Tag Archives: pwc

Exclusive Interview: Industri VR di Indonesia di Luar Gaming

Industri AR/VR mungkin tidak berkembang sepesat yang diharapkan pada beberapa tahun lalu. Menurut GlobalData, tahun ini industri AR/VR tahun bernilai US$5 miliar. Padahal, pada 2015, nilai industri AR/VR diperkirakan akan mencapai US$150 miliar. Meskipun begitu, menurut data dari PwC, teknologi AR/VR akan tetap dapat mendorong ekonomi global. Dalam laporan berjudul Seeing is Believing, PwC menyebutkan, teknologi AR dan VR dapat memberikan dorongan sebesar US$1,5 triliun pada ekonomi global di 2030.

Bentuk Dorongan yang AR/VR Berikan

Di laporan Seeing is Believing, PwC juga menjelaskan bagaimana teknologi AR/VR dapat mendorong ekonomi global. Mereka menyebutkan, keuntungan yang bisa didapat oleh perusahaan dari teknologi AR/VR beragam, mulai dari mempercepat proses desain produk sampai menjadi alat latihan untuk mengerjakan tugas berbahaya. Sebagai contoh, militer bisa menggunakan VR untuk melatih pasukan dalam menjinakkan bom.

Selain itu, AR/VR juga bisa memangkas waktu yang dibutuhkan perusahaan dalam mendesain produk. Karena, teknologi AR/VR memungkinkan perusahaan untuk menguji konsep produk tanpa harus membuat prototipe dari produk tersebut. Dampaknya ke konsumen, hal ini membuat perusahaan dapat memberikan produk dengan kualitas lebih baik dalam waktu yang lebih singkat.

Dampak AR/VR pada ekonomi global. | Sumber: PwC

Contoh industri yang menggunakan teknologi VR untuk memangkas waktu desain produk adalah industri otomotif. Menurut PwC, waktu yang dibutuhkan oleh perusahaan otomotif untuk membuat desain pertama sampai model di dunia nyata adalah beberapa minggu. Namun, dengan VR, proses tersebut bisa dilakukan hanya dalam waktu beberapa hari saja.

Perusahaan juga bisa menggunakan teknologi AR/VR untuk mendapatkan sumber pemasukan baru. Saat ini, perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang retail, jasa, dan otomotif tengah mempertimbangkan untuk menggunakan AR atau VR untuk menampilkan produk yang mereka tawarkan pada konsumen. Sementara perusahaan game dan hiburan mencoba untuk memberikan pengalaman yang sama sekali baru dengan teknologi AR/VR.

Industri VR di Indonesia: Pandemi Justru Dorong Pertumbuhan

Untuk mengetahui tentang industri AR/VR di Indonesia, saya menghubungi Andes Rizky, Managing Director, Shinta VR. Ketika ditanya soal nilai industri AR/VR di Tanah Air, Andes berkata, “Kalau nilai industri, saya mengacu sama perhitungan dari PwC dengan beberapa adjustment, bahwa Indonesia masuk dalam pasar Asia Pasifik non-Tiongkok. Kalau kita sesuaikan, sebenarnya potensi pasar AR/VR di Indonesia itu bisa sekitar US$500 juta sampai US$2 miliar pada 2025.”

Lebih lanjut, Andes bercerita, konsumsi konten AR/VR di Indonesia mulai naik sejak 2019. Karena, ketika itu, Oculus Quest diluncurkan. Keberadaan Oculus Quest mendorong pertumbuhan industri VR karena jika dibandingkan dengan headset VR lain, Oculus Quest punya harga yang lebih terjangkau. Hal lain yang mendorong pertumbuhan industri AR/VR, ungkap Andes, adalah karena semakin banyak influencers dan YouTubers yang membuat konten VR, jika dibandingkan dengan 5 tahun lalu.

“Kalau dari peningkatan penjualan sendiri, kita memperkirakan, 2020-2021 ini, peningkatan pendapatan para startup VR naik di angka 50-200% dari tahun 2019,” kata Andes saat dihubungi melalui pesan singkat. “COVID-19 menyebabkan banyak sekali perusahaan, institusi pemerintah, dan masyarakat melirik VR sebagai solusi pandemi.”

