Developer sekaligus publisher Rainbow Six Siege, Ubisoft baru saja mengumumkan bahwa Jesse Lingard telah mengakuisisi tim esports asal Inggris, Audacity Esports menjadi JLINGZ.
Sebagai bagian dari akuisisi, nama JLINGZ Esports akan digunakan pada gelaran UK and Ireland Nationals (UKIN) Second Division untuk musim selanjutnya. Untuk sementara waktu tim Rainbow Six Siege dari Audacity Esports juga akan menggunakan nama Team JLE.
Jesse Lingard sendiri merupakan atlet sepak bola untuk Manchester United, tim yang bermain di kasta tertinggi sepak bola Inggris yaitu Premier League.
Pemain tersebut mengaku senang terjun ke ranah esports. “Merek JLINGZ milikku telah berkembang selama beberapa tahun terakhir sebelum terjun ke ranah esports dan bisa menambahkan timku sendiri ke JLINGZ merupakan hal yang luar biasa.”
“Esports memiliki segalanya bagi saya, serba cepat dan kompetitif, komunitasnya yang luar biasa dan senang rasanya mendapat dukungan Ubisoft langsung dalam perjalanan ini. Perhatikan semuanya, JLINGZ Eports akan terus berkembang!”
Selain debut di ranah esports Rainbow Six Siege, JLINGZ Esports juga mengincar tiket kualifikasi ke European Challenger League 2022.
Sebelum bergabung dengan Audacity, Team JLE beranggotakan beberapa pemain, antara lain:
Sam Williams
Lewis ‘Xumi’ Coulson
Joshua ‘Nerf’ Frost
Jack ‘Blackout’ Greenwell
Aleksi ‘Movetaho’ Kuoppa
Namun dari 5 pemain Team JLE hanya Williams yang akan melanjutkan petualangannya dengan JLINGZ Esports.
Rotasi pemain yang dimiliki Audacity Esports dan Sam Williams akan membentuk roster baru bagi JLINGZ di Rainbow Six Siege.
Tidak berhenti sampai di situ, Lingard juga akan mengatur masa depan tim Audacity Esports. Sang pemain akan terjun langsung dalam mengelola kinerja tim di UKIN, komunitas Rainbow Six Siege terbesar yang mencakup 1.000 anggota aktif.
Komunitas UKIN berisikan beberapa penggiat esports, pemilik klub, hingga pemain profesional. Organisasi ini kerap menyelenggarakan serangkaian turnamen Rainbow Six Siege baik untuk PC dan konsol dengan sistem LAN di London, Inggris.
Kerja sama ini juga bukan yang pertama bagi Audacity Esports. Sebelumnya, tim esports ini bekerjasama dengan merek pakaian olahraga asal Italia yaitu Kappa.
Baik dari merchandise, jersey, dan jaket tim Audacity akan diproduksi langsung oleh Kappa. Meski begitu, belum ada informasi lebih lanjut apakah JLINGZ Esports akan kembali memilih Kappa untuk memproduksi jersey timnya.
Selain Jesse Lingard sendiri, ada banyak atlet sepak bola yang terjun ke ranah esports seperti Gareth Bale, David Beckham, Mesult Ozil, hingga Antoine Griezmann.
Minggu lalu, ada beberapa kabar menarik seputar dunia esports, baik di tingkat regional maupun global. Salah satunya, EVOS Esports menggandeng Nexplay untuk kembali bertanding di MPL PH. Selain itu, Ubisoft juga mengumumkan bahwa mereka akan menggelar turnamen Brawlhalla di tingkat Asia Tenggara. Di India, ESPL mengumumkan bahwa mereka menjadikan aktor Bollywood, Tiger Shroff, sebagai brand ambassador.
Gandeng Nexplay, EVOS Bakal Kembali Berlaga di MPL PH
EVOS Esports menggandeng Nexplay Esports untuk kembali aktif di skena esports Mobile Legends di Filipina. Pada 2019, EVOS menjadi salah satu organisasi esports dari luar Filipina yang ikut serta di Mobile Legends: Bang Bang Professional League Philippines (MPL PH). Tim EVOS PH mulai berlaga di MPL PH pada Season 3. Hanya saja, pada akhir Season 4, EVOS memutuskan untuk keluar dari skena Mobile Legends Filipina. Sejak saat itu, mereka telah melewatkan tiga musim dari MPL PH.
Sekarang, tim EVOS-Nexplay akan ikut bertanding di MPL PH Season 8. Sayangnya, roster lengkap dari tim itu belum diumumkan, seperti yang disebutkan oleh Yahoo. Saat ini, empat pemain yang sudah dipastikan akan menjadi bagian dari tim EVOS-Nexplay adalah John Paul “H2wo” Salonga, Renejay “RENEJAY” Barcarse, Tristan “Yawi” Cabrera, dan Setsuna “Dogie” Ignacio.
Ubisoft Umumkan Turnamen Brawlhall untuk Asia Tenggara
Ubisoft umumkan crossover antara Brawlhalla dengan Teenage Mutant Ninja Turtles (TMNT) pada minggu lalu. Keempat kura-kura ninja tersebut akan menjadi Epic Crossover skin untuk empat karakter di Brawlhalla. Leonardo menjadi skin untuk Jiro, Donatello untuk Mirage, Raphael untuk Ragnir, dan Michaelangelo untuk Val. Setiap kura-kura ninja juga akan menggunakan senjata andalan mereka. Crossover dengan TMNT ini menandai munculnya mode baru yang disebut Crew Battles. Dalam Signature Attacks baru, Master Spliter dan Casey Jones akan muncul untuk mendukung pemain, lapor IGN.
Selain crossover dengan TMNT, Ubisoft juga mengumumkan bahwa mereka akan bekerja sama dengan Meta untuk mengadakan empat turnamen Brawlhalla di Asia Tenggara. Seri turnamen yang dinamai SEA Challenger Series itu akan diadakan setiap minggu, mulai pada 9 Juli 2021 hingga 30 Juli 2021. Menawarkan total hadiah US$5 ribu (sekitar Rp72,4 juta), SEA Challenger Series bisa diikuti oleh semua pemain Brawlhalla di kawasan Asia Tenggara. Selain hadiah uang, 16 pemain terbaik di setiap minggu juga akan mendapatkan item khusus dalam game. SEA Challenger Series juga akan disiarkan di Twitch dan YouTube secara global.
Malaysia Esports League 2021 (MEL21) Siap Digelar, Tawarkan Hadiah Rp698 Juta
Esukan.gg, platform manajemen esports nasional terpusat asal Malaysia, akan menyelenggarakan liga esports tingkat nasional pertama mereka, yang dinamai Malaysia Esports League 2021 (MEL21). Menawarkan total hadiah sebesar MYR200 ribu (sekitar Rp698 juta), MEL21 terbuka untuk semua pemain esports amatir dan semi-profesional dari 13 negara bagian dan 3 kawasan federal di Malaysia.
MEL21 akan terbagi menjadi dua bagian, yaitu State League dan National League. Sementara game yang diadu dalam liga itu antara lain PUBG Mobile, Mobile Legends: Bang Bang, Dota 2, dan FIFA 21. Dari setiap game, para peserta harus melalui babak kualifikasi di State League. Hanya pemain terbaik di State League yang akan bisa maju ke National League, mewakili negara bagian mereka, menurut laporan Issue Wire.
Aktor Bollywood Tiger Shroff Jadi Brand Ambassador ESPL
Aktor dan penyanyi Bollywood, Tiger Shroff, kini menjadi brand ambassador dari Esports Premier League (ESPL), liga franchise pertama di India. Sayangnya, tidak diketahui berapa nilai kontrak Shroff. Satu hal yang pasti, Shroff merupakan salah satu aktor Bollywood dengan bayaran termahal. Menurut laporan The Esports Observer, Shroff pernah membintangi sejumlah film India populer, seperti Student of the Year 2, War, Munna Michael, dan lain sebagainya. Di kalangan generasi muda India, Shroff juga sangat populer. Tampaknya, hal inilah yang menjadi alasan mengapa ESPL tertarik untuk menggandeng Shroff sebagai brand ambassador.
Ubisoft Kerja Sama dengan Aim Lab
Ubisoft mengumumkan kerja sama mereka dengan platform latihan game shooter, Aim Lab. Kerja sama ini akan berlangsung selama lebih dari satu tahun. Dengan ini, Aim Lab akan menjadi platform resmi untuk mengembangkan skill para pemain Rainbow Six Siege. Di tahun pertama, Aim Lab akan menjadi rekan global dari R6 Pro Circuit dan ditampilkan dalam siaran dari turnamen tersebut. Sementara di tahun kedua, fitur dari Aim Lab akan terintegrasi lebih dalam di Pro Circuit. Mereka akan menampilkan statistik dari para pemain. Selain itu, Aim Lab juga mendapatkan weapon skin eksklusif di R6. Skin tersebut akan menjadi hadiah dari R6 Alm Lab Combine, event yang bertujuan untuk menilai kemampuan para pemain di berbagai skill mekanik, lapor The Esports Observer.
Minggu lalu, ada dua perusahaan otomotif yang mengumumkan kerja samanya dengan pelaku industri esports. Salah satunya adalah BMW yang menggandeng LVL. Sementara itu, tim esports Mercedes mengungkap bahwa mereka menjalin kerja sama dengan AMD.
OPPO Bakal Sponsori Liga Wild Rift di Tiongkok
Ketika meluncurkan smartphone barunya, Reno 6, OPPO juga mengungkap bahwa mereka telah menjalin kerja sama dengan TJ Sports, operator dari skena esports League of Legends di Tiongkok. Melalui kerja sama ini, OPPO akan menjadi rekan resmi untuk liga profesional dari League of Legends: Wild Rift. Kerja sama tersebut akan berlangsung selama 2 tahun, mulai dari Juni 2021 sampai semester pertama 2023.
