Tag Archives: rade tampubolon

Sociabuzz

SociaBuzz Kantongi Pendanaan Baru dari UMG Idealab

Platform marketplace jasa kreatif SociaBuzz mengumumkan perolehan pendanaan tahapan awal dari UMG Idealab. Tidak disebutkan lebih lanjut berapa nilai investasi yang diterima. Kepada DailySocial, Co-Founder & CEO Rade Tampubolon mengungkapkan, selain untuk mengembangkan produk, dana segar akan digunakan juga untuk kegiatan pemasaran agar semakin banyak kreator dan talenta yang bisa mendapatkan manfaat dari berbagai fitur yang SociaBuzz sediakan.

“Secara keseluruhan kami telah menerima tiga pendanaan. Sebelumnya SociaBuzz telah mendapatkan pendanaan dari angel investor dengan nominal yang tidak disebutkan tahun 2015 lalu. SociaBuzz juga telah menerima dana dari program Ideabox Accelerator tahun 2016 lalu,” kata Rade.

Ada beberapa alasan mengapa penggalangan dana kembali dilancarkan SociaBuzz tahun ini dan memilih UMG Idealab sebagai investor. Di antaranya adalah kesamaan visi. Selain itu juga ekosistem portfolio yang ada, menghadirkan peluang kolaborasi bermanfaat ke depannya.

“Bagi kami di UMG Idealab, pendanaan ini merupakan langkah strategis yang selaras dengan tujuan kami untuk meningkatkan kolaborasi antar startup di ekosistem UMG Idealab agar mereka dapat saling mengenalkan produk mereka dan berbagi teknologi,” kata Managing Partner UMG Idealab Kiwi Aliwarga.

Pertumbuhan stabil selama pandemi

Beroperasi sejak 2015, SociaBuzz menjembatani bisnis atau pelanggan dengan influencer media sosial atau kreator. Platform bertujuan untuk menciptakan koneksi individu atau bisnis untuk menemukan pembuat konten atau talenta yang tepat untuk kebutuhan bisnis. Hingga saat ini SociaBuzz telah memiliki sekitar 72 ribu influencer/kreator dalam platform. Mereka juga telah memiliki 1.350 pengguna aktif — baik dari kalangan bisnis maupun konsumer.

Selama pandemi tidak ada perubahan yang signifikan dari bisnis SociaBuzz. Rade menegaskan, untuk fitur tertentu mengalami pertumbuhan yang signifikan. Dampak negatif pandemi lebih terasa ke layanan managed service influencer marketing yang SociaBuzz sediakan untuk brand.

Pada saat pandemi, beberapa brand memilih untuk menghentikan sementara proyek-proyek yang sudah direncanakan. Namun saat ini mulai terlihat brand sudah mulai pulih kembali dan lebih percaya diri lagi untuk mengeluarkan anggaran.

“Harapannya walaupun pandemi memberikan banyak tantangan, setiap orang yang memiliki passion dan kreativitas bisa menghasilkan lebih melalui fitur-fitur SociaBuzz,” kara Rade.

KaryaKarsa, SocioBuzz Tribe, dan Trakteer ingin membantu kreator hidup dari karyanya melalui platform monetisasi

Mereka yang Merintis Platform Monetisasi untuk Kreator

Tidak sedikit startup yang ada di Indonesia berkiblat ke startup yang cukup sukses di Amerika. Konsep kemudian di bawa masuk ke pasar Indonesia tentunya dengan penyesuaian yang ada. KaryaKarsa, Trakteer, dan SociaBuzz Tribe, adalah beberapa di antaranya. Ketiganya mengambi konsep yang serupa dengan Patreon untuk dibawa ke pasar Indonesia.

Di luar sana Patreon terkenal sebagai salah satu platform yang mewadahi para kreator untuk berkarya. Solusi yang disediakan berupa platform yang bisa menghubungkan langsung para kreator dengan para fans, dengan demikian kreator bisa membuat konten eksklusif untuk para penggemarnya, tentunya ada transaksi di dalamnya.

Di Indonesia KaryaKarsa, Trakteer, dan SociaBuzz Tribe mereplikasinya. Para kreator atau pekerja seni bisa mendapat penghasilan dari karya yang mereka buat. Mengingat di Indonesia angka pembajakan dan klaim karya orang lain (bisa disebut pencurian konten) yang masih tinggi, ketiganya bisa jadi alternatif solusi.

Hanya saja ada beberapa hal yang menjadi tantangan. Iklim dukungan di Indonesia dan kebiasaan membayar untuk menikmati karya masih tergolong kecil. Masih banyak mereka yang lebih memilih menikmati karya secara gratis, meskipun itu ilegal. Kendati demikian, tidak menutup kemungkinan ketiga platform di atas menjadi besar di Indonesia. Ada potensi ketiganya mengambil peran sebagai jembatan untuk menikmati karya secara legal.

