Aplikasi bawaan atau aplikasi default merupakan aplikasi yang sudah diinstal sebelumnya di perangkat Android kamu. Aplikasi ini telah disetel menjadi default untuk tugas tertentu, seperti membuka jenis file tertentu atau memutar musik.
Ada beberapa aplikasi default yang tidak dapat kamu uninstall, tetapi ada aplikasi lain yang dapat kamu singkirkan jika diinginkan.
Aplikasi ini antara lain Google Chrome, Google Play Music, dan Gmail. Mereka disebut default karena sudah ditetapkan sebagai aplikasi default untuk fungsi tertentu di perangkat kamu.
Cara Mengembalikan Aplikasi Bawaan Android yang Hilang
Aplikasi bawaan atau aplikasi default pada perangkat Android adalah aplikasi yang disetel untuk dibuka saat kamu melakukan tugas tertentu.
Seringkali terjadi masalah dimana aplikasi default tersebut tidak dapat ditemukan di layar atau hilang. Bagaimana cara mengatasinya?
Periksa Play Store
Jika kamu mengalami masalah dimana aplikasi default tidak muncul di layar utama kamu, kamu dapat memeriksa Play Store untuk melihat aplikasi default kamu yang tidak muncul dan memunculkannya kembali di layar utama.
Buka play store dan klik titik tiga di pojok kanan atas layar. Lalu pilih Settings> ” Apps & Notifications”> “Default App Settings”. Di sini, kamu akan melihat semua aplikasi default yang telah disetel untuk OS perangkat kamu.
Gunakan Aplikasi Backup
Aplikasi Backup dirancang untuk menyimpan data dari aplikasi lain sehingga dapat dipulihkan bila diperlukan. Artinya, jika salah satu aplikasi default kamu berhenti berfungsi dengan baik, yang harus kamu lakukan adalah memulihkannya melalui aplikasi ini.
Cukup unduh aplikasi dari Play Store dan jalankan di perangkat kamu. Ini akan secara otomatis mencadangkan semua pengaturan di HP kamu, termasuk semua aplikasi default yang ada di sana sebelumnya.
Unduh Ulang dari Play Store
Jika kamu tidak menemukan aplikasi default di HP, ada beberapa langkah yang dapat kamu lakukan untuk mencoba dan memperbaikinya. Hal pertama yang harus dilakukan adalah menginstal ulang aplikasi.
Kamu dapat melakukannya dengan masuk ke Google Play dan memilih aplikasi yang ingin kamu instal ulang. Setelah memilihnya, pilih “Install” dan tunggu hingga diunduh.
Demikianlah penjelasan mengenai cara mengembalikan aplikasi bawaan android yang hilang, semoga bermanfaat.
Play Store adalah toko aplikasi untuk perangkat android yang dikembangkan oleh Google, mereka memiliki berbagai macam aplikasi dan game di dalamnya. Playstore juga digunakan untuk memperbarui aplikasi, serta mengelolanya.
Play Store penting karena membantu kamu menemukan aplikasi dan game baru dengan mudah sehingga kamu dapat menggunakan perangkat dengan lebih efisien. Selain itu, memudahkan untuk memperbarui aplikasi kamu agar selalu terbarui dengan fitur-fitur terbaru.
Namun seringkali terdapat masalah pada pengguna android, yaitu Play Store yang tidak dapat dibuka. Adakah cara untuk mengatasi masalah ini?
Cara Memperbaiki Play Store yang Tidak Bisa Dibuka
Play Store adalah salah satu aplikasi terpenting jika kamu menggunakan android. Ini adalah tempat di mana kamu akan menemukan semua aplikasi, game, dan bahkan film favorit kamu. Jika kamu pernah mengalami masalah dengan aplikasi ini, kamu pasti merasakan kekecewaan.
Berikut ini adalah cara memperbaikinya dengan mudah:
Uninstall Pembaruan Play Store
Jika kamu mengalami masalah dengan Play Store, ada beberapa hal berbeda yang dapat kamu lakukan untuk mengatasinya. Salah satu masalah yang paling umum adalah Play Store tidak dapat dibuka.
Cara termudah untuk mengatasinya adalah dengan membuka Pengaturan dan buka Apps & Notifications > App Info > Google Play Store (jika tidak muncul di sana, buka Apps & Notifications > See All Apps > Google Play Services). Dari sana, tekan Uninstall update.
Bersihkan Cache dan Data di Google Play Service
Saat kamu mengalami masalah dengan Google Play Store, hal pertama yang harus kamu lakukan adalah menghapus cache dan data di Google Play Service untuk dapat memperbaiki banyak masalah.
Untuk melakukan hal ini, kamu bisa klik Settings > Apps & notifications > pilih “Google Play services” lalu pilih “Storage.” Jika sudah, kamu dapat mencari “Clear cache” lalu pilih. Selanjutnya, pilih “Clear data.”
