Tag Archives: Rage in Peace

Guitar

10 Soundtrack Kolaborasi GameDev dan Musisi Lokal untuk Penikmat Senja

Video game dan musik adalah dua hal yang dari dulu sudah tak bisa dipisahkan. Lewat bantuan musik lah, medium ini bisa menjadi penghantar emosi yang kuat lagi serta memberi kenangan yang melekat lama. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa musik dan emosi memiliki peran dalam membentuk ingatan dalam otak manusia, sehingga kadang dengan mendengar suatu musik kita bisa langsung terngiang suatu adegan dalam game meski game itu sendiri sudah tidak kita mainkan untuk waktu lama.

Developer-developer game di Indonesia pun belakangan ini semakin getol memasukkan musik sebagai aspek penting dalam karya mereka. Tak jarang pula ada game yang mengandung kolaborasi dengan musisi lokal untuk mengisi track lagu di dalamnya.  Untuk mengisi akhir pekan Anda, mari kita sejenak menikmati beberapa soundtrack yang telah menjadi bahan kolaborasi antara developer dan musisi lokal berkualitas. Sebetulnya bila harus membuat versi lengkap, daftar ini tentu akan panjang sekali karena kolaborasi itu jumlahnya sangat banyak. Tapi setidaknya kami mencoba memilihkan beberapa yang menarik dan cocok untuk Anda nikmati sambil bersantai di kala senja. Check them out!

Ikkubaru – Love Me Again

Band asal Bandung yang satu ini mungkin sudah tak asing lagi di kalangan para pecinta musik indie dan penggemar lagu-lagu Jepang. Melantunkan lagu-lagu bergenrey city pop, Ikkubaru mengajak kita bernostalgia ke era 80an namun dengan sentuhan modern. Warna musik yang mereka hasilkan cukup unik karena mendapat influence dari gaya barat dan Indonesia juga. Lagu “Love Me Again” dapat Anda temukan dalam album musik pertama mereka, Amusement Park, dan muncul sebagai soundtrack dalam game Rage in Peace.

Pathetic Experience feat. Christabel Annora – Purna

Lantunan gitar akustik dengan suasana musik tradisional nusantara adalah karakter yang akan Anda temui di karya-karya Pathetic Experience. Karena itulah karya mereka cocok untuk jadi bagian dari game She and the Light Bearer. Dipadu dengan vokal Christabel Annora yang sendu, lagi ini seolah-olah mengantar Anda bercengkerama dengan sosok ibu pertiwi. Simak juga ulasan She and the Light Bearer kami di sini.

The Panturas – Queen of the South

The Panturas adalah salah satu dari beberapa musisi yang mengisi trek lagu untuk film DreadOut. Film adaptasi game karya Digital Happiness itu baru tayang di layar perak di awal 2019 kemarin, namun lagu “Queen of the South” ini sebetulnya sudah dirilis sejak Februari 2018. Tema dan lirik lagunya memang sedikit mistis karena terinspirasi kisah Nyi Roro Kidul, tapi jangan tertipu. Lagu ini sangat fun dan dijamin membuat tubuh bergoyang!

L’Alphalpha – Future Days

Band yang katanya merupakan salah satu favorit bos Hybrid ini tergolong senior di kancah permusikan indie dalam negeri. Maklum, mereka sudah berkarier selama kurang lebih 13 tahun sejak dibentuk. “Future Days” pun sudah terbit di dalam album mereka pada tahun 2013, Von Stufe Zu Stufe (yang artinya kira-kira adalah “Dari Waktu ke Waktu”). Seperti hangatnya sore, lirik lagu ini mengajak kita merenung banyak dalam kesederhanaan. Anda dapat menemukannya dalam game Rage in Peace.

Vesuvia – Memories Yet to Come

Sejak masih berkecimpung di komunitas Touhou dan Vocaloid, Vesuvia sudah terkenal sebagai salah satu musisi dengan warna unik dan kualitas produksi yang tinggi. Karya-karya mereka pun memiliki variasi yang cukup luas, dari nuansa jaz, EDM, hingga orkestra. Sayangnya, “Memories Yet to Come” yang merupakan lagu ending Valthirian Arc: Hero School Story ini masih belum tersedia di platform musik seperti iTunes atau Spotify. Tapi Anda dapat mendengar cuplikannya lewat trailer di bawah. Valthirian Arc: Hero School Story dapat Anda mainkan di PC, PS4, dan Switch.

