Tag Archives: platform distribusi konten

Pitchplay

Platform Distribusi Konten Video Pitchplay Tawarkan Alat Monetisasi Baru di Industri Musik

Industri musik menjadi salah satu yang terkena dampak paling besar dari pandemi Covid-19 di Indonesia. Kebijakan pemerintah untuk menetapkan protokol kesehatan termasuk Perlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) menyebabkan seni pertunjukan terhenti total. Ditiadakannya konser offline serta pembatasan-pembatasan dalam interaksi sosial nyatanya sangat berpengaruh terhadap aktivitas musisi.

Salah seorang musisi Febrian Nindyo Purbowiseso atau dikenal sebagai Febrian HIVI menyebut bahwa sekitar 55 persen dari musisi Indonesia kini telah menjual alat musiknya untuk bertahan hidup selama masa pandemi Covid-19. Angka ini didapatnya saat melakukan survei bersama Federasi Serikat Musisi Indonesia (Fesmi) kepada 186 orang, dalam wilayah kerja untuk DKI Jakarta dan Jawa Barat.

Seiring dengan berjalannya waktu, industri musik mulai bangkit dengan inovasi-inovasi yang tercipta melalui platform digital. Lalu, dengan protokol kesehatan yang ketat dan selebihnya pertunjukkan offline mulai kembali diadakan namun lebih banyak yang beralih ke virtual. Meskipun begitu, tidak sedikit musisi yang mengaku kesulitan untuk memonetisasi karyanya secara virtual. Salah satu pemain yang coba menawarkan solusi untuk masalah ini adalah Pitchplay.co.

Co-Founder & CEO Pitchplay Fauzan Rezda mengungkapkan bahwa saat ini eksistensi para musisi tanah air sedang terguncang. Selain karena live performance yang menjadi salah satu sumber pendapatan utama musisi berkurang signifikan di masa pandemi, namun juga polemik revenue model pada digital music streaming yang hanya berpihak pada musisi berskala besar.

Melalui Pitchplay, Fauzan beserta timnya berkomitmen ingin menyediakan sebuah sustainable revenue model untuk musisi tanpa menggantikan revenue model yang telah ada sebelumnya.

Alat monetisasi baru di industri musik

Pitchplay pertama didirikan pada Juni 2020 oleh tiga founder, yaitu Fauzan Rezda sebagai CEO, Egi Purwana sebagai CTO, dan Daus Gonia sebagai CMO. Platform ini dirilis secara resmi pada Oktober 2020.

Ia turut mengungkapkan bahwa ide dibalik pembentukan Pitchplay adalah keinginan untuk menciptakan sebuah model bisnis yang memungkinkan musisi mendapatkan revenue stream baru tidak hanya dari produk jadinya (karya lagu) tetapi juga dari proses kreatifnya dalam bentuk konten video dan langsung kepada penggemar, tidak ketergantungan kepada sponsor/brand.

Saat ini, Pitchplay memiliki 3 fitur yaitu rent-to-view, bundle, dan support. Fitur utamanya sendiri adalah rent-to-view, yang memungkinkan musisi menjual konten video langsung kepada fans. Sekali membayar, penggemar dapat menonton konten tersebut tanpa batas selama 7 hari dan Pitchplay hanya akan
mengenakan biaya potongan kepada musisi per transaksi.

Sedangkan untuk bundle, musisi dapat menjual lebih dari satu konten atau dengan merchandise. Selain itu, ada juga fitur support yang memungkinkan fans memberikan dukungan dalam bentuk uang dan juga pesan kepada musisi kesayangannya.

Sekilas mungkin terlihat tidak ada bedanya dengan platform distribusi konten lain seperti YouTube atau sejenisnya. Namun, salah satu yang menjadi musuh bebuyutan para musisi adalah piracy atau pembajakan. Sementara konten virtual yang didistribusikan secara gratis melalui platform digital rentan sekali dengan isu pembajakan. Dalam hal ini, Pitchplay juga menawarkan wadah bagi musisi untuk mendistribusikan karya dengan nyaman dan aman dari ancaman pembajakan.

Dari sisi teknologi, timnya mengaku telah menerapkan beberapa teknologi penunjang untuk memenuhi standar keamanan konten, seperti DRM, blocker third party download, serta watermarking untuk mencegah pembajakan. “Kita yakin pembajakan tidak bisa 100% dihilangkan, tapi bisa dioptimalkan dalam pencegahannya baik preventif atau penanggulangannya,” tambah Fauzan

Merujuk kepada peraturan Pasal 3 PP 56/2021 yang menyebutkan bahwa setiap orang bisa menggunakan lagu dan atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan catatan harus membayar royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta dan atau pemilik hak terkait.

Untuk konten sendiri, timnya juga melakukan proses kurasi yang akan dipajang di platform. Jika isi dan kualitas konten dirasa tidak relevan, maka konten tersebut tidak akan dinaikkan atau secepatnya di take down.

