Tag Archives: ponsel foldable

Samsung Jual Empat Kali Lebih Banyak Ponsel Foldable di Tahun 2021

Meski belum sepenuhnya bisa disebut mainstream, ponsel foldable sudah jauh lebih banyak diadopsi di tahun 2021 kemarin. Indikasinya, Samsung mengumumkan bahwa di tahun 2021, mereka berhasil mengirimkan empat kali lebih banyak ponsel foldable ke konsumen ketimbang di tahun 2020.

Samsung cukup berbangga karena ini melebihi ekspektasi analis, yang memprediksi bahwa pasar ponsel foldable bakal bertumbuh tiga kali lipat di tahun 2021, dan Samsung sendiri memang merupakan pemain terbesar di segmen ini. Sayang memang tidak ada angka penjualan pasti yang diungkap, namun setidaknya ini bisa memberikan gambaran mengenai progres segmen foldable.

Sebagai pengingat, Samsung meluncurkan dua ponsel foldable di tahun 2021 kemarin, yakni Z Fold3 dan Z Flip3. Keduanya membawa seabrek penyempurnaan dibanding generasi sebelumnya, tapi di saat yang sama harganya malah lebih terjangkau. Memang belum bisa dibilang murah, tapi setidaknya sudah sangat mendekati harga smartphone tradisional yang masuk kategori flagship — Rp25 juta untuk Z Fold3, dan Rp15 juta untuk Z Flip3.

Samsung Galaxy Z Fold3 dan Z Flip3 / Samsung

Tidak kalah penting adalah sejumlah pembaruan yang membuat kedua ponsel foldable ini terasa semakin ‘normal’, mulai dari layar 120 Hz sampai bodi tahan air dengan sertifikasi IPX8. Di Indonesia sendiri, Samsung sempat bilang bahwa jumlah pemesanan Z Fold3 dan Z Flip3 yang mereka terima selama sebulan periode pre-order naik hingga delapan kali lebih banyak daripada di generasi sebelumnya.

Tahun depan, pasar ponsel foldable malah diperkirakan bisa bertumbuh hingga sepuluh kali lipat seiring bertambah banyaknya produsen yang ikut bermain di segmen ini. Di bulan Desember 2021 saja, ada dua ponsel foldable baru yang bukan buatan Samsung, yaitu OPPO Find N dan Huawei P50 Pocket.

Kendati demikian, upaya Samsung untuk menjadi salah satu pionir di segmen foldable rupanya tidak sia-sia, sebab banyak konsumen yang rela berganti brand demi bisa menikmati keunggulan yang dibawa form factor baru ini. Berdasarkan data internal Samsung sendiri, tercatat ada 150% lebih banyak konsumen yang berganti brand karena Z Flip3 ketimbang Galaxy Note20, atau 140% lebih banyak jika dibandingkan dengan Galaxy S21.

Sumber: The Verge dan Samsung.

Huawei P50 Pocket Benahi Dua Kekurangan Utama Samsung Galaxy Z Flip 3

Di antara beberapa ponsel foldable yang tersedia di pasaran, Samsung Galaxy Z Flip 3 mungkin bisa dianggap sebagai yang paling normal. Dalam posisi terbuka, ia tidak berbeda jauh dibanding smartphone pada umumnya. Namun berhubung layarnya bisa dilipat, ia jauh lebih mudah disimpan di dalam saku, bahkan saku kemeja sekalipun.

Terlepas dari itu, Z Flip 3 masih punya sejumlah kekurangan. Dua yang paling utama adalah kapasitas baterainya yang kecil (3.300 mAh), dan desain yang tidak benar-benar tertutup rapat saat layarnya dilipat. Lain ceritanya dengan Huawei P50 Pocket. Ponsel foldable terbaru Huawei yang juga mengadopsi desain clamshell itu rupanya tidak terkendala dua isu tersebut.

