Tag Archives: perusahaan modal ventura

AMVESINDO: Peran Perusahaan Modal Ventura Daerah Belum Optimal

Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia (AMVESINDO) baru saja merilis laporan terkait kinerja industri modal ventura di 2022. Pihaknya mencatat pertumbuhan aset pada Perusahaan Modal Ventura (PMV) yang diikuti dengan tren penurunan jumlah PMV di sepanjang tahun. 

Dalam laporannya, gabungan aset PMV, baik konvensional maupun syariah, naik mencapai Rp25 triliun. Kenaikan tersebut didorong oleh peningkatan aset lancar, yakni penyertaan ekuitas yang tumbuh 56,4% menjadi Rp6,67 triliun pada periode 2020-2022. 

AMVESINDO menilai pertumbuhan aset menjadi salah satu indikator positif di tengah badai industri teknologi di Indonesia. Adapun, PMV di luar DKI Jakarta disebut lebih banyak menyalurkan pembiayaan usaha produktif dibandingkan penyertaan ekuitas dengan pertumbuhan 7% menjadi Rp10,6 triliun (2020-2022).

Sumber: AMVESINDO

Di sisi lain, laporan ini mengungkap bahwa jumlah PMV turun di sepanjang 2022 dari 55 perusahaan (Q1) menjadi 49 (Q4). Penurunan ini disebabkan oleh reformasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai badan pengawas industri modal ventura. Salah satu fokusnya di 2023 adalah menata ulang kegiatan usaha modal ventura sesuai kompetensi atau bidangnya.

Menurut Ketua Umum AMVESINDO Eddi Danusaputro pertumbuhan aset tersebut menandakan pergerakan industri modal ventura semakin baik. “Reformasi OJK bertujuan untuk mendorong PMV agar melakukan kegiatan usaha dalam bentuk penyertaan ekuitas, pembelian obligasi konversi, pembiayaan melalui pembelian surat utang yang diterbitkan Pasangan Usaha pada tahap rintisan awal dan/atau pengembangan usaha dan pembiayaan usaha produktif sesuai dengan POJK 35 Pasal 2,” tambahnya.

Di samping itu, penurunan pemodal ventura di luar Jakarta kemungkinan disebabkan oleh belum optimalnya peran Perusahaan Modal Ventura Daerah (PMVD) dalam menyalurkan pembiayaan/permodalan kepada UMKM. Skala usaha PMVD juga terbilang relatif kecil mengingat masyarakat belum familiar dengan model pembiayaan yang ditawarkan ventura dan cenderung mengambil opsi pembiayaan ke perbankan.

Usulan AMVESINDO

AMVESINDO berupaya untuk mendorong peran PMVD di berbagai daerah untuk menumbuhkembangkan potensi UMKM. Pihaknya menilai PMVD menawarkan sejumlah nilai tambah yang dapat dipertimbangkan kuat oleh pelaku usaha, di antaranya keleluasaan menyusun skema pembiayaan, kejelian mengambil peluang usaha, dan kemampuan memberikan pendampingan.

Dalam laporannya, AMVESINDO juga menyampaikan sejumlah usulan kepada pemerintah untuk mendorong pertumbuhan industri modal ventura di daerah. Usulan ini diharapkan dapat mendongkrak pertumbuhan industri modal ventura nasional dan ekonomi di Indonesia:

1. Sosialisasi AMVESINDO dan OJK tentang skema PMV Lisensi OJK sebagai salah satu alternatif pendanaan startup
2. Mengurangi jumlah modal pendirian dan persyaratan kepatuhan untuk kepengurusan PMV
3. Mendorong perumusan dan pelaksanaan insentif pajak untuk PMV Lisensi OJK
4. Mengadvokasi tidak ada morotarium untuk PMB Lisensi OJK saat ini dan mendorong pihak berkepentingan untuk proses pendaftaran PMV
5. Pembentukan tim ahli dari ekosistem PMV Lisensi OJK untuk kajian dan formulasi kebijakan terkait regulasi perusahaan modal ventura
6. Mempercepat proses aplikasi dana ventura sambil tetap menjalankan prinsip kehati-hatian
7. Melanjutkan proses RPOJK Perusahaan Pembiayaan Mikro untuk PMV yang berfokus pada pemberian pembiayaan UMKM yang telah berjalan sejak 2021.

Wakil Ketua I AMVESINDO Dennis Pratistha berharap berbagai usulan di atas dapat mendorong pertumbuhan ekosistem startup dan menjalankan misinya untuk berperan aktif membangun industri modal ventura secara profesional.

“Sejalan dengan akselerasi adopsi digital, diiringi dengan populasi besar di Indonesia yang terbukti resilien dalam menghadapi persaingan pasar bebas di 2023, AMVESINDO mengajak perusahaan modal ventura di luar Indonesia untuk bergabung dengan AMVESINDO dan bersama menciptakan ekosistem yang lebih kuat.” Tutupnya.

