Tag Archives: property investment

Briix layanan mortgage non-bank terintegrasi dan platform fintech meresmikan kehadirannya di Indonesia sudah kantongi lisensi IKD dari OJK

Platform Investasi Properti Briix Resmikan Kehadiran [UPDATED]

Investasi properti merupakan salah satu kelas aset yang memiliki banyak peminat sejak dulu, tapi prosesnya belum terdigitalisasi sepenuhnya, belum lagi ini berkaitan dengan priviledge. Melihat masalah tersebut, Briix meresmikan kehadirannya dengan menawarkan solusi menyeluruh lewat satu aplikasi.

Sebelum menjelma jadi perusahaan teknologi, orang-orang di belakang Briix memiliki pengalaman lebih dari satu dekade di industri properti real estat dan hospitality. Keputusan untuk masuk ke dunia digital, tak lain dikarenakan ingin mendemokritasi akses investasi properti untuk ke lebih banyak orang.

Briix didirikan pada 2020 oleh Conrad Warren (CEO) dan David Anderson (Chairman) di Bali. Proses mempersiapkan seluruh lisensi yang dibutuhkan sebagai fondasi perusahaan, menjadi alasan mengapa startup ini baru diluncurkan. Salah satu lisensi yang sudah dikantongi adalah penyelenggara IKD di OJK.

“Briix terdiri dari tiga unit bisnis, properti (Briix Property Management), finansial (Briix Financial Services), dan teknologi (Briix Financial Technology). Kami mengintegrasikan ketiganya sebagai pilar bisnis dengan tujuan utama membuat investasi properti jadi lebih efisien. Selama ini akses tersebut hanya bisa diakses oleh sebagian orang saja dan kami ingin mendemokratisasi tersebut ke lebih banyak orang,” ujar Warren saat peresmian Briix di Jakarta, Rabu (5/4).

Sebagai catatan, investasi properti yang ditawarkan Briix sejauh ini untuk vila dan condo dengan total 26 vila yang dikelola sendiri di Bali dan Lombok. Kedua lokasi ini dipilih karena menjadi salah satu destinasi wisata yang banyak dikunjungi wisata domestik dan internasional, sekaligus lokasi yang banyak diminati oleh ekspat dan lokal untuk berinvestasi properti.

Model bisnis Briix

Melalui aplikasi Briix, calon investor dapat mengisi informasi mereka untuk mendapatkan akses ke pinjaman dan memilih properti vila yang saat ini tersedia. Briix fokus menilai aset yang calon investor inginkan, bukan untuk melihat kemampuan finansial investor tersebut.

Jika disetujui, nantinya tim screening akan menghubungi calon investor. Karena Briix memiliki lisensi sebagai perusahaan multifinance, nantinya calon investor berkesempatan untuk mendapatkan hingga 70% pinjaman terhadap nilai (loan-to-value) dengan tenor 12 tahun dan tersedia opsi pembayaran tagihan yang fleksibel.

Pada tahap awal ini, Briix baru menyediakan aset vila yang perusahaan kelola sendiri untuk permudah saat penilaian aset sebelum dibuka untuk calon investor. Meskipun demikian, Warren memastikan ke depannya mulai membuka aset properti non-perusahaan dapat dikelola dan menjadi lahan investasi bagi para investor.

Demo aplikasi Briix

Bahkan membuka kemungkinan untuk menyediakan fractional ownership. Adapun saat ini di Briix, satu aset properti hanya bisa dimiliki oleh satu investor saja. “Kami juga sedang mempertimbangkan untuk masuk ke fractional ownership ke dalam pipeline.”

Fractional ownership dalam real estat adalah membagi biaya pembelian dengan beberapa beberapa orang, masing-masing memiliki persentase kepemilikan dan berbagi hak pakai.

Briix juga menyediakan solusi manajemen properti. Nantinya setiap aset yang sudah didanai para investor akan dikelola operasionalnya, mulai dari pemesanan ke berbagai platform OTA, jasa perawatan, dan sebagainya.

“Investor dapat melihat day-to-day bisnis secara berkala lewat aplikasi, termasuk lihat komisi dari booking di OTA, harga kamar, pajak, dan lain-lain, semuanya melalui aplikasi. Sebelumnya dalam bisnis manajemen properti belum ada yang seperti itu.”

Satu hal yang diunggulkan dari solusi Briix adalah membuka kesempatan bagi para ekspat untuk berinvestasi properti dengan cara yang legal di Indonesia. Meski tidak dirinci seperti apa prosesnya, namun dari tim Briix akan membantu mereka membangun PT PMA sebelum membeli properti dan memiliki status Hak Pakai atau Hak Guna Bangunan (HGB).