Sebagai bagian dari kolaborasi ini, Reno 6 Pro+ akan digunakan sebagai perangkat resmi bagi para pemain di liga profesional Wild Rift. Sebelum ini, OPPO telah menjadi sponsor dari liga profesional League of Legends di Tiongkok (LPL). Mereka juga mendukung beberapa turnamen global dari League of Legends, termasuk League of Legends World Championship, Mid-Season Invitational, dan turnamen All-Star, menurut laporan The Esports Observer.
ASUS Perbarui Kerja Sama dengan eNASCAR
ASUS memperbarui kontrak kerja sama mereka dengan eNASCAR. Dengan begitu, ASUS kembali menjadi sponsor dari eNASCAR Coca-Cola iRacing Series 2021. Salah satu bentuk kerja sama antara ASUS dan eNASCAR adalah produk-produk Republic of Gamers (ROG) dari ASUS akan diiklankan selama siaran eNASCAR dan juga di media sosial mereka. Tak hanya itu, mobil balap yang tampil di iRacing Series juga akan menggunakan warna khas ROG.
“ASUS adalah salah satu sponsor utama di komunitas racing. Mereka juga dapat memberikan produk terbaik untuk para gamers PC dan sim racers di dunia,” kata Nick Rend, Managing Director of Gaming and Esports, NASCAR, seperti dikutip dari Esports Insider. “Kompetisi eNASCAR Coca-Cola iRacing Series mengadu para sim racers terbaik di dunia. Melalui kerja sama dengan ASUS ini, kami akan bisa memberikan produk terbaik yang para sim racers perlukan saat bertanding dengan satu sama lain.”
DarkZero dan Aim Lab Kerja Sama untuk Buat Tutorial Rainbow Six: Siege
Organisasi esports asal Amerika Utara, DarkZero Esports (DZ) dan platform pelatihan gamers, Aim Lab, mengumumkan kolaborasi mereka untuk membuat program latihan bagi para pemain Rainbow Six: Siege. Kali ini bukan pertama kalinya DarkZero dan Aim Lab berkolaborasi. Pada 2020, keduanya pernah mengadakan DarkZero x Aim Lab Pro-Am Tournament. Belum lama ini, DarkZero juga mendapatkan pelatih tim Rainbow Six baru, yaitu Brandon “BC” Carr, pemain profesional yang sempat mengundurkan diri sebelum kembali ke dunia esports. Nantinya, dia juga bertanggung jawab untuk membuat konten dan tutorial khusus bagi pengguna Aim Lab.
“Aim Lab merupakan bagian penting dari program esports kami,” kata Carr, lapor Esports Insider. “Kami melakukan latihan dan pemanasan harian menggunakan Aim Lab untuk mempelajari teknik tertentu. Saya tidak sabar untuk mengokohkan kerja sama kami dan terus membuat konten tutorial terkait Siege.”
Mercedes-AMG Petronas Bekerja Sama dengan AMD
Mercedes-AMG Petronas, tim Formula One milik Mercedes, baru saja mengumumkan kerja sama mereka dengan AMD di bidang esports. Melalui kerja sama ini, AMD akan memberikan produk-produk mereka pada tim Mercedes-AMG Petronas Esports, khususnya GPU dan prosesor. AMD juga akan menyediakan hardware dan software yang telah “dioptimalkan” untuk para kegiatan gaming. Selain itu, AMD juga akan menyiapkan PC gaming untuk tempat pelatihan Mercedes-AMG Petronas Esports yang baru. Tempat pelatihan yang akan diperkenalkan pada 2021 itu terletak di Brackley, Inggris, lapor Esports Insider.
BMW Jadi Rekan Otomotif dari LVL
Pada 2020, VERITAS Entertainment membuka fasilitas gaming dan esports baru di Jerman, bernama LVL. Sekarang, LVL mengumumkan bahwa mereka telah bekerja sama dengan BMW. Sayagnya, tidak diketahui berapa nilai kerja sama ini. Satu hal yang pasti, LVL akan membantu BMW untuk membuat konten esports. Memang, selain tempat pelatihan, LVL juga memiliki studio produksi konten serta perangkat virtual reality. Selain membuat konten, BMW juga akan menggunakan tempat milik LVL untuk mengadakan event esports, lapor The Esports Observer.
Impian para pemain Rainbow Six Siege untuk dapat bermain dengan teman-temannya lintas platform kelihatannya akan segera terwujud. Karena dalam update terbarunya Ubisoft mengatakan bahwa mereka tengah menguji coba fitur cross-play untuk game tactical shooter tersebut.
Lewat cuitan di akun Twitter resminya, Rainbow Six Siege mengatakan jika mereka sedang melakukan tes cross-play antara platform PC dan cloud gaming. Sayangnya tidak dijelaskan platform cloud gaming apa yang tengah diuji coba tersebut.
Crossplay between PC and cloud gaming platforms is currently being tested.
Tune in to Ubisoft Forward on Saturday, June 12th for more information on Rainbow Six Siege’s plans for Crossplay and Crossprogression.
Mereka juga mengajak para pemain untuk mengetahui lebih banyak detail mengenai rencana fitur cross-play dan juga cross-progression pada gelaran Ubisoft Forward pada 12 Juni mendatang.
Cross-progression sendiri juga merupakan fitur yang paling ditunggu-tunggu oleh pemain termasuk para pemain pro, terutama yang memainkan R6:Siege ini di konsol seperti Xbox One. Karena esport scene dari game ini kini mulai beralih dari Xbox dan lebih berfokus ke PC.
Dengan fitur cross-progression tersebut, para pemain akhirnya dapat mentransfer progres dan stat yang telah mereka miliki selama ini sekaligus membawa skin dan item lain yang mereka miliki sebelumnya.
Meskipun angan-angan untuk bermain secara cross-play kini semakin dekat. Namun, dalam pelaksanaannya nanti, hal ini masih akan membawa masalah baru ke dalam game-nya, terutama untuk game FPS kompetitif seperti R6: Siege karena penggunaan mouse dan kontroler/joystick tentu membawa perbedaan dalam game.
Input-based matchmaking menjadi salah satu solusi paling mudah dan realistis karena para pemain PC yang menggunakan joystick bisa bermain dengan pemain dari platform konsol. Sedangkan para pemain yang menggunakan mouse akan tetap dipertemukan dengan pemain lain yang juga memakai mouse.
Untuk sekarang sepertinya kita harus sabar menunggu kurang lebih 2 minggu hingga akhirnya Ubisoft memperlihatkan lebih banyak mengenai sistem cross-play dan cross-progress ini pada event Ubisoft Forward nanti.
Perkembangan esports sedang begitu digembar-gemborkan belakangan ini, terutama ketika pandemi menyerang. Banyak publikasi ataupun lembaga riset yang memproyeksikan masa depan esports. Newzoo misalnya, memproyeksikan angka pemasukan esports akan mencapai US$1,084 miliar pada tahun 2021 ini dengan perkiraan jumlah penonton mencapai 474 juta orang.
Memang benar esports sedang berkembang pesat. Tetapi ada satu pola dalam perkembangan esports yang mungkin bisa jadi masalah. Hal tersebut adalah bentuk ketergantungan dengan pihak pertama alias developer atau publisher game esports terkait.
Bermula dari hal tersebut, muncul tanda tanya tersendiri. Apakah esports bisa berkembang tanpa dukungan developer ataupun publisher game? Dalam artikel ini tim redaksi Hybrid mencoba mengupasnya dari sudut pandang global yang lalu dikerucutkan ke sudut pandang lokal.
Alkisah Sebuah Game Bernama Heroes of The Storm
Video milik Akshon Esports menjadi pengantar saya dalam membahas topik ini. Pada salah satu videonya, Akshon Esports membahas Heroes of the Storm, sebuah game MOBA yang di-develop dan di-publish oleh Blizzard Entertainment.
Kisah Heroes of the Storm menarik untuk diulas karena beberapa hal. Pertama, Heroes of the Storm sendiri yang memang punya konsep baru nan segar di ranah MOBA dengan menghilangkan sistem item dan sistem level individual.
Kedua, Heroes of the Storm sempat jaya sebagai esports sampai akhirnya Blizzard melepas dukungannya sehingga skena esports game tersebut jadi hampir hancur luluh lantah.
Sekarang, mari saya ceritakan bagaimana Heroes of the Storm hadir ke pasaran. Walaupun Warcraft III (besutan Blizzard) bisa dibilang moyangnya game MOBA seperti Dota 2 dan League of Legends, namun uniknya Blizzard malah ketinggalan masuk ke pasar MOBA.
League of Legends rilis di tahun 2009. Dota 2 rilis di tahun 2013. Heroes of the Storm baru dirilis Blizzard tahun 2015 ketika sudah ada banyak iterasi genre MOBA yang datang dan pergi. Walau terlambat muncul, Heroes of the Storm membawa konsep yang segar.
Seperti yang saya sebut sebelumnya, Heroes of the Storm tidak memiliki item. Sebagai gantinya, Blizzard membuat sistem Talent yang bisa diambil pada level tertentu dan bersifat memperkuat atau menambah skill tertentu. Sistem talent menjadi inovasi yang besar bagi genre MOBA, bahkan sampai ditiru oleh Dota 2.
Heroes of the Storm juga tidak memiliki level individual. Pada MOBA, masing-masing pemain biasanya punya level karakter masing-masing saat bertanding. HoTS tidak, level karakter dikumpulkan secara kolektif oleh tim. Semakin sering sebuah tim memenangkan peperangan, maka semakin cepat juga naik levelnya.
Keunikan terakhir yang ditawarkan oleh HoTS adalah variasi map dengan objektif memenangkan pertandingan yang juga beragam. Dalam MOBA umumnya, objektif permainan cuma satu: mendesak musuh, menghancurkan tower demi tower sampai salah satu tim bisa menghancurkan bangunan inti milik musuh. HoTS berbeda.
Tujuan utamanya tetap menghancurkan bangunan inti. Namun, cara untuk mencapainya berbeda-beda. Pada satu map Anda harus merebut area tertentu agar bisa berubah menjadi naga; yang bisa membantu menghancurkan bangunan inti.
