Tag Archives: Quora

Dua tahun beroperasi di Indonesia, Quora belum melakukan monetisasi. Perusahaan baru memiliki satu pegawai lokal

Dua Tahun Perjalanan Quora di Indonesia

Identitas Quora sebagai platform tanya jawab sudah begitu melekat di seantero jagat. Kepopulerannya tersebut mendorongnya untuk masuk ke Indonesia, negara dengan populasi tertinggi keempat di dunia, pada 2018 dengan menghadirkan situs berbahasa Indonesia.

Quora kemudian menunjuk Alanda Kariza sebagai Community Manager Quora Indonesia. Ia jadi satu-satunya pegawai lokal di Indonesia.

Kepada DailySocial, Alanda mengklaim sejak hadir dalam bahasa Indonesia, antusiasme pengguna sangat baik. Meski tidak melampirkan data terkait pertumbuhan kunjungan, konten, maupun pengguna, ia menyebut bisa dikatakan Quora di Indonesia adalah salah satu pasar Quora dengan pertumbuhan tercepat di luar Amerika Serikat dan India.

Peluncuran Quora untuk versi bahasa Indonesia
Peluncuran Quora untuk versi bahasa Indonesia

Untuk membuktikan pernyataan Alanda, DailySocial menggunakan data SimilarWeb untuk mendapatkan sedikit gambaran. Dengan membandingkan situs Quora berbahasa Inggris dan Indonesia, serta kompetitornya, ditemukan bahwa selama Juli-September 2020, situs Indonesia setiap bulannya dikunjungi 3,6 juta kali.

Adapun pengunjung unik bulanan (monthly unique visitor) sebanyak 2,1 juta orang, rata-rata waktu yang dihabiskan pengguna saat mengunjungi situs Quora Indonesia adalah 3 menit 14 detik dengan 2.19 halaman tiap kunjungan.

Menariknya, situs Quora bahasa Indonesia lebih banyak dikunjungi ketimbang versi Inggris. Menurut SimilarWeb, situs tersebut dikunjungi sebanyak 2,5 juta kali dan pengunjung unik bulanan 1,19 juta orang, untuk periode yang sama.

DailySocial juga membandingkan kompetitornya, meski tidak apple-to-apple, dengan Reddit (yang diblok) dan Brainly. Tak lupa kami memasukkan Yahoo Answers ID, satu-satunya yang memiliki irisan segmen secara langsung. Ternyata Brainly menempati urutan teratas untuk semua metrik pengukuran yang digunakan SimilarWeb.

Sumber: SimilarWeb
Sumber: SimilarWeb

Brainly dikunjungi 140,9 juta kali dan 30,99 juta orang adalah pengunjung unik bulanan. Brainly punya konsep yang mirip dengan Quora, hanya saja ia lebih dikhususkan untuk dunia pendidikan, sehingga penggunanya terbatas untuk kalangan pelajar dan edukator. Brainly sendiri sudah hadir di Indonesia sejak 2014.

Alanda menjelaskan, topik yang paling banyak diakses oleh Quoran (sebutan pengguna Quora) di antaranya sejarah, kesehatan, pendidikan tinggi, teknologi informasi, kuliner, sains, dan psikologi. “Saat pandemi, pengguna menghabiskan waktu lebih banyak di Quora dibandingkan saat sebelum pandemi,” katanya.

Dalam menjalankan tugasnya sebagai platform tanya jawab, Alanda menerangkan Quora selalu berusaha menjaga kualitas kontennya melalui beberapa kebijakan, termasuk kewajiban pengguna menggunakan nama asli dan kredensial profesi atau pendidikan untuk menunjukkan kredibilitasnya dalam menjawab pertanyaan.

Selain itu, membuat sistem moderasi untuk menurunkan konten spam atau plagiat dengan memanfaatkan kombinasi manusia dan bot, terutama untuk konten-konten dengan kata-kata kasar. “Kami juga membuat kebijakan BNBR (Be Nice, Be Respectful), di mana sesama pengguna harus saling menghargai dan menghormati.”

Dari sisi pengembangan fitur, sambungnya, baru-baru ini Quora meluncurkan Ruang (“Spaces” di Quora bahasa Inggris). Di sana pengguna bisa mengkurasi konten pertanyaan, jawaba, atau blog yang menurut mereke menarik sesuai dengan topik masing-masing.

“Antusiasme pengguna Quora di Indonesia sangat tinggi terhadap Ruang ini, dan kini fitur ini bisa digunakan oleh semua pengguna.”

Sumber: Quora
Sumber: Quora

Di Indonesia, operasional Quora dijalankan oleh Alanda sendiri. Ia juga mengonfirmasi bahwa di sini Quora belum melakukan monetisasi, sementara untuk Quora dalam bahasa Inggris sudah memiliki iklan. Kantor pusat Quora saat ini hanya di Mountain View, California, dan India.

Karena pengaruh pandemi, sejak Juni ini perusahaan bertransformasi menjadi remote first, sehingga karyawan bisa bekerja dari manapun yang mereka inginkan dan tetap berlaku hingga pandemi dinyatakan selesai.

Dalam berbagai pemberitaan, Quora termasuk “terlambat” dalam monetisasi, bertahan dengan idealismenya untuk tidak mengacaukan situsnya dengan tampilan iklan. Perusahaan akhirnya “menyerah” pada 2016 dan mulai menerima iklan pertama dari Uber.