Bisnis AR/VR di Indonesia

Mengutip data dari data dari Indonesia VR/AR Association (INVRA), Andes mengatakan, saat ini, ada sekitar 20 startup yang bergerak di bidang AR/VR di Indonesia. Kebanyakan dari startup itu fokus pada bisnis business-to-business (B2B). “Yang punya produk hanya beberapa startup, seperti Shinta VR dengan Millealab, Space Collab, dan Virtual Character, WIR dengan produk MINAR dan DAV, Octagon Studio dengan AR Card Education, dan Assmbler,” jelas Andes.

Startup AR/VR yang melayani perusahaan sebagai klien, mereka biasanya mengerjakan proyek berdasarkan apa yang diinginkan oleh sang klien. “Jadi, perusahaan klien mau buat konten VR, lalu dikerjakan oleh startup-nya,” kata Andes. “Nah, permintaannya macam-macam, ada untuk marketing, training, dan lain sebagainya.”

Perusahaan yang menjadi klien startup VR berasal dari industri yang beragam. Pariwisata dan kesehatan jadi contoh industri yang pelakunya menggunakan AR/VR. Sementara sektor yang paling banyak menggunakan teknologi AR dan VR, menurut Andes, adalah sektor hiburan, pendidikan, dan human development. “Kalau AR, kemungkinan, sektor retail dan e-commerce akan berlomba ke sini,” ujarnya.

Kabar baik untuk pelaku industri AR/VR, generasi milenial dan gen Z yang tinggal di kota-kota besar Indonesia biasanya sudah mengerti VR. Artinya, perusahaan-perusahaan AR/VR tidak perlu terlalu mengkhawatirkan edukasi konsumen. “Jadi, orang-orang di rentang umur 10-35 tahun di kota besar, mereka sudah mengerti VR itu apa. Setidaknya, mereka sudah pernah lihat konten di media sosial atau YouTube, yang bahas tentang VR, walaupun mereka belum pernah langsung coba,” kata Andes. “Kalau dibandingkan dengan lima tahun lalu, edukasi dan awareness tentang VR sudah jauh lebih baik.”

Selama ini, salah satu masalah terbesar yang menghambat industri AR/VR tumbuh adalah harga hardware yang mahal. Namun, menurut Andes, masalah ini bisa diakali dengan membuat produk yang memang sesuai dengan permintaan pasar di Indonesia dan menerapkan strategi harga yang sesuai. “Kita di Shinta VR, untuk melakukan market fit research, kita butuh 6 bulan di 2018,” ungkap Andes. “Kita melakukan iterasi produk beberapa kali. Satu kali iterasi validasi, biasanya membutuhkan waktu 2 bulan.”

Andes menyebutkan, riset menjadi kunci bagi Shinta VR untuk menetapkan harga dari produk mereka. Sementara soal harga ideal dari produk VR, dia mengatakan, hal itu targantung pada keadaan pasar. Karena itulah, dia menekankan, penting bagi perusahaan untuk melakukan riset market fit. “Iterasi produk bisa sampai tiga kali atau lebih,” ujarnya. “Sebagian orang masih menganggap bahwa VR itu mahal dan eksklusif. Padahal, memang dia kebetulan belum ketemu dengan vendor atau produk yang memang sesuai dengan kemampuan mereka. Atau mungkin karena added value-nya kurang tersampaikan.”

Selama ini, Shinta VR dikenal berkat Milealab mereka, yaitu platform yang mendukung penggunanya untuk membuat konten edukasi VR. Tahun ini, mereka meluncurkan produk baru bernama Spacecollab, yang merupakan sistem pelatihan untuk universitas dan perusahaan, dan Maha5, agensi untuk para Virtual YouTuber alias Vtubers.

Andes percaya, ke depan, industri Vtubers di Indonesia akan menjadi besar. Meskipun begitu, menurutnya, hal yang dapat membuat industri VR menjadi mainstream adalah konsep metaverse dari Meta, yang dulu dikenal dengan nama Facebook.

“Konsep meta ini punya banyak efek. Pertama, NFT dan blockchain system semakin meningkat. Kedua, produsen headset VR akan berlomba-lomba untuk membuat alat yang ringan dan murah. Ketiga, emotional connection insight dalam dunia metaverse ini bisa memberikan insight konsumen dengan lebih komprehensif. Empat, sudah pasti akan leverage penggunaan AI dan machine learning,” kata Andes. “Konsep Meta Facebook sebenernya untuk lebih mendapatkan insight emotional loh. Dan ini bakal banyak dibutuhkan dalam dunia commerce atau social-commerce.”