Sebagai platform yang memiliki model B2B2C, Pitchplay berfokus kepada akuisisi artis sebagai penyedia konten. Untuk mendukung strategi akuisisi, timnya juga telah melakukan beberapa program edukasi baik secara langsung ke artis atau melalui program di media sosial.

Tantangan dan peluang

Sejauh ini, analisa dan tesis awal Pitchplay menunjukkan bahwa adopsi pasar terbilang cukup baik bahkan dengan biaya pemasaran yang kecil. Namun ada beberapa tantangan yang muncul, salah satunya adalah banyak fans yang bahkan belum memiliki akun e-wallet atau m-banking untuk pembayaran. Maka dari itu, selain OVO dan GoPay, platform ini juga menyediakan pembayaran lewat Alfamart.

Dari sisi pengguna sendiri, Pitchplay mengaku antusiasmenya cukup kuat bahkan dari segmen yang sebelumnya tidak bisa diprediksi. Kekuatan eksklusifitas dan tipe konten masih menjadi faktor utama bagi pengguna untuk mau membeli konten.

Menurut Fauzan, potensi konten berbayar sendiri masih sangat besar dan terus berkembang di Indonesia. Kuncinya adalah bagaimana bisa menjangkau target market yang menjanjikan tidak hanya dari sisi kualitas namun juga kuantitas.

“Hal tersebut yang membuat kami berfokus pada musik, karena bagi kami musik merupakan hal yang dekat dengan target market di Indonesia terutama jika kita berbicara segmen milenial dan second-tier cities, yang mana secara angka terbilang sangat besar,” ujarnya.

Dalam industri musik tanah air, sudah ada beberapa platform yang juga menawarkan revenue tambahan bagi para musisi. Salah satunya adalah GoPlay Live yang sudah dikostumisasi sedemikian rupa untuk menawarkan pengalaman real-time melalui platformnya. Selain itu juga ada aplikasi Modular yang memungkinkan konser virtual menggunakan teknologi Augmented Reality.

Selain itu, tantangan yang kemudian muncul adalah sulitnya musisi untuk membuat konten baru dengan terkendala masalah kreatif ataupun pendanaan. Platform ini pun sedang mempersiapkan solusi untuk masalah tersebut lewat beberapa fitur yang akan dirilis ke depannya.

Target ke depan

Terlepas dari tantangan yang muncul, layanan ini mendapat cukup banyak respons positif dari para musisi. Fauzan juga menyebutkan bahkan muncul permintaan dari industri lain selain musik yang memiliki masalah dan kebutuhan yang sama.

Saat ini sudah ada 43 artis terdaftar di Pitchplay dengan 20 konten eksklusif dan jumlah tersebut terus berkembang seiring diskusi dengan beberapa artis yang masih berjalan. Terkait pengguna sendiri, saat ini telah terdaftar lebih dari 3.500 pengguna terdaftar aktif. Beberapa band ternama yang sudah memajang konten eksklusif di Pitchplay seperti Mocca (Mocca’s Valentine Special), Burgerkill (25th Annivesary Virtual Concert), juga The SIGIT (Footnote: The SIGIT – Behind the Stage) dan lain-lain.

Sejak didirikan, Pitchplay menjalankan kegiatan operasional secara bootstrapping. Di tahun ini, timnya mengaku sudah berhasil mendapatkan pendanaan eksternal pertama, namun untuk saat ini, nama investor dan jumlahnya masih belum bisa disebutkan.

Melalui musik, platform ini yakin dapat menjangkau untapped market yang selama ini belum terjamah secara optimal. Timnya juga sempat mengadakan survey yang menunjukkan 4 dari 5 pengguna berbayar Pitchplay melakukan pembelian konten digital pertama di Pitchplay. Sebelumnya mereka belum pernah berlangganan/membeli konten digital termasuk layanan music streaming/VOD.

Selain memposisikan platformnya yang berfokus pada musik, Pitchplay juga berusaha menyediakan layanan 360° bagi musisi yang tidak hanya dapat menjual konten berbayar, tapi juga menyediakan fanengagement lewat beberapa fitur baru mendatang.

Saat ini, Pitchplay disebut sedang menyiapkan untuk merilis mobile app dan beberapa fitur baru. “Lewat beberapa fitur baru tersebut, fokus kami akan tetap memperkuat solusi sustainable revenue model bagi musisi dan juga menyediakan pengalaman yang lebih menyenangkan bagi pengguna,” tambah Fauzan.

TikTok dan Tren Konten Edukatif yang Terus Meningkat

Hingga detik ini, saya yakin di luar sana masih banyak yang mengecap TikTok sebagai “platform alay”. Padahal, seandainya mereka mau membuka mata lebih lebar, mereka bakal melihat bagaimana TikTok sudah berevolusi menjadi platform distribusi konten yang matang dan yang menawarkan lebih dari sekadar hiburan.