“Kita sudah teregulasi untuk dapat memberikan solusi mortgage untuk WNA.”

Warren menyebut Briix masih bootstrap dalam menjalankan operasional hariannya. Menurutnya dengan model bisnis seperti, ditargetkan perusahaan dapat mencapai product-market-fit sebelum melaju cari pendanaan tambahan dari VC.

*) Kami menambahkan informasi terbaru seputar Briix yang memiliki lisensi sebagai perusahaan multifinance

Application Information Will Show Up Here
Properti Anda sediakan platform investasi berbasis crowdfunding untuk produk properti

Platform “Properti Anda” Sediakan Layanan Crowdfunding untuk Investasi Properti

Properti Anda merupakan pengembangan model fintech yang menawarkan platform layanan proptech (property technology) berbasis crowdfunding untuk berinvestasi pada aset properti. Layanan ini mengakomodasi beberapa orang untuk membeli sebuah properti secara bersama-sama, kemudian menikmati pembagian hasil yang didapatkan dari biaya sewa atau kenaikan harga penjualan. Layanan proptech ini bisa dibilang masih cukup baru di Indonesia dan belum sepopuler model fintech seperti p2p lending maupun crowdfunding lain. Kendati demikian, selain Properti Anda di pasar lokal juga sudah ada Tavest dan Napro.

Sejak didirikan pada tahun 2017 lalu, Properti Anda sudah mengumpulkan 278 investor untuk membiayai 4 unit properti senilai 1,4 miliar rupiah. Jenis properti yang dikelola meliputi rumah dan apartemen, ditargetkan untuk wilayah Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar, Semarang dan Tangerang. Investasi dapat diikuti dengan nominal mulai dari 500 ribu rupiah dengan biaya awal investasi sebesar 2 persen.

“Untuk admin fee 2 persen hanya di-charge di awal investasi. Misalnya investor berinvestasi sebesar 10 juta maka investor hanya membayar 10,2 juta di depan. Jadi tidak ada biaya-biaya lain yang tersembunyi yang akan dibebankan kepada investor. Semua keuntungan akan diberikan kepada investor setelah dipotong biaya-biaya yang berhubungan dengan properti tersebut,” jelas Co-Founder & CEO Properti Anda Edward Suwandi.

Edward tergerak untuk membangun Properti Anda karena pengalamannya mengalami kesulitan dalam berinvestasi di properti dengan dana yang terbatas. Ia datang dengan ide menyediakan platform investasi baru yang dapat membantu berinvestasi di properti bahkan dengan dana yang terbatas. Platform ini juga memungkinkan orang untuk berinvestasi dan menjual properti dalam satu platform.

Berinvestasi di properti melalui crowdfunding

Menurut artikel terdahulu, investasi di bidang properti ini memiliki beberapa kelebihan. Salah satunya model yang lebih “syariah” jika dibanding p2p lending, karena keuntungannya bukan dari bunga, melainkan biasa sewa atau jual beli. Namun di balik kelebihan juga ada kekurangan, yang paling mencolok adalah jangka waktu investasi yang lebih lama.

Platform Properti Anda sendiri menawarkan fitur re-sale. Pengguna bisa menjual kepemilikannya kapan saja, tapi peminatnya mungkin agak terbatas sehingga bisa jadi tidak langsung terjual.

[Baca juga: Menimbang Investasi melalui Crowdfunding Properti]

“Setiap properti memiliki exit protection antara 2 sampai 3 tahun. Properti tersebut akan dijual setelah melewati periode tersebut. Jadi platform tidak perlu menanggung biaya sampai properti tersebut terjual,” Edward menjelaskan mekanisme yang ada di Properti Anda.

Setelah mendaftarkan diri dan memverifikasi akunnya (termasuk mengunggah beberapa berkas pribadi seperti KTP), pengguna dapat memilih properti dari daftar yang tersedia. Pengguna dapat memilih besaran dan jangka waktu investasi yang diinginkan, kemudian mentransfer nominal investasinya.

Terkait biaya-biaya yang harus ditanggung sebagai pemilik properti, misalnya PBB dan biaya operasional lainnya, para investor di Properti Anda disebutkan akan dibebani pemotongan terhadap hasil sewa atau keuntungan penjualan properti tersebut.

Proses investasi di Properti Anda
Proses investasi di Properti Anda

Terkait kepemilikan properti, Edward menjelaskan, “Properti dimiliki oleh PT Mitra Properti Bersama yang merupakan subsidiary dari PT Properti Anda Sejahtera. Setiap investor akan mendapatkan surat perjanjian hutang senilai investasi yang dilakukan atas setiap properti. Di surat tersebut akan dijelaskan secara detail jumlah investasi, jangka waktu investasi, termasuk kewajiban dan hak baik investor dan Properti Anda. Surat perjanjian ini bisa diakses oleh investor yang berinvestasi setelah properti sukses terdanai dan diakuisisi.”

