Tag Archives: peripheral

Razer BlackShark V2 Padukan Desain Klasik ala Headset Pilot Helikopter dengan Sejumlah Fitur Modern

Razer punya headset gaming baru, atau lebih tepatnya versi baru dari salah satu headset lawasnya. BlackShark V2 merupakan penerus langsung dari headset bernama sama yang Razer luncurkan sekitar 8 tahun silam, dan kalau Anda ingat dengan perangkat tersebut, bisa kita lihat bahwa Razer masih mempertahankan desain ala headset pilot helikopter pada BlackShark V2.

Desainnya tentu sudah disempurnakan. Dari segi visual, saya pribadi lebih suka generasi pertamanya yang kelihatan klasik, akan tetapi versi barunya ini sepintas terkesan lebih nyaman berkat bantalan kepala yang lebih tebal. Rangkanya terbuat dari bahan stainless steel, dan bobotnya cukup ringan di angka 262 gram.

Lapisan breathable yang membalut bantalan memory foam-nya diyakini dapat meminimalkan panas di sekitar telinga. BlackShark V2 tidak dilengkapi fitur active noise cancelling (ANC), tapi earcup-nya yang besar setidaknya bisa memberikan isolasi suara secara pasif. Satu hal yang paling saya suka dari desainnya adalah adanya kenop untuk mengatur volume di earcup sebelah kiri.

Terkait kualitas suara, BlackShark V2 mengandalkan driver TriForce Titanium berdiameter 50 mm rancangan Razer sendiri. Namanya merujuk pada tuning yang dilakukan secara terpisah di tiap-tiap rentang frekuensi (low, mid, high), dan menurut Razer desain semacam ini mampu bertindak seperti tiga unit driver yang terpisah.

Hadir sebagai pelengkap tentu saja adalah dukungan THX Spatial Audio seperti sejumlah headset Razer yang lain. Pun demikian, yang baru di sini adalah fitur spesifik bernama THX Game Profiles, yang dirancang untuk mengoptimalkan audio di tiap-tiap game yang berbeda. Sejauh ini, Razer bilang sejauh ini sudah ada 18 judul permainan kompetitif yang didukung oleh fitur ini.

THX Game Profiles sendiri dapat diaktifkan dengan dua mode yang berbeda: Environmental Mode atau Competitive Mode. Environmental dirancang untuk meningkatkan kesan immersive yang timbul, kedengarannya cocok untuk permainan singleplayer yang santai macam Red Dead Redemption 2, sedangkan Competitive dimaksudkan untuk positioning suara yang lebih akurat.

Untuk input-nya, BlackShark V2 datang membawa mikrofon tipe cardioid yang dapat dilepas-pasang. Karakter suara yang ditangkap mikrofonnya ini bisa diatur lebih lanjut via software, sebab BlackShark V2 turut dilengkapi sound card USB dalam paket penjualannya. Sayangnya komponen ini cuma kompatibel dengan PC, dan untuk perangkat lain BlackShark V2 cuma bisa disambungkan via jack 3,5 mm.

Razer BlackShark V2 saat ini telah dipasarkan seharga $100. Kalau itu terlalu mahal, Razer juga menyediakan BlackShark V2 X yang dihargai $30 lebih murah di Amerika Serikat. Desain keduanya cukup identik, hanya saja BlackShark V2 X tidak dilengkapi lapisan bantalan yang breathable seperti versi standarnya, dan kabelnya juga terbuat dari bahan karet biasa ketimbang yang sangat fleksibel (SpeedFlex) seperti di BlackShark V2.

Beberapa fitur versi standarnya juga sudah dipangkas. Yang paling utama, BlackShark V2 X tidak dilengkapi sound card USB, dan ia hanya menawarkan fitur virtual surround 7.1 generik ketimbang THX Spatial Audio. Unit driver-nya pun agak sedikit berbeda, tetap TriForce tapi tanpa balutan titanium.

Sumber: Razer.

Mouse Wireless Corsair Dark Core RGB Pro Diklaim Lebih Responsif Daripada Mouse Berkabel

Problem utama mouse wireless biasanya adalah seputar latency. Untuk penggunaan secara umum, efeknya mungkin tidak begitu terasa, tapi kalau untuk gaming, peran latency sangatlah vital. Di game kompetitif, latency tinggi bisa berujung pada kekalahan karena mouse terlambat merespon reaksi pemain.

