Tag Archives: pertanian

Startup Agritech Indonesia

Inilah Daftar Startup Agritech Indonesia yang Menjadi Solusi Petani

Startup agritech Indonesia adalah salah satu hal yang harus diketahui banyak orang. Karena bisa menjadi fondasi dasar untuk perkembangan ekonomi masyarakat Indonesia. Dilansir oleh BPS (Badan Pusat Statistik), produksi pertanian Indonesia meningkat 2,59% di kuartal keempat 2021. Maka dari itu, pertanian menjadi sumber yang paling besar perannya untuk menjadi salah satu pilar perekonomian.

Kehadiran startup digital di bidang pertanian (argitech) juga dilihat sebagai sebuah harapan baru untuk membawa industri pertanian Indonesia naik level. Dengan cara menghadirkan mekanisme dan model bisnis baru untuk efisiensi produksi sampai dengan distribusi.

Berikut ini daftar startup pertanian di Indonesia yang layak diketahui:

Agriaku

PT Agriaku Digital Indonesia (Agriaku) merupakan startup agritech Indonesia yang menyediakan berbagai perlengkapan dan kebutuhan petani melalui sistem keagenan atau social commerce. Mereka baru saja, memimpin pendapatan awal oleh Arise, dana kelolaan kolaboratif MDI Ventures dan Finch Capital.

Agriaku didirikan pada Mei 2021 oleh Irvan Kolonas dan Danny Handoko. Ivan memang memiliki pengalaman sebagai pengusaha di bidang agribisnis, saat ini juga menjabat sebagai CEO Vasham. Sementara itu, Danny adalah mantan Co-Founder & CEO Airy Indonesia. kolaborasi mereka dapat menggabungkan keahlian di bidang pertanian dan teknologi untuk memberikan layanan yang komprehensif kepada agro-UKM dan petani.

Dengan dana segar yang terkumpul, Agriaku berencana untuk meningkatkan jumlah petani dalam jaringannya agar berhasil menembus pasar senilai $17 miliar di Indonesia. Sejak awal, Agriaku telah memberdayakan lebih dari 6 ribu mitra dan petani kecil di seluruh Indonesia melalui teknologi. Agriaku memiliki mimpi untuk menjadi superapp bagi para pemain agri di Indonesia.

Crowde

Crowde adalah startup fintech didirikan oleh Yohanes Sugihtononugroho pada tahun 2015 yang berfokus pada pertanian yang memberdayakan petani Indonesia dengan teknologi dan permodalan. Ribuan petani dan investor di seluruh Indonesia telah mempercayakan Crowde dengan mencapai apa yang belum pernah dilakukan sebelumnya.

Ekosistem keuangan yang mudah untuk petani dapat terhubung dengan investor yang mencari hal menarik dengan petani yang mengharapkan modal untuk tumbuh, menciptakan lapangan kerja, dan membantu komunitas lokal.

Eden Farm

Eden Farm lebih fokus menyajikan produk-produk terbaik dari petani lokal hingga berbagai restoran dan warung makan di Indonesia. Startup yang didirikan pada tahun 2017 oleh David Gunawan ini memiliki tujuan agar bisnis kuliner Indonesia menggunakan bahan-bahan yang berasal dari petani lokal.

Berdasarkan informasi dari situs resminya, Eden Farm merupakan pemasok berbagai jenis sayuran dan bahan makanan seperti sayuran hidroponik, buah, dan bahan kering.

Etanee

Etanee adalah aplikasi e-commerce yang fokus pada produk pangan dan pertanian. Didesain berawal dari memulai petani dan peternak kita yang tidak mendapatkan hak ekonomi secara layak. Padahal merekalah rantai produksi dengan kerja kerasnya menghasilkan produk terbaik yang kita konsumsi.

Selain itu, rantai logistik dan pengiriman yang tidak efisien menjadi penyebab tingginya harga beli konsumen juga menjadi pemicu lahirnya Etanee yang mulai digagas sejak awal tahun 2017. Maka dari itu, Etanee dibuat sebagai solusi untuk petani dan peternak agar memiliki penghasilan yang sesuai dengan meraka.

Herry Nugraha dan Cecep Mochamad Wahyudin mendirikan Etanee pada tahun 2017 ingin berfokus pada pengembangan bisnis pertanian di Indonesia. Mereka mendapatkan dana awal sebesar 7 miliar Rupiah dari East Ventures untuk mengekspansi ke beberapa daerah di Indonesia.

Habibi Garden

Di Indonesia juga ada startup teknologi pertanian yaitu Habibi Garden. Perusahaan startup agritech Indonesia ini memiliki tujuan untuk membangun peradaban melalui pertanian internet of things (IOT). Perusahaan ini memang menghadirkan solusi perawatan tanaman berbasis IoT. Startup ini membantu menyediakan data up-to-date melalui smartphone.

Ada sensor yang digunakan untuk membantu mendapatkan data tersebut. Data yang diberikan misalnya adalah kondisi tanah dan unsur hara pada tanaman. Ini dapat membantu petani mengurangi biaya, meningkatkan produktivitas, dan mencegah gagal panen.

Startup agritech Indonesia yang satu ini didirikan pada tahun 2016 oleh Dian Prayogi Susanto. Pada awal pendiriannya Habibi Garden mendapatkan 8 miliar Rupiah dibantu oleh beberapa Investor pendanaan seri A.

iGrow

Startup bergerak di bidang pertanian yang memungkinkan pelaku usaha untuk bertani tanpa harus turun ke lahan pertanian sendiri untuk menanam. Cukup dengan mendaftar, memilih tanah dan jenis pohon, maka para pelaku usaha dapat menerima uang atas tanah tersebut.

Setelah lahan diolah dan dipanen, hasil pertanian bisa dijual dengan porsi 40% untuk pengguna, 20% untuk mitra pengelola perkebunan (petani), dan 20% untuk iGrow. Perusahaan yang satu ini didirikan pada tahun 2014. Kini iGrow telah diakuisisi dan masuk ke dalam grup LinkAja.

Kedai Sayur

Layanan startup ini lebih fokus pada pendistribusian produk pertanian berupa sayuran kepada konsumen. Dengan sistem mengundang pedagang sayur konvensional untuk menjadi bagian dari Kedai Sayur sebagai Mitra Sayur.