Pada map lain, Anda harus mengumpulkan biji tanaman untuk berubah menjadi monster; yang juga akan membantu Anda menghancurkan bangunan inti. Bahkan, Anda bisa juga tidak perlu menghancurkan tower demi tower untuk bisa hancurkan bangunan inti.
Berkat keunikan yang ditawarkan, Heroes of the Storm muncul menjadi MOBA yang punya penggemarnya tersendiri. Terlebih, Heroes of the Storm juga menawarkan karakter-karakter dari semesta Blizzard yang memang sudah banyak dikenal pemain, seperti Arthas dari World of Warcraft, Sarah Kerrigan dari StarCraft, Tyrael dari Diablo, Genji dari Overwatch, bahkan trio viking dari game jadul The Lost Vikings.
Perkembangan tersebut disambut positif juga oleh Blizzard dengan menghadirkan skena esports profesional yang menjanjikan karir. Pada masanya, esports Heroes of the Storm juga menjadi salah satu pionir.
Kala itu tepatnya tahun 2015, Blizzard menghadirkan turnamen bertajuk Heroes of the Dorm. Turnamen tersebut merupakan turnamen antar universitas yang berhadiah beasiswa bagi para pemenangnya. Heroes of the Dorm juga terbilang menjadi salah satu tayangan esports pertama yang hadir di saluran televisi ESPN pada masa itu.
Setelah Heroes of the Dorm hadir dan cukup sukses, Blizzard pun mencoba meningkatkan skala kompetisi game Heroes of the Storm dengan menghadirkan Heroes Global Championship (HGC). HGC merupakan sebuah sirkuit turnamen yang hadir di beberapa negara seperti Australia/New Zealand, China, Europe, Korea, Latin America, North America, dan Southeast Asia.
Kehadiran HGC memberikan menjadi angin segar bagi para pemain kompetitif karena memberi janji karir di masa depan. Kehadiran HGC juga berhasil menarik minat tim-tim esports profesional seperti Dignitas, Fnatic, Tempo Storm, dan Gen.G.
HGC berjalan secara rutin setiap tahun sejak tahun 2016, membuat tim dan para pemain merasa cukup percaya diri untuk terus melanjutkan perjuangannya di skena Heroes of the Storm. Namun pada 2018, satu berita mengejutkan datang dari Blizzard.
Melalui sebuah blog post yang terbit tanggal 13 Desember 2018, Blizzard mengumumkan penarikan mundur semua dukungan terhadap esports Heroes of the Storm. Blizzard tidak akan melanjutkan seri kompetisi HoTS yang artinya tidak akan ada Heroes of the Dorm dan Heroes Global Championship di tahun 2019.
Walaupun Blizzard tak lagi mendukung esports HoTS, mereka masih terus mengembangkan, memberikan update, perbaikan, serta konten baru untuk Heroes of the Storm.
Tanpa dukungan investasi dari Blizzard, esports Heroes of the Storm menjadi penuh ketidakpastian. Para pemain bisa saja ikut turnamen-turnamen pihak ketiga. Namun, turnamen pihak ketiga cenderung terbatas jumlah hadiahnya. Tanpa hadiah ataupun jaminan finansial yang pasti, pemain jadi tak punya alasan lagi untuk terus berkompetisi di Heroes of the Storm.
Lalu bagaimana kabar pemain yang tidak memutuskan untuk pindah? Dalam keadaan mati suri, inisiatif komunitas ternyata menjadi fenomena yang patut diacungi jempol dalam skena Heroes of the Storm, terutama di Amerika Serikat. Pihak ketiga bernama HeroesHearth muncul menjadi “pahlawan” bagi skena kompetitif HoTS di Amerika Serikat.
HeroesHearth mengawali perjuangannya menjaga esports HoTS terus berdenyut lewat turnamen invitational berhadiah US$5000. Setelahnya mereka juga menghadirkan turnamen bertajuk Fight Night, pertandingan kecil-kecilan dengan hadiah ratusan US$ saja. Skena bentukan komunitas tersebut terus berkembang sampai akhirnya kini menjadi Community Clash League (CCL).
Community Clash League tergolong berjalan cukup rapih dan terstruktur, walaupun sebenarnya hanya dijalankan oleh komunitas. Hadiah yang ditawarkan pun juga cukup menarik.
Lewat donasi dari komunitas, CCL Season 2 tahun 2020 kemarin berhasil menyajikan US$33.600 sebagai prize pool. Angka tersebut adalah angka yang cukup besar, apalagi mengingat CCL adalah turnamen tingkat komunitas.
Kisah hubungan Blizzard, Heroes of the Storm, dan komunitasnya menunjukkan bagaimana perkembangan esports bisa hancur dalam satu jentikkan jari. Pesta esports yang dinikmati oleh pemain-pemainnya habis begitu saja setelah Blizzard Entertainment memutuskan menarik dukungannya.
Esports Heroes of the Storm mungkin masih bertahan untuk sementara waktu berkat dukungan dari komunitas. Namun, apakah mereka masih bisa terus berjalan sampai beberapa tahun ke depan?
Setelah melihat kasus relasi esports dan publisher di ranah Heroes of the Storm luar negeri, sekarang mari kita mencoba melihat kasus seperti demikian di ranah lokal.
Kisah Serupa Dari Ranah League of Legends Indonesia
Dari ranah lokal, satu game yang punya cerita mirip sekali dengan kisah Heroes of the Storm di atas mungkin adalah League of Legends di Indonesia. Riot Games boleh bangga dengan esports League of Legends yang ditonton jutaan orang dan mencatatkan puluhan juta jam total watch hours di seluruh dunia. Terlepas jutaan orang penonton yang dicatatkan, League of Legends sendiri terbilang kurang punya nama di Indonesia
Esports League of Legends sempat mekar merona ketika Garena Indonesia masih menjalankan tugasnya sebagai publisher lokal. Tahun 2013 silam, League of Legends baru saja rilis di Indonesia lewat Garena. Pada masa awal perilisan tersebut, komunitas mendapat perhatian yang istimewa lewat bebagai inisiatif yang dilakukan.
Lewat inisiatif yang dilakukan Garena, League of Legends sempat mendapat status pionir dalam beberapa hal di esports Indonesia. LGS bisa dibilang sebagai salah satu kompetisi esports pertama yang berformat liga di Indonesia. Tak hanya berformat liga, LGS juga berjalan secara profesional dan dikabarkan memberi kompensasi mingguan bagi tim dan pemain. Selain itu saya juga ingat betul betapa megahnya LGS 2016 yang diselenggarakan di Balai Sarbini, yang merupakan salah satu event esportsoffline pertama yang saya liput kala itu.
Tetapi layaknya apa yang terjadi pada Heroes of the Storm, pesta esports League of Legends di Indonesia langsung usai saat Garena Indonesia mengumumkan pengunduran dirinya di tahun 2019. Sudah inisiatif esports-nya hilang, server lokal Indonesia game League of Legends pun hilang. Walaupun begitu, server dan esports League of Legends kini sebetulnya masih ada, walau lingkupnya jadi melebar ke tingkat Asia Tenggara.
Kini esports League of Legends terbilang mati suri. Apalagi game penggantinya juga sudah hadir, yaitu Wild Rift yang tersaji di mobile device. Namun Edi Kusuma atau Edel selaku founder Hasagi, media yang mengayomi komunitas League of Legends di Indonesia, merasa bahwa esports sebenarnya tetap bisa berkembang walau tanpa bantuan dari publisher.
“Kalau ditanya bisa berkembang atau tidak, jawabannya bisa saja. Bagaimanapun esports sendiri tumbuh dari komunitas. Tapi lebih baik jika ada publisher yang ikut campur tangan dalam hal ini. Bantuan publisher, terutama dari sisi finansial, akan membantu memperkenalkan esports secara lebih luas serta menjangkau lebih banyak orang. Karenanya menurut saya publisher dan komunitas adalah dua aspek terpenting dalam pertumbuhan esports sebuah game.”
Setelahnya Edel juga menjelaskan kenapa publisher memang teramat penting bagi pertumbuhan esports sebuah game. Menurutnya peran terbesar publisher adalah mendukung dari segi finansial. “Ada banyak dukungan yang bisa diberikan publisher tapi yang pertama dan paling utama tentu adalah dalam hal finansial.” Ucapnya.
“Kita bisa lihat Overwatch sebagai contoh. Sebelum AKG Games ada, semua aktivitas seputar Overwatch itu digagas oleh komunitas. Inisiatif tersebut bagus, tapi masih jauh dari kata sempurna. Komunitas terbatas dari banyak hal, terutama dalam hal menyediakan panggung kompetitif bergengsi.” Lanjut Edel menjelaskan.
Menutup obrolan, saya juga menanyakan pendapat Edel soal pihak yang berperan menjaga kehidupan sebuah game tanpa kehadiran publisher dan pendapatnya soal bisnis esports yang berisiko apabila semuanya digantungkan kepada publisher.
Dalam soal pihak yang berperan, Edel berpendapat bahwa satu-satunya yang berperan adalah pemainnya sendiri.
“Dota 2 adalah contoh nyata yang bisa kita ambil. Dulu sempat ramai turnamen, tapi sekarang sudah nyaris tidak ada. Tetapi apakah esports Dota 2 berarti mati? Jelas tidak. Dota 2 masih hidup sampai sekarang walau jarang ada turnamen. Pemain Dota 2 di Indonesia juga masih getol menjadi pendukung sebagai fans. Namun saya yakin kalau ada yang bisa mengadakan turnamen Dota 2 pasti akan banyak yang ikut serta.” Tuturnya.
Terkait pertanyaan kedua, Edel pun menjawab.
“Bagi kita, game/esports itu mungkin adalah passion. Tapi sejujurnya, esports tetaplah bisnis. Kalau ditanya berisiko atau tidak, menurut saya memang bisnis di esports masih sangat berisiko. Seperti yang kita lihat, kebanyakan investor atau sponsor di esports sekarang berasal dari perusahaan besar. Perusahaan kecil yang dananya terbatas tentu harus berpikir dua kali ketika ingin berinvestasi di esports. Bagaimanapun, esports adalah bisnis yang mahal menurut saya.” Ucap Edel.