Semuanya bermula pada tanggal 25 November tahun lalu, tepatnya ketika TikTok meluncurkan program #BelajarBareng guna mengajak para kreator untuk berbagi konten edukatif. Lalu tibalah pandemi COVID-19, dan semenjak pemerintah memberlakukan kebijakan PSBB, konten bertema pendidikan di TikTok pun semakin beranak pinak, demikian pengakuan dari Angga Anugrah Putra selaku Head of User & Content Operations TikTok Indonesia.

Puncaknya adalah ketika TikTok meluncurkan program #SamaSamaBelajar di bulan Mei lalu, yang sampai detik ini sudah membuahkan lebih dari 17 miliar view. Salah satu kegiatannya, yakni kompetisi #BerbagiIlmu, terbukti mendapat respon positif dan antusiasme yang cukup besar.

Guna melanjutkan tren konten edukatif tersebut, TikTok sekarang tengah mengadakan kompetisi #BerbagiSkill. Kegiatan ini akan berakhir pada tanggal 31 Juli, dan kemudian akan disambung oleh kompetisi ketiga yang bertajuk #BerbagiFakta pada tanggal 11 Agustus. Namanya kompetisi, sudah pasti ada hadiah uang bagi para pemenang, tapi uang bukanlah satu-satunya insentif yang bisa didapatkan oleh para kreator.

Di skala global, TikTok punya program Creative Learning Fund. Namun seperti yang saya bilang, ini bukan melulu soal uang. Di ranah lokal, TikTok juga sempat mengadakan semacam workshop (online via video conference) bersama kreator-kreator terpilih dengan tujuan untuk semakin membina mereka sekaligus mewadahi interaksi antar kreator supaya mereka bisa saling belajar hal baru dari sesamanya. Jadi selain menyajikan konten edukatif ke konsumen, TikTok sebenarnya juga berupaya untuk mengedukasi komunitas kreatornya.

Menurut Angga, pendidikan saat ini sudah masuk tiga besar kategori terpopuler di TikTok, membuktikan bahwa pasarnya memang ada. Subkategorinya sendiri bisa bermacam-macam, bisa sains, teknologi, DIY, life hacks, marketing, dan masih banyak lagi.

“Sebagai platform yang inklusif, siapa pun berkesempatan untuk berbagi kemampuan dan keahliannya di TikTok, dan menginspirasi pengguna lain untuk belajar dan bahkan ikut berbagi pengetahuan mereka,” jelas Angga.

Video pendek sebagai medium belajar dan mengajar

Contoh konten bertema pendidikan yang diunggah oleh Indra Azis (kiri) dan Jason Iskandar (kanan) / TikTok
Contoh konten bertema pendidikan yang diunggah oleh Indra Azis (kiri) dan Jason Iskandar (kanan) / TikTok

Lalu yang mungkin jadi pertanyaan adalah, seefektif apa format video pendek saat diperlakukan sebagai medium belajar dan mengajar? Dalam riset berjudul “What the world watched in a day” yang dilakukan Google, belajar hal baru dan menggali minat diri merupakan dua alasan terbesar untuk menonton video di samping menghibur diri. Riset itu juga menunjukkan bahwa semakin muda suatu generasi, semakin besar preferensi mereka terhadap format video pendek.

TikTok merupakan medium yang sangat pas untuk itu, dan pendapat ini diamini oleh Indra Azis, pelatih vokal kawakan yang kebetulan memang cukup populer di TikTok. “Selama puluhan tahun saya mengajar vokal, semakin muda generasinya memang semakin tidak ingin mendengar terlalu banyak teori. Mereka lebih senang yang to-the-point dan langsung terjun mencobanya,” tutur Indra.

Beliau lanjut menjelaskan bahwa video tutorial yang dia bagikan di TikTok mendapat banyak respon duet dari para penonton, dan itu secara langsung menunjukkan bahwa mereka bisa langsung mempraktikkan berbagai tips yang dia berikan. Indra juga mengaku bahwa durasi video yang singkat mendorongnya untuk lebih rajin membuat konten.

Pendapat yang tak kalah menarik datang dari Jason Iskandar, sutradara film pendek sekaligus pendiri rumah produksi Studio Antelope. Menurutnya, TikTok dan format video pendek bisa membantu para sineas untuk melatih kemampuan storytelling-nya, menyampaikan pesan yang mendalam dengan durasi yang sangat terbatas.

Durasi yang singkat tentu bakal menjadi tantangan tersendiri bagi para kreator konten bertema pendidikan, namun ini juga bisa menjadi ajang pembuktian bahwa mereka benar-benar kapabel di masing-masing profesinya. “Kalau belum bisa menjelaskan secara sederhana, berarti kita belum benar-benar menguasai soal itu,” pungkas Jason.

Gambar header: Kon Karampelas via Unsplash.