Tag Archives: product market fit

Product Market Fit: Pengertian, Tahapan, Cara Mengukur Keberhasilan, dan Contohnya

Sebuah perusahaan tidak hanya sukses ketika mencapai target penjualan. Produk atau jasa yang secara tidak langsung “dijual” atau direkomendasikan oleh banyak orang juga bisa menjadi salah satu faktor kesuksesan. Namun untuk melakukan itu, kamu harus melalui tahapan Product Market Fit. Untuk lebih memahami apa itu Product Market Fit dan informasi penting yang terkandung di dalamnya, kamu bisa menyimak artikel berikut ini.

Apa Itu Product Market Fit?

Product Market Fit adalah konsep atau skenario dimana pelanggan perusahaan ingin membeli, menggunakan dan menyebarkan informasi tentang produk. Tentu saja, jika ini terjadi pada banyak pelanggan perusahaan, kondisi ini dapat membantu perusahaan tumbuh dan meningkatkan keuntungannya.

Konsep ini awalnya dibuat dan dikembangkan oleh Marc Andreessen, seorang pengusaha Amerika yang juga merupakan investor terpercaya. Menurutnya, product market fit adalah suatu kondisi jika perusahaan sudah ada di pasar dan memilih kelompok pelanggan yang tepat bergantung pada penawaran produk. Dengan begitu mereka puas dan ingin orang lain mencoba juga.

Tahapan Dalam Melaksanakan Product Market Fit

1. Menentukan target pasar

Hal pertama yang perlu kamu lakukan adalah menentukan target pasar yang sesuai dengan produk atau jasa yang ditawarkan. Suatu produk atau jasa bisa berhasil jika target pasar atau pelanggan tepat sasaran. Mencari target pasar yang cocok atau sesuai harus dilakukan melalui segmentasi pasar.

2. Mengidentifikasi kebutuhan pelanggan

Saat membuat produk, harus dibuat sesuai dengan kebutuhan pengguna. Apakah produk tersebut dapat memenuhi kebutuhan pelanggan atau tidak. Kemudian, pelanggan memutuskan apakah produk tersebut masuk akal bagi mereka atau tidak.

3. Tentukan proposisi nilai produk

Proposisi nilai ini adalah rencana kamu tentang bagaimana produk atau layanan kamu dapat membantu memenuhi kebutuhan pelanggan dengan lebih baik dibandingkan dengan produk atau pesaing produk kamu yang sudah ada. Selain itu, value proposition juga berguna dalam memberikan fitur yang bisa menjadi brand produkmu, sehingga memudahkan pengguna untuk mengingatnya. Kamu juga perlu fokus pada beberapa hal yang dapat berdampak besar bagi pelanggan mu.

4. Desain MVP

MVP adalah setidaknya satu produk atau prototipe yang layak yang dapat diproduksi sesuai dengan produk yang dipasarkan. Tujuannya untuk mengetahui apakah produk yang dipasarkan memiliki dampak langsung kepada pelanggan. Agar tidak menghabiskan terlalu banyak waktu untuk pengembangan, kamu bisa lebih fokus pada nilai utama yang ingin kamu tawarkan.

5. Buat poin MVP

Kembangkan MVP dalam format yang dapat diterima oleh pelanggan. Selain itu juga memenuhi value proposition dan fitur yang sesuai dengan kebutuhan pengguna. Umumnya, bentuk sederhana ini bisa dari segi desain produk, dan pengalaman pengguna sesuai dengan proposisi nilai.

6. Lakukan eksperimen

Setelah MVP siap, langkah terakhir adalah menjalankan pengujian. Eksperimen ini dilakukan pada pengguna atau pelanggan yang cocok dengan target pasar. Saat bereksperimen, penting untuk mendapatkan umpan balik dari pelanggan tentang prototipe.

Cara Mengukur Keberhasilan Product Market Fit

Setelah menyelesaikan langkah-langkah tersebut, kamu juga perlu mengetahui cara mengukur keberhasilan langkah-langkah tersebut.

• Net promoter score (NPS)

Untuk mengetahui apakah produk yang diluncurkan dapat mencapai hasil yang sesuai dapat diukur dengan kepuasan pelanggan atau Net Promoter Score. NPS ini membantu mengumpulkan umpan balik pelanggan tentang produk yang telah kamu luncurkan. NPS ini juga dapat membantu menentukan minat pelanggan tersebut untuk merekomendasikan produk kepada orang lain.

Jika skor NPS cukup rendah, diperlukan identifikasi dan solusi untuk meningkatkannya. Biasanya, perusahaan yang berhasil dalam Product Market Fit memiliki nilai NPS sekitar 50.

• Churn rate dan retention rate

Keduanya adalah metrik yang digunakan untuk mengukur apakah perusahaan kamu telah mencapai kecocokan pasar produk atau tidak. Semakin tinggi tingkat perputaran, semakin rendah kepuasan pelanggan. Pada saat yang sama, jika tingkat retensi cukup tinggi, maka kepuasan pelanggan juga baik. Tingkat retensi ini juga sesuai dengan jumlah orang yang terus menggunakan produk setelah penggunaan pertama. Acuan standar yang umum digunakan untuk turnover ratio adalah sekitar 5%. Namun, hal ini tetap bergantung pada jenis usaha yang dijalankan.

• CLV atau customer lifetime value

Metrik ini berguna saat kamu ingin melihat pendapatan rata-rata yang dapat dihasilkan oleh satu pelanggan yang menggunakan produk mu. Jadi jika pelanggan menggunakan produkmu untuk waktu yang lama, keuntungannya juga lebih tinggi.

• Bounce Rate

Bounce rate ini adalah ukuran apakah suatu produk cocok atau cocok untuk produk atau pasar perusahaan. Dengan kata lain, bounce rate yang tinggi berarti pengguna meninggalkan produk kamu tanpa interaksi lebih lanjut. bounce yang ideal, setidaknya kurang dari 60%.