Saat ini, sudah banyak pemain profesional League of Legends memilh pindah ke ranah Wild Rift karena adanya dukungan dari Riot Games yang mengadakan kompetisi resmi bertajuk Wild Rift Icon Series.
Bagiamana dengan esports League of Legends di PC? Entahlah. Indonesia sebenarnya masih punya kesempatan bersaing di laga Pacific Championship Series (PCS) apabila ingin menembus tingkat dunia. Tetapi saya sendiri setuju dengan apa yang dikatakan Edel, modal untuk berjuang di esports itu tidak murah.
Sebagai pemain, Anda mungkin harus rela tidak digaji sampai beberapa tahun, setidaknya sampai bisa tembus PCS. Ditambah, persaingannya juga amatlah ketat, bahkan pada level Asia Tenggara dan Asia Pasifik saja.
Serupa Tapi Tak Sama, Kisah Rainbow Six Siege di Indonesia
Rainbow Six Siege mungkin memang tidak pernah mendapatkan dukungan penuh yang bersifat langsung dari sang publisher yaitu Ubisoft sendiri. Namun perubahan sistem kompetisi Rainbow Six Siege secara internasional bisa dibilang sebagai bentuk perubahan dukungan Ubisoft terhadap komunitas.
Pada awalnya, esports Rainbow Six Siege dibuat menggunakan sistem terbuka. Siapapun bisa berkompetisi untuk mendaki hingga ke puncak kejayaan di esports Rainbow Six Siege lewat gelaran Rainbow Six Pro League yang diadakan oleh ESL.
Berkat sistem terbuka tersebut, Indonesia juga sempat kebagian sorotan bertanding di tingkat Rainbow Six Pro League. Pada masanya, Team Scrypt adalah tim Indonesia yang berhasil mencapai ke tingkat yang cukup tinggi di skena kompetisi Rainbow Six Siege. Team Scrypt sempat menembus ke main event dari ESL Pro League Season 7 APAC yang diadakan di Sydney, Australia.
Tetapi semua kesempatan tersebut hilang setelah Ubisoft memutuskan untuk mengubah sistem kompetisi Rainbow Six pada bulan Mei 2020 lalu. Liga kasta utama Rainbow Six yang dahulu ramah bagi tim komunitas, kini menjadi lebih tertutup. Pro League yang dahulu menjadi wadah berlatih dan berkompetisi bagi tim untuk dapat naik tingkat pun hilang dan digantikan dengan kualifikasi yang hanya terlaksana sesekali saja.
Lebih lanjut, Bobby Rachmadi Putra selaku founder dari komunitas R6 resmi di Indonesia pun menceritakan.
“Kalau bicara dukungan publisher bagi Rainbow Six di Indonesia, sejauh ini gue melihat memang Ubisoft tetap menjalin hubungan yang baik kepada komunitas. Contohnya dari komunitas R6 IDN terhadap aktivitas R6 di regional APAC. Ubisoft menunjuk beberapa key opinion leader dari negara dengan peminat game R6S terbesar di kawasan APAC untuk memberi feedback atas planning mereka untuk menjalankan event di asia.” Jawab Bobby membuka pembahasan.
“Selain itu, Ubisoft juga memberikan beberapa freebies seperti in-game codes dan special merch atau bahkan cash reward kepada leader/influencer di negara tersebut. Sebagai timbal baliknya, sosok-sosok penting tersebut akan dimintai data, opini, kritik, keluah, serta situasi dan kondisi perkembangan esports serta komunitas game R6 di negara-negara terkait.” Tambah Bobby.
Selain dari sisi komunitas secara umum, saya juga bertanya kepada Bobby soal dukungan Ubisoft terhadap esports R6 di Indonesia atau di Asia Tenggara. Walaupun ada R6 APAC League, namun liga tersebut tetap tergolong liga kawasan besar yang biasanya menjadi tingkat lanjutan bagi beberapa skena esports lain.
“Memang kalau dari segi esports, saat ini Ubisoft belum memberi dukungan secara langsung. Sebagai gantinya Ubisoft menghadirkan liga Rainbow Six Siege regional atau di negara tertentu yang memang sudah terlihat potensi besarnya, misalnya seperti di Korea Selatan dan Jepang. Untuk negara seperti Indonesia yang belum terlihat jelas potensinya masih akan melalui komunitas seperti R6 IDN terlebih dahulu.” Tutur Bobby.
“Namun ada alasan tersendiri kenapa Ubisoft melakukan hal tersebut. Salah satunya adalah karena Ubisoft mengembangkan esports R6S di seluruh dunia. Maka dari itu sejauh ini gue melihat Ubisoft memang mengembangkan secara perlahan agar terkelola dengan baik dan berkembang dengan jelas.” Bobby menambahkan.
Sampai saat ini, komunitas R6S di Indonesia sendiri sebenarnya masih cukup aktif, terutama di dalam server chat Discord. Komunitas masih secara aktif berinteraksi dan bermain bersama pada beberapa waktu. Namun turnamen esports R6S di lokal Indonesia terbilang mati suri, walau masih ada turnamen-turnamen tingkat regional.
Hearthstone Indonesia yang Kini diasuh Publisher Pihak Ketiga
Game berikutnya yang menarik untuk dibahas adalah Hearthstone. Secara umum, esports Hearthstone sebenarnya berjalan cukup aktif terutama di negara-negara barat.
Di Indonesia, walau pemainnya mungkin tidak banyak, tetapi pemain profesional dari Indonesia bisa bersaing di tingkat nternasional. Salah satunya ada Hendry “Jothree” Handisurya. Pemain tersebut merupakan salah satu atlet Hearthstone andalan Indonesia. Ia bahkan sempat mendapat medali perak pada esports sebagai cabang eksibisi di Asian Games 2018.
Hearthstone pada awalnya tidak mendapatkan dukungan apapun dari sang publisher di Indonesia. Namun pada tahun 2019, AKG Games hadir menjadi rekan Blizzard untuk pasar Indonesia.
Jothree pun sedikit menjelaskan bagaimana AKG Games sejauh ini ternyata sudah cukup mendukung perkembangan esports Hearthstone di Indonesia.
“Sejauh ini mereka cukup berusaha dengan baik. Beberapa contohnya terlihat dari turnamen AKG Elite Series, Fireside Gathering, SEA Showmatch, yang sebetulnya secara konsep sudah lebih bagus ketimbang sebelumnya. Namun karena mereka statusnya adalah third party, maka mereka jadi enggak punya kuasa untuk menyediakan apa yang betul-betul dibutuhin oleh komunitas. Misal contohnya adalah menyediaan in-game tournament, platform bahasa Indonesia, kemudahan pembayaran untuk Battle Net Balance, ataupun membuat game-nya jadi lebih low-spec untuk mobile.” Jawab Jothree secara lengkap.
Selain itu, Jothree juga bercerita soal perjuangan komunitas Hearthstone sebelum kehadiran AKG Games di Indonesia.
“Kalau ditanya siapa yang menjaga keberlangsungan esports tanpa kehadiran publisher, jelas jawabannya adalah pemain game tersebut yang benar-benar suka dengan game-nya. Dalam kasus Hearthstone, gue merasakan komunitas kami sangat solid sebelum AKG Games ada. Kami juga mati-matian menjaga kehidupan komunitas bahkan kadang sampai keluar uang dari kantong sendiri.” Tuturnya.
Setelah kisah perkembangan esports Hearthstone, mari kita berlanjut ke kasus berikutnya yaitu cerita perkembangan esportsgame fighting di Indonesia.
Nasib Fighting Game Community di Indonesia dari Sudut Pandang Tekken 7
League of Legends dan Rainbow Six Siege tergolong cukup beruntung karena masih sempat mengecap dukungan dari publisher terhadap komunitas dan esports, walau sifatnya sementara atau sedikit saja dampaknya.
Tetapi di luar dari itu, ada beberapa game kompetitif di Indonesia yang justru lebih nahas lagi. Salah satunya adalah komunitas game fighting. Komunitas tersebut sebenarnya punya cukup banyak penggemar, namun posisi mereka hampir tidak tersentuh oleh sang developer/publisher. Tekken 7 adalah salah satu bagian dari game fighting.
Dalam pembahasan tersebut Bram menjelaskan keunikkan komunitas game fighting. Pada game genre lain, kita bisa melihat bagaimaan esports game tersebut berkembang berkat peran aktif dari sang developer atau publisher. Namun perkembangan esportsgame fighting justru berbeda, komunitas justru lebih berperan aktif di sini.
Salah satu contoh nyata atas hal tersebut adalah Evolution Championship Series. EVO yang merupakan turnamen game fighting tingkat dunia tersebut sebenarnya merupakan turnamen yang digagas oleh komunitas.
Publisher justru cenderung tidak mengambil peran yang begitu besar dalam mengembangkan esports game fighting. Walaupun memang, Capcom punya Capcom Pro Tour (CPT) sebagai turnamen resmi. Bandai Namco juga punya Tekken World Tour (TWT) sebagai turnamen resmi.
Namun tetap saja komunitas cenderung lebih mengakui legitimasi EVO ketimbang turnamen lainnya. Ibaratnya, pro player fighting game belum bisa dianggap juara dunia kalau belum menang EVO walaupun dia memenangkan CPT atau TWT.
Lebih lanjut saya juga mencoba berbicang dengan Ronald Rivaldo untuk mengetahui soal perkembangan skena Tekken 7. Ronald Rivaldo sendiri merupakan ketua dari tim Tekken 7 bernama DRivals. Selain sebagai tim, DRivals belakangan juga tergolong cukup aktif dalam menjaga denyut komunitas game fighting lewat berbagai aktivitas yang mereka lakukan.
Dalam hal dukungan publisher terhadap komunitas, Aldo pun menceritakan.