Polka Wars – Mapan

Puitis, sendu, dan baper. Kira-kira demikian kesan yang saya dapatkan saat mendengar lagu ini. Di balik susunan katanya yang penuh rima, lirik “Mapan” menyimpan kesedihan yang mungkin sangat relatable dengan kondisi banyak kaum Millennial perkotaan. Ketika impian-impian bertabrakan dengan seramnya realita, terkadang kita terpaksa (atau sebenarnya tidak terpaksa?) mengambil pilihan yang tak sesuai kata hati demi sebuah label, “mapan”. Lagu ini menjadi salah satu pengisi di film DreadOut.

Okky Ade Chandra & Various Artists – In Peace

Sekali mendengar suara berat dan petikan gitar akustik Okky Ade Chandra, pasti rasanya sulit untuk dilupakan. Apalagi dengan lirik-lirik yang biasa berbahasa Inggris, orang yang tak tahu siapa penyanyinya bisa mengira pria ini bukan orang Indonesia. Dalam lagu “In Peace”, ia berkolaborasi dengan beberapa musisi lain, yaitu Novi Purnama, serta Ezza dan Koi dari band post-rock UnderTheBigBrightYellowSun (UTTBBYS). Dari judulnya, tentu Anda bisa menebak lagu ini muncul dalam game apa, bukan?

Peonies – Thin Holidays

Grup musik asal Jakarta yang satu ini cukup unik karena mengusung formasi tiga orang tanpa memiliki drummer. Dalam proses penciptaan lagunya mereka kerap dibantu oleh additional drummer, tapi bila Anda menonton mereka live, nuansanya akan berbeda. Peonies membawakan lagu alternative pop yang enak untuk didengar secara santai, sambil ngemil donat atau milk tea. Contohnya seperti lagu “Thin Holidays” ini. Lagi-lagi lagu indie keren yang mengisi soundtrack Rage in Peace.

North to East feat. Faishal Tanjung – Sky

Satu lagi lagu keren pengisi film DreadOut. Dentuman lembut kick drum diselingi akor piano sesekali, dan langit biru yang baru selesai menyibak mendung, adalah resep mujarab untuk menghibur Anda ketika mengalami patah hati. Tapi langit biru pun pada waktunya akan pergi, berganti dengan ufuk jingga atau malam yang penuh kerlip bintang. Kehidupan pun begitu. Ada waktunya cerah, tapi tak boleh enggan memberi ruang bagi masa yang lebih kelam. Mari hadapi dengan terus berjalan ke depan.

Sajama Cut – Rest Your Head on the Day

Satu lagi band senior yang telah aktif sejak tahun 1999, Sajama Cut sudah melanglang buana ke berbagai penjuru dunia serta mengisi soundtrack untuk beberapa film populer. Dan kini mereka bekerja sama dengan Rolling Glory Jam untuk mengisi game Rage in Peace. Seperti judulnya, “Rest Your Head on the Day” sangat cocok sebagai lagu penutup hari, sekaligus penutup dari playlist artikel ini. Apalagi sambil menonton video dokumenter di bawah. Selamat mendengarkan, selamat beristirahat. Mari jumpa lagi ketika mentari terbit esok hari.

Sumber Gambar: Pexels

Rage in Peace

[Review] Rage in Peace – Emosi dalam Wahana Roller Coaster

Ketika pertama kali mencicipi Rage in Peace dalam acara PopCon Asia 2016, saya langsung tahu bawa game ini akan menjadi sebuah game yang spesial. Saya tentu tidak bisa memperkirakan akan sesukses apa Rage in Peace secara finansial karena saya tak punya ilmu tentang itu. Akan tetapi saya amat yakin, Rolling Glory Jam punya potensi menciptakan sesuatu yang lain daripada developer Indonesia pada umumnya.