Laporan e-Conomy SEA 2022 oleh Google, Temasek, dan Bain & Company memproyeksikan ekonomi digital Indonesia mencapai GMV $130 miliar hingga 2025 dengan CAGR 19%, dan tumbuh tiga kali lipat di kisaran $220 miliar-$360 miliar di 2030. Tahun lalu tercatat tiga layanan digital teratas di Indonesia adalah e-commerce, transportasi, dan food delivery.

BCA to Allocates Rp400 Million in a New Managed Fund Central Capital Ventura

PT Bank Central Asia Tbk (IDX: BBCA) is to allocate IDR 400 billion to Central Capital Venture (CCV) to support investment into the startup ecosystem. BCA’s President Director Jahja Setiaatmadja said that CCV has invested in 26 startups.

In a press conference on BCA’s 2021 performance, Jahja said that the funds will be used to add more good quality startup portfolios, purposely to generate more profits later.

“We provide CCV the authority to determine which fields for its focus,” Jahja said as quoted from Katadata.

On the general note, CCV was formed as BCA’s investment arm to support the development of digital innovation within the company. CCV has a mission to create collaboration between BCA and portfolio, especially in terms of embedded finance.

Since the establishment of CCV in 2017, BCA has invested around IDR 200 billion focusing on the fintech vertical. Some of CCV’s portfolios include Akseleran, Qoala, and Oy!.

Based on the performance report in 2020, CCV has disbursed around Rp157 billion for investment, an increase of 20% from Rp119.3 billion in the previous year. CCV also secured an operational profit of IDR 1.71 billion from a loss of IDR 1.7 billion in 2019.

In addition to CCV, BCA established a new digital bank, BCA Digital, which focuses on being a tech incubator and expanding the ecosystem under the parent company. BCA Digital was officially established in mid-2021 by launching the “blu” mobile banking application.

CVC in 2021

Based on our records, several corporate venture capital (CVC) in Indonesia are still actively investing in startups throughout 2021. Last year, PT Bank BTPN Tbk (IDX: BTPN) and PT Bank BTPN Syariah Tbk (IDX: BTPS) formed a new CVC named BTPNS Ventura.

The thing is, we oobserve that several CVCs started to offer different initiatives apart from new managed funds. For example, MDI Ventures introduced the eMerge platform to connect a network of angel investors and startups in Indonesia.

There is also a collaboration between MDI Ventures and cryptocurrency exchange platform Binance to form a consortium through a joint venture. This collaboration is carried out to develop a digital asset exchange platform in Indonesia.

Corporate Venture Capital (CVC) in Indonesia / Source: DS Research

Furthermore, we have BRI Ventures that started to expand its investment vertical by introducing the Tokocrypto Sembrani Blockchain Accelerator (TSBA) with Tokocrypto. The goal is to empower startup projects with blockchain technology and tokenization in Indonesia.

Moreover, the Government launched the Merah Putih Fund (MPF) last year as an effort to encourage the acceleration of innovation, digital potential, and startups in Indonesia. The government involved the five SOEs including Telkom, Telkomsel, Mandiri, BRI, and BNI to manage the MPF with a Rp4.3 trillion funding.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

CVC Bank BCA

BCA Menambah Dana Kelolaan Central Capital Ventura Senilai Rp400 Miliar

PT Bank Central Asia Tbk (IDX: BBCA) akan mengalokasikan dana sebesar Rp400 miliar ke Central Capital Ventura (CCV) untuk mendukung upaya investasi ke ekosistem startup. Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja menyebutkan bahwa CCV telah berinvestasi ke 26 startup hingga saat ini.

Dalam konferensi pers paparan kinerja BCA 2021, Jahja mengatakan bahwa dana tersebut digunakan untuk menambah portofolio startup berkualitas bagus dan dapat menghasilkan keuntungan nantinya.

“Kami memberikan wewenang kepada CCV untuk menentukan bidang mana yang akan dimasuki,” ujar Jahja seperti dikutip dari Katadata.

Sebagai informasi, CCV dibentuk sebagai perpanjangan investasi BCA untuk mendukung pengembangan inovasi digital di lingkup perusahaan. CCV memiliki misi untuk menciptakan kolaborasi antara BCA dan portofolio, terutama peluang embedded finance.

Pada awal pendirian CCV di 2017, BCA menyuntik dana sebesar Rp200 miliar dengan fokus utama pada vertikal fintech. Beberapa portofolio CCV antara lain Akseleran, Qoala, dan Oy!.

Berdasarkan laporan kinerja di 2020, CCV telah menyalurkan investasi sebesar Rp157 miliar atau naik 20% dari Rp119,3 miliar di tahun sebelumnya. CCV juga mengantongi laba operasional sebesar Rp1,71 miliar dari kerugian Rp1,7 miliar di 2019.