Singkat cerita, mouse berkabel masih merupakan pilihan terbaik untuk urusan latency. Namun ternyata Corsair menolak anggapan tersebut. Mereka mengklaim mouse wireless terbarunya, Dark Core RGB Pro, punya latency yang lebih rendah daripada mouse berkabel.

Corsair Dark Core RGB Pro

Prestasi tersebut dicapai menggunakan kombinasi dua hal. Yang pertama adalah teknologi transmisi sinyal Slipstream Wireless bikinan Corsair sendiri. Yang kedua adalah teknologi hyper-polling, dengan polling rate sebesar 2.000 Hz. Keduanya ditandemkan untuk mewujudkan latency yang amat rendah kalau kata Corsair.

Memangnya mouse berkabel masih kurang instan responnya? Buat saya sih tidak, tapi saya juga bukan seorang gamer kompetitif, alih-alih atlet esport. Buat konsumen seperti saya, mouse ini mungkin cuma terasa sama responsifnya seperti mouse berkabel, dan itu sebenarnya sudah merupakan hal yang positif.

Lebih lanjut mengenai performanya, Dark Core RGB Pro mengemas sensor optik PixArt PAW3392 yang menawarkan sensitivitas maksimum 18.000 DPI, dan yang bisa disesuaikan per 1 DPI. Kalau diperlukan, mouse ini juga dapat dipakai via sambungan Bluetooth ataupun kabel USB-C.

Corsair Dark Core RGB Pro

Secara desain, mouse ini nyaris sama seperti pendahulunya, dengan sisi kanan yang bisa dilepas-pasang untuk menyesuaikan dengan preferensi bentuk yang disukai masing-masing pengguna. Jumlah tombolnya ada 8, dan semuanya bisa diprogram sesuai kebutuhan.

Dalam satu kali pengisian, baterai perangkat ini bisa tahan sampai sekitar 50 jam pemakaian. Buat yang mendambakan kenyamanan ekstra, ada varian Dark Core RGB Pro SE yang dibekali dukungan Qi wireless charging, yang juga kompatibel dengan wireless charging mousepad.

Di Amerika Serikat, Corsair Dark Core RGB Pro saat ini sudah dipasarkan seharga $80, sedangkan varian Dark Core RGB Pro SE seharga $90.

Sumber: Corsair.

8BitDo Luncurkan Mouse Wireless yang Terinspirasi Controller Nintendo

Mendengar nama 8BitDo sekarang, otak saya otomatis langsung memikirkan periferal bernuansa retro. Kreasi terbaru mereka semakin memantapkan anggapan tersebut. Perkenalkan 8BitDo N30, yang mungkin adalah satu-satunya mouse yang terinspirasi dari controller NES.

Mulai dari warnanya, siku-siku tajamnya, sampai tombol-tombolnya, semuanya sengaja dibuat menyerupai controller console lawas tersebut. Otak di balik rancangan yang sangat unik ini adalah desainer asal Swedia bernama Daniel Jansson. Sepuluh tahun semenjak ia menyingkap konsep mouse ini pertama kali, 8BitDo akhirnya mengajaknya berkolaborasi demi merealisasikannya.

Saya yakin ada banyak pertanyaan yang muncul di benak kita saat pertama melihat mouse ini. Saya sendiri langsung bertanya dalam hati: “Bagaimana cara scrolling halaman menggunakan mouse ini?” Secara cerdas, 8BitDo dan Daniel telah menyematkan panel 3D Touch di antara sepasang tombol merahnya, dan bagian itulah yang akan menerjemahkan input scrolling.

8BitDo N30 Wireless Mouse

Pertanyaan selanjutnya mungkin adalah seputar tombol D-Pad yang berada di sisi kiri mouse. Fungsinya ternyata mirip seperti fungsi default dua tombol ekstra di sisi gaming mouse pada umumnya, yakni untuk back dan forward, sedangkan dua sisanya untuk menggantikan tombol “Page Up” dan “Page Down” di keyboard.

Terakhir, sebagian dari kita mungkin bertanya-tanya di mana kabelnya. Tanpa harus terkejut, perangkat ini mengemas konektivitas wireless via bantuan dongle. Ini juga berarti baterainya tidak rechargeable, akan tetapi satu baterai AA diperkirakan cukup untuk menenagainya selama 100 – 120 jam pemakaian.