Investasi melalui crowdfunding produk properti mungkin menarik, tapi tidak berarti bebas risiko / Pexels

Menimbang Investasi melalui Crowdfunding Properti

Salah satu manfaat penting dari hadirnya financial technology (fintech) adalah tercapainya keuangan inklusif. Keuangan inklusif, sebagai kebalikan dari eksklusif, adalah terjangkaunya layanan keuangan oleh kelompok masyarakat yang lebih luas. Layanan keuangan seperti tabungan, kredit, dan investasi yang biasanya hanya dapat dijangkau oleh masyarakat berpenghasilan menengah ke atas, kini mulai bisa dinikmati juga oleh masyarakat dengan dana yang pas-pasan. Tujuan akhirnya adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Contohnya jelas, masyarakat yang selama ini tidak bisa mendapatkan pembiayaan dari perbankan, kini bisa mengambil skema peer-to-peer (P2P) lending. Dengan pembiayaan tersebut diharapkan mereka bisa melakukan usaha produktif yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Di sisi lain, jika selama ini bunga tabungan premium hanya bisa didapatkan oleh mereka yang memiliki dana besar, kini masyarakat juga bisa mendapatkan bunga di atas bunga deposito dengan menjadi investor pada skema P2P lending.

Tak hanya melalui P2P lending, dengan fintech orang kini juga memiliki banyak pilihan investasi lainnya. Salah satunya adalah berinventasi ke properti. Selama ini properti menjadi primadona investasi karena harganya yang terus-terusan naik, bahkan tiap hari Senin. Namun demikian, karena harganya yang cenderung tidak masuk akal, hanya mereka berpenghasilan tinggi dan tinggi banget yang bisa berinvestasi pada sektor ini. Itu sebelum fintech menyerang. Sekarang, hanya dengan lima ratus ribu pun orang bisa berinvestasi membeli properti melalui skema crowdfunding.

Di Indonesia, kini setidaknya ada tiga layanan fintech yang menawarkan crowdfunding untuk berinvestasi pada properti yakni Tavest, PropertiAnda, dan Napro. Skema crowdfunding properti adalah urunan bersama-sama untuk membeli sebuah properti, menikmati pembagian biaya sewa selama beberapa tahun, kemudian mendapatkan keuntungan kenaikan harga atas penjualan properti tersebut pada tahun kesekian.

Investasi melalui crowdfunding properti ini mempunyai kelebihan dan kekurangan dibandingkan dengan investasi melalui P2P lending. Salah satu kelebihannya, investasi ini lebih “syariah” dibandingkan dengan P2P lending. Keuntungan dari investasi P2P lending berasal dari bunga, sedangkan dengan crowdfunding properti keuntungan berasal dari sewa dan jual beli. Bagi beberapa orang ini terdengar sepele, tapi bagi orang-orang yang alergi terhadap riba, ini adalah salah satu poin penting.

Namun kelemahannya, crowdfunding properti ini mempunyai jangka waktu investasi yang lebih lama dibandingkan dengan investasi P2P lending. Jika jangka waktu P2P lending hanya terbilang bulanan, crowdfunding properti mempunyai jangka waktu investasi hingga tahunan sampai properti tersebut dijual kembali. Platform PropertiAnda menawarkan fitur resale di mana pengguna bisa menjual share-nya kapan saja, tapi peminatnya mungkin agak terbatas sehingga bisa jadi tidak langsung terjual. Crowdfunding properti bukan investasi likuid untuk investor yang menginginkan dananya bisa kembali sewaktu-waktu dibutuhkan.

Ditilik secara imbal balik, selalu berlaku hukum investasi high risk high return, low risk low return, dan no risk no return. Pada investasi P2P lending, pengguna selalu bisa memilih untuk memberikan pinjaman pada usaha yang berisiko tinggi dengan imbalan yang lebih tinggi, atau memilih konservatif dengan tingkat imbalan yang lebih rendah. Crowdfunding properti mungkin mempunyai tingkat pengembalian yang moderate, namun ada risiko yang melekat dengan properti itu sendiri.

Secara teori memang nilai tanah dan properti akan terus naik. Namun demikian, masih terdapat kejadian-kejadian yang membuat properti tersebut tidak laku terjual atau disewa misalnya lingkungan sekitar properti tidak berkembang, kerusakan pada properti karena tidak terawat, banjir, macet, adanya sengketa hukum terkait kepemilikan, dan lain sebagainya. Karena risiko ini, investor dituntut untuk pintar-pintar untuk memilih properti sebelum menanamkan dananya.