Selain CCV, BCA mendirikan bank digital baru BCA Digital yang berfokus sebagai tech incubator dan memperluas ekosistem yang sudah dimiliki oleh induk usaha. BCA Digital resmi berdiri pada pertengahan 2021 dengan meluncurkan aplikasi mobile banking “blu”.

Gerak CVC di 2021

Berdasarkan catatan kami, sejumlah corporate venture capital (CVC) di Indonesia masih aktif berinvestasi ke startup di sepanjang 2021. Tahun lalu juga ada kemunculan CVC baru bentukan PT Bank BTPN Tbk (IDX: BTPN) dan PT Bank BTPN Syariah Tbk (IDX: BTPS), yakni BTPNS Ventura.

Menariknya, kami melihat beberapa CVC di antaranya mulai menghadirkan inisiatif berbeda selain menambah dana kelolaan baru. Misalnya, MDI Ventures memperkenalkan platform eMerge untuk menghubungkan jaringan angel investor dan startup di Indonesia.

Ada juga kolaborasi MDI Ventures bersama platform pertukaran mata uang kripto Binance untuk membentuk konsorsium melalui joint venture. Kolaborasi ini dilakukan untuk mengembangkan platform pertukaran aset digital di Indonesia.

Corporate Venture Capital (CVC) di Indonesia / Sumber: DS Research

Kemudian, BRI Ventures juga mulai melebarkan vertikal investasinya dengan mendirikan Tokocrypto Sembrani Blockchain Accelerator (TSBA) bersama Tokocrypto. Tujuannya adalah memberdayakan proyek startup dengan teknologi blockchain dan tokenisasi di Indonesia.

Tak kalah penting, tahun lalu Pemerintah meluncurkan Merah Putih Fund (MPF) sebagai upaya untuk mendorong akselerasi inovasi, potensi digital, dan startup di Indonesia. Pemerintah melibatkan sebanyak lima BUMN meliputi Telkom, Telkomsel, Mandiri, BRI, dan BNI untuk mengelola MPF dengan dana kelolaan fase awal sebesar Rp4,3 triliun.

Berbicara tentang exit, investor masih memilih jalur IPO, namun kebanyakan startup belum siap melantai di bursa

Potensi “Exit” di Tahun 2021 di Mata Pendiri Startup dan Investor

Di Indonesia, strategi exit yang memungkinkan investor dan founder untuk mencairkan kapitalnya cenderung belum umum menjadi pemikiran sentral. Meskipun demikian, untuk mendorong iklim bisnis yang lebih sehat, setiap startup yang sudah matang sebaiknya memikirkan strategi yang memungkinkan kapital dari dana ventura diputar kembali di ekosistem.

Strategi exit yang efektif idealnya harus direncanakan untuk setiap kemungkinan positif dan negatif. Positif jika bisnis berjalan sesuai dengan yang direncanakan, sementara negatif jika bisnis tidak sesuai dengan harapan.

CEO Prasetia Dwidharma dan Venture Partner MDI Ventures Arya Setiadharma mengatakan, “Ketika Anda memulai sebuah startup, Anda sudah harus memiliki exit strategy, baik melalui IPO atau trade sale. Inilah yang dibutuhkan perusahaan modal ventura. Anda harus dapat mengkomunikasikannya dengan baik, karena dana perusahaan modal ventura harus keluar pada akhirnya.”

DailySocial mencoba memahami kapan dan bagaimana seharusnya startup melakukan exit, baik melalui go public atau melalui merger dan akuisisi (M&A), dengan berdiskusi dengan beberapa pendiri dan investor.

Kesiapan startup

Belum banyak startup Indonesia yang exit melalui IPO. Masih bisa dihitung dengan jari. Kebanyakan exit terjadi melalui kendaraan M&A. BEI sendiri telah memberikan opsi papan akselerasi dan papan pengembangan untuk mendorong lebih banyak startup mencari kapital di pasar modal.

Tahun 2020 lalu, startup fintech Cashlez melantai di Bursa Efek Indonesia dan tercatat di papan akselerasi.

Reynold Wijaya, CEO Modalku, salah satu startup p2p lending terdepan di Indonesia, mengungkapkan, mereka belum memiliki rencana dan enggan membicarakan lebih jauh tentang strategi exit.

“Menurut kami, IPO belum memiliki urgensi untuk saat ini. IPO merupakan satu hal yang tidak kita pikirkan secara konstan karena dinamika industri startup bergerak sangat cepat. Prioritas utama adalah fokus terhadap perkembangan perusahaan itu sendiri dan menjaga agar bisnis tetap stabil.”

Ditambahkan Reynold, waktu ideal IPO untuk setiap perusahaan pasti berbeda. Tidak ada satu opsi yang mutlak, karena harus disesuaikan dengan kondisi bisnis dan pertumbuhan startup bersangkutan. Tantangan yang mungkin ditemui adalah pemenuhan persyaratan regulator.