Sumber: Pexels

Transformasi digital di industri perbankan / Pexels

Bagaimana Perbankan Indonesia Melihat Disrupsi Digital

Lembaga riset PwC merilis laporan survei bertajuk “Digital Banking in Indonesia 2018”. Survei tersebut dilakukan pada 43 institusi perbankan di Indonesia melibatkan 52 responden yang terdiri dari kalangan CEO, Vice CEO, C-Level dan pemegang kendali strategis bank lainnya. Secara garis besar, survei ini ingin menangkap tentang kepedulian perbankan di Indonesia dengan strategi digital guna menangkap peluang konsumen dan mengimbangi disrupsi teknologi yang tengah mengguncang dunia.

Umumnya strategi digital dielaborasikan ke dalam lini strategi lain yang sudah ada sebelumnya. Di perbankan Indonesia, kebanyakan dari responden (66%) menjawab bahwa strategi digital ditempatkan ke dalam bagian strategi korporasi. Respons tersebut dinilai menunjukkan arah baik, yakni penerimaan strategi digital sebagai strategi bisnis, bukan semata-mata inisiatif teknologi informasi.

Penempatan strategi digital di dalam perbankan / PwC
Penempatan strategi digital di dalam perbankan / PwC

Indikasinya, bank-bank besar telah memulai perjalanan transformasi digital terlebih dulu. Namun survei juga masih menemukan tantangan dalam mengembangkan pandangan umum tentang strategi digital. Tim produk, tim pelayanan, tim teknologi, dan tim digital khusus menciptakan strategi digital mereka sendiri-sendiri.

Fokus strategi digital

Sektor konsumen (90%) yang selama ini dipandang sebagai benteng stabilitas perbankan justru mendominasi jawaban terkait fokus strategi digital yang akan digulirkan perbankan. Pun demikian dengan segmentasi yang disasar, kalangan umum menjadi prioritas terbesar (70%). Pada responden menyatakan bahwa ada indikasi area tersebut akan mulai terganggu pemain fintech dalam kurun lima waktu mendatang, sehingga strategi digital yang digulirkan harus memastikan layanan bank akan tetap relevan di masa itu.

Fokus implementasi strategi digital dalam perbankan / PwC
Fokus implementasi strategi digital dalam perbankan / PwC

Dalam praktiknya masih banyak kalangan pelanggan yang lebih memilih interaksi langsung (dengan manusia) dengan proses bisnis yang sudah ada tatkala berurusan dengan finansial, namun pendekatan digital memang menjadi layak diprioritaskan untuk memastikan perbankan mampu bersaing di semua segmen konsumen. Melalui teknologi, fintech memberikan akses 24/7 terhadap layanan yang disediakan. Mereka mencoba untuk menjadi layanan yang konsumen-sentris.

Temuan menarik lainnya dari responden survei, penerapan strategi digital yang sudah banyak diusung saat ini ialah untuk memfasilitasi layanan pelanggan (82%). Saat ini perbankan mulai aktif di media sosial menjawab berbagai keluhan atau pertanyaan dari pelanggan. Di lain sisi mulai ada perbankan yang mulai mengembangkan layanan berbasis chatbot sehingga dapat memberikan otomasi selama 24/7 dalam pelayanan pelanggan.

Bentuk layanan yang disasar dengan strategi digital perbankan / PwC
Bentuk layanan yang disasar dengan strategi digital perbankan / PwC

Akuisisi pelanggan juga menjadi hal yang dianggap penting (68%), mereka memanfaatkan inovasi digital untuk menggiring konsumen baru, menghadirkan pembeda dengan layanan dari institusi lain.

Strategi digital dikontrol CIO/CTO

Sekitar 64% responden percaya lingkungan teknologi informasi yang ada di perusahaan saat ini sudah cukup efektif mendukung strategi digital yang ada. Implikasinya persentase paling besar terkait kepemimpinan strategi digital dipikul CIO/CTO (36%), sebagai kepala unit teknologi di perusahaan. Peran mereka dianggap penting, pasalnya transformasi digital dalam perbankan dianggap akan berhasil jika telah diawali dengan transformasi di lingkungan perusahaan itu sendiri.

