Tag Archives: Playstation

Krisis Stok PS5 Masih Berlanjut, Sony Akan Genjot Produksi PS4

Sejak pertama kali diluncurkan di bulan November 2020, PlayStation 5 terus dilanda isu seputar keterbatasan stok. Di belahan dunia manapun, stok konsol terbaru Sony ini hampir selalu kosong, dan alasannya tidak lain dari krisis yang melanda industri semikonduktor secara global.

Ketimbang menerima nasib begitu saja, Sony dikabarkan sudah menyiapkan strategi lain, yakni menggenjot produksi PlayStation 4. Berdasarkan laporan Bloomberg, Sony rupanya telah menyuarakan ke mitra-mitra manufakturnya pada akhir tahun lalu bahwa mereka akan terus memproduksi konsol lamanya itu hingga tahun ini.

Sony memang tidak pernah secara resmi mengumumkan ke publik bahwa mereka bakal menyetop produksi PS4, akan tetapi mereka kabarnya sempat berencana untuk menghentikan perakitan PS4 pada akhir 2021 kemarin. Rencana tersebut batal dijalankan, dan Sony sekarang malah berniat untuk meningkatkan produksi PS4.

Narasumber Bloomberg mengatakan bahwa Sony berniat menambahkan sekitar satu juta unit PS4 tahun ini untuk mengisi kekosongan yang diakibatkan oleh terhambatnya produksi PS5. Meski begitu, angkanya bisa saja berubah tergantung permintaan. Dibanding PS5, PS4 tentu lebih mudah dan lebih murah untuk dibuat karena menggunakan komponen-komponen yang lebih inferior.

Kepada Bloomberg, juru bicara Sony mengonfirmasi bahwa produksi PS4 masih akan terus dilanjutkan, dan Sony pun dari awal tidak pernah berniat untuk menghentikannya. “PS4 merupakan konsol dengan penjualan terbesar, dan persilangan antar generasi itu bakal selalu ada,” ujarnya.

Dirilis di tahun 2013, PS4 tercatat telah terjual sebanyak lebih dari 116 juta unit, dan konsol ini pun masih cukup diminati hingga sekarang. Bukan hanya itu, PS4 juga masih menyumbangkan pendapatan yang cukup besar buat divisi gaming Sony melalui penjualan game dan subscription.

Apa yang Sony lakukan ini pada dasarnya mirip seperti langkah yang diambil oleh Nvidia. Belum lama ini, Nvidia memutuskan untuk memproduksi kembali kartu grafis lamanya (RTX 2060) demi memenuhi permintaan konsumen. Minat terhadap perangkat gaming melonjak drastis selama pandemi, sementara produksi perangkat-perangkat barunya justru terhambat karena kendala di rantai pasok. Alhasil, produk-produk lama pun dilihat sebagai salah satu cara untuk mengantisipasi.

Sumber: Bloomberg. Gambar header: Fabian Albert via Unsplash.

Tak Harus Putih, Cover PS5 Kini Dapat Diganti dengan 5 Warna Lain Berkat Aksesori Resmi dari Sony

Saat pertama kali diungkap, PlayStation 5 langsung menuai banyak kontroversi terkait desainnya. Lalu ketika Sony sudah mulai memasarkannya, tidak sedikit konsumen yang terkejut melihat ukuran fisik PS5 yang tergolong bongsor. Singkat cerita, desain PS5 bukan untuk semua orang, dan Sony tampaknya sadar akan hal itu.

Namun tentu saja merombak desainnya secara drastis sekarang terdengar kurang rasional — mungkin ini bisa jadi salah satu ekspektasi kita untuk PlayStation 5 Pro nanti, seandainya ada. Yang bisa Sony lakukan sekarang setidaknya adalah memberikan opsi personalisasi warna kepada para pengguna PS5.

Ya, PS5 sekarang tidak harus berwarna putih. Sony baru saja menyingkap aksesori PS5 Console Cover dalam lima pilihan warna yang berbeda: Cosmic Red, Galactic Purple, Midnight Black, Starlight Blue, dan Galactic Purple. Cara pemasangannya mudah kalau menurut Sony sendiri; cukup lepas cover putih bawaan PS5, lalu ganti dengan yang baru ini. Selain untuk versi standarnya, aksesori ini juga tersedia buat PS5 Digital Edition, jadi jangan sampai Anda salah beli.

Supaya klop, Sony tidak lupa menyediakan controller DualSense dalam lima opsi warna yang sama persis, meski dua di antaranya (Cosmic Red dan Midnight Black) sebenarnya sudah tersedia selama beberapa bulan. Dari sisi fungsionalitas, controller baru ini sama persis seperti versi putih yang disertakan dalam paket penjualan PS5.

Di Indonesia, PS5 Console Cover bakal dijual secara resmi dengan harga Rp939.000, sedangkan controller DualSense dalam tiga warna barunya dibanderol Rp1.359.000. Sejauh ini belum ada informasi apakah ke depannya Sony bakal menjual konsol PS5 dalam warna-warna baru ini. Untuk sekarang, warna-warna baru ini sifatnya sebatas add-on yang opsional.

Untuk PS5 Console Cover varian Cosmic Red dan Midnight Black, pemasarannya dijadwalkan berlangsung mulai 21 Januari 2022. Sementara tiga varian warna sisanya diperkirakan bakal menyusul tidak lewat dari babak pertama 2022. Controller-nya sendiri akan lebih dulu dijual mulai 14 Januari 2022.

Di luar sana, sebenarnya sudah eksis sejumlah opsi cover untuk PS5 dari sejumlah produsen pihak ketiga — yang akhirnya memicu perseteruan hukum antara Sony dan produsen-produsen tersebut, sekaligus mendorong Sony untuk mematenkan desain cover PS5.

Sumber: Sony.

God of War Versi PC Janjikan Visual yang Lebih Wah, Lengkap dengan Dukungan Nvidia DLSS dan AMD FSR

Salah satu ikon kebanggaan PlayStation, Kratos, bakal resmi menjejakkan kakinya di PC tahun depan. Ya, seperti yang sudah diberitakan sebelumnya, God of War bakal bisa dimainkan melalui Steam maupun Epic Games Store mulai 14 Januari 2022, nyaris empat tahun setelah game-nya pertama kali dirilis untuk PS4.

Versi PC-nya datang membawa sejumlah penyempurnaan, khususnya dari sisi visual. Pada versi aslinya, God of War memang sudah bisa menyajikan grafik kelas AAA yang memukau, namun ini bakal lebih dipercantik lagi di versi PC-nya berkat resolusi bayangan yang lebih tajam, penyempurnaan efek screen space reflection, ground truth ambient occlusion (GTAO) dan screen space directional occlusion (SSDO).

Tanpa harus terkejut, God of War di PC juga bisa berjalan tanpa batasan frame rate selama hardware kita sanggup. Kabar baiknya, Santa Monica Studio turut menyertakan dukungan fitur upscaling Nvidia DLSS sekaligus AMD FSR. Integrasi FSR ini merupakan kabar baik bagi pemain yang membutuhkan dorongan performa ekstra, tapi tidak punya kartu grafis seri Nvidia RTX.

God of War versi PC juga mendukung Nvidia Reflex, yang berarti latensi sistem dapat ditekan selama Anda menggunakan kartu grafis yang kompatibel (seri RTX atau GTX 900 ke atas) demi menyajikan gameplay yang responsif. Ini krusial untuk momen-momen pertarungan yang memerlukan reaksi cepat dari para pemain, seperti misalnya dalam sesi boss fight melawan Sigrun the Valkyrie Queen.

