Tag Archives: Pontianak

Jajaran tim pengembang SekolahPro / SekolahPro

Fokus Startup Edtech “SekolahPro” Jembatani Integrasi antara Pemerintah dan Sekolah

Berawal dari penyediaan teknologi Learning Management System (LMS), SekolahPro startup edtech yang berbasis di Pontianak kini telah berkembang menjadi one-stop solution untuk ekosistem sekolah. Founder & CEO SekolahPro Firman Cahyadi mengungkapkan, tidak hanya pada sekolah SMA dan SMK, SekolahPro juga mengembangkan inovasi pada sekolah berkebutuhan khusus dan inklusi.

“Pada awalnya, SekolahPro dirancang sebagai LMS yang fokus pada upscaling kualitas manajemen sekolah dan pembelajaran. Lalu terjadi pandemi, membuat kami menyikapi tantangan pendidikan di masa Covid-19 di wilayah provinsi Kalimantan Barat dengan berinovasi menyediakan platform edutech yang menyasar komunikasi terintegrasi antara layanan publik milik pemerintah dengan sekolah,” kata Firman.

SekolahPro juga membantu pihak sekolah menghadapi kurikulum merdeka yang disesuaikan dengan tujuannya, yaitu menciptakan pendidikan yang menyenangkan, mengejar ketertinggalan pembelajaran, dan mengembangkan potensi peserta didik.  Hingga saat ini SekolahPro telah terintegrasi di 35 sekolah, digunakan 288 guru dan 13.224 peserta didik yang tersebar di 14 kabupaten di  Kalimantan Barat.

Hingga saat ini SekolahPro juga belum memiliki rencana untuk melakukan ekspansi ke wilayah lainnya di luar Kalimantan Barat. Namun demikian tidak menutup kemungkinan daerah yang akan disasar oleh perusahaan selanjutnya adalah Papua, yang saat ini masih dalam tahap penjajakan.

“Tujuan kami memang nasional namun kami ingin memastikan ketika ingin melakukan ekspansi ke wilayah lain, dari sisi hukum dan kebijakan sudah tepat sehingga dengan mudah bisa melakukan hal yang sama. Hal ini terkait kemitraan yang terjalin dengan pemerintah setempat,” kata Firman.

Tahun ini SekolahPro memiliki rencana untuk menambah jumlah siswa dan sekolah hingga institusi pendidikan dalam ekosistem SekolahPro. Kerja sama dengan pemerintah juga akan makin digencarkan oleh SekolahPro.

Strategi monetisasi SekolahPro

Karena mitra strategis SekolahPro adalah pemerintah yang telah memiliki alokasi dana untuk pendidikan dan perluasan ekosistem yang menjadi tanggung jawab pemerintah, mereka belum pernah melakukan penggalangan dana. Strategi monetisasi lainnya yang diterapkan oleh SekolahPro adalah dengan mengenakan biaya yang sangat terjangkau kepada siswa hingga institusi pendidikan seperti yayasan hingga universitas.

“Untuk bisa memperluas layanan ke wilayah lainnya, tidak menutup kemungkinan perusahaan ke depannya akan melakukan penggalangan dana, agar proses scale-up bisa dilakukan,” kata Firman.

Mengklaim sebagai teknologi LMS yang berbeda dengan platform lainnya, SekolahPro juga terintegrasi dengan universitas untuk pendaftaran calon mahasiswa baru dan penyajian data dari sekolah secara real time yang dapat dipantau oleh pihak yang berkepentingan seperti kepala sekolah, ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS), hingga Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.

Integrasi serupa juga telah dilakukan oleh SekolahPro dengan SMK dan industri terkait yang selama ini membutuhkan tenaga magang atau PKL langsung dari SMK. Bukan hanya pihak sekolah yang dapat memantau jalannya proses PKL, namun industri pun dapat melihat proses PKL siswa SMK yang tergabung dalam ekosistem SekolahPro.

SekolahPro berkomitmen untuk berkontribusi aktif dalam menyediakan layanan solusi pendidikan dan manajemen sekolah agar menjadi profesional dengan membantu sekolah menyajikan data analytic yang terkoneksi dengan pemerintah daerah. Sehingga, pemerintah setempat mudah dalam melihat dan mengambil kebijakan berbasis data di setiap sekolah sekolah dibawah pengawasannya.

“Kami melihat urgensi masalah dalam sektor pendidikan publik antara pemerintah daerah dengan sekolah, seperti ekosistem sekolah yang tidak terintegrasi, manajemen sekolah yang masih manual, dan data yang tidak up-to-date. Belum lagi layanan informasi pendidikan, layanan informasi sekolah dan kampus, dan informasi dunia industri yang tidak terintegrasi di lingkungan warga Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Padahal, integrasi manajemen dan informasi sangat krusial jika kita berbicara tentang peningkatan kualitas manajemen sekolah dan pembelajaran,” kata Firman.

