Tag Archives: Populix

Survei Populix: JNT dan JNE Jadi Logistik Pilihan Generasi Z dan Milenial

Salah satu industri yang ketiban rejeki akibat dari digitalisasi adalah industri logistik. Bukan hal yang mengejutkan, sebab industri ini menjadi faktor penting dalam proses distribusi barang dari penjual ke pembeli yang tersebar di seluruh Indonesia.

Baru-baru ini Populix merilis laporan bertajuk “Indonesia Outlook on the Logistic Delivery Services” yang menyoroti perilaku pengiriman barang untuk pengiriman pribadi dan belanja online di Indonesia.

Dalam laporannya, Populix menemukan beberapa data menarik terkait preferensi masyarakat sebagai pembeli terhadap brand-brand logistik yang ada di Indonesia.

Riset ini menunjukkan bahwa layanan pengiriman memiliki tingkat penggunaan yang sangat tinggi di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya di antara Generasi Z dan Milenial, terutama untuk pengiriman barang secara pribadi dan belanja online.

Dari partisipan Generasi Z, sebanyak 88% responden mengungkapkan bahwa mereka menggunakan layanan pengiriman untuk pembelian online, sementara 12% lainnya menggunakan layanan tersebut untuk keperluan pribadi. Sementara itu, pada generasi Milenial, mayoritas 76% responden juga menggunakan layanan pengiriman untuk berbelanja online.

Preferensi responden dalam pengiriman belanja barang online menunjukkan bahwa Generasi Z banyak menggunakan J&T Express (58%), diikuti oleh Shopee Express (32%), JNE (27%), SiCepat (23%), Gosend (7%), GrabExpress (4%), Ninja Express (4%), Pos Indonesia (3%), TIKI (2%), Wahana (1%), Paxel (1%), Indah Logistik (0%), Shipper (0%), dan Lalamove (0%).

Pada generasi Milenial pun menunjukkan jika J&T Express (55%) merupakan layanan pengiriman yang paling sering digunakan untuk belanja online, kemudian JNE (34%), Shopee Express (18%), SiCepat (17%), Gosend (16%), GrabExpress (8%), Pos Indonesia (7%), TIKI (6%), Wahana (6%), Ninja Express (3%), Indah Logistik (3%), Paxel (2%), Shipper (1%), Lalamove (0%).

“Riset yang kami lakukan menyajikan pandangan bahwa masyarakat Indonesia khususnya Gen Z dan Milenial mayoritas menggunakan jasa pengiriman barang untuk berbelanja online. Kecepatan pengiriman, pemantauan pengiriman real-time, jangkauan wilayah pengiriman yang luas, layanan tambahan pengiriman, lokasi agen pengiriman banyak dan pengiriman untuk berbagai jenis barang adalah beberapa aspek yang menjadi pertimbangan masyarakat Indonesia dalam memilih layanan pengiriman. Hal ini dapat dijadikan acuan bagi perusahaan logistik dan penyedia layanan pengiriman untuk memaksimalkan operasional mereka guna memenuhi kebutuhan pengiriman,” ungkap Timothy Astandu, Co-Founder dan CEO Populix.

Selain itu, mayoritas responden menggunakan asuransi pengiriman (66%), dengan alasan menjaga barang dari kehilangan atau kerusakan (87%), memastikan tidak akan terjadi hal yang tidak diinginkan (59%), untuk barang-barang berharga (48%), memastikan barang yang dikirimkan aman (35%). Jika dilihat dari kepuasan pelanggan dari brand pengiriman, untuk pengiriman pribadi rata-rata menyebutkan puas terhadap layanan yang diberikan dengan tingkat kepuasan tertinggi dari Gojek dan Shipper. Untuk pengiriman belanja online rata-rata responden juga puas terhadap layanan yang telah diberikan oleh brand.

Mayoritas responden memilih brand pengiriman untuk pengiriman pribadi karena kecepatan pengiriman. Namun, ketika berbicara tentang pengiriman belanja online, mayoritas responden memiliki dua alasan utama dalam memilih brand, yaitu keuntungan gratis ongkos kirim dan kecepatan pengiriman.

DailySocial mewawancarai Timothy Astandu dari Populix / DailySocial

[Video] Fokus Populix Jembatani Riset untuk Semua

DailySocial bersama CEO Populix Timothy Astandu membahas perkembangan bisnis perusahaan saat ini dan seperti apa tren bisnis di industri riset, khususnya yang berhubungan dengan panel online.

Di diskusi ini, Timothy memaparkan teknologi dan kustomisasi layanan di Populix dan perjalanan pendanaan untuk perusahaan.

Bagaimana strategi bisnis Populix untuk menggaet lebih banyak konsumen ke depan? Seperti apa target perusahaan tahun ini?

Simak pembahasannya di video berikut ini.

Untuk video menarik lainnya seputar strategi bisnis startup di Indonesia, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV di sesi DScussion.

Survei Populix berjudul “Insights and Future Trends of Investments in Indonesia,” menunjukkan mayoritas (72%) responden mengatakan bahwa mereka mulai berinvestasi

Survei Populix: Di Tahun 2022, Masyarakat Semakin Melek Investasi

Masyarakat Indonesia dinilai telah memiliki kesadaran yang lebih baik dalam berinvestasi semenjak pandemi. Mereka mulai memiliki perencanaan keuangan, termasuk dana darurat, asuransi kesehatan, hingga investasi.

Berdasarkan hasil survei yang diselenggarakan Populix berjudul “Insights and Future Trends of Investments in Indonesia” menunjukkan mayoritas (72%) responden mengatakan bahwa mereka mulai berinvestasi, terutama di kalangan generasi milenial. Angka tersebut meningkat dibandingkan survei sebelumnya yang digelar pada Januari 2021 yang mengungkap bahwa hanya kurang dari setengah responden (44%) yang telah mulai berinvestasi.