Saat dilipat, layar P50 Pocket benar-benar tertutup dengan rapat, tidak seperti Z Flip 3 yang masih menyisakan sedikit celah. Ini menunjukkan adanya perbedaan rancangan engsel pada kedua smartphone. Dalam posisi terlipat, tebal P50 Pocket cuma 15,2 mm, lebih tipis daripada Z Flip 3. Namun saat dibuka, P50 Pocket sedikit lebih tebal di 7,2 mm.

Kabar baiknya, Huawei benar-benar memaksimalkan ruang ekstra tersebut. P50 Pocket dibekali baterai berkapasitas 4.000 mAh, cukup signifikan selisihnya dibanding milik Z Flip 3. Huawei pun tidak lupa menyematkan dukungan fast charging 40 W pada P50 Pocket.

Seperti Z Flip 3, ponsel ini turut mengemas dua layar; satu di luar, satu di dalam. Di bagian luar, ada layar membulat dengan diameter 1,04 inci dan resolusi 340 x 340 piksel. Layar ini bisa menampilkan sejumlah informasi, termasuk halnya menjadi viewfinder kamera sehingga pengguna bisa mengambil selfie menggunakan kamera utamanya. Meski sepintas kelihatan lebih estetis, layar membulat ini masih kalah fungsional dibanding layar luar Z Flip 3 yang berukuran lebih besar.

Untuk layar bagian dalamnya, P50 Pocket mengemas panel OLED 6,9 inci dengan resolusi 2790 x 1188 piksel dan refresh rate 120 Hz. Di sisi atasnya, ada lubang kecil yang dihuni oleh kamera 10,7 megapiksel. Kamera yang satu ini lebih ideal digunakan untuk video call, sebab kalau untuk mengambil selfie, hasil tangkapannya jelas kalah bagus dibanding kamera utamanya di sisi luar.

Kamera utamanya ini menggunakan sensor 40 megapiksel dan lensa f/1.8. Mendampingi kamera tersebut adalah kamera ultra-wide 13 megapiksel yang juga bisa dipakai untuk fotografi makro, serta kamera “super-spectrum” 32 megapiksel yang bertugas untuk membantu memperkaya warna pada hasil tangkapan P50 Pocket.

Urusan performa, ponsel ini mengandalkan chipset Snapdragon 888, tapi yang cuma kompatibel dengan jaringan 4G saja. Huawei menawarkan dua varian RAM dan storage: 8 GB/256 GB seharga 8.988 yuan (± 20 jutaan rupiah), dan 12 GB/512 GB seharga 10.988 yuan (± 24,5 jutaan rupiah).

Varian 12 GB/512 GB ini turut mengusung embel-embel “Premium Edition”, serta hadir dalam balutan warna silver atau emas yang memiliki motif unik karya desainer asal Belanda, Iris van Herpen. Sejauh ini belum ada informasi apakah Huawei P50 Pocket nantinya juga akan tersedia di luar Tiongkok.

Sumber: The Verge dan Huawei.

Samsung Galaxy Z Fold3 dan Z Flip3 Resmi Tersedia di Indonesia, Laris Manis Selama Masa Pre-Order

Per tanggal artikel ini dipublikasikan (10 September 2021), duo ponsel foldable terbaru Samsung, Galaxy Z Fold3 dan Z Flip3, akhirnya sudah tersedia secara resmi di pasar Indonesia. Keduanya tentu bukan barang murah; Z Fold3 ditawarkan dengan harga mulai Rp24.999.000, sementara Z Flip3 mulai Rp14.999.000. Namun ternyata, keduanya begitu laris dipesan oleh konsumen tanah air.

Dalam acara peluncuran resmi yang digelar secara online, Bernard Ang selaku Vice President Samsung Electronics Indonesia mengungkapkan bahwa jumlah pemesanan Z Fold3 dan Z Flip3 yang mereka terima selama masa pre-order mulai 11 Agustus lalu tercatat delapan kali lebih banyak daripada di generasi sebelumnya. Bayangkan saja, ponsel harganya 25 juta dan 15 juta, tapi laku keras bahkan sebelum stoknya tersedia.