“Dukungan publisher Tekken yaitu Bandai Namco di skena lokal hampir enggak ada, apalagi semenjak pandemi seperti sekarang. Dulu kala pada tahun 2017 dan 2018 masih sempat ada turnamen bagian dari Tekken World Tour di Indonesia. Pada tahun 2020 ini, turnamen bagian dari TWT juga seharusnya hadir kembali di Indonesia. Tetapi berhubung ada pandemi maka event pun terpaksa dibatalkan.”
Dari sisi Tekken, Bandai Namco selaku developer dan publisher memang memberi lisensi kepada turnamen lokal sebagai bagian dari TWT. Pada tahun 2020 lalu, turnamen IFGC MAX yang rencananya diselenggarakan di Indonesia seharusnya menjadi bagian dari rangkaian TWT sebagai Challenger Event.
Tapi apa mau dikata. Pandemi COVID-19 menyeruak, larangan berkumpul pun diberlakukan sehingga membuat turnamen offline dibatalkan.
Walaupun Bandai Namco memberi lisensi untuk turnamen-turnamen lokal, namun seperti yang dikatakan oleh Rivaldo, Bandai Namco terbilang tidak pernah memberi dukungan secara langsung ke skena lokal dalam hal esports.
Menariknya, terlepas dari adanya dukungan publisher atau tidak, esportsfighting game tetap hadir di skena lokal walaupun tingkat penyelenggaraannya masih tingkat komunitas. Seperti yang ditulis oleh Yabes Elia, Fighting Game bisa dibilang terkucilkan namun menolak untuk tergeletak.
Hybrid.co.id juga termasuk menjadi salah satu yang berusaha untuk mendorong komunitas fighting game agar tetap hidup bara api semangat kompetisinya. Hybrid Cup Series: Play on PC Fighting Game yang terselenggara awal tahun 2020 lalu jadi salah satu bukti bahwa bara semangat kompetisi di antara pemain fighting game masih tetap ada walau tanpa dukungan publisher sekalipun.
Saya juga mempertanyakan soal posisi esports sebagai bisnis yang berisiko karena terlalu tergantung dengan satu pihak. Menjawab soal hal tersebut, Rivaldo juga sedikit menceritakan apa yang jadi tujuannya bersama Drivals.
“Kalau bicaranya bisnis, jujur kami belum memikirkan hal tersebut karena sadar bahwa market fighting game masih sangat kecil di Indonesia. Saat ini yang kami lakukan adalah mencoba meningkatkan pamor fighting games, terutama Tekken, agar lebih dikenal masyarakat awam di Indonesia. Untuk mencapai hal tersebut, kami menccoba mengadakan turnamen-turnamen baik offline atau online, melakukan streaming di YouTube ataupun melakukan pertandingan persahabatan antar daerah atau antar negara. Harapannya adalah suatu hari nanti komunitas fighting game terutama Tekken bisa menjadi daya tarik bagi sponsor.” Tutur Rivaldo.
Perjuangan komunitas game fighting memang menjadi keunikan tersendiri karena kegigihan dari para anggotanya. Dalam kasus Drivals, kita bisa melihat sendiri bagaimana mereka bahkan tetap gigih menyiarkan keseruan fighting game ke khalayak luas walaupun Bandai Namco hampir tak sedikitpun meliriknya.
Pro Evolution Soccer yang Berkembang Lewat Dukungan Asosiasi Sepak Bola
Pada saat membahas alasan kenapa suatu game tidak selalu sukses berkembang sebagai esports, saya juga menggunakan fighting game dan Pro Evolution Soccer sebagai contoh. Kala itu dua narasumber saya yaitu Bram Arman dan Valentinus Sanusi setuju, bahwa alasan kurang berkembangnya esports game mereka adalah karena publisher Jepang yang cenderung lambat geraknya dalam mengembangkan esports.
Menariknya, kedua game tersebut juga sama-sama punya penggemar yang gigih di ranah lokal. Dalam Pro Evolution Soccer, contoh kasus kegigihan yang berbuah manis bagi perkembangan esports-nya mungkin adalah kisah Indonesia Football e-League.
Posisi PES dan IFel sendiri memang cukup unik. Liga IFel bukan sekadar turnamen game PES biasa. Pertandingan di dalam liga IFel menggunakan jersey, pemain-pemain, bahkan stadion dari tim Liga 1 Indonesia di dalam game Pro Evolution Soccer yang dipertandingkan.
Tapi bagaimana bisa IFeL menyediakan semua aset digital tersebut ketika Konami sendiri sebenarnya belum menyediakan player pack/stadion pack dari tim Liga1 Indonesia? Jawabannya adalah modifikasi. Dalam artikel saya yang menggali lebih dalam seputar IFeL pada saat peluncurannya, Putra Sutopo selaku Head of IFeL mengatakan bahwa Konami selaku developer/publisher game PES tidak memberlakukan larangan terhadap penggunaan custom mod.
Tetapi sebagai gantinya, IFeL menggandeng tim Liga 1 Indonesia untuk mendapatkan izin penggunaan kekayaan intelektual milik tim (logo, jersey, serta stadion) ke dalam custom mod pada pertandingan game PES di liga IFeL.
Maka dari itu Putra menjelaskan berdasarkan pandangannya, bahwa campur tangan developer/publisher tidak selamanya selalu bisa membawa skena esports suatu game maju.
“Tergantung kebijakan dan peraturan dari publisher. Dalam kasus IFeL, memang kami belum dapat dukungan official dari Konami, tetapi Konami tidak memiliki peraturan mengenai hak cipta yang rumit dalam hal penggunaan unofficial patch. Berbeda dengan EA dalam mengurus FIFA. Mereka cenderung punya peraturan yang lebih ketat perihal hak cipta.” Tutur Putra.
Dalam kasus IFeL, kebebasan mengotak atik aset game Pro Evolution Soccer memang bisa dibilang jadi faktor yang membuat skena esports-nya jadi maju. Dalam kata lain, Konami yang tidak secara aktif memberi dukungan serta mengurusi game-nya di berbagai wilayah di dunia justru membuka peluang tersendiri.
Lebih lanjut, Putra Sutopo pun menceritakan bagaimana Liga 1 Indonesia dan PSSI menjadi motor penggerak terbesar bagi perkembangan esports PES dari sisi IFeL.
“Kalau dalam kasus IFeL, sosok yang berperan untuk membuat liga tetap berjalan tentunya adalah PSSI. Bagaimanapun, kami juga menggunakan identitas klub Liga 1 dan Liga 2 Indonesia yang penggunaannya diatur oleh PSSI. Tetapi di luar itu, tentunya juga adalah investor eksternal yang memungkinkan kami menjalankan semua rangkaian acara IFeL, tim IT yang telah membuat patch Liga 1 dan Liga 2, juga pastinya dukungan dari manajemen klub serta fans sepak bola di Indonesia.”
IFeL yang merupakan liga esports pihak ketiga terbilang sudah berkembang dengan cukup pesat sejak dari pertama kali diluncurkan tahun 2020 lalu. Musim 2020 lalu IFeL hanya mempertandingkan 10 tim yang berasal dari klub sepak bola Liga 1 Indonesia. Musim ini, IFeL menambahkan 12 tim lagi untuk turut bertanding di IFeL Liga 2.
Kisah perkembangan skena esports PES lewat liga IFeL sebagai contoh memberi cerita yang berbeda lagi. IFeL menunjukkan bagaimana skena esports suatu game masih bisa tetap berkembang walau tanpa dukungan publisher sekalipun. Dalam kasus IFeL, Putra Sutopo dan bagian komunitas bergerak aktif untuk terus memajukan esports PES.
Tetapi pada sisi lain, IFeL juga jadi menarik karena di belakangnya ada juga dukungan dari asosiasi sepak bola Indonesia yang memungkinkan kehadiran liga sepak bola virtual di Indonesia.
Dota 2 yang Tetap Penuh Dengan Para Penggemar Esports
Dalam kasus perkembangan esports tanpa dukungan publisher, kisah Dota 2 di Indonesia juga cukup unik untuk dibahas. Secara dukungan, sang developer/publisher yaitu Valve sebenarnya tidak pernah sedikitpun memberi dukungan dari segi esports untuk ranah lokal. Valve hanya memberikan dukungan esports secara internasional lewat gelaran The International ataupun rangkaian turnamen Major yang diadakan.
Walaupun demikian, Dota 2 tetap tumbuh subur secara organik di tanah air Indonesia. Pada masanya, mungkin sekitar 2016 – 2018, Dota 2 adalah game pilihan bagi para pelaku esports di Indonesia.
Jumlah pemain bejibun, banyak pemain terinspirasi kisah Dendi yang membuatnya juga jadi ingin menjadi pemain profesional Dota 2. Turnamen pun banyak jumlahnya. Tim esports profesional pun hampir semuanya punya divisi Dota 2.
Pada masanya, salah satu yang juga mendorong perkembangan esports Dota 2 di Indonesia adalah investasi pihak ketiga. Salah satu investasi pihak ketiga terbesar terhadap esports Dota 2 mungkin adalah Telkomsel lewat turnamen Indonesia Games Championship di tahun 2017. Pada zaman itu, mungkin hanya IGC 2017 yang bisa mengumpulkan semua talenta esports Dota 2 terbaik ke dalam satu panggung.
Namun semua dukungan pihak ketiga terhadap perkembangan Dota 2 berubah ketika game mobile menyerbu pasar. Tahun 2017 mungkin bisa dibilang adalah titik baliknya, ketika Mobile Legends Bang-Bang pertama kali menghadirkan esports di Indonesia lewat gelaran MSC.
Setelah Mobile Legends bersinar, pihak ketiga yang tadinya mencoba berinvestasi di Dota 2 pun mulai pindah ke MOBA di mobile tersebut. Alasannya sederhana, karena MLBB kala itu berhasil memukau khalayak Indonesia dengan banyaknya jumlah penonton dan pengunjung turnamennya.