Co-founder & CEO Populix Timothy Astandu menyampaikan survei termutakhir ini memperlihatkan bahwa semakin banyak generasi muda yang melek investasi. Kehadiran berbagai aplikasi investasi tentunya mendorong inklusivitas kepada anak muda untuk mulai berinvestasi, terlihat dari mayoritas responden yang memilih untuk menjalankan investasi melalui aplikasi.

Dalam survei, sambungnya, juga menunjukkan bahwa responden telah mempertimbangkan aspek-aspek kondisi keuangan mereka, kejelasan informasi, serta profil risiko dari masing-masing instrumen investasi. Artinya, saat ini mereka sudah memiliki kesadaran dan literasi keuangan yang lebih baik sebelum memulai untuk berinvestasi.

“Tentunya hal ini menjadi catatan positif untuk Indonesia. Namun fenomena ini juga menjadi alarm pengingat bahwa diperlukan kolaborasi antara berbagai pihak untuk terus mengimbangi minat anak muda Indonesia pada tren investasi dengan literasi keuangan yang lebih baik lagi,” ucapnya dalam keterangan resmi, Rabu (30/11).

Survei Populix

Lebih lanjut, dalam survei memperlihatkan mayoritas responden (64%) dari segala rentang usia memiliki tujuan utama berinvestasi untuk mengumpulkan dana darurat. Secara khusus jika melihat perilaku berinvestasi dari setiap generasi, survei menunjukkan bahwa selain mengumpulkan dana darurat, generasi Z dan milenial cenderung berinvestasi untuk mendapatkan penghasilan tambahan, sementara generasi X bertujuan untuk mengumpulkan dana pensiun.

Sumber: Populix

Reksa dana (47%) masih menjadi instrumen investasi yang paling banyak dipilih responden. Selanjutnya disusul perhiasan emas (46%), saham (32%), logam mulia (30%), deposito (29%), properti (21%), dan aset kripto (20%). Responden yang datang dari generasi Z cenderung memilih investasi reksa dana, sementara milenial dan generasi X tertarik untuk investasi pada perhiasan emas. Dua alasan utama responden memilih instrumen yang dituju karena terdaftar di OJK dan punya profil risiko rendah.

Untuk mencari informasi seputar instrumen investasi, sebagian besar (68%) responden memanfaatkan platform media sosial, khususnya YouTube dan Instagram. Selain itu, mereka juga mencari informasi resmi dari OJK (42%), teman atau rekan kerja (40%), situs resmi institusi keuangan (34%), dan influencer (32%).

Sumber dana dan platform investasi yang digunakan

Lebih lanjut, dalam berinvestasi sebanyak 5 dari 10 responden mengatakan mereka menyisihkan sebagian dana dari pendapatan rutin, serta tabungan mereka. Di antara 54% responden yang mengalokasi anggaran dari pendapatan rutin, mayoritas menyisihkan sekitar Rp100 ribu-Rp250 ribu pendapatan mereka.

Di sisi lain, responden juga mengalokasikan 5%-10% untuk sumber dana investasi dari pendapatan lainnya, seperti tabungan, bonus atau penghasilan tambahan, THR, dana dari keluarga, dana darurat, dan hasil penjualan aset.

Berikutnya, responden juga cenderung berinvestasi melalui platform aplikasi, bank, atau keduanya. Sebanyak 71% responden memilih aplikasi karena kemudahan dalam satu aplikasi, persyaratan yang tidak rumit, dan membutuhkan modal yang relatif kecil. Aplikasi Bibit paling banyak dipilih responden (56%), diikuti dengan DANAeMAS (33%), Ajaib (28%), Tokopedia (25%), dan OVO Invest (20%).

Sumber: Populix

Di sisi lain, sebanyak 44% responden yang memilih berinvestasi melalui bank menyebutkan bahwa mereka menganggap bank lebih dipercaya untuk keperluan investasi, punya kemudahan, dan ketentuan yang tidak rumit. Beberapa bank utama yang dipercaya responden adalah BRI (31%), BCA (31%), Bank Mandiri (30%), dan BNI (27%).

Survei ini juga menemukan kendati minat investasi meningkat, masih ada 28% responden yang belum mau berinvestasi karena kondisi keuangan yang belum mencukupi untuk memulai investasi (78%). Selain itu, masih ada pemahaman bahwa investasi membutuhkan dana yang besar (36%), takut mengambil risiko (32%), sulit memahami informasi seputar investasi (20%), trauma penipuan investasi di masa lalu (14%), dan bertentangan dengan kepercayaan atau berisiko mengandung riba (8%).

Namun demikian, sebanyak 95% responden mengaku sudah memiliki rencana untuk berinvestasi di masa depan, terutama pada instrumen logam mulia (49%), perhiasan emas (42%), saham (42%), properti (37%), reksa dana (35%), dan deposito (32%).

Sebagai catatan, survei ini dilakukan pada 24-28 November 2022 dilakukan secara online melalui aplikasi Populix. Ada 1.038 responden laki-laki dan perempuan berusia 18-55 tahun yang berpartisipasi dalam tersebut. Survei kuantitatif ini dilakukan dalam bentuk kuesioner tertutup dengan format pilihan ganda tunggal dan pilihan ganda kompleks.

Sumber: Populix
Layanan telemedis menjadi opsi yang mulai populer untuk solusi kesehatan mental di Indonesia / Unsplash

Riset Populix: Layanan Telekonsultasi Diminati Masyarakat Indonesia untuk Penanganan Kesehatan Mental

Platform telekonsultasi merupakan salah satu channel yang banyak digunakan sejumlah orang di Indonesia dalam mengakses layanan kesehatan mental. Hal ini dipaparkan dalam laporan “Indonesia’s Mental Health State and Access to Medical Assistance” yang diterbitkan oleh startup platform riset pasar Populix.