Periksa RAM HP
Jika kamu kesulitan membuka Google Play Store, mungkin karena RAM kamu tidak memiliki ruang lagi. Beberapa pengguna telah menemukan bahwa ketika memori ponsel mereka rendah, itu dapat menyebabkan masalah dengan aplikasi tertentu.
Untuk memeriksa RAM kamu, buka Settings > Apps & Notifications > Memory Usage. Jika kamu melihat aplikasi yang menggunakan terlalu banyak memori, pertimbangkan untuk menutupnya atau meng-uninstallnya.
Menyesuaikan Tanggal dan Waktu
Coba sesuaikan pengaturan tanggal dan waktu kamu. Jika ini salah, Play Store tidak akan dapat terhubung dengan server Google dan mendapatkan informasi yang diperlukan untuk dimuat dengan benar.
Kamu dapat menyesuaikan tanggal dan waktu di HP kamu. Kamu dapat melakukan ini dengan membuka Settings > Date & Time, lalu pilih Set Date & Time. Pastikan sudah sesuai dengan waktu wilayahmu.
Matikan WiFi, Proxy, VPN
Play Store adalah layanan yang berjalan di latar belakang dan memeriksa pembaruan aplikasi di HP kamu. Aplikasi ini juga memeriksa pembaruan saat kamu membukanya. Ketika tidak dapat terhubung ke internet, maka akan gagal melakukan hal-hal ini.
Kamu dapat mematikan WiFi, Proxy, VPN dengan tujuan agar pembaruan menjadi berjalan cepat karena menggunakan jaringan seluler. Karena ketiga hal itu seringkali tidak berjalan lancar dan tidak membuat pembaruan berjalan cepat.
Restart HP
Jika Play Store tidak dapat dibuka, ada beberapa hal yang dapat kamu coba. Kamu dapat mencoba melakukan restart HP. Hal ini dapat menyelesaikan banyak masalah dan sering kali, itu cukup untuk membuat aplikasi berfungsi kembali.
Memulai ulang HP kamu akan menghapus gangguan sementara dan membersihkan semua “sampah” yang menumpuk dari waktu ke waktu dan membuat semuanya berjalan lancar kembali.
Demikianlah penjelasan mengenai cara untuk memperbaiki Google Play Store yang tidak dapat dibuka, semoga bermanfaat.
Google mengumumkan kehadiran program Google Play Points secara resmi di Indonesia pada tanggal 5 November 2021 kemarin. Sebelumnya sudah hadir lebih dulu di beberapa negara lain, program ini dirancang untuk memberikan poin dan reward kepada pengguna perangkat Android atas berbagai aktivitas mereka di Google Play.
Program ini dapat diikuti tanpa biaya, dan pengguna dapat mengumpulkan Play Points dari pembelian aplikasi, film, buku, pembayaran subscription, in-app purchase, dan lain sebagainya. Selama masih dalam konteks Google Play, pada dasarnya semua transaksi dapat dikonversikan menjadi Play Points.
Di awal, peserta program bakal mendapatkan 1 poin di setiap kelipatan Rp1.500. Jadi semisal Anda membeli 250 Diamond di Mobile Legends seharga Rp75.000 (lewat store bawaan game-nya langsung), maka Anda bakal langsung menerima 50 Google Play Points.
Poin tersebut kemudian bisa ditukarkan dengan beragam reward; bisa berupa in-app atau in-game item, bisa berupa kupon diskon untuk membeli in-app atau in-game item, atau bisa juga berupa saldo Google Play Credit.
Seiring poinnya terakumulasi, jumlah poin yang didapat dari setiap transaksi juga bakal bertambah. Pasalnya, pengguna bisa mencapai empat tingkatan (tier) di program ini. Berikut rincian dari masing-masing tier:
Bronze: Tier pertama untuk semua peserta program Google Play Points. Tier ini memberikan 1 poin di setiap kelipatan Rp1.500, beserta kesempatan untuk mendapat hingga 4x lebih banyak poin di game, atau hingga 2x dari menyewa film dan buku dalam event bulanan.
Silver: Jika mengumpulkan setidaknya 300 poin dalam tempo satu tahun, maka pengguna akan naik ke tier yang kedua. Di sini mereka bakal mendapatkan 1,1 poin untuk setiap kelipatan Rp1.500 (bonus 10%), lalu kesempatan untuk mendapat hingga 4x lebih banyak poin di game, atau hingga 3x dari menyewa film dan buku dalam event bulanan. Mereka juga bisa mendapat hadiah langsung setiap minggunya dalam bentuk poin (sampai 100 poin).
Gold: Jika mengumpulkan paling tidak 1.000 poin dalam tempo setahun, maka pengguna akan naik ke tier yang ketiga. Nilai konversinya naik menjadi 1,2 poin untuk setiap kelipatan Rp1.500 (bonus 20%), dan hadiah mingguannya juga naik menjadi up to 200 poin. Kesempatan untuk mendapat hingga 4x lebih banyak poin di game masih ada, tapi tier Gold juga bisa menerima sampai 4x dari menyewa film dan buku selama event bulanan.