Perubahan dukungan pihak ketiga terhadap perkembangan Dota 2 cukup terasa dari tahun 2017 ke tahun 2018. Dari sisi IGC sebagai contohnya, jumlah hadiah untuk turnamen Dota 2 menurun dari Rp500 juta di tahun 2017 menjadi Rp150 juta di tahun 2018, bahkan sampai akhirnya IGC tak lagi mempertandingkan Dota 2 di tahun 2020. Seiringan dengan hal tersebut, turnamen Dota 2 juga berangsur menurun jumlahnya sampai akhirnya kini menjadi hampir mati suri.
Namun patut dicatat bahwa Dota 2 sebenarnya tidak bisa dibilang sepenuhnya mati total di Indonesia. Komunitasnya sebenarnya masih cukup hidup membincangkan soal esports ataupun seputar gamenya itu sendiri.
Penikmat esports-nya juga masih ada dan terbilang tetap setia mengikuti perkembangannya. Salah satu bukti atas hal tersebut mungkin bisa kita lihat dari channel YouTube WxC Indonesia yang secara rutin menayangkan pertandingan Dota 2 yang berjalan secara internasional dengan komentar bahasa Indonesia.
Hingga saat ini, channel WxC Indonesia sendiri bahkan sudah mencatatkan 70 ribu lebih subscriber. Jumlah penikmat pertandingan esports Dota 2 bahkan tergolong masih cukup bayak orangnya. Dalam satu kesempatan, pertandingan DPC Europe yang mempertandingkan OG bahkan mencatatkan 153 ribu lebih total views. Sebuah angka yang sebenarnya cukup lumayan walaupun keadaan komunitasnya seperti demikian.
https://www.youtube.com/watch?v=jcJ5lIWL8IY
Kisah perkembangan Dota 2 di Indonesia memang teramat unik. Kisahnya menjadi unik karena Dota 2 bisa tumbuh menjadi cukup besar walau sebenarnya berkembang secara organik.
Posisi Dota 2 yang dianggap sebagai pionir MOBA oleh gamer Indonesia mungkin jadi salah satu alasannya. Karena bagaimanapun, pada masa itu kehadiran Dota 2 tergolong lebih duluan kalau kita bandingkan dengan kehadiran League of Legends di Indonesia.
Posisi Dota 2 di zaman sekarang juga jadi tambah unik lagi. Pada satu sisi, esports game-nya di kancah lokal terbilang sudah mati suri. Tapi pada sisi lain, para penggemar esports serta komunitasnya tergolong masih hidup dan masih cukup keras menggemari esports Dota 2.
Jadi dalam kasus ini, Valve sebenarnya punya andil juga atas hidupnya komunitas dan penggemar esports Dota 2 di Indonesia. Hal tersebut saya katakan karena Valve sebenarnya masih menyokong perkembangan esports Dota, walau skalanya hanya regional (SEA dan sebagainya) dan internasional saja.
CS:GO yang Tak Sempat Berkembang Karena Game Berbayar
Counter-Strike merupakan game lain yang di-develop serta dirilis oleh Valve. Karena sama-sama game besutan Valve, maka perlakuannya pun kurang lebih serupa dengan Dota 2. Sepanjang perkembangannya, Counter Strike juga berkembang seperti Dota 2, berkembang secara organik tanpa ada bantuan Valve di ranah lokal.
Popularitas Counter-Strike di Indonesia malah terjadi jauh sebelum Counter-Strike: Global Offensive ada. Masa kejayaan bisa dibilang terjadi di awal tahun 2000an. Pada masa itu, CS berkembang lewat warnet-warnet. Dari warnet, CS berkembang ke berbagai lini di esports yang bahkan masih langgeng sampai sekarang di Indonesia.
NXL contohnya, yang bermula dari tim warnet menurut cerita Richard Permana sang CEO. Lalu ada juga Liga Jakarta, salah satu kompetisi perdana yang membuat tercetusnya kehadirann WCG yang merupakan salah satu event esports terbesar di zaman itu menurut kisah dari Eddy Lim selaku CEO dari Liga Game.
Pada masa keemasannya, tim-tim asal Indonesia juga tercatat mencetakkan prestasi yang luar biasa di tingkat Internasional. Pada tahun 2003 misalnya, ada tim XCN yang berhasil mencapai babak utama WCG 2003 yang diadakan di Seoul, Korea Selatan. Pada tahun setelahnya baru NXL yang mencuat, menjadi wakil Indonesia untuk gelaran WCG tahun 2008. Pembahasan lebih lengkap atas hal tersebut sudah sempat saya bahas dalam artikel seputar sejarah esports Counter-Strike di Indonesia.
Tetapi menariknya, perkembangan esports CS:GO justru terbilang melambat ketika CS:GO rilis di pasaran. Namun memang ada satu perbedaan fundamental antara CS 1.6 dengan CS:GO. Perbedaannya adalah CS 1.6 yang bersifat free to play sementara CS:GO yang mengharuskan pemainnya untuk membayar sejumlah uang untuk bisa main. Soal kausalitas antara game gratis dengan kesuksesannya sebagai esports juga sudah sempat saya bahas dalam kesempatan yang berbeda.
Karena game-nya berbayar, banyak gamer yang tidak terlalu tahu dengan CS:GO sehingga membuat game CS:GO sendiri cenderung kurang berkembang di pasar Indonesia. Richard Permana yang sudah kurang lebih 15 tahun menekuni CS 1.6 dan CS:GO juga mengakui, bahwa memang esports suatu game akan sulit berkembang apabila tanpa dukungan dari sang publihser.
“Dari sudut pandang sebagai pemain, game esports yang tak ada dukungan publisher akan sulit sekali berkembang. Saya sebagai pemain juga jadi harus usaha ekstra keras untuk bisa mencapai prestasi yang jauh sekali.” Tuturnnya.
Richard lalu menjelaskan maksud dukungan publisher yang ia maksud. “Dukungan publisher itu penting sekali menurut saya. Seperti yang kita saksikan pada game seperti PUBG Mobile, MLBB, dan Free Fire yang berkembang begitu masif. Banyak perkembangan terjadi di ekosistem esports game tersebut berkat dari apa yang dikerjakan oleh publiher-nya di Indonesia. Selain itu, menurut saya beberapa bentuk dukungan publisher yang diperlukan dari sisi player sendiri adalah sirkuit nasional yang terstruktur, serta jalur ke tingkat internasional yang juga jelas.”
Apa yang dikatakan Richard ada benarnya juga. Tanpa sirkuit kompetisi lokal yang jelas, pemain akan kesulitan mencari lawan bertandingnya. Tanpa lawan tanding, pemain akan jadi sulit berkembang untuk bisa bertanding ke tingkat yang lebih tinggi lagi.
Bukti dukungan publisher ke skena lokal yang berbuah prestasi bisa kita lihat sendiri pada tiga game yang disebut Richard tadi. Pada MLBB, Indonesia menjadi kekuatan yang dominan di tingkat Asia Tenggara bahkan sampai jadi juara dunia pada M1 2019. Pada PUBG Mobile, juga ada Bigetron RA yang berkembang pesat berkat turnamen rutin yang diadakan oleh Tencent selaku sang publisher. Begitu juga dengan Free Fire lewat liga esports yang mereka adakan demi mengembangkan talenta esports Indonesia.
Sementara itu bagaimana dengan CS:GO sendiri? Turnamennya saja sangat minim sekali di Indonesia. Ditambah lagi, kesempatan untuk bisa tembus ke tingkat internasional juga sangat kecil sekali karena jumlah seeding yang sangat sedikit dari di tingkat internasional.
Jadi tanpa wadah tanding di kancah lokal, kesempatan yang kecil sekali bagi tim asal Asia, jadi beberapa faktor alasan kenapa esports CS:GO tidak berkembang di skena lokal. Belum lagi lawannya di tingkat internasional nanti adalah tim-tim asal Eropa, Amerika, CIS, dan Amerika Latin yang nafasnya adalah game CS:GO itu sendiri.
Kisah CS:GO di Indonesia mungkin bisa dibilang sebagai kisah paling nahas dari perkembangan esports yang tidak didukung oleh sang publisher. Walaupun sempat berjaya pada CS 1.6 karena free-to-play, tetapi CS:GO yang terlambat mengubahnya jadi game gratis kehilangan momentumnya untuk para pemain di Indonesia.
Penutup
Setelah melihat cerita berbagai game esports di Indonesia yang bergulir tanpa dukungan langsung sang publisher, memang komunitas yang gigih bisa dibilang jadi salah satu alasan kenapa suatu game masih bisa bertahan di Indonesia ataupun negara lainnya.
Hal tersebut bisa kita lihat di hampir semua cerita. Cuma memang, tidak semua kegigihan komunitas tersalurkan ke dalam bentuk turnamen mandiri.
Pada Dota 2, bentuk dukungan komunitas terhadap esports Dota 2 bisa terlihat dari bagaimana mereka lebih memilih menonton pertandingan di channel berbahasa Indonesia ketimbang channel internasional. Dalam kasus R6 misalnya, bentuk kegigihan mereka terlihat dengan usaha Bobby menjaga R6 IDN untuk tetap aktif.
Lalu pada sisi lain, investasi pihak ketiga dan dukungan badan pemerintahan ternyata jadi faktor yang diluar dugaan melihat dari perkembangan esports PES dan hadirnya liga IFeL di Indonesia.
Menutup pembahasan ini, jadi mampukah esports berkembang tanpa dukungan langsung dari sang publisher di ranah lokal?
Jawabannya bisa jadi selalu iya.
Tapi kalau ditanya lagi sampai mana perkembangannya? jawabannya akan selalu terbatas dengan jumlah massa-nya, kegigihan, serta modal yang mau dikeluarkan untuk terus menjaga agar komunitas suatu game tetap aktif terutama dari sisi esports.
Pengembang dari Rainbow Six Siege, Ubisoft, baru saja mengumumkan bahwa gelaran akbar tahunan mereka, Six Invitational, telah mendapatkan izin resmi untuk diadakan di kota Paris, Prancis oleh pemerintah setempat. Walau diadakan secara offline, turnamen ini tidak mengijinkan penonton mengingat pandemi yang masih berlangsung.