Samsung memang tidak bilang, tapi saya cukup yakin salah satu alasan mengapa keduanya bisa laris adalah karena harganya memang lebih murah daripada generasi sebelumnya. Ini menarik karena dari sisi hardware, Z Fold3 dan Z Flip3 masih sepenuhnya merupakan barang impor. Keduanya memang tercatat memiliki TKDN sebesar 49%, tapi itu cuma dari sisi software.

Bernard Ang, Vice President Samsung Electronics Indonesia / Samsung

Masih opini saya pribadi, alasan lainnya mungkin juga karena pembaruan dari segi ketahanan fisik yang Samsung terapkan. Saya masih ingat ketika Z Fold generasi pertama dirilis, tidak sedikit pemberitaan mengenai bagaimana ponsel tersebut harus digunakan dengan ekstra hati-hati demi menghindari kerusakan.

Sekarang, Samsung justru tidak segan mempromosikan ketahanan fisik Z Fold3 dan Z Flip3. Di acara peluncurannya, Samsung bersama sejumlah aktor dan aktris yang diundang beberapa kali menyinggung soal rangka “Armor Aluminium” yang terdapat pada kedua ponsel. Keduanya pun sekarang tahan air dengan sertifikasi IPX8, dan Samsung tidak lupa menyelipkan sesi demonstrasi singkat yang mempertontonkan Z Fold3 dan Z Flip3 tengah ketumpahan air.

Sesi-sesi demonstrasi yang dilangsungkan Pevita Pearce, Reza Rahadian, Darius Sinathrya, dan Dian Sastrowardoyo ini menarik karena dikaitkan langsung dengan skenario penggunaan mereka sehari-harinya. Masing-masing kebagian jatah mencontohkan penggunaan fitur Flex Mode (layar perangkat hanya terbuka sebagian), baik untuk Z Fold3 ataupun Z Flip3.

Pevita mendemonstrasikan kegunaan fitur tersebut saat hendak membuat konten olahraga di rumah. Menggunakan Z Flip3, ia meletakkan ponselnya di lantai dalam posisi layarnya tertekuk separuh, lalu mulai merekam video selagi beraktivitas, tidak perlu bantuan tripod ataupun menyetel timer terlebih dulu.

Reza mendemonstrasikan kegunaan fitur ini untuk menelepon (video call) sembari membaca naskah. Jadi separuh layarnya menampilkan sesi video call, separuh sisanya (yang datar dengan meja) menampilkan naskah film yang hendak dijadikan proyek berikutnya.

Baik Pevita maupun Reza juga sempat memamerkan betapa ringkasnya Z Flip3. Pevita melipatnya lalu menyimpannya di dalam tas micro bag yang begitu mungil, sementara Reza dengan santai melipat dan menyelipkannya ke kantong kemeja.

Beralih ke Z Fold3, ada Darius yang mendemonstrasikan fitur Flex Mode untuk mendapatkan pengalaman ala laptop. Ponsel ia berdirikan di atas meja dengan layar tertekuk separuh (seperti sebuah buku), lalu ia mengetik menggunakan aksesori Multi Bluetooth Keyboard. “Lebih praktis daripada laptop,” katanya.

Selanjutnya, ada Dian yang mendemonstrasikan fitur ini di Z Fold3 untuk keperluan meeting. Jadi separuh layarnya menampilkan sesi video call, sedangkan separuh sisanya ia corat-coret menggunakan S Pen untuk bahan diskusi. Skenario-skenario penggunaan unik tapi relatable seperti inilah yang pada akhirnya memberi nilai jual tambah pada Z Fold3 dan Z Flip3.

Semua skenario di atas sebenarnya bisa saja kita jalani tanpa melibatkan perangkat foldable, tapi mungkin eksekusinya agak sedikit merepotkan. Z Fold3 dan Z Flip3 pada dasarnya ingin menyederhanakan prosesnya dengan memaksimalkan form factor unik masing-masing.