Layanan pemesanan kuliner dinilai perlu diakomodasi medium online di Pontianak / Pixabay

Niagakuliner Akomodasi Jasa Katering Pontianak secara Online

Niagakuliner merupakan startup Pontianak yang berusaha memecahkan permasalahan produk katering di wilayah tersebut. Didirikan sejak tahun 2017, para Co-Founder melihat ada potensi untuk meningkatkan bisnis kuliner melalui mekanisme pembelian dan pemesanan online.

Layanan yang disediakan Niagakuliner adalah pembelian dan pemesanan katering dalam jumlah besar, umumnya digunakan untuk kebutuhan acara tertentu. Mekanismenya berupa emesanan pre-order untuk waktu mendatang. Adapun makanan disediakan oleh mitra bisnis jasa katering dan rumah makan di sekitar Pontianak.

“Harga jual katering di Niagakuliner sendiri sangat bervariasi tergantung dari harga yang diberikan oleh penjual katering masing-masing. Rata-rata untuk harga katering mulai dari Rp20.000 sampai Rp35.000 per paket,” jelas Co-Founder Niagakuliner Dany Riansyah Putra.

Mengenai model bisnisnya, setiap penjual yang memasarkan menunya di Niagakuliner tidak dipungut biaya apa pun, kecuali mereka menginginkan fitur tambahan seperti statistik penjualan dan/atau iklan teratas. Fitur premium mengenakan biaya bulanan senilai Rp100.000 – Rp125.000. Niagakuliner juga mendapatkan fee dari pemasang iklan.

“Untuk keuntungan dari transaksi mitra, tidak kita potong, karena target kami saat ini untuk meraih banyak pelanggan dulu,” ujar Dany.

Niagakuliner lahir dari Gerakan Nasional 1000 Startup Digital. Startup ini didirikan oleh empat Co-Founder yaitu Dany Riansyah Putra sebagai Hipster, Ade Hendini dan Felix Anthony sebagai Hacker, Eka Endah sebagai Hustler.

Ke depan, Dany dan rekan-rekannya akan mengenakan tarif dari setiap keuntungan yang diperoleh mitra mereka. Namun saat ini Niagakuliner masih membutuhkan tenaga pengembangan teknologi dan pemasaran, karena saat ini teknologi dinilai masih dalam tahap pengembangan dan dilakukan riset untuk mencari titik fokus pemasaran Niagakuliner.

Skymada hadirkan layanan logistik untuk UMKM

Skymada Hadirkan Layanan Logistik Berbasis Digital di Kota Pontianak

Skymada merupakan startup digital asal Kalimantan Barat yang fokus di bidang logistik. Startup yang digawangi Fajar Irvan (CEO), Wira Karmayudha (CFO), Gilbert (CMO), dan Ferry Setiawan (CTO) ini berdiri dari inisiatif Gerakan Nasional 1000 Startup Digital tahun 2017 silam. Dalam ajang tersebut, Skymada berhasil mewakili Kota Pontianak hingga tahap Hacksprint.

“Skymada hadir untuk membantu UKM logistik di Indonesia dapat berkolaborasi bersama dalam satu sistem manajemen pengiriman agar dapat menyajikan fitur tracking kepada konsumen,” kata Fajar Irvan.

Pada bulan Oktober 2017, Skymada juga terpilih menjadi salah satu dari 30 startup di Indonesia yang berpartisipasi dalam acara Google Launchpad Indonesia, yang berlangsung di Jakarta. Acara ini merupakan rangkaian kegiatan untuk mempercepat dan meningkatkan kualitas ekosistem startup Indonesia yang diberikan langsung oleh mentor global Google dari berbagai negara.

Fokus sasar pasar UMKM

Di era digital yang serba cepat, kebutuhan mengetahui lokasi kiriman barang (tracking) adalah hal esensial bagi pengirim maupun penerima barang. Di sisi lain, membangun sendiri sistem tracking perlu sumber daya yang besar dan kerja sama yang baik di antara pengguna sistem, sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi UKM logistik di Indonesia.

“Kami membuat SOP digital untuk para pelaku UMKM. Selama ini kegiatan tersebut hanya bisa dilakukan perusahaan logistik besar. Selama ini kelemahan UMKM logistik kita adalah tidak memiliki tracking system yang bisa dilacak konsumen, sehingga tidak dilirik oleh perusahaan e-commerce,” jelas Ferry.

Skymada sejauh ini fokus di pasar B2B dan menjalin kemitraan dengan beberapa perusahaan logistik level UKM, mulai dari Aceh, Tarakan, Malang dan tentu saja Pontianak. Pihak Skymada belum melakukan monetisasi untuk keuntungan. Mereka fokus membangun konektivitas antar UKM logistik di tanah air serta meningkatkan trafik kunjungan ke UKM logistik mitra Skymada tersebut.

