Tag Archives: privilese

Latar belakang keluarga pendiri perusahaan teknologi dapat berpengaruh pada akses terhadap modal hingga jaringan koneksi.

Inovator Teknologi Terkemuka (Sayangnya) Tidak Pernah Benar-benar dari Nol

Kisah para pengusaha sukses yang berjuang dari bawah adalah pengantar motivasi esensial bagi mereka yang ingin menempuh jalan serupa. Determinasi untuk tidak menyerah dengan keadaan merupakan resep utama dalam tiap kisah tersebut. Namun dalam technopreneurship, situasinya berbeda. Seringkali mereka yang mengecap sukses di bidang ini memiliki modal yang lebih dari sekadar semangat pantang menyerah.

Perjalanan Steve Jobs misalnya seringkali jadi contoh ideal bagi kebanyakan technopreneurship tentang bagaimana determinasi kuat akan membuahkan hasil. Besar di keluarga kelas menengah di California, Amerika Serikat, Jobs akhirnya berhasil mendirikan Apple. Meskipun banyak masalah yang harus ia hadapi setelahnya, Jobs tetap dikenal sebagai seseorang yang dikagumi di bidangnya.

Kisah Steve Jobs ini jamak ditemui di rak-rak kewirausahaan toko buku atau artikel-artikel di internet. Ganti namanya dengan Bill Gates, Elon Musk, Jeff Bezos, Mark Zuckerberg, atau bahkan Nadiem Makarim, khalayak dapat menemukan kisah epik serupa. Namun tak banyak yang tahu bahwa kesuksesan mereka tadi tak berdiri sendiri karena usaha mereka. Ada faktor lain yang tak kalah besar pengaruhnya seperti latar belakang keluarga.

Privilese

Kita dapat memulai dari Nadiem sebagai pendiri Gojek. Nadiem adalah anak dari pengacara terkemuka Nono Anwar Makarim dan Atika Algadri yang merupakan putri dari perintis kemerdekaan Hamid Algadri. Dari keluarga ayahnya, Nadiem memiliki paman bernama Zacky Anwar Makarim yang berkarier di militer dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. Sedangkan dari pihak ibu ia punya paman Maher Algadri, seorang pengusaha dari Kodel Group.

Pendidikan cemerlang Nadiem di Universitas Harvard mengikuti jejak langkah ayahnya. Di kampus itu pula ia bertemu dengan Anthony Tan dan Tan Hooi Ling yang kemudian mendirikan Grab dan menjadi rivalnya dalam berbisnis. Sama seperti Nadiem, Tan pun punya privilese yang melekat sejak lahir.

Terima atau tidak, status Nadiem yang lahir dan besar dengan sendok perak di meja makan memungkinkannya merengkuh pendidikan tinggi hingga berhenti dari pekerjaannya untuk mendirikan Gojek. Dalam kalimat lebih sederhana: seseorang dapat lebih leluasa menjadi kreatif ketika mereka memiliki jaring pengaman sehingga lebih berani mengambil risiko.

Peneliti asal Perancis Francoise Bastie, Sylvie Cieply, dan Pascal Cussy mengatakan ada dua modal berbeda untuk menjadi pengusaha seperti Nadiem atau Anthony yakni modal sosial dan finansial. Modal sosial lebih menitikberatkan kepada latar belakang kewirausahaan jaringan. Sementara modal finansial condong dimanfaatkan untuk merebut atau melanjutkan kesuksesan.

“Cara mereka menyikapi risiko menjelaskan mengapa orang-orang yang memiliki jaringan kewirausahaan cenderung membangun startup baru,” tulis para peneliti itu.

Jalan terjal

Lalu pertanyaannya, apakah mereka yang berasal dari keluarga sederhana, tanpa privilese lebih seperti yang dimiliki oleh Nadiem atau Anthony, dapat menembus manisnya bisnis teknologi? Jawabannya tentu bisa namun dengan kemungkinan yang kecil.