• Growth rate

Beberapa orang mungkin percaya bahwa jika bisnis yang dikelola dapat tumbuh, itu bisa disebut berhasil atau berada di jalur yang benar. Namun, perlu juga dipahami apa yang dapat menyebabkan peningkatan ini. Jika pertumbuhan dapat ditelusuri kembali ke investasi pemasaran, seseorang tidak dapat berbicara tentang kecocokan produk-pasar yang sukses.

Contoh Product Market Fit

Netflix adalah contoh perusahaan yang telah mencapai product market fit dan berhasil mempertahankannya dari tahun ke tahun.

Awalnya, Netflix adalah layanan persewaan DVD untuk orang-orang yang berlangganan layanannya. Namun, seiring berjalannya waktu, ia beradaptasi dan berubah untuk menawarkan layanan yang lebih murah dan nyaman daripada yang kita kenal sekarang.

Artinya, Netflix menyesuaikan produknya dengan kebutuhan pasar dan memastikan pelanggannya senang dengan apa yang mereka dapatkan sehingga terus berlangganan setiap bulan.

Demikianlah penjelasan product market fit. Bukankah betapa berguna dan pentingnya konsep product market fit untuk menjalankan bisnis?

Pijar Foundation mengumumkan program akselerator Lestari untuk membidik startup potensial bekerja sama dengan korporasi dan perusahaan incumbent

Program Akselerator “Lestari” Incar Startup Potensial Bermitra dengan Korporasi

Yayasan Pijar Masa Depan (Pijar Foundation) mengumumkan kehadiran program akselerator “Lestari” untuk membidik startup potensial bekerja sama dengan korporasi dan perusahaan incumbent di level nasional maupun internasional. Program ini menargetkan startup dari vertikal digital infrastructure and tech, environmental and sustainable tech, future food, sustainable energy, fintech, dan lainnya untuk bergabung sebagai peserta.

Dalam keterangan resmi, Direktur Lestari Pijar Foundation Cynthia Krisanti menuturkan bahwa melalui program akselerator ini pihaknya ingin mendorong pertumbuhan dan perkembangan inovasi berbasis teknologi di Indonesia. Caranya dengan mendemokratisasi kesempatan implementasi inovasi-inovasi di ekosistem bisnis yang telah terbentuk, sehingga mempercepat startup baru untuk mencapai titik product-market fit.

Perusahaan yang telah mapan ini akan menjadi wadah bagi startup untuk uji coba produk di tengah pasar secara lebih cepat dan terukur. Sementara itu bagi korporasi incumbent akan diuntungkan dengan berbagai informasi, uji coba, dan terobosan-terobosan baru di lini bisnisnya secara lebih cepat, sehingga mereka dapat beradaptasi mengikuti perkembangan inovasi disruptif.

“Selain akses terhadap ekosistem bisnis, Lestari juga akan memperluas kesempatan untuk perusahaan-perusahaan rintisan untuk mendapatkan pendanaan dari private maupun public investors. Ekonomi digital akan menjadi kunci dari pertumbuhan ekonomi Indonesia,” kata Cynthia, Selasa (26/7).

Dari data yang ia kutip, pada 2025 mendatang ekonomi digital Indonesia diperkirakan mencapai total $146 juta. Tidak hanya itu, data Asian Development Bank di 2019 memprediksi transformasi berbasis teknologi dapat mendorong pertambahan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar $2.8 triliun di 2040.

Agenda kegiatan

Dengan konsep yang berbeda dari program akselerator kebanyakan, Lestari ingin menjadi sebuah hub dan akselerator startup dengan inisiatif teknologi yang merangkul tren, peluang, dan tantangan masa depan. Dengan menghubungkan inovator unggulan dengan para pemangku kepentingan di ekosistem untuk menumbuhkan kolaborasi serta mengakselerasi disrupsi positif di masyarakat.

“Bersama dengan inovator, mitra korporat, pakar dan pemain industri, serta mentor, Lestari menciptakan dampak konkret untuk mengubah masa depan bersama. Lestari berkomitmen memaksimalkan kolaborasi gagasan, inovasi, dan kebijakan terbaik, guna menghadapi tren, tatanan, dan peluang masa depan.”

Sejauh ini, jaringan mentor Lestari telah mencapai lebih dari 50 profesional yang ahli di berbagai bidang. Lestari pun mengembangkan model program berdasar riset best-practice akselerator-akselerator global yang telah disesuaikan disertai dengan pengalaman timnya di level nasional maupun internasional.

Dirinci lebih jauh, batch pertama program Lestari akan berlangsung selama enam bulan. Dalam dua bulan pertama, startup akan menjalani pra-program bersama 20 venture, kemudian berlanjut dari bulan ke-3 hingga ke-5 untuk menjalankan program akselerasi bersama 10 perusahaan yang telah bergabung. Lalu, pada bulan ke-6 atau bulan terakhir akan digunakan untuk monitoring dan evaluasi.

Langkah Lestari mendapat dukungan dari dua kementerian di Indonesia. Dalam sambutannya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia
Airlangga Hartarto menyoroti jumlah startup rintisan ini berkembang semakin pesat di Indonesia. Menurutnya, hingga Juli 2022, tercatat 2.391 startup berasal dari Indonesia, di antaranya terdapat dua decacorn dan delapan unicorn.

Dia menilai potensi perusahaan rintisan pada ekonomi digital 2021 sebesar Rp146 triliun dan pada 2030 naik delapan kali lipat menjadi Rp4.531 trilliun. Airlangga pun memaparkan peran Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dalam pertumbuhan startup ini adalah mendukung ekosistem yang berkelanjutan. Beberapa cara yang ditempuh ialah program inkubasi dan akselerasi startup seperti program Lestari oleh Pijar Foundation.

“Kehadiran startup-startup yang terus membawa inovasi ke masyarakat harus didukung oleh semua pihak, baik swasta maupun pemerintah. […] Untuk mendukung ekosistem yang berkelanjutan di bidang startup, ada beberapa cara yang ditempuh di mana salah satunya adalah program inkubasi dan akselerasi startup. Karena itu, saya sangat menyambut baik inisiatif yang dilakukan oleh Pijar Foundation dengan program Lestari yang akan dijalankan,” ujar Airlangga.

