Tag Archives: Prelo

Teddy Oetomo mengatakan startup unicorn di Indonesia sudah mulai menganggap posisi CSO sebagai hal penting

Teddy Oetomo tentang Posisi CSO, Strategi M&A, dan Potensi IPO Bukalapak

Salah satu orang baru yang direkrut Bukalapak di jajaran manajemen tahun ini adalah Chief Strategy Officer (CSO) Teddy Oetomo. Memiliki gelar PhD di bidang Ekonomi dari Universitas Sydney, Teddy berlatar belakang pengalaman belasan tahun di industri finansial, khususnya investment banking.

Dalam sebuah artikel di tahun 2007, Harvard Business Review menjelaskan posisi CSO sebagai “mini CEO”, seseorang yang memiliki mandat, credential, dan keinginan untuk melakukan eksekusi sekaligus sebagai penasihat.

DailySocial berkesempatan berdiskusi lebih lanjut tentang apa makna posisi ini, mengapa Teddy kini berkiprah di industri digital (khususnya melalui Bukalapak), dan bagaimana strategi Bukalapak dalam melakukan sinergi dengan pihak ketiga (termasuk dalam strategi M&A).

Teddy menyebutkan startup unicorn di Indonesia sudah mulai menganggap posisi CSO sebagai hal penting. Tidak bisa semua peranan dipegang oleh seorang CEO, apalagi bisnisnya kini tidak hanya di satu lini bisnis.

“Kalau perusahaan sudah besar, tidak mungkin semua role dipegang satu orang. Di Bukalapak juga sama. [..] Strategi itu kadang butuh diam, take a step back, jangan diganggu. Kalau tidak, tidak bisa berpikir,” ujarnya.

Teddy menyebutkan corporate finance dan corporate communication menjadi bagian yang diurusinya. Termasuk di dalamnya adalah M&A yang akhir-akhir ini menghangat. Tahun ini Bukalapak mulai agresif menjalankan strategi M&A, meskipun cara yang ditempuh terbilang cukup unik.

Menjadi bagian Bukalapak

Teddy mengaku sudah cukup lama mengenal investor signifikan di startup yang didirikan Achmad Zaky, M. Fajrin Rasyid, dan Nugroho Herucahyono ini. Menurutnya, Bukalapak adalah tipe perusahaan yang menawarkan real time result untuk hasil-hasil kerjanya, berbeda dengan perusahaan multinasional yang memang membutuhkan waktu untuk memperoleh hasil secara menyeluruh.

“Jadi mungkin personal satisfaction-nya beda. Selain itu dengan pengalaman di capital market selama 17-18 tahun, sudah saatnya saya mencari pengalaman baru,” ujar Teddy.

Teddy melanjutkan, “Bukalapak selalu menyebutkan diri empowering SME. Are we really empowering SME?”

Fokus Bukalapak kini mulai beralih ke bisnis O2O, memanfaatkan jaringan mitra Bukalapak yang berjumlah 300 ribuan di seluruh Indonesia. Teddy menganalogikan bisnis O2O ini sebagai empowering SME 2.0.

“Bukalapak bukan omdo [omong doang -red]. Memang benar-benar passion para Co-Founder-nya mau empower SME secara real. Tidak gampang mengajari ibu-ibu penjaga warung [menggunakan platform ini]. Tidak cuma kesabaran, juga perlu dedikasi. Yet they did it. Itu mungkin sebuah pembeda yang luar biasa bagi saya.”

Strategi sinergi

Teddy menyebutkan tidak ada strategi khusus dalam bersinergi dengan pihak lain. Saat ingin mengakuisisi pihak lain, Bukalapak disebut melihat dari sisi bisnis, kontrak, dan orang-orang di balik bisnis tersebut.

Rule untuk bisa berhasil di startup itu dinamis. Semua perusahaan yang kita lihat [ingin berkolaborasi], kepentingannya berbeda-beda. Semuanya custom made. Tugas kita adalah bagaimana membuat satu tambah satu lebih dari dua.”

Terkait aksi korporasi terhadap Prelo, Teddy mengatakan, “Prelo agak special case, karena merupakan sebuah perusahaan yang punya target yang komplemen, punya founder yang skill-nya berbeda. Oleh karena itu Founder Prelo, Fransiska PW Hadiwidjana, menjadi Head of Business di Bukalapak [yang membawahi bisnis O2O].”

It’s multilayer reason [ketika melakukan aksi terhadap Prelo]. Shareholder Prelo mendapatkan fee, tapi mereka masih ada [di struktur perusahaan]. Ini adalah struktur yang kompleks. Detailnya tidak saya disclose [termasuk soal kepemilikan Bukalapak di Prelo], karena kalau [kompetitor] sampai tahu soal strukturnya, jadi tahu Bukalapak ingin ngapain. Mungkin 1-2 tahun lagi kita disclose,” lanjutnya.