Platinum: Saat akumulasi poin dalam setahun mencapai 5.000 poin, maka pengguna akan mencapai tier yang teratas. Di tier ini, setiap kelipatan Rp1.500 akan menghasilkan 1,4 poin (bonus 40%), dan hadiah langsungnya bisa mencapai 500 poin per minggu. Pengguna di tier ini juga berkesempatan mendapatkan hingga 4x lebih banyak poin di game, atau sampai 5x dari menyewa film dan buku selama event bulanan, tidak ketinggalan pula respon tercepat dari tim support apabila membutuhkan.
Muriel Makarim, Head of Brand & Reputation, Google Indonesia, menjelaskan, “Kami ingin memberikan masyarakat Indonesia sebuah program yang dapat mengikuti peningkatan minat mereka terhadap berbagai aplikasi seluler. Orang di Indonesia makin banyak mencari hiburan baru, terutama terkait game, dan mereka ingin terus dihibur, aktif, dan berinteraksi dengan aplikasi. Kami ingin memberikan reward atas engagement itu dengan Google Play Points dan memberi mereka pengalaman yang menyenangkan.”
Ditanya mengenai tarif top up Google Play yang lebih mahal jika dibandingkan dengan berbagai layanan pihak ketiga, Muriel berdalih bahwa memberikan pengalaman yang terbaik kepada konsumen itu tidak selalu lewat harga yang murah, melainkan bisa juga dengan cara [top up] yang seamless.
Program Google Play Points ini pada dasarnya juga bisa dilihat sebagai respon Google terhadap kondisi tersebut. Kalau kita gunakan Mobile Legends lagi sebagai contoh, jadi meskipun jumlah Diamond yang didapat lebih sedikit jika top up langsung via Google Play, pengguna akan mendapatkan poin yang dapat ditukar dengan beragam reward itu tadi.
Google mengajak lebih dari 25 developer untuk ikut meramaikan program Google Play Points di Indonesia, termasuk halnya developer lokal macam Agate. Arief Widhiyasa, CEO sekaligus co-founder Agate, optimistis bahwa program ini bisa jadi cara yang bagus bagi developer untuk berinteraksi dengan para pemainnya dan memotivasi mereka untuk terus bermain.
Untuk mengikuti program Google Play Points, pengguna hanya perlu mencantumkan metode pembayaran pada akunnya, lalu buka menu profil pada aplikasi Play Store di perangkat Android. Supaya lebih menarik perhatian, semua anggota baru berhak mendapatkan tiga kali lebih banyak poin di setiap pembelian selama satu minggu pertama.
Keinginan Netflix untuk melebarkan sayapnya ke pasar video gamekelihatannya terus menunjukkan perkembangan. Kabar terakhirnya, Netflix tengah menjalankan uji coba integrasi layanan game barunya tersebut ke dalam aplikasi mobile-nya.
Hal ini dikabarkan langsung melalui akun Twitter Netflix Geeked beberapa hari lalu. Dalam cuitannya tersebut dijelaskan bahwa uji coba ini dilakukan di Polandia. Sehingga para pengguna Netflix yang mengakses layanannya lewat perangkat Android sudah dapat mengunduh 2 game yang disediakan Netflix, yaitu Stranger Things: 1984 dan Stranger Things 3.
Secara teknis, para pengguna yang akan mengunduh game tersebut tetap diarahkan menuju lama game-nya di Google Play Store namun para pengguna Netflix tersebut tidak akan dikenakan biaya tambahan. Netflix juga menegaskan bahwa game mereka tersebut tidak akan memiliki iklan maupun micro-transaction karena sudah termasuk ke dalam biaya berlangganannya.
Let’s talk Netflix and gaming.
Today members in Poland can try Netflix mobile gaming on Android with two games, Stranger Things: 1984 and Stranger Things 3. It’s very, very early days and we’ve got a lot of work to do in the months ahead, but this is the first step. https://t.co/yOl44PGY0r
Pihak Netflix Geeked juga menjelaskan bahwa mereka masih memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk beberapa bulan ke depan, namun yang mereka tunjukkan sekarang ini adalah langkah pertama dari target mereka. Netflix memang menjanjikan bahwa layanan game mereka tersebut akan memiliki lebih banyak judul di masa depan.
Uniknya, layanan game mobile ini tidak dapat dicoba oleh para pengguna yang menggunakan platform iOS milik Apple. Netflix memang tidak menjelaskan apa alasan menguji layanan tersebut di satu platform saja, namun tentunya banyak pengguna produk Apple di Polandia yang kecewa karena tidak dapat mencoba langsung layanan ini.
Selain kecewa karena tidak tersedia untuk versi iOS, banyak fans yang jadi mempertanyakan tujuan utama dari layanan game ini karena merasa layanan tersebut hanya berupa link untuk menuju laman game-nya di Google Play Store. Tidak sedikit juga yang khawatir bahwa fitur ini akan menjadi alasan bagi Netflix untuk menaikkan harga berlangganannya di masa depan.