Dalam rangka Hari Kesehatan Mental Sedunia 2022, Populix mengadakan survei dengan jumlah responden 1.005; terdiri dari laki-laki dan perempuan di segmen usia mulai dari 18 hingga 54 tahun di Indonesia.

Dalam temuannya, layanan kesehatan mental diakses melalui sejumlah cara antara lain konsultasi dengan pskiater/psikolog di fasilitas kesehatan terdekat (61%), memakai aplikasi telekonsultasi (54%), bergabung dengan grup komunitas yang fokus pada kesehatan mental (38%), dan berbicara dengan pemuka agama (36%).

Sebanyak 87% responden mengaku memakai aplikasi untuk telekonsultasi layanan kesehatan mental karena mudah diakses, sebanyak 76% mengaku dapat dipakai di mana dan kapan saja, 63% memilih karena biaya terjangkau, alasan keamanan informasi terjamin (61%), dan mencari solusi tepat (40%).

Adapun, sebanyak 46% responden tersebut menghabiskan biaya kurang dari Rp100 ribu untuk menggunakan telekonsultasi layanan kesehatan mental, diikuti biaya berkisar Rp100 ribu-Rp250 ribu (42%), Rp250 ribu-Rp400 ribu (97%), dan di atas Rp400 ribu (5%).

Dua faktor utama pemicu gangguan kesehatan mental ini di antaranya adalah masalah finansial (59%) dan merasa kesepian (46%). Selain itu, alasan lain yang memicu adalah faktor tekanan pekerjaan (37%) dan trauma masa lalu (28%).

Sebelumnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan pandemi Covid-19 telah memperburuk kondisi kesehatan mental dunia serta menciptakan krisis global yang berdampak pada kesehata mental jangka pendek dan jangka panjang. Gangguan kesehatan mental merupakan salah satu isu kesehatan yang mendapat banyak perhatian besar di dunia.

Mengacu laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, sebanyak 19 juta penduduk di Indonesia di segmen usia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, sedangkan lebih dari 12 jtua penduduk di usia lebih dari 15 tahun mengalami depresi.

“Berbagai masalah seperti kondisi perekonomian yang tidak menentu, rasa kesepian setelah sekian lama menjalan pembatasan sosial, tuntuan pekerjaan, hingga masalah hubungan yang timbul di masa-masa ini, turut memengaruhi kesehatan mental banyak orang,” ungkap Co-founder dan COO Populix Eileen Kamtawijoyo dalam keterangan resminya.

Startup fokus di mental wellness

Perkembangan informasi tak dimungkiri ikut memicu peningkatan awareness terhadap pentingnya kesehatan mental di Indonesia. Masyarakat menjadi lebih mudah untuk mengakses layanan kesehatan mental secara virtual dengan semakin berkembangnya platform penyedia layanan serupa.

Sejumlah Venture Capital (VC) terkemuka juga mulai melirik startup yang  fokus terhadap mental wellbeing, seperti Riliv, Bicarakan.id, Ami, hingga Maxi . Menariknya, layanan yang ditawarkan tak hanya untuk individual saja, tetapi ada yang fokus pada segmen pasar pekerja profesional.

Bagi Co-founder Ami Justin Kim, pertumbuhan ekonomi yang cepat di Indonesia berpotensi memicu peningkatan stres di sebagian tempat kerja. Adapun, pekerja di Asia adalah pekerja paling stres di dunia dengan akses buruk terhadap sumber daya manajemen stres.

Kini muncul generasi baru karyawan yang lebih berorientasi pada nilai dibandingkan generasi pendahulu mereka. Generasi baru ini mencari lingkungan kehidupan kerja yang benar-benar holistik, otentik, dan seimbang.

Social commerce menjadi opsi platform untuk belanja online yang menawarkan cara yang unik / Pixabay

Laporan Populix: 86% Masyarakat Belanja Melalui Platform Media Sosial

Social commerce selama dua tahun terakhir melejit menjadi platform yang paling banyak digunakan untuk melakukan pembelian. Salah satu alasan mengapa social commerce makin banyak dilirik, karena konsumen ingin mencari lebih banyak pengalaman yang menarik saat berbelanja, dan juga kecepatan serta efisiensi saat pengiriman barang. Pilihan belanja di media sosial juga saat ini makin banyak dipilih oleh generasi muda.

TikTok Shop pilihan Gen Z

Dalam laporan bertajuk “The Social Commerce Landscape in Indonesia” yang dirilis oleh Populix terungkap, 52% masyarakat Indonesia sudah mengetahui akan tren transaksi jual beli melalui media sosial. Survei tersebut juga mengungkapkan 65% responden menyebutkan social commerce adalah belanja memanfaatkan media sosial.

Sementara 17% menyebutkan transaksi secara group memanfaatkan media sosial. Selebihnya melihat social commerce adalah belanja memanfaatkan teman dan melihat konten.

Sebesar 86% masyarakat Indonesia pernah berbelanja melalui platform media sosial dengan TikTok Shop (45%) sebagai platform yang paling sering digunakan, diikuti WhatsApp (21%), Facebook Shop (10%), dan Instagram Shop (10%). Kategori produk yang paling banyak dibeli oleh masyarakat melalui platform media sosial adalah pakaian (61%), produk kecantikan (43%), dan makanan dan minuman (38%).

Dalam laporan tersebut disebutkan, 4 dari 5 orang responden telah melakukan pembelian memanfaatkan media sosial. Platform yang paling banyak mereka gunakan adalah TikTok Shop dan WhatsApp. Rata-rata uang yang dikeluarkan untuk kegiatan belanja tersebut adalah Rp 200 ribu lebih. Selain TikTok dan WhatsApp, platform lainnya yang juga banyak digunakan adalah, Facebook Shop (10%), Instagram Shop (10%), Telegram, Line Shop dan Pinterest (1%).