Tentu saja, yang menjadi pertanyaan terpenting adalah apakah PC Anda sanggup menjalankannya. Berikut rincian spesifikasi PC minimum yang dibutuhkan, langsung dari Sony:

Minimum (720p 30 fps)

  • Graphics settings: Low
  • GPU: Nvidia GTX 960 (4 GB) atau AMD R9 290X (4 GB)
  • CPU: Intel Core i5-2500K (4-core 3,3 GHz) atau AMD Ryzen 3 1200 (4-core 3,1 GHz)
  • RAM: 8 GB
  • Storage: 70 GB HDD

Recommended (1080p 30 fps)

  • Graphics settings: Original
  • GPU: Nvidia GTX 1060 (6 GB) atau AMD RX 570 (4 GB)
  • CPU: Intel Core i5-6600K (4-core 3,5 GHz) atau AMD Ryzen 5 2400G (4-core 3,6 GHz)
  • RAM: 8 GB
  • Storage: 70 GB SSD

High (1080p 60 fps)

  • Graphics settings: Original
  • GPU: Nvidia GTX 1070 (8 GB) atau AMD RX 5600XT (6 GB)
  • CPU: Intel Core i7-4770K (4-core 3,5 GHz) atau AMD Ryzen 7 2700 (8-core 3,2 GHz)
  • RAM: 8 GB
  • Storage: 70 GB SSD

Performance (1440p 60 fps)

  • Graphics settings: High
  • GPU: Nvidia RTX 2070 (8 GB) atau AMD RX 5700XT (8 GB)
  • CPU: Intel Core i7-7700K (4-core 4,2 GHz) atau AMD Ryzen 7 3700X (8-core 3,6 GHz)
  • RAM: 16 GB
  • Storage: 70 GB SSD

Ultra (4K 60 fps)

  • Graphics settings: Ultra
  • GPU: Nvidia RTX 3080 (10 GB) atau AMD RX 6800XT (16 GB)
  • CPU: Intel Core i9-9900K (8-core 3,6 GHz) atau AMD Ryzen 9 3950X (16-core 3,5 GHz)
  • RAM: 16 GB
  • Storage: 70 GB SSD

Spesifikasi yang dibutuhkan tergolong standar untuk ukuran game AAA modern dan bisa dibilang cukup fleksibel. Semoga saja performanya bisa langsung mulus seperti Days Gone, dan bukan seperti Horizon Zero Dawn yang membutuhkan beberapa patch sebelum akhirnya bisa berjalan tanpa problem.

Sumber: Steam via PC Gamer.

Scuf Reflex Adalah Controller PS5 dengan Kustomisasi yang Sangat Lengkap

Setahun lebih setelah PlayStation 5 eksis, produsen controller kenamaan asal AS, Scuf, akhirnya meluncurkan lini produk yang dikhususkan untuk konsol next-gen tersebut. Lini baru ini Scuf namai Reflex, dan total ada tiga model controller yang berbeda yang ditawarkan.

Model yang pertama sekaligus yang paling basic adalah Scuf Reflex. Dibandingkan controller DualSense bawaan PS5, Reflex menawarkan kelebihan dalam bentuk empat tombol ekstra di bagian belakang yang dapat diprogram sesuai kebutuhan. Perangkat dapat menyimpan hingga tiga profil konfigurasi tombol untuk game yang berbeda-beda, dan pengguna dapat berpindah dari satu profil ke lainnya hanya dengan menekan sebuah tombol.

Kustomisasi turut menjadi nilai jual ekstra dari controller seharga $200 ini. Selain pelat depan yang bisa diganti-ganti, stik analognya juga dapat dilepas dan ditukar dengan yang lain yang berbeda bentuk. Panjang, pendek, cembung, cekung; sesuaikan sendiri saja dengan selera dan kebutuhan masing-masing.

Model yang berikutnya, yakni Reflex Pro, dibanderol mulai $230 dan mengunggulkan grip spesial untuk menambah kenyamanan di samping fitur-fitur yang sudah disebutkan tadi. Kedua controller ini sama-sama dibekali fitur adaptive trigger dan haptic feedback seperti yang ditawarkan oleh controller DualSense.

Terakhir, ada Reflex FPS yang secara spesifik dirancang untuk permainan first-person shooter. Model ini tidak memiliki vibration motor, dan trigger-nya justru dibuat supaya bisa aktif secara instan dalam setiap klik. Kalau Reflex dan Reflex Pro bertujuan untuk meningkatkan sensasi immersive, Reflex FPS justru mengorbankan aspek tersebut demi memaksimalkan skill bermain penggunanya. Lucunya, Reflex FPS justru dihargai paling mahal — $260 — meski fitur yang ditawarkannya sebenarnya lebih sedikit.

Selain PS5, ketiga model Scuf Reflex ini tentu juga kompatibel dengan PC Windows, macOS, maupun perangkat Android dan iOS. Untuk koneksinya sendiri, pengguna bebas memilih antara Bluetooth dan kabel USB-C.

Dari sisi harga, ketiganya jelas masuk kategori premium. Sebagai perbandingan, harga resmi DualSense di AS adalah $70. Sementara di kubu Xbox, Elite Wireless Controller Series 2 yang juga mengunggulkan aspek kustomisasi yang lengkap, dijual seharga $180.

Sejauh ini belum ada informasi mengenai ketersediaan trio Scuf Reflex ini di Indonesia secara resmi. Semoga saja distributor Corsair di Indonesia, DTG, berminat untuk membawanya ke sini. Sekadar mengingatkan, Scuf memang sudah menjadi bagian dari Corsair sejak akhir 2019.

Sumber: Kotaku.

Rumor: Sony Bakal Satukan PlayStation Plus dan PlayStation Now Menjadi Layanan Subscription Baru

Berdasarkan rumor terbaru yang dilaporkan oleh Bloomberg, Sony tengah sibuk menyiapkan layanan subscription baru untuk PlayStation sebagai respons atas popularitas layanan Xbox Game Pass yang terus mencuat belakangan ini.

Sejauh ini, Sony memang sudah punya dua layanan berlangganan yang ditujukan untuk konsumen PlayStation, yakni PlayStation Plus dan PlayStation Now, akan tetapi layanan baru yang secara internal dikenal dengan codename Spartacus ini kabarnya bakal menyatukan kedua layanan tersebut.

Sekadar mengingatkan, PlayStation Plus merupakan layanan yang diperlukan untuk memainkan sebagian besar game multiplayer sekaligus yang memberi bonus sejumlah game secara gratis, sedangkan PlayStation Now memungkinkan pelanggan untuk mengunduh atau streaming koleksi game yang sudah beredar selama beberapa waktu.

Spartacus di sisi lain bakal hadir dalam tiga tingkatan (tier) yang berbeda. Tier yang pertama menawarkan fasilitas serupa seperti PlayStation Plus. Tier yang kedua menambahkan akses ke sederet game PlayStation 4, dan ke depannya, PlayStation 5. Untuk tier yang ketiga sekaligus yang paling mahal, pelanggan juga bakal mendapat sejumlah demo dan fitur streaming, serta akses ke koleksi judul-judul game klasik yang pernah dirilis di PS1, PS2, PS3, dan bahkan PSP.

Bloomberg juga bilang bahwa ada kemungkinan Sony tetap mempertahankan branding “PlayStation Plus” untuk layanan baru ini. Peluncurannya dikabarkan bakal berlangsung di musim semi 2022, dan akan tersedia untuk pengguna PS4 sekaligus PS5.

Sepintas layanan baru ini kedengarannya menjanjikan, namun sayangnya Sony dikabarkan tidak akan menyertakan judul-judul game baru di hari pertama peluncurannya masing-masing seperti yang Microsoft lakukan dengan Xbox Game Pass. Jadi saat Gran Turismo 7 dirilis pada tanggal 4 Maret 2022, kemungkinan besar game-nya tidak akan langsung tersedia di layanan baru tersebut.

Hal ini kontras dengan yang ditawarkan Xbox Game Pass; Forza Horizon 5 yang dirilis pada tanggal 9 November lalu langsung tersedia buat pelanggan Xbox Game Pass sejak hari pertama, yang pada akhirnya membuat game tersebut dimainkan oleh lebih dari 10 juta orang dalam sepekan pertamanya. Sony tampaknya masih belum seberani itu.