“Bagi saya, fokus utama ketika menjalankan sebuah startup harus selalu untuk mengembangkan fundamental dan bisnis. Exit maupun IPO merupakan byproduct dari hal tersebut. Di Modalku sendiri, kami selalu fokus untuk terus berinovasi dan mengembangkan produk layanan kami agar bisa memberikan akses pendanaan dan menjangkau lebih banyak UKM yang berpotensi,” kata Reynold.

Hal senada diungkapkan CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin. Ia mengatakan perusahaan belum akan merealisasikan IPO dalam waktu dekat. Dengan target bisnis yang dimiliki tahun ini, pihaknya masih berkomitmen untuk tumbuh dan mengejar profitabilitas.

“Kami masih ingin berdikari dan menjalankan Bukalapak sebagai standalone company,” paparnya.

Kendati demikian, Rachmat menyebut bahwa pihaknya terbuka terhadap opsi IPO. “IPO adalah salah satu opsi untuk bisa mendapatkan dana dan memang perusahaan teknologi di masa tertentu ingin IPO. Kami terbuka dengan opsi itu dan sekarang sedang siapkan infrastrukturnya.”

Dukungan perusahaan modal ventura

Sebagai corporate venture capital (CVC) kelolaan Bank Mandiri yang fokus berinvestasi ke startup fintech dan pendukungnya, Mandiri Capital Indonesia (MCI) memiliki total kelolaan Rp1 triliun sejak berdiri pada tahun 2015.

CEO MCI Eddi Danusaputro menuturkan, pihaknya sudah beberapa kali melakukan exit. Di tahun 2020 lalu, mereka exit melalui IPO di Cashlez dan melalui M&A untuk Moka (yang diakuisisi Gojek). Exit di Moka berbentuk tunai dan saham minoritas di Gojek.

“Menurut saya, waktu terbaik bagi startup untuk mulai [memikirkan] exit strategy adalah [sejak awal] [..]. Startup sudah harus segera memikirkan rencana roadmap mereka, terutama jalan untuk menuju profitabilitas,” kata Eddi.

Menurut Eddi, IPO tidak selalu menjadi pilihan utama bagi startup. Jalur lain yang bisa dipilih adalah melalui penjualan perusahaan. Setiap perusahaan modal ventura memiliki pilihan waktu yang beragam, bisa 5 hingga 8 tahun ke depan.

“Pada akhirnya ketika IPO, M&A, atau jalur lainnya yang telah dipilih, akan terjadi perubahan dinamika dalam manajemen di perusahaan. Startup yang dibeli oleh perusahaan besar atau unicorn akan fokus ke integrasi. Sedangkan startup yang memilih jalur IPO akan menambah fokus ke short term results, karena ada tujuan agar harga saham bisa terus naik,” ujar Eddi.

Sementara menurut Kevin Wijaya dari CyberAgent Capital, Inc, waktu yang tepat bagi startup untuk bisa melantai di bursa adalah, ketika startup berhasil meraih pertumbuhan year-on-year (YoY) yang positif dalam waktu 5 tahun terakhir dan telah memperoleh pendapatan hingga $50 juta.

Sebagai perusahaan modal ventura, CyberAgent berupaya mendorong startup yang tergabung dalam portofolio mereka untuk berada pada pertumbuhan yang stabil dan sustainable. Portofolio CyberAgent yang santer diberitakan melantai di bursa saham dalam waktu dekat adalah Tokopedia.

“Hal tersebut karena IPO merupakan jalur yang paling ideal untuk bisa menjadi perusahaan yang besar hingga 3 atau 4 kali lipat dari ukuran perusahaan sebelumnya. Oleh karena itu, kami selalu mendorong perusahaan portofolio kami untuk memahami sepenuhnya game plan mereka, tidak hanya untuk 1 atau 2 tahun ke depan tetapi juga untuk 10 tahun ke depan,” kata Kevin.

SPAC sebagai jalur go public alternatif

Selain IPO secara konvensional, jalur go public yang setahun terakhir sangat populer di kalangan startup adalah Special Purpose Acquisition Company (SPAC). Proses IPO konvensional yang terbilang rumit, mahal, dan memakan waktu membuat SPAC menjadi jalur alternatif ideal, termasuk startup Asia Tenggara. Lebih dari 200 SPAC telah go public dan mengumpulkan dana sekitar $70 miliar. Tentu saja SPAC bukan tanpa risiko.

“SPAC pada dasarnya adalah blank check vehicle. Meskipun ini dapat menjadi cara mudah bagi investor untuk mencari likuiditas, hal ini dapat menyebabkan perilaku yang tidak baik yang berpotensi menyebabkan persoalan lebih lanjut ke depannya. Di sisi lain, IPO membutuhkan persyaratan yang lebih ketat. Ini adalah cara yang telah teruji selama beberapa dekade, untuk membawa perusahaan ke publik,” kata Tania Shanny Lestari dari OpenSpace Ventures.