Meskipun saat ini WhatsApp masih banyak digunakan sebagai platform pilihan kedua untuk belanja online, namun ke depannya di prediksi posisinya akan tergeser dan tergantikan oleh Instagram Shop. Riset tersebut juga menyebutkan generasi lebih tua yang kemungkinan paling banyak menggunakan WhatsApp, dibandingkan dengan generasi muda.

Dari sisi demografi pengguna terbanyak berasal dari usia 18-25 tahun. Surabaya (59%) menjadi lokasi paling banyak pengguna memanfaatkan media sosial untuk kegiatan belanja. Disusul oleh Medan (55%) dan Jakarta (54%).

Evermos menjadi “top of mind” platform social commerce

Social commerce kian populer karena menjadi opsi baru untuk berbelanja online secara mudah dan memungkinkan interaksi langsung dengan penjual sambil menjelajahi media sosial, tanpa harus berpindah aplikasi. Sementara di sisi penjual, social commerce memungkinkan mereka untuk menjangkau calon pelanggan yang lebih luas.

Dalam laporan tersebut terungkap, sebesar 46% masyarakat Indonesia masih belum mengetahui tentang kehadiran platform social commerce di Indonesia. Di antara masyarakat yang mengetahui platform social commerce, 35% dari mereka mengatakan bahwa mereka belum pernah menggunakan platform tersebut.

Informasi menarik yang kemudian juga di bagikan oleh Populix adalah, mereka yang telah menikmati layanan social commerce, kebanyakan adalah pengguna yang tinggal di wilayah secara spesifik dan menggunakan platform yang mereka sudah kenal sebelumnya. Evermos (22%), Kitabeli (14%) dan Dusdusan (12%) adalah tiga platform social commerce yang paling banyak digunakan oleh masyarakat. Bandung menjadi wilayah terbesar pengguna Evermos. Sementara kebanyakan pengguna KitaBeli berasal dari Surabaya.

Platform social commerce lainnya yang juga telah digunakan oleh para responden di antaranya adalah, Dagangan (9%), mapan (8%), Selleri (7%), grupin (7%), CrediMart (5%), Woobiz (5%). Usia 26-35 (24%) adalah pengguna terbanyak yang telah menggunakan platform social commerce.

Sementara Bandung menjadi lokasi paling banyak, penggunanya sudah terbiasa menggunakan platform social commerce. Disusul oleh Semarang (25%), Medan (21%) dan Jakarta (21%). Kelas bawah (24%) menjadi pengguna terbanyak untuk layanan social commerce.

“Sebagian besar masyarakat Indonesia mengetahui dan pernah mencoba berbelanja melalui social commerce untuk transaksi sehari-hari seperti membeli pakaian dan produk kecantikan. Lebih dari itu, pesatnya tren social commerce yang dibawa oleh pandemi Covid-19 ini, juga turut mendorong kemunculan platform-platform jual beli berbasis interaksi sosial sebagai alternatif pilihan medium berbelanja bagi masyarakat,” kata Co-Founder dan CEO Populix Timothy Astandu.

Menurut data yang dihimpun DSInnovate dalam “Social Commerce Report“, ukuran pasar platform social commerce akan mencapai $8,6 miliar di tahun 2022 ini. Social commerce menjadi relevan untuk menargetkan konsumen di luar kota metropolitan. Pendekatan online dan offline yang dilakukan menjembatani gap literasi digital berbagai kalangan yang belum terjamah layanan e-commerce.

Platform Riset Pasar Populix Peroleh Pendanaan Sebesar 114 Miliar Rupiah, Dipimpin Intudo Ventures dan Acrew Capital

Startup pengembang platform riset pasar Populix memperoleh putaran pendanaan Seri A dalam bentuk pembiayaan (financing) sebesar $7,7 juta atau sebesar 114 miliar Rupiah, dipimpin oleh Intudo Ventures dan Acrew Capital. Turut juga berpartisipasi Altos Ventures dan Quest Ventures.

Tahun lalu Populix menerima pendanaan pra-seri A senilai $1,2 juta atau setara Rp17,3 miliar dari Intudo Ventures, yang sebelumnya juga memimpin pendanaan awal di 2019, dan Quest Ventures.

Populix merupakan platform yang menawarkan kegiatan riset dan pengumpulan data bagi pebisnis, perusahaan, dan individual untuk mempermudah pengambilan keputusan dengan menggunakan studi kualitatif dan kuantitatif.

Dalam keterangan resminya, Co-founder dan CEO Populix Timothy Astandu mengatakan, pihaknya akan memperkuat digitalisasi seluruh proses pendataan, optimalisasi produk existing, dan meluncurkan sejumlah layanan baru yang memungkinkan siapapun mengambil keputusan tepat bagi bisnis mereka.

“Orang-orang tidak lagi mengandalkan insting untuk menjalankan bisnis mereka. Kami sedang membangun dunia di mana pengusaha dan CEO Fortune 500 dapat mengakses data yang cepat dan relevan untuk mendorong keputusan bisnisnya,” tutur Timothy.

Sementara itu, Founding Partner Intudo Ventures Patrick Yip mengatakan bahwa  Indonesia merupakan pasar consumer yang berkembang pesat dan bergerak dengan kecepatan yang sulit dipahami oleh bisnis lokal. Maka itu, pemahaman yang tepat dan akurat sangat dibutuhkan bagi keberhasilan bisnis berskala besar maupun kecil. “Sebagai salah satu pendukung Populix paling awal, kami bangga dengan bagaimana tim Populix semakin matang dan mengiterasi produk mereka mengikuti pasar Indonesia yang selalu berubah,” tutur Yip.