Terlepas dari itu, layanan baru ini semestinya bakal memiliki daya tarik yang lebih besar ketimbang dua layanan subscription PlayStation yang eksis sekarang.

Sumber: Bloomberg. Gambar header: Charles Sims via Unsplash.

Semua Tentang Game Porting: Apakah Semuanya Hanya Soal Uang dan Keuntungan?

Setiap platform gaming punya pasar sendiri-sendiri. Karena, setiap gamer punya platform favorit masing-masing. Sebagian orang sudah puas dengan mobile game dan sebagian yang lain lebih memilih untuk bermain di konsol. Selain itu, juga ada gamers yang menjadi penganut “PC Master Race”. Jadi, salah satu cara bagi developer untuk memperluas target market mereka adalah dengan meluncurkan game di banyak platform.

Hanya saja, membuat game di banyak platform sekaligus bukanlah hal yang mudah. Jika tidak hati-hati, hal ini justru bisa jadi bumerang bagi developer. Contohnya, ketika CD Projekt Red memaksakan untuk meluncurkan Cyberpunk 2077 di konsol last-gen — PlayStation 4 dan Xbox One — mereka diprotes para gamers karena game itu tidak bisa berjalan lancar di kedua konsol itu. Mereka bahkan sempat harus menarik Cyberpunk 2077 dari PlayStation Store.

Namun, jika developer sukses membuat porting game ke platform lain, hal ini akan menjadi sumber pemasukan baru bagi developer. Developer yang sukses melakukan porting game ke banyak platform adalah Rockstar Games dengan Grand Theft Auto V. Pada awalnya, game itu diluncurkan untuk PlayStation 3 dan Xbox 360. Setelah itu, mereka merilis game itu untuk PS4, Xbox One, dan PC. Sekarang, mereka berencana untuk membawa game tersebut ke PS5 dan Xbox Series X.

Serba-Serbi Porting di Game

Sebelum membahas tentang keuntungan dan tantangan dalam melakukan porting game, mari kita bahas definisi dari proses porting itu sendiri. Sederhananya, porting adalah proses untuk menyesuaikan software — dalam kasus ini, game — sehingga ia bisa dijalankan di platform yang berbeda dari platform orisinal ketika game itu dibuat.

Salah satu alasan mengapa developer memutuskan untuk melakukan porting dari game mereka adalah untuk menjangkau audiens baru. Karena, masing-masing platform punya pasarnya sendiri. Secara total, angka penjualan PS3 mencapai 87,4 juta unit dan Xbox 360 84 juta unit. Jadi, ketika Rockstar merilis GTA V untuk PS3 dan Xbox 360, maka target pasar mereka terbatas pada 171,4 juta orang yang memiliki konsol itu. Dengan meluncurkan GTA V ke PS4, Xbox One, dan PC, maka Rockstar juga akan bisa menjangkau gamers dari ketiga platform tersebut.

Grand Theft Auto V pada awalnya hanya tersedia untuk PS3 dan Xbox 360.

Dengan memperluas target pasar sebuah game, developer bisa menggenjot pemasukan mereka. Terlepas dari model bisnis yang developer terapkan pada game yang mereka buat — baik model premiun, subscription, ataupun in-app purchase — semakin banyak orang yang memainkan game mereka, semakin besar pula pemasukan yang developer bisa dapatkan, seperti yang disebutkan oleh Know Techie.

Selain itu, jika dibandingkan dengan membuat game yang sama sekali baru, melakukan porting ke platform lain lebih mudah untuk dilakukan. Ketika melakukan porting game, developer juga tidak perlu lagi melakukan validasi pasar. Karena, mereka sudah tahu bahwa game yang hendak mereka porting sudah punya fanbase. Meskipun begitu, melakukan porting game dari satu platform ke platform lain bukanlah perkara gampang.

Miguel Angel Horna, Co-founder dan Lead Programmer dari Blitworks menjelaskan langkah-langkah dalam proses porting. BlitWorks adalah perusahaan asal Spanyol yang dikenal karena telah melakukan porting dari sejumlah game ternama, seperti Fez, Sonic CD, Jet Set Radio, Bastion, Spelunky, dan Don’t Starve. Perusahaan yang didirikan pada 2012 itu telah melakukan porting game ke berbagai platform, mulai dari PS3, PS4, PS5, PS Vita, Xbox 360, Xbox One, Xbos Series X, Steam, Nintendo Switch, sampai iOS dan Android.

“Biasanya, proses porting game terdiri beberapa langkah. Masing-masing langkah itu punya tantangan tersendiri,” kata Horna pada Game Developer. “Langkah pertama adalah membuat game yang hendak kita porting bisa dijalankan di platform yang menjadi target porting. Proses ini kompleks. Masalah yang timbul di bagian ini juga biasanya paling sulit untuk diatasi karena ketergantungan pada libraries atau middleware khusus.”

Spelunky 2 adalah salah satu hasil kerja BlitWorks.

Horna mengungkap, salah satu hal yang berpotensi memunculkan masalah adalah ketika developer menggunakan closed-source tools untuk membuat game mereka. Artinya, source code dari tools itu tidak bisa diakses oleh sembarang orang. Masalah akan semakin rumit jika tools yang developer gunakan tidak mendukung platform target porting. Dalam kasus ini, developer yang hendak melakukan porting harus membuat ulang game yang ingin mereka porting. “Terkadang, kami harus membuat game dalam bahasa programming baru yang mendukung platform target,” katanya.

Setelah game yang hendak di-porting bisa berjalan di platform tujuan, langkah berikutnya, jelas Horna, adalah untuk menyediakan graphics support yang sesuai. Dia menyebutkan, jika sejak awal pengembangan game developer sudah mempertimbangkan untuk melakukan porting ke platform lain, biasanya mereka akan memisahkan bagian graphics calls dari kode utama. Hanya saja, terkadang, kode graphic calls tercampur dengna kode utama. “Jadi, kami harus memisahkan graphic calls ke library lain, sebelum mengimplementasikannya ke graphics API dari platform tujuan,” katanya.

Tahap berikutnya adalah menyempurnakan game. Karena, di tahap ini, walau game sudah bisa dijalankan di platform tujuan dan grafik game sudah disesuaikan, masih ada bugs dalam game. Menurut Horna, bugs yang muncul dalam game biasanya sulit untuk diduga. Karena itu, penting bagi developer yang hendak melakukan porting untuk memahami cara kerja hardware dari masing-masing platform gaming. Dengan begitu, mereka bisa mengetahui penyebab dari masalah yang muncul dan mencari solusi yang tepat.

“Akhirnya, setelah game berjalan dengan lancar, Anda harus berurusan dengan banyak detail kecil yang memakan banyak waktu,” ujar Horna. “Anda harus mengubah control game agar sesuai dengan platform tujuan porting. Anda juga harus menyesuaikan antarmuka dengan ukuran layar dan resolusi dari platform tujuan.”

Ketika melakukan porting, control game harus disesuaikan karena setiap platform punya metode input yang berbeda-beda. Misalnya, smartphone memiliki touchscreen sementara konsol menggunakan controller. Dan gamers PC biasanya menggunakan mouse dan keyboard, walau mereka juga bisa memasang controller. Dan ketika resolusi game diubah, Horna mengungkap, mereka harus memastikan bahwa semua teks dalam game tidak hanya sesuai dengan resolusi dari platform tujuan, tapi juga bisa dibaca dengan jelas.

Melakukan Porting Game Lama “Lebih Aman” Bagi Developer

Game memang industri yang besar. Dan demokratisasi alat untuk membuat game — seperti game engine — memudahkan orang-orang yang ingin terjun ke dunia game development. Masalahnya, membuat game adalah bisnis yang membutuhkan model besar di awal. Dan jika game yang sudah diluncurkan tidak laku, maka developer harus siap menelan rugi. Karena itu, penting bagi developer untuk melakukan riset dan validasi pasar sebelum mereka membuat sebuah game.

