Tag Archives: Rahmat Broto Triaji

Industri “Gaming”: Digemari Tapi Sulit Dimodali

Industri game masih dianggap menjadi barang asing di mata pemain jasa keuangan, mulai dari perbankan hingga modal ventura. Jangan heran jika jumlah pembiayaan modal kerja bagi industri ini masih minim. Kalaupun ada, jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari. Gaming Industry harus mengandalkan modal dari pihak asing untuk terus mengembangkan usahanya.

Bisnis game yang memiliki faktor X (faktor ketidakpastian) dianggap menjadi titik lemah bagi pemain jasa keuangan lokal. Ketidakpastian yang dimaksud adalah meski produk sudah dibuat sesuai riset pasar dan memakai talenta berbakat, masih ada kemungkinan besar untuk gagal.

Keunikan dan ketidakpastian pasar dan keuntungan membuat hanya sedikit pemodal yang berani terjun. Beberapa nama perusahaan modal ventura lokal yang sudah berinvestasi di perusahaan game adalah Ideosource dan Maloekoe Ventures. Untuk modal ventura asing ada Discovery Nusantara Capital (DNC).

Berbeda dengan perbankan, pembiayaan melalui Modal Ventura dilakukan melalui penyertaan saham. Jadi, modal tunai disuntikkan dan ditukar dengan sejumlah saham kepemilikan.

Kisah investasi di startup gaming

Ideosource pernah berinvestasi putaran seri A untuk perusahaan game lokal Touchten dengan nilai yang dirahasiakan di 2011. Investasi tersebut adalah kick off Ideosource sejak pertama kali berdiri. Meski nilai investasi tidak disebutkan, namun kisaran nilai investasi seri A US$1 juta-US$4 juta (Rp13 miliar-Rp52 miliar). Seluruh sumber dana investasi yang digunakan Ideosource berasal dari dana keluarga lokal dengan nama dirahasiakan.

Touchten Games dapatkan pendanaan untuk kembangkan industri

Managing Director Ideosource Andi S Budiman menuturkan pihaknya memilih Touchten sebagai investasi perdana karena pada saat itu baru Touchten satu-satunya yang memiliki mobile game dengan jumlah unduhan lebih dari 1 juta kali. Hal ini melatarbelakangi Ideosource untuk berkeyakinan bahwa Touchten memiliki kemampuan untuk mengembangkan bisnisnya lebih besar.

Founder Touchten punya trik tersendiri untuk membuat perusahaan mampu bertahan. Salah satunya berkolaborasi dengan brand terkenal, dengan menggabungkan variasi game dari digital sampai kartu berbentuk fisik. Lalu dipasarkan dengan penggabungan online dan offline (O2O).

“Dari situ kami berkeputusan bahwa perusahaan ini punya up side bisnis yang tinggi. Benar kejadian tiga tahun kemudian, saat mereka berhasil mendapat investor dengan nilai valuasi 7 kali lipat dari saat kami masuk,” kata Andi.

Touchten terhitung menjadi perusahaan game lokal teraktif yang mendapatkan pendanaan dari investor. Namun seluruhnya berasal dari asing, yakni perusahaan teknologi konglomerat Jepang Cyber Agent Ventures, perusahaan animasi Jepang TMS Entertainment, private equity UOB Venture Management, perusahaan mobile game Jepang Gree, modal ventura Amerika Serikat 500 Startups, dan DNC.

Modal ventura asing yang terhitung menjadi investor teraktif berinvestasi di perusahaan game lokal adalah DNC. Ada tiga perusahaan game lokal yang masuk ke dalam portofolio DNC, yaitu Touchten, Toge Productions, dan Arsanesia.

DNC fokus ke investasi tahap awal (seed stage). Biasanya besaran nilai investasi dalam tahap ini US$50 ribu-US$1 juta (Rp650 juta-Rp13 miliar). DNC adalah perusahaan patungan antara Hangzhou Zhexin IT Co., Ltd. (Zhe Xin IT) dengan Project Discovery Ltd. dan Qomolangma Ltd. yang didirikan September 2016.