Mitra sayur ini merupakan satu-satunya layanan utama yang dihadirkan untuk memberikan kemudahan bagi pengguna khususnya ibu rumah tangga yang ingin berbelanja kebutuhan sayur tanpa perlu ribet, namun tetap memiliki kualitas sayur terbaik.

Startup yang pertama kali digagas pada tahun 2016 oleh Adrian Hernanto ini telah mendapatkan dua putaran pendanaan di tahun 2019, yang keduanya dipimpin oleh East Ventures. Pendanaan pertama diperoleh pada bulan Mei sebesar $1,3 juta dan pendanaan kedua dilakukan tiga bulan kemudian yaitu pada bulan Agustus dengan nominal lebih besar yaitu 4 juta dollar AS.

Sayurbox

Didirikan pada tahun 2017, Sayurbox menggunakan konsep bisnis farm-to-table. Konsep ini mendukung konsumen untuk dapat memperoleh berbagai sayuran dan buah segar berkualitas langsung dari petani dan produsen lokal.

Sayurbox, perusahaan rintisan yang menggabungkan teknologi pangan dan bahan-bahan makanan, mengumumkan telah mendapatkan pendanaan seri C sebesar $120 juta atau lebih dari Rp. 1,7 triliun.

Tanihub

Startup pertanian lain yang cukup menonjol adalah TaniHub. Startup ini dikenal membangun ekosistem petani mulai dari pembiayaan, penanaman, hingga pemasaran. Dalam aplikasi ini, produk pertanian masuk ke pasar sehingga membebani petani untuk memasarkan produk tersebut.

TaniHub sendiri merupakan aplikasi yang merupakan bagian dari TaniGroup. Di dalam grup, tidak hanya ada TaniHub tetapi juga TaniFund. Juni tahun 2021 lalu Tanihub mendapatkan pendanaan seri B senilai 945 miliar Rupiah dipimpin oleh MDI Ventures.

Itulah beberapa startup agritech Indonesia yang bisa menjadi solusi bagi mereka. Perkembangan teknologi telah memberikan banyak peluang, termasuk di bidang pertanian.

ARIA Agritech’s Strategy to Produce New Generation of Indonesian Farmers

One of the biggest obstacles in the agriculture industry is the lack of interest among young generation of becoming farmers. The large amount of land to be cultivated using conventional methods also makes it difficult for most farmers to optimize their performance.

In fact, when there is a pest attack, farmers should have anticipated quickly and it usually requires a large number of workers to carry out the process. As a result, many farmers experienced crop failures and large losses because it was too late to overcome the issue.

Through this problem, ARIA, as an agritech startup, comes with a solution to increase productivity using drones and IoT, while providing prevention and predictive agricultural solutions to large-scale farmers and plantations. In addition, the idea for developing this product is to help farmers and plantation owners get good agricultural products, while at the same time attracting more young farmers to enter the agricultural sector.

ARIA’s Co-Founder & CEO, William Sjaichudin revealed to DailySocial, starting with drone technology, they wanted to be an agritech platform that could help farmers get quality agricultural products with the right planting process, while minimizing labor work in the field.

“Most agritech platforms in Indonesia are currently focused on the supply chain. However, many of them are complaining about the low quality of farmers’ harvests. With the technology and services we have, we want to overcome these problems and focus on quality control,” William said.

Focus on B2B segment

ARIA’s drone spray technology

ARIAwas co-founded by Arden Lim (CPO) and Yosa Rosario (COO). Currently, they operate two business verticals, B2B companies such as plantations and forestry. Especially for B2B clients, ARIA provides SaaS technology that helps them to carry out the planting process using directly connected data, so they can carry out accurate spraying activities.

Meanwhile, for both individual and farmers who own plantations, they expect to apply the best practices that previously been applied to large companies such as Sampoerna, Sahabat Agro Group, Sinarmas, Triputra Group, and as ARIA’s current clients.

“Our target this year is to be able to serve 60 to 70 percent of B2B clients and 30 percent to farmers. We hope that ARIA can also help through programs owned by local governments and available vacant land,” William added.

Starting from technology, ARIA is quite confident to create jobs that attract the new potential farmers in Indonesia. Therefore, the regeneration of farmers can run well, replacing the farmers who are currently fewer in number and most of them have aged.

From the responses of farmers in various regions who welcome their mapping technology and drone spray, ARIA sees the potential to be able to produce new young farmers and drone pilots in the future.

“For the drone pilots, we currently have around 16 people and targeting to grow 40 more by the end of the month. Our drone pilots come from each region, adjusting the demand from the units ordered,” William said

ARIA adopts a business model as a service company. As buying and selling drones is difficult, their way of running a business is to provide drones at a low cost,  service per hectare. Thus, it can be more affordable for farmers. In order to integrated services, ARIA also collaborates with Bayer in the supply of chemicals for agriculture.

“In the future, we want to be able to make our own drones. What distinguishes us from other platforms is our direct approach by providing solutions. We are an end-to-end software and hardware platform for farmers,” William said.

Early stage fundraising plan

Currently, ARIA has secured pre-seed funding, which was organized and led by GK-Plug and Play Indonesia, East Ventures and market leaders in agriculture and logistics such as Triputra Group, Waresix, and Sahabat Group who participated in this series.

ARIA will use this funding to develop its infrastructure network and quickly establish distribution points in 17 branches spread across Indonesia to reach 40 billion hectares of ARIA’s potential market. This development was also accompanied by the purchase of a large drone fleet, as well as the development of a key IoT asset in the form of tracking technology to provide value and impact of change for ARIA customers.

“It is very important for ARIA to deal with the regeneration of young Indonesian farmers, who are constrained by limited land and suffer from working in low-income professions throughout Indonesia. Farmers in Indonesia are slowly dying. ARIA’s vision is to grow a new generation of young millennial farmers who are tech-savvy and able to compete and develop at a global level,” William said.

In order to get a strategic partner who can help ARIA open up more opportunities, in the near future ARIA will also complete an early stage fundraising. It’s in the finalizing stage, according to the plan, ARIA will get the fresh funds at the end of March.