Dalam sebuah video Asosiasi Game Indonesia (AGI), CEO Toge Productions, Kris Antoni Hadiputra menjelaskan bahwa ketika developer hendak menentukan game yang mereka mau buat, ada dua pendekatan yang bisa mereka gunakan: market-oriented approach dan product-oriented approach.

Ketika developer menggunakan pendekatan market-oriented, maka sejak awal, mereka memang sudah mencari tahu tentang tren di industri game. Mereka kemudian membuat game berdasarkan tren tersebut. Sebagai contoh, ketika genre battle royale tengah booming, ada banyak developer yang ikut membuat game dengan genre itu.

Sementara itu, dalam pendekatan product-oriented, developer akan menentukan game yang hendak mereka buat terlebih dulu, sebelum melakukan validasi pasar. Kris menyebutkan, saat developer menggunakan pendekatan ini, kesalahan yang biasa terjadi adalah developer terlalu sibuk untuk membuat game yang mereka inginkan, lalu lupa untuk mencari tahu apakah ada orang-orang yang juga mau memainkan game tersebut.

Karena validasi pasar penting, melakukan porting game menawarkan risiko yang lebih kecil daripada membuat game baru. Karena, game yang hendak di-porting pasti sudah memiliki fanbase sendiri. Hal ini juga jadi alasan mengapa belakangan, ada banyak developer yang memutuskan untuk membuat versi remastered atau remake dari game-game mereka.

Alasan lain mengapa melakukan porting game bisa meminimalisir risiko kerugian adalah karena membuat game lama bisa dimainkan di platform baru, hal ini bisa membuat pemain merasakan nostalgia. Dan nostalgia bisa mendorong seseorang untuk mengeluarkan uang; dalam kasus ini, untuk membeli game.

Efek perasaan nostalgia pada kecenderungan seseorang untuk membeli sesuatu dibahas dalam studi berjudul Nostalgia Weakens the Desire for Money. Dalam jurnal itu tertulis, konsumen punya kecenderungan lebih besar untuk menghabiskan uang ketika mereka merasakan nostalgia. Misalnya, ketika Anda melihat sesuatu yang membuat Anda teringat akan masa kecil bahagia Anda bersama teman dan keluarga, Anda akan punya kemungkinan lebih besar untuk terdorong membeli barang tersebut. Contoh lainnya, saya membeli Stardew Valley karena saya punya kenangan manis saat memainkan Harvest Moon.

Nostalgia bisa jadi salah satu cara untuk melakukan marketing game. | Sumber: Steam

“Kami ingin tahu, kenapa nostalgia sering digunakan dalam marketing,” tulis Jannine D. Lasaleta, Constantine Sedikides, dan Kathleen D. Vohs — penulis jurnal Nostalgia Weakens the Desire for Money. “Ternyata, salah satu alasannya adalah karena nostalgia melemahkan kendali seseorang akan uang. Dengan kata lain, seseorang punya kesempatan lebih besar untuk membeli sesuatu yang membuat mereka merasakan nostalgia.”

Ketiga penulis itu juga menyebutkan, di masa resesi, konsumen biasanya sangat hati-hati dalam menghabiskan uang mereka. Nostalgia bisa digunakan untuk mendorong konsumen berbelanja, dan pada akhirnya, menstimulasi ekonomi, seperti disebutkan oleh Science Daily.

Membuat porting dari game yang sudah ada tidak hanya “lebih aman” dari segi bisnis, tapi juga dari segi kreatif. Ketika developer berhasil membuat game yang sangat keren, fans akan punya ekspektasi tinggi akan game yang dibuat oleh developer tersebut. Sebagai contoh, berkat kesuksesan The Witcher 3: Wild Hunt, orang-orang punya ekspektasi tinggi akan Cyberpunk 2077, game baru dari CD Projekt. Banyak gamers yang mengira dan berharap, Cyberpunk 2077 akan punya kualitas yang sama, atau bahkan lebih baik dari The Witcher 3. Sebagian orang bahkan menyebut Cyberpunk 2077 sebagai “penerus” dari The Witcher 3. Sayangnya, Cyberpunk 2077 gagal untuk memenuhi ekspektasi fans.

Dari segi bisnis, Cyberpunk 2077 memang terbilang sukses. Buktinya, dalam laporan perkiraan keuangan CD Projekt untuk 2020, total pemasukan perusahaan diperkirakan mencapai US$562 juta, 4 kali lipat dari pemasukan mereka pada 2019, seperti yang disebutkan oleh GamesIndustry. Tak hanya itu,  total pemasukan itu juga 2,5 lipat lebih besar dari pemasukan CD Projekt pada 2015 — tahun ketika The Witcher 3 diluncurkan. Meskipun begitu, tak bisa dipungkiri, banyak fans yang merasa kecewa dengan CD Projekt karena gagal memenuhi janji-janji yang mereka buat sebelum Cyberpunk 2077 diluncurkan. Misalnya, janji tentang AI dan NPC di Cyberpunk 2077 yang jauh lebih baik dari kebanyakan game.

Cyberpunk 2077 sempat diharapkan akan menjadi “penerus” The Witcher 3.

Jadi, dengan membuat porting game, tim kreatif sebuah developer tidak terlalu dipusingkan dengan apakah game terbaru mereka akan memiliki kualitas yang tidak kalah dari “masterpiece” mereka sebelumnya. Karena itu, jangan heran jika Rockstar memutuskan untuk membawa Grand Theft Auto V ke PS5 dan Xbox Series X. Saat ini, game tersebut telah terjual sebanyak 155 juta unit, menjadikannya sebagai game dengan total penjualan terbesar ke-2 setelah Minecraft.

Hambatan untuk Membuat Porting?

Membuat porting game dari satu platform ke platform lain memang relatif lebih mudah daripada membuat game dari nol. Namun, hal itu bukan berarti proses porting tidak menawarkan tantangan tersendiri, khususnya ketika developer melakukan porting game ke PC. Berbeda dengan konsol — yang memiliki spesifikasi yang sama — PC punya spesifikasi yang berbeda-beda. Ketika Anda membeli PS5, Anda tahu bahwa konsol itu akan menggunakan AMD Zen 2-based CPU, memiliki custom RDNA 2 sebagai GPU, dengan internal storage berupa SSD custom 825GB, dan memori 16GB GDDR6.

Sementara PC hadir dalam berbagai spesifikasi. Di satu sisi, para sultan bisa membeli PC gaming terbaik, tak peduli berapa banyak uang yang harus mereka habiskan. Yang penting, mereka bisa memainkan game dengan setting rata kanan. Di sisi lain, tidak sedikit gamers yang hanya memiliki laptop/PC kentang.  Bagi developer yang hendak melakukan porting game ke PC, keberagaman spesifikasi PC ini jadi momok tersendiri.

PC hadir dalam spesifikasi yang sangat beragam.

“Bayangkan, ada berapa banyak komponen dalam sebuah PC? Masing-masing komponen itu memiliki drivers sendiri-sendiri. Sebagian gamers mungkin sudah memasang update itu, tapi sebagian yang lain belum. Dan masing-masing komponen itu akan saling berinteraksi dengan satu sama lain,” jelas Jason Stark, Co-founder Disparity Games pada PC GAMER. “Membawa game ke konsol memang tidak mudah. Tapi, setidaknya, ketika Anda membuat game untuk konsol, Anda akan tahu bahwa ketika Anda menemukan masalah di Xbox One yang Anda gunakan, masalah itu akan muncul di semua Xbox One lain.”

Melakukan porting game PC dari konsol last-gen juga berpotensi menimbulkan masalahh tersendiri, seperti dalam resolusi dan framerate. Game yang dibuat untuk dijalankan pada 30 fps tidak akan mendadak bisa dijalankan pada 60 fps. Selain itu, sebuah game lawas tidak akan mendadak terlihat seperti baru ketika developer meningkatkan resolusi grafiknya, menjadi 4K. Stark bercerita, terkadang, developer harus mengutak-atik kode dasar sebuah game untuk membuat game bisa dijalankan pada resolusi dan framerate yang lebih tinggi. Dan jika salah, hal ini bisa menyebabkan bug yang mengacaukan gameplay.