Tulang punggung strategi digital dalam perbankan / PwC
Tulang punggung strategi digital dalam perbankan / PwC

Kendati demikian ada beberapa hal yang menjadi tantangan organisasi dalam proses pengembangan perangkat lunak untuk mendukung transformasi digital. Beberapa yang umum dikeluhkan misalnya soal “Time to Market” cenderung lama atau terlambat sehingga menghilangkan beberapa fitur penting. Selain itu “Development Agility” juga menjadi hambatan lain, menjadikan perusahaan tidak bisa secara cepat memenuhi permintaan pasar. Faktor “Usability and Interoperabillity” turut masuk ke dalamnya, padahal ini menjadi salah satu landasan penting dalam mengikuti inovasi teknologi.

Beberapa faktor di atas ternyata juga berkorelasi pada kekhawatiran akan risiko yang terjadi dalam transformasi digital perbankan. Persentase terbesar menghawatirkan jaminan keamanan sistem (48%), sebagian besarnya lagi menghawatirkan ketersediaan talenta untuk menopang kebutuhan strategi digital tersebut (38%), dan dinamika teknologi yang sangat cepat turut menimbulkan kekhawatiran (34%) di tengah persaingan antar bisnis yang makin ketat.

Kekhawatiran perbankan dengan pendekatan digital ke depannya / PwC
Kekhawatiran perbankan dengan pendekatan digital ke depannya / PwC

Mendorong strategi digital

Esensi dari layanan bank tidak pernah berubah, digitalisasi layanan mengarahkan agar prosesnya menjadi lebih efektif memanfaatkan perangkat komputasi yang dimiliki pengguna. Pemain fintech dari menawarkan kemudahan dengan aspek digital tersebut, membuat perbankan tidak mau berdiam diri. Dari survei pun dikemukakan, bahwa inovasi platform digital perbankan menjadi yang paling digencarkan (90%). Kemudian yang kedua justru pada analisis big data (78%).

Aset terbesar bank adalah pada basis data pengguna yang sudah sangat besar. Digitalisasi yang sudah dimulai mengonversi pencatatan data manual ke sistem komputer. Data besar tersebut kini disadari dapat menjadi sebuah investasi dalam penyusunan strategi, sehingga platform berbasis analisis dinilai menjadi urgensi bank untuk dikembangkan. Tujuannya untuk menemukan tren yang dihimpun langsung dari basis nasabah perbankan itu sendiri, dikenal dengan istilah “Know Your Customer”.

Produk digital yang menjadi prioritas pengembangan / PwC
Produk digital yang menjadi prioritas pengembangan / PwC

Yang tak kalah menarik justru keterbukaan perusahaan terhadap teknologi baru. Dalam visualisasi persentase di atas, Artificial Intelligence dan Blockchain memiliki porsi cukup, dua pendekatan teknologi dini digadang-gadang akan banyak merevolusi sektor keuangan dalam beberapa waktu ke depan.

Persaingan dengan pemain fintech

Tidak dimungkiri bahwa fintech mulai mendapatkan porsi konsumen yang besar. Sehingga tidak mengherankan perkembangannya cukup memberikan kekhawatiran kepada bisnis perbankan. Dari hasil survei PwC, kebanyakan responden memberikan jawaban terkait pemain mana yang mulai banyak mempengaruhi sektor keuangan. Jawaban terbesar ialah GO-PAY, disusun Alibaba (AliPay), Grab, hingga Tokopedia. Keunggulan masing-masing platform yang disebutkan tadi selain mereka memiliki fitur finansial digital, mereka juga memiliki komoditas layanan dan produk yang sehari-hari dapat dipakai oleh konsumen.

Pemain fintech yang dianggap mulai mengganggu sektor perbankan / PwC
Pemain fintech yang dianggap mulai mengganggu sektor perbankan / PwC

Indonesia tengah mengalami booming e-commerce dan fintech. Memanfaatkan teknologi, mereka dapat berlari kencang melakukan akuisisi pengguna dan mempelajari tren kebutuhan yang ada. GO-JEK misalnya, dari basis data awal konsumen transportasi on-demand kini mulai berkembang dengan pelayanan lain. Belum lagi sektor lain, termasuk ritel, telekomunikasi, hingga perusahaan teknologi yang mulai melirik potensi pemanfaatan teknologi keuangan.

PwC: Media Internet Diprediksi Kuasai 20% Porsi Iklan Indonesia Tahun 2021

Lembaga firma PricewaterhouseCoopers (PwC) melaporkan kue iklan di Indonesia untuk segmen internet bakal tetap tertinggal dibandingkan televisi. Laporan ini dirangkum dalam hasil riset PwC berjudul “Global Entertainment and Media Outlook 2017-2021”.