Keyakinan itu adalah sesuatu yang agak sulit untuk dijelaskan secara spesifik. Mungkin karena sejak awal, Rolling Glory Jam telah menunjukkan vertical slice yang sangat terpoles baik, bukan hanya prototipe tapi sudah berwujud sepotong game dengan standar kualitas ritel. Mungkin karena begitu menggenggam gamepad, hanya butuh waktu beberapa detik untuk saya merasa bahwa ini adalah game yang “feels good to play”. Atau mungkin semua itu hanya firasat saja, entahlah.

Satu hal yang pasti, saya punya ekspektasi tinggi terhadap Rage in Peace. Malah mungkin tingginya sudah sampai kadar agak tidak sehat. Saya sudah ngefans dengan game ini bahkan sebelum saya tahu apakah game ini betulan bakal rilis atau tidak. Lebih parah lagi, para developernya berkata pada saya bahwa mereka ingin game ini bukan jadi platformer biasa. Berlawanan dengan konsensus umum bahwa daya tarik utama platformer adalah gameplay, Rolling Glory Jam justru ingin Rage in Peace punya kekuatan utama di cerita. Ekspektasi saya semakin meroket.

Saya berharap banyak pada Rage in Peace, tapi sekaligus juga skeptis. Sebagus-bagusnya cerita buatan mereka, saya tidak yakin Rolling Glory Jam bisa menyajikan sesuatu selevel game yang dari awal memang dirancang untuk narrative-driven. Feeling saya mengatakan bahwa Rage in Peace akan menjadi game yang bagus, berkualitas di atas rata-rata, namun kemungkinan masih jauh untuk masuk dalam jajaran masterpiece atau platformer legendaris.

Terima kasih, Rolling Glory Jam, karena telah membuktikan bahwa saya salah.

Rage in Peace - Screenshot 1

Damai dalam amarah

Rage in Peace adalah sebuah side-scrolling platformer yang diciptakan oleh studio game asal Bandung, Rolling Glory Jam, dan diterbitkan oleh Toge Productions. Dalam game ini, Anda berperan sebagai Timmy Malinu, seorang pemuda berkepala marshmallow yang punya sebuah impian sederhana. Ia ingin mati dalam keadaan damai, di atas kasur, sambil memakai piyama dan tanpa drama.

Suatu hari, tiba-tiba Timmy didatangi oleh malaikat pencabut nyawa alias Grim Reaper. Tanpa peringatan, Grim Reaper berkata bahwa giliran mati bagi Timmy telah tiba. Tapi Grim Reaper sedang berbaik hati. Ia mengizinkan Timmy untuk berusaha mewujudkan paling tidak satu impian terakhirnya. Maka dimulailah perjalanan Timmy menuju rumah dengan selamat, sebelum akhirnya ajal benar-benar menjemput.

Apa side-scrolling platformer paling sederhana yang pernah Anda mainkan? Mungkin Anda akan menjawab pertanyaan ini dengan Super Mario Bros. versi NES. Nah, Rage in Peace bahkan lebih sederhana lagi dari itu, setidaknya dari segi sistem kontrol. Game ini hanya memiliki satu tombol aksi, yaitu untuk melompat. Ya, benar-benar hanya satu. Setidaknya di Super Mario Bros. kita masih bisa menembakkan bola-bola api, atau melakukan sprint. Sementara Timmy, jangankan menembak. Jongkok saja dia tidak bisa.

Rage in Peace - Screenshot 2

Sistem kendali begitu sederhana, bukan berarti game ini lantas gampang. Justru kebalikannya. Rage in Peace adalah game yang sangat sulit. Dalam perjalanan menuju rumah, Timmy harus menghindari aneka rupa marabahaya. Setiap jebakan dan musuh di game ini dirancang untuk muncul tiba-tiba, di tempat-tempat tak terduga. Jadi Anda akan sering, sangat sangat sering mati.

Untuk menyelesaikan stage, Anda harus berkonsentrasi, menghapal lokasi serta timing jebakan-jebakan yang ada, kemudian mengendalikan Timmy agar dapat menghindar dengan cekatan. Jadi Rage in Peace merupakan kombinasi antara tantangan otak dan tantangan jari. Tapi jangan khawatir bila Anda sering mati. Di sini tidak ada game over, juga tidak ada penalti apa pun meski Anda harus mengulang stage hingga ratusan kali.