Tahun ini merupakan tahun yang berbeda dari biasanya karena Ubisoft akan memboyong gelaran kompetitif terbesarnya ke luar kota Montreal, Kanada yang merupakan markas besarnya. Faktanya, acara yang awalnya sempat dijadwalkan digelar pada 9 Februari lalu terpaksa ditunda karena regulasi Prancis yang melarang wisatawan dari luar negara Eropa untuk datang maupun pergi.
Six Invitational merupakan turnamen rutin tahunan yang diadakan langsung oleh publisher dari game Rainbow Six Siege itu sendiri, Ubisoft. Kompetisi yang dapat dianggap “The International-nya R6” ini telah diadakan sejak 2017 silam. Di 2019, G2 yang menjadi juara Six Invitational 2019.
Babak penyisihan dari Six Invitational 2021 dijadwalkan akan dimulai dari tanggal 11 Mei, dengan dua grup (masing-masing sepuluh tim) akan bertanding satu sama lain selama enam hari penuh. Babak penyisihan akan berakhir di tanggal 16 Mei.
Beberapa tim besar yang telah dikonfirmasi akan hadir meliputi Team Empire, Giants Gaming, TSM, Cloud9, dan masih banyak lagi. Berikut adalah keseluruhan tim yang akan hadir beserta pembagian masing-masing grup:
Walaupun terlihat mulus, banyak rintangan yang dilewati Ubisoft untuk memastikan bahwa Six Invitational tahun ini berjalan mulus. Pemerintah Prancis sempat melarang kedatangan seluruh paspor Brazil yang berefek kepada enam tim Brazil, yaitu FaZe Clan, MIBR, NiP, Liquid, Team oNe, dan FURIA tidak dapat hadir. Namun setelah berselang enam hari, Ubisoft berhasil mendapatkan otorisasi dari pemerintah setempat yang mengizinkan mereka datang.
Selain itu kabar buruk juga datang dari tim asal Australia, Wildcard, yang saat ini menduduki posisi tiga besar tim Asia-Pasifik menurut Siege.GG, harus merelakan posisinya lantaran pemerintah Australia yang tidak mengizinkan warganya untuk ke luar negeri.
Langkah berani Ubisoft dalam menyelenggarakan gelaran esports secara tidak langsung mengikuti jejak dari beberapa event organizer esports lainnya yang telah dengan lantang mencoba “berdamai” dengan pandemi, seperti ESL dan BLAST, meskipun belum memperbolehkan penonton untuk hadir.
Beberapa hari lalu, Ubisoft meluncurkan update terbaru untuk Rainbow Six: Siege yang diberi tajuk Crimson Heist. Seperti sebelum-sebelumnya, update tersebut merupakan update Season yang menghadirkan Operator baru, berbagai pembaruan, dan perbaikan di dalam Rainbow Six: Siege. Juga seperti biasanya, nama update menjadi ciri dari isi konten yang disajikan. Karenanya, Crimson Heist menghadirkan sesosok operator baru bernama Flores yang ditampilkan menggunakan kacamata bulat berwarna merah sebagai salah satu ciri khasnya. Selain sosok Flores, apa lagi hal menarik yang ada di dalam update Crimson Heist? Berikut ulasannya.
Update Year 6 Season 1: Crimson Heist , Musimnya Para Attacker?
Membahas update ini, saya pun berbincang dengan Bobby Rachmadi Putra selaku founder dari komunitas R6 IDN. Ketika ditanyakan pendapatnya soal update kali ini, ia pun mengatakan. “Season ini Attacker bisa dibilang mendapat buff sangat besar. Mungkin maksudnya supaya tempo pertandingan jadi lebih cepat, tidak saling tunggu seperti dulu. Karenanya pemain Defender juga jadi harus putar otak lebih di musim ini, harus ubah taktik.”
Apa yang dikatakan Bobby rasanya memang tak sepenuhnya salah. Bentuk buff bagi Attacker terlihat dari operator Flores dan senjata sekunder baru bernama Gonne-6. Kenapa dua hal tersebut jadi buff yang besar bagi Attacker? Mari kita bahas dulu dari Flores.
Flores adalah Operator speed 2 dan armor 2 yang memiliki gadget istimewa bagi pihak Attacker. Gadget tersebut adalah sebuah drone bernama RCE-Ratero yang dapat diledakkan. Gadget tersebut bisa dibilang menjadi angin segar bagi pemain Attacker di Rainbow Six: Siege.
Berkat RCE-Ratero, Attacker jadi punya cara yang lebih fleksibel dan variatif untuk menjebol pertahanan Defender. Sebelumnya, menjebol pertahanan lawan di Rainbow Six: Siege adalah proses yang cukup menyebalkan dan membuat sakit kepala. Defender punya berbagai macam “mainan” yang tersembunyi di balik tembok tembok dan siap menghadang pasukan Attacker. Tetapi pada sisi lain, Attacker cuma bisa menjebol pertahanan lawan lewat tembok depan saja.
RCE-Ratero milik Flores mengubah hal tersebut. Dengan RCE-Ratero Attacker jadi bisa menyelinap dan langsung menghancurkan jantung pertahanan musuh dengan menggunakan ledakannya.
“Menurut gue Flores ini akan membuat Attacker jadi lebih kuat dalam melakukan breachingentry ataupun entry ke objektif. Sebelumnya, breaching tergolong sulit karena peralatan Attacker biasanya hanya bisa menjebol dari luar saja. Flores punya drone peledak yang bisa menyelip ke dalam yang tentunya membantu Attacker jadi lebih fleksibel melakukan entrybreaching atau site.” Tutur Bobby kepada saya. “Lalu kalau dari sisi armor dan speed, gue merasa Flores sebenarnya tergolong biasa saja. Senjatanya bisa dikatakan lumayan kuat. Ada AR33 yang punya firingspeed cepat dan stabil kalau menggunakan mod flash hider. Selain itu dia juga punya senjata DMR bernama SR25.”
Selain Flores, pembaruan lain yang juga membantu para Attacker adalah senjata sekunder bernama Gonne-6. Senjata tersebut adalah sebuah pelontar granat yang mampu menjebol beberapa bagian bangunan. Sebelumnya Attacker hanya punya dua pilihan untuk menjebol, granat atau gadget milik Operator (X-Kairos milik Hibana misalnya). Dengan kehadiran Gonne-6, maka Attacker pun kini jadi punya lebih banyak piilihan lagi untuk melakukan breaching pertahanan lawan ataupun melumpuhkan alat-alat pertahanan milik Defender.
Berbagai Perubahan Quality of Life Demi Meningkatkan Pengalaman Bermain
“Kalau ditanyakan ‘hal yang paling menarik dari update ini?’ Jawabannya mungkin akan jadi banyak sekali kalau disebut satu per satu. Tetapi secara umum, gue merasa perubahan yang paling terasa adalah dari sisi quality of life. Banyak sekali hal kecil yang diubah dan menjadi perubahan yang besar pada akhirnya. Beberapa contohnya seperti interfacemenu, label game Rainbow Six: Siege, perubahan gameplay, sistem anti-toxicbehavior yang lebih tegas, server game yang sudah di-upgrade, dan lain sebagainya.” Ucap Bobby membahas soal perubahan-perubahan yang ditawarkan Ubisoft di dalam update Crimson Heist.
Selain operator dan senjata sekunder baru, update Year 6 Season 1 ini juga menampilkan beberapa penambahan dan perubahan lain. Selain dari apa yang disebutkan oleh Bobby, update Crimson Heist juga menghadirkan match replay (versi beta), rework pada fitur newcomer playlist, harga operator yang diturunkan, dan juga beberapa perubahan gameplay lainnya. Seperti apa yang diucap Bobby, perubahan tersebut ditargetkan untuk meningkatkan quality of life bagi para pemain R6S.
Perubahan menarik lainnya adalah rework dari map Border. Apabila melihat dari apa yang dijelaskan, Border diubah menjadi lebih kompetitif dengan beberapa tweak suara yang bersifat sebagai pemanis dan perubahan pada beberapa area agar lebih balance juga mudah diakses.
“Rework ini membuat map Border jadi lebih kompetitif lagi. Penambahan jembatan di lantai 2 dan peluasan area objektif akan membuat tempo permainan di map ini menjadi lebih cepat. Selain itu, ada juga penambahan akses entry yang bisa membantu Attacker dari sisi Car Crash yaitu tangga persis di samping Armory. Lalu ada juga perubahan suara toa dan suara lain yang sifatnya kosmetik yang tadinya berisik dan cukup menganggu. Kini suara tersebut akhirnya dikurangi bahkan dihilangkan saat permainan dimulai.” Tutur Bobby memberi pendapat seraya memberi penjelasan soal perubahan yang terjadi pada map Border.
Perubahan-perubahan yang dilakukan Ubisoft dalam update Crimson Heist ini terbilang cukup menjanjikan dan menjawab beberapa feedback dari komunitas. Jadi, apakah kalian berpikir untuk memainkan Rainbow Six Siege kembali?
Minggu lalu, muncul berbagai berita di dunia game, baik berita baik maupun berita buruk. Salah satu kabar baik yang beredar adalah Square Enix mengumumkan, game-game Kingdom Hearts akan bisa dimainkan di PC melalui Epic Games Store pada Maret 2021. Sementara kabar buruk yang muncul adalah grup hackers yang menyerang CD Projekt Red mengklaim, mereka telah menjual source code dari Cyberpunk 2077 dan The Witcher 3.
Seri Kingdom Hearts Bakal Tersedia di Epic Games Store
Square Enix mengumumkan bahwa gamer PC akan bisa memainkan seri Kingdom Hearts dalam waktu dekat. Game-game dari franchise ini akan tersedia secara eksklusif di Epic Games Store mulai 30 Maret 2021. Seri Kingdom Hearts yang akan tersedia di EGS mencakup Kingdom Hearts I.5 + II.5, II.8, III, dan Melody of Memory. Memang, seperti yang disebutkan oleh VentureBeat, beberapa tahun belakangan, Square Enix tengah berusaha untuk membawa beberapa game dari franchise terpopulernya — seperti Final Fantasy dan Dragon Quest — ke PC.
