berputar, software pelacak gerakan, serta sensor pengukur jarak. Setiap gerakan nantinya diubah jadi input dan ditransfer via Bluetooth. Glamos mampu membaca gerakan tangan/jari di frekuensi 40Hz di area atas tempatnya ditaruh – seluas 182x91cm 180 derajat.

Glamos 1

Glamos bisa membantu kita di beragam skenario: untuk mempermudah presentasi, navigasi konten smart TV hingga eReader, serta membuat proyeksi di dinding jadi interaktif. Produsen juga bilang bahwa Glamos dapat menyulap ‘segala game mobile jadi permainan ala Wii’, sangat membantu buat membebaskan si kecil dari jeratan perangkat bergerak. Ada banyak judul populer didukungnya: Fruit Ninja, Doodle Jump, Bowling King, Cooking Mama, Perfect Slices, dan lain-lain.

Glamos 4

Kampanye penggalangan dana Glamos berjalan mulus di Kickstarter dan saat ini produsen sudah memperkenankan kita untuk melakukan pemesanan. Selama periode crowdfunding masih berlangsung, Glamos dibanderol seharga mulai dari US$ 120. Pengiriman rencananya akan dilakukan di bulan Juli 2020.

Freedom Wing Adapter Mampu Menyulap Kursi Roda Jadi Controller Xbox

Sebelum resmi diumumkan di bulan Mei 2018, pengerjaan Xbox Adaptive Controller dimulai di tahun 2015 oleh tim internal Xbox sebagai upaya mengeksplorasi aksesibilitas, khususnya aspek kompatibilitas ke aksesori pihak ketiga yang digunakan oleh gamer difabel. Pada akhirnya, Microsoft memutuskan buat mengangkatnya jadi produk konsumen, dibantu dukungan sejumlah organisasi non-profit.

Langkah Microsoft tersebut mendapat respons positif dari banyak kalangan, bahkan juga mendorong sejumlah perusahaan untuk menyediakan aksesori tambahan sebagai alternatif input. Salah satu contohnya adalah Adaptive Gaming Kit persembahan Logitech G. Kali ini organisasi amal AbleGamer dan sekelompok inventor serta pecinta teknologi yang tergabung dalam ATMakers memperkenalkan unit adaptor unik bernama Freedom Wing Adapter.

Freedom Wing Adaptor adalah aksesori berwujud kotak kecil yang bisa menyambungkan kursi roda listrik ke Xbox Adaptive Controller, secara efektif mengubah alat bantu tersebut menjadi unit kendali permainan video. Fungsi utama Freedom Wing Adapter ialah menerjemahkan tekanan pada tombol di kursi roda sehingga bisa dibaca oleh Xbox Adaptive Controller sebagai input, caranya cukup dengan mencolokkan connector ke port simbilan-pin di adaptor.

Di video, metode ini memberikan seorang penyandang disabilitas untuk menikmati Rocket League (dan kita lihat performanya di dalam permainan sama sekali tak buruk). Rocket League merupakan salah satu judul istimewa yang memperkenankan gamer di satu sistem bertanding dengan pemain di platform lain lewat fitur cross-platform play.

Lewat Twitter, COO AbleGamer Steve Spohn menjelaskan alasan di belakang perancangan Freedom Wing Adaptor. Ia ingin agar pengguna kursi roda – khususnya di tahun 2020 ini – bisa segera ‘tersambung’ ke Xbox. Kapabilitas ini sulit dibayangkan hingga sekarang. AbleGamer Foundation adalah organisasi yang terus mendorong dan mempromosikan kemudahan akses di ranah gaming. Bersama Microsoft, Special Effect, dan Warfighter Engaged, mereka punya andil dalam pengembangan purwarupa Xbox Adaptive Controller.