Partner Quest Ventures Jeff Seah menambahkan, “Asia Tenggara telah menjadi pasar terkemuka bagi perusahaan global untuk mendorong pertumbuhan bisnis dan masuk ke kelas konsumen baru. Bagi bisnis baru di regional, penting untuk memahami pola pikir lokal agar bisa sukses. Populix telah menunjukkan kemampuan luar biasa untuk menggambarkan preferensi konsumen Indonesia dan mengubah data point menjadi business insight yang dapat ditindaklanjuti,” kata Seah.

Pengembangan produk hingga ekspansi

Timothy mengungkap, pihaknya akan merekrut ahli di bidang produk dan engineering untuk meningkatkan pengumpulan data dan mengakomodasi kebutuhan lebih banyak klien. Untuk memperkuat posisinya di Asia Tenggara, pihaknya juga berencana ekspansi regional di tahun 2023 dengan fokus awal pada produk Poplite.

Berdiri pada Januari 2018, Populix menawarkan sejumlah layanan untuk kebutuhan riset. Pertama, Datasets berbasis subscription yang berisi ribuan data point terkait perilaku konsumsi online, gaya hidup, hingga emerging trend. Kedua, Poplite atau layanan penelitian dengan model bayar per penggunaan (pay-per-use). Layanan ini memungkinkan siapapun untuk membuat survei dan mengumpulkan business insight yang ditargetkan dan dapat ditindaklanjuti.

Menurut Timothy, misi awal Populix adalah membuat kegiatan penelitian lebih mudah, sederhana, akurat bagi bisnis, dan dapat diakses siapapun dengan dukungan teknologi. Dengan kemampuan Populix memindahkan kumpulan data secara online dan mobile, pihaknya berupaya membuat kegiatan riset menjadi lebih seru dan rewarding bagi responden.

Sejak 2020, Populix telah melakukan kegiatan riset dengan lebih dari 1,500 klien, mulai dari Fortune Global 500, pemerintahan, perusahaan konglomerasi, UMKM, akademik, dan individual di Indonesia. Menurut catatannya, sebanyak 45% klien Populix merupakan pengguna consumer insight pertama kali yang berupaya merefleksi utilitas sehari-hari sehingga pelaku bisnis dapat memahami konsumen dan mencapai product-market fit.

Populix menawarkan lebih dari 300.000 responden terverifikasi dan targeted untuk mengikuti kegiatan riset terkait preferensi, kebiasaan, dan pendapat terkait konsumen di Indonesia. Untuk memvalidasi keakurasian responden, Populix mengembangkan Popscore sebagai credit scoring system yang menilai kualitas responden dari tingkat kejujuran dan aktifnya seorang responden.

Perusahaan mengklaim telah mengalami pertumbuhan pendapatan hingga tiga kali lipat selama setahun terakhir.

Populix Receives Pre Series A Funding Worth 17.3 Billion Rupiah Led by Intudo Ventures

Populix market research platform today (29/4) announced pre-series A funding of $1.2 million or equivalent to 17.3 billion Rupiah. This round was led by Intudo Ventures, the one that led its seed funding in 2019; with the participation of Quest Ventures and some other investors which details were not mentioned.

The company will use the fresh funds to launch new products, strengthen marketing and recruit new talent. Over the past year, the company has updated its “Populix for Business” service with a new application featuring UI/UX enhancements to make it easier for clients to be more informed of the ongoing research project.

Through the new application, Populix aims to become a “one stop shop” for businesses to conduct research and gain consumer insights. On the other hand, Populix is ​​also developing a data set product to regularly track market movements – enabling businesses to closely follow consumer dynamics and preferences.

In order to support data collection, the Populix application can now recognize invoices (for example from e-commerce purchases) of respondents using optical character recognition technology or scanning of notes via camera, with an accuracy of up to 93%. The concept of collecting data through purchase notes is not a new thing, previously, Pomona was doing something similar to help brands understand their customers.

“Populix provides comprehensive and unique insights into Indonesian dynamic consumer market [..] In the future, Populix will introduce more sophisticated services for clients to meet their focus while continuing to refine our mass market offering to open doors for more people to get access to consumer insight products,” Populix’s Co-Founder & CEO, Timothy Astandu said.

Was founded in January 2018, Populix exists as a mobile application that supports research activities. People can download the application and act as respondents. Each successfully completed survey will earn certain points and credits. Populix claims to have 250 thousand respondents spread across 300 cities in Indonesia.

Apart from quantitative research, Populix also supports businesses conducting qualitative research. Their business services offer subscription services, conducting regular brand tracking to understand public perceptions. Populix also started serving the SME segment by providing more affordable packages.

Apart from Populix, a startup from Yogyakarta, Jakpat also offer similar service. Utilizing applications and a gamification approach, they invite the public to become respondents to a survey that fits their criteria/profile.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Pendanaan Pra-Seri A Populix

Populix Dapat Pendanaan Pra-Seri A Senilai 17,3 Miliar Rupiah Dipimpin Intudo Ventures

Startup pengembang platform riset pasar Populix hari ini (29/4) mengumumkan perolehan pendanaan pra-seri A senilai $1,2 juta atau setara 17,3 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Intudo Ventures, investor yang juga memimpin pendanaan awalnya di tahun 2019; dan didukung Quest Ventures serta sejumlah investor lain yang tidak disebutkan detailnya.

Perusahaan akan menggunakan dana segar untuk meluncurkan produk baru, memperkuat pemasaran, dan merekrut talenta baru. Selama satu tahun terakhir, perusahaan telah memperbarui layanan “Populix for Business” lewat aplikasi baru yang menampilkan peningkatan UI/UX guna memudahkan klien lebih banyak informasi tentang proyek riset yang dilakukan.

