Tag Archives: Photokina 2018

Fujifilm Umumkan Proyektor Unik dengan Lensa yang Bisa Diputar-putar

Fujifilm membuat geger ajang Photokina 2018 lewat pengumuman dua kamera mirrorless medium format baru, yakni Fujifilm GFX 50R dan GFX 100 yang masih dalam tahap pengembangan. Di samping itu, mereka juga memperkenalkan perangkat unik macam kamera instan hybrid yang bisa merekam video dan proyektor inovatif berikut ini.

Proyektor berwujud balok ringkas ini sementara masih belum bernama, tapi ia menawarkan sesuatu yang belum ada di proyektor lain: lensa yang bisa diputar-putar, yang berarti pengaturan posisi gambar yang diproyeksikan bisa dilakukan tanpa perlu memindah unit proyektor secara keseluruhan, melainkan cukup lensanya saja.

Lensanya ini dapat berputar pada dua poros; sehingga bisa dihadapkan ke atas, bawah, depan, belakang, kiri maupun kanan. Memproyeksikan gambar ke langit-langit maupun lantai merupakan hal mudah baginya, demikian pula berganti orientasi antara vertikal atau horizontal.

Fujifilm projector

Lensanya pun sudah mengadopsi model ultra short-throw, sanggup memproyeksikan gambar seukuran 100 inci dari jarak 75 cm saja. Fujifilm belum merincikan jeroannya, tapi yang pasti ini merupakan proyektor laser, dan lensanya yang berlabel “Fujinon” menandakan kualitas optiknya tidak kalah dari deretan lensa kamera Fujifilm.

Fujifilm melihat potensi perangkat seperti ini untuk digunakan di pagelaran seni, museum, atau lokasi-lokasi lain yang umumnya memiliki ruang terbatas. Cukup letakkan proyektor di satu titik yang strategis, maka proyeksinya bisa ditujukan ke segala arah.

Fujifilm berencana memproduksi dan memasarkan produk ini di tahun 2019. Kita tahu bahwa Fujifilm merupakan suatu korporasi besar dengan berbagai cabang bisnis (mulai dari kamera, percetakan, sampai kosmetik), tapi ini merupakan pertama kalinya mereka terjun ke bisnis proyektor. Maka dari itu tidak heran kalau mereka ingin menjalani debutnya secara istimewa.

Sumber: SlashGear dan Fujifilm.

Kamera Instan Fujifilm Instax Square SQ20 Juga Mampu Merekam Video Singkat

Tema fotografi high-end di ajang Photokina 2018 yang dimeriahkan oleh varian full-frame mirrorless hingga prototype bersensor monster tampaknya juga menular ke kelas ‘fotografi retro‘. Di ranah tersebut, Fujifilm Instax merupakan salah satu pilihan favorit konsumen. Dan inkarnasi terkini dari kamera instan Fuji tersebut memiliki fitur yang tidak ada di generasi sebelumnya.

Setelah memperkenalkan kamera analog bertema nostalgia Instax Square SQ6 di bulan Mei kemarin, Fujifilm kali ini menyingkap penerus dari kamera instan hybrid Instax Square SQ10. SQ10 sempat mencuri perhatian konsumen dengan kemampuannya menyimpan file gambar sebelum dicetak di kertas film, dan kali ini, adiknya yang bernama Instax Square SQ20 mampu merekam video.

Instax Square SQ20 memperkenankan pengguna merekam video berdurasi 15 detik. Bagi pengguna gadget modern, waktu sesingkat itu memang tak terlihat mengesankan. Tapi kapabilitas menarik dari SQ20 adalah, ia mampu menggunakan klip video tersebut untuk menciptakan efek foto baru. Selanjutnya, Anda bisa mengeditnya lebih jauh dan mencetak foto langsung dari kamera.

Produsen juga membubuhkan fitur baru bernama Motion Mode. Dengannya, Anda dipersilakan mencari momen terbaik dalam video buat dicetak. Mode tersebut didukung fungsi Sequence untuk menciptakan efek berbayang/bergerak, dan sebagai alternatifnya, Anda dapat menambahkan bingkai ala film strip atau menerapkan efek retro ala film-film tua.