Freedom Wing Adapter 1

Saat ini, AbleGamers kabarnya telah mulai membagikan Freedom Wing Adapter – sebuah indikasi kuat bahwa organisasi tidak fokus pada profit. Namun untuk mempermudah pemakaian, mereka berencana buat menjual komponen printed circuit board Freedom Wing Adapter seharga US$ 7. Selanjutnya panduan perakitan akan segera dipublikasikan dan menghitung semua material yang dibutuhkan, unit adaptor ini bisa dibuat dengan modal kurang lebih US$ 35.

Anda mungkin sudah tahu, Xbox Adaptive Controller tak hanya didesain untuk dipasangkan ke console Xbox One. Periferal juga kompatibel dengan PC ber-sistem operasi Windows 10, sehingga membuka peluang bagi Freedom Wing Adapter buat menopang berbagai permainan. Xbox Adaptive Controller sendiri dibanderol seharga US$ 100.

Via The Verge & VentureBeat.

Bersama Scrum, Nintendo Cari Startup yang Bisa Bantu Mereka Garap Aksesori Baru Buat Switch

Sejak era Wii, kita bisa melihat esensialnya sistem kendali bagi penyajian konten kreasi Nintendo. Lewat console generasi ketujuh itu, sang produsen memperkenalkan metode kontrol berbasis gerakan. Teknologinya terus disempurnakan hingga berinkarnasi sebagai Joy-Con untuk Switch. Tapi Anda mungkin sudah menerka, upaya pengembangannya tidak berhenti sampai di sana.

Di bulan Januari 2018 kemarin, Nintendo memperkenalkan Labo, yaitu platform mainan konstruksi berbasis kardus yang memungkinkan kita berinteraksi dengan Switch melalui cara berbeda. Labo rencananya akan dirilis di tanggal 20 April besok. Namun bahkan sebelum produk ini dilepas, Nintendo diketahui melangsungkan kolaborasi bersama Scrum Ventures untuk mencari startup buat membantu mereka menyempurnakan pengalaman menikmati Switch.

Bersama perusahaan asal San Francisco itu, Nintendo berniat buat menghimpun lebih banyak talenta demi mengembangkan lebih banyak aksesori Switch – di antaranya komponen, sensor, chip, hingga add-on lain. Baik Nintendo maupun Scrum tidak bermaksud buat berinvestasi secara langsung ke startup-startup itu, melainkan memberi tim developer arahan serta mempermudah mereka menyajikan produk pasar.

Langkah ini berbeda dari strategi Nintendo terdahulu. Biasanya, mereka melangsungkan kerja sama dengan pemasok-pemasok hardware (baik ternama ataupun perusahaan baru) dan melepasnya di bawah brand Nintendo. Melalui pendekatan anyar ini, Nintendo boleh jadi mencari lebih banyak ide kreatif yang dapat menghidangkan pengalaman baru sembari menjaga momentum penjualan Switch.

“Kami selalu berusaha mengeksplorasi cara-cara baru untuk menghibur,” kata Ko Shiota selaku senior executive officer Nintendo via Bloomberg. “Kami sangat menanti teknologi-teknologi unik untuk memberikan sensasi baru dalam menikmati Nintendo Switch melalui program yang dikelola Scrum Ventures.”

Scrum sendiri adalah firma venture capital baru, dan mereka mengajukan gagasan ini ke Nintendo pada musim gugur tahun lalu. Perusahaan tersebut juga mengaku telah mencoba mengemukakan ide berupa software, tapi Nintendo menolaknya. Scrum sebelumnya juga sempat menggandeng Panasonic untuk membantu mereka mengidentifikasi teknologi-teknologi yang dikembangkan produsen asal Osaka itu buat dijadikan perusahaan spin-off.

Di era console generasi kedelapan ini, Ninendo memang tampak lebih berani bereksperimen, dan hal tersebut sangat baik untuk mereka. Contohnya saja, investor merespons Nintendo Labo dengan sangat antusias, dan harga saham Nintendo tak lama segera naik.

Melalui strategi baru ini, siapa tahu Switch mendapatkan opsi aksesori sebanyak platform Windows PC, lalu muncul juga periferal-periferal unik yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Sumber: Bloomberg.