Melalui aplikasi baru tersebut, Populix memiliki ambisi untuk menjadi “toko serba ada” bagi bisnis dalam melakukan berbagai penelitian dan mendapatkan wawasan konsumen. Di sisi lain, Populix juga tengah mengembangkan produk set data untuk secara berkala melacak pergerakan pasar — memungkinkan bisnis mengikuti dinamika dan preferensi konsumen dengan cermat.

Untuk mendukung pengumpulan data, aplikasi Populix kini dapat mengenali tagihan (misalnya dari pembelian di e-commerce) responden dengan teknologi optical character recognition atau pemindaian nota lewat kamera, dinilai akurasinya sampai 93%. Konsep pengumpulan data melalui nota pembelian ini bukan hal baru, sebelumnya ada startup Pomona yang lakukan hal serupa untuk membantu brand memahami pelanggannya.

“Populix memberikan wawasan komprehensif dan unik tentang pasar konsumen Indonesia yang dinamis [..] Di masa mendatang, Populix akan memperkenalkan layanan yang lebih canggih untuk klien untuk memenuhi kebutuhan yang ditargetkan sambil terus menyempurnakan penawaran pasar masal kami untuk membuka pintu bagi lebih banyak orang untuk mendapatkan akses ke produk wawasan konsumen,” ujar Co-Founder & CEO Populix Timothy Astandu.

Didirikan sejak Januari 2018, Populix hadir sebagai aplikasi seluler yang mendukung kegiatan penelitian. Masyarakat umum dapat mengunduh aplikasi dan bertindak sebagai responden. Setiap survei yang berhasil diselesaikan ada poin dan kredit tertentu yang didapatkan. Populix mengklaim telah memiliki 250 ribu responden yang tersebar di 300 kota di Indonesia.

Selain kegiatan riset kuantitatif, Populix juga mendukung bisnis melakukan penelitian kualitatif. Layanan bisnis mereka menawarkan layanan berlangganan, melakukan pelacakan merek secara rutin untuk memahami persepsi publik. Populix juga mulai melayani segmen UKM dengan memberikan paket yang lebih terjangkau.

Tidak hanya Populix, layanan serupa juga disuguhkan startup asal Yogyakarta bernama Jakpat. Menggunakan aplikasi dan pendekatan gamifikasi, mereka mengajak masyarakat umum menjadi responden sebuah survei yang sesuai dengan kriteria/profilnya.

Application Information Will Show Up Here
Survei DailySocial dan Populix menemukan investasi reksa dana dan emas paling diminat. Aplikasi yang paling banyak dipakai adalah Tokopedia Emas dan Bibit

Survei DailySocial dan Populix: Investasi Reksa Dana Terpopuler di Indonesia

OJK melaporkan indeks literasi keuangan dan indeks inklusi keuangan di Indonesia mengalami kenaikan di tahun 2019. Kini nilainya mencapai 38,03% untuk indeks literasi keuangan, sementara indeks inklusi keuangan mencapai 76,19%.

Inklusi keuangan maksudnya adalah sesuatu yang berhubungan dengan jumlah pengguna jasa keuangan, sementara literasi berarti cara pengelolaan uang yang dimiliki. Keduanya saling berhubungan. Seseorang dengan literasi keuangan yang baik umumnya tahu cara memanfaatkan uang semaksimal mungkin.

Sementara itu, investasi adalah bentuk pengelolaan dana agar memberikan hasil yang maksimal. Ia termasuk bagian dari literasi keuangan. Berkat perkembangan teknologi digital yang pesat di industri finansial, beragam inovasi diciptakan agar semakin mempermudah orang untuk mulai berinvestasi. Implementasi digital berperan dalam mempercepat proses literasi dan inklusi keuangan.

Selama lima tahun terakhir, inovasi aplikasi investasi online semakin kencang bertebaran. Untuk melihat lebih jauh awareness orang Indonesia terhadap aplikasi investasi termasuk saat pandemi, DailySocial melakukan survei bersama Populix.

Survei dilaksanakan pada akhir Juni terhadap 209 responden, yang terdiri dari 131 laki-laki dan 78 perempuan. Domisilinya tersebar di Jabodetabek, Surabaya, Bandung, Medan, Semarang, dan sejumlah kota lainnya. Seluruh responden ini kompak menjawab bahwa mereka semua telah memanfaatkan platform atau aplikasi digital untuk berinvestasi.

Dijabarkan lebih jauh, pilihan tertinggi untuk jenis investasi yang mereka pilih adalah reksa dana (67%) dan emas (62,7%). Persentase antara responden laki-laki dan perempuan yang memilih kedua jenis investasi ini tidak terpaut jauh.

Jenis investasi lainnya yang dipilih responden secara berurutan adalah saham (44,5%), P2P lending (16,3%), dan obligasi (11,5%). Mengenai pertimbangan memilih jenis investasi tersebut, responden kompak menjawab bahwa ini sudah sesuai dengan profil risiko (48,8%), baru belajar (24,4%), rekomendasi teman (10,4%), dan paling familiar (8,1%).

Aplikasi investasi terpopuler

Kami turut menanyakan aplikasi apa yang digunakan untuk permudah responden dalam berinvestasi. Satu per satu jenis investasi kami tanyakan untuk melihat bagaimana antusiasme responden.

Untuk investasi emas, pilihan tertinggi responden jatuh kepada Tokopedia Emas (43,5%). Berikutnya adalah Pegadaian (14,5%), BukaEmas milik Bukalapak (12,2%), dan Bareksa dan Tamasia (5,3%). Sementara untuk investasi reksa dana, pilihan terbanyak responden adalah Bibit (32,9%), Ajaib (26,4%), Tokopedia (19,3%), BukaReksa (11,4%), dan Xdana (3,6%).

Aplikasi p2p lending yang banyak dipilih responden adalah KoinWorks (44,1%), Akseleran (14,7%), Amartha dan Asetku (11,8%). Sementara untuk platform equity crowdfunding, pilihan responden tertinggi adalah Santara (50%) dan Crowddana (35,7%).