Berikutnya, saya akan membahas beberapa poin menarik yang saya tangkap dari acara peluncuran Z Fold3 dan Z Flip3. Yang pertama adalah penekanan terhadap kegunaan dari sisi multimedia untuk Z Fold3. Selama sesi demonstrasi dan sesi tanya-jawab, saya mencatat Dian Sastro menyinggung tentang speaker milik Z Fold3 sebanyak tiga kali. “Rasanya kayak benaran pakai sound system di TV,” tuturnya saat menjelaskan tentang fitur-fitur Z Fold3 yang paling difavoritkannya.

Kedua adalah mengenai App Continuity di Z Fold3, fitur yang memungkinkan supaya aplikasi yang dibuka di cover screen bisa otomatis berpindah ke layar utama (dengan tampilan yang dioptimalkan tentu saja) ketika perangkat dibuka. Fitur tersebut sekarang juga berlaku untuk beberapa aplikasi lokal. Sejauh ini memang baru ada empat, yakni Tokopedia, Blibli, Viu, dan Vidio, tapi ke depannya dipastikan bakal ada banyak yang menyusul.

Ketiga, Samsung seperti ingin mempromosikan asisten virtualnya, Bixby, lebih jauh lagi. Dalam sesi demonstrasinya, Pevita sempat menginstruksikan Bixby untuk mengambil foto. Reza di sisi lain meminta Bixby untuk mengirim pesan ke rekan kerjanya. Perlu dicatat, semuanya menggunakan bahasa Inggris ketimbang Indonesia.

Terakhir, di sepanjang acara yang berdurasi dua jam, saya tidak mendengar satu pun pembahasan mengenai baterai Z Fold3 dan Z Flip3. Bisa jadi karena memang tidak ada yang istimewa dari baterainya. Di atas kertas, Z Fold3 tercatat memiliki baterai 4.400 mAh, sementara Z Flip3 mengemas baterai 3.300 mAh.

Angka-angka tersebut tentu tergolong standar atau bahkan kecil di tahun 2021 ini, apalagi mengingat kedua ponsel sama-sama mengandalkan layar dengan refresh rate 120 Hz. Namun kembali lagi, saya rasa tidak ada satu pun konsumen yang membeli Z Fold3 dan Z Flip3 karena mendambakan baterai yang awet atau dukungan fast charging yang kencang. Setidaknya untuk sekarang, baterai masih belum jadi prioritas di kategori foldable, dan saya yakin hampir semua konsumennya dapat memakluminya.

Samsung Singkap Galaxy Z Fold3, Z Flip3, dan Galaxy Buds2, Semuanya Lebih Murah dari Pendahulunya

Setelah cukup lama dinantikan, Samsung akhirnya resmi memperkenalkan dua ponsel foldable terbarunya, yakni Galaxy Z Fold3 dan Z Flip3. Keduanya menghadirkan beragam penyempurnaan dalam harga yang lebih terjangkau.

Yang paling utama adalah dari segi ketahanan fisik. Baik Z Fold3 maupun Z Flip3 sama-sama mengemas bodi tahan air dengan sertifikasi IPX8, sanggup bertahan di kedalaman 1,5 meter sampai selama 30 menit. Rangka aluminiumnya juga diklaim lebih kokoh ketimbang yang digunakan sebelumnya.

Samsung juga telah melengkapi kedua smartphone ini dengan lapisan film pelindung baru berbahan PET (polyethylene terephthalate) yang dapat meregang dan panel layar utama yang lebih optimal sehingga menciptakan layar yang 80% lebih tahan lama dibanding pendahulunya.

Spesifikasi Samsung Galaxy Z Fold3

Kalau dilihat sepintas, penampilan Z Fold3 memang tidak kelihatan terlalu berbeda dibanding Z Fold2. Meski begitu, dimensi Z Fold3 sedikit lebih ringkas ketimbang pendahulunya, dengan ketebalan 16 mm dalam posisi terlipat, atau 6,4 mm dalam posisi terbuka, serta bobot 271 gram.

Ukuran layar AMOLED di sisi luarnya masih sama, yakni 6,2 inci, demikian pula resolusinya yang cuma naik sedikit menjadi 2268 x 832 pixel. Bedanya, layar luar milik Z Fold3 ini sudah mengandalkan refresh rate 120 Hz.