Misalnya, dalam game Vanquish, ketika developer membuat game bisa berjalan pada 60 fps, muncul bug yang membuat pemain mendapatkan damage 2 kali lipat dari ketika game dijalankan pada 30 fps. Walau terkesan sederhana, bug ini bisa membutuhkan waktu lama untuk diperbaiki. Sebagai contoh, di Dark Souls II, ada bug yang membuat senjata pemain rusak lebih cepat. Waktu yang diperlukan untuk memperbaiki bug tersebut adalah satu tahun.

Selain menyesuaikan bagian grafik, Stark bercerita, terkadang, developer harus “membuat ulang” sebuah game menggunakan engine baru ketika mereka hendak melakukan porting ke platform baru. Bahkan, jika game yang hendak di-porting memang sudah sangat lawas, developer mungkin harus mempertimbangkan untuk merombak game itu sama sekali, termasuk bagian gameplay dari game.

Mari kita bandingkan Final Fantasy 7 Remake dengan Grand Theft Auto V. Ketika Rockstar membawa GTA V ke PS4, Xbox One, dan PC, mereka tidak merombak gameplay dari game tersebut. Mereka hanya perlu memastikan, GTA V bisa berjalan di ketiga platform tersebut. Lain halnya dengan FF7 Remake.

Ketika Square Enix memutuskan untuk membuat ulang FF7, mereka tidak bisa serta-merta meluncurkan game itu ke PlayStation 4. Pasalnya, FF7 adalah game lawas, diluncurkan pertama kali pada 1997. Square Enix tidak hanya harus memperbarui grafik dari FF7 ketika mereka membuat versi Remake, tapi juga mengubah gameplay dari game itu. Karena, gameplay FF7 orisinal kurang relevan di era modern.

Tak terbatas pada aspek teknis, ketika developer hendak melakukan porting game ke platform lain, mereka juga harus mempertimbangkan sisi marketing. Nicole Stark dari Disparity Games mengatakan, ketika sebuah game diluncurkan untuk platform baru, maka developer juga harus siap melakukan kampanye marketing baru, seperti menghubungi YouTubers baru atau mengurus fanbase baru.

Kesimpulan

Nilai industri game mencapai lebih dari US$100 miliar. Ironisnya, tidak sedikit developer game — khususnya developer indie — yang justru menjadi starving artists. Misalnya, di Indonesia, pengembangan When the Past Was Around hampir dihentikan karena Mojiken Studio mengalami masalah finansial. Karena itu, penting bagi developer untuk meminimalisir risiko game yang mereka buat gagal. Dan membuat porting game merupakan salah satu cara untuk melakukan hal itu.

Ke depan, proses porting game tampaknya juga menjadi semakin penting. Karena, menurut laporan App Annie dan IDC, cross-play adalah salah satu fitur yang membuat sebuah game menjadi semakin populer. Belum lama ini, Sony juga menyebutkan bahwa mereka akan meluncurkan lebih banyak game di PC. Bahkan, saat ini, bisnis porting game sudah cukup lukratif sehingga ada developer yang memang mengkhususkan diri untuk melakukan porting.

Sony Bakal Luncurkan Lebih Banyak Game di PC, Assassin’s Creed Valhalla Jadi Game Paling Menguntungkan ke-2 Ubisoft

Minggu lalu, Sony mengumumkan bahwa mereka akan meluncurkan lebih banyak game untuk PC. Karena itu, mereka mengubah nama dari publishing label mereka, menjadi PlayStation PC LLC. Sementara itu, Ubisoft mengumumkan laporan keuangan mereka. Mereka mengungkap, Assassin’s Creed: Valhalla sekarang merupakan game mereka yang paling menguntungkan kedua. Pada minggu lalu, developer World of Warcraft juga mengumumkan studio barunya, Notorious Studios.

Krafton Akuisisi Developer Subnautica

Pemilik PUBG Studios, Krafton, mengakuisisi Unknown Worlds, studio di balik game Subnautica. Sayangnya, tidak diketahui berapa nilai akuisisi tersebut.  Tidak banyak perubahan yang terjadi pada Unknown Worlds setelah akuisisi. Mereka tetap mempertahankan struktur perusahaan mereka dan mempekerkajan semua pegawai mereka. Tak hanya itu, mereka juga tetap akan beroperasi sebagai studio mandiri. Ke depan, Unknown Worlds juga akan tetap merilis update untuk Subnautica. Selain itu, mereka juga akan mengembangkan proyek baru yang akan tersedia dalma early access pada 2022.

Developer Subnautica akan tetap beroperasi mandiri.

“Unknown Worlds adalah developer yang tidak hanya mumpuni, tapi juga penuh dengan semangat. Mereka berhasil menunjukkan kreativitas mereka dan membuat game dengan dunia yang fokus pada pemain,” kata CEO Krafton, CH Kim, dikutip dari GamesIndustry. “Krafton akan memberikan semua yang kami bisa untuk mendukung mereka. Selain meningkatkan kemampuan kami dalam membuat game, Unknown Worlds juga punya tujuan yang sama dengan kami, yaitu menciptakan game yang unik semua gamers di dunia.”

Assassin’s Creed Valhalla Jadi Game Paling Menguntungkan ke-2 Ubisoft

Assassin’s Creed: Valhalla diluncurkan pada November 2020. Dan sekarang, game tersebut telah menjadi game dengan pemasukan terbesar kedua untuk Ubisoft. Informasi itu diungkap oleh Ubisoft ketika mereka mengumumkan laporan keuangan untuk semester pertama dari tahun fiskal ini. Dalam periode Maret-September 2021, Ubisoft mengungkap bahwa total pemasukan mereka turun 1% dari tahun lalu, menjadi EUR751 juta. Namun, pemasukan perusahaan pada kuartal dua naik 21%, menjadi EUR399 juta.

“Kami punya performa yang memuaskan pada Q2, dengan pemasukan melebihi perkiraan kami,” ujar CEO Ubisoft, Frédérick Duguet, menurut laporan GamesIndustry. “Pemasukan kami naik berkat kualitas dari Intellectual Property (IP) kami, termasuk Assassin’s Creed Valhalla yang sangat sukses.”

Sony Ganti Nama Publishing Label untuk Game PC Jadi PlayStation PC LLC

Sony baru saja mengubah nama publishing label untuk game PC mereka. Sekarang, game yang Sony luncurkan di Steam akan ada di bawah label PlayStation PC LLC. Keputusan Sony ini merupakan cerminan dari keinginan Sony untuk meluncurkan lebih banyak game di PC. Belum lama ini, PlayStation mengumumkan bahwa God of War — yang tadinya eksklusif untuk konsol PlayStation — bakal diluncurkan untuk PC pada Januari 2022.

Tak hanya itu, Uncharted: Legacy of Thieves Collection — berupa dua game Nathan Drake — juga bakal diluncurkan di PC pada awal 2022. Keputusan Sony untuk lebih serius di industri game PC tidak aneh. Pasalnya, selama ini, para eksekutif PlayStation memang telah menyebutkan bahwa mereka berencana untuk meluncurkan lebih banyak game untuk PC, lapor VentureBeat.

God of War bakal diluncurkan untuk PC.

Kepada GO, PlayStation Head, Jim Ryan berkata, “Kami punya kesempatan untuk memberikan akses dari game kami ke lebih banyak gamers dan meringankan beban ekonomi pengembangan game, yang tidak selalu sesederhana yang dikira banyak orang. Biaya untuk membuat game terus naik, seiring dengan meningkatnya kualitas IP. Selain itu, sekarang, kami juga bisa meluncurkan game untuk non-konsol gamers dengan lebih mudah.”