DNC didirikan khusus berinvestasi di sektor game di Asia Tenggara, dengan fokus utama di Indonesia.

Tim DNC / DNC
Tim DNC / DNC

Zhe Xin IT adalah anak usaha dari Zhejiang Jinke Entertainment Culture Co., Ltd. Pada awalnya Zhe Xin IT adalah perusahaan game yang berdiri pada tahun 2010. Seluruh dana investasi DNC berasal dari kombinasi antara Limited Partner dan Angel investor.

Sebagai modal ventura yang paham dengan siklus perusahaan game, Managing Partner DNC Irene Umar menjelaskan alasan DNC terjun ke sektor ini. Ia menjelaskan, selain karena ada hubungan dengan afiliasi perusahaan game, juga karena tidak ada modal ventura yang mau fokus investasi ke industri game. Yang terakhir ini, menurut DNC justru sebuah peluang.

Dia menilai DNC memiliki kemampuan transfer pengetahuan dari jaringan investor yang mereka miliki ke para talenta lokal. Hal ini ditambah bonus demografi dan potensi bisnis yang besar. Oiya, yang juga penting adalah para personil DNC gemar bermain game.

“Ketika kami memutuskan bahwa DNC khusus investasi ke game, banyak yang bilang kami itu gila. Sebab pada saat itu, banyak perusahaan game yang tidak tahu bagaimana cara kerja VC [Venture Capital – Red] dan sebagainya. Kami harus melakukan edukasi bahwa VC adalah elemen penting yang sempat hilang pada tahun lalu dalam ekosistem game. Kami pun bangga dapat masuk mengisi kekosongan gap tersebut,” terang Irene.

Dalam mengukur portofolio perusahaan yang akan diinvestasi, ada beberapa parameter keuangan yang dipakai DNC. Di antaranya pendapatan, operating expenditure (opex), arus kas, dan laba bersih. Semua parameter ini dilihat secara historis maupun proyeksi yang harus sesuai dengan rencana bisnisnya.

Intinya, sambung Irene, arah perusahaan harus didorong oleh visi founder yang kemudian diterjemahkan ke dalam rencana bisnis. Tujuannya untuk menentukan langkah apa yang diambil selanjutnya dan sesuai tujuan mereka. “Semuanya akan berakhir ke keuangan mereka. Kuncinya, ada di founder itu sendiri.”

Menurutnya, perusahaan hanyalah kendaraan dan motor penggeraknya berasal dari orang-orang di dalamnya. Oleh karena itu, DNC cenderung melihat secara dekat karakter founder dan mencoba untuk memahami visi mereka, menilai kemampuannya untuk mengeksekusi, dan tingkat kemampuan yang dapat mereka hadapi dalam kesuksesan.

Jadi ide itu sesuatu yang murah karena yang terpenting adalah eksekusi. Menaiki tangga menuju kesuksesan lebih mudah daripada mempertahankannya.

“DNC bercita-cita ingin mendukung perusahaan portofolio kami ke puncak. Tapi akan terserah mereka apakah bersedia untuk tetap melangkah atau tetap di posisi puncak.”

Industri gaming di kacamata perbankan

Pelaku jasa keuangan di Indonesia, baik perbankan maupun modal ventura lokal, masih enggan mempercayakan uangnya di perusahaan game. Alasannya klasik, karena bank menyalurkan dana masyarakat, sehingga perlu rekam jejak perusahaan dan sudah memiliki cash flow yang lancar sebagai jaminan keberlangsungan usaha. Tak ketinggalan, perlu aset fisik sebagai jaminan utamanya.

Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja mengaku belum memberikan kredit untuk perusahaan game. Menurutnya, kredit itu prinsipnya adalah menggunakan dana masyarakat untuk membantu masyarakat yang mau berbisnis. Untuk itu perlu ada prinsip bahwa perusahaan tersebut sudah memiliki pengalaman di bisnis tersebut, ada jaminan cukup, referensi bisnis dari temannya.