Buat yang jiwa retronya tergerak, 8BitDo N30 Wireless Mouse saat ini sudah bisa dibeli seharga $25.

Sumber: The Verge.

HyperX Luncurkan Cloud Stinger Wireless, Gaming Headset Nirkabel untuk PC dan PS4 Seharga $100

Mencari gaming headset berkualitas dengan harga di bawah $100 bukanlah tugas yang sulit. Namun kalau kriterianya juga harus mencakup konektivitas wireless tanpa menambah budget, maka pilihannya akan jadi sangat terbatas.

Salah satu yang dapat menjadi alternatif adalah kreasi terbaru HyperX. Dijuluki Cloud Stinger Wireless, ia merupakan versi nirkabel dari Cloud Stinger yang juga masuk dalam kategori budget gaming headset. Alhasil, desainnya nyaris tidak berbeda.

Cloud Stinger Wireless datang bersama sebuah USB receiver yang harus ditancapkan ke PC, PS4 atau PS4 Pro demi mewujudkan konektivitas wireless-nya, dengan jarak paling jauh 12 meter. Dalam satu kali pengisian, baterainya diperkirakan bisa bertahan sampai 17 jam nonstop.

HyperX Cloud Stinger Wireless

Menariknya, kehadiran baterai rechargeable ini tak membuat perangkat jadi kelewat berat. Pada kenyataannya, bobotnya hanya berkisar 270 gram, atau 5 gram lebih ringan ketimbang versi standarnya yang tidak dibekali baterai.

Kinerja audionya mengandalkan sepasang driver berdiameter 50 mm, lengkap dengan mikrofon noise cancelling di luar yang dapat di-mute hanya dengan melipatnya ke atas. Tombol-tombol kontrolnya sendiri diposisikan pada sisi luar earcup.

Di Amerika Serikat, HyperX Cloud Stinger Wireless saat ini sudah dipasarkan seharga $100. Belum benar-benar di bawah $100, tapi setidaknya tidak lebih. Satu catatan terakhir, meski kesannya terjangkau, banderol Cloud Stinger Wireless rupanya dua kali lipat lebih mahal ketimbang saudara berkabelnya.

Sumber: Business Wire dan The Verge.

Headset Razer Ifrit Ditujukan untuk Streamer yang Membutuhkan Mobilitas Ekstra

Meningkatnya tren kreasi konten di ranah gaming memotivasi Razer untuk meluncurkan sejumlah perangkat yang didedikasikan buat para streamer atau broadcaster, termasuk yang sudah level profesional. Penawaran Razer di segmen ini semakin lengkap berkat kehadiran produk terbarunya yang bernama Ifrit.

Ifrit merupakan sebuah headset, akan tetapi desainnya tergolong tidak umum. Bukannya berwujud seperti headphone dengan sebuah mikrofon yang menyembul dari salah satu sisi earcup-nya, Ifrit malah mengadopsi gaya desain ala earphone tipe neckband. Namun ada satu pembedanya: rangka fleksibelnya mengitari bagian belakang kepala, bukan leher.

Razer Ifrit

Razer percaya desain semacam ini bisa meningkatkan mobilitas selama streaming berlangsung. Ibaratnya seperti mengenakan kacamata, tapi dibalik depan dan belakangnya. Usai terpasang, pengguna tinggal menancapkan kedua earpiece yang tersambung kabel pendek, kemudian atur posisi mikrofon kondensornya.

Mikrofonnya ini diklaim punya kinerja tidak kalah dari mikrofon USB yang biasa diletakkan di atas meja. Alasannya, Razer telah melengkapi Ifrit dengan komponen pembantu bernama USB Audio Enhancer, yang sejatinya merupakan analog-to-digital converter (kebalikan DAC). Dongle ini diyakini mampu meningkatkan kejernihan suara yang ditangkap mikrofon sekaligus meminimalkan suara pengganggu dari sekitar.

Razer Ifrit

Di samping itu, USB Audio Enhancer rupanya juga dirancang untuk mewujudkan skenario co-streaming bersama seorang partner tanpa ribet. Ia dibekali dua jack 3,5 mm, sehingga dua unit Ifrit (atau headset lain dengan konektor 3,5 mm) dapat disambungkan ke USB Audio Enhancer, dan keduanya pun langsung terhubung ke satu PC yang sama.

