Tag Archives: Pungkas Riandika

DailySocial dan Kolektibel membahas kenapa rarity, utility, dan community harus ada di dalam NFT / Pexels

[Seri NFT] Rarity, Utility, Community: Mempelajari Tiga Pilar Terpenting NFT

NFT berharga karena unsur non-fungible-nya, sehingga tidak bisa digantikan dengan yang lain. Pasar ini masih begitu baru dan masih banyak hal yang bisa dieksplorasi lebih jauh. Perlu edukasi yang intens agar tidak salah kaprah.

Kelangkaan, utilitas, dan komunitas (rarity, utility, community) adalah pilar dasar dari setiap proyek NFT yang baik. Jika sebuah proyek tidak memiliki kombinasi ketiganya, hal ini benar-benar dapat memengaruhi keberhasilan keseluruhan proyek tersebut.

Mari bahas satu persatu mengenai tiga hal ini:

Kelangkaan (rarity)

Kelangkaan adalah inti dari sebuah proyek yang tidak boleh diabaikan ketika ingin membuat proyek yang sukses. Unsur kelangkaaan itu penting karena secara langsung terkait dengan antusiasme dan harga NFT. Hal ini membantu mendorong permintaan dan mendiversifikasi proyek dengan menawarkan berbagai tingkat sifat dan utilitas.

Kelangkaan tidak hanya penting bagi kolektor, bahkan lebih penting bagi kreator di balik proyek. Tanpa kelangkaan, proyek NFT berpotensi menjadi sangat membosankan dan besar kemungkinan sepi peminat.

“Kehadiran NFT di dalam kehidupan manusia itu penyebab utamanya karena ada kepemilikan, bisa dicatat untuk siapa. Perlu dicatat karena jumlahnya terbatas, bukan buat massal. Unsur langka akan terasa bila bukan buat massa sebab jumlahnya tidak bertambah, maka itu konsep NFT yang ideal,” papar CEO Kolektibel Pungkas Riandika.

Utilitas (utility)

Barang langka saja kurang cukup untuk menarik minat calon pembeli. Butuh fungsi (utilitas) sebagai nilai tambah sebelum membeli suatu NFT. Bisa saja suatu tidak punya fungsi, tapi segmen tersebut sangat niche karena hanya mampu menarik minat dari kolektor.

Pungkas mencontohkan proyek yang memiliki utilitas, misalnya NFT kuliner Indonesia. Para kolektornya berkesempatan mendapat akses untuk makan di restoran, jaringan franchise, atau sejenisnya. Kemudian mendapat diskon, mendapatkan welcome drink, tanpa waiting list, dan lainnya sebagai penawaran tambahan.

Atau perusahaan maskapai yang menerbitkan NFT, tapi dijual dengan harga yang mahal. Taruhlah harganya Rp15 juta. Adakah yang mau beli? Ternyata untuk para kolektornya diberikan penawaran berupa tiket pesawat pulang-pergi selama satu tahun untuk rute yang tersedia dari maskapai tersebut.

“Pun ketika dijual di secondary market, kolektornya tetap bisa untung karena value dari sebuah NFT itu bisa sangat mahal harganya. Ini menarik buat para NFT holder karena utilisasinya terkonfirmasi langsung untuk mereka.”

Komunitas (community)

Setelah dua poin di atas dilakukan, individu yang memiliki ketertarikan yang sama akan bersatu, tapi trik untuk panjang umurnya suatu komunitas itu kuncinya butuh konsistensi. Agar tidak menjadi salah satu NFT yang gagal, menciptakan komunitas yang kuat adalah kuncinya.

Ini semua mengenai: membawa nilai otentik kepada anggota, menciptakan hubungan melalui konsistensi dan usaha, dan membawa orang-orang dengan perspektif yang berlawanan untuk menyeimbangkan pandangan kreator.

“Sama halnya bagi brand. Pasti mereka ingin produknya dipakai oleh konsumen yang mencerminkan apa yang brand mau. Jadi bagi kreator itu, bagaimana dia harus mengupayakan bagaimana produknya itu dibeli duluan oleh komunitasnya sendiri agar terasa sesuai dengan market yang dia inginkan.”

Langkah tersebut diupayakan Kolektibel untuk tiap kerja sama dengan IP owner (kreator, dan sebagainya) dalam ekspansi ke pasar baru dengan meningkatkan loyalitas pengguna terhadap suatu brand. Model bisnis seperti ini, menurut Pungkas, merupakan rangkaian untuk menciptakan efek Trifecta Synergy, yang melibatkan IP, Kolektibel, dan kolektor.

Tujuan dari Trifecta Synergy tersebut adalah mendapatkan perluasan pasar dan memperkuat loyalitas merek dengan membidik transformasi dari pelanggan menjadi kolektor, menciptakan sebuah bisnis yang digerakkan oleh komunitas (community driven business).

“Dari sinergi yang kami lakukan, end game-nya adalah komunitas. Makanya dari rarity, utility, dan community itu paling enggak harus ada di tiap IP owner. Pemikirannya harus sesingkat itu ketika melihat suatu NFT,” tutupnya.


Disclosure: Rubrik “Seri NFT” ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan Kolektibel

Laleilmanino NFT Kolektibel

Kolektibel Gaet Musikus Lokal Masuk ke NFT, Segera Rilis Maret 2022

Platform marketplace NFT Kolektibel mengumumkan kreator berikutnya, kali ini datang dari industri musik, yang digandeng untuk terjun ke NFT, bernama Laleilmanino. Saat ini waitlist sudah dibuka dan rencananya akan meluncur pada Maret 2022 mendatang.

Laleilmanino merupakan trio produser rekaman yang beranggotakan Nino RAN, serta gitaris dan kibordis Maliq & D’Essentials, Lale dan Ilman. Pada awal kemunculan Kolektibel bersama mitra pertamanya, berhasil menjual lebih dari 525 NFT yang dibuat bersama Liga Basket Indonesia (IBL).

Dalam wawancara bersama DailySocial.id, CEO Kolektibel Pungkas Riandika menceritakan anggota Laleilmanino memiliki passion sebagai pencipta lagu (composer) yang ingin aktif berkarya menciptakan lagu. Sebelumnya, passion tersebut belum bisa terakomodasi dengan maksimal ketika mereka berkarir di grup musik masing-masing.

“Di Laleilmanino mereka enggak perform, tapi sebagai penulis lagu. Artinya, IP-nya mereka yang pegang. Semangat itu pas dengan Kolektibel dan akhirnya sepakat untuk kerja sama,” kata Pungkas.

Dalam keterangan resmi, Nino RAN menyampaikan antusiasmenya terhadap kerja sama ini. Ia percaya bahwa NFT adalah bentuk pengembangan paling mutakhir di industri hiburan saat ini. “Kami menyadari bahwa dunia musik terus berinovasi. Kami melihat NFT bukanlah sebuah tren sesaat, melainkan era baru bagi industri musik masa depan,” ujarnya.

Sebagai pemilik IP, Laleilamino akan mengutilisasi aset-asetnya, mulai dari dokumentasi penciptaan lagu, mulai dari penggalan lirik, voice note, foto, workshop, dan lain-lainnya untuk dijadikan sebagai NFT. Untuk menciptakan unsur rarity (kelangkaan), sebagai komponen penting di fundamental NFT, Laleilmanino akan memberikan penawaran eksklusif kepada para kolektornya dengan berbagai macam bentuk engagement, hingga berkesempatan mendapat royalti.