SPAC menawarkan rute yang lebih cepat bagi perusahaan agar bisa tumbuh untuk bisa memasuki pasar lebih cepat dan memiliki transparansi harga yang lebih baik. Namun, hal tersebut sangat bergantung pada siapa orang/sponsor yang menjalankan SPAC.

“Sebagai perusahaan modal ventura yang berfokus pada startup tahap awal, SPAC tentunya akan menjadi pilihan yang lebih disukai bagi kami, karena dapat memberikan potensi exit yang jauh lebih cepat tetapi dengan harga yang masih cukup baik.”

Menurut Managing Partner IndoGen Capital Chandra Firmanto, jalur exit mandiri adalah yang terbaik. Namun jika mereka tidak bisa melakukan proses tersebut, jalur SPAC yang dilakukan secara bersama dengan perusahaan lain, lebih memungkinkan untuk dilakukan.

“[..] Pada akhirnya menciptakan sinergi dan ekosistem baru untuk bisa bertahan dan bersaing dengan perusahaan yang jauh lebih besar,” kata Chandra.

Kebanyakan investor masih melihat relevansi "growth" untuk menghadirkan inovasi sebagai tesis investasi 2021

“Growth vs Profit”: Tren Tesis Investor di Tahun 2021

Tersandungnya rencana IPO WeWork di tahun 2019, seakan membuka mata para perusahaan modal ventura bahwa metrik growth (pertumbuhan) yang selama ini menjadi fokus startup dan perusahaan modal ventura, tidak lagi jadi satu-satunya andalan. Kegiatan “membakar uang” demi inovasi dan pengguna baru, jika tidak dibarengi strategi bisnis yang kuat, bisa berujung kegagalan.

Di awal tahun 2021, ketika pandemi masih menjadi persoalan utama, banyak startup yang melakukan pivot model bisnis dan mendapatkan penerimaan demi bisa mempertahankan operasional.

Kami berbincang dengan sejumlah investor untuk memahami bagaimana tesis investasi mereka tahun ini.

Pandemi menjadi momen pembuktian

Menurut Managing Partner BAce Capital Benny Chen, pandemi menjadi kesempatan membuka mata lebih lebar lagi untuk mendorong perusahaan menjadi lebih baik. Kondisi ini menjadi momen penting untuk lebih waspada dan lebih fokus ke model bisnis.

Hal senada diungkapkan Investment Manager Genesia Ventures Elsha E. Kwee. Menurutnya, perusahaan yang sukses melakukan penggalangan dana saat pandemi memiliki posisi yang lebih baik untuk fokus ke pertumbuhan. “Kuncinya” adalah memiliki 18-24 bulan runway.

“Menurut saya tidak ada perubahan mendasar dalam hal sikap umum terhadap growth dan profitabilitas.”

Portofolio Genesia Ventures, klaim Elsha, menutup tahun dengan angka yang jauh lebih baik daripada di awal tahun 2020.

Sementara menurut Kelvin Yim dari Alpha Momentum Indonesia, pertumbuhan dan profitabilitas startup di tahun 2021 mendatang sangat bergantung pada ide bisnis startup dan strategi di tengah pandemi.

“Jika produk dan layanan tersebut memiliki relevansi selama pandemi ini, maka ini adalah peluang yang baik untuk merebut pangsa pasar dan mendorong beberapa keuntungan. Jika tidak, maka strategi harus diterapkan untuk melihat bagaimana startup dapat mendorong penjualan dan pertumbuhan selama pandemi,” kata Kelvin.

Tidak dapat dipungkiri pandemi telah menurunkan bahkan menunda kegiatan perusahaan modal ventura untuk memberikan investasi kepada startup.

Menurut Managing Director ANGIN David Soukhasing, kondisi ini memaksa para pendiri yang tidak dapat mencapai target penggalangan dana mereka untuk menciptakan aliran pendapatan baru atau mengontrol pengeluaran mereka dengan lebih baik.

“Menurut saya tahun 2021 masih belum jelas seperti apa prospeknya. Pengelolaan pertumbuhan akan terus menjadi fokus dari pendiri startup. Pada akhirnya, keputusan akan ada di tangan investor dan keinginan dari para pendiri sendiri. [..] Jika logika berubah dan Anda melihat perusahaan dinilai dengan EBITDA atau laba bersih, maka investor akan mendorong kepada pertumbuhan dan profitabilitas yang terkendali,” kata David.

Menyeimbangkan pertumbuhan dan profitabilitas

Menurut Benny, meskipun kebanyakan fokus startup di tahapan pendanaan awal adalah kepada pertumbuhan, tidak menutup kemungkinan profitibilitas juga bisa diraih dengan strategi yang tepat. Benny menambahkan, tidak ada standarisasi untuk hal tersebut, jika startup tersebut memiliki model bisnis yang relevan, baiknya dicoba saja kedua proses tersebut, tentunya setelah pendiri memahami benar bagaimana cara tepat mendapatkan profit dan mencapai pertumbuhan yang ideal.