Perjuangan masih di tahap awal

KaryaKarsa mulai diperkenalkan pada Oktober tahun lalu. Startup yang digawangi Ario Tamat ini disebut sudah memilki 1000 kreator yang sudah melalui proses kurasi. Di awal kemunculannya, KaryaKarsa memulai dengan para comic artist/ilustrator.

“Pada awal tahun 2020 kami sudah berhasil mencapai Rp 100 juta total pemasukan terkumpul atas nama kreator, yang biasanya kami bagikan ke kreator seperti gajian melalui #gajiandiKaryaKarsa,” terang Ario.

Hampir di saat yang bersamaan, Miftah Mizwar, Rizki Lizuardi, dan Budi Satria Wijaya mulai memperkenalkan Trakteer. Dirilis pada tanggal 17 Agustus 2019 pihak Trakteer mengklaim sudah memiliki 3000 kreator dan 17.000 pendukung.

“Pada tahun 2020, selain kami fokus untuk bisa berkolaborasi dengan konten kreator di Indonesia, kami juga berusaha untuk terus mengembangkan platform ini menuju versi final dan pengembangan aplikasi mobile. Hingga nantinya bisa benar benar memudahkan kreator dalam membuat karya, juga bersahabat bagi supporter untuk mendukung dan menikmati konten di Trakteer,” terang Miftah.

Sedikit berbeda, SociaBuzz Tribe bukanlah sebuah platform khusus dukungan karya, tetapi merupakan sebuah fitur yang tergabung dengan platform SociaBuzz, sebuah marketplace jasa kreatif dan influencer marketing.

Di bawah kepemimpinan Rade Tampubolon, SociaBuzz saat ini sudah memiliki 39.000 talenta dan kreator konten. Fitur SocioBuzz Tribe sendiri sudah masuk ke dalam roadmap pengembangan sejak tahun 2017 silam. Hingga akhirnya mulai diperkenalkan tahun ini.

Saat ini semuanya masih dalam tahap awal. Masih ada pekerjaan yang harus dibenahi sambil membuktikan bahwa sistem dan model bisnis bekerja dengan baik.

Membantu kreator hidup dari karyanya

Mereplikasi konsep Patreon untuk dibawa ke Indonesia tentunya memiliki risiko, salah satunya pasar Indonesia yang cukup berbeda. Memastikan kreator yang bergabung mendapatkan pendapatan dan mengajak penikmat karya bergabung adalah salah satunya.

Bagi Ario, tantangan terbesar yang dihadapi KaryaKarsa adalah membuat kreator mendapat penghasilan yang berkesinambungan dan bagi para penggemar bisa mendapatkan karya yang mereka inginkan. Kini KaryaKarsa juga tengah menjajaki kerja sama dengan kelompok atau organisasi yang memiliki massa.

“Jumlah kreator kami yang mendapatkan dukungan semakin tinggi, tapi PR-nya adalah bagaimana kreator-kreator lain juga dapat menemukan formula yang pas antara kreator dan penikmat karya supaya kreator dapat berpenghasilan dan penikmat karya mendapat karya yang mereka inginkan secara berkesinambungan. Apakah orang mau membayar untuk konten sudah bukan pertanyaan lagi, tapi bagaimana kami dapat memberdayakan kreator supaya dapat ‘Hidup Dari Karya’,” terang Ario. .

Hal senada dilontarkan Miftah. Menurutnya, sekarang masyarakat Indonesia sudah mulai terbiasa dengan dunia digital. Masalah pembayaran juga mulai hilang berangsur dengan hadirnya pilihan uang elektronik yang beragam. Ini adalah satu hal penting yang bisa jadi awal berkembangnya layanan seperti Trakteer.

“Intinya sih kebutuhan dan kemudahan dalam transaksi membantu model bisnis ini bisa diterima di masyarakat. Kami kira sudah ada model bisnis serupa yang mulai digunakan dan diterima di masyarakat, seperti berlangganan/tip pada aplikasi komik, streaming, hingga konten dalam bentuk tulisan. PR-nya adalah tentang bagaimana kita mengedukasi pengguna agar mengerti terkait sistem dan layanan yang ditawarkan,” lanjut Miftah.

Optimizing Passion and Digital Platform as Money Machine

Business through social media has made everything possible, including “self commercialize”. This kind of business is highly related to one’s passion. Those who are diligent and passionate about certain activities are very likely to make the money rain through it.

In #SelasaStartup’s first week of 2020, Rade Tampubolon as the CEO of SociaBuzz taught us to take a peek at opportunities and tips on turning what we love into a source of livelihood.

The internet, especially the massive use of social media, has become a crucial bridge of connection. People used to do a hobby for their own satisfaction, nowadays, other people can appreciate it through digital platforms. Thus, it is not surprising whether they’d be willing to reach into their pocket to support their favorite creators.

Tampubolon called the people who enjoy the content as true fans. They are the ones who will be loyal to the creator’s works and willing to contribute financially in order to keep the work continue. This is what he refers to as a passion economy.

With Dailysocial, Rode has shared some tips to do for those who interested in living the passion economy.