Saat ini Razer Ifrit telah dipasarkan seharga $100, sudah termasuk USB Audio Enhancer itu tadi. Buat yang tidak berniat mengganti headset-nya tapi mendambakan kualitas lebih, USB Audio Enhancer bisa dibeli secara terpisah seharga $20.

Sumber: Razer.

SteelSeries Perbarui Lini Gaming Headset Arctis dan Pasarkan GameDAC Secara Terpisah

Tidak terasa sudah hampir dua tahun sejak SteelSeries meluncurkan lini gaming headset Arctis, dan SteelSeries melihat ini sebagai momen yang tepat untuk menerapkan penyegaran terhadap ketiga headset-nya itu: Arctis 3, Arctis 5, dan Arctis 7. Arctis 2019 Edition, demikian nama lineup barunya, masih terdiri dari tiga headset yang sama, tapi tentu saja masing-masing telah disempurnakan.

Penyempurnaannya pun mengacu pada masukan dari para konsumen Arctis. Satu yang paling utama adalah soal bantalan telinga yang dinilai terlalu tipis. Pada versi barunya, ketiga headset ini telah dibekali bantalan yang lebih tebal demi meningkatkan kenyamanan sekaligus mencegah telinga konsumen menyentuh pelat bagian dalam headset.

SteelSeries Arctis 3 2019 Edition / SteelSeries
SteelSeries Arctis 3 2019 Edition / SteelSeries

Masih seputar kenyamanan, khusus Arctis 7, bentuk headband-nya telah direvisi menjadi lebih mirip seperti milik Arctis Pro. Desain yang lama dinilai kurang nyaman bagi pengguna yang ukuran kepalanya di atas rata-rata, dan revisi ini diharapkan bisa lebih akomodatif.

SteelSeries Arctis 5 2019 Edition / SteelSeries
SteelSeries Arctis 5 2019 Edition / SteelSeries

Beralih ke fungsionalitas, SteelSeries juga membuat tombol kontrol pada headset jadi lebih kecil sekaligus lebih keras. Ini dikarenakan banyak konsumen yang mengeluh tombolnya mudah tertekan tanpa sengaja. Selanjutnya, fitur DTS Headphone X telah di-upgrade ke versi kedua, dan output bass-nya juga ditambah. Kabar baiknya, dua fitur terakhir ini juga akan tersedia buat Arctis 5 dan Arctis 7 lama via firmware update.

SteelSeries Arctis 7 2019 Edition / SteelSeries
SteelSeries Arctis 7 2019 Edition / SteelSeries

Selain tiga headset Arctis versi baru, SteelSeries turut memperkenalkan aksesori GameDAC sebagai produk terpisah. Sebelumnya, digital-to-analog converter ini hanya tersedia dalam bundel bersama headset Arctis Pro, namun sekarang semua konsumen dapat membelinya secara terpisah.

GameDAC yang berukuran ringkas ini menjanjikan kualitas suara yang lebih baik ketimbang jika pengguna mencolokkan headset langsung ke komputer. Kuncinya terletak pada chip Sabre 9018 buatan ESS Technology yang mendukung resolusi hingga 24-bit/96kHz. Untuk menggunakannya, kita tinggal menancapkannya ke komputer via USB, lalu colokkan headset ke GameDAC.

SteelSeries GameDAC / SteelSeries
SteelSeries GameDAC / SteelSeries

Pengoperasiannya cukup mudah berkat kehadiran layar LED terintegrasi. GameDAC tidak cuma kompatibel dengan headset Arctis saja. Headphone atau earphone apapun yang menggunakan colokan 3,5 mm juga bisa dipakai bersamanya, dan itulah yang mendasari keputusan SteelSeries untuk menjadikannya sebagai produk terpisah.

Keempat produk baru ini sudah dipasarkan sekarang juga. Harganya adalah sebagai berikut:

Sumber: AnandTech dan SteelSeries.

Elgato Stream Deck Mini Adalah Solusi Terjangkau untuk Kreator Sekaligus Multitasker

Masih ingat dengan Elgato Stream Deck, semacam keyboard mini yang mengemas deretan tombol yang dapat diprogram untuk kebutuhan para live streamer? Elgato Gaming, yang kini berada di bawah naungan Corsair, baru saja mengumumkan versi mini dari perangkat inovatif tersebut.