Fujifilm Instax Square SQ20 1

Untuk fungsi foto still, Anda dapat menemukan opsi familier semisal mode standar, Bulb, Double Exposure, Split, Collage (memunculkan beberapa gambar di satu frame), serta Time Shift Collage (menampilkan empat foto objek yang sama di waktu berbeda). Fujifilm juga menyediakan tidak kurang dari sepuluh jenis filter, serta memberikan kita keleluasaan buat meng-highlight warna tertentu, mengatur tingkat kecerahan, hingga mengaplikasikan efek vignette.

Dibanding Square SQ10, spesifikasi SQ20 mengalami upgrade sekaligus downgrade. Kamera intan hybrid anyar ini mengusung sensor yang lebih kecil dari kakaknya, yakni berukuran 1/5-inci (SQ10 dibekali sensor 1/4-inci). Bagian lensanya kurang lebih sama, mempunyai aperture f/2.4, namun ukuran sensor 1./4-inci berdampak pada berkurangnya field of view. Sebagai kompensasinya, SQ20 mempunyai kemampuan zoom digital sebesar empat kali. Fitur ini pertama kali ada di kamera Instax.

Fujifilm berencana untuk mulai memasarkan Instax Square SQ20 di tanggal 20 Oktober nanti. Namun saat artikel ini ditulis, mereka belum menginformasikan harganya. Sebagai acuan, di Indonesia Square SQ10 dibanderol di kisaran Rp 4 juta.

Sumber: Fujifilm.

Zeiss ZX1 Adalah Kamera Compact Full-Frame Dengan Adobe Lightroom CC Built-In

Baik untuk kebutuhan profesional maupun pemakaian casual, proses editing sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari ranah fotografi. Tersedia banyak software sunting foto di PC maupun perangkat bergerak, beberapa mudah digunakan dan yang lain menawarkan keleluasaan fitur. Begitu besarnya peran editing, platform sosial media bahkan menyertakan fungsi ini di layanan mereka.

Krusialnya proses editing sepertinya turut mendorong satu perusahaan spesialis produk optik asal Jerman untuk mengintegrasikan fitur penyuntingan di perangkat high-end barunya. Di ajang Photokina 2018, Zeiss memperkenalkan ZX1, yaitu kamera compact mirrorless yang mengusung kapabilitas edit built-in berkat kehadiran Adobe Lightroom CC. ZX1 juga merupakan kamera full-frame pertama buatan Zeiss.

Zeiss ZX1.

Layaknya kamera point-and-shoot bertubuh padat di kelasnya, Zeiss merancang ZX1 agar siap menunjang pemakaian satu tangan. Penampilannya mengombinasikan estetika desain modern dan industrial tanpa melupakan aspek ergonomis. Kemudahan pemakaian menjadi perhatian utama Zeiss, dan untuk memenuhi hal tersebut, produsen mencantumkan layar multi-touch seluas 4,3-inci yang dipadu dengan user interface intuitif. Beradasarkan keterangan Zeiss, mereka memang menyiapkan ZX1 sebagai alternatif lebih canggih dari smartphone.

Layar sentuh dan UI sangat esensial karena berkat dukungan penuh dua elemen ini, pengguna dipersilakan mengutak-atik foto berformat RAW via Adobe Photoshop Lightroom CC langsung di ZX1. Zeiss menjanjikan tampilan antar-muka unik yang memungkinkan kita mengedit tanpa gangguan. Lalu saat kamera full-frame mirrorless ini tersambung ke network, Anda bisa segera mengunggah gambar tanpa perlu menyimpannya di storage eksternal.

Zeiss ZX1 1

Lalu bagaimana jika saat itu internet tidak tersedia? Kita memang tidak dapat membubuhkan penyimpanan tambahan di ZX1, namun kamera compact ini sudah dibekali memori internal sebesar 512GB – cukup untuk menyimpan sekitar 6.800 foto RAW dan lebih dari 50.000 JPG, sangat ideal untuk digunakan berfoto-foto saat liburan panjang. Selain Wi-Fi, ZX1 turut dilengkapi konektivitas Bluetooth dan USB type-C yang memungkinkan kita menyambungkannya ke sejumlah periferal.