“Laleilmanino ini ingin bentuk komunitas karena mereka tahu pendengarnya itu cukup die hard [terhadap karya-karyanya]. Untuk itu, mereka mau lebih dekat dengan komunitasnya dengan memberikan penawaran eksklusif,” tambah Pungkas.

Saat ini, Laleilmanino telah membuka daftar tunggu (waitlist) untuk para penggemarnya melalui laman ini. Rencananya akan dirilis dalam dua bulan mendatang, sekitar Maret 2022.

Sedikit berbeda dengan NFT marketplace lain di Indonesia, Kolektibel tidak menggunakan mata uang kripto sebagai metode pembayaran NFT. Untuk membeli, orang-orang bisa menggunakan fiat alias mata uang yang berlaku di Indonesia, yakni Rupiah di berbagai instrumen pembayaran digital yang populer, seperti GoPay, OVO, dan Virtual Account.

Model bisnis Kolektibel

Sebagai catatan, Kolektibel menerapkan dua skema model bisnis dalam menjalankan kemitraannya dengan brand pemilik IP, yakni B2B dan B2C. Untuk B2B, Kolektibel menyediakan domain khusus untuk brand dalam mengakomodasi transaksi jual-beli NFT dan domain utama Kolektibel di kolom kategori. Sementara B2C, disediakan domain (contoh: kolektibel.com/customername) untuk para kolektor dengan kategori top spender dan VIP.

Setiap NFT yang terjual, baik itu di primary market atau pun di secondary market, para pemilik IP akan tetap mendapat revenue sharing dengan persentase yang sudah disepakati bersama.

Model bisnis seperti ini, menurut Pungkas, merupakan rangkaian untuk menciptakan efek Trifecta Synergy, yang melibatkan IP, Kolektibel, dan kolektor. Tujuan dari Trifecta Synergy tersebut adalah mendapatkan perluasan pasar dan memperkuat loyalitas merek dengan membidik transformasi dari pelanggan menjadi kolektor, menciptakan sebuah bisnis yang digerakkan oleh komunitas (community driven business).

Setelah industri musik, salah satu IP berikutnya yang akan digandeng Kolektibel datang dari stasiun televisi lokal. Karya seni digital, yang menjadi salah satu karya yang paling banyak di NFT-kan di pasar global, justru belum menjadi incaran Kolektibel berikutnya.

“Kami enggak akan buru-buru masuk ke sana [karya seni]. Kami ini unik dari yang lain [marketplace NFT] karena bisa dibeli pakai Rupiah dan setiap NFT selalu punya utilitasnya,” tutup dia.

DailySocial dan Kolektibel mencoba memaknai konsep dasar NFT dari sisi filsafat yang lebih ramah di telinga orang awam / Pexels

[Seri NFT] Memahami Alasan NFT Lahir dan Kenapa Ia Dibutuhkan

Memahami suatu teknologi baru tidak selalu membutuhkan penjelasan yang rumit, termasuk saat ingin mengerti apa itu NFT (non-fungible token). Dari sekian banyak literatur yang mencoba untuk menjelaskan NFT, mungkin pendekatan secara filsafat ini bisa dimengerti: NFT punya korelasi kuat dengan sifat alamiah seorang manusia, yaitu keinginan untuk memiliki sesuatu.

Kelahiran NFT awal mulanya karena pengembangan dari inovasi teknologi blockchain. Namun, bila ditarik mundur jauh sebelum itu, bahkan saat manusia purba, cara untuk bertahan selain mencari makan ada prioritas lainnya, yakni memiliki teritori dengan melabelinya sebagai tanda bahwa itu adalah miliknya.

Dalam evolusi manusia berikutnya, di masa modern, banyak inovasi yang bisa menemukan mana sesuatu yang dimiliki oleh tiap manusia. Sampai-sampai muncul kepemerintahan di suatu teritori yang menciptakan mata uang untuk bertransaksi, demi menentukan barang apa milik siapa.

“Kenapa NFT exist karena manusia pada dasarnya ingin memiliki sesuatu. Ini memang sifat dasar manusia yang ingin memiliki, itu paling fundamental. Jadi ini bukan soal teknologi, tapi lebih ke sosial. Sehingga sudah sewajarnya NFT itu exist dan jauh ke depannya akan jadi bagian dari setiap lini kehidupan manusia,” terang CEO Kolektibel Pungkas Riandika.

Dengan pemahaman mendasar seperti ini, artinya tidak perlu repot mendalami teknologi blockchain dan turunannya. Bila dicontohkan lagi, di kelas ekonomi ke atas misalnya, mayoritas orang-orangnya memiliki sesuatu yang bersifat non-fungible, alias berharga yang memiliki nilai emosi yang tidak bisa dihargai dengan uang. Itu adalah NFT.

Berikutnya, untuk strategi pemasaran yang ingin melekatkan unsur non-fungible juga bisa diterapkan. Seperti yang dilakukan oleh IKEA saat menjual perabotan rumah tangga yang sebenarnya itu adalah barang fungible. Mereka memanfaatkan kursi yang dibuat oleh desainer dari Swedia sebagai strategi branding untuk membuatnya lebih berharga dan langka daripada kursi yang dibuat oleh orang lain.

“Strategi branding mereka sukses membuat para pembeli harus segera memilikinya. Jadi strategi [dengan konsep NFT] itu sudah ada sejak dulu. Sampai akhirnya, muncul dalam teknologi blockchain, melahirkan OpenSea dan sebagainya. Kami percaya dan memfokuskan diri mengembangkan Kolektibel sebagai e-commerce NFT untuk kehidupan sehari-hari.”

Oleh karena itu, dalam praktek Kolektibel yang ingin meramahkan NFT, perusahaan menganut konsep decentralized finance (DeFi) yang menggunakan mata uang fiat untuk bertransaksi NFT. Dengan kata lain, dengan mata uang yang berlaku di negara tersebut, para pengguna dapat bertransaksi NFT. Bahkan, perusahaan terintegrasi dengan instrumen pembayaran digital yang populer, sebut saja Gopay, OVO, Virtual Account, kartu debit/kredit, hingga dapat bayar melalui Alfamart, dan Indomaret.

NFT sebagai status diri

Perlahan tapi pasti NFT akan dibuat menjadi lebih mainstream, ditandai dengan beragamnya perusahaan dari berbagai vertikal, termasuk ritel barang mewah, terjun ke sana. Tujuannya bukan untuk memperkenalkan NFT, tapi karena sudah menganggap NFT sebagai status diri, sebuah identitas diri digital.

NFT-NFT yang dibeli, lalu dikumpulkan, itulah yang membuatnya menjadi status diri siapa pemiliknya. Orang-orang bisa mengidentifikasi seseorang saat melihat koleksi NFT, hal ini sebenarnya sudah terjadi di dunia fisik. Menilai pribadi orang dari koleksi dan kesukaannya terhadap sesuatu karena unik dan punya memori yang tidak bisa dinilai dengan uang.

“NFT itu bukan mata uang. Sama seperti di dunia sebenarnya. Orang yang punya uang apa iya dipamerkan uangnya? Pasti yang diperlihatkan adalah tasnya merek apa, sepatunya merek apa, itulah fungsi NFT nantinya. Bisakah hidup tanpa brand? Sepertinya susah karena manusia itu butuh pamer. Itu sudah jadi sifat dasar.”