Pilih-Pilih Platform Crowdfunding

Selain pada properti, risiko crowdfunding properti juga terletak pada platform crowdfunding sebagai penyedia layanan. Yang harus dicatat, sampai dengan saat ini, belum ada otoritas yang mengatur dan mengawasi skema kegiatan ini. Paling pahit, uang investor bisa-bisa dilarikan oleh investasi bodong berkedok platform crowdfunding. Salah kelola uang investasi juga bisa membuat uang investor tidak kembali.

Masalahnya, properti yang dibeli dan sebenarnya adalah milik puluhan investor, akan diatasnamakan founder atau badan usaha platform crowdfunding. Jika terjadi salah urus, investor akan mengalami masalah hukum sebelum bisa mendapatkan investasinya kembali. Jika nilai investasi terbilang kecil (di bawah lima juta Rupiah katakanlah), biaya legal bisa jadi tidak sebanding dengan nilai investasi yang hilang. Karenanya, investor perlu cerdas mempertimbangkan platform crowdfunding yang digunakan.

Terkait kepemilikan properti, perlu dicatat bahwa platform Tavest berani untuk mengambil risiko yang lebih besar. Selama masa beta testing, Tavest tidak menjamin bahwa tanah atau properti yang dibeli tidak dijaminkan kembali pada Bank atau lembaga keuangan manapun. Meskipun mungkin tidak ada intensi negatif dari Tavest atas hal tersebut, hal ini menambah risiko bagi investor jika terdapat mismatch dalam pengelolaan arus kas Tavest.

Sebagai pengelola investasi, platform crowdfunding juga harus transparan dalam skema monetisasi mereka. Transparansi tersebut membantu calon investor dalam menghitung imbal balik bersih mereka, setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang ditarik oleh platform crowdfunding. Transparansi metode monetisasi juga membantu calon investor untuk memilih platform crowdfunding yang akan mengusahakan agar investor memperoleh keuntungan. Hal tersebut bisa dinilai dari sumber pendapatan platform. Platform yang menggantungkan pendapatannya dari keuntungan investor, baik berupa presentase atas keuntungan sewa maupun keuntungan jual beli, akan lebih berkepentingan pada keuntungan investor.

Dalam hal ini, Napro memiliki kekurangan karena adanya potensi konflik kepentingan pada saat pembelian properti oleh investor. Salah satu skema monetisasi Napro adalah komisi atas penjualan properti yang didapatkan dari developer. Hal ini memang seolah-olah menguntungkan calon investor karena Napro mendapat keuntungan dari pengembang, bukan dengan memotong uang investasi. Namun demikian, konflik kepentingan bisa terjadi apabila Napro mempromosikan properti yang sebenarnya kurang potensial karena adanya komisi penjualan yang cukup besar dari developer properti tersebut.

Dari ketiga platform yang telah disebutkan di atas, memang tidak ada yang benar-benar mendasarkan pendapatannya pada keuntungan investor. PropertiAnda, yang paling transparan terkait dengan monetisasinya, mengambil biaya admin sebesar 2% pada awal investasi. Artinya, nilai investasi malah akan langsung berkurang sebelum berkembang. Selain itu, jika biaya admin tersebut dimaksudkan sebagai biaya penggunaan infrastruktur, rasanya kurang tepat jika biaya admin diambil secara presentase mengingat biaya penggunaan infrastruktur sifatnya fixed cost.

Rasanya masih akan lama sampai dengan adanya pengawasan terhadap fintech crowdfunding. Industrinya masih mencari bentuk untuk berkembang, sementara portofolio-nya juga masih terbilang kecil. Bentuknya yang beragam juga memerlukan analisa yang cukup sampai dengan munculnya aturan untuk mengawasi platform crowdfunding sekaligus melindungi investornya.

Selama belum ada aturan tersebut, tak ada benar salah terkait dengan model bisnis dan skema monetisasi dari masing-masing platform. Lagipula, skema bisnis masing-masing platform crowdfunding masih belum teruji. Belum ada platform di Indonesia yang telah melewati satu siklus bisnis di mana properti yang dibeli telah dijual kembali. Atas hal tersebut, belum diketahui skema bisnis mana yang mampu bertahan sekaligus menguntungkan bagi investor. Sepanjang belum diatur dan diawasi oleh otoritas, maka pilihan investasi melalui platform crowdfunding tersebut merupakan tanggung jawab dari calon investor sendiri.


Disclosure: Artikel tamu dibuat oleh Andi Miftachul. Penulis merupakan Pengawas Bank pada Otoritas Jasa Keuangan. Tulisan merupakan opini pribadi yang tidak terkait dengan DailySocial maupun OJK.