Dalam mengabadikan momen, ZX1 mengandalkan sensor full-frame 37,4-megapixel buatan tim Zeiss sendiri, dikombinasikan bersama lensa Zeiss Distagon 35mm f/2 T*. Perpaduan sensor dan lensa tersebut menjanjikan ‘kualitas gambar kelas atas dengan karakteristik hasil foto khas Zeiss’.

Buat sekarang, Zeiss belum menginformasikan harga yang mereka patok untuk satu unit ZX1. Perusahaan Jerman itu hanya bilang akan mengumumkan harga retail ZX1 bersamaan dengan peluncuran produk, rencananya dilangsungkan di awal tahun 2019.

Sumber: Zeiss.

Zenit Bangkit Kembali dengan Kamera Mirrorless Full-Frame, Zenit M

Penggemar sekaligus pengguna kamera Leica semestinya pernah mendengar pabrikan bernama Zenit. Di era fotografi film, merek asal Rusia tersebut pernah berjaya berkat sejumlah kamera jiplakan produk-produk Leica, sampai akhirnya mereka berhenti memproduksi kamera di tahun 2005.

Namun di tahun 2016, Shvabe Holding selaku pemegang merek Zenit mengumumkan bahwa mereka berniat menghidupkan brand itu kembali. Setahun setelahnya, niat mereka semakin jelas dengan rencana meluncurkan kamera mirrorless full-frame di tahun 2018, dan itu ternyata bukan bualan semata.

Di ajang Photokina 2018, di tengah-tengah pengumuman dari brandbrand besar, Zenit memperkenalkan Zenit M. Kalau sebelumnya mereka banyak mencontek Leica, kali ini Zenit bekerja sama langsung dengan Leica; Zenit M dibuat dengan Leica M (Typ 240) sebagai basisnya.

Leica M (Typ 240) / Leica
Leica M (Typ 240) / Leica

Kendati demikian, Zenit bilang bahwa mereka telah melakukan modifikasi baik pada hardware maupun software guna merealisasikan Zenit M, yang seharusnya berarti ini bukan revisi kosmetik semata. Menemani Zenit M adalah lensa Zenitar 35mm f/1 yang proses desain dan produksinya diklaim 100% berlangsung di Rusia.

Menurut Zenit, lensa ini sanggup menghasilkan gambar dengan efek soft focus dan bokeh yang unik tanpa memerlukan pemrosesan digital tambahan. Secara keseluruhan, penampilan Zenit M memang sengaja dibikin mirip dengan kamera-kamera lawas buatan mereka.

Zenit M

Zenit sejauh ini belum membeberkan spesifikasi M, akan tetapi semestinya identik dengan Leica M (Typ 240), yang mencakup sensor CMOS full-frame 24 megapixel, ISO 6400, continuous shooting 3 fps, perekaman video 1080p, LCD 3 inci beresolusi 920 ribu dot, live view focusing, dan viewfinder dengan tingkat perbesaran 0,68x.

Rencananya, kamera ini akan mulai dipasarkan di Eropa pada bulan Desember mendatang. Harganya belum diungkap, tapi sebagai referensi, Leica M (Typ 240) yang menjadi basisnya sampai sekarang masih bisa dibeli seharga $6.000.

Sumber: PetaPixel dan Shvabe.

Leica S3 Sapa Penggemar DSLR Medium Format Tahun Depan

Photokina 2018 dimanfaatkan Leica untuk merayakan ulang tahun ke-10 DSLR medium format-nya, Leica S2. Pabrikan asal Jerman itu juga mengumumkan suksesornya, Leica S3, yang membawa sejumlah penyempurnaan dalam wujud yang tidak jauh berbeda.

Peningkatan yang paling signifikan, seperti yang sudah bisa kita duga, adalah di sektor resolusi. Sensor ProFormat (45 x 30 mm) yang digunakan S3 menawarkan resolusi 64 megapixel, naik hampir dua kali lipat dibanding sensor tipe CCD yang tertanam pada Leica S2.

S3 tidak lupa menjanjikan kemampuan merekam video 4K, dengan jaminan hasil yang berkualitas berkat pemanfaatan seluruh penampang sensor, serta tampilan khas medium format. Urusan continuous shooting, Leica S3 sanggup menjepret dalam kecepatan 3 fps.