“Ke depan, kami akan menarik keuntungan dari transaksi UKM tersebut. Kami juga akan membangun layanan lain yang mana dari situ kami mendapat keuntungan.”

Pihak Skymada menargetkan mendapat pengguna sebanyak mungkin di seluruh Indonesia, seperti nama mereka, Skymada yang diambil dari kata Sky (langit) dan Gajah Mada, yang mampu menyatukan kerajaan-kerajaan kecil di nusantara menjadi satu kekuatan besar.

Abang Desa hadirkan layanan p2p lending untuk sektor bisnis kecil, peternakan dan pertanian / Abang Desa

Startup P2P Lending Asal Pontianak “Abang Desa” Fokus Jangkau Bisnis Peternakan dan Pertanian

Abang Desa, singkatan dari “Ayo Bangun Desa”, adalah sebuah platform lending marketplace atau peer-to-peer (p2p) lending asal Pontianak yang mencoba menghubungkan investor dengan pelaku UMKM. Startup ini didirikan pada pertengahan tahun 2016 oleh Adiwarna dan Sutopo Widodo.

Latar belakang pengembangan bisnis tersebut lantaran co-founder Abang Desa melihat data bahwa 60-70% UMKM di Indonesia belum mendapatkan akses atau pembiayaan dari perbankan. Sementara menurut data per tahun 2015, jumlah total pelaku UMKM di Indonesia berada pada angka 56,54 juta unit usaha.

Awalnya Adiwarna dan rekan berencana untuk mendirikan institusi berbasis Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Pontianak, namun dengan tren fintech yang ada saat ini akhirnya mereka memilih pendekatan teknologi. Pendekatan tersebut dipilih dengan keyakinan dapat merangkum pasar yang lebih besar.

“Abang Desa menyediakan akses pembiayaan bagi nasabah yang memerlukan modal dan instrumen investasi alternatif yang dapat diakses oleh siapa saja dan di mana saja, serta dapat menjangkau mereka yang di desa hingga di batas negeri [perbatasan Kalimantan-Malaysia],” ujar Adiwarna.

Sejak diluncurkan sebagai versi percobaan pada Desember 2017 lalu, tercatat total pembiayaan yang telah disalurkan sebesar Rp150,9 juta, dengan jumlah investor aktif  21 orang dan mitra usaha yang dibiayai 12 unit. Pembiayaan tersebut berhasil menyediakan 10 ekor sapi untuk peternak dan penyediaan 2,5 hektar lahan pertanian.

Fokus di bidang peternakan, pertanian, dan bisnis kecil

Abang Desa fokus ke tiga produk utama, yakni Abang Ternak, Abang Tani, dan Abang Bisnis. Abang Ternak mengadopsi model equity crowdfunding dengan skema bagi hasil.

Abang Tani mengundang siapa saja untuk berinvestasi di sektor pertanian dengan skema peer-to-peer. Sementara itu produk Abang Bisnis merupakan instrumen pendanaan usaha di sektor pengolahan produk (industri). Semua pendekatan tersebut berusaha dikemas dengan kultur pedesaan yang kental dengan model bisnis berbasis kemitraan.

“Untuk produk Abang Ternak dan Abang Tani berusaha mendigitalkan model bisnis kemitraan yang telah lama berlaku dalam masyarakat. Dalam masyarakat desa dikenal hubungan kemitraan saling menguntungkan khususnya pemeliharaan sapi. Sistem inilah yang mereka adopsi dalam layanan Abang Ternak,” jelas Adiwarna.

Dengan skema bisnis seperti ini, ketika sapi dinilai layak jual dan menguntungkan maka akan dijual. Abang Desa akan mengembalikan porsi modal investor (100%) dan membagikan keuntungan hasil penjualan sesuai porsi masing-masing yang telah disepakati. Abang Desa akan mendapatkan fee dari keuntungan yang diperoleh.

Sementara untuk produk pendanaan Abang Tani dan Abang Bisnis, mereka menggunakan skema pendanaan p2p lending, sehingga mitra akan mendapatkan pendanaan usaha dalam bentuk pinjaman. Untuk itu mitra berkewajiban untuk melakukan angsuran bulanan dengan imbal jasa yang telah disepakati.

Market di segmen ini [khususnya di Kalimantan Barat] masih sangat besar sehingga peluang untuk berkembang terbuka lebar. Selain itu, anggota tim kami sebagian besar punya pengalaman mumpuni di perbankan, khususnya pembiayaan mikro,” tutup Andiwarna.