Lebih detil dijelaskan, PwC memprediksi total belanja iklan di Indonesia pada 2021 mendatang sebesar US$13,7 miliar atau naik 63,1% dibandingkan belanja di 2016 senilai US$8,4 miliar.

Pada tahun yang sama, diperkirakan kue belanja iklan untuk video (TV, web video, bioskop) mencapai 53,8% dari total belanja, naik tipis sebesar 53,6% di 2016. Angka ini jadi terbesar dibandingkan media lainnya. Misalnya, media cetak (majalah, koran, B2B) bakal mengalami penurunan dari porsi 28,4% menjadi 20,4%.

Akan tetapi, pertumbuhan terbesar berada di internet (paid search, display, classified) dari porsi 13,1% menjadi 21,5%. Sementara untuk media iklan lainnya seperti out-of-home, musik (radio, konser), dan video game bakal tetap menempati posisi terbawah.

Masih digunakannya televisi sebagai media iklan terbaik, disebabkan masih belum meratanya kesiapan infrastruktur Indonesia terutama penetrasi internet berbasis kabel.

PwC melaporkan penetrasinya pada tahun lalu baru mencapai 9% terhadap total rumah tangga, sementara untuk 2021 naik 6% menjadi 15%. Dari segi penetrasi mobile internet diperkirakan bakal naik jadi 50% dari sebelumnya 30% di 2016.

Iklan konten video juga didominasi dari televisi

Masih dari laporan PwC, konten video untuk media beriklan di Indonesia didominasi oleh televisi dengan porsi 79,9% pada 2021 mendatang. Angka tersebut turun tipis dibandingkan 2016 sebesar 81,59%. Segmen lainnya ditempati oleh TV dan video berlangganan 10,38% dari sebelumnya 10,58%, iklan video online 6,09% dari 3,03%, dan sisanya ditempati cinema box office dan iklan bioskop.

Dari angka di atas, terlihat bahwa televisi bakal tetap menjadi raja di dunia periklanan untuk konten video. Meski, secara pertumbuhan tertinggi tetap terlihat di segmen internet. Akan tetapi, kenaikan tersebut bakal beriringan dengan kesiapan perbaikan infrastruktur untuk konektivitas internet di Indonesia.

Iklan internet berpeluang tumbuh tinggi

PwC melihat masih adanya ruang tumbuh untuk iklan online di Indonesia. Segmen ini masih menjadi bagian terbesar di sektor global dan perkirakan akan mengalami tingkat pertumbuhan tertinggi, baik secara global maupun lokal.

PwC Telecom Media and Technology Leader Indonesia Mohammad Chowdhury mengatakan pasar periklanan internet di Indonesia menunjukkan pertumbuhan kuat dibandingkan segmen lainnya. Sementara pertumbuhan di Singapura, misalnya lebih redup, di mana tampilan non-video diperkirakan akan merosot pada periode tersebut.

“Perusahaan hiburan dan media di Indonesia memiliki peluang besar untuk mendekatkan diri dengan konsumen dan menciptakan pengalaman pengguna yang memuaskan. Sebagaimana yang terjadi di negara lain di wilayah yang sama, perusahaan media di Indonesia harus mengubah konsumen menjadi penggemar,” katanya Kamis (3/8).

Dari laporan PwC, iklan internet di Indonesi masih difokuskan untuk koneksi berbasis broadband dengan porsi 78% dibandingkan mobile 22%. Bila dijabarkan lebih dalam, iklan internet sebanyak 39,8% dikontribusikan oleh classified, paid search 25%, video display 16,4%, dan lainnya 10,9%.

Sementara untuk mobile, didominasi video display 43,2%, disusul paid search 29,7%, dan lainnya 29,3%.

Riset PwC tentang Consumer Behaviour dan Layanan E-Commerce di Indonesia

Maraknya layanan e-commerce di Asia Tenggara kerap menjadi bahan riset dan analisa bagi lembaga survei hingga perusahaan konsultan internasional. Salah satu perusahaan yang tertarik untuk membuat rangkuman consumer behavior, tren dan strategi bermanfaat untuk penggiat startup dan pelaku layanan e-commerce adalah PricewaterhouseCoopers atau biasa disingkat PwC, perusahaan yang bergerak di sektor jasa konsultansi yang secara profesional menangani beberapa bidang yaitu akuntansi, jasa profesional, perpajakan, konsultansi.