“Passion and technology are getting connected. There’s a money velocity within the association. There’s a market for any kind of passion,” he said.

Find your passion

Most people have at least one favorite activity or hobby. This is the very beginning of everything. Finding something we love, something we’ll keep doing whether it provides us no income yet wasting our time.

As previously mentioned, almost every activity has its market. For example, content creator, writer, photographer, illustrator, make up artist, podcaster, musician, and many more.

Rode has advice for those who already find their passion to not afraid to explore. Exploration is needed for their works to have its own uniqueness. The more unique, the easier his work to be discovered by the public.

Building a tribe

After finding passion, the next step is to introduce their work. The digital platform has allowed people to share their hobbies with the public. Tampubolon also said to not hesitate to show off their respective works on various platforms, such as Twitter, Instagram, whatsoever.

When the creation is unique and has such quality, then the audience will gather. The second step is to begin. He called this phase as gathering community or building a tribe.

“This one is essential because it’s the economy. I’ve heard a quote saying ‘with only 1000 true fans, one can live in prosper’. From those 1000, if only each would give 100 dollars every year, you can count the result,” he added.

By true fans, he referred to the people who do not hesitate to provide financial support as a form of appreciation for the creator.

However, to maintain a loyal audience, Tampubolon thought social media alone is not enough. He said it’s important for passion economy players to use a platform that can ensure the audience for easy access to the content.

“For example, I have 1 million followers on Vine. Then, Vine goes down, my followers is gone and I gotta start anew. Another example is a campaign on social media, once the algorithm changed, it can reduce the engagement. The algorithm doesn’t view junk content, with no benefits, we are finally trapped in the insensitive algorithm,” he said.

Therefore, he advised maintaining good relations with the true fan community in the additional platform like Sociabuzz or Patreon. On the platform, the creator can directly connect with the true fans and let the works be appreciated.

Another essential detail

Besides the two main tips, there are some things that seem trivial but cannot be ignored by creators if they want to succeed in this passion economy. First, the way to value the works.

Tampubolon advised creators not to label their work too cheap or too expensive. The way to work it out is by fixing an expensive price at first. When the price is too high for the other party, simply adjust it for a cheaper price.

“Therefore, when they get cheaper prices they will be more satisfied.”

Another tip is basic business ethics. He said there are cases when influencers who are merely interactive with service users. The stuff like writing emails properly and correctly, reading briefs carefully, responsive in communicating about business, and other stuff.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Tentang Passion Economy

Mengoptimalkan Passion dan Platform Digital sebagai Pencetak Uang

Bisnis melalui media sosial memungkinkan segalanya terjadi, termasuk “mengkomersialkan diri”. Bisnis semacam ini berkaitan erat dengan passion yang dimiliki seseorang. Mereka yang tekun dan mencintai suatu kegiatan secara disiplin sangat mungkin menjadikannya sebagai sumber penghasilan.

CEO SociaBuzz Rade Tampubolon dalam #SelasaStartup minggu pertama Februari 2020 mengajak kita mengintip peluang dan kiat mengubah apa yang kita cintai menjadi sumber penghidupan.

Internet, terutama media sosial, yang masif digunakan saat ini merupakan jembatan penghubung krusial. Jika dulu seseorang melakukan hobinya untuk kepuasan dirinya saja, maka melalui platform digital orang lain dapat ikut menikmati. Dan bukan hal yang aneh saat ini orang lain yang ikut menikmati rela merogoh uangnya untuk mendukung kreator favoritnya.

Rade menyebut penikmat karya tersebut sebagai true fans. Mereka adalah orang-orang yang akan setia dengan karya seorang kreator dan tak sungkan memberi dukungan finansial agar kreator itu terus berkarya. Inilah yang Rode sebut sebagai passion economy.

Bersama DailySocial, Rade memberi kiat yang perlu dilakukan mereka yang berminat menjalani passion economy.

Passion dan teknologi saat ini sudah mulai bertaut. Ada perputaran uang di sana. Passion apa pun ada market-nya,” ucap Rade.

Menemukan passion

Hampir setiap orang memiliki aktivitas favorit atau hobi. Ini adalah titik awalnya. Menemukan apa yang kita cintai, sesuatu yang tetap dilakukan kendati itu tak menghasilkan uang dan tanpa mengenal waktu.

Seperti yang disebut sebelumnya, hampir segala jenis kegiatan memiliki pasarnya. Sebut saja konten kreator, penulis, fotografer, ilustrator, make-up artist, podcaster, musisi, dll.

Rade menyarankan mereka yang sudah menemukan passion-nya untuk tak takut mengeksplorasi. Eksplorasi itu diperlukan agar karya yang mereka hasilkan memiliki kekhasan tersendiri. Semakin unik, semakin mudah karyanya untuk dikenal publik.

Membangun “suku”

Setelah menemukan passion tersebut, langkah berikutnya adalah memperkenalkan karya mereka. Platform digital memungkinkan setiap orang berbagi hobi mereka dengan orang banyak. Rade bahkan mengatakan agar tak sungkan memamerkan karya masing-masing di berbagai jenis platform seperti Twitter, Instagram, apa pun.