“Tidak ada yang menyukai iklan banner, iklan dari perusahaan yang curang, atau iklan yang tidak relevan dengan kebutuhan mereka,” kata perusahaan saat itu. “Namun, kami optimis bahwa kami akan dapat memperkenalkan iklan di Quora dengan cara yang sesuai dan idealnya membuat produk menjadi lebih baik.”

Menurut data per 23 Januari 2020, dikatakan Quora memiliki 300 juta pengguna aktif bulanan. Komposisi terbesar datang dari India, disusul Amerika Serikat, dan Kanada. Pendapatan mereka disebutkan sebesar $8 juta pada 2018.

Sumber: Quora
Sumber: Quora

Kesempatan pemain lokal

Di kancah global, ada banyak platform tanya jawab seperti Quora dengan target konsumen yang berbeda-beda. Ada Stack Overflow yang telah berevolusi menjadi platform untuk topik tentang teknologi, budaya/rekreasi, hobi/seni, sains, profesional, dan bisnis yang disajikan dalam situs tersendiri untuk masing-masingnya.

Sedangkan, untuk topik yang lebih universal, seperti Quora, dapat ditemukan di Yahoo Answers, WikiHow, Ask.com, Answers.com, Reddit, dan sebagainya. Sementara untuk topik mengenai edukasi, yang menjadi fokus utama Brainly, juga tak kalah banyak. Ada Byju, Teachoo, Photomath, dan sebagainya. Di level lokal pun ada Kelas Kita yang punya konsep serupa.

Masih bicara tentang kesempatan pemain lokal, untuk menyaingi Quora bukanlah hal yang mudah. Sebelumnya sudah ada beberapa pemain yang sudah mencoba peruntungan di sini dan akhirnya tenggelam dengan sendirinya. Mereka adalah TADO (Tanya Dong), Tanyain.com, dan Infonesia.

Kisah ini mungkin mirip dengan fakta bahwa belum ada aplikasi pesan instan lokal yang mendominasi di negaranya sendiri. Salah satu pemain baru yang mencoba peruntungan di sini adalah Philoit yang baru beroperasi sejak tahun lalu. Mereka menolak disandingkan oleh Quora, walau secara fungsi dasarnya adalah sama.

Kiblat mereka justru Zhihu, platform serupa dari Tiongkok yang dilengkapi dengan gamifikasi untuk menarik pengguna dari kalangan milenial. Philoit punya optimis tinggi dengan membangun ekosistem platform tanya jawab terlebih dahulu, baru mengundang orang-orang kredibel ke dalamnya.

Kesalahan pemain sebelumnya adalah langsung menggunakan expert atau figur publik untuk menarik audiens, sementara ekosistem diskusi belum terbentuk bahkan belum tervalidasi. Kesalahan ini akhirnya membuat platform kesulitan untuk mempertahankan expert.

Philoit Q&A Platform for Millennials’ Creative Space

Not just building a question-and-answer platform, Philoit was initiated last year because of the uneasiness of the “unconscious problem” or the phenomenon of unconscious problems in society, which was felt by the Co-Founders Philoit Aldi Tahir and Pieter Surya. They feel that young people in Indonesia spend their energy on content that does not build literacy and knowledge in digital media.

From the data Aldi quoted, more than 60% of Indonesia’s young people spend more than 4 hours on the Internet. In fact, as many as 7% of them spent more than 11 hours on the internet. In other words, the youth’s time and energy is spent on media discussion content that does not build knowledge, such as the thousands of comments on YouTube and Instagram that every opinion written on them will not be read and lead to ongoing discussion.

“This anxiety makes it difficult for us to share the background of [the Philoit being initiated], because the problem we are solving is called an” unconscious problem “. But fortunately recently there was a Netflix documentary “The Social Dilemma” which can very clearly describe the problem in the algorithm on the internet, making us bound and become a product of media consumption, “explained Aldi to DailySocial.

The background of the two co-founders has to do with the core product of Philoit. Aldi mastered technical expertise in data & machine learning which was strengthened by literacy from books about technology and its relation to human behavior in consuming the digital world, and the use of AI.

Meanwhile Pieter has a passion in education in the field of teaching teachers and tutors. He previously started a startup called Tutoreal, to connect parents who need tutors. “But before Pieter launched its digital product, we met and agreed to build a Philoit.”

Philoit is one of the startups participating in the DailySocial Launchpad 1.0 incubation program, the incubation program from TheGreaterHub SBM ITB, BekUP Bekraf for Startup 2020, Cubic Incubator (Bandung), and one of the startup partners at Block71 Bandung.

Currently, Philoit is still actively mentored by Aji Santika from Feedloop-DeepTech-StartupBandung and Novistiar from HarukaEdu.

Zhihu as an objective not Quora

Aldi continued, a popular question-and-answer platform, especially in Indonesia, is Quora, which is always used as a mecca. Even though the basic functionality of the platform is similar, he claims Philoit is more focused on providing features to engage active users in discussions within the application.

These features include gamification, points & levels, titles & achievements, and the digital currency “Philoit COIN” which can be exchanged for prizes. “Philoit wants to stand in the middle as a combination of conventional forums and media-based applications full of various unique features because its aim is to target young people.”

He prefers to place Philoit as an “expert hub” by taking the mecca of a Chinese player named Zhihu. This question and answer platform is included in the top 10 most accessed applications in the Bamboo Curtain country. Its features are more or less the same as Philoi, there are gamification and stats features, like playing games in the form of sharing and discussion.