Untungnya lagi, Rage in Peace juga menyediakan sangat banyak checkpoint, sehingga Anda tidak perlu takut mengulang terlalu jauh ketika gagal. Game ini memang susah, tapi tantangan yang diberikan tak pernah terasa tidak adil. Ada keseimbangan yang pas antara kesulitan dengan fasilitas bantuan yang disediakan, jadi pemain tidak akan sampai merasa frustrasi. Paling-paling lelah saja setelah memaksa otak bekerja keras untuk menyelesaikan beberapa stage berturut-turut.

Di awal-awal mungkin Anda akan merasa geregetan melihat Timmy mati berulang kali. Tapi setelah angka kematian itu mencapai tiga digit, kemungkinan Anda sudah tidak peduli lagi. Di titik itu, Anda akan merasa game ini berubah, dari sekadar “platformer susah” menjadi semacam media meditasi di mana seluruh pikiran Anda hanya fokus pada satu hal: memorisasi. Setelah berhasil melewati fase rage, Anda akan masuk ke kondisi mental peace. Anda menerima kesulitan sebagai suatu keniscayaan, kemudian pikiran Anda tenggelam ke dalam dunia kecil namun imersif yang dihiasi warna-warna senja, alunan musik post-rock, serta mungkin, aroma kopi.

Rage in Peace - Screenshot 3

Rebirth, Reminisce, Redemption

Rage in Peace memiliki cerita yang terdiri dari enam babak (Act). Saya sungguh berharap bisa menceritakan semuanya, kemudian meyakinkan Anda untuk tidak ragu-ragu membeli game ini. Tapi itu berarti saya harus menyebarkan dosa besar yang bernama spoiler. Paling banter, saya setidaknya bisa bercerita bahwa semua hal yang saya katakan tentang Rage in Peace sejauh ini hanya berlaku hingga Act 3.

Mulai Act 4 ke belakang, lupakan semua yang Anda ketahui tentang Rage in Peace. Lupakan semua bayangan Anda tentang platformer normal, karena Rage in Peace adalah game yang sama sekali tidak normal. Seperti menonton anime Food Wars: Shokugeki no Soma, pada awalnya Anda akan mengira sang koki sedang memasak nasi goreng, tapi begitu sampai di akhir ternyata hasilnya adalah pizza.

Ketika Rolling Glory Jam berkata bahwa mereka ingin narasi jadi unsur terkuat Rage in Peace, mereka sama sekali tidak main-main. Ini bukan “platformer yang punya cerita”. Ini adalah “cerita yang kebetulan punya platformer”. Semua mekanisme gameplay dalam Rage in Peace dirancang untuk menyampaikan suatu narasi, bahkan sampai ke hal-hal yang kecil. Hal-hal sepele, tapi mengandung nuansa serta simbolisme berkaitan dengan cerita yang sedang Anda alami. Yang, tentu saja, satu pun tidak bisa saya ceritakan kecuali dengan kata-kata ambigu seperti ini.

Rage in Peace - Screenshot 4

Saya tidak bisa memberi tahu Anda isi cerita Rage in Peace, tapi saya bisa memberi tahu bahwa game ini mengingatkan saya akan banyak hal. Banyak sekali hal, yang sama sekali tak terduga. Ketika saya berada di Act 3, saya teringat akan ketegangan mempertahankan nyawa di Dead Cells yang saya ulas beberapa waktu lalu. Ketika masuk ke cerita flashback masa lalu Timmy, saya teringat pada salah satu adegan bittersweet di drama tahun 1991 berjudul Tokyo Love Story. Dan ketika akhirnya cerita utama game ini mulai terkuak, nuansa yang saya rasakan mirip seperti ketika dulu memainkan Brothers: A Tale of Two Sons.

Menyebut judul-judul di atas bukan berarti Rage in Peace adalah game yang tidak punya identitas. Justru sebaliknya, Rage in Peace memberi saya hantaman emosional begitu kuat, yang sebelumnya hanya saya rasakan dari judul-judul tersebut. Anda mungkin akan membandingkannya dengan hal-hal lain, tergantung dari pengalaman pribadi Anda. Mungkin Anda akan membandingkan Rage in Peace dengan NieR: Automata, atau Journey, atau sesuatu yang lain. Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya. Anda harus memainkannya sendiri.