Netflix sebelumnya memang telah menegaskan bahwa biaya berlangganan mereka tidak akan bertambah dengan adanya fitur game ini. Namun para pengamat teknologi memang sedikit skeptis dengan hal tersebut karena Netflix memang harus menginvestasikan banyak sumber daya untuk mengembangkan layanan game ini.
Perseturuan antara Epic Games melawan Apple dan Google tentunya menjadi salah satu kasus paling gempar di industri video game. Karena memang keduanya mempertaruhkan jumlah uang yang sangat besar bila menang nantinya.
Bila Epic menang, Apple dan juga Google tentu harus mematuhi tuntutan untuk menurunkan persentase potongan toko online mereka yang akan mempengaruhi perputaran uang dalam skala masif. Begitu juga sebaliknya karena Epic Games telah mengeluarkan dana yang tidak sedikit ke dalam gugatan ini.
Namun dari dokumen terbaru yang diungkap dalam kasus ini menunjukkan bahwa sebelumnya Google sempat berkeinginan untuk membeli sebagian atau bahkan seluruh perusahaan Epic Games. Keinginan tersebut tentu untuk mengeliminasi Epic Games yang memang berpotensi menjadi ancaman bagi Google.
This was unbeknownst to us at the time, and because of the court’s protective order we’re just finding out now about Google’s consideration of buying Epic to shut down our efforts to compete with Google Play.https://t.co/HSS1edUrQm
CEO Epic, Tim Sweeney bahkan mengekspresikan rasa terkejutnya terhadap dokumen yang baru dibuka tersebut. Dirinya bahkan membuat cuitan di akun Twitter-nya yang menunjukkan bahwa mereka tidak mengetahui rencana tersebut sebelum pihak pengadilan membeberkannya.
Dikutip dari dokumen tersebut, dituliskan bahwa Google telah melangkah jauh bahkan hingga mau membagi keuntungan monopolinya degan mitra bisnisnya untuk mengamankan kesepakatan menghindari hukuman dari undang-undang persaingan usaha.
Google juga disebut telah memiliki beberapa projek internal untuk mengatasi upaya Epic dan pihak lainnya yang berusaha untuk memberikan konsumen dan para pengembang tempat alternatif yang kompetitif — yang berbuntut pada pertimbangan untuk membeli Epic Games.
Dokumen tersebut juga mengklaim bahwa seorang Manajer Senior Google Play telah membuat beberapa tawaran kepada Epic dengan membuat “kesepakatan khusus” untuk Fortnite. Namun pihak Epic menolah tawaran Google tersebut yang kemudian membuat Epic mengarahkan para pemain Fortnite mengunduh lewat website mereka dan persetujuan distribusi eksklusif dengan Samsung.
Keputusan berani Epic tersebut membuat Google cukup panas karena Google kemudian mengeluarkan pernyataan bahwa praktek ‘direct download‘ yang dilakukan oleh Epic sebenarnya buruk dan merupakan pengalaman yang mengerikan. Google juga mulai membagikan berbagai statistik mengenai aplikasi-aplikasi palsu yang tertangkap oleh Google karena diunduh di luar Google Play Store.
Kasus antara Epic Games melawan Apple dan Google ini memang sudah berlangsung hampir satu tahun dan telah membeberkan banyak rahasia yang ada di dalam industri video games. Status kasusnya sendiri kini tengah menunggu hasil dari pengadilan.
Saat ini, Steam masih menjadi platform distribusi game PC paling dominan. Meskipun begitu, kebanyakan developer game merasa, potongan yang Steam dapatkan dari para developer — sebesar 30% dari total pemasukan sebuah game — terlalu besar. Hal ini diketahui berdasarkan survei yang dilakukan oleh Game Developers Conference (GDC) pada lebih dari tiga ribu pelaku industri game.
Dari survei GDC tersebut, diketahui bahwa hanya 3% responden yang menganggap, Steam dan GOG pantas untuk mendapatkan potongan sebesar 30% dari total pemasukan game. Sebanyak 3% responden lainnya mengatakan, potongan tersebut sudah sangat adil. Namun, sebagian besar responden merasa, platform distribusi digital seperti Steam seharusnya menurunkan potongan yang mereka kenakan pada developer. Sebanyak 43% responden menganggap, platform distribusi seharusnya hanya mengenakan potongan sebesar 10-15%.
Survei yang GDC lakukan merupakan survei tahunan. Pada 2020, survei GDC juga memuat pertanyaan tentang potongan yang dikenakan oleh platform distribusi digital game. Tahun lalu, hanya 7% responden yang merasa bahwa Steam pantas untuk mendapatkan potongan sebesar 30% dari total pemasukan game. Sementara pada 2019, GDC secara gamblang menanyakan pada para responden apakah Steam pantas untuk mengambil potongan sebesar 30% dari para developer game. Saat itu, sebanyak 32% responden menjawab “tidak”, sementara 27% lainnya menjawab “sepertinya tidak”.