“Apart from that, the demographics and forms [of habits] of Indonesians and Chinese are similar, which can be good examples in building a similar success platform.”

Because he is passionate about becoming an expert hub, Aldi admits that his party is still perfecting Philoit’s features and core business which will be implemented by inviting experts to join. This is because the company wants to build an ecosystem from a question and answer platform first, then inviting credible people into it.

This strategy was taken because the lessons learned were drawn from the failures of previous players, that in the early stages they immediately used experts / public figures to attract the audience. Meanwhile, the discussion ecosystem in which the form is formed and has not even been validated, which in the end faces difficulties in maintaining the experts / figures in it.

Business plan and challenges

Aldi said that currently Philoit has not carried out monetization. However, in the plan, the company will implement a business model form “Pay Per Question”, not freemium or subscribe. For that, he invites credible experts or resource persons to the platform to answer any questions.

“Just like experience in the game world, users are required to buy diamonds which will later be used to ‘unlock’ content from experts.”

According to him, this concept is the customization of the user experience because users can choose what content they need and want to access. Moreover, this method is in accordance with the habits of young people who tend to be choosy. Users only need to pay for content for which they want to read answers, opinions, or opinions, from experts who are experts in their fields.

As for the challenge itself, considering that Philoit has a coin redeem feature as a form of appreciation for every opinion, discussion, point of view, and a form of content contribution from anyone and gives the same right to benefit.

“This is very different from other UGC platforms which do manual filtering of people who become partners or special contributors and get benefits such as money and others.”

However, at the beginning of the test, many users took advantage of the gap in order to collect as many coins as possible in various ways. Common examples include answers that do not fit the context of the question, copy and paste other people’s answers or from other content without including links, spam best answers, spam unvotes, and use multiple accounts.

“There are even those who directly attack our system and access coin changes through the database. Honestly, that’s not what we wanted from this coin system. ”

Finally, the team made a strategy change by updating the terms and conditions of the redemption, and updating the system that could automatically differentiate content quality based on text analysis. You do this by giving weight to the input from the user, so that the provision of content by the system varies.

Meanwhile, to minimize negative content, his party chose several active users to become moderators who manually report on existing content.

“For other challenges in the future, we believe there will still be, but on the way, we believe that honesty from users, sincerely sharing opinions along with a balance of benefits to be obtained, will form a good sharing ecosystem in Philoit.”

Aldi explained that in the future he wants to apply AI technology like those already used by large platforms such as Quora and Zhihu. Also, developing other interesting features such as Room to accommodate the questions and answers that occur during an event

“We have tried this feature by conducting several independent events and inviting experts in the form of sharing and online discussions. Every question submitted to the expert at the event will be shown live in a specific room that can be accessed by anyone, even after the event ends, “he concluded.

Philoit has so far been bootstrapping and is planning to do some fundraising. Since its release last year, now Philoit has more than 20 thousand registered users with a total of about 190 thousand question and answer content and 14 thousand blog posts. The application has been downloaded more than 10 thousand times on the Play Store.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Platform tanya-jawab Philoit menempatkan diri sebagai expert hub seperti platform sejenis dari Tiongkok Zhihu, bukan Quora karena ada gamifikasi untuk milenial

Platform Tanya-Jawab Philoit dan Ambisinya Wadahi Milenial untuk Berdiskusi

Tidak sekadar membangun platform tanya-jawab, Philoit dirintis pada tahun lalu karena ada kegelisahan masalah “unconscious problem” atau fenomena masalah yang tidak disadari di dalam masyarakat, yang dirasakan oleh Co-Founder Philoit Aldi Tahir dan Pieter Surya. Mereka merasa anak muda di Indonesia menghabiskan energinya kepada konten-konten yang tidak membangun literasi dan pengetahuan dalam media digital.

Dari data yang Aldi kutip, lebih dari 60% generasi muda Indonesia menghabiskan waktu lebih dari 4 jam di Internet. Bahkan, sebanyak 7% di antaranya menghabiskan lebih dari 11 jam di internet. Dengan kata lain, waktu dan energi generasi muda habis di dalam konten-konten diskusi media yang tidak membangun pengetahuan, seperti ribuan komentar di YouTube dan Instagram yang setiap opini yang ditulis di dalamnya tidak akan dibaca dan menimbulkan diskusi berkelanjutan.

“Kegelisahan ini membuat kami kesulitan untuk menceritakan latar belakang [Philoit dirintis], sebab masalah yang kami selesaikan disebut “unconscious problem”. Tapi untungnya baru-baru ini muncul dokumenter Netflix “The Social Dilemma” yang bisa menggambarkan dengan sangat jelas masalah tersebut ada di algoritma di dalam internet, membuat kita terikat dan menjadi produk dalam konsumsi media,” terang Aldi kepada DailySocial.

Latar belakang kedua co-founder ini berkaitan dengan inti produk Philoit. Aldi menguasai keahlian teknis mengenai data & machine learning yang diperkuat dengan literasi dari buku-buku tentang teknologi dan kaitannya mengenai perilaku manusia dalam mengonsumsi dunia digital, serta penggunaan AI.

Sementara Pieter memiliki passion di pendidikan untuk bidang pengajaran guru dan tutor. Ia sebelumnya merintis startup bernama Tutoreal, untuk menghubungkan orang tua yang membutuhkan guru les. “Tetapi sebelum Pieter melakukan launch produk digitalnya, kami bertemu dan sepakat untuk membangun Philoit.”