Untuk aplikasi investasi saham, pilihan tertinggi jatuh pada Stockbit (30,1%) dan MOST Mobile Mandiri (22,6%). Berikutnya aplikasi investasi properti yang mendapat pilihan tertinggi adalah PropertiLord (40,9%) dan LandX (27,3%).

Terakhir, untuk aplikasi pembelian obligasi yang dirilis pemerintah, seperti rangkaian seri ORI dan SBR, responden memilih membeli dari aplikasi mitra bank (54,2%) dan aplikasi mitra fintech (45,8%).

Survei Awareness Penggunaan Platform Digital Untuk Investasi / DailySocial
Survei Awareness Penggunaan Platform Digital Untuk Investasi / DailySocial

Profil pengguna

Pertanyaan berikutnya ke responden adalah pertimbangan saat memilih platform untuk berinvestasi. Jawaban tertingginya adalah sudah terdaftar di OJK (86,6%), banyak fitur yang memudahkan (57,9%), dan tampilan simpel / mudah (49,8%).

Responden mengaku aplikasi ini sudah dipakai antara 3-12 bulan (43,1%), antara 1-3 bulan (26,8%), dan lebih dari 12 bulan (23,9%).

Terkait kebiasaan berinvestasi, responden mengaku bahwa mereka mengalokasikan 1%-10% dari pendapatannya untuk berinvestasi (43,5%), 10%-20% dari pendapatan (35,9%), dan tergantung dari sisa dana di rekening (11%).

Mayoritas responden mengatakan bahwa mereka paham tiap investasi yang diambil sudah disesuaikan dengan tujuannya (63,6%). Meskipun demikian, ada juga yang mengatakan belum tahu tujuan karena masih coba-coba (36,4%). Tujuan investasi lain dari responden adalah untuk membeli rumah (36,8%) dan biaya pendidikan anak (19,5%).

Dalam mendapatkan informasi seputar investasi, responden mengaku mengandalkan sumber yang didapat dari media sosial (52,2%), aplikasi rekomendasi investasi (19,6%), dan kanal berita online (11%).

Kami turut menanyakan rekomendasi jenis investasi dari responden kepada investor yang baru terjun ke dunia investasi. Jawaban terbanyak adalah emas (43,5%) dan reksa dana (33,5%). Alasan mereka adalah jenis ini punya nominal dan risiko rendah (59,3%) dan punya imbal hasil menarik (19,1%).

Pengaruh pandemi

Pandemi yang berlangsung sejak Maret turut menjadi poin yang kami telaah lebih lanjut, apakah ada perubahan cara berinvestasi. Untuk itu kami menanyakan apakah responden melakukan rebalancing investasi.

Persentase perbandingan jawaban yang diberikan cukup tipis, antara mengurangi investasi (36,8%) dan meningkatkan investasi (34%). Alasan mereka rebalancing adalah risiko yang lebih aman sesuai kondisi terkini (40,8%), harga (saham) yang sedang murah (32,4%), dan prospek cerah di masa depan (19,7%).

Untuk mereka yang meningkatkan investasi, persentase dana yang disiapkan naik antara 1%-5% (46,5%), antara 5%-10% (32,4%), dan di atas 10% (21,1%). Jenis investasi yang ingin mereka tingkatkan adalah emas (33,8%), saham (31%), dan reksa dana (28,2%).

Untuk yang mengurangi investasi, persentase dana yang siap dialihkan antara 1%-5% (42,9%), antara 5%-10% (37,7%), dan di atas 10% (19,5%).


Disclosure: Artikel ini didukung oleh platform market research Populix.

Survei DailySocial dan Populix mencari sejumlah aplikasi hiburan populer selama pandemi. Meski konsumsi meningkat, industri hiburan sendiri sedang berjuang

Menengok Sederet Aplikasi Hiburan Terpopuler Selama Pandemi

Sebagai bagian terakhir rangkaian survei DailySocial dan Populix, kami mengangkat kategori aplikasi hiburan yang paling banyak diakses pengguna smartphone selama pandemi. Dijabarkan lebih jauh, aplikasi hiburan yang kami tanyakan kepada para responden adalah aplikasi media sosial, streaming video, game, dan streaming musik.

Masih menggunakan sampel yang sama, sebelumnya kami menanyakan aktivitas online apa saja yang paling banyak digunakan selama pandemi. Responden meresponsnya dengan jawaban tertinggi adalah aplikasi produktivitas (68%), aplikasi hiburan (66%), dan belanja online (52%).

Dilihat secara berurutan, pilihan responden tergolong naluriah. Di tengah rutinitas baru harus menggunakan berbagai aplikasi produktivitas saat bekerja, mengakses aplikasi hiburan tentunya menjadi obat untuk mengurangi kepenatan.

Pertanyaan pertama yang kami tanyakan adalah kegiatan apa yang sering digunakan untuk mendapatkan hiburan? Mereka memilih aplikasi media sosial (79%), aplikasi streaming video (67%), aplikasi game (63%), aplikasi streaming musik (44%), lainnya (3%).

Ditelusuri lebih jauh untuk aplikasi media sosial, pilihan tertinggi responden jatuh pada Instagram (88%), lalu disusul Facebook (76%), Twitter (42%), TikTok (25%), dan lainnya (4%). Responden yang memilih Instagram, menyebutkan mereka mengakses aplikasi tersebut setiap harinya paling banyak 1 s/d 3 jam (39%) dan 3 s/d 5 jam (24%).

Untuk Facebook, mayoritas responden mengaksesnya selama 1 s/d 3 jam (39%) dan kurang dari 1 jam (29%). Detil lainnya kami cantumkan ke dalam infografis.