Maka dari itu, NFT berkaitan erat dengan metaverse. Di dalam dunia metaverse akan menjadi dunia tersendiri yang memiliki koleksi digital sendiri, dari ujung kaki hingga rambut yang melekat di avatar tersebut. Di dalam dunia tersebut, avatar dapat memiliki dunia bertemu dengan orang dari belahan manapun dan melakukan berbagai aktivitas.

Bahkan dalam pemahaman yang lebih futuristik, mengutip dari Dr. Michio Kaku, seorang fisikawan teoritis dan penulis buku, dia mencoba berspekulasi tentang apa yang akan terjadi di 2050. Dalam salah satu kutipannya, ia mengatakan bahwa pada masa depan setiap manusia akan memiliki digital immortality. Artinya, manusia dapat tetap hidup selamanya dengan adanya identitas digitalnya, meski jiwa dan raganya sudah tiada.

Dia menjelaskan, meskipun seseorang sudah meninggal secara fisik, tapi orang tetap bisa merasakan kehadirannya secara digital, yang didukung oleh melesatnya inovasi di bidang neuroscience dan kecerdasan buatan. Bahkan dalam pandangan ia untuk jangka waktu yang lebih jauh lagi, 10 ribu tahun lagi warga bumi akan pindah ke planet lain.

“Itulah mengapa Jeff Bezos, Elon Musk berlomba-lomba ke luar negeri dalam rangka menyiapkan sekoci penyelamat pada saat perubahan iklim tidak bisa dibendung lagi. Jawabannya dengan memindahkan ke planet terdekat, ini ada hubungannya dengan digital immortality,” tutup Pungkas.

Disclosure: Rubrik “Seri NFT” ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan Kolektibel

Non-Fungible Token (NFT) 101: Accelerating Adoption in Indonesia

The global non-fungible token (NFT) fever which occurred since early this year has opened up opportunities for local players to offer easy ownership of (digital) art objects that have been absent for collectors. This year alone, there are at least four NFT marketplace platforms available in Indonesia. Those are TokoMall, Kolektibel, ChickenKingNFT (owned by KFC), and Paras Digital, offering its own unique value.

According to Wette.de data, the global NFT has $43.08 billion market cap and a trading volume of around $3.6 billion. Meanwhile, according to DappRadar, NFT sales volume jumped to $10.7 billion in Q3 2021, rises over eight times from the previous quarter.

The world’s largest NFT marketplace, OpenSea, recorded sales volumes of up to $3.4 billion in August 2021. The activities remained strong through September when global stock markets faltered. Rising cryptocurrency prices during the COVID-19 pandemic is often said to drive the growth of the NFT market — as people use cryptocurrencies to buy NFTs — but analysts say crypto assets have value, regardless of market conditions.

As of October, Beeple still ranks first on the list of top NFT artists with a $145.03 million total artwork value. According to Cryptoart.io, he has sold 1346 artworks so far with an average sale of $107,752. The second-ranked artist, Pak, following at a farther distance with a total value of $56.41 million.

NFT 101

From various literatures, NFT is most easily understood as a unique digital asset. The asset exists in various industries, from digital art, virtual real estate, to collectibles, games, and more. Basically, any type of media can be printed or tokenized and converted into NFT: art, trading cards, memes, gifs, video clips, audio clips, tweets, this article — you name it. Once tokenized, these assets can be bought, sold and traded using cryptocurrencies.

Why is the world flocking to NFT? The US’ serial entrepreneur, Gary Vaynerchuck (or “GaryVee”) said, there are three added values ​​NFT offers, utility, access, and social currency. If you understand the concepts behind membership cards, credit card rewards, tickets to special events for VIP members, then you understand NFT.

“If you’ve ever purchased skins or other virtual items for your video games, you understand NFTs. The reason you wanted that item was to be a utility in a world that you cared about, or to have the clout and bragging rights amongst your friends and others. NFTs are going to extend that same utility and “flex” of social currency to everything else,” Vaynerchuck explained.

He continued, the reasons people buy NFT are the same reasons people wear designer-made products, drive luxury cars, or hang pictures of important figures on the wall. It’s the same reason people care about blue ticks on Instagram.

“Years down the line, I believe that we will all be checking out each other’s digital wallets and bonding over the mutual interests in our NFT purchases. Everyone will have some kind of NFT project, the same way everyone has a social media account.”

On one hand, NFT will help ordinary people realize their true destiny as artists. This method is similar to social media platforms that transforms people to influencers. NFT will open the door for so many people with artistic inclinations to explore avenues they never thought possible.

There’s another point, NFT is revolutionizing IP ownership. The fact that artists will continue to earn royalties from reselling their digital work will empower content creators in a never-seen-before way. Each popular NFT marketplace has its own rules and preferences for regulating and paying royalties.

On Rarible, an artist can tokenize and manage its own NFT sales. For example, while making a listing on Rarible, one can set the royalty percentage to earn on each (re)sale on the secondary market.

In the first stage, after minting a digital art product for the first time, the artist gets all the sales share after deducting the platform commission.

On the subsequent sales, the artist will earn a 20% commission on each sale, even if they are no longer directly involved in the sale. Unfortunately, when the goods are transferred to another NFT platform, such as OpenSea, the royalty scheme is no longer valid and cannot be transferred.

Ideosource’s Co-founder and Managing Partner, Edward Chamdani explained, royalties are the most important thing for every creator. He took an example in the music industry. Previously, the medium used for listening to music was through vinyls, cassettes, and CDs. Over time, platforms like iTunes and Spotify arrived and helped the supply chain to the end consumer.

However, its existence shuts down the previously established supply chain as musicians can no longer print cassettes to CDs. In the end, music labels were affected and eventually went out of business. In fact, the musicians’ biggest income comes from selling physical goods as the source of royalties.

“Musicians were not really preserved since the beginning, from royalties through CD sales, to the presence of digital platforms which means they no longer produce CDs. The royalties obtained from the digital platform are considered to be in long term, compared to the CD sales with bigger up front revenue,” Edward said.

Royalty is considered to be the reason for many artists intrigued to enter the NFT scheme. Apart from Rarible and OpenSea, there are many marketplace options offer unique propositions. These include Axie Marketplace, CryptoPunks, NBA Top Shot Marketplace, SuperRare, KnownOrigin, Foundation, Nifty Gateway, Solanart, and Hic Et Nunc.

The last platform, based on DailySocial’s observation, is a favorite destination for local artists to sell their work. One of the musicians, Souljah, has used NFT to market the artwork for the song entitled “Keep On Moving”. Souljah released a limited number of NFTs and stop releasing on September 30, 2021 through its own website and selling digital merchandise through Hic Et Nunc.

NFT in local wisdom

The NFT hype encourages people to try this platform as an alternative investment commodity, supported by the presence of secondary markets on various popular marketplace platforms. Nonetheless, NFT is still a very new market, therefore, being prudent is mandatory.

Despite the risks, many global marketplace platforms are not very friendly for Indonesians with limited insights to the NFT scheme. In order to make purchases on NFT platform, collectors need a wallet that is compatible with the NFT-enabled blockchain network in their preferred marketplace.

If you plan to buy and sell NFT via an Ethereum-based blockchain platform, a compatible wallet is required. For example, OpenSea is compatible with Metamask, Bitski, Fortmatic, WalletConnect and other wallets. It’s similar to put money in a wallet, you need to fill the wallet with a certain amount of crypto assets before buying, registering, or printing NFTs. In addition, it is necessary to find out what crypto assets are used by the marketplace you want to use.