“Jadi memang ketat [persyaratannya]. Kalau industri kreatif tersebut memenuhi persyaratan akan kita berikan. Sayangnya belum banyak,” tutur Jahja.

SUMBER: BEKRAF
SUMBER: BEKRAF

Meski bukan bergerak di ekonomi kreatif, salah satu perusahaan digital yang pernah ‘lulus’ dan mendapatkan kredit dari BCA adalah Tiket.com. Jahja menuturkan Tiket mendapat kredit sebesar Rp100 miliar dengan mengagunkan laporan keuangan yang diakumulasi selama tiga tahun.

“Tiket.com pakai agunan kok laporan keuangan dan account. Mereka dapat kredit bukan untuk jangka panjang. Mereka itu agak unik karena 80% penjualan mereka melalui channel BCA, untuk kartu kredit, transfer dan lainnya. Fasilitasnya juga lebih banyak sebagai overdraft untuk weekend dan hari libur.”

Bank Mandiri juga berpendapat sama. Perusahaan game dianggap memiliki risiko dan ketidakpastian yang tinggi. Kendati demikian, perseroan terus membuka kemungkinan untuk menjadikan perusahaan game sebagai debitur. Asalkan perusahaan tersebut memiliki kejelasan bisnis, pasar, dan domisili usaha. Malah, perseroan membuka kesempatan kolaborasi B2B untuk para perusahaan game dalam hal sistem pembayaran. Misalnya, co-branding kartu, pembayaran dengan mesin EDC, atau lainnya.

“Bank Mandiri apabila diposisikan sebagai technical aqcuiring, kami bisa bantu. Tidak harus selalu bentuk loan, jadinya ini saling win win,” kata Senior Vice Presiden Bank Mandiri Rahmat Broto Triaji.

Senada dengan Bank Mandiri, Bank Permata berkeyakinan bahwa industri kreatif, terutama digital adalah industri yang mempunyai prospek baik di masa yang akan datang.

“Kami terus mempelajari industri semacam ini dari waktu ke waktu. Bila dipandang layak, maka kemungkinan akan dibiayai,” ucap Direktur Ritel Bank Permata Bianto Surodjo.

Usaha Kuliner, Salah Satu Subsektor Ekonomi Kreatif yang Sudah Mendapat Fasilitas Kredit dari Bank / Shutterstock
Usaha Kuliner, Salah Satu Subsektor Ekonomi Kreatif yang Sudah Mendapat Fasilitas Kredit dari Bank / Shutterstock

Sedikit berbeda dengan BNI. Kendati belum terjun ke perusahaan game untuk memberikan kredit, namun perseroan mengaku akan perlahan-lahan masuk ke sektor industri kreatif. Sejauh ini sektor yang sudah masuk dalam portofolio BNI didominasi oleh kuliner, kerajinan, dan fesyen. Total kredit yang telah disalurkan BNI untuk sektor tersebut sebesar Rp3,5 triliun per Juni 2017 dengan total debitur 5 ribu orang.

“BNI sudah bekerja sama dengan beberapa startup berbasis digital untuk membiayai kegiatan usahanya, antara lain TaniHub dan membiayai penjual yang tergabung dalam [layanan] e-commerce Tokopedia dan Lazada. Skema unik yang akan kami kembangkan ke subsektor lainnya adalah perfilman, desain, dan lainnya,” terang Direktur Perencanaan & Operasional BNI Bob Tyasika Ananta.

Dari data terakhir yang dihimpun Otoritas Jasa Keuangan (OJK), realisasi penyaluran kredit dari perbankan untuk ekonomi kreatif sebesar Rp121 triliun atau 2,87% terhadap total kredit perbankan Rp4.213 triliun sepanjang September 2016.

SUMBER: BEKRAF
SUMBER: BEKRAF

Bagi modal ventura lokal, industri game belum begitu menarik karena bisnisnya yang unik, cenderung riskan untuk dimasuki karena perlu orang yang benar-benar paham dengan industri tersebut.