Selain Lestari, Pijar Foundation juga memiliki dua program lainnya. Yakni, Future Skills, untuk melatih & menajamkan keterampilan para calon inovator masa depan demi menghadapi tren dan tantangan di masa mendatang dan Global Future X,  untuk mengembangkan kebijakan yang berorientasi pada masa depan manusia dan alam dengan membangun peta jalan yang terarah, serta menjadi forum pertukaran gagasan.

Validari Produk Startup

Bagaimana Startup Memvalidasi Produk Menurut Perspektif Nicko Widjaja

Validasi produk adalah langkah awal yang penting bagi startup dan tidak boleh terlewatkan sebelum melanjutkan ke tahapan berikutnya. Perjalanan untuk menemukan product-market fit sebenarnya tidak berhenti titik tertentu, melainkan terus berlanjut dan berkala sesuai dengan perkembangan dinamika pasar.

Tiap startup memang punya kisahnya masing-masing saat memvalidasi produknya. Berkat bertemu dengan banyak startup, investor juga punya perspektif yang menarik untuk dikulik lebih jauh soal ini. Untuk membahasnya lebih jauh, dalam sesi ini mengundang CEO BRI Ventures Nicko Widjaja sebagai super mentor webinar DSLaunchpad 3.0 x AWS.

Validasi produk bukan proses singkat

Nicko menjelaskan, validasi produk itu artinya ingin menyelesaikan masalah dengan solusi yang diciptakan dan dipakai oleh orang yang tidak dikenal dan mau untuk membayarnya. Untuk mencapai titik tersebut, butuh waktu yang tidak sebentar karena perlu iterasi terus menerus agar terus sejalan dengan kebutuhan konsumen.

Kesalahan terbesar yang sering ia lihat adalah ambisi startup yang terlalu besar, misalnya sebagai solusi satu atap untuk satu ekosistem. Ia menyarankan sebaiknya dimulai dari hal terkecil terlebih dulu, namun berangkat dari masalah yang nyata dan punya dampak sosial yang besar.

Salah satu contoh terdekatnya adalah bagaimana bisnis ride hailing bisa tumbuh dari awalnya ingin meningkatkan produktivitas pengemudi ojek dapat menerima banyak penumpang, hingga kini dapat menjadi kurir makanan, paket barang, dan sebagainya.

Impact ini baru terasa ketika validasi produk itu berjalan dan ini enggak satu step saja tapi multiple steps. Setelah use case pertama selesai, muncul validasi ide kedua. Setelah berhasil mengoptimalkan idle time pengemudi, muncul isu pembayaran yang memicu validasi produk soal wallet, ternyata banyak pengemudi yang enggak punya uang kembalian. Tapi saat itu use case-nya masih sangat sedikit, ini yang akhirnya perlu dibuktikan.”

Hal yang sama juga terjadi buat startup healthtech untuk produk telemedisnya. Sebelum pandemi, fitur tersebut memiliki use case yang sangat sedikit karena orang masih awam dengan fungsinya. Namun hal tersebut terbalik saat pandemi dan menjadi validasi terbaik untuk telemedis. Ia pun juga melihat bahwa keberhasilan validasi produk itu juga bergantung pada faktor timing, keberuntungan, dan series of events.

“Akhirnya saat ini telemedis berkembang pesat, enggak hanya di situ tapi juga industri pendukungnya. Ada juga insurance, fintech, dan edutech yang berkembang pesat saat ini. Efeknya dari validasi produk yang berhasil itu akan begitu besar dampaknya ke depan.”

Dia melanjutkan, “Sebenarnya yang saya lihat dari validasi produk itu adalah tahapan di mana semua asumsi kita di tes dan apabila kita berhasil membuktikan ini valid, apa yang bisa dilakukan setelah ini. Sebab, jarang sekali startup bangun sesuatu yang benar-benar di luar dari apa yang dia bangun dari core product-nya.”

Asumsi musuh terbesar founder

Menurut Nicko, asumsi adalah musuh terbesar bagi seorang founder. Sebab, validasi produk adalah moment of truth yang membuktikan bahwa asumsi yang dituangkan founder dalam deck dan dipresentasikan ke investor itu benar atau salah. Pasang asumsi terlalu tinggi pun tidak baik karena dapat berdampak buruk, paling parah startup bubar. Oleh karenanya, ketika asumsi salah, founder harus menerima kenyataan tersebut dan perlu bergerak cepat untuk mengubah strateginya.

“Jelas sekali metriknya bukan lihat jumlah apalagi masih di tahap awal. Sebab bicara jumlah itu baru bisa dilakukan ketika masuk Seri B karena membicarakan skalabilitas. Jadi yang penting jumlah tidak perlu tinggi, tapi convertion rate-nya yang tinggi. Karena kalau enggak ada convertion, berarti validasinya salah. Convertion itu rasio, bukan jumlah, ini yang sering orang lupa,” kata dia.

Dalam mengukur validasi produk banyak metrik yang bisa dipakai, namun menurut Nicko, jangan sampai metrik tersebut membuat founder jadi fanatik. Misalnya, founder ingin memakai indikator MAU, itu diperbolehkan asalkan juga memakai take rate, untuk melihat bottom line-nya seperti apa. Atau memakai indikator GTV yang modelnya seperti website traffic, itu tidak apa-apa kalau pengunjung lihat-lihat dulu. Tapi yang penting harus ada convertion rate. “Intinya jangan sampai metrik itu membohongi diri sendiri,” tutup Nicko.

Validasi Produk Wahyoo

Perjalanan Wahyoo Memvalidasi Produk untuk Pengusaha Warung Makan

Validasi produk adalah langkah penting bagi startup tahap awal yang tidak boleh terlewatkan sebelum melanjutkan ke tahapan berikutnya. Perjalanan untuk menemukan product market fit sebenarnya tidak berhenti titik tertentu, melainkan terus berlanjut dan berkala sesuai dengan perkembangan dinamika pasar.