Berbeda dari kakaknya yang mengemas total 15 tombol, Elgato Stream Deck Mini hanya memiliki 6 tombol, dengan layout 3 x 2. Dimensinya pun menyusut secara drastis menjadi 84 x 60 x 58 mm. Kenapa jadi lebih tebal? Karena dudukannya tidak bisa diatur tingkat kemiringannya seperti milik kakaknya.

Elgato Stream Deck Mini

Terlepas dari itu, fungsinya sama persis; keenam tombolnya bisa diprogram sesuai keperluan (plus dapat menampilkan beragam icon melalui panel LCD-nya masing-masing), dan perangkat pun terintegrasi ke berbagai software macam OBS dan XSplit, serta layanan seperti Twitch, YouTube dan Mixer.

Perangkat ini sejatinya bisa dijadikan semacam pusat kendali bagi para live streamer dan kreator, terutama yang selalu melibatkan multitasking. Stream Deck Mini pada dasarnya merupakan jawaban atas keluhan calon konsumen Stream Deck orisinil yang merasa perangkat tersebut terlalu overkill dengan 15 tombolnya.

Karena lebih kecil dan lebih terbatas, harganya pun jelas lebih murah. Stream Deck Mini saat ini sudah dipasarkan seharga $100, lebih murah $50 dibanding kakaknya.

Sumber: Corsair.

Alienware Luncurkan Headset Gaming Wireless Pertamanya Beserta Mouse Gaming Baru

Mungkin tidak banyak dari yang kita tahu, akan tetapi Alienware sebenarnya sempat punya headset gaming-nya sendiri di tahun 2009 lalu. Usai vakum begitu lama di segmen ini, Alienware memutuskan untuk bersaing kembali lewat sebuah headset gaming wireless perdananya, yang diberi nama sesimpel Alienware Wireless Headset.

Seperti halnya mayoritas headset gaming lain di pasaran, virtual surround 7.1 menjadi salah satu fitur unggulan Alienware, plus dentuman bass yang mantap katanya. Kinerjanya dalam mereproduksi suara ini ditunjang oleh driver Neodymium berdiameter 40 mm yang tertanam di masing-masing earcup.

Alienware Wireless Headset

Soal desain, ia tampak sangat, well, sangat Alienware. Bantalan telinganya terbuat dari bahan fabric, yang diyakini lebih efektif menjaga telinga tidak terlalu panas dalam durasi yang lama. Sebuah mikrofon noise cancelling telah tersedia, dan bisa disingkirkan saat tidak diperlukan.

Sebagai produk gaming yang keluar di tahun 2018, mustahil perangkat ini tidak dilengkapi sistem pencahayaan warna-warni, dan headset ini pun kompatibel dengan sistem pencahayaan AlienFX. Rencananya Alienware Wireless Headset bakal dipasarkan secara global mulai 11 Juni, dengan banderol harga $229.

Alienware Elite Gaming Mouse / Alienware
Alienware Elite Gaming Mouse / Alienware

Di samping headset, Alienware juga menyingkap versi baru dari Elite Gaming Mouse. Kustomisasi masih menjadi fitur unggulan, dan versi barunya bahkan lebih lengkap lagi, dengan total empat ‘sayap’ yang bisa dilepas-pasang sesuai kebutuhan.

Dari keempat side wing itu, dua mengemas dua tombol ekstra, sedangkan dua lainnya mengemas empat tombol ekstra, jadi pengguna tinggal menyesuaikan dengan gaya bermainnya. Selain itu, pengguna juga dibebaskan mengadaptasikan bentuknya lewat kombinasi side wing ini; bisa ambidextrous atau ergonomis.

Alienware Elite Gaming Mouse

Untuk menyesuaikan bobot mouse, tersedia empat pemberat yang masing-masing berbobot 5 gram. Sistem pencahayaan AlienFX pastinya tidak ketinggalan, demikian pula tombol pengaturan DPI sampai lima tingkatan. Di Amerika Serikat, mouse ini akan dijual seharga $90 mulai akhir Juli mendatang.

Sumber: Engadget dan Wccftech.