Philoit merupakan salah satu startup yang mengikuti program inkubasi DailySocial Launchpad 1.0, program inkubasi dari TheGreaterHub SBM ITB, BekUP Bekraf for Startup 2020, Cubic Incubator (Bandung), dan salah satu startup partner di Block71 Bandung.

Saat ini, Philoit masih aktif dimentori oleh Aji Santika dari Feedloop-DeepTech-StartupBandung dan Novistiar dari HarukaEdu.

Zhihu sebagai kiblat, bukan Quora

Aldi melanjutkan, platform tanya-jawab yang populer, terutama di Indonesia, adalah Quora yang selalu dijadikan kiblatnya. Walau fungsi dasar platformnya serupa, tapi ia mengklaim Philoit lebih fokus menyediakan fitur-fitur untuk meng-engage pengguna aktif berdiskusi di dalam aplikasi.

Fitur tersebut di antaranya gamifikasi, poin & level, title & achievement, dan mata uang digital ‘Philoit COIN’ yang dapat ditukar dengan hadiah. “Philoit ingin berdiri di tengah-tengah sebagai gabungan antara forum konvensional dan aplikasi berbasis media yang penuh berbagai macam fitur unik karena tujuannya untuk menyasar anak muda.”

Ia lebih ingin menempatkan Philoit sebagai ‘expert hub’ dengan mengambil kiblat pemain sejenis dari Tiongkok bernama Zhihu. Platform tanya jawab ini masuk ke dalam jajaran 10 besar aplikasi yang paling banyak diakses di negeri Tirai Bambu tersebut. Fiturnya kurang lebih sama dengan Philoi ada fitur gamifikasi dan stats, selayaknya bermain game dalam bentuk sharing dan diskusi.

“Selain itu, demografi dan bentuk [kebiasaan] orang Indonesia dan Tiongkok pun serupa yang bisa menjadi contoh baik dalam membangun platform sukses yang serupa.”

Karena semangatnya ingin menjadi expert hub, Aldi mengaku pihaknya masih menyempurnakan fitur Philoit dan core bisnis yang akan diimplementasikan dengan mengundang expert untuk bergabung. Pasalnya, perusahaan ingin membangun ekosistem dari platform tanya jawab terlebih dulu, baru mengundang orang-orang kredibel ke dalamnya.

Strategi tersebut diambil karena dari pembelajaran ditarik dari kegagalan pemain sebelumnya, bahwa pada tahap awal mereka langsung menggunakan expert/figur publik untuk menarik audiens. Sedangkan ekosistem diskusi di dalamnya bentuk terbentuk dan bahkan belum tervalidasi, yang pada akhirnya menghadapi kesulitan untuk mempertahankan para expert/figur di dalamnya.

Tantangan dan rencana bisnis

Aldi menuturkan saat ini Philoit belum melakukan monetisasi. Namun dalam rencananya, perusahaan akan mengimplementasikan bentu model bisnis ‘Pay Per Question’ bukan freemium atau subscribe. Untuk itu, ia mengundang expert atau narasumber yang kredibel ke dalam platform untuk menjawab setiap pertanyaan.

“Sama halnya seperti pengalaman dalam dunia game, pengguna diharuskan membeli diamond yang nantinya akan digunakan untuk ‘unlock’ konten-konten dari expert.”

Menurutnya, dengan konsep ini adalah kustomisasi user experience karena pengguna bisa memilih konten apa yang mereka butuhkan dan ingin untuk diakses. Lagipula cara ini sesuai dengan kebiasaan anak muda yang cenderung pemilih. Pengguna hanya perlu membayar konten yang ia ingin baca jawaban, opini, atau pendapat, dari expert yang ahli di bidangnya.

Adapun mengenai tantangannya itu sendiri, mengingat Philoit punya fitur coin redeem sebagai bentuk penghargaan terhadap setiap opini, diskusi, sudut pandang, dan bentuk kontribusi konten dari siapapun dan memberikan hak yang sama untuk mendapat keuntungan.

“Hal ini sangat berbeda dengan platform UGC lainnya yang melakukan penyaringan secara manual terhadap orang-orang yang dijadikan partner atau kontributor khusus dan mendapat benefit seperti uang dan lainnya.”

Akan tetapi, pada awal pengujian banyak pengguna yang memanfaatkan celah agar dapat mengumpulkan koin sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara. Contoh yang umum terjadi adalah jawaban yang tidak sesuai konteks pertanyaan, copy-paste jawaban orang lain atau dari konten lain tanpa menyertakan tautan, spam jawaban terbaik, spam unvote, dan menggunakan akun ganda.

“Bahkan ada yang langsung menyerang sistem kami dan mengakses perubahan koin melalui database. Jujur, bukan itu yang kami inginkan dari adanya sistem koin ini.”

Akhirnya, tim melakukan perubahan strategi dengan memperbarui syarat dan ketentuan penukaran, dan pembaruan sistem yang secara otomatis dapat membedakan kualitas konten berdasarkan analisa teks. Caranya dengan memberikan bobot terhadap input dari pengguna, sehingga pemberian konten oleh sistem bervariasi.

Sementara untuk meminimalisir konten negatif, pihaknya memilih beberapa pengguna aktif untuk menjadi moderator yang melakukan pelaporan secara manual atas konten-konten yang ada.

“Untuk tantangan yang lainnya ke depan kami percaya masih akan terus ada, tetapi dalam perjalanan, kami percaya kejujuran dari pengguna secara tulus membagikan pendapat disertai dengan keseimbangan benefit yang akan didapat, akan membentuk suatu ekosistem sharing yang baik di Philoit.”