Sayurbaba fokus layani jasa pesan dan antar sayuran di pontianak / Pixabay

Sayurbaba Layani Pesan Antar Bahan Makanan di Pontianak

Seiring makin ramainya Kota Pontianak, Kalimantan Barat, membuat pertumbuhan bisnis digital di wilayah ini turut berkembang. Startup yang baru resmi meluncur para akhir Januari 2018 lalu adalah Sayurbaba, yakni sebuah aplikasi on-demand yang melayani pemesanan bahan makanan mentah, seperti sayuran, bumbu dapur, daging, hingga ikan.

Sayurbaba didirikan oleh Sutrisno dan Yunardi dengan konsep menjadi perantara antara masyarakat sebagai konsumen dan petani. Dalam operasional bisnis yang sudah dijalankan, Sayurbaba melayani pemesanan dalam dua shift pengantaran, yakni pagi dan siang. Dari statistik yang ada, saat ini Sayurbaba sudah mendapatkan unduhan 2300 kali di Play Store dan 700 kali di App Store.

Diceritakan bahwa kondisi Kota Pontianak saat ini sudah semakin ramai. Dengan banyaknya pekerja urban dan mahasiswa, terbuka banyak peluang usaha yang bisa dikembangkan. Sayurbaba melihat, pertumbuhan rumah kos atau kontrakan yang ada di Pontianak sebagai pangsa pasar yang dapat digali. Umumnya anak kos atau kontrakan ingin berhemat, sehingga tidak semua selalu membeli makanan siap saji.

“Untuk kesediaan sayur dan daging mentah, kami membeli dari petani dan rekanan lokal di Pontianak dengan sistem beli putus,” ujar Yunardi. “Namun Sayurbaba juga tidak ingin ‘mengganggu’ pedagang sayur lokal. Saat ini kami tengah mengembangkan proses bisnis sehingga nantinya bisa bekerja sama dengan pedagang sayur keliling yang ada.”

Sayurbaba mendapat keuntungan dari margin penjualan yang dipatok belasan persen. Selain itu juga dari ongkos kirim.

“Untuk minimal pemesanan kita patok minimal seharga Rp20.000 ditambah ongkos kirim sebesar Rp10.000, sedang untuk pemesanan Rp50.000 bebas biaya pengiriman.”

Di bawah payung legal CV Sayurbaba Online Borneo, saat ini Sayurbaba memiliki sepuluh karyawan, terdiri dari 6 orang kurir dan 4 admin, termasuk bagian pengemasan. Setiap hari pemesanan dibuka hingga pukul 22.00 malam, untuk diantar keesokan harinya.

Ke depan Sayurbaba akan menambah produk berupa buah-buahan dan paket lauk.

“Saat ini kita sudah mulai berkembang hingga ke luar Pontianak, untuk peluasan pangsa pasar mungkin kita mencari investor,” tutup Yunardi.

Application Information Will Show Up Here
Salah satu perangkat drone milih Borneo SkyCam / Borneo SkyCam

Borneo SkyCam, Pengembang Drone Asal Pontianak

Kalimantan adalah salah satu pulau terbesar di Indonesia. Demografi wilayahnya cukup unik, selain masih banyak didominasi oleh hutan, pulau ini juga berbatasan langsung dengan negara tetangga. Medan yang menantang membuat pengawasan melalui udara menjadi lebih efektif, khususnya untuk kebutuhan militer (pengawasan perbatasan) dan pertanian (pemetaan lahan). Kondisi tersebut dilihat sebagai peluang oleh tim Borneo SkyCam, sebuah startup pengembang perangkat pengawas berbasis pesawat nirawak (drone).

Peluang selanjutnya juga dilihat dari komoditas produk drone yang ada saat ini untuk kebutuhan di Kalimantan. Jika menggunakan drone biasa, ada beberapa keterbatasan yang menjadikan prosesnya kurang efektif. Salah satunya soal kemampuan baterai yang sangat terbatas, menjadikan jam terbangnya tidak bisa lama. Untuk itu Borneo SkyCam mengembangkan drone dengan kemampuan khusus untuk pengamatan di wilayah yang luas.

Salah satu pendekatan yang dilakukan ialah baterai menggunakan panel surya –cukup menjanjikan, mengingat Kalimantan terletak di garis khatulistiwa, sehingga penyinaran matahari sangat efektif selama 12 jam. Dukungan panel surya membuat drone besutan Borneo SkyCam mampu terbang dengan jangkauan eksplorasi 4000km berkecepatan 200km/jam, dengan daya tahan baterai mencapai 16 jam.