Tiap startup punya perjalanan masing-masing saat memvalidasi produknya, Wahyoo juga punya cerita sendiri terkait hal ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, Founder & CEO Wahyoo Peter Shearer akan berbagi pengalamannya saat memvalidasi produk di Wahyoo pada sesi rangkaian program inkubasi DSLaunchpad ULTRA.

Berawal dari startup periklanan untuk warung makan

Wahyoo awalnya berdiri karena keinginan Peter untuk merevitalisasi warung makan agar semakin enak dilihat sehingga dapat dipakai brand untuk beriklan secara offline. Segmen ini dilirik Peter tak lain karena ia punya pengalaman pernah bekerja untuk perusahaan agensi. Hingga 1,5 tahun sejak awal berdirinya Wahyoo, ia mengaku belum menerapkan teknologi apapun karena fokusnya saat itu yang berbeda jauh dengan perkembangan saat ini.

Setelahnya, tim Wahyoo banyak melakukan diskusi dengan pemilik warung makan apa saja yang sebenarnya mereka butuhkan adalah rantai pasok. Ketika isu ini diangkat, mereka langsung berupaya mengatasinya lewat bermitra dengan pihak ketiga, toh perusahaan belum memiliki tim teknologi sendiri. Alhasil, semuanya dilakukan secara outsource.

“Wahyoo agak unik karena kita bukan menyiapkan teknologi dari awal, makanya enggak ada MVP. Kita sempat kewalahan karena pakai outsource tidak full time, jadi setiap ada feedback dari konsumen prosesnya lamban. Situasi ini memaksa kita untuk jalan dulu yang penting order ke kita, sampai akhirnya operasional kita berantakan banget,” ujarnya.

Situasi tersebut akhirnya teratasi berkat akuisisi Wahyoo terhadap Alamat.com. Dari situ, Wahyoo kini memiliki tim teknologi dan produk yang dapat membuat laju Wahyoo lebih lancar sebagai startup teknologi.

Setelah isu rantai pasok teratasi, kebutuhan pemilik warung makan juga ikut bertambah. Mereka butuh tambahan penghasilan di luar dagangan makanannya, Wahyoo pun bermitra dengan brand F&B untuk memperluas channel penjualnya. Berikutnya, menambahkan fitur layanan finansial untuk membantu cashflow mereka saat mengembangkan usahanya.

“Berangkat selalu dari masalah dulu, apa yang mereka butuhkan. Lalu kita buat produk dan minta validasi dari mereka, pelajari responsnya. Kami juga ingin memastikan apakah ada impact dari setiap hal yang kami lakukan karena kami ingin warung makan ini bisa sejahtera, cost efficient, generate more revenue, dan menyelesaikan financial issue-nya.”

Selalu memerhatikan metrik

Peter menekankan validasi produk itu harus dilakukan karena bisa membantu menghemat pengeluaran, baik dari segi waktu dan uang. Sekaligus cara untuk mitigasi risiko startup tersebut tutup. Pasalnya, banyak teori yang menyebut dari 10 startup hanya satu yang berhasil, sisanya gagal, itu disebabkan oleh ketidakhadirannya product market fit.

“Kita pasti ingin produk kita keren, dicari banyak orang, bahkan ekstremnya apakah ada kemungkinan konsumen bisa demo kalau produk kita tidak ada. Kalau ada impian seperti itu, maka perlu lakukan validasi pasar.”

Untuk membantu validasi, Wahyoo menggunakan metrik retensi dan kontribusi margin. Peter menjelaskan untuk retensi, mengingat target pengguna Wahyoo itu cukup unik, maka perlu proses edukasi yang harus dilakukan agar mereka menjadi pengguna setia.

Dalam mempertahankan kedua metrik tersebut, Wahyoo mendesain aplikasinya dengan fitur-fitur pendukung, seperti daily check-in, tantangan, dan sebagainya untuk menumbuhkan rasa ketergantungan dengan Wahyoo. Perusahaan pun juga memerhatikan seberapa sering konsumen memesan produk lewat Wahyoo, mengingat model bisnis utama mereka adalah pemesanan produk untuk rantai pasok.

“Kita ingin mereka sesering mungkin buka aplikasi Wahyoo dan rajin belanja. Makanya kita buat fitur daily check-in, ada macam-macam tantangan juga, ini untuk make sure lewat fitur ini bisa tumbuh behaviour untuk pakai aplikasi kita terus.”

Kemitraan dengan brand juga diperbanyak, agar pemilik warung bisa menambah sumber pendapatan dari penjualan lainnya. Terlebih dalam di tengah pandemi ini, kebutuhan tersebut makin tinggi. Peter menyampaikan, omzet dari 100 mitra warung yang disurvei turun drastis antara 25%-75% semenjak PPKM diberlakukan. Dampak paling drastis dirasakan oleh warung makan yang berlokasi dekat perkantoran dan kampus.

“Kita terus memikirkan bagaimana dapur itu tetap ngebul, makanya sekarang ini penting punya online presence. Jadi pandemi itu bagi kita bagai blessing in disguise,” pungkasnya.

Co-Founder & CEO Mekari Suwandi Soh dalam sesi DSLaunchpad ULTRA

Cerita Proses Validasi Pasar Mekari, Mulai dari Sleekr hingga Keputusan Konsolidasi

Di tengah pasar yang kompetitif dan serba tidak pasti, pengusaha dituntut untuk sangat berhati-hati dengan langkah-langkah yang diambil untuk memulai sebuah bisnis. Sebelum berbicara mengenai sustainability atau status “unicorn”, seorang founder harus bisa lebih dulu memvalidasi ide startup mereka.

Terkait hal tersebut Co-Founder & CEO Mekari Suwandi Soh berbagi banyak dalam sesi webinar DSLaunchpad ULTRA pekan lalu.

Dalam perjalanan kariernya, ia sempat menjajal banyak bidang seperti quality assurance, consulting productivity, dan business process improvement. Sebelum pada tahun 2014, ia mulai melihat peluang untuk bisnis software dalam membantu meningkatkan kinerja sumber daya manusia atau human resources (HR) pada perusahaan. Mimpi awalnya adalah untuk mendigitalkan semua proses manual dan repetitif dalam lingkup HR. Ia ingin mengembangkan solusi teknologi untuk mengubah cara kerja HR yang dinilai masih sangat konvensional.