Pertanyaan kedua, kami menanyakan perihal aplikasi streaming video yang digunakan responden. Kebanyakan dari mereka memilih YouTube (94%) untuk menikmati konten video. Pilihan berikutnya adalah Netflix (42%), Viu (36%), iflix (32%), Hooq (28%), Vidio (25%), GoPlay (14%). Lalu, Genflix (11%), HBO Go (11%), KlikFilm (9%), Amazon Prime Video (8%), Catchplay (8%), lainnya (2%).

Kami juga menanyakan berapa waktu yang dihabiskan saat mengakses aplikasi tersebut. Mayoritas responden mengaku 1 s/d 3 jam (41%) dan kurang dari 1 jam (23%). Dalam mengakses aplikasi, responden mengatakan bahwa mereka mengakses versi gratis (60%), baru disusul bayar mandiri (37%), dan premium benefit dari provider internet (33%).

Alasan mereka memilih aplikasi tersebut yang paling utama adalah kemudahan akses (87%), kelengkapan konten (81%), promo yang diberikan (54%), biaya berlangganan (48%), dan memilih platform lokal (27%). Perangkat yang paling banyak dipakai saat mengaksesnya adalah smartphone (97%), computer/laptop (51%), tablet (18%), dan smart TV (24%).

Pertanyaan ketiga adalah durasi yang dihabiskan saat bermain aplikasi game. Responden paling banyak memilih 1 s/d 3 jam (44%) dan kurang dari 1 jam (31%).

Pertanyaan terakhir adalah aplikasi streaming musik yang paling banyak digunakan responden adalah Spotify (71%), Joox (61%), LangitMusik (27%), SoundCloud (25%), Apple Music (14%), Deezer (13%), Resso (12%), dan lainnya (2%). Durasi terbanyak yang dihabiskan responden adalah 1 s/d 3 jam (35%), dan kurang dari 1 jam (30%).

Temuan lainnya

Turut mendukung hasil survei di atas, rangkuman GDP Venture bertajuk “The Impact of Covid-19 Pandemic” menunjukkan aplikasi game mengalami banyak peningkatan baik dari segi jumlah unduhan dan total konsumsinya.

Mengutip dari berbagai sumber, seperti Agate dan Statista, secara global jumlah unduhan aplikasi game meningkat hingga 39% menjadi 4 miliar unduhan pada Februari 2020. Di Asia saja, kenaikannya mencapai 46% menjadi 1,6 miliar di bulan yang sama. Kenaikan tersebut diprediksi terus meningkat, seiring pandemi yang belum menunjukkan tanda perlambatan.

Pencapaian tersebut mendongkrak permintaan iklan di aplikasi game naik 100% untuk kuartal pertama tahun ini. Jam tertinggi akses aplikasi game terjadi pada jam 5 sore hingga jam 8 malam. Angka ini merepresentasikan selesainya jam kerja kebanyakan orang.

Dari sumber yang berbeda, untuk melihat kenaikan konsumsi di aplikasi media sosial, tercatat TikTok menjadi juara dengan kenaikan engagement sampai 27% sepanjang isolasi berlangsung. Kenaikan impresi juga terjadi untuk Instagram sebesar 22%, sementara angka pengguna aktif di Twitter dan Facebook naik 15%. Penurunan justru terjadi di LinkedIn sebesar 26% untuk pencariannya.

Khusus untuk aplikasi streaming video, laporan dari Brandwatch menyatakan, pilihan platform yang dinikmati adalah Netflix (untuk responden yang tinggal di kawasan urban) dan YouTube untuk jawaban paling populer di kalangan responden.

AppAnnie melihat konsumsi video streaming di Indonesia (dalam per jam) secara year to date hingga Maret 2020 mengalami kenaikan 15%.

Moengage Covid Report mencatat platform OTT yang mengalami berkah kenaikan pengguna dikuasai Netflix, iQiyi, V-Live, dan Viu. Kenaikan Netflix di Asia Tenggara didukung pengguna di Indonesia (+16% dalam 30 hari terakhir) dan Malaysia (+35%).

Sementara laporan lainnya, “Southeast Asia Online Video Consumer Insights and Analytics: A Definitive Study by Media Partners Asia”, menyebutkan Vidio paling menikmati “berkah” dibandingkan platform OTT lokal lainnya selama pandemi dan anjuran kerja dari rumah diberlakukan.

Laporan ini mencatat Vidio mengalami kenaikan konsumsi 225% setiap minggunya dalam kurun waktu 20 Januari sampai 11 April 2020. Kenaikan ini menempatkan Vidio sebagai platform OTT berkonsep freemium terdepan di Indonesia.

Kontradiktif

Bisnis aplikasi hiburan, yang terdiri dari berbagai kategori, ini bisa dikatakan sebagai salah satu sektor yang tumbuh hijau di tengah pandemi, seperti yang dilaporkan oleh BCG Henderson Institute. Kebalikannya, industri hiburan yang berbasis offline justru jadi sektor yang paling menderita, seperti industri film, musik, dan event.

Karena tidak ada acara yang dibuat, terpaksa banyak tenaga kerja di industri ini ada yang “dirumahkan” sembari putar otak agar tetap bertahan. Sebenarnya ada solusi untuk menyelamatkan mereka, yakni migrasi ke platform online. Akan tetapi, pengalaman yang dirasakan penonton tentu tidak akan sama ketika mereka datang ke acara konser tersebut, misalnya.

Isu lainnya adalah, belum meratanya infrastruktur internet. Lancarnya koneksi adalah privilege buat orang-orang yang tinggal di perkotaan.

Meski tumbuh subur, pemain aplikasi juga ada yang melakukan layoff bahkan gulung tikar, seperti yang dialami iflix dan Hooq. Faktor pemicunya bukan dari pandemi, melainkan keputusan internal yang dipengaruhi persaingan pasar streaming video yang ketat.


Disclosure: Artikel ini didukung oleh platform market research Populix.