“The biggest advantage in Indonesia as an agriculture country is being a farmer. However, as they are still using the conventional methods, the opportunities and benefits that can be obtained by farmers stay limited. Through ARIA, we want to make the farming profession more profitable,” William concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

ARIA Drone Agritech

Ambisi Startup Agritech ARIA Lahirkan Generasi Baru Petani di Indonesia

Salah satu kendala yang saat ini masih menjadi tantangan bagi pertanian adalah kurangnya minat petani muda untuk terjun ke bidang pertanian. Besarnya lahan yang harus digarap menggunakan cara dan metode lama juga menyulitkan sebagian besar petani untuk mengoptimalkan kinerja mereka.

Belum lagi jika ternyata ada serangan hama yang harus diantisipasi cepat, biasanya membutuhkan jumlah pekerja yang cukup besar untuk melakukan proses tersebut. Hasilnya banyak dari petani yang mengalami gagal panen dan kerugian yang cukup besar karena terlambat untuk diatasi.

Melihat masalah tersebut, ARIA yang merupakan startup agritech hadir dengan solusi untuk meningkatkan efisiensi produktivitas melalui penggunaan drone dan IoT, sekaligus menyediakan pencegahan dan prediksi solusi agrikultur kepada para petani dan perkebunan skala besar. Selain itu, motivasi pengembangan produk ini adalah untuk membantu petani dan pemilik perkebunan bisa mendapatkan hasil pertanian yang baik, sekaligus memancing lebih banyak petani muda untuk masuk ke sektor pertanian.

Kepada DailySocial.id, Co-Founder & CEO ARIA William Sjaichudin mengungkapkan, berawal dari teknologi drone, mereka ingin menjadi platform agritech yang bisa membantu petani mendapatkan hasil pertanian yang berkualitas dengan proses penanaman yang tepat, sekaligus meminimalisir penggunaan tenaga kerja di lapangan.

“Kebanyakan saat ini platform agritech di Indonesia lebih fokus kepada rantai pasok. Namun banyak juga di antara mereka yang mengeluhkan masih rendahnya kualitas panen petani. Dengan teknologi dan layanan yang kami miliki, kami ingin mengatasi masalah tersebut dan fokus kepada quality control,” kata William.

Fokus di segmen B2B

Teknologi drone spray milik ARIA

Aria turut didirikan oleh Arden Lim (CPO) dan Yosa Rosario (COO). Saat ini ada dua vertikal bisnis yang disasar oleh ARIA, yaitu perusahaan B2B seperti perkebunan dan kehutanan. Khusus untuk klien B2B, ARIA memberikan teknologi SaaS yang membantu mereka untuk melakukan proses penanaman memanfaatkan data yang terhubung langsung, sehingga bisa melakukan aktivitas penyemprotan yang akurat.

Sementara untuk petani baik itu yang individu hingga petani yang memiliki perkebunan, harapannya bisa menerapkan best practice yang telah diterapkan kepada perusahaan besar seperti Sampoerna, Sahabat Agro Group, Sinarmas, Triputra Group, dan lainnya yang merupakan klien dari ARIA saat ini kepada mereka.

“Target kami tahun ini bisa melayani klien B2B sebanyak 60 hingga 70% dan ke petani sebanyak 30%. Kita harapkan melalui program yang dimiliki oleh pemerintah daerah dan lahan kosong yang ada bisa membantu ARIA,” kata William.

Berangkat dari teknologi, ARIA cukup yakin bisa menciptakan lahan pekerjaan yang menarik perhatian calon petani baru di Indonesia. Sehingga regenerasi petani bisa berjalan dengan baik, menggantikan para petani yang saat ini makin sedikit jumlahnya dan kebanyakan sudah masuk dalam usia tua.

Dilihat dari respons para petani di berbagai daerah yang menyambut baik teknologi pemetaan dan drone spray yang mereka miliki, ARIA melihat ada potensi untuk bisa melahirkan petani muda baru dan drone pilot ke depannya.

“Untuk drone pilot sendiri saat ini kami sudah memiliki sekitar 16 orang dan targetnya bisa bertambah hingga 40 lebih hingga akhir bulan nanti. Drone pilot kita berasal dari masing-masing daerah, menyesuaikan demand dari unit yang dipesan,” kata William

Model bisnis yang diterapkan oleh ARIA adalah sebagai service company. Karena jual beli drone terbilang sulit, cara mereka menjalankan bisnis adalah menghadirkan drone dengan biaya murah yaitu service per hektar. Dengan demikian bisa lebih terjangkau untuk petani. Untuk memberikan layanan yang terpadu, ARIA juga menjalin kolaborasi dengan Bayer dalam hal penyediaan bahan kimia untuk pertanian.

“Ke depan kita maunya bisa bikin drone sendiri. Yang membedakan kami dengan platform lainnya adalah pendekatan langsung dengan memberikan solusi. Kita merupakan end-to-end software dan hardware platform untuk petani,” kata William.

Rencana penggalangan dana tahapan awal

Saat ini ARIA telah mendapatkan pendanaan tahapan pre-seed yang diselenggarakan dan dipimpin oleh GK-Plug and Play Indonesia, East Ventures serta pemimpin pasar di bidang agrikultur dan logistik seperti Triputra Group, Waresix, dan Sahabat Group yang turut berpartisipasi dalam seri ini.

ARIA akan menggunakan pendanaan  ini untuk mengembangkan jaringan infrastruktur dan secara cepat membentuk titik distribusi pada 17 cabang yang tersebar di seluruh Indonesia untuk menjangkau 40 miliar hektar pasar potensial ARIA. Pengembangan ini juga diiringi dengan pembelian armada drone dalam jumlah besar, serta pengembangan aset kunci IoT berupa teknologi pelacakan untuk memberikan nilai dan dampak perubahan besar untuk pelanggan ARIA.

“Sangat penting untuk ARIA untuk menghadapi regenerasi petani muda Indonesia, yang terkendala dengan keterbatasan lahan dan menderita karena menjalani profesi dengan penghasilan rendah di seluruh Indonesia. Petani di Indonesia perlahan mati. Visi ARIA adalah untuk menumbuhkan generasi petani muda milenial baru yang tech-savvy dan mampu berkompetisi serta berkembang di tingkat global,” kata William.