Layar utamanya di bagian dalam juga sama, masih menggunakan panel AMOLED 7,6 inci dengan resolusi 2208 x 1768 pixel dan refresh rate 120 Hz. Yang berbeda, Anda tidak akan menemukan lubang kamera di layar utama Z Fold3 ini, sebab kameranya sudah disembunyikan di balik layarnya. Ini memang bukan teknologi baru, tapi pertama kalinya ada di smartphone Samsung.

Untuk pertama kalinya juga, Samsung menghadirkan dukungan S Pen pada ponsel foldable-nya. Perlu dicatat, yang bisa dicorat-coret hanyalah layar utama Z Fold3, dan pengguna wajib menggunakan varian spesifik S Pen Fold Edition atau S Pen Pro yang dijual terpisah, tidak boleh sembarang S Pen.

Perkara dapur pacu, Z Fold3 merupakan ponsel flagship tulen. Ia ditenagai chipset Qualcomm Snapdragon 888, RAM 12 GB, pilihan penyimpanan internal 256 GB atau 512 GB, dan baterai 4.400 mAh. Tiga kamera belakangnya mempunyai konfigurasi sebagai berikut: kamera utama 12 megapixel dengan OIS dan Dual Pixel AF, kamera ultra-wide 12 megapixel, dan kamera telephoto 12 megapixel dengan 2x optical zoom yang juga dilengkapi OIS.

Untuk kamera depannya, ada kamera 10 megapixel di layar bagian luar, dan kamera 4 megapixel di balik layar utamanya. Idealnya, kamera di layar utamanya ini dipakai untuk video call saja, sedangkan kalau butuh selfie sebaiknya menggunakan kamera di layar luarnya.

Spesifikasi Samsung Galaxy Z Flip3

Sebelum membahas lebih jauh, sebagian dari Anda mungkin bakal bertanya dalam hati, “Di mana Z Flip2?” Entahlah. Mungkin Samsung bermaksud memudahkan kita semua dengan menyamakan penamaan kedua ponsel foldable-nya, tapi di sisi lain Z Flip3 memang mempunyai cukup banyak kesamaan dengan Z Fold3, terutama dari segi spesifikasi.

Seperti halnya Z Fold3, Z Flip3 turut dibekali chipset Snapdragon 888, naik level cukup jauh dibanding Z Flip generasi pertama yang cuma mengemas Snapdragon 855+. Prosesor tersebut ditemani RAM 8 GB dan pilihan storage internal 128 GB atau 256 GB. Sayang kapasitas baterainya tidak berubah; masih 3.300 mAh, padahal bodinya justru sedikit lebih tebal daripada sebelumnya; 15,9 mm saat terlipat, 6,9 mm saat terbuka.

Pembaruan yang paling menarik bisa ditemukan di layarnya, terutama layar berada di sisi luar. Ukurannya jauh membesar dari cuma 1,1 inci menjadi 1,9 inci, dengan resolusi di angka 260 x 512 pixel. Berhubung lebih besar, layar luarnya ini dapat dijadikan viewfinder selagi mengambil selfie menggunakan kamera di sampingnya (yang secara teknis merupakan kamera belakang milik Z Flip3).

Beralih ke layar utamanya, ukuran dan resolusinya memang tidak berubah — AMOLED 6,7 inci, 2640 x 1080 pixel — akan tetapi refresh rate-nya sudah dilipatgandakan menjadi 120 Hz. Tidak seperti Z Fold3, layar utama Z Flip3 rupanya masih mengemas lubang kamera tradisional.

Lubang tersebut dihuni oleh kamera 10 megapixel, sedangkan dua kamera belakangnya adalah kamera utama 12 megapixel dengan OIS dan Dual Pixel AF, serta kamera ultra-wide 12 megapixel. Selfie menggunakan Z Flip3 bakal lebih ideal dilakukan dalam posisi perangkat sedang tertutup (menggunakan kamera utama dan layar luarnya tadi).