Jika karya tersebut cukup unik dan berkualitas, maka audiens pun akan bermunculan dengan sendirinya. Di sini langkah kedua dimulai. Rade menyebut fase ini sebagai membangun komunitas atau menciptakan “suku”.

“Ini penting karena ekonominya di sini. Saya pernah dengar ada kutipan yang mengatakan cukup dengan 1000 true fans, seseorang bisa hidup cukup makmur. Misalkan dari 1000 true fans itu masing-masing mau memberikan 100 dolar setiap tahun sudah dapat berapa coba,” lanjutnya.

True fans yang dimaksud oleh Rade adalah orang-orang yang tidak ragu memberikan dukungan finansial sebagai bentuk apresiasi terhadap seorang kreator.

Namun untuk memelihara audiens loyal seperti itu menurut Rade tak cukup aktif di media sosial. Menurutnya penting bagi pelaku passion economy menggunakan platform yang dapat memastikan audiens mereka tetap bisa mengakses karyanya dengan mudah.

“Misal saya punya satu juta follower di Vine. Lalu Vine tutup, follower saya hilang dong jadi mulai dari nol lagi. Atau cuma campaign di media sosial, begitu algoritmanya berubah, yang bisa melihat konten kita pun bisa berkurang. Algoritma itu tidak melihat konten receh yang tidak jelas atau bermanfaat, akhirnya kita terjebak di dalam algoritma yang tidak berperasaan,” sambung Rade.

Maka menurutnya penting untuk memelihara relasi dengan komunitas penikmat karya di platform tambahan seperti SociaBuzz atau Patreon. Karena dengan platform itu kreator dapat terhubung langsung dengan penikmatnya serta mempermudah proses apresiasi karyanya.

Detail lain yang tak kalah penting

Selain dua kiat utama di atas, ada beberapa hal yang terlihat sepele tapi tak bisa diabaikan oleh para kreator jika ingin menekuni passion economy ini. Pertama adalah cara memberi harga karya.

Rade menyarankan para kreator agar tidak melabeli karyanya terlalu murah ataupun terlalu mahal. Caranya dengan mematok harga yang lebih mahal terlebih dulu. Ketika pihak lain merasa harga itu terlalu tinggi maka tinggal menyesuaikannya agar tak terlalu mahal.

“Jadi ketika mereka dapat harga yang lebih murah mereka akan lebih puas.”

Kiat lainnya adalah etika dasar dalam berbisnis. Rade menyebut tak jarang ada kasus influencer yang masih gagap dalam berinteraksi dengan pengguna jasanya. Hal itu seperti menulis email secara baik dan benar, membaca brief dengan cermat, kecepatan merespons dalam berkomunikasi perihal bisnis, dan semacamnya.

Dalam berkarya melalui Sociabuzz Tribe, kreator konten bisa membuat paket berbayar berlangganan melalui dompet digital

SociaBuzz Tribe Bantu Hargai Kreator Konten dalam Berkarya

Setelah menjalankan bisnis selama empat tahun, platform marketplace jasa kreatif SociaBuzz meluncurkan fitur baru bernama SociaBuzz Tribe. Kepada DailySocial, CEO SociaBuzz Rade Tampubolon mengungkapkan, rencana fitur ini sudah ada di roadmap sejak tahun 2017 lalu.

“Cara kerjanya tidak berbeda jauh dengan Patreon, platform yang memungkinkan pelanggan untuk menyumbangkan sejumlah uang setiap kali seorang konten kreator atau talenta kreatif menciptakan sebuah karya seni. Perbedaan yang dimiliki oleh Tribe adalah pilihan pembayaran yang semuanya mengedepankan dompet digital lokal, bukan kartu kredit, sehingga memudahkan proses pembayaran.”

Pilihan pembayaran yang tersedia saat ini adalah melalui Ovo. Alternatif melalui LinkAja, GoPay, Dana, dan transfer bank segera menyusul dalam waktu dekat. Platform serupa sebelumnya sudah hadir dalam bentuk Karyakarsa. Beberapa kreator di platform tersebut kini sudah memiliki lebih dari 100 pelanggan berbayar.

Konsep yang dihadirkan Patreon dan Tribe diklaim memberikan kemudahan bagi semua orang yang memiliki skill dan ingin melakukan monetisasi. Fitur SociaBuzz Tribe dapat dimanfaatkan tipe kreator konten apapun, termasuk YouTuber, podcaster, komikus, penulis, musisi, jurnalis, dan lain sebagainya.

“Kami sangat antusias dengan diluncurkannya layanan baru ini. Karena selain dapat membantu content creator hidup dari karyanya, kami juga berharap ini bisa menjadi salah satu roda penggerak ekonomi kreatif di Indonesia,” kata Rade.