Untuk mendapatkan mitra strategis yang dapat membantu ARIA membuka peluang lebih banyak lagi, dalam waktu dekat ARIA juga akan merampungkan penggalangan dana tahapan seed. Masih dalam proses finalisasi jika sesuai rencana dana segar tersebut akan diperoleh ARIA akhir bulan Maret ini.

“Keuntungan paling besar di Indonesia sebagai negara agriculture adalah menjadi petani. Namun karena saat ini masih menggunakan metode dan cara-cara yang lama menjadi kecil peluang dan manfaat yang bisa didapatkan oleh petani. Melalui ARIA kita ingin menjadikan profesi petani lebih profitable,” kata William.

Tak hanya bertindak sebagai platform e-commerce, Agrowing juga menyediakan berbagai macam jasa, termasuk pelatihan pertanian

Agrowing Fasilitasi Serba-Serbi Bisnis Agrikultur

Teknologi memegang peran penting dalam bisnis di era seperti sekarang. Contoh sederhananya pemanfaatan situs e-commerce dan teknologi internet untuk membantu memasarkan dan juga sebagai portal transaksi yang mudah dan cepat. Agrowing memahami potensi ini. Dengan platform yang dikembangkannya, Agrowing berusaha menyediakan berbagai macam produk dan jasa terkait pertanian dan peternakan yang berkualitas.

Memulai kiprahnya pada tahun 2017 dengan modal dari para co-founder-nya, Donnie Aqsha, Indra Destyono, Dimas A.P Putro, dan Maryono, Agrowing memiliki visi dan misi tak hanya menjadi platform e-commerce tetapi juga menyediakan berbagai macam jasa yang berkaitan dengan pertanian dan peternakan.

Di penghujung tahun 2018 Agrowing tercatat memiliki beberapa lini bisnis yang dijalankan. Tak hanya menyediakan produk hasil pertanian dan peternakan, Agrowing juga menyediakan perlengkapan berkebun seperti benih, bibit, media tanam, pupuk dan segala macamnya. Agrowing juga menyediakan produk peternakan hingga perikanan, menjual hewan ternak hingga ikan hias seperti Arwana.

Selain itu, Agrowing juga menyediakan berbagai macam jasa yang berkaitan dengan pertanian dan peternakan. Antara lain adalah jasa menyediakan hewan ternak untuk aqiqah dan paket agrowisata hingga pelatihan terkait pertanian dan peternakan, seperti budi daya.

Menurut penuturan Tim R&D Agrowing Septina Mugi Rahayu, produk yang memiliki peminat cukup tinggi adalah produk benih dan bibit tanaman hingga buku-buku terkait pertanian terbitan IPB Press.

“Agrowing saat ini memiliki mitra kebun BDB Farm seluas 10 hektar dan tergabung dalam Kontak Bisnis Hortikultura Indonesia (KBHI). Produk yang dijual berasal dari mitra yang sudah kami verifikasi terlebih dahulu kualitas dan jenis produk serta ada garansi yang akan diberikan,” imbuh Septina.

Septina lebih jauh menjelaskan bahwa saat ini bisnis yang bermarkas di Bogor ini telah berhasil mendirikan mini packing house di lab Lapang Pertanian, Leuwikopo, IPB Darmaga. Di sana menyediakan produk buah segar siap saji seperti Nanas, Jambu Kristal, Mangga, dan produk olahan buah seperti jus buah dan asinan nanas.

Dengan target pelanggan seperti petani, pengelola kebun buah, reseller, perkantoran, retailer dan eksporter hingga reseller rumah tangga Agrowing terus berupaya untuk menggenjot kenaikan jumlah pelanggan melalui promosi di media sosial dan event offline.

Septina juga menjelaskan saat ini Agrowing dijalankan sesuai visi dan misi mengikuti milestone yang sudah ditetapkan. Tak hanya menjadi platform e-commerce tetapi juga menyediakan menyediakan aplikasi agriculture, membangun packing house hingg amenyediakan pelatihan.

“Target 2019 kami penambahan jumlah lahan yang dikelola untuk produk eksport, launching aplikasi kebun buah, dan penambahan produk olahan buah,” tutup Septina.

Perlengkapan Tanaman Berbasis Teknologi

Tanibox Luncurkan GRO Planter, Set Perlengkapan Bertanam dan Aplikasi Pendukung

Startup pertanian Tanibox belum lama ini merilis produk barunya bernama GRO Planter. Jika produk sebelumnya (Tania, Terra, dan Trace) menyasar segmen B2B, aplikasi baru ini diterbitkan untuk pasar B2C.

GRO Planter adalah produk yang terdiri dari set perlengkapan bertanam dan aplikasi untuk mendampingi penggunanya. Fokusnya adalah untuk urban gardening — bertanam di area terbatas/rumah. Ada dua fungsionalitas yang coba dihadirkan dalam aplikasi, dikemas dalam menu “My Garden” dan “Learn”.

Pertama menu “Learn”, di sini berisi berbagai wawasan komprehensif seputar cara-cara berkebun untuk pemula. Konten disajikan dalam dua kategori, berdasarkan varietas tanaman dan teknik berkebun. Tanaman yang diulas meliputi sayuran, buah, hingga herbal.

Sementara itu pada menu My Garden, pengguna dapat mencatat berbagai kegiatan penanaman. Pencatatan aktivitas dimaksudkan agar pemeliharaan tanaman dapat dilakukan sesuai dengan prosedur yang benar, sehingga menghasilkan kualitas tanaman yang baik.

Untuk menggunakan fitur My Garden pengguna harus terlebih dulu membeli produk planter (bernama GRO) dari Tanibox. GRO sendiri adalah satu set perlengkapan berkebun, fokusnya untuk tanaman hias/dekorasi. Biasanya ditanam di tempat tinggal, kantor, atau ruang lainnya yang membutuhkan nilai estetika dari tanaman.

Planter yang dijual Tanibox dibuat oleh pengrajin lokal, dengan bahan premium ramah lingkungan. Dilengkapi dengan benih, nutrisi dan media tanam hodroponiknya. Pemesanan sudah bisa dilakukan melalui laman resmi GRO Planter.