Bukan Sembarang Headset Gaming, Asus ROG Delta Type-C Andalkan Quad-DAC

Headset gaming biasanya dipakai untuk, well, bermain game. Akan tetapi Asus berpendapat berbeda. Mereka ingin headset gaming juga dapat dipakai untuk menikmati musik bersama smartphone, dan kira-kira seperti itu esensi dari headset terbaru yang mereka umumkan di Computex 2018, Asus ROG Delta Type-C.

Seperti tersirat dari namanya, headset ini mengandalkan USB-C sebagai konektornya, dan seperti yang kita tahu, mayoritas smartphone terkini hanya mengemas port USB-C tanpa jack headphone. Namun lalu muncul pertanyaan lain: headset atau headphone USB-C harus mengonversi sinyal digital ke analog sendiri, jadi bagaimana kualitas suara yang dihasilkannya?

Demi meyakinkan konsumen, Asus telah menyematkan total empat DAC (digital-to-analog converter) buatan ESS Sabre ke dalam Delta, sanggup memutar format lossless hingga 32-bit/384kHz. Mengapa harus sampai empat? Asus bilang bahwa masing-masing bertanggung jawab atas rentang frekuensi yang berbeda: 20 – 150 Hz, 150 – 5.000 Hz, 5.000 – 20.000 Hz, dan 20.000 – 40.000 Hz.

Asus ROG Delta Type-C

Melengkapi DAC-nya adalah driver berdiameter 50 mm di masing-masing earcup. Perlu dicatat, Delta merupakan headset stereo, tapi gamer yang membutuhkan konfigurasi surround masih bisa mewujudkannya dengan bantuan software. Lalu andai kata Anda masih menggunakan laptop atau PC tua yang tak dilengkapi port USB-C, Asus telah menyertakan adaptor USB biasa di setiap paket penjualan Delta.

Secara fisik ROG Delta mengusung desain tipikal produk gaming, terutama berkat LED warna-warni di kedua sisi earcup yang dapat diprogram. Bantalan telinganya terbuat dari bahan fabric bermotif mesh demi menjaga telinga tetap sejuk dalam durasi yang lama, tapi tersedia pula bantalan cadangan dengan material kulit sintetis.

Asus berencana melepas Delta ke pasaran pada musim panas ini. Sayang mereka masih enggan menyingkap harga jualnya.

Sumber: Asus.

Gaming Headset HP Mindframe Dirancang untuk Menjaga Telinga Pengguna Tetap Adem

Bagi saya pribadi, gaming tanpa headset itu terasa kurang asyik, bahkan untuk game singleplayer sekalipun. Alasannya simpel, suara yang terdengar lebih mendetail ketimbang menggunakan speaker, dan ini sangat membantu menumbuhkan sensasi bermain yang menyenangkan.

Namun mengingat sesi gaming biasanya berlangsung lebih dari sejam, lama-kelamaan kedua telinga jadi terasa panas akibat dibungkus oleh earcup. Senyaman apapun headset yang saya coba, hampir semuanya bakal terasa panas di telinga jika dipakai dalam durasi yang cukup lama.

HP sepertinya tidak setuju dengan pendapat saya, sebab mereka baru saja mengumumkan sebuah headset yang diklaim dapat menjaga telinga pengguna tetap adem selama sesi gaming berlangsung. Namanya HP Mindframe, dan ia baru saja diperkenalkan di ajang HP Gaming Festival yang dihelat di kota Beijing, Tiongkok.

HP Mindframe

Rahasianya bukanlah kipas atau malah gel pendingin, melainkan perangkat termoelektrik yang disematkan ke masing-masing earcup, yang bertugas menyerap udara panas di dalam, lalu membuangnya ke luar. Termoelektrik sendiri bukanlah teknologi baru, tapi sejauh pengetahuan saya baru kali ini teknologi serupa diterapkan di gaming headset.

Menjaga telinga tetap sejuk barulah sebagian cerita jika membicarakan soal kenyamanan. HP tak lupa membekali Mindframe dengan headband bertipe suspensi yang dapat menyesuaikan sendiri dengan ukuran kepala pengguna, serta diyakini dapat mendistribusikan berat secara lebih merata.

Soal fitur, Mindframe juga tidak pelit. Ada virtual surround 7.1, 3D spatial awareness, dan mikrofon unidirectional yang dilengkapi fitur noise cancelling. Perangkat ini rencananya akan dilepas ke pasaran mulai semester kedua tahun ini, namun sayang HP masih enggan menyingkap harga jualnya.

Sumber: New Atlas.