Finally, create an account on the marketplace. In most marketplaces, the process of registering, creating NFT, selling, and buying on the platform incurs a blockchain network fee with an amount depends on which blockchain-based system is used.

The majority of NFT marketplaces only accept payments with Etherium coins. There are others that accept fiat currency and more standard payment methods, such as PayPal, but this is quite rare. Due to such conditions, NFT transactions considered to be expensive in ETH. As of November 10, 2021, 1 ETH costs IDR 67.6 million ($4,808).

Kolektibel is a new NFT marketplace player that further explored this market, it was designed as friendly as possible, therefore, NFT could be quickly adopted. Kolelktible adopted NBA Top Shot to Indonesia by utilizing fiat currency through payment gateways for their NFT transactions.

Kolektibel’s CEO, Pungkas Riandika explained that every NFT transaction is carried out with fiat currency and the payment is integrated with popular digital payment instruments, such as GoPay, OVO, Virtual Account, debit/credit cards, therefore, you can make payment via Alfamart and Indomaret.

Kolektibel is different from other NFT marketplaces as it stands on the Vexanium public blockchain network for recording NFT ownership. Vexanium is said to be the only Indonesian based public blockchain with a legal entity in the form of a foundation (Vexanium Technology Nusantara Foundation) created by Danny Baskara.

Vexanium does not charge any fees. Unlike other public blockchain networks that charge gas fees per NFT transaction. This strategy is possible because Vexanium uses the DPOS (delegated proof of stake) mechanism. This is a variant that provides operational benefits with very efficient energy and environmentally friendly.

“Furthermore, as Vexanium has the ability to approach block producers (decision maker) in the Vexanium DAO entity. Such decision as cost determination (resources fees) associated with NFT. These things cannot be found in other public blockchains,” he told DailySocial.

Pungkas said, this is expected to be a breakthrough for Indonesians as they can directly collect NFT in an easy way. “If you pay attention to transaction using crypto in DeFi, it requires a long process, one of which is to own a wallet, including a gas fee, and so on. It makes NFT adoption difficult.”

Kolektibel’s approach differs from its peers in terms of payment methods. TokoMall only provides TKO crypto assets for NFT exchange, Paras Digital uses NEAR, and ChickenKingNFT uses ETH. All three are utilizing the integration with MetaMask wallet to transact.

TokoMall Kolektibel Paras Digital ChickenKing NFT
Blockchain network Binance Smart Chain (BSC) Vexanium NEAR Protocol Ethereum (OpenSea)
Coin/ Payment methods TKO Fiat/IDR, through payment gateway NEAR ETH
Wallet MetaMask, WalletConnect None MetaMask anyting compatible with OpenSea
NFT asset focus Digital arts by artists and creative community IP brand owners of such categories, sports, creative, legendary moments and culture Digital collectible, including games, comics, toys and arts Characterized KFC chicken mascot

Market differentiation

Each NFT marketplace has its own target market to popularize NFT in Indonesia. TokoMall, for example, targets local creators, consisting of artists, digital artists, and creative communities with good reputations to enter NFT. To date, there are 40 partners who have joined, including Nevertoolavish, MaximallFootwear, DAMN! I Love Indonesia, Banyan Core, Si Juki, ONIC E-Sports, Afternoon, Mr. Kinur, Karya Karsa, Jakarta Metaverse, and Museum of Toys.

This way, each creator with a fan base can easily attract the mass market to know more about NFT. TokoMall allows collectors to exchange their collected NFT for physical merchandise from merchant partners at TokoMall through the company’s newly released TokoSurprise feature.

“The difference with other platforms is that we are trying to push digital meets reality, so these collectors have the opportunity to exchange NFTs for real goods. Therefore, it’s not just a digital collection,” Tokocrypto’s VP Marketing, Adytia Raflein told DailySocial.

TokoSurprise

Raflein also mentioned that TokoMall is expected to encourage artists and brands to be creative in the NFT world with a local platform at much friendlier costs, rather than having to use a global platform.

With TokoSuprise mechanism, creators who release a limited number of NFT works are marketed through TokoMall. Every collector who buys the work has the right to exchange it for physical merchandise to TokoMall. In the future, TokoMall will collaborate with more creators from various business verticals, such as consumer companies to the e-sports industry, thererfore, NFT can become more mainstream in Indonesia.

Since two and a half months since TokoMall was launched, it already has more than 8,500 collectors, with over 5 thousand NFT works produced by 40 official partners. In terms of sales, over 250 NFTs have reported being sold with a transaction value of Rp200 billion.

Meanwhile, in its early days, Kolektibel entered the basketball segment through its inaugural partnership with the Indonesian Basketball League (IBL). For IBL, this innovation is a way to bring basketball and IBL fans closer together with their athletes. IBL prepares video documentation of matches, carefully curated based on golden moments in the match.

The shortlist of moments is visually repackaged and registered into the smart contract blockchain, which makes each asset record its ownership history. This strategy opens new revenue channels for athletes and clubs through the NFT sales.

After IBL, Kolektibel will target other IP owners with assets in various categories, such as sports, creative, legendary moments, and culture. Through its derivatives, there will be more NFT assets to collect. “Sport is quite dynamics and closer to the community. Therefore, this category is our step to further understand how the future development of NFT will be,” Pungkas said.

Paras Digital, on the other hand, has ambitions to be a pioneer in the digital transformation of collectibles, including games, comics, toys, and digital arts through smart contract capabilities and blockchain technology. Therefore, the platform targets pop-culture enthusiast, such as fandoms and gamers focusing on China and Southeast Asia.

Eventually, ChickenKingNFT leverages the existing KFC’s solid brand to attract new collectors. Through its website, ChickenKing offers 4,848 uniquely generated limited edition NFTs. The story of the Chicken King, refers to 6 chickens from 6 different backgrounds and characteristics, competing with each other to prove which one stands as the best chicken in the universe.

KFC offers every member the opportunity to receive discounts on physical merchandise and partner stores, attend exclusive community gatherings, and others. Currently, ChickenKingNFT can be purchased through OpenSea.

First step to go mainstream

The presence of these local marketplace platforms paved the way for more NFT use cases. Globally, many IP owners from various industry verticals have entered NFT, such as gaming, fashion, music, logistics, real estate, identification and documentation, and many other things. It seems that is just a matter of time until all of this happens in Indonesia.

“This technology [NFT] soon to be mainstream when it’s due,” Edward added.

Vaynerchuck believes that NFT is a representative of major cultural change. History teaches humanity that through change, comes skepticism and mass confusion. Many who scoff at the NFT’s idea or viability are simply do not understand the larger implications. Like the concept of online dating in the ’90s or have a trip with strangers (Uber and Lyft), every idea is “crazy” to the point where it’s deemed not.

NFT will continue to be seen as “fad” by those who haven’t changed their mindset to embrace where the world is going.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Ada empat layanan marketplace NFT lokal yang sudah beroperasi di Indonesia. Semuanya menawarkan keragaman unik utk mendukung kreator lokal / Pixabay

Memahami Non-Fungible Token (NFT), Mempercepat Adopsi di Indonesia

Demam non-fungible token (NFT) global yang terjadi sejak awal tahun ini membuka kesempatan bagi pemain lokal menawarkan kemudahan kepemilikan benda seni (digital) yang selama ini absen untuk para kolektor. Terhitung tahun ini setidaknya ada empat platform marketplace NFT yang sudah beroperasi di Indonesia. Mereka adalah TokoMall, Kolektibel, ChickenKingNFT (milik KFC), dan Paras Digital yang masing-masing menawarkan nilai uniknya.