Drone milik Borneo SkyCam

“Teknologi drone bisa dioptimalkan untuk memetakan lahan tanpa harus menelusur dengan jalur darat yang biasanya berdampak pada kerusakan hutan, karena harus membuka jalur yang belum pasti. Sampai saat ini Borneo SkyCam terus fokus kepada riset-riset pesawat nirawak dengan bahan bakar yang ramah lingkungan,” ujar Co-Founder Borneo SkyCam, Hajon Mahdy Mahmudin.

Hajon berpendapat, riset seperti inilah sangat dibutuhkan Indonesia saat ini, mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17.000 pulau. Dibutuhkan alat yang dapat menembus pelosok-pelosok negeri. Borneo SkyCam memanfaatkan Internet of Things (IoT) sebagai media berbagi informasi hasil penelusuran yang ditangkap.

Terutama untuk pemetaan lahan

Borneo SkyCamp didirikan Tony Eko Kurniawan, Hajon Mahdy Mahmudin, Aprianto Setya Putra, Eko Jatmiko, dan Dede Himandika sejak tahun 2012 di Pontianak. Keempatnya berlatar belakang pendidikan Teknik Elektro. Awalnya Borneo SkyCam dikembangkan karena pada saat itu drone sangat langka di Kalimantan Barat. Debut yang pernah dilakukan Borneo SkyCam ialah kerja samanya dengan program TOPDAM (Topografi Daerah Militer) milik KODAM 12 Tanjungpura dan Badan Pertanahan Nasional wilayah Kalimantan Barat. Sampai saat ini Borneo SkyCam sudah melayani permintaan layanan yang lebih luas hingga terakhir ke Papua.

Drone yang sedang dibuat Borneo SkyCam memiliki lebar 3 meter. Bahan-bahan pembuat drone saat ini 80 persen merupakan bahan lokal Indonesia dan 20 persen sisanya masih impor seperti panel surya dan motor penggerak.  Drone ini dikontrol dengan dua cara, remote control dan laptop, yang disambungkan dengan internet untuk kebutuhan pemantauan real-time. Sedangkan sistem yang dikembangkan ditujukan untuk pemancar sinyal ke pelosok, kebutuhan pemantauan, dan pemetaan.

Drone milik Borneo SkyCam

Menceritakan studi kasus pemanfaatan drone yang pernah dilakukan, Hajon berujar, “Kami dari 2012 melakukan riset dan memang sudah mengembangkan sistem pemetaan. Drone kami sudah digunakan untuk memetakan 4 bandara di NTT, pemetaan wilayah di Papua, dan pemetaan beberapa perkebunan di Kalimantan. Terakhir drone yang kami produksi juga dibeli oleh salah satu kementerian untuk digunakan pemetaan lahan.”

Selain menawarkan perangkat drone yang dikembangkan, Borneo SkyCam juga mengembangkan model bisnis melalui lembaga riset  pesawat nirawak, jasa pemetaan, dan lembaga pendidikan robotika.

Eggclan Hadirkan Konsep Iklan Berjalan di Pontianak

Setelah sukses menghadirkan layanan on-demand untuk pengantaran makanan Delifairy, Aprianto kini mengembangkan sebuah konsep baru periklanan di Kota Pontianak. Lewat layanan barunya bernama Eggclan, ia coba mengakomodasi model iklan di Pontianak berupa media offline yang dimaksimalkan melalui perangkat online.

Konsep yang ditawarkan Eggclan ini unik dan baru di Pontianak –kendati di kota besar di Jawa juga sudah banyak diimplementasikan, misalnya yang dilakukan Sticar—produk klien diiklankan di atas motor yang mengelilingi titik tertentu di Pontianak pada jam sibuk. Apri beralasan karena mobilitas motor di Pontianak lebih tinggi dibanding mobil. Eggclan juga mencoba memberi kesempatan para pengiklan mikro dan UMKM dengan harga terjangkau, karena selama ini iklan melalui billboard biayanya mahal dan tidak efektif menjangkau konsumen.

Saat ini layanan Eggclan sudah launching, namun masih dengan akses yang terbatas untuk klien tertentu saja. Rencananya akan dilakukan grand launching pada awal 2018 mendatang.

Dalam menjalankan proses bisnis, Eggclan memiliki tiga mekanisme, yaitu:

  1. Pure rider yang memang direkrut menjalankan iklan. Klien bebas mengatur mereka mau jam berapa  dan rutenya di mana saja
  2. Bermitra dengan ojek online yang jarak tempuhnya lebih dari 20 kilometer sehari.
  3. Sosialisasi lewat angkutan umum seperti angkot.

Eggclan menawarkan keuntungan dari sisi klien, rider, dan konsumen dengan melakukan soft selling, salah satunya dengan melibatkan pengguna untuk mengisi survei yang tersedia di aplikasi Eggclan dan diberi giveaway menarik dari klien. Klien juga dapat menelusuri jejak dan rute para rider yang mengiklankan produk mereka, serta bisa berkomunikasi langsung dengan para rider. Klien juga dapat menelusuri check point para rider lewat aplikasi.