Berawal dari proyek akhir pekan, Sleekr solusi HR berbasis cloud yang awalnya hanya digunakan untuk internal perusahaan, resmi diluncurkan untuk publik di tahun 2015. Selama beroperasi beberapa tahun, platform tersebut berhasil mencapai sejumlah milestone hingga akhirnya memutuskan untuk melakukan konsolidasi dengan beberapa startup yang kini dikenal dengan Mekari.

Fokus pada area kompetensi

Ketika pertama kali melihat peluang dalam industri HR, ada banyak sekali masalah yang bisa diangkat, seperti manajemen kinerja, pelatihan karyawan, gaji, dan sebagainya. Pada saat itu, Suwandi yang masih bekerja full-time di perusahaan sebelumnya merasa tidak bisa mencakup semuanya dalam satu waktu. Maka dari itu, ia memutuskan untuk mengangkat masalah yang paling sering ditemukan dan sesuai dengan kompetensi timnya. Dalam hal ini adalah employee database dan time-off.

“Agak berbeda dengan B2B software, kita tidak bisa melakukan bare minimum. Masalah dalam ranah HR ada banyak, maka dari itu, dalam mengembangkan software ini kita cari masalah yang paling bisa kita build, yaitu employee database, dan yang umum ditemui di semua perusahaan adalah time-off. Setelah itu baru expand,” ujar Suwandi

Karena Sleekr saat itu adalah proyek akhir pekan dan masih bootstrapping, Suwandi sendiri mengaku ada banyak hal yang harus dipelajari untuk bisa sampai pada product/market fit. Dengan jaringan investor, ia belajar menyusun pitch deck dan mulai membuat konsep produk. Setelah mencapai traksi yang signifikan dan diterima pasar, baru ia mulai fokus. Dalam validasi pasar, traksi bisa berupa adopsi fitur dan kemauan membayar atau willingness to pay.

Di masa awal pengembangan produk, Suwandi mengaku ingin lebih dulu menyasar pasar global. Hal ini didasari oleh kecenderungan masyarakat Indonesia yang masih belum mau merogoh kocek untuk solusi teknologi. Namun, seiring perjalanan ia menemukan fakta bahwa ini hanya masalah segmen seperti apa yang disasar.

Mengenai target market global, Suwandi turut mengungkapkan,”Hal itu memang menarik, jarang ada produk SaaS asal Indonesia mencapai hasil signifikan di luar. Namun, yang harus diperhatikan adalah kita harus realistis dengan kompetensi engineering di Indonesia. Jika punya keyakinan dan kompetensi tinggi, maka tidak ada yang tidak mungkin,” tambahnya.

Aktif berinteraksi dengan pengguna

Dalam proses menemukan pasar yang tepat, diperlukan komitmen yang juga kuat. Suwandi mengakui, di masa awal produknya rilis untuk publik, ia juga bekerja sebagai customer support. Ia berinteraksi langsung dengan pengguna dan mengamati setiap prosesnya. Dari situ ia mempelajari kebiasaan pengguna dan fitur seperti apa yang memegang peran dan yang tidak signifikan.

“Kita sebagai founder bisa ambil peran sebagai customer support beberapa lama sampai punya tim yang bisa dipercaya, itu merupakan area yang sangat vital.”

Pada beberapa perusahaan, sebelum mengembangkan produk, akan ada tim yang ditugaskan untuk melihat seperti apa kebutuhan pengguna. Mereka akan menemui sejumlah pengguna dan berdiskusi. Itu merupakan proses validasi yang pertama. Setelah produk dikembangkan, ada banyak alat bantu untuk mendapatkan data. Dari situ akan dilihat isunya seperti apa dan estimasi waktu untuk bisa menemukan product/market fit.

Pentingnya relasi yang baik dengan pengguna kembali dicetuskan Suwandi ketika menjawab salah satu pertanyaan terkait pergerakan inovasi di dunia startup yang serba dinamis, ia mengatakan bahwa sulit untuk bisa menjaga inovasi untuk tidak ditiru oleh pemain lain. Namun satu hal yang penting adalah seberapa besar pemahaman kita terhadap pengguna. “Fitur bisa ditiru tapi pemahaman pengguna susah ditiru.” sebutnya.

Kembali pada visi dan misi

Di tahun 2019, Sleekr meresmikan konsolidasi dengan tiga startup, yaitu Talenta, Jurnal, dan Klikpajak. Ketika itu timnya menyadari bahwa software HR belum menjadi prioritas pada banyak bisnis. Ada kebutuhan lebih mendesak seperti accounting atau pembukuan. Mereka mulai mempertimbangkan bundle yang sesuai dan mencari produk yang juga relevan. Pada saat itu visi mereka bukan lagi fokus ke HR tapi lebih ke business operating system.

Tidaklah mudah untuk menyatukan lebih dari dua perusahaan dengan visi dan misi masing-masing, namun keempat perusahaan ini berhasil menyesuaikan berbagai aspek hingga tercipta satu kesepakatan dengan merek baru yaitu Mekari. Mekari sendiri diambil dari satu kata kerja, mekar. “Kita ingin punya peran aktif membuat UKM di Indonesia empowering the progress of business and its people,” tambahnya.

Dalam proses awal melakukan merger ini, terjadi perubahan dari kompetisi jadi konsolidasi. Untuk menghindari terjadinya hal yang tidak diinginkan, perusahaan melakukan meeting internal untuk membahas visi dan misi. Dalam pertemuan itu, dibahas juga ekspektasi serta komitmen masing-masing. Jadi, ke depannya sudah bisa diproyeksikan seperti apa. Begitu juga dengan yang lain, semua harus disepakati di awal. Suwandi menegaskan meskipun bukan pembicaraan yang nyaman, tapi penting untuk dilakukan sejak awal.