Wakil Ketua Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (Amvesindo) Donald Wihardja mengatakan tidak banyak investor lokal yang paham dengan siklus bisnis dari perusahaan game. Hal ini yang mengakibatkan banyak perusahaan game lokal akhirnya melarikan diri ke modal ventura asing untuk mendapatkan bantuan pendanaan.

“Karena untuk investasi ke sektor manapun butuh ahli yang paham, sehingga tidak banyak perusahaan game yang menerima funding dari ventura lokal. Buat game itu sama seperti artis yang produksi film, jadi lebih unsur gambling-nya kalau enggak ngerti,” ujar Donald.

Dia menambahkan, di Indonesia itu lebih banyak perusahaan game yang bertindak sebagai publisher, membawa game dari luar untuk dipasarkan di Indonesia. Bagi investor itu bukan sesuatu yang bernilai tinggi karena posisinya mereka hanya menjadi penyokong dana untuk kegiatan pemasaran.

Amvesindo melihat tren modal ventura saat ini lebih banyak yang fokus pendanaan untuk sektor financial technology (fintech) dan layanan e-commerce.

Langkah Bekraf

Untuk menstimulasi industri kreatif, sejak pertengahan tahun ini Bekraf mendapat persetujuan dari pemerintah untuk memberikan dana hibah bersumber dari kantong Bekraf sendiri lewat program Bantuan Insentif Pemerintah (BIP). Bekraf mengalokasikan dana hibah senilai Rp10,8 miliar untuk pelaku usaha yang bergerak di bidang kuliner, aplikasi dan developer game (AGD).

Dreadout Cover
Dreadout Cover

BIP adalah skema bantuan modal nonperbankan berupa penambahan modal kerja dan/atau investasi aktiva tetap yang difasilitasi Bekraf. Besaran dana hibah yang diberikan berkisar antara Rp90 juta sampai Rp200 juta tergantung hasil penilaian.

Dari total applicant yang masuk, Bekraf menyaringnya dan memutuskan ada 34 perusahaan yang menerima dana hibah. Rinciannya terdiri dari 19 perusahaan dari kuliner dan 15 perusahaan dari aplikasi dan developer game. Rata-rata berlokasi di Pulau Jawa, Makassar, dan Balikpapan. Beberapa nama perusahaan game yang mendapat BIP adalah Ekuator Games (kreator game PC Celestian Tales), Digital Semantika Indonesia (kreator game PC DreadOut).

“Kita bayarkan 40% dari nilai assesment, lalu dievaluasi untuk kemudian ditentukan pencairan berikutnya. Evaluasi itu dilakukan pada November 2017,” ujar Deputi Infrastruktur Bekraf Hari Sungkari.

Tak berhenti di sini, Bekraf akan melanjutkan program ini pada tahun depan. Hanya saja Hari enggan menyebutkan nominal dana hibah yang diajukan ke pemerintah. Lewat inisiasi nyata lewat BIP ini diharapkan bisa menimbulkan efek domino di industri jasa keuangan dan membuka mata tentang nyatanya potensi industri game di Indonesia. Kita tunggu kabar-kabar baik ke depannya.

Mengintip Gurihnya Uang Elektronik di Indonesia

Gita, Adi, dan Agnes adalah salah satu dari sekian juta pengguna aktif uang elektronik atau lebih dikenal dengan e-money di Indonesia. Gita mengungkapkan e-money sudah menjadi alat bayar yang cukup praktis ketika harus menggunakan Commuter Line.

Penumpang tidak harus bersusah payah untuk mengantre saat membayar ongkos. Di dalam dompet Gita, ada dua kartu e-money yakni Flazz dari BCA dan Tap Cash dari BNI. Gita juga terdaftar sebagai pengguna Mandiri e-cash.

Hanya saja, dia memiliki pengalaman yang tidak baik saat menggunakan Tap Cash. Setelah sukses melakukan isi ulang dari ATM, rupanya uangnya tidak masuk ke kartu e-money miliknya. “Padahal saya sudah pastikan nomor kartunya dua kali sebelum transfer dilakukan di ATM,” tuturnya.