Teddy menyebutkan tahun ini Bukalapak sudah melakukan 3 deal, dengan target hingga akhir tahun mencapai 5 deal. Ia memastikan Prelo tetap eksis sebagai suatu bisnis, tapi tidak mau mendetailkan bagaimana operasional di dalamnya.

“Strukturnya sengaja dibikin unik supaya win-win buat semua pihak.”

Potensi pendanaan atau IPO

Teddy mengatakan, jika tanpa ada growth, Bukalapak bisa profit dalam waktu 18-24 bulan ke depan. Pendanaan, jika dibutuhkan, akan disesuaikan dengan arahan perusahaan untuk mendukung growth, baik sisi organik maupun anorganik. Anorganik dalam hal ini berbentuk M&A.

Bukalapak disebut telah mencoba melakukan use case skenario ini tahun lalu. Hasilnya perusahaan hanya tumbuh 100%, sementara saat ini mereka tumbuh sebanyak 200%. Teddy memastikan mereka sudah menyiapkan cost structure untuk memastikan semua skenario bisa terpenuhi.

Terkait IPO, ia menyebutkan, “Apakah kita [Bukalapak] pasti IPO? Pasti IPO. Kapan? When we are ready. [..] Kalau kita sudah IPO, publik akan mendengarkan soal [skema bisnis] O2O dua tahun yang lalu, bukan dua bulan yang lalu, karena itu menjadi kewajiban untuk disclose informasi. Itu yang bikin repot, sedangkan industri kita gerilyanya masih banyak. Inovasi kan kalau sudah mapan [artinya] bagus, kalau masih uji coba dan tiba-tiba ada yang berkompetisi, inovasinya malah tidak jadi. Sama-sama rugi karena [bisa] terjebak price war dan sebagainya.”

“Kita akan IPO ketika kita bisa men-deploy inovasi kita dengan yakin [mampu berkompetisi] setiap kali ada kompetitor.”

Mengunggulkan O2O

Skema bisnis berbasis O2O yang sudah dijalankan sejak dua tahun lalu kini menyumbang 20% GMV bagi perusahaan. Teddy menampik bahwa skema ini mengganggu skema distribusi tradisional. Justru ia mengklaim perusahaan distributor FMCG berlomba-lomba untuk bermitra dengan Bukalapak.

“Mereka bekerja sama karena information flow yang Bukalapak punya [untuk penyaluran distribusi] akurat. Mereka bisa menjalankan kapasitas operasional secara optimal [berdasarkan data distribusi tersebut] dengan cost yang lebih rendah. Itulah mengapa banyak distributor talking to us. Actually we are empowering the distributor, not disrupting.”

Application Information Will Show Up Here
Bukalapak made a strategic step by acqui-hiring Prelo

Bukalapak “Acquires” Prelo’s Talents and Technology

Bukalapak has taken a strategic step this year by performing acquihire acquiring Prelo’s talents and technology. We’ve been informed that Fransiska Hadiwidjana, Prelo’s Founder, is now Bukalapak’s Head of Business.

There’s no further information following this strategic step, whether Prelo will be closed or keep running independently. Prelo’s operation is still active by the time this article is published.

Teddy Oetomo, Bukalapak’s Chief Strategy Officer, confirmed to DailySocial, “Bukalapak didn’t acquire Prelo, we only acquire the talents with unique and special skills according to Bukalapak’s requirements.”

“Sorry, we can’t share the further plan or strategy just yet,” he said.

This isn’t Bukalapak’s first acquisition or acquihire. Previously, M. Fajrin Rasyid, Bukalapak’s Co-Founder and President, explained that they had begun to acquire several software houses (in terms of acquihire).

On the occasion, he said the company is on progress to explore the acquisition of e-commerce players which already synergised and Prelo was one of the first target. Prelo and Bukalapak have similar C2C market segment.

Prelo is a marketplace for pre-loved or secondhand items. Prelo is based in Bandung and Bukalapak has already opening R&D center in the region.

Update: Bukalapak insists the correct term is “a creative scheme to acquire Prelo’s talents and technology”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here
Bukalapak melakukan langkah strategis dengan melakukan acquihire terhadap Prelo

Bukalapak Lakukan “Akuisisi Terhadap Talenta dan Teknologi” Prelo

Layanan marketplace Bukalapak melakukan langkah strategisnya tahun ini dengan melakukan acquihire “akuisisi terhadap talenta dan teknologi” Prelo. Informasi yang kami peroleh memastikan Founder Prelo Fransiska Hadiwidjana kini menjadi Head of Business Bukalapak.

Belum ada informasi lebih lanjut tentang nasib Prelo sebagai bisnis pasca langkah strategis ini, apakah akan ditutup atau tetap berjalan secara independen. Juga siapa saja talenta yang mengikuti jejak Fransiska. Saat tulisan ini dimuat, situs Prelo masih aktif beroperasi.

Kepada DailySocial, Chief Strategy Officer Bukalapak Teddy Oetomo mengonfirmasi, “Bukalapak tidak mengakuisisi Prelo, namun kami hanya mengakuisisi talenta-talenta dari Prelo yang memiliki talenta unik  dan istimewa yang sesuai dengan kebutuhan Bukalapak.”