Menurut data Wette.de, pasar NFT global memiliki kapitalisasi pasar sebesar $43,08 miliar dan volume perdagangan sekitar $3,6 miliar. Sementara menurut DappRadar, volume penjualan NFT melonjak menjadi $10,7 miliar pada Q3 2021, naik lebih dari delapan kali lipat dari kuartal sebelumnya.

Marketplace NFT terbesar di dunia, OpenSea, mencatat volume penjualan hingga $3,4 miliar pada Agustus 2021. Aktivitas tetap kuat bahkan pada September ketika pasar saham global goyah. Kenaikan harga mata uang kripto selama pandemi COVID-19 sering disebut sebagai pendorong di balik pertumbuhan pasar NFT — karena orang menggunakan mata uang kripto untuk membeli NFT — tetapi para pengamat mengatakan bahwa aset kripto memiliki nilai, terlepas dari kondisi pasar.

Hingga Oktober, Beeple masih menempati urutan pertama dalam daftar seniman NFT teratas dengan total nilai karya seni sebesar $145,03 juta. Menurut Cryptoart.io, sejauh ini dia telah menjual 1346 karya seni dengan penjualan rata-rata bernilai $107.752. Seniman peringkat kedua, Pak, mengikuti dari jarak yang cukup jauh dengan nilai total $56,41 juta.

Memahami NFT

Dari berbagai literatur, NFT paling mudah dipahami sebagai aset digital unik. Aset ini ada di berbagai industri, mulai dari seni digital, real estate virtual, hingga barang koleksi, game, dan masih banyak lagi. Pada dasarnya, semua jenis media dapat dicetak atau diberi token dan diubah menjadi NFT: seni, kartu perdagangan, meme, gif, klip video, klip audio, tweet, artikel ini — apa saja. Setelah diberi token, aset ini dapat dibeli, dijual, dan diperdagangkan menggunakan mata uang kripto.

Mengapa dunia berbondong-bondong terjun ke NFT? Menurut serial entrepreneur Amerika Serikat Gary Vaynerchuck (atau “GaryVee”) , ada tiga nilai tambah yang ditawarkan NFT, yakni utilitas, akses, dan mata uang sosial. Jika Anda memahami konsep di balik kartu keanggotaan, rewards kartu kredit, tiket ke acara khusus untuk anggota VIP, artinya Anda paham NFT.

“Jika Anda pernah membeli skin atau item virtual lainnya untuk gim video Anda, Anda memahami NFT. Alasan Anda menginginkan item itu adalah untuk menjadi utilitas di dunia yang Anda pedulikan, atau untuk memiliki pengaruh dan hak membual di antara teman-teman Anda dan orang lain. NFT akan memperluas utilitas yang sama dan ‘melenturkan’ mata uang sosial ke segala hal lainnya,” terang Vaynerchuck.

Dia melanjutkan, alasan orang membeli NFT adalah alasan yang sama dengan orang yang memakai pakaian berlogo desainer, mengendarai mobil mewah, atau menggantung gambar di dinding dengan orang penting. Itu alasan yang sama orang peduli dengan centang biru di Instagram.

“Bertahun-tahun ke depan, saya percaya bahwa kita semua akan memeriksa dompet digital satu sama lain dan terikat pada kepentingan bersama dalam pembelian NFT kita. Setiap orang akan memiliki semacam proyek NFT, dengan cara yang sama setiap orang memiliki akun media sosial.”

Di satu sisi, NFT akan membantu orang biasa menyadari takdir mereka yang sebenarnya sebagai seniman. Cara ini mirip dengan platform media sosial yang membawa orang menjadi influencer. NFT akan membuka pintu bagi begitu banyak orang dengan kecenderungan artistik untuk menjelajahi jalan yang tidak pernah mereka pikirkan.

Hal berikutnya yang menarik adalah NFT merevolusi kepemilikan IP. Fakta bahwa seniman akan terus mendapatkan royalti dari penjualan kembali karya digital mereka, akan memberdayakan pembuat konten dengan cara yang belum pernah dilihat sebelumnya. Setiap marketplace NFT populer memiliki aturan dan pilihannya sendiri dalam mengatur dan pembayaran royalti.

Di Rarible, seorang seniman dapat mentokenisasi dan mengatur penjualan NFT sendiri. Sebagai contoh, ketika membuat listing di Rarible, ia bisa mengatur berapa persentase royalti yang ingin diperoleh di setiap penjualan kembali di secondary market.

Di tahap pertama, setelah minting sebuah produk seni digital pertama kalinya, seniman tersebut mendapatkan semua bagian penjualan setelah dipotong komisi platform.

Di penjualan berikutnya, seniman tersebut akan mendapatkan komisi 20% dari setiap penjualan, meskipun dia tidak lagi terlibat langsung di penjualan itu. Sayangnya, ketika barang dipindah ke platform NFT lain, misalnya OpenSea, skema royalti itu tidak lagi berlaku dan tidak bisa ditransfer.

Co-founder dan Managing Partner Ideosource Edward Chamdani menjelaskan, royalti adalah hal terpenting bagi setiap kreator. Dia mencontohkan di industri musik, dulu untuk mendengarkan musik dari musisi kesayangan itu mediumnya melalui piringan hitam, kaset, dan CD. Seiring berjalannya waktu, mulai hadir iTunes hingga Spotify yang sebenarnya membantu rantai pasok ke konsumen akhir.

Namun, keberadaannya mematikan rantai pasok yang sebelumnya sudah terbentuk karena musisi tidak bisa lagi mencetak kaset hingga CD. Akhirnya label musik pun ikut terdampak sampai akhirnya gulung tikar. Padahal, pendapatan terbesar musisi itu datang dari penjualan barang fisik karena disitulah sumber royaltinya.

“Musisi itu tidak terproteksi dari zaman dulu, dari awalnya dapat royalti dari setiap penjualan keping CD, sekarang kehadiran platform digital jadi tidak bisa produksi CD. Royalti yang didapat dari platform digital kalau dihitung-hitung lebih untuk long term, sebab kalau dibandingkan dengan penjualan CD revenue di depan lebih besar,” terang Edward.

Kehadiran royalti disinyalir menjadi pendorong mengapa banyak seniman tertarik untuk masuk ke dunia NFT. Selain Rarible dan OpenSea, banyak pilihan marketplace dengan proposisi unik yang mereka tawarkan. Termasuk di antaranya adalah Axie Marketplace, CryptoPunks, NBA Top Shot Marketplace, SuperRare, KnownOrigin, Foundation, Nifty Gateway, Solanart, dan Hic Et Nunc.

Platform terakhir ini, menurut pantauan DailySocial, menjadi favorit destinasi para seniman lokal untuk menjual hasil karyanya. Salah satunya adalah band Souljah yang memanfaatkan NFT untuk memasarkan karya seni lagu berjudul “Keep On Moving”. Souljah merilis NFT dalam jumlah terbatas dan tidak pernah dirilis lagi pada 30 September 2021 melalui situs sendiri dan menjual merchandise digital melalui Hic Et Nunc.