Setelah kejadian itu, akhirnya Gita lebih memilih untuk top up saldo di petugas Trans Jakarta demi jaminan dananya. Selain menggunakan untuk transportasi, terkadang Gita juga memakainya saat berbelanja di gerai minimarket dan cafe. Sementara itu, untuk Mandiri e-cash lebih banyak dipakai ketika membeli pulsa.

Senada, Adi sering menggunakan e-money untuk membayar sarana transportasi publik. Secara spesifik Adi mengungkapkan dirinya adalah pengguna setia Flazz. Menurutnya, dari segi umur Flazz adalah pemain pertama e-money di Indonesia. Hal inilah yang membuat dirinya terasa lebih familiar dengan Flazz.

“Dari segi desainnya, Flazz sangat bervariasi. Saya rela bayar mahal demi dapat kartu Flazz yang sesuai selera.”

Beda halnya dengan Agnes, dirinya termasuk jarang menggunakan e-money. Untuk memakainya pun, hanya saat dia menggunakan Transjakarta. Agnes kebanyakan pakai Flazz untuk mendapatkan diskon dari toko buku ternama di Indonesia.

“Kebetulan beli Flazz cuma buat dapat diskon saja saat beli buku. Itupun tidak perlu top up saldo, makanya saya tertarik.”

Salah satu bentuk promosi yang dilakukan oleh pemain e-money bekerja sama dengan gerai ritel / Pexels
Salah satu bentuk promosi yang dilakukan oleh pemain e-money bekerja sama dengan gerai ritel / Pexels

Ketiga konsumen di atas merupakan salah satu dari sekian juta pengguna e-money di Indonesia. Data dari Bank Indonesia menyebut, hingga September 2016 volume transaksi sebesar 476,56 juta dengan nilai transaksi 4,89 triliun Rupiah dan jumlah e-money beredar sebanyak 352,07 juta.

[Baca juga: E-money Mungkin adalah Kunci Pembayaran di Masa Depan]

Di 2014, volume transaksi mencapai 203,38 juta atau naik 47,48% secara year-on-year (yoy) dibanding tahun sebelumnya. Kemudian, 535,57 juta transaksi di 2015 atau setara dengan kenaikan 163,35%. Dari segi nominal transaksi, di 2014 sebanyak 3,31 triliun Rupiah, naik 14,17%. Di tahun berikutnya menjadi 5,28 triliun Rupiah, naik 59,17%.

Perlahan tapi pasti, e-money mulai menggeser penggunaan transaksi ritel di Tanah Air yang kini masih didominasi oleh uang tunai.

Susiati Dewi, Asisten Direktur Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran Bank Indonesia, menerangkan jumlah uang elektronik yang dipegang oleh masyarakat mencapai 37,3 juta. Secara ekosistemnya, penggunaan uang elektronik tidak hanya dipakai untuk pembayaran di gerai ritel offline maupun online.

Kini e-money juga bisa digunakan untuk penyaluran bantuan sosial (bansos) Program Keluarga Harapan dari Kementerian Sosial kepada 600 ribu orang penerima bansos. “Penggunaan uang elektronik jadi kian pesat karena banyak sektor transaksi ritel yang bisa dimanfaatkan,” terangnya kepada DailySocial.

Bentuk dukungan BI terhadap dorongan terciptanya ekosistem e-money yang kondusif, salah satunya dengan meningkatkan plafon maksimal instrumen Layanan Keuangan Digital (LKD) untuk pengguna terdaftar menjadi 10 juta Rupiah dari sebelumnya 5 juta Rupiah.

Berikutnya, sambung Susi, BI akan kembali mengeluarkan ketentuan lainnya terkait dengan penyelenggaraan transaksi pembayaran yang lebih difokuskan untuk mengatur layanan pembayaran e-commerce. E-money merupakan salah satu instrumennya. “Untuk penerbitan regulasinya belum bisa dipastikan waktunya, namun dalam waktu dekat.”

