Tag Archives: Poshu Yeung

SVP Tencent Cloud International Poshu Yeung / Tencent Cloud

Fokus Bisnis dan Ekspansi Layanan Tencent Cloud di Asia Tenggara

Cloud computing atau komputasi awan telah merevolusi cara bisnis menyimpan, mengelola, dan memproses data. Dengan infrastruktur yang dapat diskalakan dan model penetapan harga yang hemat biaya. Hal tersebut telah menjadi pilihan yang semakin populer bagi perusahaan yang ingin meningkatkan infrastruktur teknologi informasi. Asia Tenggara pada khususnya dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat dan populasi yang tergolong “tech-savvy”, merupakan wilayah yang memiliki potensi besar dari penerapan cloud computing atau komputasi awan.

Dalam laporan yang dirilis DSInnovate dan Alibaba Cloud Indonesia bertajuk From Self-built to Cloud Native, Why Do Startup Choose Cloud? terungkap, bisnis digital saat ini dituntut untuk bisa untuk menghadirkan aplikasi dengan kinerja yang andal. Pertumbuhan pelanggan semakin sulit untuk diprediksi; ketika pertumbuhan terjadi dan sistem tidak siap, bisa menghasilkan retensi pengguna yang buruk.

Terlepas dari tantangan tersebut, potensi cloud computing di Asia Tenggara cukup signifikan. Dengan pertumbuhan ekonomi di kawasan ini dan meningkatnya permintaan layanan digital, komputasi awan kemungkinan akan memainkan peran yang semakin penting dalam transformasi digital di Asia Tenggara.

Fokus pengembangan Tencent Cloud di Asia Tenggara

Perwakilan Tencent Cloud / Tencent Cloud

Sebagai salah satu platform cloud computing dari Tiongkok, Tencent Cloud mencoba menghadirkan teknologi dan layanan yang relevan secara global.

Dalam sesi temu media di Singapura beberapa waktu lalu, SVP Tencent Cloud International Poshu Yeung mengungkapkan, fokus awal perusahaan adalah mengembangkan layanan dan teknologi untuk Tiongkok. Namun saat ini perusahaan juga mulai melakukan ekspansi di luar Tiongkok terutama di wilayah Asia Tenggara. Mulai dari Hong Kong (Macau), Thailand, dan tentunya Indonesia.

“Pada dasarnya adalah wilayah Asia Tenggara, karena menurut saya Asia Tenggara saat ini sedang mengalami proses skip generation, jadi mereka melewati one big step dan saat ini mereka melihat perlunya melakukan adaptasi dan adopsi teknologi secara cepat.”

Salah satu keuntungan utama komputasi awan adalah skalabilitas. Karena bisnis di Asia Tenggara terus tumbuh dan berkembang, mereka membutuhkan infrastruktur TI yang dapat mengikuti perubahan kebutuhan. Komputasi awan memungkinkan bisnis dengan cepat dan mudah meningkatkan atau menurunkan sumber daya TI mereka sesuai kebutuhan, tanpa harus berinvestasi dalam hardware dan software yang mahal.

Ditambahkan olehnya lokalisasi kemudian menjadi fokus perusahaan. Dalam hal ini sebelum melancarkan bisnis mereka di negara tertentu, sudah mengikuti aturan dari regulator terkait dan memastikan compliance atau kepatuhan sudah dijalankan secara akurat hingga 100%.

“Kita sudah menjalankan bisnis di Thailand, demikian juga di Indonesia. Secara menyeluruh di wilayah Asia Tenggara kami juga terus mengalami pertumbuhan. Tercatat Tencent Cloud telah mengalami pertumbuhan hingga 3 digit di Thailand dan Indonesia,” kata Poshu.

Membangun dua data center di Indonesia

Sejak tahun 2021 lalu Tencent Cloud sudah membangun dua data center di Indonesia. Perusahaan juga mengklaim masih terus membina relasi dan bekerja dengan pihak terkait di Indonesia, dengan menempatkan tim lokal. Pemain lain yang juga sudah mulai menggelontorkan investasi untuk membangun pusat data di Indonesia adalah Alibaba, Amazon, dan Google.

Sebagai platform yang memiliki konten dalam jumlah yang cukup besar, kehadiran Tencent di Indonesia selama ini telah diperkuat dengan WeTV dan iflix Indonesia. Kedua aplikasi tersebut kini dikelola Tencent, dan menempatkan Lesley Simpson sebagai Country Manager WeTV dan iflix Indonesia.

Disinggung apakah ke depannya Tencent Cloud akan lebih memfokuskan kepada pengembangan konten media seperti VOD hingga OTT di Indonesia. Menurut Poshu hal tersebut merupakan salah satu kekuatan Tencent Cloud, dilihat dari potensi dan demand dari platform OTT di Indonesia.