NFT dengan kearifan lokal

Hype NFT membuat orang-orang berbondong-bondong menjadikan platform ini sebagai komoditas alternatif investasi, terlebih didukung kehadiran secondary market di berbagai platform marketplace populer. Meskipun demikian, NFT masih merupakan pasar yang sangat baru, sehingga perlu ekstra hati-hati.

Di balik risiko tersebut, banyak platform marketplace global yang kurang ramah bagi orang Indonesia yang masih awam dengan dunia NFT.  Untuk membeli sebuah karya di platform NFT, kolektor memerlukan wallet (dompet) yang kompatibel dengan jaringan blockchain yang mendukung NFT yang hendak dibeli melalui marketplace pilihan.

Jika berencana jual beli NFT melalui platform blockchain berbasis Ethereum, diperlukan dompet yang kompatibel. Sebagai contoh, OpenSea kompatibel dengan dompet Metamask, Bitski, Fortmatic, WalletConnect, dan lainnya. Selayaknya mengisi uang di dompet, Anda perlu mengisi dompet dengan beberapa aset kripto dengan jumlah tertentu sebelum membeli, mendaftar, atau mencetak NFT. Selain itu, perlu mencari tahu aset kripto apa yang digunakan oleh marketplace yang ingin digunakan.

Terakhir, membuat akun di marketplace. Pada sebagian besar marketplace, proses mendaftar, membuat NFT, menjual, hingga membeli di platform tersebut menimbulkan biaya jaringan blockchain yang besarannya tergantung pada sistem berbasis blockchain mana yang digunakan.

Mayoritas marketplace NFT hanya menerima pembayaran dengan koin Etherium. Ada beberapa lainnya yang menerima mata uang fiat dan metode pembayaran yang lebih standar, misalnya PayPal, namun hal ini masih jarang terjadi. Karena kondisi demikian, transaksi NFT bisa dikatakan cenderung mahal bila menggunakan ETH. Per tanggal 10 November 2021, 1 ETH seharga Rp67,6 juta ($4.808).

Celah ini kemudian dimanfaatkan Kolektibel sebagai pemain marketplace NFT baru yang mendesain platform-nya seramah mungkin agar dapat NFT dapat diadopsi secara cepat. Kolektibel mengadopsi NBA Top Shot ke Indonesia dengan memanfaatkan mata uang fiat melalui payment gateway untuk transaksi NFT-nya.

CEO Kolektibel Pungkas Riandika menjelaskan, setiap transaksi NFT dilakukan dengan mata uang fiat dan pembayarannya sudah terintegrasi dengan instrumen pembayaran digital yang populer, sebut saja GoPay, OVO, Virtual Account, kartu debit/kredit, hingga dapat membayar melalui Alfamart dan Indomaret.

Kolektibel berbeda dengan marketplace NFT lainnya karena berdiri di atas jaringan public blockchain Vexanium untuk pencatatan kepemilikan NFT. Vexanium disebut merupakan satu-satunya public blockchain asli Indonesia dengan entitas legal berbentuk yayasan (Yayasan Vexanium Teknologi Nusantara) besutan Danny Baskara.

Vexanium tidak membebankan biaya sama sekali. Berbeda dengan jaringan publik blockchain lainnya yang membebankan gas fee saat bertransaksi NFT. Strategi ini mampu dijalankan karena Vexanium menggunakan mekanisme DPOS (delegated proof of stake). Ini adalah salah satu varian dari proof of stake yang memberi manfaat operasional yang sangat hemat energi dan ramah lingkungan.

“Berikutnya, karena Vexanium memiliki kemampuan untuk approaching para pengambil keputusan (block producer) di entitas DAO Vexanium. Keputusan-keputusan seperti penentuan biaya (resources fee) yang terkait dengan NFT. Hal-hal tersebut tidak dapat ditemui di public blockchain lainnya,” ucapnya kepada DailySocial.

Menurut Pungkas, langkah ini diharapkan akan menjadi breakthrough bagi orang Indonesia karena mereka dapat langsung mengoleksi NFT dengan cara yang mudah. “Kalau diperhatikan, di DeFi untuk bertransaksi pakai kripto itu perlu proses yang panjang, salah satunya harus punya wallet, ada gas fee, dan sebagainya. Itu mempersulit adopsi NFT.”

Pendekatan Kolektibel berbeda dengan rekan sejawatnya dalam hal metode pembayaran. TokoMall hanya menyediakan aset kripto TKO untuk penukaran NFT, Paras Digital yang memanfaatkan NEAR, dan ChickenKingNFT yang menggunakan ETH. Ketiganya memanfaatkan integrasi dengan dompet MetaMask untuk bertransaksi.

TokoMall Kolektibel Paras Digital ChickenKing NFT
Jaringan blockchain Binance Smart Chain (BSC) Vexanium NEAR Protocol Ethereum (OpenSea)
Koin/Metode pembayaran TKO Fiat/IDR, melalui payment gateway NEAR ETH
Dompet MetaMask, WalletConnect Tidak ada MetaMask Apapun yang kompatibel dengan OpenSea
Fokus aset NFT Karya seni digital dari seniman, digital artist, dan komunitas kreatif Brand pemilik IP dari berbagai kategori, olahraga, kreatif, momen legendaris, dan budaya Digital collectible, termasuk game, komik, mainan, dan karya Maskot ayam KFC berkarakter

Diferensiasi pasar

Masing-masing marketplace NFT ini memiliki target pasar masing-masing untuk memopulerkan NFT di Indonesia. TokoMall, misalnya, menyasar kreator lokal, yang terdiri dari seniman, digital artist, dan komunitas kreatif bereputasi baik untuk terjun ke NFT. Sejauh ini ada 40 mitra yang sudah bekerja sama, termasuk Nevertoolavish, MaximallFootwear, DAMN! I Love Indonesia, Banyan Core, Si Juki, ONIC E-Sports, SoreSore, Mr. Kinur, Karya Karsa, Jakarta Metaverse, dan Museum of Toys.

Dengan cara ini, masing-masing kreator yang sudah memiliki basis penggemar dapat lebih mudah menarik massa untuk mengenal lebih jauh soal NFT.  TokoMall juga memungkinkan kolektor menukarkan NFT yang dikoleksi dengan merchandise fisik dari merchant partner di TokoMall melalui fitur TokoSurprise yang baru dirilis perusahaan.

“Pembeda dengan platform lainnya karena yang kita dorong adalah digital meets reality, jadi para kolektor ini berkesempatan untuk menukarkan NFT ke barang asli, jadi enggak sebatas koleksi digital saja,” kata VP Marketing Tokocrypto Adytia Raflein kepada DailySocial.

TokoSurprise

Raflein juga menuturkan, kehadiran TokoMall diharapkan dapat mendorong seniman dan brand untuk berkreasi di dunia NFT dengan platform lokal dan biaya yang jauh lebih bersahabat, daripada harus menggunakan platform global.

Dalam mekanisme TokoSuprise, kreator yang merilis karya NFT dengan jumlah terbatas dipasarkan melalui TokoMall. Setiap kolektor yang membeli karya tersebut berhak untuk menukarkannya ke merchandise fisik ke pihak TokoMall. Ke depannya, TokoMall akan menggandeng lebih banyak kreator dari berbagai vertikal bisnis, seperti perusahaan konsumer hingga industri e-sports agar NFT dapat semakin mainstream di Indonesia.