Adopsi e-money card based terbanyak dari sarana transportasi

Ilustrasi penggunaan Flazz sebagai alat pembayaran Trans Jakarta / BCA
Ilustrasi penggunaan Flazz sebagai alat pembayaran Trans Jakarta / BCA

Beberapa tahun belakangan, pemerintah dengan semangat Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) mulai menerapkan sejumlah aturan untuk mempercepat adopsi penggunaan e-money. Salah satu yang paling gencar adalah menerapkan e-money card based untuk sarana transportasi publik, mulai dari Transjakarta, Commuter Line, dan pembayaran tol.

Terbukti, dari langkah ini menjadi kontributor utama bagi sejumlah pemain e-money. Beberapa di antaranya adalah Flazz BCA dan Mandiri E-money.

Bank Mandiri merupakan pemain dominan untuk pembayaran tol. Hal ini diungkapkan Rico Usthavia Frans, Direktur Bank Mandiri. Menurutnya, dari total kartu uang elektronik yang sudah beredar mayoritas dikontribusikan dari pembayaran tol, kemudian disusul sarana transportasi lainnya seperti Transjakarta dan Commuter Line. Sisanya, pembelian barang di gerai minimarket.

Saat ini total kartu beredar e-money milik Bank Mandiri sudah mencapai 8 juta sejak pertama kali diluncurkan pada 2009. Kini volume transaksinya per bulan mencapai 30 juta transaksi.

Rico mengatakan perusahaan menargetkan volume transaksi uang elektronik pada tahun ini dapat meningkat 30% dari 251 juta transaksi menjadi 37 juta transaksi. Nilai transaksi yang diharapkan bisa mencapai 3,5 triliun Rupiah, naik 40% dari pencapaian sebelumnya 2,5 triliun Rupiah di tahun sebelumnya.

Flazz BCA adalah pemain tertua untuk uang elektronik, pertama kali diluncurkan pada 2007. Mira Wibowo, General Manager Kepala Divisi Pengembangan Bisnis dan Pemasaran Transaksi Perbankan BCA menerangkan frekeuensi penggunaan Flazz banyak diarahkan untuk pembayaran sarana transportasi publik, tol, parkir, juga di restoran dan minimarket.

Kini Flazz BCA sudah beredar lebih dari 9,5 juta kartu. Pertumbuhan kartu beredar dalam lima tahun terakhir, menurut Mira, sudah lebih dari 20% begitupula untuk volume transaksinya. Untuk nominal transaksinya, pada tahun lalu Flazz menembus kisaran 1 triliun Rupiah.

Bagaimana dengan adopsi e-money server based?

Secara desain, e-money server based nampaknya sangat tepat untuk digunakan sebagai alat pembayaran belanja online. Baik BCA maupun Mandiri keduanya memiliki e-money berbasis server based. Dari segi umur, keduanya masih merupakan produk baru dan membutuhkan waktu untuk edukasi ke masyarakat.

Santoso Liem, Direktur BCA, menerangkan Sakuku baru menginjak usia satu tahun sejak pertama kali diluncurkan pada tahun lalu. Menurutnya, jumlah pengguna Sakuku mencapai lebih dari 135 ribu orang dengan volume transaksi rata-rata per bulan sekitar 80 ribu sampai 90 ribu transaksi. Penggunaan terbesarnya dipakai untuk pembelian pulsa, berbelanja di merchant offline, dan banyak juga yang tarik tunai.

“Sakuku tergolong masih baru, sehingga pertumbuhannya belum secepat Flazz. Kami lebih mengutamakan pertumbuhan natural, sehingga masih difokuskan untuk meningkatkan jumlah pengguna untuk menikmati fitur Sakuku.”

LINE Pay e-Cash adalah kolaborasi LINE dan Bank Mandiri memanfaatkan platform e-money Mandiri e-Cash / DailySocial
LINE Pay e-Cash adalah kolaborasi LINE dan Bank Mandiri memanfaatkan platform e-money Mandiri e-Cash / DailySocial

Rahmat Broto Triaji, SVP Transaction Banking Retail Bank Mandiri, menjelaskan perusahaan akan menggenjot transaksi Mandiri e-cash untuk bertransaksi di layanan e-commerce. Untuk itu perusahaan akan memperbanyak jumlah merchant. Diharapkan tahun depan dapat bertambah 300 merchant dari posisi tahun ini sebanyak 1.000 merchant.