Dari sisi rider, aplikasi Eggclan menyediakan keakuratan informasi di lapangan sesuai keinginan klien. Semua dilakukan secara real time. Rider akan mendapat pembayaran sesuai dengan kontrak iklan yang mereka dapat dalam sehari. Fitur check point menawarkan jasa kepada klien dan kebebasan dalam menentukan rute. Rider dapat menjelaskan dengan baik setiap iklan klien kepada konsumen.

“Ketika ada klien yang ingin meluncurkan produk, brand awareness, atau grand opening, kita dapat kerahkan 30-50 reader secara bersamaan yang disesuaikan dengan budget klien,” jelas Apri.

Tahun 2017 Jadi Saksi Kesulitan Startup Daerah untuk Bertahan

Ketika ekosistem startup Indonesia merayakan kehadiran empat startup unicorn berskala nasional di tahun 2017, periode ini justru bisa dibilang kurang bersahabat bagi startup-startup daerah. Meskipun Bekraf dengan BEKUP-nya dan Gerakan Nasional 1000 Startup Digital berusaha terus membakar semangat penggiat lokal untuk mengembangkan produknya, ternyata semangat saja tidak cukup.

Di Pontianak misalnya, DailySocial memberitakan bagaimana perjuangan layanan lokal yang kalah bersaing melawan raksasa layanan on-demand bervaluasi miliaran dollar.

Ketimpangan sangat terasa, membuat satu persatu startup daerah gulung tikar. Di sisi lain, Indonesia sangat membutuhkan lahirnya wirausahawan-wirausahawan baru untuk mendorong pertumbuhan ekonomi bangsa, terutama dengan meningkatnya jumlah masyarakat di usia produktif. Menurut data, diperkirakan dalam beberapa waktu ke depan masyarakat di golongan angkatan kerja ini (antara usia 15 dan 65 tahun) akan mencapai 70% dari total populasi.

Ketidaksiapan mengedukasi pasar dan bersaing

Hal senada juga terjadi di Yogyakarta, Solo, Makassar. Fajar Assad, seorang penggiat komunitas startup Makassar yang sebelumnya pernah mendirikan LeanSkill, menyatakan terjadi penurunan jumlah startup baru di kota terbesar di kawasan Timur Indonesia ini dibanding tahun sebelumnya.

“Startup yang sudah eksis hampir dua tahun atau lebih beberapa sekarang sudah tutup, termasuk LeanSkill, Tiketbusku, dan beberapa lainnya,” ujar Fajar.

Fajar mengaku penutupan LeanSkill karena ketidakmampuannya dia berjuang sendirian dan fokus mengembangkan produk dan pasar. Meskipun demikian, ia tidak sendirian.

Menurut Fajar, kebanyakan penggiat startup daerah memulai ide dari hal-hal yang sudah dikembangkan di kota-kota lain, khususnya di ibukota. Oleh karena itu yang pertama kali muncul adalah layanan on-demand dan marketplace. Tantangan utama adalah edukasi pasar. Ketika memulai, secara umum konsumen di kotanya belum siap mengadopsi.

Soekma Agus Sulistyo, anggota penggerak Solocon Valley, mengamini pendapat ini. Ia menyebutkan di Solo sudah mulai muncul sejumlah startup baru, namun kemudian mereka mengubah model bisnis karena keraguan terhadap adopsi pasar.

“Kendala utamanya karena di Solo belum ada model bisnis yang terbukti sehingga masyarakat belum begitu paham. Kendala lain juga seputar pemahaman teknologi di pangsa pasar, menyebabkan KPI tidak terkejar,” terang Agus.

Ketika pasar sudah mulai nyaman dengan layanan yang ditawarkan, “bencana” muncul dengan kehadiran startup nasional yang menawarkan layanan yang lebih baik dan dukungan permodalan yang tidak bisa ditandingi.

Mereka yang sebelumnya sudah berjibaku dengan pasar yang masih “hijau” memilih tutup, karena merasa tidak mungkin bersaing dengan para unicorn.

Berusaha bertahan dengan mencari ceruk

Mereka yang mampu bertahan adalah mereka yang mampu beradaptasi dan mendapatkan ceruk pasar. SatuLoket yang didirikan sejak tahun 2014 merupakan satu di antaranya.

Berbasis di Yogyakarta, startup yang didirikan Akbar Faisal ini menyasar klien korporasi saat menawarkan produknya. Hal ini masuk akal untuk mendorong kelangsungan bisnis yang berkelanjutan, karena sektor B2B memang memiliki spending power dan demand yang lebih tinggi ketimbang masyarakat umum. Pun biaya edukasinya lebih rendah. Meskipun demikian, karena pola pikirnya fokus di transaksional, potensi scale-nya juga terbatas.