Sejak dua setengah bulan TokoMall diluncurkan, saat ini telah memiliki lebih dari 8.500 kolektor, lebih dari 5 ribu karya NFT yang diproduksi oleh 40 mitra official. Dari sisi penjualan, tercatat sudah lebih dari 250 NFT terjual dengan nilai transaksi Rp200 miliar.

Sementara itu, pada tahap kemunculan Kolektibel, pihaknya masuk ke segmen olahraga basket lewat kemitraan perdana dengan Indonesian Basketball League (IBL). Bagi IBL, inovasi ini adalah cara untuk mendekatkan penggemar basket dan IBL beserta para atletnya. IBL menyiapkan video dokumentasi pertandingan, dikurasi secara cermat berdasarkan momentum penting dalam pertandingan.

Shortlist momen tersebut dikemas ulang secara visual dan didaftarkan ke dalam blockchain smart contract, yang membuat tiap aset tersebut tercatat data sejarah kepemilikannya. Kesempatan ini juga membuka penambahan pendapatan baru untuk para atlet dan klub lewat penjualan NFT.

Setelah IBL, Kolektibel akan menyasar pemilik IP lainnya yang memiliki berbagai aset dengan kategorisasi di olahraga, kreatif, momen legendaris, dan budaya. Bila dilihat secara turunannya, akan semakin banyak aset NFT yang bisa koleksi oleh para kolektor. “Olahraga itu punya dinamika yang cepat dan dekat dengan masyarakat. Makanya, kategori ini jadi langkah kami untuk memahami lebih jauh bagaimana pengembangan NFT ke depannya seperti apa,” tambah Pungkas.

Adapun Paras Digital berambisi ingin menjadi pelopor transformasi pada digital collectible, termasuk game, komik, mainan, dan karya digital lewat kemampuan smart contract dan teknologi blockchain. Oleh karenanya, target penggunanya adalah pop-culture enthusiast, seperti fandom dan gamers dengan fokus pasar Tiongkok dan Asia Tenggara.

Terakhir, ChickenKingNFT memanfaatkan brand KFC yang sudah kuat untuk menarik kolektor baru. Lewat situsnya, ChickenKing menawarkan 4.848 NFT edisi terbatas yang dihasilkan secara unik. Kisah Raja Ayam, mengacu pada 6 ayam yang berasal dari 6 latar belakang dan karakteristik yang berbeda, yang saling bersaing untuk membuktikan siapa di antara mereka yang berdiri sebagai ayam terbaik di alam semesta.

KFC menawarkan setiap pemegang kartu anggota berkesempatan dapat diskon merchandise fisik dan toko mitra, menghadiri pertemuan komunitas eksklusif, dan penawaran lainnya. Saat ini, ChickenKingNFT dapat dibeli melalui OpenSea.

Langkah awal menuju mainstream

Kehadiran para platform marketplace lokal ini membuka jalan menuju lebih banyak use case NFT lainnya. Di kancah global, sudah banyak pemilik IP dari beragam vertikal industri yang masuk ke NFT, seperti gaming, fesyen, musik, logistik, real estate, identifikasi dan dokumentasi, dan banyak hal lainnya. Artinya, ini semua tinggal tunggu waktu saja sampai terjadi di Indonesia.

“Teknologi ini [NFT] akan masuk ke mainstream karena sudah waktunya,” tambah Edward.

Vaynerchuck percaya bahwa NFT adalah perwakilan dari perubahan budaya besar. Sejarah mengajarkan pada manusia dengan perubahan muncul skeptisisme dan kebingungan masal. Banyak yang mencemooh gagasan atau kelangsungan hidup NFT sama sekali belum memahami implikasi yang lebih besar. Seperti konsep kencan online di tahun 90-an atau naik mobil dengan orang asing (Uber dan Lyft), setiap ide “gila” sampai dianggap tidak.

NFT akan terus dilihat sebagai “keisengan” oleh mereka yang belum mengubah pola pikir untuk merangkul ke mana arah dunia.

Kolektibel NFT

Kolektibel Umumkan Kehadiran, Sediakan Platform NFT Ramah untuk Orang Indonesia

Di balik ramainya NFT di kancah global, belum banyak pilihan platform marketplace yang sesuai dengan kebiasaan orang Indonesia. Kesempatan tersebut ingin digarap oleh Kolektibel yang dirintis oleh Pungkas Riandika.

Dalam wawancara bersama DailySocial.id, Pungkas menjelaskan bahwa Kolektibel didesain sejak awal ingin membawa NFT dapat diadopsi oleh orang Indonesia sedini, secepat, dan seoptimal mungkin. “Kami ingin kabar baik ini [mengoleksi NFT] bisa diadopsi oleh masyarakat. Kolektor bisa pakai instrumen pembayaran digital yang dipakai sehari-hari untuk mengoleksi NFT,” terangnya.

Berbeda dengan marketplace lainnya, Kolektibel berdiri di atas jaringan public blockchain Vexanium untuk pencatatan kepemilikan NFT. Vexanium merupakan satu-satunya public blockchain asli Indonesia dengan entitas legal berbentuk yayasan (Yayasan Vexanium Teknologi Nusantara) besutan Danny Baskara.

Pungkas menuturkan keputusan untuk memanfaatkan Vexanium sangat berkaitan dengan awal mula lahirnya Kolektibel yang datang dari hasil diskusi dengan komunitas, yang berisi pebisnis, dosen, dan aktivis sosial media di industri blockchain. Setelah diskusi panjang, ia memandang Vexanium sebagai upaya eksperimental memanfaatkan teknologi blockchain dalam menciptakan lebih banyak use case.

Bagi Kolektibel, tentunya akan lebih mudah mengakses tim Vexanium bila ada yang dibutuhkan karena mereka sudah sepenuhnya legal dan tim ada di Indonesia. Terlebih itu, proses minting dalam Vexanium terbilang ekonomis dan real-time karena adopsinya secara global belum masif. “Makanya di tahap awal ini kami memilih Vexanium agar dapat berkembang bersama.”

Dari segi ketersediaan NFT, Kolektibel menerapkan konten terkurasi berasal dari pemilik IP secara resmi dan memiliki reputasi yang baik, bukan kreator yang bebas menaruh hasil karyanya di platform. Sebelum masuk proses minting, pemilik IP akan menyerahkan berbagai asetnya yang terdiri atas memoribilia, kaleidoskop, dan lainnya kepada Kolektibel. Selanjutnya, aset tersebut dikemas ulang dengan narasi yang lebih menarik agar dapat dikoleksi oleh para kolektor.

“Kami ingin menciptakan marketplace NFT yang jujur dan terpercaya, artinya kami paham bahwa industri ini punya kesan negatif yang banyak sekali. Jadi yang kami coba kembangkan adalah marketplace yang secara legit dan resmi menayangkan NFT dari para IP terkurasi.”

Memakai mata uang Rupiah

Perbedaan mencolok lainnya adalah Kolektibel tidak menggunakan mata uang kripto sebagai metode pembayaran NFT-nya, justru menggunakan fiat alias mata uang yang berlaku di negara tersebut, yakni Rupiah. Perusahaan sudah terintegrasi dengan instrumen pembayaran digital yang populer, sebut saja Gopay, OVO, Virtual Account, kartu debit/kredit, hingga dapat bayar melalui Alfamart, dan Indomaret.