Samsung Galaxy Buds2

Dalam kesempatan yang sama, Samsung turut menyingkap TWS baru bernama Galaxy Buds2. Desainnya cukup mirip seperti Galaxy Buds Pro, akan tetapi ukurannya lebih ringkas, dengan bobot masing-masing cuma 5 gram. Juga mirip adalah konfigurasi dual driver yang melibatkan sebuah woofer dan tweeter di tiap earpiece.

Kalau dibandingkan dengan pendahulunya, daya tarik utama Galaxy Buds2 adalah fitur ANC alias active noise cancellation, yang diklaim mampu meredam suara di sekitar hingga 98%. Mode ambient untuk mengamplifikasi suara di sekitar pun juga tersedia, dan pengguna bisa mengaktifkannya dalam tiga level amplifikasi yang berbeda.

Dalam sekali pengisian, baterainya diklaim bisa bertahan sampai 5 jam dengan ANC, atau sampai 7,5 jam tanpa ANC. Charging case-nya mampu mengisi ulang perangkat sebanyak empat kali, memberikan total daya tahan baterai hingga 20 jam dengan ANC, atau 29 jam tanpa ANC.

Harga dan ketersediaan

Seperti yang saya bilang di awal, seluruh pembaruan ini justru malah bisa didapatkan dalam harga yang lebih terjangkau daripada sebelumnya. Galaxy Z Fold3 bakal dijual dengan banderol mulai Rp24.999.000, sedangkan Z Flip3 mulai Rp14.999.000. Pre-order kedua perangkat ini sudah bisa dilakukan dari 11-29 Agustus 2021.

Untuk varian warnanya, Z Fold3 bakal hadir dalam tiga opsi (Phantom Black, Phantom Green, Phantom Silver), sedangkan Z Flip3 dalam tujuh opsi yang berbeda (Cream, Green, Lavender, Phantom Black, Gray, White, Pink). Seperti sebelumnya, Samsung juga bakal menjual edisi khusus Thom Browne dalam jumlah terbatas.

Untuk Galaxy Buds2, Samsung menetapkan banderol Rp1.799.000, lagi-lagi lebih murah daripada generasi sebelumnya meskipun lebih baru. Pilihan warna yang tersedia ada empat, yakni Olive, Lavender, White, dan Graphite.

Huawei Luncurkan Mate Xs, Ponsel Foldable Keduanya dengan Konstruksi yang Lebih Kokoh

Tepat setahun yang lalu, Huawei memperkenalkan ponsel foldable pertamanya, Mate X. Sayang perangkat itu hanya sempat dipasarkan di Tiongkok saja. Namun sekarang Huawei sudah punya Mate Xs, yang kabarnya bakal dipasarkan secara global.

Sepintas, Mate Xs tampak tidak berbeda, dan Huawei ternyata memang tidak mengubah gaya desainnya. Yang mereka benahi adalah konstruksi layar dan engselnya. Pada Mate Xs, layarnya kini terdiri dari empat lapisan yang berbeda: mulai dari yang paling atas adalah lapisan polyamide, panel OLED fleksibel, lapisan polimer sebagai bantalan, dan lapisan terakhir yang menghubungkan komponen elektroniknya.

Huawei Mate Xs

Hasilnya, kalau menurut Huawei, adalah struktur layar yang lebih kokoh. Untuk engselnya, Huawei bilang bahwa jumlah komponen di dalamnya bertambah dari sekitar 100 menjadi 150, dan lagi-lagi ini dimaksudkan supaya konstruksinya lebih kuat, tapi di saat yang sama juga untuk membuat mekanisme lipatnya jadi lebih mulus.

Selebihnya, perangkat ini cukup identik dengan pendahulunya. Ukuran layar dan resolusinya sama persis; 8 inci saat dibuka, 6,6 inci saat dilipat (plus 6,4 inci sebagai layar belakang). Di sebelah layar belakangnya, terdapat empat modul kamera: 40 megapixel f/1.8, 8 megapixel telephoto f/2.4, 16 megapixel ultra-wide f/2.2, dan modul 3D depth-sensing. Sensor sidik jarinya juga masih disatukan dengan tombol power.