Setelah mendapatkan planter, pengguna dapat memasukkan data dengan cara menuliskan serial number atau scan barcode ke dalam aplikasi. Selanjutnya informasi tanaman akan ditampilkan, aplikasi akan memberikan ulasan terkait kondisi lingkungan tanam dan aktivitas yang perlu/akan dilakukan.

“Untuk menggunakan fitur My Garden, pengguna harus membeli produk planter kami. Nanti pengguna harus masukan serial number untuk mengaktifkan fitur My Garden. Di situ pengguna bisa mulai mencatat kegiatan penanamannya,” terang CEO & Founder of Tanibox, Asep Bagja Priandana.

Asep menambahkan, “Produk-produk dari GRO itu visinya menjadi dekorasi rumah dan tetap berbasis teknologi. Makanya pot-pot yang dikeluarkan desainnya akan dibuat secantik mungkin agar cocok menjadi hiasan.”

Informasi seperti temperatur dan kualitas penyinaran turut disertakan dalam aplikasi, lengkap dengan pencatatan durasi waktu tanam. Dasbor aplikasi dapat digunakan untuk mengelola banyak tanaman sekaligus.

“GRO adalah sub-brand dari Tanibox untuk masuk ke pasar B2C. Untuk GRO sampai akhir tahun ini kami akan fokus dulu di pasar Indonesia,” tutup Asep.

Application Information Will Show Up Here
Kegiatan lapangan TaniJoy

Mimpi TaniJoy Selesaikan Permasalahan Industri Pertanian Indonesia

Dikomandoi tiga co-founder, Muhamad Nanda Putra, Kukuh Budi Santoso dan Febrian Imanda Effendy, TaniJoy berangkat dengan tujuan untuk menyejahterakan petani. TaniJoy menemukan fakta bahwa permasalahan petani begitu komplit, mulai dari akses pemodalan hingga keterbatasan pilihan untuk menjual hasil pertanian. Dengan bantuan teknologi, TaniJoy berusaha menjadi platform all-in-one memecahkan permasalahan petani dengan solusi yang lengkap.

TaniJoy cukup aktif turun ke lapangan untuk mendengar permasalahan dan kebutuhan dari petani. Mereka menawarkan layanan mereka ke kelompok atau daerah-daerah.  Sejauh ini layanan mereka sudah mencakup wilayah Medan, Bogor, Bandung Barat, Sukabumi, Garut, Dieng, Bromo, hingga Malang.

“Kami memulai kerja sama dengan menawarkan model bisnis dan sistem kami ke local leader daerah tersebut, seperti ketua kelompok tani, kepala desa, tuan tanah, dan lain-lain. Kami menyasar daerah yang memiliki potensi komoditas tertentu namun masih belum tentu produktif, konsep kami adalah berangkat dari kebutuhan pasar sehingga petani tidak lagi kebingungan untuk menjual hasil taninya, lalu melakukan survei dan uji lapang terkait komoditas apa yang cocok di daerah tersebut,”  terang co-founder TaniJoy Muhamad Nanda Putra.

Di lapangan, TaniJoy menemui beberapa hal yang menghambat kegiatan mereka, di antaranya mengenai sulitnya akses internet atau sinyal di daerah dan menemukan petani yang mampu bertanggung jawab.

“Salah satu pengalaman menarik saya adalah ketika ada petani ingin mengajak kerja sama menanam tomat. Ketika itu saya bertindak sebagai investornya dan kesalahan saya saat itu adalah memberikan fresh money langsung ke petani tersebut. Ketika masa panen tiba selalu ada alasan petani bahwa tomatnya busuk, panennya kurang dan lain sebagainya. Sehingga saya tidak pernah merasakan keuntungan dari kerja sama ini,” kisah Nanda.

“Setelah saya selidiki pernah satu musim panen itu bagus tetapi petani tidak transparan kepada saya. Ternyata 50% dari dana yang saya berikan juga dipakai untuk membeli kebutuhan pribadi. Dari sini saya belajar dua hal, yang pertama adalah petani butuh pendampingan dan edukasi, yang kedua adalah ketika bekerja sama dengan petani jangan memberikan fresh money, tapi berikan dalam bentuk barang seperti suplai pertanian. Model ini yang kami terapkan di TaniJoy melalui field manager kami,” kisah Nanda.

Di TaniJoy, selain platform investasi, fitur yang dikembangkan adalah fitur farming management system. Sistem ini disediakan untuk membantu field manager yang bertugas untuk mengumpulkan data di lapangan, aktivitas petani dan perkembangan proyek yang berjalan. Fitur ini diharapkan bisa membantu para investor memantau proyek secara langsung.

TaniJoy menjadi salah satu platform investasi di sektor pertanian yang cukup yakin bahwa sektor pertanian bisa ditolong dengan pendekatan teknologi. Nanda menyebutkan bahwa salah satu harapan mereka adalah bisa menjadi solusi terhadap sistem pertanian di Indonesia.

“Target kami untuk tahun 2018 adalah bertambah 60 Ha lahan yang ditanam dengan memberdayakan lagi 100 pertani tambahan,” tutup Nanda.

Tanibox Gabungkan Blockchain dan IoT untuk Merevolusi Sektor Pertanian

Tanibox hadir mengusung konsep smart agriculture yang cukup inovatif. Ia memadukan kapabilitas blockchain dan Internet of Things (IoT) untuk menyajikan sistem pertanian yang lebih efektif. Proyek pengembangan startup ini bermula pada tahun 2012 saat pasangan Asep Bagja Priandana dan Retno Ika Safitri (co-founder) merancang sebuah proyek pribadi berbasis IoT untuk urban farming di apartemen miliknya. “Tanibox” adalah nama proyek yang waktu itu disepakati.

Proyek pribadi tersebut terus berlanjut, hingga akhirnya keduanya berpindah rumah dan memiliki kebun kecil sebagai laboratorium risetnya. Singkat cerita proyek tersebut berevolusi menjadi sebuah produk teknologi, mereka memvalidasinya dengan mengikuti kompetisi Indonesia IoT Challenge (mendapat juara ketiga). Akhir tahun 2016, sistem manajemen pertanian bernama “Tania” diinisiasi.