Hasil studi Smeru Institute yang dimuat dalam laporan Asian Development Bank Institute (ADBI) pada September 2019 menyimpulkan 87% anak-anak yang berumur 8-17 tahun pada 2000, lahir dan besar di keluarga miskin, memiliki pendapatan yang lebih rendah ketika dewasa dibanding mereka yang tidak miskin saat anak-anak.

Mayang Rizky, Daniel Suryadarma, dan Asep Suryahadi sebagai penyusun laporan menyoroti tujuh mendiator yang dapat menjelaskan hubungan kemiskinan pada anak-anak dengan pendapatan mereka saat dewasa kelak. Dalam mediator pertama laporan ini menemukan, meski anak-anak dari keluarga miskin berpendidikan dan punya kemampuan matematika yang sama dengan anak yang tak miskin, pendapatannya tetap lebih rendah. Setelahnya mereka turut menghitung tingkat stres, koneksi dalam mendapatkan pekerjaan, dan kesehatan. Mediator tersebut mendapati bahwa anak-anak dari keluarga miskin ternyata tetap memperoleh pemasukan pas-pasan saat dewasa.

“Jadi apa? Ini yang kami tidak dapat pastikan. Bisa mindset. Bisa koneksi di sekolah. [Menurut] McKnight (2015): tetap ada unexplained additional advantage dgn hidup di keluarga non-miskin. Dampaknya: pendapatan lebih besar pada saat dewasa. Perlu studi lebih lanjut,” ujar Daniel lewat akun Twitter pribadinya.

Cerita Ricky Yean, CEO startup PRX, mungkin dapat mewakili temuan studi tersebut. Ricky adalah pria kelahiran Taiwan dan kini mengadu nasib di Silicon Valley. Sang ayah membawa Ricky hijrah ke AS untuk mencari peruntungan. Sebagai imigran, Ricky yang masih remaja melakukan bermacam pekerjaan sampingan untuk menyokong hidup keluarga.

Mengenyam pendidikan selama di AS pun jadi kesulitan tersendiri buat Ricky. Ia gagal mencerna materi di SMA tempatnya belajar meski sudah membaca berulang kali sehingga cuma punya tiga jam untuk tidur. Ricky juga terpaksa menarik uang yang seharusnya dipakai untuk membayar segala macam tagihan untuk mengikuti kelas persiapan ke universitas.

Singkat cerita, Ricky akhirnya diterima di Universitas Stanford. Namun sepanjang kuliahnya di sana, jerat kemiskinan masih menyelimuti Ricky. Ada perbedaan akses terhadap pendidikan yang berkualitas di sekolah sebelumnya antara Ricky dan teman-teman di kampusnya. Ia juga harus berjibaku mencari uang untuk sekadar mengimbangi kehidupan sosial teman-temannya.

Bagi Ricky, lahir dari keluarga miskin dapat berpengaruh ke banyak hal di kehidupan dewasa. Ia menyebut dalam konteks industrinya, para pendiri startup yang lahir dari keluarga miskin cenderung kurang percaya diri dibanding mereka yang punya privilese.

“Sekarang bayangkan berjalan memasuki kantor VC bersaing dengan anak seperti itu. Dia begitu yakin akan mengubah dunia dan itu akan ia perlihatkan dalam presentasinya. Kalian tidak bisa mengarang kepercayaan diri semacam itu di tempat,” tulis Ricky.

Meski saat ini sudah berada di jalan yang lebih baik lewat startup yang ia rintis, Ricky belum sepenuhnya lepas dari efek kemiskinan yang ia derita di masa mudanya. Untuk mempekerjakan orang baru saja ia mengaku butuh waktu lama sampai berakhir membuat keputusan.

“Aku juga sadar bedanya memiliki sumber daya bawaan. Aku tidak punya ‘uang teman dan keluarga’. Justru aku mengirim uang bulanan ke ayah dari pendapatan yang tak seberapa dari startup yang aku dirikan,” imbuhnya.

Privilese dalam industri teknologi itu nyata. Mereka yang lahir dari keluarga berpunya punya modal awal yang lebih baik ketimbang para pendiri startup macam Ricky Yean. Mendirikan startup itu mahal dan mereka yang punya kekayaan dari keluarganya akan melangkah lebih cepat ketimbang mereka yang tidak.