Sementara menurut Kelvin, menjadi lebih baik untuk startup yang masih dalam tahapan pendanaan awal untuk selalu memikirkan kepada pertumbuhan. Pertumbuhan dapat diukur dengan berbagai indikasi. Indikator umum kemungkinan akan berada di sekitar jumlah pelanggan dan jika startup berada pada tahap awal, idealnya harus memiliki rencana strategis untuk melihat bagaimana pertumbuhan pelanggan dilakukan.

“Profitabilitas cenderung berada dalam fase di mana startup dapat mengidentifikasi annual break-even point terhadap pengeluaran operasional. Beberapa startup mungkin memiliki masalah dalam mengidentifikasi di mana pendapatan dapat diperoleh, tetapi selalu lebih baik untuk masuk ke bisnis dengan mempertimbangkan profitabilitas. Pada tahap awal untuk rencana 3 atau 5 tahun, startup harus memasukkan break-even dan profitabilitas, sehingga startup dapat menyusun strategi bagaimana mencapai tujuan tersebut sejak awal,” kata Kelvin.

Sebagai perusahaan modal ventura yang fokus kepada startup tahap awal, Genesia Ventures melihat kebanyakan startup tahap awal akan menghabiskan sebagian besar waktu dan sumber daya mereka untuk mencari product market fit dan begitu mereka menemukannya, pertumbuhan menjadi fokus yang penting, karena menunjukkan kepada calon investor bahwa solusi yang diberikan startup adalah sesuatu yang diinginkan pasar.

“Secara keseluruhan, menurut saya pertumbuhan lebih dihargai pada tahap awal, meskipun pada saat yang sama penting untuk menunjukkan kepada investor bahwa setidaknya ada jalan menuju profitabilitas dengan mencapai unit ekonomi yang sehat. Ketika perusahaan tumbuh, fokusnya kemudian akan mulai bergeser ke arah profitabilitas. Para pendiri perlu menemukan keseimbangan antara pertumbuhan dan profitabilitas,” kata Elsha.

Menurut Kelvin, jika startup berada pada tahapan awal tapi menuntut ticket size yang besar di awal, maka mungkin pertumbuhan vs profitabilitas harus sudah disiapkan untuk menarik investasi.

Tanpa pertumbuhan, sebuah startup tidak mungkin dapat mencapai tahap keuntungan, mengingat mereka akan menghabiskan dana operasional dengan sangat cepat. Bergantung pada tahap di mana startup berada, indikator pertumbuhan biasanya penting pada tahap awal. Ketika startup telah beroperasi selama beberapa waktu, profitabilitas adalah tonggak pencapaian selanjutnya.

“Jika saya harus memilih, saya percaya bahwa pola pikir perspektif pertumbuhan memaksa para pendiri untuk bergantung pada pendanaan. Itu berarti tidak hanya pelanggan dan pasar yang memutuskan kepercayaan perusahaan, tetapi juga investor yang membuat keputusan tentang siapa yang akan dipertaruhkan,” kata David.

Sementara menurut Elsha, investor juga akan melihat metrik lain, seperti pendapatan berulang dan keterlibatan pengguna. Pendapatan adalah indikator yang baik tentang apakah perusahaan memberikan solusi untuk masalah yang cukup signifikan bagi pengguna untuk membayar, sedangkan pengulangan dan keterlibatan menunjukkan utilitas yang berkelanjutan.

“Tetapi sekali lagi, memiliki unit ekonomi yang baik dan menunjukkan jalur menuju profitabilitas adalah penting, terutama seiring kemajuan perusahaan menuju penggalangan dana untuk tahap pertumbuhan,” kata Elsha.

BRI Ventures to Manage New Venture Fund “Sembrani Nusantara”

BRI Ventures launches a new managed fund named “Dana Ventura Sembrani Nusantara”. The fund acts as a new vehicle for BRI Ventures to invest in early stage startups and the non-fintech segments, such as education, agro-maritime, retail, transportation, and health.

As a non-CVC fund, Sembrani Nusantara’s concept is similar to the Centauri Fund managed by the MDI Ventures and KB Financial Group in South Korea, despite some fundamental differences.

The name Sembrani Nusantara is to represent a symbol of the future startup philosophy. Sembrani, Batara Wisnu’s horse in the wayang story, is a representation of a unicorn with local wisdom.

In today’s event (6/24), BRI Ventures is said to raise IDR300 billion. BRI, as a General Partner, also plants money into the fund and has received some commitments from institutional investors as Limited Partners.

In terms of managing venture funds, BRI Ventures has obtained OJK approval after submitting it last year. The venture fund is an investment contract scheme between PMV and the custodian bank, made by OJK for the venture capital industry willing to enter the equity participation.

To date, most of local PMVs play in profit-sharing financing, which is not much different from the ones performed by financial companies.