Huawei Mate Xs

Prosesornya sudah di-upgrade menjadi Kirin 990, dan tentu saja 5G sudah didukung sepenuhnya. Melengkapi dapur pacunya adalah RAM 8 GB, storage internal 512 GB, dan baterai 4.500 mAh. Sama nasibnya seperti ponsel Huawei lain belakangan ini, Mate Xs tidak dilengkapi Google Play Services, yang berarti ia harus mengandalkan Huawei AppGallery.

Terlepas dari itu, Huawei masih berniat melepas Mate Xs ke pasar global mulai bulan depan. Di Eropa, mereka mematok harga 2.499 euro untuk Mate Xs, atau sekitar Rp 37,8 juta.

Sumber: 1, 2, 3.

Motorola Dikabarkan Sedang Menyiapkan Razr Versi 5G

Sulit menyangkal anggapan bahwa Motorola Razr merupakan ponsel foldable berpenampilan paling menarik sejauh ini. Reinkarnasi ponsel lipat legendaris ini juga menunjukkan manfaat lain dari tren foldable, yakni untuk mengecilkan ukuran ponsel secara drastis saat sedang tidak dipakai.

Ini justru berbanding terbalik dari premis yang diusung foldable lain, utamanya Samsung Galaxy Fold dan Huawei Mate X, yang keduanya justru diciptakan untuk dipakai layaknya sebuah tablet saat diperlukan. Juga berbeda cukup signifikan adalah spesifikasinya; baik Galaxy Fold maupun Mate X sama-sama mengusung komponen flagship, sedangkan Razr hanyalah perangkat kelas menengah.

Benar saja, Razr hanya dibekali oleh chipset Qualcomm Snapdragon 710 yang performanya jauh di bawah Snapdragon 855. Chipset ini juga tak lagi bisa dibilang baru saat Razr sudah mulai dipasarkan nanti, yang dijadwalkan baru akan dimulai di tahun 2020 ini.

Motorola Razr

Terlepas dari itu, Razr tetap saja menarik meski harganya mencapai $1.500. Akan lebih menarik lagi seandainya perangkat ini bisa lebih future-proof, terutama dari segi konektivitas. Ya, yang saya maksud adalah dukungan terhadap jaringan 5G, yang ternyata absen pada Razr.

Kabar baiknya, Motorola dilaporkan sedang menyiapkan Razr versi 5G. Versi ini tentu akan mengemas chipset yang berbeda, kemungkinan besar antara Snapdragon 765G atau MediaTek Dimensity 1000L, chipset yang sama yang menenagai OPPO Reno3 Pro dan Reno3 yang duduk di segmen menengah.

Tidak menutup kemungkinan juga adalah Exynos 980, chipset bikinan Samsung pertama yang mengemas modem 5G terintegrasi, sebab ini bukan pertama kalinya Motorola menggunakan chipset buatan Samsung.

Sumber: GSM Arena.

Motorola Razr Adalah Reinkarnasi Ponsel Lipat Paling Legendaris untuk Era Foldable

Ponsel foldable masih seumur jagung. Teknologinya belum benar-benar matang, harganya masih mahal, dan bisa dibilang secara umum para pemain di industri smartphone masih belum bisa memastikan arah tren ini bakal ke mana.

Indikasinya bisa kita lihat dari cara mengeksekusi konsep foldable yang berbeda-beda di antara tiap pabrikan. Lihat saja Samsung dan Huawei. Terlepas dari itu, tren foldable sudah pasti akan melahirkan perangkat dengan beragam form factor, namun siapa yang menyangka kalau tren ini juga dapat menghidupkan kembali salah satu ponsel legendaris dari dekade sebelumnya?

Perkenalkan Motorola Razr, reinkarnasi modern dari salah satu ponsel terlaris Motorola yang dirilis di tahun 2004, RAZR V3. Selain meninggalkan kenangan manis di hati konsumen yang pernah memilikinya, RAZR V3 juga punya pengaruh besar terhadap sejarah Motorola; volume penjualannya yang begitu besar berhasil membangkitkan kembali divisi ponsel Motorola yang sempat stagnan dan merugi.