Mantan Developer World of Warcraft Buat Studio Baru

Mantan game designer dari World of Warcraft, Chris Kaleiki mengumumkan bahwa dia telah membuka studionya sendiri, yang dinamai Notorious Studios. Dia mengumumkan hal tersebut melalui Twitter pada minggu lalu. Dia juga menyebutkan, melalui studio barunya, dia akan fokus untuk membuat game RPG.

“Memutuskan untuk meninggalkan Blizzard adalah salah satu keputusan tersulit dalam hidup saya,” kata Kaleiki, menurut laporan NME. “Saat mempertimbangkan langkah saya berikutnya, saya tahu bahwa saya ingin membuat sesuatu dengan tim yang lebih kecil, tapi punya prinsip yang sama dengan Blizzard. Contonya, prinsip untuk mengutamakan pengalaman para pemain. Saya tahu, hal ini bukan hal yang mudah.”

Pasang Surut Dominasi Perusahaan Jepang di Industri Game

Jepang merupakan negara dengan pasar game terbesar ketiga. Menurut data dari Newzoo, nilai industri game di Jepang mencapai US$20,6 miliar. Tak hanya itu, Jepang juga menjadi rumah dari beberapa perusahaan game ternama, seperti Sony dan Nintendo. Jepang bahkan sempat mendominasi pasar game global pada tahun 1980-an dan 1990-an.

Perusahaan-perusahaan game Jepang menguasai 50% dari pangsa pasar game global sekitar 25 tahun lalu. Namun, sekarang, dominasi Jepang telah mulai luntur. Pertanyaannya: apa yang membuat kejayaan Jepang di industri game runtuh?

Era Kejayaan Jepang di Industri Game

Kesuksesan Jepang di dunia game berawal dari arcade. Game arcade pertama, Periscope, diluncurkan pada 1966. Namun, di Jepang, game arcade baru mulai populer pada 1970-an, ketika Atari meluncurkan game arcade pertama mereka, Computer Space, di 1971. Sejak saat itu, mesin arcade menjamur, ditempatkan di berbagai pusat perbelanjaan dan bar. Sebenarnya, saat itu, para gamers sudah bisa membeli konsol untuk memainkan game di rumah. Hanya saja, seperti yang disebutkan oleh Japan Times, game arcade lebih populer karena ia menawarkan grafik yang lebih bagus.

Salah satu perusahaan Jepang yang menuai sukses dari bisnis game arcade adalah Sega. Dan salah satu game arcade Sega yang dianggap sukses adalah Sega Rally Championship. Game itu bahkan dianggap sebagai game balapan revolusioner karena menawarkan fitur berupa gaya gesek yang berbeda untuk setiap permukaan yang berbeda. Tetsuya Mizuguchi adalah salah satu developer yang mengembangkan Sega Rally Championship.

Sega Rally arcade. | Sumber: Wikipedia

Mizuguchi bergabung dengan Sega pada 1990, saat dia berumur 25 tahun. Dia mengaku, alasan dia ingin bekerja untuk Sega adalah karena dia kagum dengan mesin arcade yang Sega buat. Contohnya, R360, mesin arcade yang bisa berputar 360 derajat. Kepada Channel News Asia, dia mengaku bahwa ketika dia mengirimkan lamaran pekerjaan ke Sega, dia tidak berusaha untuk mencoba melamar pekerjaan di tempat lain.

Pada tahun 1990-an, Sega berhasil mendapatkan miliaran dollar dengan membuat dan menjual mesin arcade. Hal ini membuat Sega tidak segan-segan untuk mengucurkan banyak uang bagi divisi riset dan pengembangan. Mizuguchi bercerita, pada awal dia bergabung dengan Sega, perusahaan itu punya atmosfer layaknya startup. Pasalnya, kebanyakan kreator game di sana masih berumur 20-an.

“Kami semua tidak punya pengalaman, tapi kami terus berusaha untuk membuat hal baru. Ketika itu, saya merasa, atmosfer perusahaan Sega sangat menyenangkan. Kami mencoba untuk membuat sesuatu yang baru. Kami percaya, kami bisa mencoba untuk melakukan sesuatu walau kami tidak tahu caranya. Dan jika kami gagal, kami akan bisa mencoba lagi,” cerita Mizuguchi.

Sayangnya, pada 2000-an, bisnis arcade mulai lesu. Hal ini terjadi karena berkembangnya bisnis konsol, yang menurunkan minat para gamers untuk bermain di arcade. Lesunya industri arcade bahkan membuat Sega ada di ujung tanduk. Akhirnya, pada 2004, Sega akhirnya memutuskan untuk melakukan merger dengan Sammy Corporation. Sega selamat dari kebankrutan. Namun, setelah merger, atmosfer perusahaan berubah. Perubahan tersebut mendorong Mizuguchi untuk keluar.

“Tadinya, saya bisa mencoba untuk membuat hal-hal baru dan menantang di Sega. Tapi, atmosfer baru di perusahaan membuat saya kesulitan untuk melakukan hal itu,” ungkap Mizuguchi. “Namun, saya rasa, hal ini terjadi di banyak perusahaan.”

Turunnya minat akan mesin arcade memang merupakan kabar buruk untuk Sega. Namun, meningkatnya popularitas konsol menjadi kabar baik untuk produsen konsol, seperti Sony dan Nintendo. Pada akhir 1990-an dan awal 2000-an, konsol buatan Sony dan Nintendo mendominasi pasar. Sampai saat ini, daftar lima konsol dengan penjualan terbaik diisi oleh konsol-konsol buatan kedua perusahaan Jepang tersebut.

Runtuhnya Dominasi Jepang

Era 2000-an menjadi awal dari memudarnya dominasi Jepang di industri game. Menurut Matt Alt, penulis, penerjemah, dan penulis yang bermarkas di Tokyo, peluncuran Xbox oleh Microsfot merupakan salah satu alasan di balik runtuhnya dominasi Jepang di industri game. Dengan adanya Xbox, developer di Amerika Utara dan Eropa bisa membuat game untuk konsol berbasis Windows. Selain itu, mereka tidak lagi perlu khawatir akan masalah bahasa, mengingat Microsoft adalah perusahaan Amerika Serikat.

Peluncuran Xbox oleh Microsoft jadi salah satu faktor dari lunturnya dominasi Jepang di industri game. | Sumber: Digital Trends

Senada dengan Alt, Shin Imai, jurnalis IGN Jepang mengatakan, kemunculan Xbox menjadi awal dari menurunnya penjualan game buatan Jepang di pasar global. Alasannya adalah karena game-game dari developer di luar Jepang juga mulai menarik perhatian gamers. Sementara itu, John Ricciardi, localizer game Jepang, menganggap bahwa meningkatnya biaya untuk membuat game menjadi salah satu alasan mengapa game Jepang menjadi kurang populer di pasar global.

“Ongkos untuk membuat game mendadak meroket, dan proses pengembangan game menjadi kaku serta tidak fleksibel. Dan saya rasa, Jepang terjebak di sini,” ujar Ricciardi. “Di Barat, game engine mulai muncul. Para developer game melakukan semua yang bisa mereka lakukan untuk menyederhanakan proses pembuatan game. Jadi, mereka bisa fokus pada sisi kreatif pembuatan game. Namun, hal ini tidak terjadi di Jepang.”

Sementara dominasi Jepang di industri game mulai lutur, pada 2000-an, industri game Korea Selatan justru mulai tumbuh. Menariknya, budaya game Korea Selatan jauh berbeda dengan Jepang. Hal ini terjadi karena pemerintah Korea Selatan melarang impor konsol dan game dari Jepang. Memang, hubungan antara Jepang dan Korea Selatan kurang baik karena Jepang pernah menjajah Korea Selatan.

Larangan pemerintah untuk menjual game dan konsol Jepang mendorong munculnya format game baru yang unik, yaitu game berbasis teks yang disebut Multi-User Dungeon alias TextMUD. Sesuai namanya, “game” TextMUD tidak punya grafik sama sekali. Sebagai gantinya, pemain bisa berinteraksi dengan satu sama lain dalam dunia virtual dengan mengetikkan perintah sederhana. TextMUD biasanya menggabungkan elemen RPG, hack and slash, PVP, dan online chat. Dan format game ini menjadi awal dari kemunculan game online.

