Game Developers Conference tahun ini berpotensi menjadi ajang yang lebih istimewa dari sebelumnya. Di momen pembukan, Nvidia mengumumkan agenda buat menghadirkan ray tracing di kartu grafis GeForce GTX. Lalu di sesi presentasi Unity, desainer game veteran Warren Spector mengabarkan keikutsertaannya dalam pengembangan System Shock 3. Dan sejak berminggu-minggu lalu, kita tahu Google berencana untuk melakukan penyingkapan besar di sana.
Dan akhirnya resmi sudah. GDC 2019 jadi saksi pengungkapan Google Stadia, sebuah platform hiburan baru berbasis Project Stream yang dapat diakses secara lebih luas – tak cuma dari browser Chrome. Mendeskripsikan Stadia sebetulnya tidaklah sulit, bayangkan saja platform on demand seperti Netflix tetapi menyajikan konten berupa game. Stadia adalah layanan streaming yang mempersilakan Anda menikmati permainan video di perangkat apapun selama internet tersedia.
Dengan Stadia, Google mencoba memberi solusi atas keterbatasan penyajian video game lewat metode konvensional (home console atau PC misalnya). Ia tidak membutuhkan hardware spesialis gaming, tak memerlukan proses instalasi, serta tak ada update maupun patch. Teorinya, setelah jadi pelanggan, Anda bisa langsung bermain.
Kualitas konten
Di era console generasi kedelapan, resolusi 1080p dan 60-frame per detik dianggap gamer sebagai standar minimal penyajian game. Banyak judul sudah bermain-main di tingkat 4K (meski ada kompensasi pada frame rate) dan gamer di PC sudah cukup lama memperoleh akses ke ratusan frame rate per detik berkat dukungan GPU high-end dan monitor dengan refresh rate tinggi. Menggunakan kriteria ini sebagai patokannya, tingkatan kualitas yang ditawarkan Stadia terlihat mengesankan.
Ketika layanan cloud gaming Google itu meluncur nanti, pemainan bisa dijalankan di resolusi 4K dengan 60-frame rate per detik. Setup ini bahkan dapat di-upscale ke 8K dan 120fps jika Anda punya perangkat yang mampu menopangnya. Selain memberikan pengalaman gaming single-player biasa, Stadia kabarnya juga siap menyuguhkan mode multiplayer cross-platform, serta terdapat pula dukungan mode kooperatif split-screen.
Game yang sudah dikonfirmasi
Kolaborasi antara Google dan Ubisoft bukan lagi rahasia. Setelah jadi ‘kelinci percobaan’ di Project Stream, Assassin’s Creed Odyssey dipilih jadi salah satu judul pertama yang menemani peluncuran Stadia. Permainan action-RPG tersebut ditemani oleh game shooter id Software baru, Doom Eternal. Via Stadia, permainan ini siap menghidangkan resolusi maksimal di 3840x2160p dan mampu berjalan di 60-frame per detik.
Dukungan developer dan studio game baru Google
Selain Ubisoft, Google diketahui telah menggandeng sejumlah perusahaan bereputasi tinggi lainnya di industri, misalnya CryTek (developer CryEngine), Tequila Works, dan Epic Games (pencipta Unreal Engine) dalam membangun ekosistem Stadia. Dengan kemunculan nama-nama tersebut, kita bisa menduga akan ada sederet permainan segera memenuhi daftar library-nya.
Bagi saya, langkah paling menarik dari kehadiran Stadia ialah pembentukan studio first-party Stadia Games and Entertainment. Tugasnya mereka adalah mengembangkan permainan-permainan eksklusif di platform game on demand itu. Belum ada proyek baru yang diumumkan, tetapi keseriusan Google dalam bermanuver di gaming terlihat dari sosok yang mereka pilih untuk menahkodainya: Jade Raymond, developer berpengalaman asal Kanada mantan studio head Ubisoft dan Electronic Arts.
Hardware?
Google Stadia bisa bekerja tanpa memerlukan hardware dedicated, dapat diakses dari segala perangkat berlayar – smartphone, tablet, PC desktop ataupun laptop – melalui perpaduan antara dukungan Chrome, Chromecast, dan Google Play. Meski begitu, perusahaan internet raksasa ini sudah penyiapkan periferal khusus seperti yang sempat terungkap dari bocoran informasi minggu lalu.
Garis besar wujud controller Google Stadia menyerupai ilustrasi yang muncul di paten, tetapi desain versi retail-nya lebih baik dan ergonomis. Lewat sesi hands-on, The Verge melaporkan bahwa gamepad mempunyai tubuh ala controller Xbox One S yang ‘mengisi’ genggaman, dikombinasikan dengan layout tombol serta thumb stick khas DualShock 4. Ia turut dibekali port audio 3,5mm di area bawah dan port USB type-C di atas.
Sesuai perkiraan sebelumnya, tombol di tengah berfungsi untuk mengaktifkan fitur Google Assistant dan mempersilakan kita untuk memberi perintah via suara. Dengannya, Anda bisa menyalakan fungsi perekaman atau yang lebih uniknya lagi: membuka video tutorial di YouTube ketika ada bagian puzzle atau sesi pertarungan melawan bos di game yang menyulitkan Anda.
Canggihnya lagi, controller Stadia tersambung langsung ke data center Google, bukan ke perangkat yang Anda gunakan buat menikmati layanan ini. Itu artinya, tidak ada proses sinkronisasi ulang ketika misalnya kita mencoba beralih bermain dari laptop kerja ke layar televisi. Gamepad dirancang agar terhubung ke jaringan Wi-Fi lokal dengan setup via aplikasi, dan selanjutnya dikoneksikan langsung ke layanan Google Stadia.
Metode penyajian dan kapan Stadia tersedia
Sejauh ini, Google belum memberi tahu bagaimana mereka akan menjajakan Stadia dan berapa biayanya, tetapi saya cukup yakin ia disajikan sebagai layanan berlangganan. Pembayaran bisa saja ditagih bulanan, per tiga bulan, atau tahunan. Selain itu, saya juga belum menemukan informasi tentang seberapa cepat koneksi internet yang dibutuhkan agar layanan terhidang optimal.
Cloud gaming berbekal judul-judul blockbuster plus infrastruktur Google punya sendiri memang menjanjikan, tapi dengan belum adanya permainan-permainan eksklusif Stadia, developer harus menawarkan layanan ini di harga yang atraktif.
Stadia rencananya akan meluncur di wilayah Amerika Serikat, Kanada dan ‘mayoritas’ kawasan Eropa di tahun ini, tetapi Google masih enggan menyebutkan tanggal rilisnya secara spesifik. Dan selanjutnya, developer berniat untuk memperluas wilayah dukungannya di tahun 2020.
Tambahan informasi dari PC Gamer, GamesRadar, GameSpot, Polygon.