Di kancah global, konsep ini bukan barang yang baru sudah lebih dahulu diadopsi oleh NBA Top Shot yang memakai mata uang Dolar untuk transaksi NFT. Platform ini dibuat oleh Dapper Labs yang menggunakan blockchain FLOW.

Pungkas menuturkan, langkah ini diharapkan akan menjadi breakthrough bagi orang Indonesia karena mereka dapat langsung mengoleksi NFT dengan cara yang mudah. “Kalau diperhatikan di DeFi untuk bertransaksi pakai kripto itu perlu proses yang panjang, salah satunya harus punya wallet, ada gas fee, dan sebagainya. Itu mempersulit adopsi NFT.”

Setelah pembelian NFT di primary market, para kolektor tentunya dapat kembali menjual asetnya ke secondary market dengan harga yang mereka tentukan sendiri. Kolektibel menetapkan revenue sharing dengan para pemilik IP untuk setiap aset NFT yang berhasil terjual dengan persentase sesuai dengan kesepakatan masing-masing.

Melalui kehadiran perdana Kolektibel secara closed beta, perusahaan menggandeng Indonesian Baskeball League (IBL) sebagai mitra IP perdana. Bagi IBL, inovasi ini adalah cara untuk mendekatkan penggemar basket dan IBL beserta para atletnya. IBL menyiapkan video dokumentasi pertandingan, dikurasi secara cermat berdasarkan momentum penting dalam pertandingan.

Shortlist moment tersebut dikemas ulang secara visual dan didaftarkan ke dalam blockchain smart contract, yang membuat tiap aset tersebut tercatat data sejarah kepemilikannya. Menariknya, sambung Pungkas, dalam pembagian revenue, IBL juga memberikan pembagian hasil untuk para atletnya memberikan kesejahteraan tambahan untuk atlet dan klubnya itu sendiri.

Setelah IBL, Kolektibel akan menyasar pemilik IP lainnya yang memiliki berbagai aset dengan kategorisasi di olahraga, kreatif, momen legendaris, dan budaya. Bila dilihat secara turunannya, akan semakin banyak aset NFT yang bisa koleksi oleh para kolektor. “Olahraga itu punya dinamika yang cepat dan dekat dengan masyarakat. Makanya, kategori ini jadi langkah kami untuk memahami lebih jauh bagaimana pengembangan NFT ke depannya seperti apa.”

Rencana berikutnya

Kolektibel adalah startup jebolan Starcamp, venture builder besutan Ideosource. Ideosource sendiri mengelola dua fund, di antaranya Ideosource Entertainment dan Gayo Capital. Berkat kehadiran Starcamp dan jaringannya yang luas, sangat membantu perusahaan, baik dari bantuan moril dan material, sehingga dapat eksekusi setiap rencana dengan cepat.

“Kami sangat terbantu dari sisi teknologi, back office, finance, project management, dan lainnya. Kita tahu NFT itu bergerak cepat maka perlu stakeholder dan partner yang bisa bergerak cepat pula.”

Menurutnya, NFT akan menjadi langkah awal bagi Kolektibel dalam mengutilisasi teknologi blockchain. NFT dapat menjadi akses baru dalam pengejawantahan bentuk baru di program loyalitas dalam suatu brand dan gerbang menuju ritel metaverse. “Konsep metaverse dan NFT ingin segera kami jahit bersama, makanya kami merasa bila saat ini sudah membicarakan NFT, maka metaverse tidak akan terlalu jauh ke depan.”

Pungkas percaya bahwa NFT akan menjadi kunci masa depan karena dapat menjadi nyawa kedua bagi pemilik IP. NFT dapat menerjemahkan dengan caranya sendiri tanpa bergantung pada satu entitas tertentu, murni kepercayaan dari komunitas. “Kami merasa community building akan menjadi forte dari Kolektibel, selain utilisasi pemanfaatan teknologi blockchain dan NFT itu sendiri,” tutupnya.

Secara entitas, Kolektibel terdaftar sebagai PT dengan entitas resmi sebagai marketplace. Perusahaan memakai blockchablin yang ter-decentralized untuk pencatatan kepemilikan aset digital, tapi tidak memakai mata uang kripto untuk transaksi. Dengan demikian, Kolektibel tidak masuk ke radar pengawasan Bappebti.

ACE Hardware Indonesia Hadirkan Aplikasi Mobile, Mudahkan Pelanggan Berbelanja

PT ACE Hardware Indonesia (ACE) tampaknya ingin mendongkrak pembeli mereka dengan melakukan pendekatan secara digital. Setelah beberapa waktu lalu mendukun peluncuran layanan e-commerce Ruparupa, kini mereka menghadirkan aplikasi mobile ACE Indonesia Mobile Application yang tersedia untuk platform Android dan iOS.

Aplikasi ini diterangkan pihak ACE sebagai salah satu cara mereka untuk merespon cara baru masyarakat dalam mencari info mengenai barang tertentu dan berbelanja.  Dengan mengusung slogan “Solution at Your Fingertip” aplikasi ACE Indonesia Mobile Application resmi diluncurkan untuk segera dapat menjadi salah satu cara pelanggan ACE berbelanja.

“Saat ini perilaku konsumen telah berubah dibanding sebelumnya. Oleh karenanya ACE pun menanggapi perubahan ini dengan inovasi yang mengutamakan kenyamanan dan kemudahan berbelanja bagi konsumen. ACE memahami konsumen kini selalu tersambung dengan internet melalui mobile device yang memungkinkan untuk berbagi informasi lebih cepat dan praktis,” terang Corporate Marketing Director Kawan Lama Group Nana Puspa Dewi.

Hal senada juga diungkapkan Head of Corporate Digital Marketing Kawan Lama Retail Pungkas Riandika. Ia mengatakan bahwa ACE Indonesia Mobile Application ini sengaja dihadirkan untuk menjadi pendamping yang bermanfaat bagi pelanggan ACE di seluruh Indonesia. Aplikasi ini diharapkan bisa menjadi solusi alternatif ketika kartu member fisik tertinggal. Aplikasi ini juga disebutkan memiliki fitur scanner QR code yang dapat digunakan untuk mengenali promo tambahan pada beberapa produk dari ACE Indonesia.

Nantinya, khusus bagi member ACE khusus bagi member ACE setelah mengaktifkan (login) kartu membernya di dalam aplikasi, selanjutnya dapat memanfaatkan fitur membership untuk memeriksa point rewards yang dimiliki dan sejarah penggunaannya, cek hadiah khusus member, update untuk mengetahui promo dan tawaran spesial bagi member serta promo ekslusif di merchant yang bekerja sama dengan ACE langsung dari perangkat yang digunakan.

Untuk pelanggan reguler, disediakan beberapa fitur yang memudahkan berbelanja, antara lain Product Highlight, Special Offer, Scan Barcode Promo, dan halaman Idea yang khusus disediakan untuk pengguna berupa saran dan penggunaan produk.

ACE Indonesia Mobile Application ini juga dilengkapi dengan fitur Store Location yang bisa dimanfaatkan untuk mengetahui jarak lokasi toko ACE, baik yang terdekat maupun secara menyeluruh. Selanjutnya untuk menjaga kepuasan pelanggannya ACE juga menyediakan Ace Care. Sebuah  halaman dengan fasilitas customer care ACE, yang memungkinkan pelanggan bisa bertanya atau pun menyampaikan saran melalui email, telepon maupun online chatting.

Application Information Will Show Up Here