BRI Ventures‘ CEO, Nicko Widjaja explained, Sembrani Nusantara is inspired by the will to prepare a broader investment climate, however, in compliance with rules under OJK’s surveillance radar.

“BRI Ventures intends to build an ecosystem which lately controlled by foreign PMVs and we are yet to prepare. Now is the time for us to start, which is likely to change the ecosystem in ASEAN,” he said.

The issue of high taxation, which behind many local PMVs to run away and flee to neighboring countries, can actually be overcome with some adjustments. He said BRI Ventures reduced management costs and other costs.

“Instead of waiting for the rules to change, why don’t we change the mindset. We have talked to the [BRI] group, we changed the carry profit and management fees, [because] we are aware that we cannot instantly ask the government to change. With Sembrani Nusantara, we are trying to redefine the VC industry in Indonesia. We adjust [two things] to make the industry more competitive. It’s like an early startup with a subsidy.”

Of the total Rp300 billion managed funds, BRI Ventures is to invest in 10-15 non-fintech early-stage startups for the deployment period between the next two to three years.

Widjaja said Sembrani will continue to review its progress, considering this is BRI Ventures’ first time to create funds and managed external funds. Until recently, BRI Ventures always invested in startups as a single LP.

“The challenge in managing venture funds is we have to communicate more for there are various investors and most importantly to perform education which very lacks these days.”

First mover

Sembrani Nusantara is to bring fresh air for the local startup ecosystem which continues to be dominated by foreign investors. The license from OJK can be considered as the first movers because they agree to comply with domestic rules.

For the record, many venture capital players, even with an office in Indonesia, are having legality in Singapore due to tax-friendly. The provision of paid-up capital limits is considered not in accordance with the pattern of VC players which mostly run in tech startups and raise funds from external investors.

In addition, the large income tax (PPh) is still a challenge for local investors to compete with foreign investors. According to PMK No.48 of 2018 regarding the Tax Treatment of Equity Participation of Venture Capital Companies in Micro, Small and Medium Enterprises is considered not friendly to accommodate the capital gain tax rules.

The capital gains tax for PMV reaches 25% of the increase in equity value, while for individual investors 30%. This large number has made foreign investors prefer to channel their capital through PMA, rather than collaboration with local PMVs. Meanwhile, the capital gains tax in Singapore is only 5%.

Most of the local PMVs investing in digital startups and have been registered with the OJK are part of the bank’s subsidiary, such as Central Capital Ventures (CCV), BRI Ventures, and Mandiri Capital Indonesia. The majority of them focus on investing fintech startups to support their parent business in accordance with the regulator’s mandate.

According to OJK’s data as of March 2020, there are 61 PMVs obtained permits, consisting of 57 conventional PMVs and four of which were Sharia-based. As of April 2020, the performance of most PMVs came from profit-sharing financing of 77%, 19% equity participation, and 4.1% convertible bonds. This number changed from last year’s position. Profit-sharing financing portion reaches 99%.

“We are encouraging BRI to become a digital [investing digital startup] PMV. In addition, Sembrani Nusantara is well received by investors, therefore, it can support the PMV industry which is very limited [for investing shares in startups,” the Head of OJK’s 2B IKNB Supervision Department Bambang W. Budiawan explained on the same occasion.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

BRI Ventures luncurkan Dana Ventura Sembrani Nusantara untuk danai startup early stage dan non fintech, pendidikan, agro-maritim, ritel, transportasi, dan kesehatan

BRI Ventures Kelola Dana Ventura Baru “Sembrani Nusantara”

BRI Ventures meluncurkan kelolaan baru bernama “Dana Ventura Sembrani Nusantara”. Fund tersebut menjadi kendaraan baru bagi BRI Ventures untuk mendanai startup early stage yang bermain di segmen non fintech, seperti pendidikan, agro-maritim, ritel, transportasi, dan kesehatan.

Sebagai dana non CVC, konsep Sembrani Nusantara mirip dengan dana kelolaan Centauri Fund yang diinisiasi MDI Ventures dan KB Financial Group Korea Selatan, meski memiliki beberapa perbedaan mendasar.

Nama Sembrani Nusantara dipilih sebagai simbol filosofi startup di masa mendatang. Sembrani, kuda tunggangan Batara Wisnu di cerita pewayangan, merupakan representasi sebuah unicorn dengan kearifan lokal.

Pada peluncuran hari ini (24/6), BRI Ventures menargetkan dapat menghimpun dana sebesar Rp300 miliar. BRI, sebagai General Partner, turut menaruh dana ke dalam fund tersebut dan telah mendapat sejumlah komitmen dari investor institusi sebagai Limited Partner.

Dalam mengelola dana ventura, BRI Ventures telah mendapat restu OJK setelah pengajuan dimulai dari akhir tahun lalu. Dana ventura merupakan skema kontrak investasi antara PMV itu sendiri dengan bank kustodian, yang dibuat OJK agar industri perusahaan modal ventura lebih berani untuk masuk ke penyertaan saham.