Ukuran pasar layanan media di wilayah APAC diproyeksikan mencapai $6.9 miliar pada tahun 2026, dengan CAGR sebesar 27% selama empat tahun ke depan. Selain itu, permintaan untuk solusi audio dan video diperkirakan akan meningkat di berbagai industri hilir, dengan sektor e-commerce menunjukkan CAGR terbesar di antara sektor lain termasuk game online, media dan hiburan, perusahaan, dan layanan kesehatan.

“Memanfaatkan pengalaman Tencent selama dua dekade dalam melayani dan menghubungkan lebih dari satu miliar pengguna di seluruh dunia pada platform yang berhubungan dengan konsumen, Tencent Cloud berada dalam posisi yang kuat secara strategis untuk membantu perusahaan mencapai immersive convergence, sebuah konsep yang menggabungkan teknologi dan pendekatan inovatif mengintegrasikan ekonomi digital dan dunia nyata untuk koneksi tanpa batas,” kata Poshu.

Poshu Yeung, VP International Business Group Tencent / Tencent

Tiga Tahun JOOX di Indonesia, Mengambil Pelajaran dari “Kegagalan” Peluncuran WeChat

Tiga tahun lalu Tencent memulai kehadiran JOOX di Indonesia sebagai usaha kedua memasuki pasar negara ini, setelah sebelumnya “gagal” dengan WeChat.  Kini bisa dibilang JOOX adalah layanan hiburan, tak hanya musik, terdepan. Survei DailySocial sendiri menyebutkan JOOX sebagai aplikasi streaming musik terpopuler di Indonesia pilihan responden.

Kami berkesempatan berbicang dengan Poshu Yeung, Vice President International Business Group Tencent, tentang kondisi JOOX saat ini, pengalaman yang diambil dari kegagalan peluncuran WeChat di Indonesia, dan bagaimana potensi pengembangan JOOX ke depannya.

Tim lokal

Menurut Poshu, saat ini praktis pesaing JOOX di Indonesia di sektor musik hanya Spotify, karena Apple Music terbatas digunakan oleh pengguna platform Apple. Dalam lingkup lebih besar, pesaing JOOX adalah YouTube sebagai sebuah platform hiburan. Dibanding Spotify, JOOX memiliki keunggulan karena memiliki tim lokal. Spotify sendiri memang hanya memiliki kantor regional di Singapura.

Poshu menegaskan JOOX bukan sekedar platform streaming musik, melainkan platform hiburan. Di dalamnya ada konten karaoke,  video, bahkan peer-to-peer. Saat ini jumlah pengguna berbayarnya sangat kecil jika dibandingkan pengguna layanan gratisnya. Menurut Poshu, konversi pembayaran untuk barang-barang digital secara umum di Indonesia kurang dari tiga persen. Meskipun demikian potensinya sangat menarik. Disebutkan secara rata-rata pendengar Indonesia mendengarkan musik 72 menit per hari.

Musik adalah model bisnis yang sulit

Poshu mengakui segmen musik adalah model bisnis yang sulit, karena struktur model bisnis yang sudah dibangun oleh perusahaan rekaman. Ia menyebutkan pihaknya akan terus mendorong pelanggan untuk menjadi pelanggan berbayar, karena mereka lebih aktif dalam menggunakan layanan. Meskipun demikian, menurutnya masih banyak hal yang bisa dilakukan.

[Baca juga: Online Music Streaming Survey in Indonesia – 2018]

“Kami rasa masih banyak yang kami bisa lakukan di sisi streaming bebas dalam bentuk uji coba berbagai model bisnis. Model bisnis di sini bukan berarti cuma sekedar iklan. Iklan hanya salah satu cara untuk memperoleh uang. Setelah tiga tahun, kami beruntung masih bisa bertahan hidup [sebagai layanan].”

Pelajaran dari kegagalan WeChat

Sebelum JOOX, Tencent sempat mengalami kegagalan ketika memasukkan WeChat ke Indonesia. Menurut Poshu, yang juga ikut terlibat membidani masuknya WeChat ke Indonesia, hal paling penting adalah pelokalan.

“Kami melokalkan banyak hal untuk produk internasional. JOOX adalah yang pertama buat kami benar-benar memiliki banyak mitra lokal, konten lokal, dan itu adalah hal yang membuat perbedaan.”

Meskipun demikian, tidak cuma soal isu lokal, Poshu menekankan juga pemahaman soal pasar. Pasar Indonesia tidak hanya soal Jakarta. Mereka juga ingin merengkuh pasar besar di luar Jakarta.

Application Information Will Show Up Here