Saya percaya bahwa seseorang yang sedang berkarya harus memegang prinsip “berani ngawur”. Ngawur tidak dalam artian bekerja asal-asalan, tapi berpikir sesuatu yang begitu tak lazim sampai-sampai orang lain bingung dari mana asal idenya. Go big or go home, begitu istilah kerennya. Saya rasa Rolling Glory Jam pun punya semangat seperti ini, dan setelah memainkan produk jadinya, saya paham mengapa Rage in Peace yang “cuma” platformer ini makan waktu tiga tahun untuk diselesaikan.

Rage in Peace - Screenshot 5

Video game adalah medium yang hebat

Dari tadi saya banyak berkoar tentang bagaimana narasi adalah daya tarik terkuat dari Rage in Peace. Tapi tahukah Anda, bahwa narasi yang saya maksud itu bukanlah tentang teks? Lebih tepatnya, bukan sekadar tentang teks.

Narasi dalam Rage in Peace adalah pertunjukan. Sebuah pentas, di mana para pemeran menari-nari di atasnya mengikuti koreografi dari sang sutradara. Mereka tampil mengenakan pakaian-pakaian indah, berlatar panggung sarat dekorasi yang terkadang terasa surreal namun sekaligus juga nyata. Permainan cahaya membawa kita hanyut ke suatu fantasi yang memabukkan, sementara alunan musik menjadi pilar tak tergantikan yang membuat adegan di depan mata itu layak disebut drama.

Bagian terbaiknya? Anda adalah bagian dari pertunjukan tersebut. Bukan sekadar hiburan, Rage in Peace memanfaatkan karakteristik video game semaksimal mungkin untuk menciptakan pengalaman yang tak bisa kita rasakan melalui medium lain. Di sini, keempat unsur utama video game (teks, visual, audio, dan gameplay) bersinergi menjadi suatu kesatuan “narasi” yang tak terpisahkan.

Rage in Peace - Screenshot 6

Ada kalanya gameplay memegang peranan utama, sementara musik hanya menjadi bagian dari suasana latar. Tapi kemudian tiba waktunya musik maju ke tengah panggung, disokong oleh gameplay serta tampilan visual di sekitarnya. Sesekali game ini berubah menjadi semacam walking simulator, dan kita diajak beristirahat sambil menikmati suguhan visual mengagumkan. Tapi game ini juga berani menyuguhkan teks di posisi terdepan, sambil membuang unsur-unsur lain yang dirasa tak perlu.

Inilah yang terjadi ketika seorang kreator berani melepaskan diri dari konsensus umum tentang apa yang harus dan tidak harus dilakukan. Inilah bentuk video game ketika dirancang sebagai sebuah karya seni, penuh eksplorasi berani dan didorong oleh sebuah visi. Mungkin bahasa saya terdengar lebay. Tapi membayangkan kerja keras dan imajinasi yang diperlukan untuk menciptakan sesuatu seperti Rage in Peace, saya tak punya kata-kata selain hanya pujian.

Kesimpulan: Emosi dalam wahana roller coaster

Jadi, layakkah Rage in Peace disebut sebagai sebuah masterpiece? Yah, mungkin belum. Tapi untuk menuju ke sana, jaraknya sudah dekat sekali. Mungkin bila Rolling Glory Jam punya anggaran lebih besar untuk menciptakan animasi-animasi yang lebih mengagumkan lagi. Mungkin bila kualitas penulisan dialognya ditingkatkan lagi sehingga terasa lebih natural dan believeable.

Rage in Peace - Screenshot 7

Mungkin bila pergerakan kamera ketika sedang scrolling bisa diperhalus lagi, atau hitbox karakter dibuat lebih konsisten, atau akselerasi gerakan karakter di Act 4 dan 5 dibuat lebih responsif, atau apa lah. Tidak ada game sempurna di dunia ini, tapi masterpiece hanya bisa lahir dari tangan orang-orang yang tak pernah berhenti mengejar kesempurnaan. Sekarang memang masih belum, tapi dengan debut seperti ini, saya yakin Rolling Glory Jam bisa. Ekspektasi saya yang sudah menjulang begitu tinggi saja ternyata berhasil mereka lampaui, kok.