Leica S3

Selebihnya, detail mengenai S3 masih minim. Leica cuma bilang bahwa sistem autofocus-nya dipastikan cepat sekaligus akurat, dan kamera akan dibekali viewfinder optik yang besar dan terang – S3 termasuk kategori DSLR, sehingga wajar apabila yang digunakan bukanlah viewfinder elektronik.

Rencananya, Leica S3 akan dipasarkan mulai musim semi tahun 2019. Harganya belum diungkap, tapi sudah pasti mahal. Buktinya, Leica S (Typ 007) (yang menggantikan sensor tipe CCD milik S2 dengan sensor CMOS di tahun 2014) masih bisa dibeli seharga $20.000.

Sumber: PetaPixel dan DPReview.

Fujifilm Siapkan Kamera Mirrorless Medium Format Ketiga dengan Resolusi 102 Megapixel

Fujifilm GFX 50R bukan satu-satunya kamera mirrorless medium format yang diumumkan Fuji di ajang Photokina 2018. Mereka rupanya juga tengah menyiapkan kamera GFX yang ketiga. Kamera ini belum bernama, tapi saya yakin nantinya bakal ada label angka “100” pada namanya sebagai penanda resolusi sensornya yang mencapai 102 megapixel (dengan dimensi fisik sensor yang sama: 43,8 x 32,9 mm).

Resolusi setinggi itu sebenarnya bukanlah hal baru di industri fotografi digital. Hasselblad H6D yang dirilis di tahun 2016 juga mengemas sensor medium format semasif itu, akan tetapi ia tidak masuk kategori mirrorless. Fujifilm GFX 100 (sementara kita juluki itu dulu supaya gampang) di sisi lain merupakan kamera mirrorless.

Dimensinya memang lebih besar daripada GFX 50S yang sudah termasuk bongsor. Ini dikarenakan ada battery grip yang tertanam langsung ke bodi GFX 100. Kalau dilihat sepintas, wujudnya memang mirip GFX 50S yang sedang dipasangi aksesori battery grip.

Fujifilm GFX lineup

Namun resolusi tinggi rupanya belum menceritakan kapabilitas GFX 100 selengkapnya. Kamera ini turut membawa sejumlah peningkatan signifikan dibanding dua pendahulunya. Utamanya adalah sistem phase-detection autofocus (PDAF), dengan PDAF pixel yang tersebar di seluruh penampang sensor, menjadikannya lebih cekatan mengunci fokus pada subjek bergerak, sekaligus lebih akurat dalam mode continuous autofocus.

GFX 100 juga bakal menjadi kamera medium format pertama yang dilengkapi sistem image stabilization internal, sehingga penggunanya nanti tidak harus selalu bergantung pada tripod. Juga baru pada GFX 100 adalah kemampuan merekam video dalam resolusi 4K 30 fps – baik GFX 50S maupun GFX 50R hanya bisa 1080p 30 fps.

Keluarga kamera dan lensa GFX / Fujifilm
Keluarga kamera dan lensa GFX / Fujifilm

Fuji bilang bahwa kemampuan 4K ini dimungkinkan berkat penggunaan chip quad-core X Processor 4, seperti yang ada pada Fujifilm X-T3. Selain itu, chip yang sama rupanya juga berjasa menghadirkan fitur Film Simulation pada GFX 100, yang sudah menjadi ciri khas lini X-Series sejak lama.

Kamera ini baru akan diresmikan dan dipasarkan tahun depan. Pastinya kapan tidak diketahui, akan tetapi harganya diestimasikan berada di kisaran $10.000. Kalau saya boleh menyimpulkan, pengumuman kamera GFX yang ketiga ini semakin memperkuat anggapan bahwa Fuji memang tidak tertarik dengan mirrorless full-frame.

Sumber: PetaPixel.

Kamera Mirrorless Medium Format Kedua Fujifilm Punya Dimensi Jauh Lebih Ringkas

Satu per satu produsen kamera bergantian menantang Sony di pasar kamera mirrorless full-frame. Setelah Nikon dan Canon, tidak lama lagi datang giliran Panasonic. Bagaimana dengan Fujifilm? Rupanya mereka tidak latah dan masih teguh pada pendiriannya. Daripada full-frame, Fujifilm lebih memilih lompat lebih jauh ke medium format.