Selama ini PMV lokal mayoritas bermain di pembiayaan bagi hasil yang notabenenya tak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan perusahaan pembiayaan.

CEO BRI Ventures Nicko Widjaja menjelaskan, latar belakang peluncuran Sembrani Nusantara adalah keinginan untuk menyiapkan iklim investasi yang lebih luas, namun dengan aturan main yang tetap berada dalam radar pengawasan OJK.

“BRI Ventures ingin membangun ekosistem yang selama ini dikuasai PMV asing dan kita kemarin tidak siap. Sekarang saatnya kita mulai yang kemungkinan juga bisa mengubah ekosisem di ASEAN,” ujarnya.

Isu perpajakan yang tinggi, yang selama ini menjadi dalih banyak kebanyakan PMV lokal untuk menghindar dan lari ke negara tetangga, sebenarnya dapat diatasi dengan sejumlah penyesuaian. Dia menerangkan, BRI Ventures menurunkan biaya management dan biaya lainnya.

“Daripada nunggu aturan berubah kenapa kita tidak ubah cara pikir. Kita sudah bicara dengan grup [BRI], kita ubah carry profit dan management fee, [karena] kita sadar enggak bisa minta plek-plek minta pemerintah ubah. Dengan Sembrani Nusantara, kami mencoba meredefinisikan industri VC di Indonesia. [Dua hal itu] Kami sesuaikan untuk membuat industri semakin kompetitif. Mirip seperti startup yang di masal awal memberikan subsidi.”

Dari total dana kelolaan Rp300 miliar, BRI Ventures akan berinvestasi tahap awal untuk 10-15 startup yang bergerak di sektor non fintech untuk masa deployment antara dua sampai tiga tahun mendatang.

Nicko mengatakan, ke depannya Sembrani akan terus ditinjau progress-nya, mengingat ini adalah pertama kalinya BRI Ventures membuat fund dan mengelola dana eksternal. Selama ini, setiap berinvestasi ke startup, BRI Ventures selalu menjadi single LP.

“Tantangannya dalam mengelola dana ventura, kami jadi lebih banyak berkomunikasi karena ada beragam investor dan terpenting melakukan edukasi yang selama ini kurang.”

First mover

Kehadiran Sembrani Nusantara menjadi angin segar untuk ekosistem startup lokal yang terus didominasi pendanaan dari luar negeri. Posisi mereka yang sudah terdaftar di OJK bisa dianggap sebagai first mover karena mereka sepakat untuk tunduk pada aturan di dalam negeri.

Sebagai catatan, banyak pemain modal ventura, meski kantornya ada di Indonesia, tetapi legalitas mereka ada di Singapura karena di sana lebih ramah pajak. Ketentuan batas modal disetor dianggap kurang sesuai dengan pola pemain VC yang kebanyakan bermain di startup teknologi dan menggalang dana dari investor eksternal.

Di samping itu, pengenaan pajak penghasilan (PPh) yang besar masih menjadi tantangan untuk investor lokal untuk berkompetisi dengan pemodal asing. Menurut PMK PMK No.48 Tahun 2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Penyertaan Modal Perusahaan Modal Ventura pada Perusahaan Mikro, Kecil, dan Menengah dianggap belum ramah mengakomodir aturan pajak capital gain.

Penerapan pajak capital gain buat PMV itu mencapai 25% dari kenaikan nilai ekuitas, sementara bagi investor perorangan 30%. Besarnya angka ini membuat investor asing selama ini lebih memilih untuk menyalurkan modalnya melalui PMA, ketimbang kolaborasi dengan PMV lokal. Sementara, pajak capital gain di Singapura hanya 5%.

Adapun mayoritas PMV lokal yang mendanai startup digital dan sudah terdaftar di OJK adalah bagian dari anak usaha bank, yakni Central Capital Ventura (CCV), BRI Ventures, dan Mandiri Capital Indonesia. Ketiganya mayoritas fokus mendanai startup fintech untuk mendukung bisnis induk usahanya sesuai dengan mandate dari regulator.

Menurut data OJK per Maret 2020, tercatat ada 61 PMV yang telah mengantongi izin, terdiri dari 57 PMV konvensional dan empat diantaranya berbentuk Syariah. Per April 2020, kinerja dari mayoritas PMV tersebut berasal dari pembiayaan bagi hasil sebesar 77%, penyertaan saham 19%, dan obligasi konversi 4,1%. Angka ini terjadi perubahan dibandingkan posisi tahun lalu. Porsi pembiayaan bagi hasil mencapai 99%.

“Kami mendorong BRI menjadi PMV yang [membiayai startup] digital. Selain itu, Sembrani Nusantara dapat diterima oleh investor dengan baik, sehingga dapat mendukung industri PMV yang masih sangat limited [untuk penyertaan saham ke startup,” tutup Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2B OJK Bambang W. Budiawan yang hadir di kesempatan tersebut.