Aldi menerangkan ke depannya ia ingin menerapkan teknologi AI seperti yang sudah dipakai oleh platform besar seperti Quora dan Zhihu. Juga, mengembangkan fitur menarik lainnya seperti Room untuk mengakomodasi tanya jawab yang terjadi dalam suatu event.

“Fitur ini sudah kami coba dengan melakukan beberapa event independen dan mengundang expert dalam bentuk sharing dan diskusi online. Setiap pertanyaan yang diajukan kepada expert di event tersebut akan ditampilkan live di suatu room spesifik yang bisa diakses oleh siapa pun, bahkan setelah event berakhir,” pungkasnya.

Philoit sejauh ini bootstrapping dan berencana untuk melakukan penggalangan dana. Sejak dirilis pada tahun lalu, kini Philoit sudah memiliki 20 ribu lebih pengguna terdaftar dengan total sekitar 190ribu konten tanya jawab dan 14 ribu konten tulisan blog. Aplikasi sudah diunduh lebih dari 10 ribu kali di Play Store.

Application Information Will Show Up Here
Quora is launching in Bahasa Indonesia

Quora Introduces Bahasa Indonesia Version to Improve The Community’s Knowledge

Quora, the platform for information and knowledge sharing, is now officially supporting Bahasa Indonesia. In accessing the website from Indonesia, there will be options in Bahasa Indonesia. It becomes the first in Southeast Asia region.

Veni Johanna, Quora’s Engineering Manager, is assured, with Bahasa Indonesia support Indonesia’s users will have more contribution to knowledge and information distribution, particularly in the younger generation.

“Indonesia is one of the biggest markets that still have difficult access to information and knowledge. Given the big number of internet users active on social media in Indonesia,” she said.

In the launching on Wednesday (5/30) in Jakarta, she admits the additional language in its platform is in line with Quora mission to distribute and develop the good quality of knowledge worldwide.

In order to provide the qualified information, Quora emphasized the credibility value required by users, such as birth name, credential, and biography, also other links to another social media.

However, Quora focused on the politeness among users and its anonymity whether the question related to the sensitive issue.

In the same occasion, Budi Rahardjo as an expert, tech observer, and Quora user find out that Bahasa can encourage many students to have questions and give comprehensive answers.

“As an academic person using Quora, I find the intention and desire to be better by helping to answer the questions,” said the man which also an active blogger.

Meanwhile, Ivan Lanin as an activist of Bahasa Indonesia thinks that Quora has an additional point in the questions among users. In fact, the questions asked in Quora must be structured.

“In Quora, [writing] questions is no joke. It is the strong point of Quora. Therefore, the questions asked in Quora are sometimes appeared in Google search and facilitate users who have been looking for answers or information,” he said.

Quora was founded in 2009 by the former Chief Technology Officer (CTO) of Facebook, Adam D’Angelo. The company which based in Mountain View, California, has been supported in seven languages with more than 200 million unique visitors per month.

Combining technology and human to prevent hate speech

Quora has its own way to prevent hate speech distribution in its platform. By combining technology and community, Quora optimist to prevent the distribution of hate speech content.

“We combine machine learning and human to detect those content. It actually works, our machine learning can detect content which contains hate speech,” she said.

Nevertheless, if these kinds of content were found in Bahasa version, Quora will do the same thing. They will place the people who qualified in Bahasa to moderate content.

“We’re confident with the strong combination of technology and community, it can prevent the [existence] content.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Peluncuran Quora untuk versi bahasa Indonesia

Quora Hadirkan versi Bahasa Indonesia untuk Dorong Pengetahuan Masyarakat

Platform berbagi informasi dan pengetahuan Quora kini resmi mendukung bahasa Indonesia. Jika kita mengakses situs Quora dari Indonesia, tersedia pilihan untuk mengakses konten dalam bahasa Indonesia. Hal ini menjadi versi pertamanya untuk kawasan Asia Tenggara.

Menurut Engineer Manager Quora Veni Johanna, dukungan bahasa Indonesia diyakini dapat mendorong pengguna di Tanah Air berkontribusi terhadap penyebaran informasi dan pengetahuan, terutama anak-anak muda.

“Indonesia salah satu pasar terbesar di mana akses terhadap informasi dan pengetahuan di internet masih sulit. Apalagi, pengguna internet di Indonesia banyak dan aktif di media sosial,” ungkap Veni.

Dalam peluncurannya di Jakarta, Rabu (30/5/2018), Veni juga mengungkap bahwa penambahan bahasa di platformnya sejalan dengan misi Quora untuk menyebarkan dan mengembangkan pengetahuan dunia yang berkualitas.

Untuk menyajikan informasi berkualitas ini, Quora menekankan pentingnya nilai-nilai kredibilitas yang wajib dipenuhi pengguna, seperti kebijakan nama asli, kredensial dan biografis, hingga tautan ke profil medisa sosial lain.

Selain itu, Quora mengutamakan kebijakan sopan santun antarpengguna dan anonimitas pengguna apabila pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan isu atau topik sensitif.

Dalam kesempatan sama, akademisi, pengamat teknologi, dan pengguna Quora Budi Rahardjo menilai bahwa kehadiran dukungan bahasa Indonesia dapat mendorong banyak pelajar untuk mau menyumbang pertanyaan dan memberikan jawaban secara komprehensif.