Fokus ke “Passion Economy”

Salah satu fokus SociaBuzz tahun adalah menerapkan konsep “Passion Economy”, sebuah istilah yang diperkenalkan Managing Partner NFX Venture Capital James Currier. Di tulisannya disebutkan, dalam waktu 10 tahun ke depan semua akan mulai menyasar ke “Market Network”. Jaringan pasar ini diklaim akan menghasilkan kelas baru perusahaan unicorn dan berdampak pada bagaimana jutaan profesional dan layanan akan bekerja dan mencari penghasilan.

“Fakta tersebut yang kemudian menjadi perhatian kami dari SociaBuzz dan melihat apa yang sudah kami hadirkan dan akan kami luncurkan di masa mendatang sudah sejalan dengan konsep tersebut. Intinya adalah semua orang kini bisa berkarya dan menghasilkan uang yang menjanjikan secara digital,” kata Rade.

Saat ini perusahaan telah memiliki 39.000 talenta dan kreator konten yang telah bergabung di platform. Fokus SociaBuzz kini masih terus menambah jumlah kreator ke dalam platform. Rade percaya bahwa pelanggan yang masif akan mengunjungi dan menggunakan platform jika mereka memiliki kreator konten yang berkualitas dan berjumlah besar.

Meskipun saat ini SociaBuzz masih meng-cater brand besar yang ingin melakukan kegiatan pemasaran melalui agensi, namun untuk scale-up perusahaan masih berupaya menghadirkan fitur baru, termasuk penyediaan platfrom SaaS untuk talenta kreatif.

“Tentunya tidak mudah bagi kami untuk bisa menjadi plaform seperti saat ini. Dibutuhkan penyesuaian hingga penyederhanaan fitur yang sebelumnya banyak kami tawarkan. Tujuan kami tentunya adalah bisa menjadi platform yang bisa dimanfaatkan semua content creator untuk berkarya,” kata Rade.

Disinggung apakah SociaBuzz memiliki rencana meluncurkan aplikasi, Rade menyebutkan, penggunaan SEO untuk tujuan pemasaran digital masih relevan bagi platform berbasis web. Mengklaim perusahaan telah memperoleh keuntungan, Rade juga enggan menyebutkan rencana penggalangan dana.

“Saat ini kita sudah mendapatkan profit dan fokus kami selanjutnya adalah merilis fitur baru yang menarik belajar dari platform asing yang sedang tren untuk kebutuhan content creator dan pengguna SociaBuzz,” tutup Rade.

Fitur baru Sociabuzz memungkinkan konsumen meminta video ucapan personal ke selebritas dan influencer

Jembatani Penggemar dan Idola, SociaBuzz Luncurkan “Video Ucapan Personal”

Besarnya minat kalangan muda yang ingin menjalin engagement langsung dengan idola mereka memanfaatkan media sosial menjadi sebuah peluang yang menarik dijajaki. Salah satu platform yang saat ini mulai banyak diperkenalkan adalah ucapan personal memanfaatkan video dari selebritas atau influencer.

SociaBuzzcreative talent marketplace untuk mencari dan memesan berbagai talenta dan jasa kreatif secara on demand, meluncurkan layanan terbarunya yaitu Video Ucapan Personal. Konsep serupa yang ditawarkan Cameo di Amerika Serikat dan Kaget baru-baru ini. Menurut CEO SociaBuzz Rade Tampubolon, terdapat perbedaan yang signifikan dari platform yang mereka luncurkan.

“Kalau bedanya dengan Cameo, kita fokus kepada pasar di Indonesia. Kalau bedanya dengan Kaget, berhubung SociaBuzz adalah talent marketplace, jadi semua yang bergabung di SociaBuzz bisa mendapatkan akses juga untuk melakukan monetisasi melalui fitur baru Video Ucapan ini. Tidak hanya artis, tapi semua talent yang punya ‘fans’ bisa monetize their fans,” kata Rade kepada DailySocial.

Saat ini Video Ucapan Personal baru bisa diakses di mobile browser dan desktop. SociaBuzz mengklaim, meskipun baru diluncurkan namun platform ini telah memiliki sekitar 60 talenta. Secara keseluruhan terdapat ribuan talenta yang terdaftar di SociaBuzz.

Strategi monetisasi

Saat ini SociaBuzz menerapkan sistem bagi hasil dengan para talenta yang bergabung, yaitu 80% untuk talenta, dan 20% untuk SociaBuzz. Untuk memudahkan proses pembayaran pengguna yang ingin mendapatkan video personal, SociaBuzz menyediakan pilihan pembayaran melalui Midtrans dan transfer bank. Ke depannya pembayaran melalui GoPay akan dihadirkan.

Para talenta ini bisa menentukan sendiri rate mereka. Meskipun demikian, beberapa talenta tidak mematok harga pasti, jadi mereka akan melihat berdasarkan permintaan yang masuk dari pengguna. Semua sudah disediakan di kolom formulir untuk penggemar mengisi dana yang bisa mereka berikan kepada talenta tersebut.