Selama bertahun-tahun, potongan 30% yang didapatkan oleh platform distribusi digital game dianggap sebagai standar industri. Namun, beberapa tahun terakhir, muncul diskusi yang membahas tentang apakah platform distribusi game memang pantas untuk menetapkan potongan sebesar 30%. Peluncuran Epic Games Store pada akhir 2018 menjadi pemicu diskusi tersebut. Pasalnya, Epic berani menawarkan potongan yang jauh lebih kecil, hanya 12%.
Strategi Epic Games
Sebenarnya, platform distribusi digital game tidak menetapkan potongan sebesar 30% secara asal. Angka ini didasarkan pada potongan yang diambil oleh penjual retail di era CD, DVD, dan game disc. Ketika itu, penjual retail akan mengambil potongan sebesar 30% dari total penjualan game yang dijual di toko mereka. Walau dapat potongan, para penjual retail tidak bertanggung jawab atas biaya pengiriman dan produksi dari CD/DVD game yang hendak dijual. Berdasarkan laporan IGN pada 2019, toko retail — seperti Amazon, Gamestop, Best Buy dan Walmart — juga masih mengenakan potongan biaya 30% pada developer game.
Berbeda dengan toko fisik, platform digital tidak memerlukan biaya untuk membangun atau menyewa ruangan. Lalu, kenapa developer tetap dikenakan potongan? Alasannya, karena platform distribusi digital tetap membutuhkan biaya untuk membangun dan mempertahankan infrastruktur yang mereka miliki serta mengurus manajemen copy rights digital. Meskipun begitu, seperti yang dibuktikan oleh survei GDC, sebagian developer tetap merasa bahwa potongan sebesar 30% yang dikenakan oleh platform distribusi digital terlalu mahal.
Diskusi tentang potongan yang dikenakan oleh platform distribusi digital pada developer game dimulai ketika Epic Games meluncurkan platform distribusi mereka sendiri, yaitu Epic Games Store (EGS). Ketika itu, EGS berjanji bahwa mereka hanya akan mengambil 12% dari total pemasukan sebuah game. Meskipun begitu, platform distribusi lain tidak serta-merta mengikuti Epic dan menurunkan potongan yang mereka berikan pada developer game. Faktanya, Microsoft baru menurunkan potongan yang mereka kenakan pada developer pada April 2021.
Walau EGS menawarkan potongan yang lebih kecil untuk developer, tak bisa dipungkiri, Steam tetap lebih populer baik di kalangan gamers maupun developer. Berdasarkan survei GDC, hanya 6% developer yang mendapatkan untung besar dari dari EGS. Sebanyak 78% bahkan mengaku, mereka tidak menjual game mereka di EGS. Sementara itu, sebanyak 47% developer mengatakan bahwa lebih dari setengah pemasukan mereka berasal dari Steam. Dan hanya 40% developer yang memutuskan untuk tidak menjual game mereka via Steam.
Selain masalah popularitas, EGS juga masih kalah dari Steam dari segi fitur, apalagi soal konten dari komunitas. Jumlah game yang tersedia di EGS juga jauh lebih sedikit. Alasannya, Epic masih menyaring game apa saja yang boleh masuk ke EGS. Sementara di Steam, semua developer bisa memasukkan game mereka di platform tersebut selama mereka bersedia membayar biaya sebesar US$100. Menurut PC Gamer, Epic berencana untuk membuka akses ke EGS ke lebih banyak developer pada akhir tahun ini. Mereka juga terus menambah fitur baru ke EGS agar tidak kalah dari Steam.
Untuk bersaing dengan Steam, salah satu strategi yang Epic gunakan adalah dengan menyediakan game eksklusif di EGS. Untuk itu, mereka telah menghabiskan ratusan juta dollar. Hanya saja, strategi ini membuat banyak gamers PC berang. Saat ini, EGS juga masih belum bisa mendapatkan untung. Namun, Epic percaya, di masa depan, EGS akan menghasilkan untung walau mereka hanya mengambil potongan sebesar 12% dari para developer game. Jika Epic bisa merealisasikan visi mereka tersebut, tak tertutup kemungkinan, akan ada lebih banyak developer yang tertarik untuk merilis game mereka di EGS.
Microsoft Juga Turunkan Potongan untuk Developer Game PC
Pada April 2021, Microsoft memutuskan untuk mengikuti jejak Epic Games dan menurunkan besar potongan yang mereka kenakan untuk developer game,dari 30% menjadi 12%. Ketentuan baru ini akan berlaku per 1 Agustus 2021. Seperti yang disebutkan oleh Polygon, keputusan Microsoft ini akan menguntungkan developer. Namun, alasan Microsoft melakukan hal ini tidak sepenuhnya altruistik. Dengan menurunkan potongan yang dikenakan pada developer, Microsoft berharap, akan ada semakin banyak developer yang tertarik untuk merilis game mereka di platform milik Microsoft.