Rage in Peace adalah paket komplet yang mengingatkan saya pada betapa besarnya potensi yang dimiliki oleh video game. Di balik tampilan luarnya yang sederhana, game ini menyembunyikan roller coaster emosi berel spiral dengan pemberhentian akhir pada stasiun refleksi diri. Di dalamnya ada kemarahan, kesedihan, namun juga kebahagiaan, kedamaian. Dan bila Anda masih belum memainkannya… Anda tidak tahu apa yang sedang Anda lewatkan.

Sparks:

  • Desain para karakter yang memorable dan selalu memberi kesan kuat
  • Sistem kontrol yang responsif membuat Timmy sangat nyaman untuk dikendalikan
  • Keseimbangan pas antara kesulitan dan fasilitas bantuan
  • Gameplay yang begitu kreatif, jauh dari kata normal
  • Cerita seru dan penuh dengan momen emosional
  • Teks, audio, visual, dan gameplay bersinergi membentuk narasi unik yang mengagumkan
  • Musik ambience dan post-rock mengangkat nilai dramatis cerita ke titik yang sangat tinggi

Slacks:

  • Kualitas penulisan dialog masih bisa ditingkatkan lagi
  • Scrolling kamera terkadang tidak mulus sehingga mengganggu konsentrasi
  • Akselerasi gerakan Timmy di Act 4 sedikit kurang responsif
  • Sulit dijadikan bahan review karena lebih dari separuh isinya adalah kejutan

Nintendo Switch

Inilah Alasan Mengapa Nintendo Switch Populer di Kalangan Developer Indie

Nama Nintendo dan game indie dulu mungkin bukan dua hal yang sering kita dengar bersamaan. Sekitar tahun 2012 hingga 2015, platform yang paling gencar mendukung perkembangan game indie adalah PlayStation. Sony selalu mempromosikan game indie berkualitas di acara-acara pameran game besar, dan mereka terus berusaha mempermudah proses penerbitan game independen baik di platform PS4 atau PS Vita.

Akan tetapi, tren tersebut kini telah bergeser. Semenjak Nintendo merilis Switch pada tahun 2017, para developer game indie seperti melakukan hijrah besar-besaran ke platform tersebut. Judul-judul yang sudah sukses di platform lain, seperti Stardew Valley dan Hollow Knight, satu-persatu muncul di Switch, dan kini Switch seolah menjadi pilihan pertama bagi para developer indie untuk merilis game terbaru mereka.

Apa yang menyebabkan Switch begitu menarik bagi para developer indie? Dalam acara PAX Australia 2018, empat developer indie mendiskusikan berbagai alasan yang membuat perilisan game di Switch lebih menguntungkan ketimbang platform lainnya. Dilansir dari Nintendo Everything, inilah alasan-alasan tersebut.

The Gardens Between | Screenshot
The Gardens Between, game indie yang sukses di Switch | Sumber: Steam

Pasar baru yang masih sepi

Sebagai console yang usianya masih muda, Switch memiliki keuntungan besar bagi pada developer, yaitu jumlah game di dalamnya masih sedikit. Sementara jumlah hardware Switch yang beredar di seluruh dunia sangat banyak. Berdasarkan pengumuman Nintendo pada tengah tahun 2018, Switch sudah melampaui angka 20 juta unit terjual, padahal baru 15 bulan berlalu sejak peluncurannya.

Bila kita mengacu pada daftar game Switch di Wikipedia, saat artikel ini ditulis maka ada kurang lebih 670 game yang telah dirilis untuk Switch. Jumlah tersebut sangat sedikit dibandingkan dengan game di PS4, apalagi Steam. Oleh karena itu, game yang muncul di Switch lebih punya ruang untuk dikenal masyarakat, termasuk juga game indie.

“Tergantung dari game itu sendiri. Bukan berarti hanya dengan menaruhnya di Switch maka Anda akan langsung dapat instant hit. Saya pikir audiens saat ini masih menginginkan game yang bagus. Menurut saya kami cukup beruntung, karena kami masuk (ke Switch) cukup awal. Tapi sampai sekarang pun angka penjualan kami cukup memuaskan, jadi (Switch) adalah platform yang cukup sehat asalkan Anda juga cukup cerewet (mempromosikan) game Anda,” demikian penuturan Ash Ringrose dari SMG Studio.