Prototipe Fujifilm GFX 50S yang dipamerkan di tahun 2016 pada akhirnya menjadi kamera mirrorless medium format kedua setelah Hasselblad X1D. Tahun ini, Fuji rupanya telah menyiapkan model lain untuk lini medium format mereka, yakni Fujifilm GFX 50R.

Fujifilm GFX 50R

GFX 50R pada dasarnya merupakan versi lebih ringkas dari GFX 50S. Spesifikasinya nyaris identik dengan GFX 50S, dan yang sangat berbeda cuma desainnya saja. Sepintas, GFX 50R dengan desain ala rangefinder-nya kelihatan seperti Fujifilm X-E3 sehabis fitness selama setahun.

Karena lebih kecil, bobotnya jelas lebih ringan, tepatnya 145 gram lebih enteng ketimbang GFX 50S. Bodinya pun juga lebih tipis 25 mm. Kendati demikian, GFX 50R rupanya masih mempertahankan sasis weather-resistant seperti milik kakaknya. Dimensi viewfinder elektroniknya juga lebih kecil, tapi masih tinggi resolusi (3,69 juta dot) dan tingkat perbesarannya (0,77x).

Fujifilm GFX 50R

Di bawah jendela bidik tersebut, ada LCD 3,2 inci yang dilengkapi panel sentuh, yang menggantikan peran tombol empat arah pada GFX 50S. Sayang sekali layarnya ini cuma bisa di-tilt ke atas atau bawah, tidak bisa ke samping.

Spesifikasi yang sama itu mencakup sensor medium format (43,8 x 32,9 mm) beresolusi 51,4 megapixel dan chip X Processor Pro. Slot SD card-nya ada dua (keduanya mendukung tipe UHS-II), sedangkan baterainya sama-sama berdaya tahan hingga 400 kali jepret seperti GFX 50S. Yang berbeda, tidak ada aksesori battery grip untuk GFX 50R.

Fujifilm GFX 50R

Juga berbeda adalah kehadiran konektivitas Bluetooth (GFX 50S tidak punya) di samping Wi-Fi untuk memudahkan proses pairing sekaligus transfer gambar ke smartphone. Fuji bakal memasarkannya mulai bulan November seharga $4.499, lebih murah $2.000 daripada GFX 50S.

Sumber: DPReview.

Panasonic Sedang Kerjakan Dua Kamera Mirrorless Full-Frame: Lumix S1R dan S1

Kehadiran Nikon Z 7 dan Nikon Z 6 beserta Canon EOS R semestinya sudah cukup membuat Sony sebagai penguasa di segmen kamera mirrorless full-frame khawatir. Namun ternyata masih ada lagi pihak lain yang juga ingin ikut menginvasi lahan dominasi Sony, yaitu Panasonic. Di ajang Photokina 2018, pelopor tren mirrorless itu mengumumkan bahwa mereka sedang mengerjakan dua kamera mirrorless full-frame.

Kamera tersebut adalah Panasonic Lumix S1R dan S1. Layaknya seri Sony a7 yang selalu dibagi dua (tiga kalau a7S yang video-oriented juga dimasukkan hitungan), S1R adalah model flagship dengan sensor full-frame beresolusi 47 megapixel, sedangkan S1 ‘hanya’ 24 megapixel. Yang cukup unik, kedua kamera ini tidak menggunakan dudukan lensa (mount) baru seperti halnya Nikon Z dan Canon EOS R, melainkan L-mount besutan Leica.

Kendati demikian, Panasonic masih akan mengembangkan lensa L-mount bikinannya sendiri. Tiga yang sudah direncanakan adalah 50mm f/1.4, 24-105mm, dan 70-200mm, lalu tujuh lainnya akan menyusul tidak lewat setahun setelah kedua kamera ini diluncurkan. Demi semakin memperluas ekosistem lensa yang ditawarkan, Panasonic dan Leica juga telah menggandeng Sigma untuk ikut memproduksi lensa L-mount.