“Developers game punya peran penting dalam usaha kami untuk menyediakan game-game hebat pada para gamers kami, dan kami ingin para developer bisa meraih sukses di platform kami,” kata Matt Booty, Head of Xbox Game Studios, Microsoft, seperti dikutip dari The Verge. “Sistem bagi hasil yang jelas berarti para developers akan bisa membuat lebih banyak game berkualitas untuk para gamers dan bisa menjadi lebih sukses.”
Sayangnya, Microsoft hanya menurunkan persentase potongan untuk developer game PC. Jadi, developer game Xbox akan tetap dikenakan potongan sebesar 30%. Microsoft tidak menjelaskan mengapa mereka melakukan hal tersebut. Kemungkinan, alasan mengapa mereka membedakan besar potongan yang dikenakan pada para developer game PC dan Xbox adalah karena model bisnis gaming Xbox yang memang berbeda dari PC.
Selain untuk menarik lebih banyak developer, keputusan Microsoft untuk mengikuti jejak Epic juga akan menjadi pendorong bagi Steam untuk melakukan hal yang sama. Memang, pada November 2018, Steam mengubah kebijakan mereka tentang potongan yang mereka kenakan pada developer. Namun, mereka masih mengenakan potongan sebesar 30%. Persentase potongan di Steam akan turun menjadi 25% ketika pemasukan sebuah game mencapai US$10 juta. Setelah itu, jika sebuah game mendapatkan pemasukan lebih dari US$50 juta, maka potongan yang Steam kenakan akan kembali turun, menjadi 20%.
Berapa Besar Potongan yang Dikenakan Pada Developer Mobile?
Pada awalnya, platform distribusi aplikasi mobile, seperti App Store dan Play Store, juga mengenakan potongan sebesar 30% pada developer aplikasi. Namun, belakangan, besar potongan yang dikenakan pada developer telah turun. Pada November 2020, Apple mengumumkan program bernama App Store Small Business. Program tersebut bertujuan untuk membantu developer kecil.
Program App Store Small Business berlaku per 1 Januari 2021. Untuk ikut serta dalam program ini, para developer harus mendaftarkan diri. Melalui program itu, developer yang pemasukan tahunannya tidak mencapai US$1 juta per tahun hanya perlu membayar potongan sebesar 15%. Namun, ketika pemasukan sebuah developer menembus US$1 juta, mereka akan dikeluarkan dari program ini dan harus membayar potongan sebesar 30%, seperti yang disebutkan oleh The Verge.
Sementara itu, Google mengumumkan bahwa mereka akan mengurangi besar potongan yang mereka kenakan pada developer pada Maret 2021. Sama seperti Apple, Google hanya akan mengenakan potongan sebesar 15% pada developers yang pemasukannya kurang dari US$1 juta. Begitu pemasukan sebuah developer menembus batas US$1 juta, maka mereka harus membayar potongan sebesar 30%.
Menurut laporan VentureBeat, alasan Google dan Apple menurunkan potongan yang mereka kenakan pada developer aplikasi tidak hanya karena tren serupa terjadi di industri game PC. Alasan lain Apple dan Google melakukan hal itu adalah karena adanya ancaman dari pihak ketiga, yaitu Huawei. Tahun lalu, Huawei menawarkan developer bahwa mereka hanya akan mengambil potongan sebesar 0-15%. Hal ini bisa membahayakan keberadaan App Store dan Play Store karena saat ini, Huawei punya lebih dari 530 juta pengguna aktif. Dan setiap tahunnya, ada 384 miliar aplikasi yang dipasang di perangkat buatan Huawei.
Perseteruan antara Epic Games melawan Apple memang telah berjalan beberapa saat. Meskipun masih belum ada hasil final dalam persidangan ini namun ternyata topik ini masih kerap diperbincangkan oleh banyak orang di dunia maya.
Salah satunya adalah bos dari Tesla dan SpaceX, Elon Musk yang akhirnya mengutarakan sudut pandangnya atas perseteruan Epic dan Apple ini. Lewat cuitan singkatnya Elon menunjukkan ketidaksetujuannya atas apa yang Apple Store lakukan dan mengatakan bahwa apa yang dilakukan Epic Games benar.
Apple app store fees are a de facto global tax on the Internet. Epic is right.
Elon menyebut Apple App Store sebagai bukti dari keberadaan pajak global di internet. Hal ini merujuk kepada biaya yang harus diberikan oleh para pengembang game, seperti Epic Games kepada Apple selama game battle-royale mereka, Fortnite, berada di dalam Apple Store.
Pengusaha yang juga berkecimpung di dunia crypto ini menjelaskan bahwa dirinya sebenarnya menyukai produk Apple dan menggunakannya. Namun dirinya memang merasa bahwa pajak sebesar 30% tanpa ada benefit apapun tidak masuk akal.
Actually, I like & use Apple products.
They are just obviously overcharging with App Store. I mean 30% fees for doing almost zero incremental work is completely unreasonable.