Motorola Razr

Versi baru Razr ini murni dibuat untuk menghidupkan kembali kenangan tersebut. Tidak ada yang istimewa dari spesifikasinya, tapi ia luar biasa dari segi estetika. Nyaris semua elemen yang membuat konsumen jatuh hati dengan RAZR V3 dipertahankan di sini; mulai dari bodi lipat yang begitu tipis, lengkap dengan ‘dagu’ di bagian bawahnya, sampai layar kecil di sisi luarnya.

Yang berubah drastis adalah layar di sisi dalamnya. Kalau dulu layar tersebut harus saling berbagi ruang dengan keyboard fisik, di sini layarnya memanjang sampai ke bagian dagu. Ya, yang dilipat sekarang bukan cuma bodinya, tapi sekaligus layarnya.

Di saat layar Samsung Galaxy Fold dan Huawei Mate X terlipat secara horizontal, Razr berbeda sendiri karena layarnya terlipat secara vertikal. Samsung dan Huawei pada dasarnya memanfaatkan tren foldable untuk menyulap ponsel menjadi tablet, sedangkan Motorola justru memanfaatkannya untuk menciutkan ukuran smartphone secara drastis saat sedang tidak dipakai.

Motorola Razr

Saat terbuka lebar, pengguna akan dihadapkan dengan layar pOLED 6,2 inci beresolusi 2142 x 876 pixel. Sebaliknya, saat ditutup, giliran layar sentuh kecil di sisi luar yang menyambut dengan berbekal panel OLED 2,7 inci beresolusi 600 x 800 pixel. Selain menampilkan jam, layar kecil ini juga berfungsi untuk menampilkan notifikasi dan menyajikan sejumlah fungsi basic.

Di bawah layar kecil itu, tampak sebuah kamera dengan sensor 16 megapixel dan lensa f/1.7. Jadi dalam posisi perangkat tertutup, pengguna dapat memanfaatkan kamera tersebut untuk mengambil selfie, sedangkan dalam posisi terbuka, kameranya pun otomatis beralih peran menjadi kamera belakang. Di sisi dalam, masih ada satu kamera lagi yang menghuni notch layarnya, tapi hanya 5 megapixel f/2.0.

Motorola Razr

Menggunakan Razr dalam posisi terbuka sejatinya tidak jauh berbeda dari ponsel non-foldable berkat bentuknya yang rata. Sebagai pengaman, Motorola turut menyematkan sensor sidik jari di atas dagu Razr. Saat tertutup, Razr juga tampak rapat dan rata. Motorola cukup beruntung memiliki akses ke tim desainer Lenovo yang sebelumnya ditugaskan merancang engsel seri laptop Yoga.

Namun seperti yang saya bilang, Razr terkesan biasa saja dari segi spesifikasi. Chipset yang digunakan bukanlah kelas flagship, melainkan Snapdragon 710, ditemani oleh RAM 6 GB dan storage 128 GB. Lebih mengejutkan lagi, kapasitas baterainya cuma 2.510 mAh, dengan dukungan fast charging hanya 15 W, dan tanpa wireless charging.

Motorola Razr

Kekurangan ini sejatinya bisa dimengerti jika melihat dimensi Razr yang begitu ringkas. Saat terbuka, tebalnya berkisar 6,9 mm kecuali di bagian dagu, dan saat tertutup tebalnya pun hanya 14 mm. Kompromi ini mau tidak mau harus diambil demi mempertahankan keunggulan RAZR V3 sebelumnya.

Jadi begitulah, kalau yang Anda cari adalah teknologi tercanggih di segmen foldable, mungkin Anda salah tempat. Motorola Razr disiapkan buat mereka yang ingin merasakan kembali masa kejayaan ponsel lipat (clamshell), dengan catatan mereka siap mengucurkan dana sebesar $1.500 saat perangkat ini dipasarkan mulai awal tahun depan.

Sumber: SlashGear dan Wired.