Januari 2021, Total Belanja Game di AS Tembus US$4,71 Miliar
Pada Januari 2021, para gamer di Amerika Serikat menghabiskan US$4,71 miliar untuk membeli segala sesuatu terkait game, menurut laporan NPD Group. Hal ini berarti, total belanja gamer AS pada Januari 2021 naik 42% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Total belanja hardware mengalami kenaikan paling tinggi. Pada bulan lalu, jumlah belanja hardware di AS naik 144% menjadi US$319 juta. Menurut laporan GamesIndustry, hal ini terjadi berkat peluncuran konsol-konsol baru. Popularitas Nintendo Switch juga mendukung tren ini. Pada bulan lalu, Switch menjadi konsol dengan angka penjualan terbaik. Namun, dari segi nilai penjualan, PlayStation 5 tetap lebih tinggi. Sementara itu, total belanja untuk konten game naik 36% menjadi US$4,17 miliar. Selama tiga bulan belakangan, Call of Duty: Black Ops Cold War masih menjadi game terpopuler.
Hackers CD Projeck Red Klaim Telah Jual Source Code Cyberpunk 2077
Grup hackers yang menyerang CD Projekt Red mengklaim bahwa mereka telah menjual data yang mereka curi dari developer tersebut. Mereka melelang source code dari game-game buatan CD Projekt Red melalui forum. Di forum tersebut, mereka mengklaim telah menemukan pembeli. Hal ini diketahui dari gambar yang dirilis oleh perusahaan cyberintelligence, Kela, lapor GamesIndustry.
Sebelum ini, vx-underground — yang mengumpulkan source code, sampel, dan jurnal dari malware — menyebutkan bahwa grup hackers yang menyerang CD Projekt Red telah mendapatkan source code dari Cyberpunk 2077, THronebreaker, dan The Witcher 3, termasuk versi dengan Ray Tracing yang belum dirilis. Grup hacker itu membuka lelang dengan harga US$1 juta. Mereka juga bersedia menjual semua source code yang mereka curi seharga US$7 juta.
Steam Adakan Lunar New Year Sale
Untuk menyambut Tahun Baru Imlek, Steam memulai Lunar New Year Sale pada 11 Februari 2021 lalu. Biasanya, Steam sale akan berlangsung selama dua minggu. Namun, Lunar New Year Sale hanya berlangsung selama beberapa hari. Steam Sale kali ini akan berakhir pada 15 Februari 2021 pukul 10 pagi PT atau 16 Februari 2021, pukul 1 pagi WIB. Selain diskon game, selama Steam Lunar New Year Sale, Ada juga bisa mendapatkan stiker kerbau gratis, menurut laporan GameSpot.
Jumlah Pemain Terdaftar Rainbow Six: Siege Tembus 70 Juta
Dalam satu tahun terakhir, jumlah pemain terdaftar dari Rainbow Six: Siege bertambah 15 juta orang. Dengan begitu, total pemain terdaftar dari game buatan Ubisoft itu mencapai 70 juta orang. Ubisoft mengungkapkan hal ini saat mereka mengumumkan laporan keuangan mereka. Ketika itu, mereka juga mengaku optimistis akan pertumbuhan Rainbow Six: Siege di masa depan, walau game itu dirilis pada 2015.
Ubisoft juga menyebutkan bahwa mereka sedang mempersiapkan game spinoff dari Siege, yaitu Rainbow Six: Quarantine. Saat ini, game itu tengah dikembangkan oleh Ubisoft Montreal, lapor VentureBeat. Sayangnya, masih belum diketahui kapan game itu akan diluncurkan. Ubisoft berharap, Quarantine akan membuat semakin banyak orang tertarik mencoba Siege.
Dalam satu minggu terakhir, ada beberapa berita menarik di dunia esports. Di Malaysia, Yoodo mengumumkan bahwa mereka akan meneruskan kerja sama mereka dengan Moonton dan mensponsori empat turnamen Mobile Legends. Sementara itu, Ubisoft mengungkap bahwa mereka harus Six Invitational 2021.
2021, Yoodo Bakal Sponsori 4 Turnamen Mobile Legends
Yoodo, perusahaan mobile digital asal Malaysia, mengumumkan bahwa mereka akan meneruskan kerja sama dengan Moonton. Melalui kerja sama yang berlangsung selama satu tahun ini, mereka berencana untuk mendukung empat turnamen Mobile Legends: Bang Bang. Turnamen pertama yang mereka sponsori adalah Mobile Legends Professional League Malaysia Season 7, yang merupakan liga Mobile Legends profesional pertama khusus Malaysia. Sebelum ini, liga Mobile Legends di Malaysia digabung dengan liga untuk Singapura.
Kali ini bukan pertama kalinya Yoodo bekerja sama dengan Moontno. Pada tahun lalu, mereka juga sudah memiliki kerja sama dengan Moonton. Ketika itu, mereka menjadi rekan telekomunikasi resmi dari MPL MY/SG untuk Season 5 dan Season 6, lapor IGN.
Ubisoft Tunda Rainbow Six Siege Invitational 2021
Ubisoft mengumumkan bahwa mereka harus menunda turnamen Six Invitational2021 untuk Rainbow Six Siege. Pada awalnya, mereka berencana untuk mengadakan Invitational secara offline di Paris. Sayangnya, hal ini tidak mungkin dilakukan. Pasalnya, sejak bulan lalu, Prancis tidak mengizinkan para pengunjung dari luar Eropa untuk masuk.
“Mau tidak mau, kami harus menunda Six Invitational 2021,” kata Ubisoft dalam situs resmi mereka, seperti dikutip dari PCGamesN. “Meski kecewa karena Six Invitational tidak bisa diselenggarakan pada bulan ini, sekarang kami fokus untuk mencari solusi lain. Kami tahu, para fans tidak sabar untuk menonton turnamen ini serta melihat perubahan yang kami implementasikan di skena esports Rainbow Six Siege.”
Sim Racer Jimmy Broadbest Bakal Ikut di Britcar Endurance Championship
Bintang esports dan YouTuber, Jimmy Broadbent, akan ikut dalam balapan di dunia nyata yang akan diadakan pada tahun ini, yaitu Britcar Endurance Championship. Sebelum ini, Broadbent telah ikut serta dalam berbagai balapan esports. Dia pernah mewakili McLaren dalam Virtual Grand Prix dari Formula 1. Selain itu, dia juga memenangkan balapan virtual dari Indy 500 dan Le Mans 24 Hours. Dia juga cukup populer sebagai kreator konten. Di YouTube, dia memiliki 600 ribu subscribers, menurut laporan Autosport.
Ubisoft Sediakan US$1 Juta untuk Turnamen-Turnamen Brawlhalla Tahun Ini
Minggu lalu, Ubisoft juga mengungkap rencana mereka soal skena esports Brawlhalla pada tahun ini. Sepanjang tahun 2021, mereka akan mengadakan lima turnamen internasional. Turnamen pertama yang akan mereka adakan adalah Winter Championship, yang menawarkan total hadiah sebesar US$75 ribu. Turnamen online ini akan diadakan pada 27 Februari 2021 sampai 14 Maret 2021.
Selain itu, Ubisoft juga akan menyelenggarakan Spring Championship pada April-Mei, Summer Championship ada Juli, Autumn Championship pada September-Oktober, dan terakhir, World Championship, yang akan diselenggarakan pada November 2021. Secara keseluruhan, total hadiah yang Ubisoft tawarkan untuk turnamen-turnamen Brawlhalla pada tahun ini mencapai US$1 juta, lapor BleedingCool.
Spacestation Gaming baru saja mengumumkan kerja samanya dengan perusahaan pembuat aksesori gaming asal Denmark, SteelSeries. Melalui kerja sama ini, SteelSeries akan menyediakan berbagai perangkat gaming untuk pemain dan staf dari Spacestation Gaming. Sayangnya, tidak diketahui berapa nilai dari kolaborasi tersebut.
“Saya sendiri merupakan fan dari SteelSeries,” kata Shaun McBride, Pendiri Spacestation Gaming, menurut laporan Esports Insider. “Pemain kami sering meminta untuk menggunakan produk SteelSeries. Jadi, ketika mereka menawarkan kerja sama dengan kami, saya langsung setuju. Melalui kolaborasi ini, SteelSeries akan mendukung seluruh staf kami dan membantu para pemain kami untuk memberikan performa yang lebih baik.”
Spacestation Gaming merupakan organisasi esports asal Amerika Utara yang berlaga di berbagai game, termasuk Rainbow Six Siege, Rocket League, Super Smash Bros. Ultimate, SMITE, Valorant, Clash Royale, Trackmania, iRacing, dan World of Warcraft.
Saat ini, Spacestation Gaming merupakan satu-satunya organisasi esports yang pernah meraih gelar juara dunia pada 2020. Pasalnya, mereka berhasil memenangkan Six Invitational 2020 pada awal 2020. Ketika itu, karantina dan lockdown akibat pandemi COVID-19 belum diberlakukan. Selain itu, mereka juga menjadi salah satu dari 10 tim yang mendapatkan status Tier 1 dalam program bagi hasil di sceneesports Rainbow Six Siege.
“Spacestation Gaming memiliki atlet-atlet esports berbakat. Selain itu, mereka juga ahli dalam membuat konten yang menarik bagi para fans esports. Karena itu, kami senang dapat bekerja sama dengan mereka,” kata Andrew Trulli, Esports Marketing Manager, SteelSeries.
Selain Spacestation Gaming, SteelSeries juga menjalin kerja sama dengan beberapa organisasi esports ternama yang pernah memenangkan gelar juara dunia. Salah satunya adalah OG Esports, organisasi asal Eropa yang pernah memenangkan The International 2 tahun berturut turut. Selain itu, SteelSeries juga bekerja sama dengan FunPlus Phoenix, yang memenangkan League of Legends World Championship pada 2019. Beberapa organisasi esports lain yang menjadi rekan SteelSeries antara lain FaZe Clan, Barrage, dan Nordavind.