Epic wouldn’t bother processing their own payments if App Store fees were fair.
Tidak hanya berhenti di situ, keesokan harinya Elon juga melanjutkan cuitannya membahas Android dengan Google Play Store-nya. Uniknya, Epic sebelumnya telah membuat gugatan serupa dengan Apple kepada Google.
Dirinya menjelaskan bahwa harusnya keberadaan Android dapat memberikan tekanan kompetitif yang membuat Apple menurunkan biaya yang dibebankan. Namun Android malah melakukan praktek yang sama yang membuat keduanya memonopoli pasar aplikasi mobile bersama-sama.
Beberapa pengikut Elon Musk bahkan menyarankan agar Elon membuat ‘app store’ sendiri dan bahkan Tesla Phone yang nantinya akan memiliki peraturan dan regulasinya sendiri yang berbeda dari Apple dan Google.
Salah seorang fans bahkan punya ide yang lebih gila dengan mengatakan bahwa cara terbaik untuk melampaui Apple dan Google adalah menciptakan infrastruktur mobile terbuka yang mengintegrasikan mata uang crypto dalam tingkatan sistem operasinya.
Hal tersebut memang bukan tidak mungkin dilakukan oleh sang bilionaire eksentrik satu ini. Elon Musk sering mencoba berbagai hal baru untuk memperluas bisnisnya, termasuk yang terakhir adalah masuk ke dalam dunia cryptocurrency. Mungkin saja Tesla Phone akan menjadi nyata di masa depan.
Kesuksesan Unreal Engine dan juga popularitas Fortnite memang membawa Epic Games menjadi salah satu raksasa baru dalam industri video game. Hal ini tentu dirasakan juga oleh sang CEO Tim Sweeney yang kini menjadi semakin berani untuk memperjuangkan produk-produknya.
Sebelumnya, industri video game dikejutkan dengan perseteruan antara Epic Games melawan Apple yang berlanjut ke meja hijau. Ketika perkara dengan Apple masih menunggu keputusan pengadilan, Tim kelihatannya mengalihkan perhatiannya kepada Google.
Hal ini dilakukan oleh Tim lewat cuitannya di Twitter yang mengutip berita tentang Google melakukan instalasi otomatis aplikasi pelacakan kontak (untuk COVID-19) pada smartphone tanpa seizin penggunanya yang berada di Amerika Serikat.
Google Play desperately needs competition. Blocking popular apps like Fortnite against users’ wishes, while force-installing government apps without users’ consent. It’s a business with a rotten soul. https://t.co/KGXqOSywWP
Seperti yang terjadi sebelumnya dengan Apple, Tim langsung menyerang Google dengan menyebut bahwa para pengguna yang malang diblokir untuk memasang Fortnite lewat Google Play Store. Namun Google malah memasang aplikasi tanpa persetujuan penggunanya.
Tim bahkan menyebut apa yang dilakukan Google tersebut sebagai ‘bisnis tanpa etika’. Cuitan ini pun mendapat dukungan dari para pengikut Tim yang bahkan mendorong sang CEO untuk membuat mobile store mereka sendiri.
Dalam cuitan-cuitan setelahnya, Tim Sweeney juga masih menyerang baik Apple maupun Google. Namun uniknya, ia memberikan apresiasi terhadap Microsoft terutama pada kehadiran Windows 11 dengan mengatakan bahwa “versi 2021 dari Microsoft adalah versi terbaik dari Microsoft yang pernah ada.”
The 2021 version of Microsoft is the best version of Microsoft ever! https://t.co/RTpFHpWazG
Meskipun tidak menyinggungnya secara langsung, kelihatannya Sweeney memuji Microsoft atas keputusan untuk memperbolehkan para pengembang di store-nya dapat menggunakan sistem pembayaran sendiri dan menyimpan 100% pendapatannya.
Apakah selain untuk menyerang raksasa Google, cuitan-cuitan dari Tim Sweeney ini juga mengindikasikan bahwa mereka tidak akan bekerja sama untuk pasar mobile? Apalagi di cuitannya yang lain, ia me-retweet informasi bahwa Windows 11 akan mendukung aplikasi Android.
Ataukah cuitan ini akan berakhir juga sebagai tuntutan kepada Google ke jalur hukum oleh Epic Games? Apalagi dengan posisinya sekarang, Tim dengan Epic Games memang telah mampu melawan raksasa teknologi yang dianggap merugikan mereka.
Total pemasukan industri mobile game sepanjang semester pertama 2020 mencapai US$36,8 miliar (sekitar Rp540 triliun), naik 26% dari tahun lalu. Pendapatan industri mobile game kali ini merupakan rekor pemasukan terbesar sepanjang sejarah. Tidak aneh jike pemasukan industri mobile game naik, mengingat pandemi yang mewabah sepanjang 2020 justru membuat gamer lebih sering bermain game dan menghabiskan uang untuk game.