Adanya dukungan dari Nintendo sendiri

Sama seperti program PlayStation Love Indies, Nintendo mendorong ekosistem game indie di Switch lewat program yang disebut “Nindies. Selain memamerkan game indie terbaru di berbagai event, Nintendo juga sering merilis video “Nindies Showcase” di YouTube berisi berbagai game indie pilihan. Ini salah satu faktor yang membuat game indie di Switch dapat dikenal luas.

Henrik Pettersson dari The Voxel Agents berkata tentang game mereka yang berjudul The Gardens Between, “Saya rasa 60% penjualan kami sejauh ini datang dari Switch, dan itu sangat besar. Saya pikir ini punya kaitan cukup besar dengan bantuan dari Nintendo dalam hal mempromosikan game itu dan juga bahwa (Switch) ini adalah platform baru yang sangat diminati orang-orang.”

Sony dulu juga memberi dukungan yang besar terhadap game indie di PS Vita, akan tetapi ada satu perbedaan besar antara kedua platform tersebut. Sony memposisikan PS Vita sebagai platform sampingan, sementara Switch adalah platform utama milik Nintendo saat ini. Orang yang membeli Switch tidak akan merasa bahwa console ini adalah “console khusus game indie”, karena memang nyatanya semua game terbaru Nintendo juga ada di sana.

Golf Story | Screenshot
Golf Story, game indie eksklusif Switch | Sumber: Nintendo

Gamer Switch tidak mementingkan tampilan grafis

Switch, seperti halnya console Nintendo lainnya, tidak pernah digembar-gemborkan sebagai console dengan hardware tercanggih atau berkualitas grafis terbaik. Hasilnya, para gamer Switch lebih mudah menerima game indie yang punya nilai produksi relatif rendah, karena mereka memang tidak pernah mengharapkan grafis tercanggih dari console tersebut. Ini cukup kontras dengan PS4, Xbox One, apalagi PC, yang selalu identik dengan game AAA mewah dan mahal.

Sentimen tersebut diutarakan oleh Matthew Rowland, developer game berjudul Armello. “(Game) kami baru keluar selama kira-kira empat minggu di Switch. Tapi memang audiens Armello di Switch terlihat lebih dapat menerima game seperti ini dibandingkan PlayStation atau Xbox […],” ujarnya. Armello sendiri sudah dirilis di platform-platform lain selama tiga tahun, jadi agak sulit membandingkan angka penjualannya. Namun menurut Rowland penjualan awalnya sangat baik.

Faktor-faktor pendukung lain

Ada satu hal yang menurut saya luput dari penuturan para developer di atas, yaitu keunggulan Switch yang tak dimiliki oleh console lainnya: Joy-Con! Saya rasa Joy-Con adalah daya tarik yang sangat besar bagi beberapa game, terutama game indie dengan fitur local multiplayer dan kontrol yang tidak begitu rumit. Ada kesenangan yang muncul dari kemampuan untuk bermain bersama teman di mana saja dan kapan saja, dan ini sangat terasa untuk game sejenis TowerFall atau Ultra Space Battle Brawl.

Penasaran dengan sudut pandang lokal, saya kemudian meminta pendapat dari salah satu developer Indonesia yang baru-baru ini merilis game untuk Switch, yaitu Dominikus Damas Putranto. Damas adalah developer dari Rolling Glory Jam, studio di balik game genre platformer berjudul Rage in Peace. Ia ternyata juga memandang PS4 identik dengan game yang terpoles rapi dan mengandung segudang konten. Tapi di samping itu, ia mengaku bahwa game indie memang terasa cocok saja di Switch.

“Kalau dari sisi handheld, ane selalu merasa platformer nikmat banget di Switch. Ane main ulang beberapa platformer asyik di Switch kayak Owlboy, Hollow Knight, dan merasa sangat nikmat. Dan ternyata begitu pula dengan Rage in Peace,” cerita Damas.

Lanjutnya lagi, “Ada arah kasualnya karena naturnya (Switch) kayak tablet/smartphone begitu, tipe yang tidak perlu attention span tinggi. Ada beberapa teman yang dulu di PC selalu menolak main (Rage in Peace), begitu ada di Switch langsung casually main. Ini bahkan untuk game yang sama persis tanpa ada penyesuaian mekanik atau gameplay gimana-gimana.”