“Dengan kata lain, jika konsol game Jepang mendominasi pasar game Korea Selatan, genre inovatif TextMUD tidak akan pernah muncul,” kata Jong Hyun Wi, President of Korean Academic Society of Games. Di masa depan, popularitas game online juga turut berperan dalam membentuk budaya gaming di Korea Selatan. Jika gamers Jepang lebih suka bermain sendiri, gamers Korea Selatan lebih menikmati bermain bersama teman di game online. Dan hal ini akan mendorong kemunculan esports.

Peran Perusahaan Game Jepang di Tiongkok

Korea Selatan bukan satu-satunya negara yang melarang penjualan konsol  buatan Jepang. Pemerintah Tiongkok juga melakukan hal yang sama pada 2000. Ketika itu, alasan Beijing melarang penjualan konsol — baik buatan perusahaan Jepang maupun Amerika Serikat — adalah karena orang tua dan guru khawatir game akan menjadi “heroin digital”. Larangan penjulaan konsol ini juga mempengaruhi pertumbuhan industri game Tiongkok. Karena konsol dilarang, maka di Tiongkok, industri game PC dan mobile tumbuh pesat.

Tiongkok adalah pasar game terbesar di dunia. Lisa Hanson, Games Industry Consultant, Niko Partners mengatakan, Tiongkok menguasai setidaknya 25% pada pangsa pasar game global. “Banyak perusahaan game yang ingin bisa mendapatkan akses ke gamers Tiongkok,” katanya. “Dan halangan pertama yang harus mereka hadapi adalah regulasi. Ada banyak regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah untuk para pelaku industri game. Perusahaan yang ingin bisa masuk ke Tiongkok harus memenuhi regulasi tersebut.”

PS5 terjual habis di Tiongkok. | Sumber: SCMP

Lebih lanjut, Hanson menjelaskan, untuk bisa meluncurkan game di Tiongkok, sebuah perusahaan tidak hanya harus mematuhi semua peraturan yang dibuat oleh Beijing, mereka juga harus bekerja sama dengan perusahaan lokal. “Karena, hanya perusahaan lokal di Tiongkok yang bisa mengakses infrastruktur telekomunikasi,” ujarnya.

Kabar baik untuk perusahaan pembuat konsol, pemerintah Tiongkok menghapus larangan impor konsol pada 2015. Setelah larangan untuk menjual konsol dihapus, Nintendo menggandeng Tencent untuk meluncurkan Switch di Tiongkok. Tak mau kalah, Sony juga meluncurkan PlayStation 5 di Tiongkok pada Mei 2021. Dan PS5 laku keras di Tiongkok, membuktikan bahwa gamers Tiongkok punya minat akan konsol.

“PS5 terjual habis dalam waktu singkat. Konsol itu juga mendapat banyak pujian,” kata Hanson. “Gamers Tiongkok punya minat tinggi akan PS5 dan Switch dan Xbox. Memang, tidak semua gamers Tiongkok ingin bermain di konsol. Tapi, orang-orang yang berminat dengan konsol, mereka sangat senang dengan keberadaan konsol.” Dia menambahkan, di masa depan, dengan keberadaan cloud gaming — yang memungkinkan game-game konsol untuk dimainkan di perangkat lain via cloud — hal ini akan membuka kesempatan baru bagi perusahaan konsol.

Meskipun begitu, tidak bisa dipungkiri, kontribusi segmen konsol di pasar game Tiongkok memang sangat kecil. Menurut Alt, kontribusi konsol pada keseluruhan pasar game Tiongkok hanyalah 2-3$. Dia menjelaskan, “Pangsa pasar konsol di Tiongkok sangat kecil karena game PC dan mobile mendominasi. Jadi, apa yang Nintendo, Sony, dan Microsoft coba lakukan adalah membangun audiens konsol yang setia.”

Industri Game Jepang di Masa Depan

Selera gamers Jepang berbeda dengan gamers dari Amerika Utara atau kawasanlain. Imai mengatakan, gamers dari Amerika Utara biasanya menyukai game dengan grafik yang realistis karena budaya menonton film di bioskop cukup kental di sana. Sebaliknya, gamers Jepang lebih terbiasa mengonsumsi media hiburan selain film, seperti manga dan anime. Perbedaan selera ini berpotensi membuat perusahaan game Jepang bingung: apakah mereka harus fokus pada pasar domestik atau global. Pasalnya, industri game Jepang juga cukup besar sehingga sebuah perusahaan bisa tetap sukses meskipun mereka hanya fokus pada pasar domestik.

Menurut Alt, di masa depan, akan semakin banyak game yang menggunakan karakter atau elemen khas Jepang lainnya, tapi dibuat oleh developer dari luar Jepang. Dia menjadikan Pokemon Go sebagai contoh. Walau menggunakan franchise Pokemon, game AR itu dibuat oleh Niantic, yang merupakan perusahaan Amerika Serikat. Alt bahkan menduga, karakter atau trope khas Jepang bisa menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk mencoba teknologi baru.

Pokemon Go dibuat oleh Niantic, yang berasal dari AS.

Sementara itu, ketika ditanya tentang memudarnya dominasi Jepang di industri game, Mizuguchi menjawab bahwa dia tidak merasa pangsa pasar Jepang di bisnis game menurun. Hanya saja, industri game sudah berkembang menjadi jauh lebih besar. Alhasil, pangsa pasar yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan Jepang terlihat menyusut. Selain itu, dia juga merasa, kreativitas developer game Jepang juga masih hidup.

“Kami tidak punya keinginan untuk menguasai pasar game,” ujar Mizuguchi. “Kami lebih mementingkan kreativitas, teknologi, keahlian, dan seterusnya. Saya rasa, developer Jepang akan tetap membuat game sesuai dengan prinsip mereka. Dan jika game tersebut memang sukses, maka jumlah orang yang memainkan game yang kami kuasai akan naik dengan sendirinya.”

Sumber header: Tech Radar

Harga Diri Gamers: Jadi Alasan untuk Lakukan Gatekeeping?

Dulu, jumlah gamers tidak sebanyak sekarang. Bermain game menjadi hobi bagi segelintir orang saja. Selain itu, dulu, gamers juga punya konotasi negatif. Sekarang, memang masih ada stigma buruk yang melekat pada game, tapi, semakin banyak orang yang sadar bahwa game tidak melulu membawa efek negatif. Game telah tumbuh menjadi industri yang nilainya mengalahkan industri perfilman dan musik. Industri game bahkan mendorong munculnya industri baru, seperti streaming game dan juga esports.

Namun, seiring dengan bertambahnya jumlah gamers, muncul segregasi. Biasanya, gamers dikelompokkan berdasarkan platform yang mereka gunakan — PC, konsol, atau mobile — atau berdasarkan dedikasi mereka saat mereka bermain game — kasual atau hardcore. Mengelompokkan gamers berdasarkan preferensi mereka sebenarnya bukan masalah. Hanya saja, ketika sebagian gamers mulai membatasi sebagian orang untuk bergabung dengan komunitas game, hal inilah yang menjadi masalah.

Gatekeeping: Definisi dan Penyebab

Mencegah seseorang atau sekelompok orang untuk mendapatkan akses akan sesuatu, begitulah pengertian gatekeeping secara sederhana. Sebenarnya, gatekeeping tidak hanya terjadi di industri game. Namun, karena Hybrid.co.id adalah media yang membahas soal game dan esports, artikel ini hanya akan membahas tentang fenomena gatekeeping di dunia game.

Lalu, bagaimana cara seorang gatekeeper mencegah orang lain untuk masuk ke dunia game? Memang, siapapun bisa membeli game dan memainkannya. Namun, gatekeepers punya cara untuk mencegah seseorang atau sekelompok orang untuk masuk ke dunia game.