Selain itu, selama beberapa tahun belakangan, pemasukan dari industri mobile game memang menunjukkan tren naik. Pada semester pertama 2017, total pemasukan mobile gaming mencapai US$22,6 miliar (sekitar Rp331,7 triliun), menurut data dari Sensor Tower dan Statista. Sekitar 65 persen pemasukan itu berasal dari pengguna iPhone. Sementara pada semester pertama 2018, total pemasukan mobile gaming naik menjadi US$26,2 miliar (sekitar Rp384,6 triliun). Pada 2019, pemasukan industri mobile gaming kembali naik menjadi US$30,3 miliar (sekitar Rp444,8 triliun).
Para pengguna iPhone biasanya memberikan kontribusi lebih besar pada pemasukan industri mobile gaming daripada pengguna Android. Dari total pemasukan industri mobile game pada semester pertama 2020, sekitar 60% berasal dari iOS. Pada Q1 2020, total pemasukan App Store mencapai US$10,6 miliar (sekitar Rp155,6 triliun), naik 18% dari tahun sebelumnya. Dan pada Q2 2020, total pemasukan mobile game untuk iOS naik menjadi US$11,6 miliar (sekitar Rp170,2 triliun).
Sementara itu, pemasukan mobile game untuk Android mencapai US$14,6 miliar (sekitar Rp214,3 triliun) pada paruh pertama 2020. Pada Q2 2020, total pemasukan Play Store mencapai US$7,7 miliar (sekitar Rp113 triliun), naik dari US$6,9 miliar (sekitar Rp101,3 triliun) pada kuartal sebelumnya.
Dari segi pemasukan, iOS memang lebih unggul dari Android. Namun, dari segi total download, Android masih mendominasi. Pada Q1 2020, total download dari mobile game di Android mencapai 10,4 miliar unduhan, naik 39 persen dari periode yang sama tahun lalu. Pada Q2 2020, angka itu naik menjadi 12,4 miliar, menurut data dari Sensor Tower.
Sepanjang semester pertama 2020, total download dari mobile game di Google Play Store naik 52 persen dari tahun lalu menjadi 22,8 miliar unduhan. Sementara itu, jumlah download di App Store sepanjang semester pertama 2020 hanya mencapai 5,7 miliar, empat kali lipat lebih sedikit dari jumlah download di Android.
Epic Games mengadakan Free Fortnite Cup pada 23 Agustus 2020. Turnamen tersebut bisa diikuti oleh semua pemain Fortnite di seluruh dunia. Satu hal yang membuat turnamen tersebut unik adalah karena Free Fortnite Cup diadakan sebagai bentuk protes Epic Games pada Apple.
Dua minggu lalu, Apple dan Google memblokir Fortnite dari App Store dan Play Store karena Epic menyediakan opsi pembelian V-Bucks — mata uang di Fortnite — yang memungkinkan para gamer untuk membeli V-Bucks langsung dari Epic Games. Dengan begitu, Epic tak perlu membayar potongan 30 persen pada Apple. Epic juga melakukan hal yang sama di Android. Hal ini berujung pada diblokirnya Fortnite di App Store dan Play Store. Epic lalu menuntut Apple dan Google ke pengadilan atas tuduhan monopoli.
Dalam Free Fortnite Cup, salah satu hadiah yang Epic Games tawarkan adalah skin Tart Tycoon. Untuk memenangkan skin tersebut, seorang peserta hanya cukup mendapatkan 10 poin. Pemain akan mendapatkan 10 poin setiap mereka berhasil keluar sebagai pemenang dan mendapatkan Victory Royale. Peserta juga akan mendapatkan satu poin setiap kali mereka berhasil mengeliminasi pemain lain. Tak hanya itu, pemain akan mendapatkan satu poin jika mereka bisa bertahan per tiga menit. Dengan begitu, bisa dipastikan, hampir semua peserta Free Fortnite Cup akan mendapatkan skin Tart Tycoon.
Tak berhenti sampai di situ, Epic juga menawarkan topi Free Fortnite. Di topi berwarna hitam tersebut, terdapat gambar llama dengan warna pelangi, yang identik dengan logo Apple. Topi tersebut akan diberikan pada 20 ribu pemain dengan poin terbanyak dalam Free Fortnite Cup.
Terakhir, Epic juga menawarkan hadiah berupa perangkat gaming, mulai dari smartphone Android sampai laptop gaming. Epic menyediakan 1.200 perangkat gaming untuk para pemain yang dapat memakan apel paling banyak dalam game.
Inilah perangkat gaming yang ditawarkan oleh Epic:
Samsung Galaxy Tab S7
OnePlus 8
PlayStation 4 Pro
Xbox One X
Nintendo Switch
Alienware Gaming Laptop
Razer Gaming Laptop
Selain untuk meledek Apple, tampaknya, Epic juga menyelenggarakan Free Fortnite Cup untuk memenangkan hati para gamer. Meskipun begitu, tidak diketahui apakah opini publik akan dapat membantu Epic untuk memenangkan kasus mereka di pengadilan melawan Apple dan Google.