Mantap dengan inovasinya, awal tahun 2017 Tanibox berdiri sebagai unit bisnis dan merilis Tania ke publik sebagai open source. Kuartal ketiga tahun 2017, Tanibox mendaftarkan diri sebagai unit usaha legal di Estonia. Dengan tim yang semakin komplit, Tanibox kini debut dengan tiga produk: Tania, Terra, dan Trace. Tahun 2018, selain merilis pembaruan Tania, ada terobosan berupa kampanye pra-ICO (Initial Coin Offering) untuk TaniCoin, titik awal adopsi blockchain Tanibox.

Tampilan dasbor aplikasi Tania / Tanibox
Tampilan dasbor aplikasi Tania / Tanibox

Sebuah perjalanan startup yang cukup menarik untuk didalami. DailySocial menghubungi CEO Tanibox Asep Bagja untuk menanyakan beberapa detail dalam proses inovasi dan pendirian. Kami mengawali perbincangan dengan pembahasan dua unit legal bisnis yang saat ini dimiliki Tanibox, di Indonesia dan Estonia. Asep menjelaskan ada alasan khusus dan urgensi terkait hal tersebut.

“Tanibox memang terdaftar di dua negara. Yang di Estonia untuk menyasar pasar Uni Eropa dan memudahkan saat butuh merekrut talenta di sana. Saat ini tim di Tanibox beroperasi secara remote dan tersebar di beberapa kota di Indonesia: Denpasar, Solo, Bandung, Bekasi dan Jakarta. Di awal masa pengembangan, kami juga sempat mengontrak orang asing dan bekerja secara remote dari luar negeri: Estonia dan Kanada. Saat ini, kami juga sedang melakukan pengurusan cryptocurrency business license di Estonia, karena di sana legal framework untuk cryptocurrency sudah ada,” jelas Asep.

Konsep blockchain untuk pertanian

Penerapan blockchain untuk penyelesaian masalah pertanian bisa dibilang masih sangat baru. Banyak skenario yang bisa diaplikasikan, salah satunya seperti yang tengah digarap tim Tanibox. Terkait implementasi blockchain Asep menjelaskan bahwa dengan menggunakan blockchain segala transaksi yang terjadi di dalamnya akan sangat transparan dan datanya sulit untuk diakali.

“Misal dengan adanya transparansi di dalam sistem, orang jadi tahu seorang pembeli apakah membeli komoditas dari petani dengan harga pasar yang baik atau tidak (fair trade), atau konsumen jadi bisa tahu cerita perjalanan satu produk komoditas yang dia beli di supermarket sejak mulai dari tangan petani sampai ke supermarket. Jika ada komoditas yang membutuhkan sertifikasi seperti kelapa sawit dengan RSPO-nya (Roundtable on Sustainable Palm Oil), akan semakin memudahkan pihak pemberi sertifikasi apakah perkebunan tersebut benar-benar sudah memenuhi syarat atau tidak,” terang Asep.

Cukup meyakinkan, namun pertanyaannya akan selalu kembali pada kondisi sektor agro yang ada di Indonesia, salah satunya persoalan SDM pertanian. Di Tanibox strateginya ialah pada penerapan model bisnis, konsumen utamanya adalah B2B. Misal koperasi yang menaungi banyak petani, koperasi inilah yang akan menjadi konsumen Tanibox, dan mereka yang akan mengajarkan petani-petaninya.

Asep turut mengoreksi anggapan kondisi SDM pertanian yang ada saat ini, lambat laun mereka juga melek teknologi. Senada dengan kondisi yang ia lihat langsung di lapangan dalam berbagai kesempatan. Sehingga pengguna produk Tanibox terbuka lebih luas, misalnya untuk pemilik perkebunan besar atau pengusaha hidroponik.

Varian produk Tanibox

Visi besar yang digenggam erat ialah “To bring the simplest farming experience and to democratize access to modern AgTech”. Perwujudannya dengan tiga teknologi yang saat ini menjadi pilar Tanibox. Pertama Tania, yakni sebuah aplikasi manajemen pertanian yang didesain untuk memudahkan petani mengelola pekerjaan, sumber daya, meningkatkan pengetahuan dan mengoperasikan aktivitas perangkat secara otomatis.

Keyakinan pengembang bahwa pertanian modern harus berorientasi pada bisnis. Lebih dari sekadar memproduksi tanaman, petani perlu memikirkan tentang profit, produktivitas, kualitas dan keberlanjutan. Selain menjadi petani yang baik, mereka perlu menjadi manajer pertanian dan pemilik bisnis yang andal. Tania diharapkan membantu petani mencapai hal tersebut. Tania dipublikasikan sebagai open source, di bawah lisensi Apache 2.0.

“Para pendiri dan tim di Tanibox, memang sudah senang berkecimpung di dunia open source. Dengan menempatkan Tania sebagai open source masyarakat dapat dengan bebas mencoba dan memodifikasi, tentu saja dukungan yang kami berikan bersifat komunitas. Artinya tidak ada dukungan yang bersifat eksklusif seperti melakukan kustomisasi atau mengajarkan cara pakai ke masing-masing pengguna. Jika ada pengguna yang ingin melakukan kustomisasi dan membutuhkan dukungan yang eksklusif, maka mereka harus membayar. Ini model bisnis yang lumrah di dunia open source. Dengan melepas Tania menjadi open source, kami juga bisa mendapatkan traksi yang lebih cepat,” ungkap Asep.

Produk kedua Terra, yakni sebuah komputer dan sensor mini yang bekerja secara real-time untuk menangkap dan mempelajari kondisi lahan dan lingkungan di sekitarnya. Selain digunakan untuk mengoperasikan alat seperti pancuran penyiram secara jarak jauh, perangkat IoT ini juga diterapkan untuk mengumpulkan dan mengirimkan data. Konsepnya sebenarnya juga mengadopsi dari kebiasaan para petani. Mereka selalu menggunakan informasi tentang cuaca, iklim, dan kondisi alam lainnya untuk mengetahui waktu terbaik bercocok tanam.