Kepada media, hari ini PwC menjabarkan informasi menarik sarat dengan data dan prediksi yang bisa digunakan oleh pihak terkait untuk menganalisa dan memberikan layanan terbaik kepada konsumen. Survei yang dilakukan di 29 negara termasuk Indonesia, Vietnam, Thailand, Singapura, Filipina dan Malaysia ini, menghasilkan tren yang sarat dengan hal-hal penting dan pastinya patut untuk dicermati.

Indonesia sendiri terdapat 500 responden yang di survei oleh PwC, secara keseluruhan terdapat 24 ribu lebih data yang dikumpulkan dari survei yang dilakukan secara global oleh PwC.

Kebangkitan konsumen dari kalangan millennial

Faktanya adalah diperkirakan 70% konsumen di kawasan Asia Tenggara akan memasuki usia 40 pada tahun 2020. Hal tersebut menandakan untuk saat ini target pasar dan konsumen paling aktif adalah mereka yang berada pada usia aktif bekerja, kerap menghabiskan waktu online, menyukai teknologi dan inovasi terkini dan tentunya early adopters dari teknologi terbaru.

Terkait dengan motivasi dari kalangan tersebut untuk membeli produk secara online di Indonesia adalah, harga serta pilihan produk yang beragam dalam aplikasi mobile dan desktop. Tingginya penetrasi smartphone low cost di Indonesia sebanyak 43,7% juga menjadi pemicu makin banyaknya kunjungan ke berbagai situs e-commerce di Indonesia.

Termasuk catatan PwC adalah tingginya pengguna internet di Asia Tenggara yang diperkirakan bakal mencapai sekitar 350 juta pengguna hingga tahun 2020. Indonesia sendiri memberikan kotribusi saat ini sekitar 136 juta pengguna internet aktif.

Alasan pengguna membeli produk secara online

Kurangnya rasa percaya atau trust dari pengguna terhadap situs layanan e-commerce dan pembelian lainnya secara online di Indonesia, menjadi salah satu alasan mengapa masih sedikit masyarakat Indonesia tertarik untuk membeli atau membayar produk secara online.

Alasan lain pada akhirnya konsumen tertarik untuk membeli produk secara online adalah return goods policy sebanyak 37%, ulasan produk dari pembeli lainnya di situs sebanyak 29%, fasilitas atau fitur yang memungkinkan pembeli melihat stok barang secara online sebanyak 29%, barang yang tidak pasaran sebanyak 28% dan yang paling penting adalah kemudahan serta tampilan yang menarik dari situs serta aplikasi mobile layanan e-commerce sebanyak 28%.

PwC juga mengemukakan kategori produk yang paling banyak dibeli secara online, yaitu buku, musik, film, dan video game sebanyak 59%, baju dan sepatu sebanyak 53%, produk kecantikan 48%. Sementara untuk kebutuhan sehari-hari seperti produk groceries lebih banyak dibeli secara offline, hanya 27% orang membeli produk tersebut secara online.

Solusi pemasaran digital

Salah satu solusi pemasaran yang dicermati PwC untuk meningkatkan jumlah akuisisi pelanggan adalah melalui pemasaran digital yang efektif. Agar bisa mewujudkan hal tersebut, perusahaan wajib untuk merekrut dan berinvestasi kepada pegawai yang memiliki kemampuan dan kecerdasan yang baik dalam hal pengetahuan seputar media sosial.

Dari data yang ada PwC menyimpulkan sebanyak 57% promosi dan pemasaran yang efektif adalah melalui Facebook dan Twitter. Sementara promosi secara visual yang efektif dan viral adalah melalui Instagram, Snapchat, Pinterest dan Youtube sebanyak 44%. Situs yang memiliki multibrand juga merupakan cara yang bisa diterapkan untuk menambah jumlah pelanggan.

Rangkuman singkat PwC

Secara keseluruhan dalam waktu dua tahun terakhir jumlah pembeli produk secara online di Indonesia meningkat secara signifikan. Sementara sekitar 36% konsumen di Indonesia membeli produk secara online tiap bulannya. Smartphone akan menjadi perangkat unggulan untuk pembelian produk secara online di masa mendatang. Konsumen di Indonesia memiliki jumlah trust tertinggi melakukan belanja secara online dibandingkan konsumen di negara Asia Tenggara lainnya.