Panasonic Lumix S1R and Lumix S1

Berhubung masih dalam tahap pengembangan (yang dipamerkan baru prototipenya), detail mengenai S1R dan S1 pun belum terlalu lengkap. Beberapa yang esensial di antaranya adalah kemampuan merekam video 4K 60 fps (pertama untuk mirrorless full-frame kata Panasonic), dan sistem image stabilization internal yang dapat dikombinasikan dengan stabilization bawaan lensa.

Kedua kamera dilengkapi layar sentuh yang dapat dimiringkan pada tiga poros (atas, bawah dan samping, macam milik Fujifilm X-T3), sayang bukan yang model fully-articulated. Slot memory card-nya ada dua, satu untuk SD card biasa dan satu untuk XQD card. Menyesuaikan dengan target pasarnya, sasisnya telah dirancang agar tahan terhadap cuaca yang tidak ramah.

Rencananya, kedua kamera ini baru akan dipasarkan pada awal tahun 2019 mendatang. Harganya belum diketahui, tapi sudah pasti lebih mahal daripada Lumix GH5S, yang merupakan kamera termahal Panasonic saat ini.

Sumber: DPReview.

Ricoh Meriahkan Photokina 2018 Dengan Kamera Compact High-End Baru, GRIII

Ada sejumlah kejutan diungkap di Photokina 2018. Mulai sekarang, pemeran produk fotografi dan teknologi imaging terbesar di dunia itu tak lagi dilangsungkan sebagai acara dua tahunan, namun digelar tiap tahun. Dan sejauh ini, kamera mirrorless full-frame terlihat begitu mendominasi, dipersembahkan oleh nama-nama sepert Fujifilm, Leica, Panasonic, serta Olympus.

Namun menariknya, event fotografi di kota Cologne tersebut malah dibuka oleh pengumuman produk ‘kecil’ ciptaan Ricoh. Di sana, perusahaan asal Tokyo itu menyingkap GRIII, kamera point-and-shoot high-end bertubuh padat dan ringan yang menjanjikan hasil jepretan berkualitas tinggi. Ia adalah penerus GRII yang melakukan debutnya lima tahun silam – dan Ricoh GR sendiri merupakan pelanjut kiprah seri GR Digital.

Status GRIII saat ini masih dalam tahap pengembangan. Ricoh menegaskan bahwa produk tersebut tetap meneruskan konsep desain pendahulunya yang mengedepankan portabilitas tanpa mengorbankan mutu. Tentu saja Ricoh tak lupa menytertakan sejumlah perbaikan serta penyempurnaan, sehingga membuatnya siap jadi perangkat ideal baik untuk para fotografer profesional maupun kelas amatir berpengalaman.

Produsen baru menyingkap spesifikasi sementara, dijabarkan lengkap oleh DPReview. Kamera compact tersebut dipersenjatai oleh sensor CMOS APS-C 24-megapixel – bisa menghasilkan gambar beresolusi maksimal 6000x4000p, didukung teknologi autofocus hybrid, mampu merekam video full-HD di 60-frame per detik, serta dibekali layar TFT LCD 1-juta dot seluas 3-inci buat menampilkan live preview. Selain itu, kabarnya GRIII mengusung engine imaging anyar serta UI yang sudah diperbarui.

Bagian lensa turut mendapatkan upgrade. GRIII memanfaatkan lensa enam-elemen 28mm f/2.8, kemudian jarak fokus minimal bisa diturunkan dari 10cm ke 6cm. Selain mode manual, Anda bisa menggunakan sejumlah opsi autofocus seperti contrast detect, phase detect, tracking, face detection, touch, serta pilihan familier seperti center, multiarea, atau selective  singlepoint.

Untuk desain, Ricoh sepertinya memilih pendekatan yang simpel dan minimalis (produsen belum menampilkan sisi belakang, layar dan tombol-tombolnya). GRIII mempunyai dimensi kurang lebih 109x62x33mm dan bobot 257-gram dengan konstruksi tubuh dari logam magnesium. Rancangan dan ukurannya itu sangat ideal buat mendukung pengoperasian satu tangan.

Ricoh berencana untuk meluncurkan GRIII di awal tahun 2019, namun mereka belum mengungkap harganya. Sebagai acuan, GRII yang mulai dipasarkan di 2015 dipasarkan di Amazon seharga US$ 600. Kita boleh berasumsi, produsen akan membanderol GRIII di atas angka itu.

Via The Verge.