“Kita punya visi to be the best place where talents, businesses, and people can achieve more together. Melalui fitur baru ini semakin memperkuat visi SociaBuzz untuk menjadi wadah yang bisa menguntungkan berbagai pihak (talent, bisnis, masyarakat). Dengan fitur baru ini talenttalent ternama bisa membuat fans-nya happy, sekaligus mendapatkan manfaat finansial,” tutup Rade.

SociaBuzz Pro Wadah Pamer Karya Bagi Pekerja Kreatif

SociaBuzz Pro Jadi Wadah Pamer Karya bagi Pekerja Kreatif

Mengusung konsep online marketplace untuk memudahkan mencari dan memesan jasa kreatif, SociaBuzz meluncurkan fitur baru yang dinamai SociaBuzz Pro. Fitur ini memungkinkan para pekerja kreatif membuat laman profil untuk bisa terhubung satu sama lain.

Pihak SociaBuzz menyebut fitur baru ini sebagai “LinkedIn” bagi para pekerja kreatif. SociaBuzz bukanlah yang pertama membangun produk seperti ini. Sebelumnya HAHO juga menyasar irisan yang serupa.

Secara spesifik SociaBuzz Pro akan menargetkan mereka yang aktif berkecimpung di industri kreatif seperti para profesional di bidang konten kreator, Blogger, Youtuber, influencer, fotografer, make up artist, penyanyi, MC, penulis hingga stand up comedian.

“Untuk para profesional kantoran, sudah ada LinkedIn yang bisa menjadi wadah untuk menampilkan CV secara online. Namun berdasarkan pengamatan kami, LinkedIn kurang cocok untuk para profesional kreatif. Oleh karena itu kami hadirkan SociaBuzz Pro, di mana para kreator dan pekerja kreatif bisa menampilkan profil dan portofolio hasil karaya terbaik mereka dalam satu wadah,” terang CEO SociaBuzz Rade Tampubolon.

Selain halaman profil yang dikemas selayaknya CV bagi para pekerja kreatif, SociaBuzz Pro memiliki fungsi memudahkan penggunanya menawarkan jasa. Klien bisa menawarkan kerja sama atau pekerja kreatif menawarkan jasa mereka. Sehingga fitur ini bisa membantu para pekerja kreatif untuk lebih mudah terhubung dengan klien, begitu pula sebaliknya.

SociaBuzz sendiri percaya bahwa tren profesi kreatif akan terus tumbuh di kemudian hari. Dan saat ini SociaBuzz ingin menjadi wadah bagi semua profesional kreatif untuk “memajang” karya mereka dan memberikan kesempatan untuk terhubung dengan lebih banyak klien.

“Kami percaya tren ke depan akan semakin banyak masyarakat yang memilih profesi kreatif sebagai pekerjaan utama mereka. Tidak jarang juga kita dengar anak muda, bahkan anak kecil, yang bercita-cita menjadi konten kreator atau youtuber. SociaBuzz ingin menjadi wadah bagi semua profesional kreatif untuk bisa menampilkan karya terbaik mereka dan sekaligus mendapatkan tambahan job dan klien baru, agar profesi yang mereka jalankan bisa terus tumbuh dan berkembang,” tutup Rade.

Mengukur kesuksesan omni channel marketing / Pexels

Cara Memanfaatkan Strategi Omni Channel yang Efektif

Pengalaman konsumen yang seamless merupakan salah satu alasan mengapa kegiatan pemasaran omni channel saat ini sangat relevan dilakukan. Proses omni channel mulai dari penawaran iklan produk, proses pencarian informasi pelanggan di channel online dan offline, dan pada akhirnya keputusan pelanggan tersebut untuk membeli.

Skema online-to-offline (O2O) saat ini sudah banyak diterapkan marketplace, layanan e-commerce, atau startup adtech. Mengetahui dengan benar bagaimana perjalanan konsumen mendapatkan informasi hingga mendapatkan produk yang diinginkan menjadi proses yang penting.

Memahami cara kerja omni channel

Dalam definisinya, omni channel bisa diartikan sebagai proses atau pengalaman pelanggan yang bisa menggunakan lebih dari satu channel penjualan seperti toko fisik, e-commerce/internet, mobile (m-commerce), social commerce, dan lainnya untuk melakukan riset, membeli, mendapatkan, dan mengembalikan atau menukar barang yang dibeli. Kegiatan ini semakin banyak dilakukan saat ini, ketika penetrasi internet dan smartphone makin meningkat, ditambah dengan maraknya layanan e-commerce yang memberikan pilihan tersebut.

Menurut AVP O2O Business Bukalapak Rahmat Danu Andika, pemasaran omni channel yang efektif harus bisa memahami perilaku sosial konsumen dan menjawab kebutuhan dengan tepat.

“Banyaknya channel yang digunakan tidak serta merta membuat strategi omni channel efektif. Justru sebaliknya ketika kemudahan seringkali menjadi kunci sukses walaupun channel yang digunakan terbatas.”

Menciptakan pengalaman pelanggan secara efektif dan konsisten menjadi lebih penting dibandingkan memberikan banyak pilihan kepada pelanggan. Proses yang seamless sejak awal hingga transaksi harus selalu diperhatikan.