Terkait masa depan Mekari, Suwandi mengungkapkan, “Visi kita adalah menjadi bisnis platform yang bisa memberdayakan bisnis-bisnis di Indonesia. Yang ingin kita capai adalah agar Mekari bisa ada di semua bisnis di Indonesia. Definisi kesuksesan kita adalah ketika pengguna bisa meningkatkan produktivitas operasional bisnis menggunakan software kita.”

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here
Alamanda Shantika

Mempelajari Lika-liku Pencarian Masalah dan Solusi Bersama Alamanda

Menghidupi kewirausahaan digital di masa ini mungkin jadi pilihan karier yang menarik. Sistem kerja yang menuntut serbacepat dan penuh inovasi menjadikan pilihan bekerja di sektor ini cukup menantang.

Sumber inovasi bisa datang dari mana saja, namun asal datangnya masalah bisa lebih banyak lagi. Founder & CEO Binar Academy Alamanda Shantika berbagi cerita mengenai seluk-beluk pemecahan masalah yang terjadi di startup. Alamanda berbagi ilmunya tersebut dalam #SelasaStartup kali ini.

Kreatif mengidentifikasi masalah

Pepatah bilang, ilham datangnya bisa dari mana pun. Ini diamini betul oleh Alamanda. Suatu hari Alamanda datang ke kantor bank mengurus keperluannya. Dalam kunjungannya itu dia juga disodori banyak sekali produk perbankan yang menurutnya jelas tidak relevan untuk seseorang sepertinya.

“Melihat itu saya sebagai pelanggan jadi kesal karena saya tahu bankir itu lagi mikirin targetnya. Akhirnya yang dia lakukan tebar jaring ke semua orang. Ok target kita penting, tapi jangan jadikan itu sebagai patokan yang didewakan. Yang kita dewakan itu customer. Dengan kita mengerti pelanggan day to day, inovasi akan muncul,” ujar Alamanda.

Namun telaah masalah itu tak bisa otomatis datang. Perlu asupan pengetahuan yang kuat untuk mengasah daya kritis dan kreativitas dalam mencari masalah. Alamanda menganjurkan mereka yang bekerja di bisnis digital untuk memperkaya diri dengan tren dan fenomena di luar negeri. Hal ini tak lepas dari kenyataan bahwa pendidikan dan teknologi dalam negeri masih cukup jauh tertinggal dengan negara-negara maju lain.

“Simpel aja, kalau kita mau desain kamar pasti kita cari referensi di Pinterest. Itu cara kita bekerja dalam mencari kreativitas, mencari asupan,” imbuhnya.

Sebisa mungkin menyayangi pelanggan

Inovasi adalah jualan wajib dari sebuah perusahaan digital. Apakah inovasi mereka bisa bergerak cepat atau tidak bergantung dari bagaimana mereka memperoleh dan mengolah data dari transaksi pelanggan mereka.

Alamanda percaya berusaha mengenal pengguna layanan sebaik mungkin adalah langkah menuju kesuksesan. Dari data tersebut perusahaan bisa mencari kebutuhan-kebutuhan baru atau yang tak terlihat dari konsumen.

Ia mencontohkan sewaktu masih bekerja di Gojek dan membuat layanan GoFood. Alamanda bercerita membuat produk itu dengan berangkat dari data perilaku konsumen Gojek. Perilaku konsumen ini menjadi kunci karena dari sana mereka menemukan masalah yang mungkin bahkan konsumen Gojek sendiri juga belum menyadarinya.

Contoh lainnya adalah pengalaman Alamanda menghadapi masalah di Binar Academy. Di tempat terakhir ini Alamanda mendapati sistem akademi gratis yang mereka besut ternyata hanya mampu menahan sekitar 50% dari total pendaftar. Setelah menelusuri lebih jauh barulah mereka tahu bahwa mereka yang memilih tidak mengikut kelas sampai akhir punya motivasi yang berbeda. Berangkat dari temuan itu, Alamanda dan tim mengubah sistem.

“Kita udah buang duit untuk customer acquisition, begitu konsumen udah masuk jangan disia-siakan, harus disayang. Jadi fokusnya dua, bagaimana kita jangkau market baru yang enggak tahu Binar tapi yang sudah masuk juga harus dijaga dan dimengerti lebih dalam lagi.”

Prinsip sederhana dalam memvalidasi

Kreativitas tentu perlu dalam mencari masalah dan solusinya. Seperti sudah disebut tadi, data dari perilaku konsumen memegang kunci untuk mendasari munculnya kreativitas tersebut. Lalu bagaimana caranya memvalidasi perilaku konsumen?

Jawaban Alamanda adalah kembali ke prinsip yang paling sederhana yakni pemakaian produk, pertumbuhan, stabilitas, dan margin profit. Adakah yang memakai produk mereka, apakah ada pertumbuhan tiap bulan, apakah pertumbuhan itu stabil, dan yang tak kalah penting bagaimana dengan keuntungannya.

Alamanda menggarisbawahi poin terakhir, karena menurutnya ada beberapa startup yang salah kaprah dalam menjalankan roda keuangannya, yang jor-joran bakar duit tapi tak diikuti dengan profit margin yang jelas.

“Aku sesederhana itu aja karena itu yang ingin aku ubah mindset tentang orang-orang bikin startup. Sekarang kan aku di Mandiri Capital juga. Duit investor itu bukan berarti kita bakar-bakar kemudian tidak punya COGS (cost of goods sold) dan pendapatan yang jelas. Duit investor ini harusnya lebih untuk mengembangkan tools yang kita perlukan,” pungkas Alamanda.

Coffeeshop’s Creative Strategies Amid the Tight Market Competition

Coffeeshop business becomes very mushrooming for the past few years. More brands are coming and the competition rate is getting higher than ever. Eventually, each player is required to create innovation for loyal customers. Are you expecting some tips?