Salah satu caranya adalah harassment. Misalnya, stereotipe gamers adalah laki-laki muda. Jadi, orang-orang yang tidak masuk dalam kategori ini bisa jadi korban dari harassment. Gangguan itu bisa membuat seseorang berhenti main game atau enggan untuk ikut aktif dalam komunitas.Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Reach3 Insights dan Lenovo, 59% perempuan merahasiakan gender mereka untuk menghindari harassment. Gender tidak selalu menjadi pemicu dari harassment. Terkadang, pemicunya adalah ras dan warna kulit.

Contoh harassment yang ditujukan pada perempuan. | Sumber: HuffPost

Menurut IGN, biasanya gatekeepers punya alasan kenapa mereka mencegah kelompok tertentu untuk masuk ke komunitasnya. Salah satu alsaannya adalah karena mereka menganggap komunitas gaming sebagai “safe space” mereka. Dan ketika ada orang lain di luar kelompoknya — alias outsider — mencoba untuk masuk, mereka menganggap hal itu sebagai ancaman akan ruang yang dia miliki. Apalagi karena dulu, gamers sering mendapat cap buruk.

Sementara itu, menurut Kotaku, harga diri bisa jadi awal dari gatekeeping. Banyak gamers yang merasa bangga menjadi gamers. Dengan mengklaim diri sebagai gamers, mereka ingin agar orang lain tahu akan kecintaan mereka pada game dan menghargai identitas mereka sebagai gamers. Masalah muncul ketika gamers mengelompokkan orang-orang berdasarkan apakah mereka bermain game atau tidak, yang menciptakan pertikaian antara “kita” dan “mereka”.

Di satu sisi, membuat komunitas eksklusif untuk gamers ini bisa mempererat hubungan antara para gamers. Karena, mereka akan merasa seolah-olah mereka ada di komunitas yang memiliki pemikiran yang serupa. Di sisi lain, pengelompokkan gamers dan non-gamers ini bisa membuat gamers secara otomatis mengasingkan orang-orang yang dianggap bukan bagian dari kelompok mereka.

Masalah menjadi semakin keruh ketika industri game tumbuh pesat dan jumlah gamers meroket. Orang-orang tidak lagi dikelompokkan berdasarkan apakah mereka bermain game atau tidak, tapi juga berdasarkan platform yang mereka gunakan atau genre yang mereka mainkan. Sebagian gamers akan dianggap “gamers sejati”, sementara yang lain tidak. Sebagian akan menjadi bagian dari kelompok, dan sebagian lagi tidak. Dan orang-orang yang bukan bagian dari kelompok akan diasingkan — atau didiskriminasi.

Dampak Gatekeeping

Salah satu masalah yang muncul karena gatekeeping adalah diskriminasi. Pada awalnya, game merupakan media hiburan yang ditujukan untuk laki-laki. Hal ini bisa terlihat dari tipe-tipe game yang muncul pada awal industri game. Namun, sekarang, jumlah gamers tidak hanya bertambah pesat, tapi juga menjadi semakin beragam. Di Asia, sekitar 38% gamers merupakan perempuan. Sayangnya, meningkatnya jumlah gamers perempuan tidak menjadi jaminan bahwa mereka akan diperlakukan dengan baik. Banyak gamers perempuan yang mengalami diskrimasi berdasarkan gender.

Selain diskriminasi, masalah lain yang mungkin muncul karena gatekeeping adalah ableism. Masalah ini muncul ketika sekelompok gamers memandang rendah orang-orang yang bermain game dengan mode easy. Memang, tidak semua game harus punya easy mode. Beberapa game memang didesain untuk menawarkan tantangan, seperti Dark Souls. Meskipun begitu, hal itu bukan berarti bahwa para gamers yang memainkan game kasual atau bermain game di easy mode pantas untuk dihina dan direndahkan.

Kabar baiknya, sekarang, developer mulai memperhatikan masalah accessibility dari game mereka. Sehingga, penyandang disabilitas pun tetap bisa memainkan game tersebut. Salah satu contoh fitur accessibility yang ada pada game adalah fitur text-to-speech atau pengaturan warna bagi penyandang buta warna, lapor TechRadar. Difficulty settings juga merupakan bagian dari fitur accessibility dalam sebuah game, karena keberadaannya membuat semakin banyak orang bisa memainkan game itu.

Terakhir, masalah terbesar yang bisa muncul akibat gatekeeping adalah mematikan kreativitas pelaku industri game. Tujuan utama dari gatekeeping adalah mencegah sekelompok orang memasuki dunia game. Jadi, hanya orang-orang tertentu saja yang bisa ikut aktif dalam komunitas game. Pada akhirnya,  komunitas game menjadi homogen, karena hanya terdiri dari orang-orang yang berasal satu kelompok saja. Padahal, keberagaman justru bisa menguntungkan ekosistem game. Seperti yang disebutkan oleh Kotaku, tanpa ide baru yang berbeda di dunia game, maka game sebagai media hiburan akan menjadi stagnan dan akhirnya, mati.

Sumber header: InvenGlobal

Gran Turismo 7 Akhirnya Jelaskan Alasan Game-nya Harus Selalu Online

Seri Gran Turismo akhirnya kembali berfokus kepada pengalaman permainan single player lewat Gran Turismo 7. Meskipun game-nya ditunda hingga 2022, beberapa informasi baru telah diumumkan oleh developer Polyphony Digital.

Salah satu yang banyak dipermasalahkan oleh para fans adalah pernyataan bahwa Gran Turismo 7 nantinya tetap membutuhkan koneksi internet untuk memainkan campaign single player-nya. Hal tersebut langsung dipertanyakan oleh para fans, apalagi mode campaign Gran Turismo 7 memang berjalan terpisah dari mode multiplayer-nya.

Polyphony Digital tidak menunggu lama untuk menjelaskan alasan mengapa sistem “always-online” tersebut diterapkan. Lewat wawancaranya dengan Eurogamer, kreator Gran Turismo Kazunori Yamauchi menjelaskan bahwa hal tersebut dilakukan untuk mencegah para pemain melakukan cheating dan juga manipulasi terhadap data save.

Sebenarnya dapat dipahami keputusan untuk membuat Gran Turismo 7 ini untuk selalu online. Pertama, baik PlayStation 4 dan PlayStation 5 sudah memiliki koneksi internet yang mencukupi.

Mode Campaign Gran Turismo 7. Credit: Polyphony Digital

Kedua adalah Gran Turismo 7 menjadi game single player yang berfokus sebagai “Car Collecting Game“. Hal tersebut membuat proses dan usaha para pemain untuk membeli mobil, memodifikasinya, dan akhirnya melengkapi koleksinya. Pengalaman itu terancam rusak dengan kehadiran para hacker yang membuat “jalan pintas”.

Lebih lanjut Yamauchi juga menjelaskan bahwa bagian dari Gran Turismo 7 yang nantinya tidak membutuhkan koneksi internet adalah Mode Arcade, karena mode tersebut tidak akan mempengaruhi data save. Namun apapun dalam game-nya yang akan mempengaruhi data save akan membutuhkan koneksi internet.

Kostumisasi Mobil di Gran Turismo 7. Credit: Polyphony Digital

Gran Turismo 7 memang seri yang ditunggu oleh para fans sekaligus para pecinta game balap. Apalagi seri ketujuhnya ini mengembalikan semua formula klasik dari serinya, mulai dari Driving School, Performance Points, Car Tuning dan juga Car Customization.

Selain itu game ini juga mendapatkan beragam fitur baru yang tidak kalah menarik seperti cuaca dinamis saat balapan, physics mengemudi yang lebih natural, kehadiran GT Cafe, serta mode fotografi, dan livery editor yang ikut kembali dari Gran Turismo Sport.

Gran Turismo 7 direncanakan untuk dirilis pada 4 Maret 2022 mendatang untuk PlayStation 5 dan juga PlayStation 4.