Apa pun alasannya, yang jelas Switch adalah pasar potensial yang tidak boleh diabaikan, terutama oleh para developer game dalam negeri. Saat ini sudah ada beberapa developer ataupun penerbit game Indonesia yang memiliki development kit untuk Nintendo Switch, sehingga jalan untuk merilis game di platform tersebut telah terbuka lebar. Masalahnya, apakah para developer bisa menciptakan game dengan daya saying kuat atau tidak? Itu yang harus jadi perhatian utama.

Sumber: Nintendo Everything

Rage in Peace

Platformer Lokal Rage in Peace Meluncur ke Switch dan Steam pada November 2018

Satu lagi game buatan Indonesia akan segera meluncur ke Steam dan Nintendo Switch. Rage in Peace adalah action platformer yang dapat membutmu mengamuk saat bermain, persis seperti judulnya. Tak lain tak bukan, penyebabnya yaitu tingkat kesulitan game ini yang sangat tinggi dan akan menantang kapabilitas otak Anda hingga maksimal.

Rage in Peace bercerita tentang Timmy Malinu, pemuda biasa-biasa saja yang punya impian untuk meninggal dalam keadaan tidur, di rumah, damai tanpa drama. Suatu hari, malaikat maut mendatangi Timmy dan berkata bahwa sudah waktunya bagi Timmy untuk meninggal. Tapi sebelum itu, si malaikat maut memberi kesempatan kepada Timmy agar bisa mewujudkan impiannya.

Rage in Peace | Screenshot 1
Rage in Peace | Sumber: Nintendo

Anda harus mengantar Timmy pulang ke rumah melalui medan yang berat lagi penuh jebakan maut. Berbeda dengan platformer seperti seri Mega Man atau Mario Bros., gaya permainan Rage in Peace punya fokus kuat pada kemampuan mengingat. Saat pertama kali main Anda pasti sangat sering mati, tapi seiring Anda menghafal timing serta lokasi jebakan yang ada, kemungkinan untuk menyelesaikan level akan semakin terbuka lebar.

Pertama kali diumumkan pada tahun 2016, Rage in Peace merupakan buah karya studio game asal Bandung bernama Rolling Glory Jam dan diterbitkan oleh Toge Productions. Pada awalnya Rage in Peace dibuat hanya sebagai purwarupa dalam sebuah game jam. Namun melihat respons positif dari berbagai pihak (termasuk YouTuber kenamaan PewDiePie), Rolling Glory Jam akhirnya mengembangkannya menjadi game utuh.

Rage in Peace | Screenshot 2
Rage in Peace | Sumber: Nintendo

Rage in Peace juga memiliki keunikan dalam ceritanya yang tak biasa. Pada umumnya game bergenre platformer tidak begitu mementingkan cerita, namun Rolling Glory Jam justru ingin ada nilai lebih dalam unsur tersebut. Kisah Rage in Peace yang berkaitan erat dengan kematian namun disajikan dengan gaya humoris adalah hasil inspirasi dari buku karya Paulo Coelho, Like the Flowing River.

Saya sudah pernah mencoba memainkan Rage in Peace beberapa kali saat Rolling Glory Jam membawa game ini ke pameran-pameran. Dan memang benar, game ini sangat menantang sekaligus membuat geregetan. Karena strategi kemenangan utama adalah hafalan, setiap kali saya terkena jebakan saya selalu merasa, “Seharusnya saya bisa menghindari itu!” Rasa geregetan itu juga yang membuat kita terdorong untuk mencoba lagi dan lagi hingga berhasil lolos sebuah level.

Rage in Peace | Screenshot 3
Rage in Peace | Sumber: Nintendo

Rage in Peace akan dirilis di PC Windows dan Mac OS X via Steam, serta di Switch via Nintendo eShop pada tanggal 8 November 2018. Tersedia juga DLC album soundtrack berisi 19 lagu yang digubah oleh berbagai musisi indie keren tanah air, termasuk di antaranya Ikkubaru, Monkey Melody, Peonies, Gardika Gigih, dan L’Alphalpha. Dapatkah Anda mengantar Timmy pulang dengan selamat?

Sumber: Rolling Glory Jam, Nintendo