Penerapan produk komputer dan sensor Terra pada lahan tanaman / Tanibox
Penerapan produk komputer dan sensor Terra pada lahan tanaman / Tanibox

Didukung algoritma komputasi, sensor memberikan informasi untuk mengontrol berapa banyak air yang dibutuhkan oleh tanaman, mendeteksi kebocoran, mengukur data terkait curah hujan, kelembapan, suhu, tekanan udara hingga tingkat kontaminasi. Implementasi di lahan menggunakan dua alat: Farm Computer dan Sensor. Sedangkan akses data dan kontrol perangkat dapat dilakukan melalui aplikasi mobile (direncanakan rilis ke publik kuartal ketiga tahun ini).

Yang ketiga, Trace, disebut sebagai platform pelacakan. Memberikan informasi produk makanan dan pertanian yang telah diverifikasi, mulai dari produsen, asal-usul, hingga kepemilikannya. Setiap item produk akan memiliki identitas unik, memungkinkan dilakukan pelacakan jika dibutuhkan oleh konsumen. Platform ini dinilai dapat memungkinkan para mitra mengelola bisnis, produk, dan rantai pasokan mereka lebih mudah transparan.

Tentang TaniCoin

Saat ini Tanibox tengah menjalankan proses ICO, menjual TaniCoin (atau disebut TACO) dengan target total koin sebanyak 1 miliar unit. TACO didefinisikan sebagai “participant-oriented project” yang juga dapat berfungsi sebagai koin utilitas untuk membangun teknologi blockchain. Koin kripto ini dikembangkan dengan algoritma CryptoNight. Ditargetkan proses ICO akan berakhir pada Desember tahun ini. Diharapkan keberhasilan ICO tersebut akan melancarkan roadmap produk dan bisnis yang sudah direncanakan secara jelas.

“TaniCoin sendiri sebenarnya didesain sebagai utility coin, artinya koin tersebut akan digunakan di dalam ekosistem blockchain Tanibox untuk melakukan transaksi, tetapi tidak menutup kemungkinan pemilik TaniCoin akan melakukan jual beli (trading) dengan cryptocurrency lain selepas ICO. Karena kami akan mendaftarkan TaniCoin di cryptocurrency exchange yang bersifat publik,” ujar Asep menjelaskan.

Proses ekonomi yang akan terjadi dalam blockchain Tanibox / Tanibox
Proses ekonomi yang akan terjadi dalam blockchain Tanibox / Tanibox

Pada akhirnya tim Tanibox meyakini bahwa sektor agrikultur adalah sektor yang jarang tersentuh oleh perkembangan teknologi informasi, oleh karena itu dengan semakin banyak orang-orang di industri teknologi informasi yang mau berkecimpung diharapkan makin memajukan sektor agrikultur.

“Jumlah populasi manusia semakin bertambah, tidak mungkin petani dapat menghasilkan makanan untuk manusia jika masih menggunakan cara-cara yang sama seperti pada saat populasi manusia masih sedikit,” tutup Asep.

Bantu Pertanian di Kupang, Eragano Hadirkan Solusi Teknologi Terintegrasi

Di bulan kedua tahun 2018 startup pertanian Eragano mencoba hadir membantu petani di Kupang dengan teknologi dan produk layanannya. Eragano hadir untuk mengubah sistem konvensional yang selama ini ada dan mengubahnya dengan pendekatan yang diklaim efektif.

Eragano disebutkan akan memberikan solusi terintegrasi mulai dari pembiayaan, pendampingan budidaya bertani, hingga membantu penjualan hasil panen dari petani yang ada. Teknologi Eragano juga berperan untuk membantu petani dengan memfasilitasi pinjaman kredit, penyediaan sarana produksi tani, dan akses pasar dengan harga yang lebih baik.

Selain itu Eragano juga akan membantu para petani untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan bertani melalui pelatihan dan konsultasi dengan ahli pertanian yang dari Eragano. Kupang dipilih karena Eragano menilai teknologi dan spesialisasinya bisa membantu dan memberikan dampak positif bagi para petani.

“Kupang merupakan daerah dengan lahan pertanian yang luas terbentang. Akan tetapi petani Kupang tampaknya belum merasakan dampak dari pembagian lahan oleh pemerintah dan nilai tukar petani Kupang sangat rendah. Eragano ingin sekali meningkatkan kesejahteraan petani Kupang dan meningkatkan tingkat produktivitas per lahan petani di Kupang,” terang CEO Eragano Stephannie Jesselyn.

Sementara itu hadirnya Eragano di Kupang disambut baik oleh petani dan pemerintah setempat. Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Kupang Ruben berkomentar, “Kami sangat berterima kasih atas hadirnya Eragano di Kupang, karena sebelumnya belum ada pihak swasta mana pun yang membantu petani benar-benar dari permodalan hingga membantu ke penjualannya.”

Kupang bukan satu-satunya daerah yang ingin dibantu Eragano. Pihak Eragano menjelaskan selain Kupang pihaknya terus berusaha memperluas jangkauan wilayahnya. Untuk tahun 2018 ini sendiri Eragano menargetkan akan menguatkan posisi di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kupang, Lombok dan diharapkan bisa membantu kurang lebih 100.000 petani untuk difasilitasi. Sementara untuk kuartal pertama di 2018 Eragano menyebutkan akan fokus pada memperjelas profil lahan-lahan pertanian.

Berkaca pada tahun 2017 kemarin Eragano bisa terbilang cukup sukses. Dari data internalnya Eragano sudah menyalurkan ratusan ton hasil panen dan saat ini tengah mempersiapkan beberapa daerah untuk di panen. Dengan pergerakan yang cukup agresif di tahun ini bukan tidak mungkin jumlah hasil panen yang tersalurkan bisa meningkat.

Application Information Will Show Up Here

Future Agro Challenge Tantang Startup Lokal di Bidang Pertanian

Future Agro Challenge (FAC) merupakan kompetisi global yang berfokus untuk startup yang bergerak di bidang agtech, pangan, dan pertanian. FAC setiap tahunnya memilih ide-ide dan startup inovatif dari penjuru dunia untuk bersaing dalam Global Championship guna merebut titel “Agripreneurs of the Year”. Startup yang terpilih juga berkesempatan untuk mendapatkan akses ke sumber daya, termasuk pendanaan, untuk meningkatkan bisnis dan dampaknya bagi lingkungan sosial.