“Yang tidak kalah penting adalah bagaimana integrasi tersebut juga dibarengi dengan proses yang sangat mulus (seamless). Alih-alih terintegrasi namun justru menjadikannya lebih rumit,” kata Rahmat.

Hal senada diungkapkan CEO & Co-Founder SociaBuzz Rade Tampubolon. Ia menyebutkan, perlu diciptakan integrated & seamless customer experience. Oleh karena itu yang paling penting adalah pemahaman mendalam tentang target konsumen terlebih dahulu. Seperti apa perilaku mereka, ekspektasi dan lainnya. Lalu setelah itu bangun strategi pemasaran yang integrated di atas fondasi pemahaman konsumen tersebut.

Omni channel bukan berarti kita harus menggunakan semua channel pemasaran. Namun menggunakan channel yang relevan dengan consumer journey. Experience yang didapat konsumen harus sama, mulai dari looks, feels, tonality, promises, convenience,” kata Rade.

Rade menambahkan, jika bisnis tersebut mengalami keterbatasan sumber daya, tidak wajib menjalankan semua. Fokus satu channel saja namun dengan eksekusi yang tepat.

“Seperti misalnya banyak online shop saat ini yang fokus hanya menggunakan endorsement dari artis dan selebgram saja, tidak menggunakan channel lain, omsetnya bisa luar biasa. Understanding the customer is key, dan kedua fokus tapi all out.”

Di sisi lain, kunci pemasaran omni channel yang ideal adalah aksesibilitas. Hal tersebut, menurut CEO Pomona Benz Budiman, mengharuskan platform omni channel agar lebih kreatif untuk terus mengembangkan entry point dan berada di mana konsumen berada.

“Seperti saat ini, Pomona membuka akses untuk dapat diakses dari aplikasi, mobile browser, dan desktop browser. Jadi para konsumen yang ingin mendapatkan cashback tidak lagi harus memiliki aplikasi. Bisa juga diakses dari mobile browser langsung.”

Skema online to offline yang ideal

Meskipun saat ini sisi online mendominasi kegiatan pemasaran, penjualan, dan pembayaran namun pada akhirnya sisi online tidak akan menggantikan offline. Semua kegiatan pemasaran akan memberikan hasil yang baik jika bisa menggabungkan kemudahan yang ditawarkan secara online dengan proses direct yang ditawarkan secara offline. Penggabungan ini juga dikenal dengan istilah webrooming (online) dan showrooming (offline).

Menurut Marketeers, kedua skenario tersebut merupakan skenario pembelian di era digital pada umumnya. Keduanya menandakan bahwa customer path di era sekarang tidak lepas dari kanal offline dan online konsumen pindah dari satu kanal ke kanal yang lain, baik online maupun offline.

Online to offline akan memadukan pengalaman belanja offline dengan kemudahan yang dihadirkan teknologi. Sehingga, ya, online to offline akan menjadi sangat relevan dengan kebutuhan konsumen saat ini,” kata Rahmat.

Pemasar sebaiknya tidak terlalu fokus ke berbagai channel yang harus ditawarkan kepada pelanggan. Lakukan pendekatan dengan cara yang berbeda dan mengedepankan demand dari konsumen.

“Skema O2O menjadi sangat relevan ketika konsumen sudah melihat [produk di toko offline], sudah mengetahui produknya seperti apa, bahannya seperti apa, namun belum ada keputusan membeli. Konsumen bisa melakukan pembelian melalui [segmen] online jika enggan kembali ke toko,” kata Head of Business Alfacart Viendra Primadia.

“Sebagai pemasar, kategori channel (offline/online) menurut saya tidak perlu menjadi fokus utama. Mata kita harus tetap tertuju ke konsumen, bukan ke channel. Karena kalau fokus ke channel, dan bukan ke konsumen, kita bisa kehilangan arah,” kata Rade.

Rade melanjutkan, channel pasti akan terus mengalami perubahan. Lakukan terus pendekatan kepada konsumen, cari tahu seperti apa perilaku dan ekspektasi mereka. Apakah mengalami perubahan, channel apa yang mereka suka, kemudian sesuaikan strategi pemasaran.

Cara tepat mengukur pemasaran omni channel

Tidak dapat dipungkiri salah satu kunci kesuksesan kegiatan pemasaran adalah dengan menerapkan strategi omni channel. Namun demikian cara untuk mengukur hasil tersebut harus disesuaikan dengan tujuan kegiatan pemasaran yang dilakukan, apakah untuk meningkatkan penjualan, brand awareness, akuisisi pengguna, dan lainnya.

“Selama masing-masing bisnis sudah menentukan north star metric mereka, hal selanjutnya yang bisa dilakukan, tinggal diukur pemasaran apa yang efektif untuk meningkatkan metric tersebut,” kata Rade.

Dalam hal ini, menurut Benz, measurability dan accessibility menjadi ukuran kesuksesan yang memungkinkan pemasaran apapun yang dilakukan jadi lebih terukur dan bisa dikorelasikan dengan ROI masing-masing perusahaan. Jika tahapannya masih membangun brand, awareness adalah metric yang diusahakan.