“Kami masih bertahan karena market, rata-rata memang di Yogyakarta dan segmen B2B. Jadi selama bisnis mereka berjalan, SatuLoket aman. Di sisi lain memang dari tim sudah mulai dirampingkan, karena kami fokus ke bisnis dan membangun konsumen loyal. Tidak ada jor-joran fitur, promo, inovasi, setidaknya sampai tahun ini,” ungkap Akbar.

DokterChat, sebuah startup baru di sektor teknologi kesehatan yang berbasis di Solo dan memulai bisnisnya awal November ini, mencoba mencari pasar dengan tidak jor-joran mengeluarkan biaya pemasaran.

Founder DokterChat, dr Yudhistya Ngudi Insan Ksyatria, SpOG, mengatakan, “Aplikasi ini harapannya membuat cara kerja dokter lebih scalable, artinya tidak hanya bisa bermanfaat untuk lingkup kecil di sekitarnya. Kami low cost startup, sehingga untuk dana tidak ada masalah. Cara mencari customer bukan dengan marketing berbayar, tapi memberi value. Sehingga follower-nya banyak dan organik, benar-benar sesuai target market.”

Yang baru masih bersemangat

Meskipun penurunan terasa di daerah yang telah mengenal ekosistem startup sejak dua-tiga tahun yang lalu, iklim berbeda didengungkan penggiat startup di kawasan baru, seperti di Padang, Sumatra Barat. Menurut Hendriko Firman, Founder Visio Incubator, sebuah inkubator lokal, justru saat ini di sana sedang mulai hype pendirian startup, khususnya oleh kawula muda.

Menurut Hendriko, program inkubator besutannya sedang membina 27 startup dengan total 84 founder. Kehadiran sejumlah program edukasi di sektor teknologi, disebut Hendriko, mendukung perkembangan startup di kawasan tersebut.

Tentu saja hype tidak akan menjamin semuanya bakal bertahan dalam jangka waktu lama.

Tak cuma modal ide dan semangat

Suasana sebuah bootcamp yang diadakan Gerakan Nasional 1000 Startup Digital
Suasana sebuah bootcamp yang diadakan Gerakan Nasional 1000 Startup Digital

Fenomena tahun ini menjadi pembuktian bahwa ide dan semangat saja tidak cukup. Berkaca pada kondisi di Amerika Serikat dan Tiongkok, ketika pada akhirnya segmen-segmen teknologi mengerucut ke sejumlah perusahaan besar saja, fenomena serupa sudah mulai merembet ke Tanah Air.

Tahun ini, berdasarkan data yang dikumpulkan Amvesindo, Google, dan AT Kearney, mayoritas perolehan pendanaan startup Indonesia, yang di paruh pertama 2017 mencapai 40 triliun Rupiah, terkonsentrasi di startup-startup unicorn.

Hype yang terjadi di sejumlah kota dua-tiga tahun yang lalu ternyata tidak bersambut karena kesulitan mengatasi berbagai kendala, baik dari sisi kesiapan pasar, kemampuan pengembangan teknologi, maupun akses ke permodalan.

“Menurut saya yang paling krusial dibutuhkan: pertama ialah mentorship dan fasilitas, kedua tim dan kolaborasi, dan ketiga pendanaan,” ujar Fajar.

Tanpa ketiganya, mustahil penggiat startup daerah untuk bersaing dengan startup nasional yang lebih matang. Kita ingin fenomena startup tidak hanya terkonsentrasi di ibukota, tetapi startup-startup daerah harus memiliki pondasi kuat agar bisa menjadi bisnis yang berkelanjutan.


Amir Karimuddin dan Randi Eka berpartisipasi dalam penulisan artikel ini.

Tak Sanggup Bersaing, Startup On-Demand Lokal di Pontianak Tumbang

Sejak Go-Jek merambah ke Pontianak sekitar Mei 2017 lalu, diikuti Grab dan Uber, ternyata berdampak negatif terhadap beberapa startup on-demand lokal di Kota Khatulistiwa ini. Terbukti, beberapa startup lokal seperti Tripy, Ponjek, Travella, dan Hay Trans kini sudah tidak beroperasi lagi. Hal ini diakui oleh Ibrahim, salah seorang pendiri Tripy.

Ibrahim mengatakan kepada DailySocial, startup lokal Pontianak seperti Tripy, tak mampu menyaingi startup nasional karena mereka tidak punya modal finansial yang besar. Saat Go-Jek masuk sebulan sebelum Ramadan 2017, transaksi Tripy masih bagus. Lalu Uber masuk Pontianak sebulan kemudian dengan promo gila-gilaan, dengan tarif 15.000 rupiah ke bandara, tidak lama setelah itu, Go-Car beroperasi. Transaksi Tripy hanya bertahan sebulan, lalu manajemen Tripy memutuskan mundur karena beban operasional dan beban server yang besar.