“Pada September 2016 produk e-money dan e-cash dari Bank Mandiri telah menguasai 65% pangsa pasar industri e-money,” ujar Rahmat seperti dikutip dari Kontan.

Dalam upayanya ini, Bank Mandiri baru-baru ini meresmikan kemitraan strategis dengan Line sebagai platform untuk menjembatani transaksi online yang terjadi antara pengguna Line dengan 300 ribu offline dan online shop yang terdaftar di social messaging tersebut.

Mengukur segi keamanan e-money bagi pengguna

Kejadian yang menimpa Gita umum dialami pengguna e-money card based yang tergolong sebagai pengguna tidak terdaftar. Keamanan pengguna e-money card based tidak dijamin siapapun, termasuk oleh pihak penerbit kartu.

Untuk itu Bank Indonesia membuat sistem pengamanan yang berbeda untuk e-money mulai dari penetapan plafon nominal. Untuk card based, nominal maksimalnya adalah 1 juta, sementara server based adalah 10 juta Rupiah.

“Sejak awal e-money card based memang didesain tidak diberi perlindungan konsumen, maka dari itu BI menerapkan untuk melakukan limitasi nominal uang yang bisa disimpan hanya sampai 1 juta Rupiah. Sementara, untuk pengguna terdaftar terhitung lebih aman dan nyaman bila kehilangan smartphone-nya mereka bisa klaim ke pihak penerbit,” terang Budi Armanto, Deputi Komisioner Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Masih lemahnya adopsi e-money di segmen e-commerce

Pemanfaatan e-money sebagai alat pembayaran di e-commerce masih kecil / Shutterstock
Pemanfaatan e-money sebagai alat pembayaran di e-commerce masih kecil / Shutterstock

Dari hasil survei yang dipaparkan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), terungkap bahwa saat ini pilihan pembayaran untuk transaksi di layanan e-commerce sebagian besar masih banyak yang menggunakan ATM secara langsung sebanyak 36,7% disusul dengan pembayaran dengan cara Cash on Delivery sebanyak 14,2% dan terakhir pembayaran dengan menggunakan internet banking hanya 1,5% saja.

Data tersebut membuktikan masih rendahnya kepercayaan pengguna yang melakukan pembayaran dengan memanfaatkan internet dalam hal ini e-money. Di sisi lain golongan masyarakat yang unbankable juga merupakan salah satu alasan mengapa penggunaan uang elektronik masih minim jumlahnya.

Kami pun, pada pertengahan tahun lalu, juga merilis survei kecil-kecilan. Dari 1.002 responden yang menjawab, 763 responden mengaku berbelanja secara online dalam tiga bulan terakhir.

Mereka mengaku metode pembayaran transfer bank adalah metode terbaik dan paling dipercaya oleh mayoritas responden. Komposisinya, 75% responden memilih transfer bank, 13% untuk Cash on Delivery (CoD), dan 7% memilih kartu kredit.

Pihak e-commerce sendiri hingga kini masih enggan untuk memberikan informasi berapa banyak pembayaran dengan menggunakan e-money yang kemudian dipilih oleh pengguna, namun bisa diperkirakan adopsi e-money masih kecil.

Meskipun pemerintah dan Bank Indonesia telah mendukung kelancaran aturan penyelenggara uang elektronik, yang diharapkan bisa memberikan manfaat lebih untuk industri e-commerce dalam hal pilihan pembayaran, jika pemanfaatan uang elektronik oleh konsumen masih rendah.

Untuk itu edukasi tentunya perlu untuk dilakukan baik dari pelaku e-commerce, operator, perusahaan keuangan, juga dari pemerintah untuk meningkatkan minat penggunaan uang elektronik di Indonesia.


Yenny Yusra berkontribusi untuk penulisan artikel ini