In order to provide you with some answers, #SelasaStartup has invited Janji Jiwa’s Founder & CEO, Billy Kurniawan as a speaker. Janji Jiwa is a coffeeshop with grab-and-go concept. Since its first debut two years ago, Janji Jiwa has expanding its branches into 800 outlets throughout Indonesia, thanks to the partnership program. Here’s an exerpt of the session:

Clarify the motive, is it passion or just following the “hype”

For some young entrepreneurs who grow interests in the coffee industry, he suggests them to clarify whether this is a passion or just another trend-following act. He thought this is one essential foundation before they can step further into the next process, such as going on research, supplier-hunting, exploring ways of roasting, to the pricing area.

When you follow your passion, you can have special added value to a certain brand. The coffee alone, he continued, still has large opportunity for exploration.

Simply put, coffee is one of Indonesia’s main commodity with such great followers. Everybody, of all ages, social status, gender, can have a certain market for each brand.

“Therefore, discover the identity first and do market research for the right target. Coffee needs personal attachment, a philosophic story. Janji Jiwa, it’s all about passion, we present for those in need for a company to achieve their passion,” he said.

If only for the trend, without particularly strong passion in the coffee industry, it’ll be harder for brand to stay in the game. In fact, the target is to compete among brands and provide an added value other competitors’ can’t afford.

Regarding competition, if you only desired to win, it’ll only lead to a price war. The quality and other components must be put aside in order to provide a cup of cheap coffee.

Create a product-market fit

In the food and beverages (FnB) industry, a product-market fit is required to produce a result to meet consumer’s demand. Billy recommends us to use the five senses. In terms of sight, make sure the logo represented the inner brand.

In terms of taste, this should be a highlight since the tongue never lies. Next, the touch of its packaging should be made simple, nothing too fancy.

Fourth, the smell tells everything about the coffee’s “aroma”. It’s a key to brew a good coffee for we talk about quality. Last, the hearing about one’s brand acceptance by its consumer, the word-of-mouth will surely travel fast.

“For the new brand, it’s better to first find the market, simply by creating a survey through samples.”

Janji Jiwa always held a routine internal survey for every new product to launch. There will be results on consumer response, is it good-to-go or require improvements.

Once you gain profit, he also suggests focusing on growth. The extra money should turn into investment until the brand sustainable enough.

However, he said to be the leading player is very important and the market competition for the grab-and-go concept is more intense.

No such thing as zero cost, but minimal cost applied

In order to start a new business, Billy highlights the fact that no such thing as zero cost. The coffee business, if adjusted to the target consumer, requires equipment that is not cheap. It’s a form of long-term investment.

He said, Janji Jiwa was founded with an initial capital of Rp70 million. The nominal has included the rental fee for the first outlet at ITC Kuningan, Jakarta. Back then, he wanted to prove whether the hypothesis of grab-and-go coffee shops could really be a real business.

“When you know that the outlet has high traffic, it must do continuous improvement. This means investing in better tools, therefore, consumers not disappointed. ”

In terms of marketing, Janji Jiwa relies heavily on Instagram as a marketing medium. In order to have strong brand awareness and exposure, but thin capital, he decided to collaborate product barter with local brands.

“Creative marketing is important for it should be able to survive with the current capital. Collaboration with local brands such as product barter is better hence giving money is another cost.”

Penetration through online platform

The grab-and-go coffee shop concept has been very supported by the presence of GrabFood and GoFood for online delivery. Billy told the rate has reached 30% of total bookings every day.

This concept can be further strengthened indeed, once the brand has its own application. However, application alone is not enough. It must provide added value for consumers with some features, such as loyalty programs, nearby locations, free merchandise, and so on. “Janji Jiwa is on to that [for application].”

Moving to adjust trends, he continued, is a way to anticipate that a brand is not only limited to its hype. Therefore, Janji Jiwa has released other vertical products for toasts menu.

“We can make sure the synergy between the two brands [Janji Jiwa and Jiwa Toast] can work. Thus, we create our own toast menu, we didn’t use sweet toppings because there are already too many out there.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Billy Kurniawan

Strategi Kreatif Kedai Kopi Bersaing di Tengah Ketatnya Pasar

Bisnis kedai kopi menjadi suatu ranah usaha yang banyak digeluti oleh banyak orang. Semakin banyak brand baru bermunculan, persaingannya otomatis semakin ketat. Pada akhirnya, masing-masing pemain kembali dituntut untuk berinovasi agar tetap mendapat konsumen loyal. Lalu seperti apa kiat-kiatnya?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, #SelasaStartup kali ini mengundang Founder dan CEO Kopi Janji Jiwa Billy Kurniawan sebagai pembicara. Janji Jiwa merupakan kedai kopi yang menggunakan konsep grab-and-go. Sejak didirikan dua tahun lalu, Janji Jiwa kini sudah memiliki 800 outlet di seluruh Indonesia, berkat program kemitraan. Berikut rangkuman hasil diskusinya:

Pastikan apakah passion atau sekadar mengikuti tren

Untuk pengusaha muda yang tertarik terjun ke industri kopi, dia menyarankan untuk memastikan terlebih dulu apakah ini passion atau sekadar ikut tren saja. Menurutnya ini adalah fondasi dasar yang harus diperkuat sebelum melangkah ke proses selanjutnya, seperti riset asal usul kopi, cari supplier, cara roasting, hingga mengatur harga jual.

Apabila sesuai minat, maka ada spesialisasi yang bisa dikembangkan untuk memberikan nilai tambah kepada brand tersebut. Kopi itu sendiri, sambungnya, masih punya ruang yang luas untuk dikembangkan.

Alasannya simpel, kopi adalah salah satu komoditas utama di Indonesia yang peminatnya banyak. Semua orang, dari berbagai kalangan usia, status sosial, jenis kelamin, bisa menjadi pasar tersendiri untuk masing-masing brand.

“Jadi harus cari identitas dulu dan cari tahu market-nya agar tidak salah sasaran. Kopi itu butuh personal attachment, harus ada cerita di baliknya. Kalau Janji Jiwa itu tentang passion, kita mau menemani teman-teman yang sedang mengerjakan sesuatu sesuai passion mereka,” katanya.