“Mohon maaf terkait rencana maupun strategi ke depan kami belum bisa share,” ujarnya.

Ini bukanlah skema akuisisi atau acquihire pertama yang dilakukan Bukalapak. Sebelumnya Co-Founder dan President Bukalapak M. Fajrin Rasyid menjelaskan bahwa pihaknya sudah mulai melakukan akuisisi terhadap beberapa software house.

Di kesempatan tersebut Fajrin menyebutkan, pihaknya tengah dalam tahap penjajakan akuisisi terhadap pemain e-commerce yang bersinergi dengan perusahaan dan tampaknya Prelo yang menjadi sasaran pertamanya. Prelo dan Bukalapak memiliki segmen pasar yang beririsan sebagai marketplace C2C.

Prelo merupakan marketplace yang memiliki semangat memerangi barang palsu dengan menghadirkan platform jual beli barang-barang pre-loved atau barang tangan kedua. Prelo berbasis di Bandung dan kebetulan tahun ini Bukalapak membuka pusat R&D baru di Kota Kembang ini.

Update: Bukalapak bersikukuh langkah yang diambil bukan merupakan akuisisi atau acquihire, melainkan “skema kreatif” untuk mengakuisisi talenta dan teknologi Prelo

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Kleora Pivot Menjadi Prelo, Berjuang di Pasar Produk Tangan Kedua

Bisnis e-commerce di Indonesia memang menggiurkan. Selain banyak sekali potensi dari sisi konsumen secara umum, masih besar juga kesempatan yang ada dari beragamnya pasar niche yang masih bisa dieksplorasi. Salah satu yang coba mengeksplorasi peluang tersebut adalah Prelo. Startup hasil pivot Kleora ini berusaha bersaing untuk sukses di sektor niche barang pre-loved, atau barang tangan kedua.

Salah satu semangat yang diusung oleh Prelo adalah memerangi peredaran barang palsu. Minimal dari layanan yang mereka kembangkan, Prelo memastikan bahwa barang-barang yang ada di sistem mereka merupakan barang asli yang berkualitas.

Founder Prelo Fransiska Hadiwidjana menyebutkan pihaknya memiliki mekanisme tersendiri untuk memastikan kualitas barang yang mereka sajikan. Kurasi sendiri dilakukan oleh tim internal Prelo dengan membandingkan dengan barang sejenis di domain publik.

Fransiska menjelaskan:

“Proses kurasi barang di Prelo dilakukan oleh tim internal, dengan membandingkan barang yang diunggah dengan barang serupa di public domain, berdasarkan keterangan barang berupa merek, model, dsb. Proses ini dilakukan secara semi-otomatis, yang melibatkan kurasi. Pengetahuan terkait barang-barang KW dan tidak ini sendiri juga terus diperkaya melalui dialog dengan komunitas barang tersebut, misalnya dengan komunitas sneakers seperti Converse, di mana mereka memberikan instruksi lebih lanjut terkait pengecekan yang perlu dilakukan untuk membedakan barang autentik dengan barang KW.”

Selain itu, Prelo juga memberikan insentif pada pengguna untuk mengunggah barang autentik (via pemberian batch The Authentic Club) dan juga untuk melaporkan barang apabila ditemukan kecurigaan, via fungsi report dan juga pemberian badge The Inspector.

Prelo lebih siap

Sejak dimulai pada tahun 2015, startup yang berasal dari Bandung ini tercatat telah memfasilitasi transaksi senilai lebih dari 1 juta dolar AS. Kini Prelo yang menurut data internal telah memiliki puluhan ribu pengguna aktif setiap bulannya dan memiliki 200.000 produk yang tersedia dalam platform.

“Dari segi ide, Prelo sama baiknya dengan Kleora. Namun perbedaan terbesar terletak pada faktor eksekusinya. Kleora dibangun dengan terburu-buru, sehingga menyebabkan banyak permasalahan teknis. Sebaliknya, Prelo dibangun dengan fondasi yang solid. Sehingga, menambahkan fitur baru bukanlah hal yang sulit. Setiap produk dikurasi dengan cermat dan memiliki kualitas yang tinggi. Bagaimana pun juga, ideas are cheap and execution is hard,” jelasnya.

Fransiska juga menjelaskan bahwa Prelo memiliki tujuan untuk bisa menyediakan tempat jual beli barang bekas yang berkualitas. Di tahun 2017 ini Prelo memiliki target untuk bisa memperbesar basis penggunanya di samping itu Prelo juga fokus pada branding dan marketing.

“Banyak strategi yang Prelo terapkan untuk mendapatkan pengguna sesuai dengan target market-nya, baik online dan offline. Untuk online, beberapa strategi misalnya melalui fitur kode referral di mana user dapat mengundang user lain untuk mendapat bonus, untuk offline misalnya melalui berbagai kegiatan komunitas,” pungkas Fransiska.

Application Information Will Show Up Here