“Mau perang sama perusahaan yang biasa “bakar duit”, kami tak sanggup,” ujar Ibrahim.

Namun, ada juga beberapa startup lokal yang masih sanggup bertahan, seperti Angkuts, Hello Kapten, Delifairy, dan Bujang Kurir. Saat ditemui DailySocial, Riszky Ramadhan selaku owner Bujang Kurir mengatakan, hingga detik ini Bujang Kurir masih bisa bertahan karena banyaknya pelanggan setia mereka, meski terasa ada penurunan order sebesar 10-15%. Hingga detik ini, tercatat 100 order per hari. Startup lokal yang berdiri pada 18 Juni 2015 ini telah diunduh 10.000 kali.

Adanya monopoli dari perusahaan nasional dalam hal delivery order mematikan usaha lokal. Riszky mengatakan tidak pernah menolak adanya startup nasional di Pontianak. Dia  cuma meminta adanya regulasi yang jelas dari pemerintah daerah mengenai tarif, zona, dan perekrutan tenaga driver.

“Saya minta perhatian pemerintah daerah berupa perwa dan perda untuk melindungi startup lokal agar mampu bersaing dengan startup nasional. Kita tidak bisa menolak kemajuan teknologi, tapi itu bisa dikontrol,” tegasnya.

Aplikasi Gencil Dikembangkan untuk Bawa Pontianak sebagai Kota Pintar

Dikembangkan sejak bulan Agustus 2016, aplikasi bernama Gencil (dalam Bahasa Melayu Pontianak berarti mudah) dari PT Satu Hati berusaha memfasilitasi kebutuhan realisasi kota pintar di Pontianak. Aplikasi ini mengintegrasikan sistem informasi perkotaan dengan beberapa stakeholder, menghubungkan kebutuhan masyarakat dengan institusi pemerintah setempat.  Saat ini institusi yang sudah bergabung dengan Gencil mulai dari Pemerintah Kota Pontianak, Bank Indonesia Perwakilan Kalbar, BPJS Ketenagakerjaan, PDAM Kota Pontianak, Kepolisian Daerah, hingga TNI.

Selain berarti mudah, Gencil sendiri sebenarnya juga sebuah singkatan dari “Government & Smart City Landmark”, sesuai visinya yakni ingin menjadi suatu landmark di dunia maya bagi masyarakat yang sedang berada di Kota Pontianak khususnya dan Kalimantan Barat (Kalbar) pada umumnya. Aplikasi Gencil saat ini sudah tersedia secara gratis untuk pengguna platform Android dan iOS.

Saat ini Gencil melayani beragam kebutuhan warga Pontianak seperti pencarian destinasi kuliner, informasi acara terbaru di Pontianak dan Kalbar, destinasi wisata yang ada di Kalbar dan Pontianak, hingga info pangan dan berita. Bahkan masyarakat dapat melaporkan keluhan terhadap pelayanan publik dan kondisi lingkungan, misalnya jalan berlubang, sampah bekas kulit durian yang menumpuk, parkir motor yang memenuhi badan jalan dan sebagainya kepada instansi terkait lewat aplikasi ini.

“Ini salah satu bentuk kontribusi kami kepada Kota Pontianak untuk mewujudkan sistem smart city. Ketika kota lain menghabiskan banyak anggaran APBD untuk membangun sistem, di Pontianak, kami bekerja sama dengan pemerintah dan stakeholder yang ada di Kota Pontianak sehingga pemerintah tidak mengeluarkan sepeser pun anggaran,” ujar Hermawan Sulaiman selaku Direktur Utama PT Satu Hati.

Kendati dikembangkan secara bootstraping, Hermawan optimis ke depan Gencil akan menjadi platform kota pintar yang dapat terintegrasi dengan stakeholder di seluruh Indonesia. Terkait model bisnis yang diterapkan berupa active advertising. Dengan menggratiskan layanan, pihak manajemen mendapat pemasukan dari iklan, tergantung jumlah permintaan. Bagi pengiklan dari pelaku UMKM, diberi harga khusus.

“Cakupan wilayah layanan Gencil saat ini masih di Kalimantan Barat, meski sudah ada permintaan dari Medan dan Maluku,” imbuh Hermawan.

Keunggulan Gencil dibanding layanan sejenis di Kalbar adalah layanan ini tidak hanya dapat diakses dari ponsel pintar semata, tapi juga mempunyai Gencil Kiosk di tempat ramai (ruang publik) yang dapat diakses siapa saja secara gratis.

Application Information Will Show Up Here