“Sebagai akademisi yang juga menggunakan Quora, saya menemukan keinginan atau nuansa untuk menjadi lebih baik dengan membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan,” ujar pria yang juga aktif sebagai blogger ini.

Sementara, aktivis Bahasa Indonesia Ivan Lanin justru menilai Quora memiliki nilai lebih pada pertanyaan-pertanyaan yang diajukan antarpengguna. Perlu diketahui, pertanyaan yang diajukan di Quora harus terstruktur.

“Di Quora, [menulis] pertanyaannya tidak bisa asal. Ini yang menjadi kekuatan di Quora. Nah, karena ini juga, pertanyaan di Quora sering muncul di hasil pencarian Google sehingga memudahkan pengguna yang ingin mencari jawaban atau informasi,” tuturnya.

Quora didirikan pada 2009 oleh eks-Chief Technology Officer (CTO) Facebook Adam D’Angelo. Perusahaan berbasis Mountain View, California, ini telah didukung dalam tujuh bahasa dengan lebih dari 200 juta pengunjung unik per bulan.

Padukan teknologi dan manusia untuk tangkal hate speech

Quora juga memiliki cara tersendiri untuk mencegah penyebaran konten berbau ujaran kebencian (hate speech) di platformnya. Menggabungkan kekuatan teknologi dan komunitas, Quora meyakini kedua hal di atas dapat menangkal keberadaan konten-konten tersebut.

“Kami memadukan machine learning dan manusia untuk mendeteksi konten-konten tersebut. Ini cukup berhasil, machine learning kami bisa mendeteksi konten yang mengandung hate speech,” ujar Veni.

Pun demikian, apabila konten semacam ini ditemukan di platform bahasa Indonesia, Quora juga akan melakukan yang sama. Quora akan menempatkan orang yang memiliki pemahaman bahasa Indonesia untuk melakukan moderasi konten.

“Kami yakin perpaduan teknologi dan komunitas yang kuat dapat menangkal [keberadaan] konten-konten tersebut.”

Application Information Will Show Up Here

Infonesia dan Rencana Menjadi “Knowledge Sharing Platform” di Indonesia

Indonesia telah menjadi pasar yang menguntungkan bukan hanya untuk layanan e-commerce namun juga platform media sosial. Facebook, Instagram, dan Twitter, merupakan media sosial internasional yang digemari dan memiliki jumlah pengguna besar di Indonesia. Melihat tren tersebut, hadir Infonesia, startup lokal terkini yang mencoba untuk menjadi enabler dari semua platform media sosial dan menyasar pengguna yang memiliki pengikut dalam jumlah yang cukup banyak di akun media sosial.

Didirikan Ihsan Fadlur Rahman selaku CEO, Infonesia yang merupakan knowledge sharing platform, mengklaim memiliki model bisnis yang berbeda, bukan hanya memberikan keuntungan bagi pemberi jawaban (responden) namun juga kepada mereka yang bertanya dengan menerapkan sistem berbayar.

“Usai melanjutkan studi saya di luar negeri, saya tertarik dengan fenomena yang ada di Indonesia, yaitu besarnya rasa ingin tahu masyarakat Indonesia terhadap isu politik, gaya hidup hingga selebriti. Saya pun tertarik untuk membuat suatu media yang mengedepankan suara sebagai platform tanya jawab di Indonesia,” kata Ihsan.

Bukan sekedar platform tanya jawab biasa

Sekilas layanan yang ditawarkan oleh Infonesia serupa dengan Quora, Ask.fm, atau produk lokal Selasar. Namun dengan fokus kepada suara, Infonesia diharapkan memberikan sense personalisasi yang lebih original bagi responden kepada penanya dan penguping (pendengar).

“Selain memberi respon secara gratis, pengguna juga berhak memberikan respon berbayar menggunakan Virtual Diamond Infonesia yang memiliki nilai konversi ke Rupiah. Penanya yang berhasil mendapatkan responden berbayar, dapat mengundang pengguna lain untuk menjadi pendengar (penguping) hanya dengan membayar 1 diamond (senilai Rp.1000). Nantinya responden dan penanya akan mendapatkan persentasi dari total pemasukan yang diterima dari penguping tersebut,” kata Ihsan.

Waktu yang diberikan kepada responden untuk menjawab dalam bentuk suara adalah dengan durasi maksimum 60 detik. Responden berhak memilih pertanyaan yang ingin dijawab dari penanya. Jika pertanyaan dihiraukan oleh responden dalam waktu dua hari, penanya berhak mendapatkan Virtual Diamond tersebut kembali.

Dipercaya 500 Startups

Saat ini Infonesia telah mendapatkan seed funding dari 500 Startups. Yang menarik pendanaan awal ini didapatkan Infonesia jauh sebelum produk diluncurkan. Tim Infonesia yang dibangun Ihsan menjadi salah satu modal yang ditawarkan kepada venture capital asing.

“Sebelum meluncurkan produk Infonesia, saya telah melakukan pendekatan dengan 70 venture capital asing. Dari semua VC tersebut yang kemudian tertarik untuk memberikan modal awal adalah 500 Startups. Mereka nampaknya tertarik karena selama ini belum berinvestasi kepada startup seperti Infonesia yang belum memiliki produk,” kata Ihsan.

Kini. setelah Infonesia telah meluncurkan aplikasi mobile versi Android, pendanaan dari 500 Startups akan digunakan untuk melakukan promosi, edukasi menyeluruh kepada pengguna tentang Infonesia, menambah jumlah engineer, sekaligus menambah jumlah responden yang ada.

“Untuk ke depannya saya juga berharap Infonesia bisa menjadi produk yang stabil dan menguntungkan dengan bisnis model yang ada. Meskipun langkah awal kami merangkul banyak selebriti menjadi responden, kami juga berencana untuk menambah jumlah responden dari kalangan bisnis, hingga teknologi,” kata Ihsan.

Selama bulan Ramadan mendatang, Infonesia telah bekerja sama dengan MUI menghadirkan ulama untuk menjadi responden dalam platform tanya jawab di Infonesia.

Application Information Will Show Up Here

Rencana dan Target Selasar Usai Pivot Jadi Platform Tanya Jawab

Setalah menjalankan bisnis sebagai platform social blog, akhir Desember 2016 lalu Selasar resmi melakukan pivot menjadi platform tanya jawab dan jurnal khusus bahasa Indonesia. Startup yang didirikan CEO Miftah Sabri, COO Pepih Nugraha dan Chief Content Officer Arfi Bambani ini berangkat dari pengalaman serta potensi untuk kemudian menghadirkan platform yang serupa dengan Quora dari Amerika Serikat.

“Dengan latar belakang saya sebagai seorang dosen dan entrepreneur, saya melihat kesuksesan yang telah dicapai oleh Huffington Post dan BuzzFeed di Amerika Serikat nampaknya bisa menjadi peluang juga di tanah air. Setelah menjalankan bisnis sebagai social blog selama 2 tahun, akhirnya Desember 2016 Selasar resmi bertransformasi,” kata Miftah.

Saat ini Selasar mengklaim telah memiliki sekitar 25 ribu pengguna yang kebanyakan berasal dari kalangan mahasiswa dan akademisi yang kerap menulis di jurnal Selasar dengan topik politik hingga gaya hidup. Dengan konsep terbaru diharapkan Selasar bisa menjangkau lebih banyak lagi kalangan untuk bisa dengan aktif memanfaatkan platform tanya/jawab hingga jurnal di Selasar.

“Bukan hanya jurnal dengan topik yang umum, di Selasar nantinya pengguna juga bisa menuliskan fiksi hingga puisi sesuai dengan minat yang ada. Untuk menjamin konten tersebut original dan relevan, kami juga melakukan kurasi terlebih dahulu,” kata Miftah.

Proses filtering dan verifikasi pengguna

Selasar menawarkan pilihan media sosial Facebook dan Google untuk pengguna yang ingin mendaftar dan memanfaatkan platform tanya/jawab dan jurnal di Selasar, sementara untuk pengguna yang enggan untuk mendaftar bisa memanfaatkan pilihan Topik secara langsung. Saat ini Topik yang paling banyak dicari oleh pengguna adalah gaya hidup dan politik.

“Karena suasana politik sedang memanas, jadi tulisan, tanya dan jawab tentang politik makin marak bermunculan di Selasar. Namun kami juga memiliki topik lainnya mulai dari teknologi, startup, astronomi, personal finance, internasional, kecantikan dan masih banyak lagi,” kata Miftah.

Secara demografi saat ini pengguna terbanyak dari Selasar adalah pria dewasa, untuk kalangan millennial hingga perempuan masih belum banyak jumlahnya. Hal inilah yang kemudian menjadi tantangan dari Selasar, agar bisa menjangkau semua kalangan di Indonesia.

“Sebenarnya sejak awal kami tidak menargetkan pasar secara khusus, namun karena platform social blog yang sebelumnya diluncurkan lebih banyak menarik perhatian kalangan pria, akhirnya saat ini kami lebih banyak memiliki pengguna dari kalangan pria. Namun ke depannya kami berharap Selasar bisa digunakan untuk semua kalangan,” kata Miftah.

Untuk memastikan kebenaran dari pengguna, Selasar melakukan proses penyaringan yang ketat dan verifikasi. Hal tersebut untuk memastikan konten yang positif sesuai dengan kultur dari Selasar yaitu ramah, respect, dan internet positif.

“Kami juga menyediakan fitur flag untuk pengguna yang merasa terganggu dengan tulisan atau jawaban serta pertanyaan yang ada di Selasar. Kami juga memastikan tim Selasar memperhatikan hal-hal tersebut,” kata Miftah.

Fokus Selasar di tahun 2017

Meskipun masih terbilang baru semenjak pivot dilancarkan, saat ini Selasar telah memiliki rencana sepanjang tahun 2017. Mulai dari pengembangan web based dalam kuartal pertama, pengembangan aplikasi mobile platform Android dan iOS, kemudian di akhir tahun 2017 Selasar bakal meluncurkan gamification untuk pengguna yang bisa dimanfaatkan untuk monetisasi. Selain itu Selasar juga akan menciptakan Corporate Account untuk sektor perbankan hingga financial technology (fintech) yang ingin memanfaatkan platform tanya/jawab di Selasar.

“Kami menyadari sebagai platform seperti Selasar harus bisa melancarkan monetisasi untuk bisnis. Untuk itu gamification merupakan pilihan yang paling sesuai bagi pengguna Selasar atau yang kami sebut Selasares,” kata Miftah.

Terkait investor Selasar, Miftah enggan untuk menyebutkan siapa dan berapa jumlah investasi yang telah didapatkan. Saat ini Selasar juga tengah melakukan penggalangan dana untuk putaran Seri A.

“Kami sudah mendapatkan investor yang berlokasi di Singapura dan untuk mendukung rencana yang ada kami juga tengah melakukan penggalangan dana. Sudah ada beberapa yang tertarik dan menerima model bisnis yang kami miliki,” tutup Miftah.

Lima Alasan Pendiri Startup Mundur Setelah Perusahaan Diakuisisi

Dunia perusahaan rintisan adalah dunia yang dinamis dan cepat berubah. Ada banyak drama juga yang terjadi di sini, investasi, strategi exit IPO atau akuisisi, hingga siapa yang akan menjadi unicorn. Pun demikian, salah satu kasus yang menarik ada dalam drama akusisi yang tak jarang membuat para CEO pendiri memutuskan untuk mundur dari perusahaan yang dibangunnya.

Memang ada beragam alasan CEO pendiri startup mundur dari jabatannya ketika proses akuisisi terjadi. Ini juga akan kembali pada filosofi yang dipegang teguh oleh masih-masing individu. Tapi bila harus dirangkum, lima alasan yang diungkap oleh CEO dan Co-Founder EchoSign Jason M. Lemkin di Quora menurut saya sudah bisa mewakili jawaban dari pertanyaan kenapa ada CEO yang keluar setelah proses akuisisi.

Sulit bekerja untuk orang lain

Alasan pertama dan paling umum adalah tidak bisa bekerja untuk orang lain. Pendiri yang menjabat sebagai CEO umumnya tidak keberatan bekerja dengan orang lain, bahkan tidak perlu menjadi “bos” pun bukan masalah besar bagi mereka. Tapi, ketika proses akusisi terjadi dan mereka diberitahu apa yang harus dilakukan dan tidak, terutama ketika itu tidak jelas “benar” adalah hal yang sulit diterima mereka. Satu-satunya jawaban adalah, melakukan beberapa hal dan keluar.

Alasan ekonomi

Tidak jarang ketika proses akusisi terjadi, perusahaan pembeli melakukan hal yang salah secara ekonomi. Contohnya, tidak ada intensif ekonomi yang layak sebagai alasan untuk tetap tinggal di perusahaan. Pendiri juga akan membenci perusahaan meski memutuskan untuk tetap tinggal bila terjadi ketidakseimbangan carrot-stick.

Sulit bekerja di bawah aturan ‘rumah’ orang lain, meski bukan tidak mungkin

Seorang pendiri sudah terbiasa menjalankan usahanya dengan melakukan inovasi atau cara-cara unik lain dan tidak standar. Dan itu terbukti bekerja. Ketika akusisi terjadi, mereka harus menjalankan itu melalui persetujuan komite-komite. Harus menggunakan tim penjualan mereka untuk ekspansi masa depan, yang juga menjual 4 produk lainnya? Itu bisa jadi sulit, meski bukan tidak mungkin.

Ingin membangun produk lain

Katakanlah produk yang diakusisi adalah produk yang sempurna. Pun demikian, seorang entrepreneur sering memiliki keinginan untuk membangun produk lainnya lagi dan memulai petualangan baru. Contoh nyatanya sudah cukup banyak, Jason M. Lemkin dengan EchoSign yang diakusisi Adobe dan untuk pasar Indonesia ketika Path milik Dave Morin diakusisi oleh Daum Kakao.

Istirahat

Terakhir adalah alasan paling sederhana, namun sering dilewatkan oleh pihak yang mengakusisi, yaitu sekedar perlu istirahat. Bukan hal yang mudah membangun sebuah perusahaan dari bawah, dari nol. Terlebih jika perusahaan bisa bertahan hingga lima tahun atau lebih. Saat itu, semua orang bisa lelah dan tak jarang jabatan yang mewah atau program retensi pun tidak bisa mengobati ini. Pihak yang mengakuisisi harus paham dan mengubah 50% waktu CEO menjadi konsultan dan “non-eksekutif chairpeople” dari startup mereka. Banyak pihak yang mengakuisisi melakukan ini dengan baik, tetapi tidak sedikit juga yang tidak.

Pun demikian, bila proses akuisisi berjalan dengan baik, kebanyakan CEO juga akan tinggal selama 2-3 tahun. Mungkin lebih dari itu menurut Jason. Bahkan bila memang para CEO pendiri ini masih bisa melakukan sesuatu yang luar biasa setelah akuisisi, itu bisa menjadi tujuan lain dan bisa membuat mereka bertahan lebih lama.

Situs Tanya Jawab Pitakonan dari Codemi Fasilitasi Pertanyaan Seputar Entrepreneurship

Ilustrasi Question and Answer / Shutterstock

Manusia pada dasarnya membutuhkan informasi dan salah satu cara untuk mendapatkannya adalah dengan bertanya. Untuk memfasilitasi hal ini, layanan online open course Codemi meluncurkan project terbarunya yaitu Pitakonan, sebuah situs tanya jawab layaknya Quora. Berbeda dengan layanan serupa, saat ini Pitakonan hanya fokus pada pertanyaan seputar startup, bisnis, dan entrepreneurship.

Continue reading Situs Tanya Jawab Pitakonan dari Codemi Fasilitasi Pertanyaan Seputar Entrepreneurship

12 Common Mistakes that Startups Often Make in Their First Year

Most of times, people regard establishing startup as a shortcut to reach success and glory and miss the real picture that it could be way too risky and problematic that we shouldn’t take it lightly. In contrast to being successful, all our savings might be wasted just like that if we’re not careful. Below are 12 common mistakes that people make when starting a startup, as being presented by Inc. Continue reading 12 Common Mistakes that Startups Often Make in Their First Year