“Aksesibilitas juga menjadi konsentrasi utama strategi pemasaran omni channel. Semakin kita mempermudah konsumen untuk mengakses dan memakai produk kita, disanalah definisi sesungguhnya dari teknologi omni channel yang mempermudah hidup manusia.”

Sementara itu, menurut Rahmat, ketika kegiatan pemasaran sudah banyak diadopsi masyarakat, hal tersebut juga bisa menjadi pengukur kesuksesan kegiatan pemasaran memanfaatkan omni channel.

“Secara sederhana pertumbuhan transaksi yang terdigitalisasi Itu menunjukkan kemudahan yang dihadirkan pemasaran omni channel telah diadopsi lebih banyak masyarakat yang merasakan kemudahan dan pengalaman yang baik,” kata Rahmat.

Hal senada juga diungkapkan Viendra yang menyebutkan kesuksesan bisa dilihat dari kepuasan konsumen dalam memperoleh experience yang sama baik online maupun offline dan sebagai bisnis tentunya hal tersebut tercermin dengan peningkatan volume penjualan,

“Dengan omni channel, yang tidak terpenuhi di offline bisa dilakukan melalui online, begitupun sebaliknya. Hal tersebut mampu untuk mengurangi tingkat pembatalan pemesanan,” tutup Viendra.

Marketplace Jasa Fotografer Servolia Kolaborasi Pemasaran dengan Tripal / Servolia

Marketplace Jasa Fotografer Servolia Jalin Kolaborasi Pemasaran dengan Tripal

Marketplace jasa fotografer Servolia mengumumkan kolaborasi bisnis dengan Tripal.co, sebuah marketplace yang menghubungkan pelancong dengan orang lokal untuk jadi pemandu. Kemitraan ini akan dilakukan selama setahun dan ke depannya Servolia akan menggandeng kemitraan serupa dengan perusahaan lainnya.

“Ide kolaborasi ini tercetus karena ada beberapa pertanyaan dari pengguna yang memesan jasa di kami, apakah ada orang juga yang bisa menemaninya hunting spot bagus di lokasi tersebut sekaligus transportasinya. Di situ ide kolaborasi dengan Tripal muncul,” terang CEO & Co-Founder Servolia Rade Tampubolon kepada DailySocial.

Model kolaborasinya masih sebatas pada mempromosikan bisnis satu sama lain. Jadi Tripal mempromosikan tentang Servolia ke para pelancong. Servolia juga mempromosikan Tripal ke para penggunanya. Tidak ada pembagian komisi untuk saat ini, baru sebatas saling promosi untuk mendapatkan keuntungan bersama dari sisi awareness.

Servolia itu sendiri, sambung Rade, merupakan bisnis sangat baru di Indonesia, lantaran baru diluncurkan pada Januari 2018 kemarin. Akan tetapi sejauh ini animonya sudah cukup baik, sudah merangkul sekitar 500 fotografer di seluruh Indonesia dan melayani 200 pemesan jasa foto.

Selain mengandalkan situs sendiri, Servolia juga telah terintegrasi di Lazada Seller Center untuk membantu para pengguna mendapatkan fotografer di mana pun mereka berada.

“Ke depannya kita akan terus kolaborasi dengan startup lainnya yang relevan, agar kita bisa berikan added value ke para pengguna, maupun untuk dongkrak pertumbuhan bisnis.”

Secara terpisah, dalam keterangan resminya, CEO & Founder Tripal Kevin Wu menuturkan kolaborasi antar bisnis semakin penting di era sekarang. Ini bukan hanya bermanfaat bagi pemasaran dan pertumbuhan bisnis, namun yang paling penting adalah nilai tambah dan manfaat yang dapat diberikan ke pengguna dan pelanggan.

Dengan adanya kerja sama pemasaran ini, kedua perusahaan berharap bisa membantu lebih banyak masyarakat untuk mendapatkan jasa yang dibutuhkan dengan mudah dan cepat. Juga memberdayakan fotografer dan orang lokal untuk lebih meningkatkan penghasilan mereka.

Dalam wawancara bersama DailySocial sebelumnya, Kevin mengungkapkan saat ini Tripal telah memiliki 5700 pengguna dengan pemandu wisata terdaftar mencapai 300 orang tersebar di 19 provinsi di seluruh Indonesia.

“Sebagai ‘Pal’ Anda tidak perlu sebagai professional tour guide untuk bisa bergabung di Tripal. Siapa saja bisa mendaftar yang penting sudah berusia 18 tahun ke atas, bisa mahasiswa, pekerja freelance, fotografer, pecinta alam, pekerja seni, guru, dan lainnya,” kata Kevin.

Secara model bisnis, pemain serupa Servolia sebelumnya telah hadir bernama Frame A Trip yang diinisiasikan oleh Dian Sastrowardoyo, Michael Tampi dan rekan-rekannya.