Tahun ini, untuk pertama kalinya FAC datang ke Indonesia, didukung BLOCK71 Jakarta dan Angel Investment Network Indonesia (ANGIN). FAC mencari agripreneur dengan solusi revolusioner di Indonesia untuk menghadapi tantangan pertanian baik di tingkat lokal, regional, dan/atau global. Pemenang terpilih akan bersaing di “Global Championships” untuk babak final di Istanbul. Mereka akan bertemu dengan para agripreneur berbakat dari 60+ negara lainnya yang juga menawarkan berbagai inovasi untuk mengatasi tantangan pertanian global saat ini.

“Kami telah melihat banyak agripreneurs dan agri startups di Indonesia dengan solusi menarik. Namun banyak yang sering tidak terdengar. Kami membawa FAC ke Indonesia dengan tujuan untuk membekali mereka dengan dukungan yang dibutuhkan dan menerjunkan mereka kerumunan pemangku kepentingan yang jauh lebih besar di tingkat global, dari calon investor hingga mitra kerja. Kami berharap FAC bisa menjadi platform bagi para agripreneur untuk meningkatkan bisnis mereka dan menginspirasi para calon agripreneur yang tertarik untuk segera bergerak,” kata Valencia Dea, Principal di ANGIN.

FAC memiliki urgensi untuk diselenggarakan secara global. Berbagai kajian mengungkapkan bahwa ketahanan pangan global saat ini berada di tingkat kritis. Menurut Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, produksi makanan perlu meningkat sebanyak 70 persen untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan 9 miliar penduduk dunia di tahun 2050. Para pakar juga melihat adanya beberapa akar permasalahan yang menyebabkan isu ketahanan pangan saat ini; mulai dari ledakan populasi, perubahan pola makan, perubahan iklim, kelangkaan air, sampai dengan penurunan jumlah petani.

Dengan 14 persen GDP berasal dari sektor pertanian, apakah berarti Indonesia aman dari kelangkaan pangan? Tidak juga. Saat ini 19,4 juta penduduk Indonesia masih mengalami kekurangan gizi. Dalam hal ketahanan pangan, The Global Food Security Index menunjukkan bahwa Indonesia berada di urutan 69 dari 113 negara. Selain mandeknya jumlah produksi beras dalam kurun tahun 10 terakhir ini, salah satu tantangan utama kita ada pada peningkatan kemakmuran petani. Sektor pertanian senilai 124 miliar dolar gagal untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan petani, sehingga 17 juta petani masih hidup di garis kemiskinan. Inilah penyebab kita kehilangan 500 ribu petani setiap tahunnya.

“Kami mengajak semua agripreneur Indonesia untuk mendaftar secara online sebelum tanggal 5 Desember melalui tautan ini: bit.ly/fac-id . Secara khusus, kami sangat menganjurkan startup agribisnis yang menargetkan ekspansi global untuk mendaftar. Global Championships adalah platform yang tepat bagi mereka untuk memamerkan solusi mereka dan mendapatkan eksposur global, baik dari investor maupun calon mitra,” kata Tinnike Lie, Community Manager BLOCK71 Jakarta.

Disclosure: DailySocial merupakan media partner Future Agro Challenge.

Sayurbox Hadirkan Layanan Pembelian Sayuran dan Buah Organik Langsung dari Petani

Sayurbox hadir untuk mencoba memenuhi kebutuhan buah segar dan produk sayuran berkualitas kepada warga ibukota. Ia adalah sebuah platform online yang menyediakan bahan segar dan produk sehat berkualitas dari petani dan produsen lokal Indonesia. Sayurbox saat mengikuti program akselerator startup batch pertama Plug and Play Indonesia.

“Sayurbox awalnya didirikan oleh Amanda Susan dan Rama Notowidigdo, saya kemudian bergabung ke tim,” ujar Co-Founder Sayurbox Metha Trisnawati.

Sayurbox mengusung konsep bisnis farm-to-table yang memungkinkan konsumen untuk mendapatkan berbagai bahan segar dan produk berkualitas langsung dari petani dan produsen lokal. Media yang digunakan untuk memfasilitasi hal ini adalah platform online melalui situs dan selanjutnya layanan tersebut akan diperluas melalui aplikasi mobile.

“Sistem pemesanan Sayurbox adalah pre-order (pemesanan di depan), sehingga meminimalkan jumlah bahan segar yang terbuang (waste). Setelah konsumen memesan, Sayurbox akan melakukan agregasi jumlah pesanan konsumen dan menginformasikan kepada petani mitra tentang jumlah bahan segar yang harus dipanen. Bahan segar yang baru dipanen kemudian dikirimkan ke hub Sayurbox untuk segera dikemas dan diantarkan kepada konsumen sesuai dengan pesanan,” kata Metha.

Saat ini Sayurbox telah melayani lebih dari 3 ribu konsumen di area Jakarta, Tangerang, Bekasi, dan Depok, dan jumlah ini terus bertumbuh setiap bulannya.

Strategi monetisasi dan pilihan pembayaran

Strategi monetisasi yang diterapkan Sayurbox adalah melalui persentase laba (margin) dari setiap penjualan produk. Selain melalui persentase laba, Sayurbox juga memiliki monetisasi dari sistem konsinyasi (consignment) produk dari produsen mitra yang menjual produknya lewat platform Sayurbox.

Untuk pilihan pembayaran, Sayurbox menyediakan pilihan pembayaran melalui bank transfer, kartu kredit, serta virtual bank account transfer.

Sayurbox merupakan salah satu startup yang menyasar sektor pertanian di Indonesia. Tidak berbeda dengan layanan serupa lainnya, Sayurbox memangkas cara konvensional antara petani dan penjual. Selain menambah jumlah mitra petani dan produsen lokal yang saat ini berjumlah sekitar 22 mitra, Sayurbox memiliki rencana lain ke depannya.

“Sayurbox saat ini fokus pada ekspansi area pelayanan konsumen, terutama di area-area Jabodetabek yang belum dilayani oleh Sayurbox, serta perluasan jaringan mitra petani dan produsen lokal yang tergabung sebagai supplier Sayurbox,” tutup Metha.