Kalau hanya sekadar mengejar tren, tanpa diikuti passion yang kuat di kopi, menurutnya akan susah untuk suatu brand bisa bertahan. Pasalnya, yang pasti diincar adalah bersaing dengan brand dan memberikan kelebihan-kelebihan yang tidak ada di kompetitor.

Sementara kalau hanya ingin bersaing, ujung-ujungnya adalah perang harga. Kualitas kopi dan komponen lainnya harus diturunkan demi menawarkan satu gelas kopi dengan harga murah.

Membuat product market fit

Di industri food and beverages (FnB), juga butuh product market fit untuk mendapatkan produk yang disukai konsumen. Billy merekomendasikan untuk menggunakan lima panca indera. Dari pengelihatan, pastikan logo brand tersebut harus merepresentasikan jati dirinya.

Dari pengecapan, harus mengutamakan rasa karena lidah tidak bisa dibohongi. Lalu, dari peraba, perlu dipastikan dari pengemasannya harus memudahkan konsumen bukan justru merepotkan mereka.

Keempat, indera penciuman berbicara tentang aroma kopi. Aroma adalah kunci terpenting dalam membuat kopi karena berbicara tentang kualitas. Terakhir, pendengaran, ketika suatu brand diterima dengan baik oleh konsumen pasti word of mouth-nya akan kencang.

“Buat brand baru bisa mulai cari tahu market-nya dulu, bisa buat survei sendiri dengan buat sampel-sampel.”

Di Janji Jiwa, secara rutin perusahaan membuat survei internal untuk setiap produk yang akan dirilis. Dari situ akan ada gambaran kasar bagaimana respons konsumen, apakah perlu dilanjutkan atau diperbaiki.

Ketika sudah mendapat profit, dia juga menyarankan untuk fokus ke pertumbuhan. Profit tersebut sebaiknya harus diinvestasi kembali hingga brand tersebut menjadi bisnis yang berkelanjutan.

Lantaran, ia memandang bahwa menjadi pemimpin pasar itu sangat penting dan persiangannya untuk grab-and-go lebih intens.

Tidak ada zero cost, tapi bisa terapkan minimal cost

Dalam rangka merintis bisnis baru, Billy memastikan bahwa tidak ada yang bisa dikatakan sebagai zero cost. Bisnis kopi, bila disesuaikan dengan target konsumen, membutuhkan peralatan yang harganya tidak murah. Itu adalah investasi yang dapat berguna untuk jangka panjang.

Dia bercerita, Janji Jiwa ia didirikan dengan modal awal Rp70 juta. Nominal tersebut sudah masuk biaya sewa untuk outlet pertamanya di ITC Kuningan, Jakarta. Pada saat itu, ia ingin membuktikan apakah hipotesis dari kedai kopi grab-and-go benar bisa menjadi bisnis nyata.

“Ketika tahu outlet tersebut punya traffic tinggi, harus lakukan continous improvement. Artinya harus investasi alat yang lebih bagus agar konsumen tidak kecewa.”

Untuk pemasarannya, Janji Jiwa sangat mengandalkan keberadaan Instagram sebagai media pemasarannya. Agar punya brand awareness dan exposure yang kuat, tapi modal tipis, ia memutuskan untuk melakukan kolaborasi barter produk dengan brand lokal.

Creative marketing itu penting karena harus bisa survive dengan modal yang ada sekarang. Kolaborasi dengan brand lokal, buat barter produk itu lebih baik karena memberikan uang itu adalah cost.”

Masuk ke platform online

Kedai kopi dengan konsep grab-and-go saat ini sangat terbantu sekali dengan kehadiran GrabFood dan GoFood untuk pengiriman online. Billy mengungkapkan porsinya mencapai 30% dari total pemesanan setiap harinya.

Tentunya, konsep ini bisa semakin diperkuat apabila brand tersebut punya aplikasi sendiri. Namun jika hanya menyediakan aplikasi untuk memesan saja, itu tidak cukup. Aplikasi harus memberikan nilai tambah buat konsumen dengan fitur-fitur, seperti program loyalitas, cek lokasi terdekat, free merchandise, dan sebagainya. “Janji Jiwa juga sedang ke arah sana [buat aplikasi].”

Bergerak menyesuaikan tren, lanjutnya, adalah cara antisipasi agar suatu brand tidak hanya menjadi sebatas hype. Oleh karenanya, saat ini Janji Jiwa juga merilis vertikal produk lainnya untuk roti bakar.

“Kita pastikan sinergi antara kedua brand ini [Janji Jiwa dan Jiwa Toast] bisa jalan. Makanya kita buat toast yang kita develop sendiri rasanya, tidak yang topping-nya manis karena sudah banyak yang jual.”

Running Startups Without External Funding

Funding is an essential and integral part of startup operations. Without funding, it is very likely for a startup to lose before competing.

If it says so, then is it possible for a startup to operate without funding? The answer is probably. Fresh funds are obviously substantial for just daily operations or “burn-money” for promotion.

The truth is, startups can do without funding. This is so far the most relevant option for revenue-based rather than growth-based startups. The following are a few steps for those consider running a startup without funding.

Fixed financial planning from an early stage

With this option, financial planning should be fixed from the very beginning. Without funding, startups must have a detailed calculation of whether the revenue earned from consumers will be greater than the cost spent to acquire consumers.

It’s not only for the early startups but also for mature businesses. Moreover, it is important to be aware of the remaining cash. Drastic steps must be taken when there is only enough cash available for operations in the next six months.

Achieve Product-Market Fit

Startups need parameters to find out whether consumers really want to spend on their products or services. It is important for us to know the product can be the best solution for its users.

The problem is that there are no truly scientific parameters for finding product-market fit. But there are three things that can at least be used as indicators, namely product use, customer retention, and sales activities.

There is no such thing as another metric, it’s only profit

Having a product that is widely discussed by the public is certainly good news. But high traffic, positive engagement, can’t possibly become the right substitute for mature sales and marketing strategies.

Such metrics are often become the early startups killer. They are fixated on pursuing something that doesn’t really impact sales or user acquisitions. Another thing to avoid is investing their money and time and resulting in sales and marketing strategy that won’t last long.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian