“Passion isn’t enough, you always have to deliver your best. When we talk about business, even if you don’t love it, you can still be incredible at it.”
Petikan kalimat oleh Founder dan CEO DailySocial.id Rama Mamuaya, kala berbagi ceritanya dengan Co-Founder dan CEO Ketitik Bipin Mishra.
Di sesi podcast Startups Simplified, Rama kilas balik perjalanannya selama lebih dari satu dekade dalam berkarier di industri teknologi, melahirkan media DailySocial.id, hingga memperluas spektrumnya lewat unit modal ventura DS/X Ventures.
Internet
Rama napak tilas perjalanannya menyaksikan perkembangan industri internet dan teknologi dalam negeri yang saat itu belum semasif sekarang. Kala itu, internet masih dianggap sebagai destinasi hiburan virtual, belum menjadi peluang serius untuk berbisnis.
Namun, anggapan ini retak ketika Kaskus hadir, portal komunitas terbesar, yang juga disebut sebagai tonggak sejarah industri e-commerce tanah air. Kaskus membawa internet ke level selanjutnya, usai ‘membersihkan’ platformnya dari hal ilegal, termasuk mengedukasi basis penggunanya.
“Banyak yang mulai menyadari bahwa bisa menghasilkan uang dari internet, dan ini terjadi ketika Kaskus mematahkan barrier itu. Investor mulai mengguyur investasi ke sejumlah bisnis internet.”
Pada momentum tersebut, Rama mendirikan DailySocial.id tepat 15 tahun lalu, berawal dari sebuah blog yang awalnya mengulas pemberitaan mengenai industri teknologi dan turunannya.
Integritas
Antonny Liem dan Didi Nugrahadi adalah dua sosok jempolan yang disebut memegang peran penting dalam perjalanan Rama membangun bisnis media. Antonny adalah Partner GDP Venture, sedangkan Didi adalah salah satu pendiri Detik.com, pionir media online.
Rama menyebutnya sebagai dua mentor yang telah mentransfer ilmu dan nilai pada dirinya. “Antonny Liem adalah mentor dan investor yang luar biasa, super knowledgeable, yang sudah lama membantu saya. Whatever we are doing good, he stays out of the way. Kalau sebaliknya, dia akan tanya bagaimana bisa bantu. Dia mempercayai para founder,” tuturnya.
Ia pun mengapresiasi Didi yang telah mendampinginya di masa awal membangun DailySocial.id dan membangun nilai integritas dalam berbisnis, terutama di industri media. “Integritas tidak dapat dibeli dengan uang. If you have integrity, they will trust you.”
“Lalu, apa hal terburuk dalam menjalankan perusahaan media?” tanya Bipin lagi.
Rama berujar bisnis media seharusnya bukan tentang menghasilkan uang karena media punya peran membuka akses terhadap informasi, pengetahuan, dan jejaring. Kalaupun itu tujuannya, media bukanlah opsi yang tepat untuk berbisnis.
Pencapaian
“Apa pencapaian penting Anda? And please don’t be humble,” tanya Bipin.
Rama mengungkap ada dua hal yang menandai pencapaian signifikan sebagai founder dan CEO, yakni (1) DailySocial.id mengamankan pendanaan awal dari Merah Putih Incubator dan (2) pertama kalinya perusahaan menembus pendapatan sebesar $1 juta di 2018.
“Ini merupakan pencapaian luar biasa karena saya benar-benar bisa menjual ide saya, yang mana kini sudah berbentuk situs berita. Pencapaian kedua justru enable another milestone yang menjadi puncaknya, di mana tim kami menjadi sangat solid,” katanya.
Berinvestasi
Lebih lanjut, Rama mengungkap tonggak pencapaian terbaru tahun lalu di mana ia bersama Amir Karimuddin memutuskan untuk mendirikan DS/X Ventures sebagai kendaraan investasi tahap awal di Indonesia.
Selain karena sudah lama menjadi angel investor dan terlibat sebagai mentor, Rama menyebut saat ini DailySocial.id memiliki posisi kuat di industri karena memiliki jaringan ke berbagai pemangku kepentingan di industri startup, termasuk kapabilitas, dan informasi.
“Everything goes to us. We see that as values. Kita coba do more. Ditambah, kita bisa bantu karena we’ve done that before. Ini menjadi value proposition kami, bukan cuma soal capital.”
–
Disclosure: DailySocial.id merupakan print partner dari program “Startups Simplified, a Ketitik Podcast”
Belajar dari pandemi, sudah sepatutnya startup kembali pada khitahnya, yakni fokus membangun fundamental, tidak lagi mengejar pertumbuhan eksponensial yang niscaya sulit menjadikannya menjadi perusahaan keberlanjutan. Semangat inilah yang ingin digaungkan kembali oleh DS/X Ventures, lengan investasi bagian dari grup DailySocial.id.
Premis di balik kelahiran ‘si anak bungsu’ ini adalah untuk melengkapi ekosistem startup yang selama ini sudah dibangun DailySocial.id. Dalam perjalanannya, produk DailySocial.id adalah media online, riset, kemudian Startup.id (startup funding marketplace), dan program inkubator hingga hackathon. Keseluruhannya adalah bagian dari upaya perusahaan dalam mendukung ekosistem startup di Indonesia dari berbagai sisi.
“Sementara yang belum kita lakukan dukungan dalam bentuk kapital,” terang Founding Partner DS/X Ventures Amir Karimuddin kepada DailySocial.id.
Amir Karimuddin dan Rama Mamuaya adalah dua orang dibalik berdirinya DS/X Ventures yang secara badan hukum berdiri sejak akhir tahun lalu. Keduanya sekaligus menduduki posisi penting di DailySocial.id. Di satu sisi, Rama sebelumnya pernah berinvestasi ke sejumlah startup (sebagai angel) bersama rekan-rekannya di industri.
Walau begitu, sebelum mantap terjun ke dunia VC ini, keduanya direkomendasikan untuk ikut sekolah singkat yang diadakan oleh VC Lab, akselerator khusus fund manager.
Sembari menyelam minum air, mereka mulai belajar di VC Lab pada awal tahun lalu, sembari melihat situasi terkini mengingat masih belum menentu. Belum kunjung rezeki, situasi makin parah hingga terjadi startup winter, ditandai dengan gelombang PHK di berbagai startup.
“Kita sempat on hold selama beberapa bulan, sampai November [2022] mulai dapat komitmen dari super angels di lingkungan kita. Lalu Desember kita launch.”
Terbersit optimisme saat meluncurkan DS/X, bahwa founder startup tahap awal masih punya kesempatan bertumbuh karena Indonesia memiliki banyak masalah yang belum terselesaikan, walau saat itu kondisi sedang tidak bagus untuk sejumlah vertikal startup.
“Timing-nya tidak ada yang better dari sekarang. Secara publik, kepercayaannya memang belum seperti beberapa tahun lalu. Tapi kesempatan untuk early stage yang bagus dengan mindset berbeda justru waktunya adalah sekarang.”
Kondisi demikian sebenarnya juga dialami East Ventures di 2009. Saat itu, dunia sedang dilanda krisis moneter, yang dampaknya juga begitu terasa di Indonesia. Ditandai dari penurunan tajam IHSG, tekanan di pasar obligasi, dan krisis likuiditas pada perbankan.
“Kondisinya tidak bagus, justru mereka buat fund dan eventually sukses hingga sekarang. Dari sisi kita melihatnya sekarang ada gelombang baru dari startup di Indonesia, ada reality check dari early stage itu enggak ada permasalahan, tetap ada potensi namun punya mindset yang berbeda.”
Saat ini, DS/X masih menggalang fund pertamanya. Perusahaan sudah mendapat sejumlah komitmen dari sejumlah super angel investor di kalangan startup. Mereka memercayai kapabilitas pengalaman Rama dan Amir, serta kontribusinya selama ini untuk ekosistem startup Indonesia melalui produk-produk DailySocial.id, entah itu publikasi pemberitaan, platform digital untuk startup, dan sebagainya.
“Dari awal kita punya network dan knowledge, walau kita first time fund manager. Jadinya itu yang kita jual, bagaimana cara pandang kita yang selalu kita cerminkan dalam editorial DailySocial.id, arahnya akan ke mana. Mereka juga paham bahwa tech itu ke depannya punya peranan penting di masa depan.”
Kendati begitu, pihaknya meyakini optimisme para investor dari kalangan nonteknologi bakal meningkat ke depannya. Menurutnya, saat ini mereka cenderung masih wait and see.
Tesis investasi
DS/X menganalisis prospek yang ditawarkan oleh model bisnis B2B begitu luas karena masih banyak pekerjaan rumahnya. Dari berbagai laporan yang dirangkum, disampaikan bahwa pasar e-commerce secara keseluruhan di Indonesia diestimasi bernilai $21,2 miliar pada tahun ini. Diproyeksikan bakal mencapai $104 miliar, didorong oleh tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) sebesar 37,4%. Segmen B2B mewakili 26,4% dari keseluruhan pasar e-commerce.
Selanjutnya, terjadi pergeseran tren B2C ke B2B e-commerce yang memberikan peluang bagi UMKM untuk terhubung langsung dengan pemasok bisnis, mengatasi tantangan rantai pasokan dan memfasilitasi penetapan harga yang transparan dan logistik yang lebih cepat.
Solusi-solusi yang dibutuhkan, mulai dari memberikan pengalaman omnichannel yang mulus, mengoptimalkan proses rantai pasokan, memanfaatkan potensi daerah pedesaan dan usaha mikro, serta menawarkan transparansi dan efisiensi melalui pasar B2B.
“Tantangan dalam lanskap B2B meliputi sumber, pengiriman, dan pengelolaan modal kerja, integrasi teknologi, masalah keamanan dan privasi, kepatuhan terhadap peraturan, volatilitas mata uang, dan manajemen risiko keuangan,” tulis rangkuman tesis DS/X.
Konteks yang dibahas ini tak terbatas pada solusi B2B e-commerce saja, tapi juga mencakup vertikal lainnya yang masuk ke solusi B2B sebagai model bisnis utamanya. Di antaranya, SaaS, fintech, logistik, healthcare, keamanan siber, AI, HRIS, dan climate tech.
Terlebih itu, tambah Amir, dengan memfokuskan ke digitalisasi B2B, startup tersebut lebih berpeluang untuk bertahan lebih lama. Mengingat, mereka sudah berpikir dari hari pertama bagaimana monetisasinya. Kini DS/X memiliki delapan portofolio startup yang semuanya bergerak di model bisnis B2B. Di antaranya Finfra, Cards, YOBO, Fazpass, D3 Labs, Baskit, dan GoCement.
“Untuk GoCement, kita melihatnya e-commerce B2B secara umum belum banyak yang bisa di-cater oleh pemain dari B2C dan C2C. Market B2B itu beda, dari merchant-nya, konsumennya, dan dibutuhkan solusi yang lebih spesifik. Dari beberapa platform seperti GoCement, kita lihat solusinya, backgroundfounder-nya, go-to-marketstrategy-nya juga pas, makanya kita masuk ke GoCement.”
Selain hanya bermain di startup lokal dan B2B, DS/X memilih untuk agnostik, artinya melihat lebih jauh potensi dari vertikal bisnis startup. Makanya, dalam portofolio DS/X terdapat D3 Labs yang memanfaatkan teknologi web3 dalam solusinya.
Rama menjelaskan, saat melihat prospek jangka panjang dari suatu industri, maka metriks melihat kapabilitas latar belakang founding team jadi bentuk kontrol terbaik. D3 Labs itu sendiri diisi oleh tim awal eks Tokocrypto sebelum diakuisisi Binance. Alhasil, banyak pembelajaran berharga yang mereka petik dari sana dan melanjutkan petualangannya di D3 Labs.
Salah satu produk perdana D3 Labs adalah SeaSeed, platform programmable money yang dirancang untuk bisnis berbasis teknologi blockchain. Solusinya memungkinkan transaksi real-time antara perusahaan dan ekosistem terkait lainnya, sehingga dapat mengurangi biaya rekonsiliasi karena menghilangkan perantara dan memungkinkan transaksi peer-to-peer.
“Blockchain adalah one way, jadi ketika orang sudah masuk, tidak bisa balik ke era sebelumnya karena blockchain itu incredibly life changing. Sekarang yang orang lihat blockchain itu NFT, kripto, sama kaya dulu orang pakai internet untuk fraud, sekarang teknologinya itu sendiri jadi samar-samar, jadi tidak akan ngomongin teknologinya sebagai jualan utama, tapi platformnya itu sendiri,” imbuh Rama.
Contoh menarik lainnya juga ditemukan dari Cards, startup asal Purwokerto. Model bisnisnya menarik karena belum tentu bisa sukses bila diterapkan di kota besar. Cards merupakan platform digitalisasi untuk pengelolaan pesantren, mulai dari administrasi, pengelolaan uang saku, hingga keuangan dalam dilakukan dalam satu sistem.
“Dengan keterbatasan mereka dari tim tech dan marketing, ternyata mereka mampu menghasilkan bisnis yang relatif sustainable, tapi bulan performanya selalu positif. Bisa tetap fit dengan kebutuhan pesantren, bahkan bisa meyakinkan bisnis yang konservatif bisa going digital. Kita percaya equal access terlepas dari gender bisa tetap dapat akses kapital,” tambah Amir.
Diungkapkan, setidaknya sampai akhir tahun ini akan incar tambahan dua startup baru ke dalam portofolionya.
Independensi
Rama menuturkan, independesi DailySocial.id sebagai media bakal tetap dipertahankan, tidak jadi kendaraan bagi DS/X untuk memenuhi kebutuhan para portofolionya. Terlebih itu, menurutnya, DailySocial.id bukanlah sekadar perusahaan media online saja. Dari rangkaian produk yang ditawarkan di luar media, tujuan akhirnya adalah membantu ekosistem startup Indonesia bertumbuh.
“Media adalah salah satu arm yang kita develop dari depan [sejak berdiri] karena simply kita lihat value informasi soal startup itu sangat dibutuhkan dan kebanyakan media mainstream belum mengerti soal startup.”
Salah satu bentuk independensi yang diterapkan editorial DailySocial.id adalah tetap transparan dengan memberitakan para pesaing dari portofolio DS/X. Uniknya, proposisi mencolok dari DailySocial.id sebagai grup daripada VC kebanyakan adalah banyak dari mereka yang bangun bisnis VC-nya terlebih dahulu, baru bangun awareness lewat membuat blog, event, dan podcast.
“Kita kebalikannya karena sudah punya itu semua, itu value yang kita tawarkan,” tutup Rama.
–
Disclosure: DS/X Ventures adalah bagian dari grup DailySocial.id
Tren investasi startup di Asia Tenggara telah mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Semakin banyak investor besar dari Tiongkok, Amerika Serikat, dan Eropa yang sudah menanamkan dananya di regional ini.
Mengutip dari laporan terbaru Momentum Works dan Cento Ventures dalam “Southeast Asia Tech Invesment 2022”, startup Asia Tenggara mengumpulkan pendanaan senilai $10,4 miliar pada 2022, tahun terkuat ketiga dalam catatan, dan setara dengan tingkat investasi pra-pandemi.
Laporan tersebut menyebutkan, pada 2021 total dana yang terkumpul sebanyak $14,5 miliar. Kemudian pada 2022, regional ini menyelesaikan 929 kesepakatan, turun tipis dari 991 kesepakatan di 2021. “Asia Tenggara tidak melihat defisit modal investasi yang tidak normal hingga akhir tahun 2022 meskipun suasana pasar modal sedang buruk,” kata laporan itu.
Dikatakan, ekosistem investasi digital di kawasan ini tampak bereaksi lebih lambat terhadap perubahan global daripada Amerika Latin dan India.
Regional yang dijuluki sebagai ‘the next China’ ini menawarkan potensi pertumbuhan digital yang begitu menjanjikan. Karena alasan itulah pameran dan konferensi tahunan BEYOND Expo 2023, melalui kegiatan ORIGIN Conference, mengangkat berbagai topik khusus ASEAN pada hari kedua gelaran tersebut.
ORIGIN menghadirkan pembicara ahli dan diskusi panel yang mencakup topik mendalam dengan tujuan menghubungkan bisnis di seluruh Asia Tenggara dan Tiongkok serta membuka peluang pertumbuhan baru di kawasan ini.
ORIGIN Conference dimulai dengan pembukaan keynote oleh Founder dan CEO TechNode Group, dan Co-Founder BEYOND Dr. Gang Lu menyampaikan gambarannya tentang pasar Asia Tenggara dan membahas mengapa sekarang waktu yang tepat bagi bisnis untuk berinvestasi dan berkembang di kawasan ini.
“Sebagai bagian dari cetak biru ini, ORIGIN Conference dan BEYOND Expo bercita-cita untuk menciptakan level playing field di mana ekosistem lokal dan global berkumpul dan membuka jalan satu sama lain menuju kesuksesan yang lebih besar di Asia,” ujarnya Lu yang menyoroti pertumbuhan peran Asia Tenggara dalam membentuk lanskap ekonomi dan teknologi di Asia dan global.
Ia melanjutkan, “kami membayangkan BEYOND Expo menjadi tujuan utama untuk segala sesuatu yang berhubungan dengan teknologi di Asia membawanya ke tingkat Consumer Electronics Show (CES) di Las Vegas dan Mobile World Congress (MWC) di Barcelona—dua dari yang paling inovatif dan pertemuan berpengaruh di ruang teknologi.”
Sangat terfragmentasi
Sesi diskusi panel “Next Generation: Different Breeds of Unicorns” yang dihadiri oleh Kamarul A. Muhamed (Aerodyne Group), Oranuch Lerdsuwankij (Techsauce), and Lin Xiangliang (ESCO Lifesciences Group), dan dimoderasi oleh James Kwan (Jumpstart Media), membahas topik yang cukup luas dari sisi kacamata pemain industri dengan lanskap ekosistem startup digital.
Oranuch Lerdsuwankij menyampaikan, kawasan ini sangat terfragmentasi, sehingga untuk siapapun yang mau memulai bisnis di sini harus mau mendalami pasar lokal dan berkolaborasi dengan orang-orang di dalamnya agar diterima. Menurutnya, apa yang sukses di Tiongkok belum tentu sukses bila diterapkan di sini. Alhasil perlu ada langkah lokalisasi konsep agar model bisnisnya diterima.
Kelebihan kawasan ini dibandingkan kawasan lainnya, sambung dia, adalah kebanyakan startup yang beroperasi ini datang dari generasi kedua atau ketiga dari sebuah usaha keluarga. Biasanya mereka kuliah di luar negeri lalu ketika kembali ke negaranya masing-masing, mereka jadi lebih sensitif tentang pain point dari bisnis keluarganya yang bisa dipermudah dengan memanfaatkan teknologi digital.
“Banyak bisnis di sini adalah warisan dari keluarga, biasanya di agrikultur, ritel, atau kuliner, jadi mereka mengerti value chain dan paham di mana titik pain point-nya.”
Lin Xiangliang pun menyepakati pernyataan Lerdsuwankij. Dia bilang, walau sangat terfragmentasi, kawasan ini termasuk pemecah masalah terbesar karena segudang masalah yang dimilikinya. Di samping itu, pemerintah di masing-masing negara juga masih berusaha mencari harmoni dengan inovasi digital yang begitu dinamis dengan aturan-aturan yang ramah.
“Ini semua butuh waktu tapi arahnya semakin membaik. Terlebih secara geopolitik, Asia Tenggara ini menarik karena berada di perhubungan antara negara barat dan timur.”
Ia pun menambahkan, perusahaan non-ASEAN yang berencana untuk masuk ke kawasan ini bisa merencanakan ekspansinya tersebut dengan masuk ke Thailand sebagai percobaan pertamanya. Alasannya dikarenakan secara penetrasi lebih mudah, didukung dengan ekosistem yang matang dan pun dibandingkan secara kebiasaan dengan orang Asia Tenggara lainnya tidak jauh berbeda.
Iklim investasi
Selanjutnya, dalam panel diskusi bertemakan “Navigating the Evolving Landscape of Investment and M&A in Southeast Asia” dengan jajaran panelis Amy Zhao (Openspace Ventures), Paramjit Singh (Malaysia Venture Capital Management/MAVCAP), dan Rama Mamuaya (DS/X Ventures) dimoderatori oleh Eudora Wang DealStreetAsia).
Terkait iklim investasi, Rama Mamuaya menyampaikan secara umum saat ini investor punya pilihan dalam berinvestasi ke startup. Berbekal dari pengalaman yang keras saat pandemi, buat pendanaan tahap lanjutan, sekarang investor mulai meminta startup untuk punya laporan keuangan yang baik. Hal tersebut juga berpengaruh pada valuasi. Yang mana, valuasi startup sudah normal, tidak segila dari masa sebelum pandemi.
“Di 2022, banyak perusahaan bagus yang butuh dana, meski secara keuangannya tidak bagus. Dulu mungkin investornya bilang, tidak apa-apa burn money karena kejar pertumbuhan, fundamental nanti saja. Tapi itu bukan berarti perusahaan atau produknya jelek, sekarang mereka mulai ambil langkah pivot untuk menuju capital efficiency.”
Rama menambahkan, karena pihaknya hanya fokus pada pendanaan tahap awal, maka hal-hal yang ia sampaikan setiap bertemu dengan founder startup adalah, bagaimana memastikan mereka tetap punya runway yang cukup setidaknya dalam dua tahun atau sebelum penggalangan dana berikutnya.
“Selain itu, kami juga harus memastikan mereka untuk lebih cepat monetisasi, sedini awal itu lebih baik.”
Pendapat Rama juga didukung oleh Paramjit Singh. Dia bilang, sekarang kondisinya investor punya pilihan untuk lebih selektif berinvestasi. “Jadi, bahkan untuk kami membutuhkan sedikit waktu untuk membuat keputusan sebelum berinvestasi. Justru itu jauh lebih selektif karena kami telah lebih cerdas dalam membuat keputusan,” ucapnya.
DS/X Ventures yang merupakan bagian dari DailySocial.id ini masih terbilang pemain baru sejak Desember 2022. VC ini fokus pada pendanaan startup tahap awal khusus untuk Indonesia saja. Walau masih seumur jagung, portofolionya sudah berjajar nama-nama startup, seperti YOBO, GoCement, Ilmu.com, D3 Labs, Finfra, Faspass, Cards, dan Baskit.
Amy Zhao menuturkan setidaknya ada tiga hal besar yang akan segera terjadi di kawasan ini. Yakni, industri healthcare, konsolidasi pasar, dan ekonomi hijau. “Ekonomi hijau ini bisa didukung dari perkembangan agrikultur yang pesat di Thailand, Indonesia, dan Vietnam, bagaimana teknologi bisa membantu petani dalam membaca iklim yang lebih akurat.” Tutupnya.
–
Disclosure: DailySocial.id adalah media partner dari BEYOND Expo 2023
PT Bank OCBC NISP Tbk (IDX: NISP) berkolaborasi dengan DailySocial.id menggelar program Hack@ON. Kegiatan ini bertujuan untuk mengeksplorasi ide dan talenta baru dalam rangka meningkatkan pengalaman perbankan di Indonesia.
Dalam sesi talkshow peluncuran acara, IT Division Head Bank OCBC NISP Komang Arthayasa mengungkap bahwa banyak peluang untuk mengakselerasi inovasi di era open banking yang tengah berkembang di Indonesia. Kegiatan hackathon ini diyakini dapat menjadi salah satu cara meningkatkan kapabilitas layanan OCBC NISP ke depan.
Sekadar informasi, OCBC NISP telah memulai transformasi digital sejak beberapa tahun terakhir. Salah satu realisasinya adalah bermitra dengan startup lendingIndodana untuk menyalurkan pendanaan dengan skema channeling.
“Hack@ON menjadi ajang berdiskusi dengan para inovator untuk menghadirkan solusi kreatif dan alternatif untuk memberikan pengalaman perbankan yang berbeda. Sesuatu yang telah embedded dalam kehidupan sehari-hari. Nah, produk dan sistem kami sudah siap,” ujar Komang.
Open banking dapat didefinisikan sebagai mekanisme penyediaan akses data nasabah yang terbuka dan aman dengan mengimplementasi Open Application Programming Interface (API). Teknologi ini memungkinkan pihak ketiga mengakses data yang dibutuhkan nasabah dengan sambungan tersedia. Open banking memiliki ruang eksplorasi besar yang dapat dikembangkan sesuai kebutuhan nasabah secara personal.
Founder & CEO DailySocial.id Rama Mamuaya menambahkan, sebelum ekosistem digital Indonesia tumbuh matang seperti sekarang, ia menilai banyak startup kesulitan untuk men-deliver produknya ke pasar. Kini, tren open banking dapat membuka akses luas bagi startup untuk mengakses pasar melalui kolaborasi.
“Bank merupakan industri berbasis integritas dan kepercayaan yang telah berdiri ratusan tahun. Sementara, startup umumnya lebih berfokus mengatasi suatu masalah dengan menciptakan produk. Saat ini, kolaborasi antar startup-korporasi telah terjadi di mana-mana. Startup punya ide, korporasi punya basis pengguna. Mereka bisa berkolaborasi untuk go-to market,” papar Rama.
Ekosistem terbuka
Dalam kesempatan sama, Country Manager IDC Indonesia Mevira Munindra mengatakan bahwa Indonesia baru memasuki fase emerging pada implementasi open banking dalam beberapa tahun terakhir. Pertumbuhan ini tak lepas dari upaya pemerintah mendorong pemanfaatan Open API dengan menerbitkan Standar Nasional Open API Pembayaran (SNAP).
“Open banking diharapkan dapat mendorong open ecosystem mengingat perubahan perilaku masyarakat juga mendorong open ecosystem di Indonesia. Akan ada banyak model bisnis berbasis ekosistem di masa depan. Ini akan menjadi enabler terhadap digitalisasi,” ucapnya.
Mengacu laporan Kementerian Komunikasi dan Informatika, sektor informasi dan komunikasi di 2021 tumbuh positif berturut-turut sebesar 8,72%, 6,87%, dan 5,51% (Year-on-Year). Pertumbuhan ini dipicu oleh akselerasi digital yang mendorong perubahan perilaku masyarakat dari offline ke online selama pandemi.
Adapun, pendaftaran program Hack@ON telah dibuka pada 12 Juli hingga 4 September 2022. Untuk menjaring para inovator berbakat, Hack@ON akan mengadakan roadshow di empat kota, yakni Bandung, Yogyakarta, Jakarta, dan Surabaya.
Dari total peserta, Hack@ON akan menjaring sebanyak 20 peserta untuk mengikuti kompetisi Hack Day pada 24-25 September 2022 di ON Space, BSD City.
—
Ajang kompetisi Hack@ON juga sudah semakin dekat, dengan sisa waktu kurang lebih dua bulan, panitia Hack@ON akan menutup registrasi dan pengumpulan ide pada 4 September 2022. Agar tidak terlewat, langsung daftarkan diri kamu di sini sekarang!
The growth of the logistics market in Indonesia is predicted to get better in 2021. This has taken into account the current situation in Indonesia as the implementation of social restriction policies in some areas.
Indonesian Logistics Association’s (ALI) Chairman, Zaldy Ilham Masita revealed several predictions and trends in logistics to occur in Indonesia this year. First, he observed that logistics service players had started to adapt during the pandemic. This is visible as the emerging new services and collaboration between startups and large logistics companies, especially to accommodate the needs of instant courier services (on-demand).
“In the fourth quarter of 2020, logistics will get more popular due to increasing public spending. In the first quarter of 2021, it is a bit worrying as the implementation of social restrictions. However, we are optimistic because during the last six months, [logistics players] have been trained to adapt. We predict that the logistics peak [increase] will occur in the third and fourth quarters of 2021 as more people get vaccinated,” he said in recent contact with DailySocial.
According to Ken Research‘s report, Indonesia’s logistics market is estimated to reach $200.3 billion with a CAGR of 7.9% in 2024. This value includes goods transportation, freight forwarding, warehouse, express and parcel (CEP) and cold chain logistics businesses.
Second, he estimates that the increase in the logistics business this year will be boosted by the same day delivery service. With the current situation, he estimates that this trend can spur logistics industry players to evaluate whether the current duration of same day delivery times has met customer expectations and is business competitive.
Zaldy, who is also the President Director of Paxel, even admitted that he would consider the findings. Moreover, Paxel, which is a technology-based logistics delivery service platform startup, started a same-day delivery service with a duration of up to 10 hours.
Service
Ja(bo)detabek rate
Duration
GoSend
Rp,.815/km (0-6km), Rp 18,000 (6-15km), Rp1,200/km (>15km)
Source: Official website of Gojek, Grab, Paxel, MrSpeedy / Organized by DailySocial
“Currently, Same day delivery within the city is only 2 hours. Over the last few years, customer expectations have increased significantly. [Paxel] is even evaluating whether the same delivery with a duration of 8-10 hours can compete. In addition, there is something more extreme at a lower cost. It means that the industry needs more innovation,” he added.
Same day delivery trend is driven by food delivery
Referring to the report The 2nd Series Industry Roundtable: Logistics Industry Perspective released by MarkPlus Inc in October 2020, the frequency of courier services increased rapidly during the pandemic. This increase was triggered by a number of main factors, including online shopping activities, prices, and delivery times.
In addition, same day delivery services are expected to get rapidly increased after the pandemic (67.2%) compared to regular delivery services (78.7%) even it has a larger portion. The research was done with 122 respondents from the Greater Jakarta area (59.8%) and non-Jabodetabek (40.2%).
Then, respondents have a main expectation for the delivery of services on time (36.7%) and logistics service providers are considered to need to improve pick-up services in the future.
Third, in Zaldy’s observations, the B2B logistics market is getting decrease due to the shifting of shopping behavior from offline to online. The effort is getting stronger as the pandemic and increasing customer expectations are considered increasingly extreme. He estimates that the composition of the logistics business in the B2C segment will increase from 10% to 25% this year.
“Fourth, this year is also a proving ground to see which logistics business models are successful and which are not. New business models may emerge because many new markets are yet to open, such as food delivery services,” Zaldy explained.
Several giant startups, such as Gojek (GoFood), Bukalapak (BukaFood), and Shopee (ShopeeFood) are started to tighten its position in the market segment. The large logistics company SiCepat also acquired 51% shares in the DigiResto food delivery platform to boost revenue contribution from the food delivery market in Indonesia.
Quoting Momentum Works’ research, GMV food delivery services experienced accelerated growth during the pandemic. The report noted the GMV of food delivery services in six countries in Southeast Asia reached $11.9 billion in 2020.
In terms of the Indonesian market, the number has reached $3.7 billion or equivalent to Rp52 trillion, dominated by two big players, Grab and Gojek, with a share of 53% and 47% of the total market share, respectively.
Challenges for legacy logistics
Fifth, Zaldy continued, he said that older conventional logistics companies would find it difficult to catch up with future trends. This is because it is not easy for companies to transform or build infrastructure in a short time. The key is in collaboration.
At least, throughout 2020, there will be many collaborations between startups and corporations. For example, Ninja Xpress partners with Grab and Gojek partners with Paxel. The partnership was due to strengthening inter-city freight forwarding services (intercity).
According to Zaldy, the pandemic is an eye-opening experience, therefore, conventional logistics companies are willing to collaborate. “Many conventional legacy companies find it difficult to catch up with business as customer expectations getting higher now. We see some conventional companies, their service may be threatened by the same-day delivery,” Zaldy said.
In fact, he also saw an emerging new trend due to the pandemic, non-logistics companies entering the logistics sector. Blue Bird is one of which that executed this idea.
The company has made maneuvers in logistics since the second quarter of 2020, powered by the fleets. Blue Bird has started to expand its logistics services by partnering with Paxel for large package shipments with a same-day delivery service.
“We are using the existing fleet for cost-efficient. In essence, we want to contribute to logistics services during a pandemic, regarding hygiene in particular, we apply protocols according to our standards,” Blue Bird’s Chief Strategy Officer, Paul Soegianto said to DailySocial.
Zaldy also gave an example of how this will be a challenge to PT Pos Indonesia. He said the infrastructure is no longer possible to catch up with logistics service providers, SiCepat, for example.
“However, [models such as] PT Pos Indonesia can take advantage of infrastructure from other platforms, such as Anteraja. This means that the first and middle miles can collaborate with each other, while the competition is in the last mile,” he added.
Gojek and Tokopedia’s Merger to affect logistics industry
Sixth, he estimates that the plan of Gojek and Tokopedia’s merger can have a big impact on the Indonesian logistics industry. Also, he added, conventional logistics companies will be significantly affected.
“The merger of the two will struck the legacy companies. Why? It’s hard to get legacy companies to change their business models, especially those that already have thousands of courier fleets and hubs. Unless they have good IT systems or technology, this will be difficult. Blue Bird is an example of a legacy company with a ready system. The question is have they done the ‘homework’?” Zaldy said.
In a separate article, DailySocial Founder and CEO Rama Mamuaya said that the merger of the two can have a big impact on consumers and the industry. Rama said, cross-breeding of complementary products would be fantastic for consumers. Moreover, both of those have integrated e-commerce, transportation, and financial infrastructure in one application.
“Today, we have same-day delivery which works most of the time. The integration between Gojek and Tokopedia can produce something even better, Amazon Prime-style instant same-hour delivery, helping push e-commerce transaction and customer satisfaction even more while increasing driver utilization rate making it more economical as a business,” he explained.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Indonesia merupakan salah satu pasar terbesar dalam hal konsumsi digital. Menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Seluruh Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet pada kuartal kedua 2020 telah mencapai 196,7 juta atau 73,7% dari total populasi.
Pasar Indonesia juga cukup tinggi dalam hal konsumsi konten digital, terutama yang berkaitan dengan segmen hiburan, seperti musik, film, dan video. Sebagian besar platform digital sudah mulai menerapkan sistem berlangganan (subscription) untuk memonetisasi bisnisnya.
Namun, bagaimana dengan monetisasi di industri media? Apakah pasar Indonesia sudah siap untuk mengonsumsi konten berbayar?
Simak paparan dan temuan menarik yang akan dibagikan oleh Founder & CEO DailySocial Rama Mamuaya, Co-founder & CCO Fewcents Dushyant Khare, dan Founder & Editor in Chief DealStreetAsia Joji Thomas Philip pada sesi bertajuk “Micro Payment: Is it possible to convert free readers to start paying for content?” yang diadakan Indonesia Digital Association.
Arti pandemi terhadap industri media
Sejumlah media (mungkin) baru terdorong untuk mulai memonetisasi kontennya di situasi pandemi. Hal ini juga yang salah satunya mulai diterapkan oleh DailySocial efektif sejak akhir November 2020.
Rama mengatakan, DailySocial sedang mencoba model berlangganan dengan tiga skema, yakni pay per view, monthly, dan annually subscription. Menurutnya, ketiga skema ini dipilih karena konsep berlangganan berita terbilang yang lebih preferable bagi pembaca Indonesia.
“Sudah ada konten berlangganan semacam Netflix dan Spotify, but when it comes to news, konsep ini terbilang weird bagi pasar Indonesia. Setelah kami coba, hasilnya monthly revenue dan annual membership kami mulai naik. Ini tidak terduga karena 80% konten kami berbahasa Indonesia. Apalagi di awal kami sempat khawatir trafik akan turun,” ujar Rama.
Dari sisi bisnis, Rama menilai sistem berlangganan dapat membantu team bisnis dan editorial dalam membuat keputusan. Hal ini karena biasanya kedua tim ini dinilai sering berbenturan jika bicara soal memproduksi konten berkualitas, tetapi bisa dimonetisasi. “Dengan sistem berlangganan, kami jadi tahu kategori konten seperti apa yang banyak dibaca pengguna,” tambahnya.
Sementara menurut Joji, pandemi membawa dampak positif terhadap bisnisnya. Dengan situasi Work From Home (WFH), masyarakat memiliki waktu untuk mengeksplorasi konten. Dan hal ini berdampak terhadap peningkatkan jumlah pelanggan sebesar 60% dibandingkan 2019.
Sejak awal berdiri, ungkapnya, DealStreetAsia memang berkomitmen untuk membangun world class jorunalism product yang tidak bertumpu pada trafik, tetapi dari subscription. Mereka berupaya memproduksi konten yang membawa impact dan value kepada pembaca sehingga mendorong kemauan pembaca untuk membayar.
“Yang kami pelajari selama pandemi ini adalah, kami meluncurkan banyak produk komplimentari bagi pelanggan, seperti research report dan database. Overall, sebagai sebuah perusahaan, [bisnis] kami tumbuh 30%, memang tidak sesuai target, tetapi tidak ada yang pernah tahu pandemi bakal terjadi,” ujarnya.
Tantangan industri media menerapkan sistem berlangganan
Bagi Rama, tantangan terbesar industri media dalam memperkenalkan sistem berlangganan adalah mengedukasi pengguna Indonesia. Terlebih bagi industri media dengan cakupan pemberitaan umum yang fokus terhadap page views.
Selain itu, ia menilai bahwa pasar Indonesia masih sangat enggan untuk mengeluarkan budget untuk berlangganan konten media. Contohnya saja, artikel mengenai riset dan analisis seharga Rp50.000 dinilai masih mahal bagi pengguna.
Kendati demikian, bagi media niche seperti DailySocial, menurutnya upaya yang dilakukan selama bertahun-tahun untuk memproduksi konten berkualitas dan tidak bermain di page views membuahkan hasil.
“Ketika kami switch ke premium, mereka sudah paham bahwa kami menyediakan konten berkualitas dan percaya konten ini hanya ada di DailySocial,” paparnya.
Micro payment menjadi alternatif untuk monetisasi
Dalam presentasinya, Dushyant memaparkan sejumlah temuan menarik terkait pasar Indonesia terkait monetisasi di industri media. Paparan ini juga berdasarkan dari pengalamannya bekerja sama dengan banyak publisher di Asia Tenggara dan India. Menurutnya, ia sangat familiar terhadap tantangan yang dihadapi publisher saat ini.
Umumnya, ada dua model monetisasi yang dipakai industri media, yakni iklan dan berlangganan. Kelebihan iklan adalah dapat memonetisasi semua pengguna, sayangnya revenue per user sangat rendah. Memang ada banyak media yang mulai memberlakukan sistem berlangganan, tapi hanya sedikit yang mau berlangganan. Ketika pandemi menghantam, publisher memikirkan cara untuk memonetisasi mengingat ads yield turun akibat Covid-19.
“Selama beberapa tahun terakhir, iklan berkontribusi besar terhadap pendapatan media sehingga mereka banyak fokus memproduksi artikel yang punya page views tinggi. Sekarang, mereka sepertinya mulai pivoting untuk mengoptimalkan kualitas konten,” katanya.
Dalam temuannya, ia menemukan ada big gap dalam hal monetisasi revenue per user di iklan dan langganan. Sekitar 60%-70% pasar Indonesia disebut tidak pernah mau membayar konten digital. Hal ini bukan karena mereka tidak bisa membayar, hanya saja pasar Indonesia cenderung menyukai konten gratis. Kendati demikian, sebanyak 30%-50% pengguna punya kemauan untuk membayar.
“Mereka mulai paham, untuk menikmati konten bagus ya harus bayar. Makanya, kami pikir micro payment bisa address dan take advantage di sini. Di sini modelnya bukan berbasis subscription, tetapi value for money,” ujar Khare.
Ia juga menemukan sejumlah tantangan dalam aspek user readiness terhadap sistem berlangganan. Pertama, ada kecenderungan terhadap subscription fatigue. Contohnya, apabila pengguna sudah berlangganan di New York Times, kecil kemungkinan mereka akan berlangganan di media lain.
Kedua, loyalitas pengguna masih rendah di mana sebanyak 72% mengonsumsi konten dari media sosial. Dan ketiga, terkait digital spending. Menurut data Statista di 2019, pengguna Indonesia hanya mengeluarkan sekitar $30 untuk layanan digital per bulannya, dan kebanyakan untuk belanja di e-commerce. “Itu saja e-commerce, apalagi digital content. Makanya model subscription may not be best di Indonesia,” ucapnya.
Kendati demikian, ia menilai pandemi membawa momentum yang tepat untuk mengaplikasikan model micro payment, seperti yang dilakukan Fewcents dengan sistem pay per view. Terlebih, sistem pembayaran saat ini sudah semakin variatif dan memudahkan pengguna.
“Two years ago, the payment infrastructure that we see today or take for granted, actually not really there. And now all coming together in terms of timing, mereka mau mengonsumsi konten berkualitas dan ini menjadi suatu hal yang baik bagi micropayment.”
Pertumbuhan pasar logistik di Indonesia diprediksi semakin membaik di 2021. Prediksi tersebut sudah mempertimbangkan pada faktor situasi Indonesia saat ini dengan pemberlakuan kebijakan pembatasan sosial di sejumlah wilayah.
Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Zaldy Ilham Masita mengungkap sejumlah prediksi dan tren logistik yang bakal terjadi di Indonesia di tahun ini. Pertama, ia mengamati bahwa pelaku jasa logistik sudah mulai beradaptasi selama masa pandemi. Hal ini terlihat dari kemunculan layanan baru dan kolaborasi antara startup dan perusahaan logistik besar, terutama untuk mengakomodasi kebutuhan layanan kurir instan (on-demand).
“Di kuartal IV 2020, logistik sudah mulai naik karena spending masyarakat sudah mulai jalan. Di kuartal pertama 2021, memang agak mengkhawatirkan karena ada pemberlakuan pembatasan sosial kembali. Tetapi, kami optimistis karena selama enam bulan terakhir, [pelaku logistik] sudah terlatih untuk beradaptasi. Kami prediksi puncak [kenaikan] logistik terjadi di kuartal III dan IV 2021 sejalan dengan semakin banyak orang yang divaksin,” tuturnya dihubungi DailySocial.
Berdasarkan laporan Ken Research, pasar logistik Indonesia diestimasi mencapai nilai $200,3 miliar dengan CAGR 7,9% pada 2024. Nilai ini sudah termasuk untuk bisnis angkutan barang, pengiriman barang, warehouse, express and parcel (CEP), hingga cold chain logistic.
Kedua, ia memperkirakan kenaikan bisnis logistik di tahun ini akan banyak didongkrak oleh layanan same day delivery. Dengan situasi saat ini, ia memperkirakan tren tersebut dapat memacu pelaku industri logistik untuk mengevaluasi apakah durasi waktu pengiriman same day delivery yang sudah ada saat ini telah memenuhi ekspektasi pelanggan dan kompetitif secara bisnis.
Zaldy yang juga Direktur Utama Paxel bahkan mengaku akan mempertimbangkan temuan tersebut. Terlebih, Paxel yang merupakan startup platform jasa pengiriman logistik berbasis teknologi ini awalnya memulai layanan same day delivery dengan durasi pengiriman hingga 10 jam.
Layanan
Tarif Ja(bo)detabek
Durasi
GoSend
Rp2.815/km (0-6km), Rp 18.000 (6-15km), Rp1.200/km (>15km)
Max 4 jam terhitung setelah pick-up barang
Grab Express
Dimulai dari Rp15.000 (0-5km)
Max 6 jam (motor) terhitung setelah pick-up barang
Sumber: situs resmi Gojek, Grab, Paxel, MrSpeedy / Diolah kembali oleh DailySocial
“Sekarang, same day delivery di dalam kota hanya 2 jam. Selama beberapa tahun terakhir ini, ekspektasi customer naik signifikan. [Paxel] bahkan mengevaluasi lagi apakah same delivery berdurasi 8-10 jam masih bisa berkompetisi. Apalagi, ada yang lebih ekstrem dengan biaya lebih rendah. Ini berarti industri butuh inovasi lebih besar,” paparnya.
Tren same day delivery didorong oleh pengiriman makanan
Jika mengacu laporan The 2nd Series Industry Roundtable: Logistics Industry Perspective yang dirilis MarkPlus Inc pada Oktober 2020, frekuensi jasa kurir meningkat pesat selama masa pandemi. Peningkatan ini dipicu oleh sejumlah faktor utama antara lain kegiatan belanja online, harga, dan waktu pengiriman.
Selain itu, layanan same day delivery diekspektasi bakal meningkat lebih pesat penggunaannya pasca-pandemi (67,2%) dibandingkan layanan pengiriman regular (78,7%) meski porsinya masih lebih besar. Adapun riset ini diikuti oleh sebanyak 122 responden dari wilayah Jabodetabek (59,8%) dan non-Jabodetabek (40,2%).
Kemudian, responden juga memiliki ekspektasi utama terhadap pengiriman layanan yang tepat waktu (36,7%) dan penyedia jasa logistik dinilai perlu meningkatkan layanan pick-up di masa depan.
Ketiga, menurut pengamatan Zaldy, pasar logistik B2B sudah mulai berkurang porsinya dikarenakan terjadi shifting perilaku belanja dari offline ke online. Dorongannya semakin kuat ketika pandemi dan meningkatnya ekspektasi customer yang dinilai semakin ekstrem. Ia memperkirakan komposisi bisnis logistik di segmen B2C bakal naik porsinya dari 10% menjadi 25% di tahun ini.
“Keempat, tahun ini sekaligus menjadi ajang pembuktian untuk melihat mana model bisnis logistik yang berhasil, mana yang tidak. Model bisnis baru mungkin akan lebih banyak bermunculan karena banyak pasar baru yang belum terbuka, misalnya jasa pengiriman makanan,” jelas Zaldy.
Beberapa startup raksasa, seperti Gojek (GoFood), Bukalapak (BukaFood), dan Shopee (ShopeeFood) sudah mulai bersiap untuk memperkuat posisinya di segmen pasar ini. Perusahaan logistik besar SiCepat juga bahkan mencaplok 51% saham platform pengiriman makanan DigiResto demi mendorong kontribusi pendapatan dari pasar pengiriman makanan di Indonesia.
Mengutip hasil riset Momentum Works, GMV layanan pengiriman makanan (food delivery) mengalami percepatan pertumbuhan selama pandemi. Laporan ini mencatat GMV layanan pengiriman makanan di enam negara di Asia Tenggara mencapai $11,9 miliar di 2020.
Untuk pasar Indonesia saja, angkanya mencapai $3,7 miliar atau setara Rp52 triliun yang didominasi dua pemain besar, yakni Grab dan Gojek dengan porsi masing-masing sebesar 53% dan 47% dari total pangsa pasar.
Tantangan bagi perusahaan logistik legacy
Kelima, lanjut Zaldy, ia memperkirakan perusahaan logistik konvensional yang sudah lama beroperasi bakal sulit mengejar tren ke depan. Hal ini karena tidak mudah bagi perusahaan untuk melakukan transformasi atau membangun infrastruktur dalam waktu singkat. Kuncinya ada pada kolaborasi.
Setidaknya, sepanjang 2020 terdapat banyak kolaborasi yang terjadi antara startup dan korporasi. Misalnya, Ninja Xpress bermitra dengan Grab dan Gojek bermitra dengan Paxel. Kemitraan keduanya dilakukan untuk memperkuat jasa pengiriman barang antar-kota (intercity).
Menurut Zaldy, pandemi menjadi pembuka mata agar perusahaan logistik konvensional mau berkolaborasi. “Banyak perusahaan legacy konvensional susah mengejar bisnis karena sekarang ekspektasi customer jauh lebih tinggi. Kita lihat beberapa perusahaan konvensional, service-nya mungkin terancam karena sudah ada same day delivery,” ujar Zaldy.
Bahkan ia juga melihat tren baru yang bakal muncul akibat pandemi, yakni perusahaan non-logistik masuk ke sektor logistik. Blue Bird merupakan salah satu yang sudah melakukannya.
Perusahaan melakukan manuver ke logistik sejak kuartal II 2020 yang diperkuat dengan dukungan aset armadanya. Blue Bird juga mulai memperluas cakupan layanan logistiknya dengan menggandeng Paxel untuk pengiriman paket berukuran besar dengan layanan same day delivery.
“Kami menggunakan armada existing jadi secara cost [efisien]. Intinya, kami ingin berkontribusi pada layanan logistik di masa pandemi, terutama soal higienis yang kami terapkan sesuai standar kami,” ungkap Chief Strategy Officer Blue Bird Paul Soegianto kepada DailySocial.
Zaldy juga mencontohkan bagaimana tantangan ini bakal dihadapi oleh PT Pos Indonesia. Ia menilai infrastruktur yang dimiliki sudah tidak memungkinkan untuk mengejar ketertinggalan dengan penyedia jasa logistik, SiCepat misalnya.
“Akan tetapi, [model seperti] PT Pos Indonesia bisa memanfaatkan infrastruktur dari platform lain, seperti Anteraja. Artinya, first mile dan middle mile bisa saling berkolaborasi, sedangkan kompetisinya ada di last mile,” tambahnya.
Dampak merger Gojek dan Tokopedia terhadap industri logistik
Keenam, ia memperkirakan rencana merger Gojek dan Tokopedia dapat memberikan dampak besar terhadap industri logistik Indonesia. Dan, menurutnya yang bakal terdampak signifikan adalah perusahaan logistik konvensional.
“Merger keduanya bakal membuat perusahaan legacy ‘berkeringat’. Kenapa? Susah membuat perusahaan legacy untuk mengubah model bisnis bisnis, apalagi yang sudah memiliki ribuan armada kurir dan hub. Kecuali mereka punya sistem IT atau teknologi yang bagus, ini bakal sulit. Blue Bird itu satu contoh perusahaan legacy yang sistemnya sudah siap. Pertanyaannya adalah apa mereka sudah mengerjakan ‘PR’-nya?” ucap Zaldy.
Dalam artikel terpisah, Founder dan CEO DailySocial Rama Mamuaya beropini bahwa merger keduanya dapat memberikan dampak besar bagi konsumen dan industri. Dikatakan Rama, kawin silang produk yang saling melengkapi akan menjadi sangat fantastis bagi konsumen. Terlebih, keduanya telah memiliki infrastruktur e-commerce, transportasi, hingga keuangan yang terintegrasi dalam satu aplikasi.
“Saat ini, kita sudah menikmati sistem pengiriman di hari yang sama.
Integrasi antara Gojek dan Tokopedia dapat menciptakan sesuatu yang lebih mengunggah, misalnya pengiriman instan ala Amazon Prime dalam hitungan jam, membantu mendorong transaksi ecommerce, hingga meningkatkan utilisasi pengemudi sehingga lebih ekonomis sebagai bisnis,” paparnya.
Berdasarkan laporan Corporate Digital Transformation yang disusun DSResearch, pandemi Covid-19 dinilai mempengaruhi transformasi digital perusahaan. Kondisi seperti saat ini mendorong percepatan pengembangan inovasi, khususnya yang berkaitan dengan pelanggan.
DailySocial mencoba mencari tahu kesiapan dan sejauh mana korporasi mendukung transformasi digital dan apakah pandemi menjadi faktor penentu yang mempercepat proses tersebut.
Membawa peluang baru
Menurut survei yang dilakukan Vanson Bourne untuk VMWare, terdapat tiga pilar yang menjadi fokus saat melakukan transformasi digital, yaitu meningkatkan efisiensi bisnis (48%), meningkatkan pengalaman pengguna (42%), dan meningkatkan teknologi yang dimiliki saat ini (39%).
Pengamat inovasi bisnis teknologi dan CEO DailySocial Rama Mamuaya mencoba menambahkan satu pilar fokus lagi, yaitu peluang bisnis baru.
“Mungkin saya akan menambahkan New Business Opportunities, di mana korporasi mempelajari adanya shift in consumer behavior and create an entirely new business model to accommodate that opportunity. Kebanyakan korporasi hanya fokus improving the current business, tapi lupa bahwa pasar sudah berubah, untuk itu new business process and new business model is required. Contohnya ya Netflix,” kata Rama.
Meskipun penerapan transformasi digital menjadi krusial, tidak berarti banyak korporasi yang telah melakukannya. Pandemi mendorong kegiatan ini menjadi lebih masif.
IT Services Director Lintasarta Ginandjar Alibasjah mengatakan, “Menurut saya pandemi menjadi pemancing yang cukup efektif untuk mempercepat proses transformasi digital jika didukung dengan ramuan atau olahan cerdas antara teknologi dan talenta yang ada saat ini di tanah air.”
Tidak hanya korporasi yang sudah berusia 32 tahun seperti Lintasarta, yang harus melakukan transformasi digital. Perusahaan konvensional di berbagai sektor perlu mempertimbangkan langkah ini.
Menurut Plt. Direktur Ekonomi Digital Kominfo I Nyoman Adhiarna, transformasi digital sudah harus menjadi bagian dari roadmap korporasi agar ke depannya perusahaan bisa tetap bertahan dan bisa bersaing dengan yang lain. Inovasi harus sejalan dengan visi dan misi perusahaan agar perusahaan bisa tetap relevan.
“Saya melihat private sector sudah memiliki kemampuan lebih untuk bisa mewujudkan semua, namun dalam hal ini masyarakat juga harus didukung agar proses tersebut bisa berjalan secara sukses. Dalam hal ini pemerintah harus membantu baik dalam hal infrastruktur hingga hal terkait lainnya, terutama di daerah yang masih kesulitan untuk mengakses teknologi,” kata I Nyoman.
Teknologi, proses, dan talenta yang tepat
Transformasi digital tentu saja tidak mudah dilakukan. Ada beberapa tantangan yang menghambat kemajuan mereka. Tantangan yang lebih umum terkait proses dan teknologi — dua dari tiga pilar utama dari setiap upaya transformasi digital.
Kunci sukses lain yang mempengaruhi kesuksesan transformasi digital adalah talenta atau tim. Korporasi yang tidak menempatkan orang yang tepat di posisi yang tepat bisa menghambat terjadinya transformasi digital.
“Menurut saya, selain tools, korporasi juga harus fokus kepada kultur. Transformasi digital itu intinya adalah tentang culture of experimentation, culture of user-focused and data-driven decision making, and the culture of innovation,” kata Rama.
Salah satu perubahan kultur yang coba dikembangkan Pegadaian, BUMN yang berusia lebih dari 100 tahun, adalah dengan menggabungkan talenta pro-hire dan talenta existing dengan komposisi 20% : 80%.
“Dengan menerapkan langkah strategis tersebut kita ingin produk dan kultur mendatangkan inovasi termasuk adopsi dan akselerasi. Saat ini banyak sekali perusahaan besar hanya mengikuti saran dari konsultan. Masalahnya adalah dengan melakukan proses tersebut saat melakukan transformasi, tidak ada drive atau keinginan yang cukup kuat untuk menciptakan inovasi,” kata VP of Digital Business Partnership & Development PT Pegadaian (Persero) Herdi Sularko.
Perusahaan inovasi DailySocial.id hari ini mengumumkan peluncuran program inkubator startup DSLaunchpad. Program ini diklaim sebagai yang terbesar karena menginkubasi 100 startup teknologi secara bersamaan menggunakan platform online. DSLaunchpad akan berlangsung selama 4 minggu, mulai dari 20 April hingga 15 Mei 2020.
Pendaftaran dibuka mulai hari ini hingga 10 April 2020 mendatang menggunakan platform Orchestra DSLaunch yang telah diluncurkan Maret silam.
CEO Rama Mamuaya secara langsung mengorganisir program ini. Ia mengatakan, “Kami melihat adanya ketidakseimbangan antara acara dan program edukasi teknologi dan startup antara di DKI Jakarta dan di provinsi lain. Tujuan utama dari program DSLaunchpad ini adalah untuk membuktikan bahwa kesempatan untuk menjadi founder startup dimiliki oleh semua orang Indonesia tanpa terkecuali.”
Dalam pelaksanaannya, DSLaunchpad menggandeng berbagai mentor dan perusahaan modal ventura ternama. Kevin Aluwi (Co-CEO Gojek), Fajrin Rasyid (Presiden Bukalapak), Izak Jenie (CEO Jas Kapital), Dyota Marsudi (Executive Director Vertex Ventures), Dondy Bappedyanto (CEO Biznet Gio), dan Andy Zain (Partner Kejora Ventures) adalah sebagian dari mentor yang terlibat dalam program ini.
Di akhir masa inkubasi, para startup peserta program akan mempresentasikan startupnya ke VC partners melalui video call untuk mendapatkan timbal balik pasca program. East Ventures, BRI Ventures, dan MDI Ventures termasuk dalam jajaran VC ternama yang menjadi VC partners DSLaunchpad.
“Knowledge transfer ini penting dan merupakan tujuan utama dari program DSLaunchpad. Investasi dari para VC hanya bonus saja,” ujar Rama.
DSLaunchpad menjadi sumbangsih DailySocial.id untuk membantu para penggiat startup teknologi Indonesia. Diharapkan program ini benar-benar dimanfaatkan para penggiat teknologi se-Indonesia untuk belajar, bertumbuh dan nantinya memberikan timbal balik bagi bangsa dan negara.
“Ini kontribusi kami untuk Indonesia di masa-masa sulit seperti sekarang. Jadi selama masyarakat sedang mendukung program #DiRumahAja, bisa juga mewujudkan mimpi untuk mendirikan startup digital,” pungkas Rama.
Selama ini valuasi menjadi acuan utama para pemodal ventura dalam berinvestasi pada sebuah perusahaan. Metrik ini menentukan nilai sebuah perusahaan dan seberapa besar potensi bisnisnya. Salah satu terminologi yang erat dikaitkan dengan valuasi adalah unicorn, disematkan pada perusahaan dengan nilai valuasi di atas $1 miliar. Meskipun demikian, apakah valuasi menjadi satu-satunya ukuran pertumbuhan bisnis sebuah startup?
Industri VC atau Venture Capital sendiri masih tergolong muda di Indonesia dan baru mulai aktif dalam satu dekade terakhir. Masing-masing VC punya penilaian tersendiri dalam menentukan portfolio. Valuasi menjadi hal yang sangat penting bagi model bisnis ini untuk memproyeksikan rasio pengembalian (rate of return) investasi mereka. Hal ini yang juga membuat para investor berani mengasah nilai valuasi setinggi-tingginya demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
Di akhir tahun 2019 lalu, kita sempat dikejutkan dengan isu beberapa startup unicorn, seperti WeWork, Uber, dan OYO yang mengalami permasalahan bisnis. Siapa sangka jika perusahaan dengan valuasi tinggi dan didukung investor besar bisa tersandung masalah finansial. Ternyata valuasi saja tidak bisa menjamin keberlangsungan bisnis sebuah perusahaan.
Berbagai isu mengenai valuasi startup membuat para penyuntik dana ketar-ketir. Faktanya startup tak hanya tentang valuasi. Terdapat sejumlah faktor yang membentuk sebuah perusahaan sampai pada tahapannya saat ini.
Fundamentalvalue
Sebelum masuk ke ranah valuasi, terdapat peran esensial yang ada dalam perusahaan itu sendiri, yaitu founder. Sebelum menyuntik dana ke perusahaan, investor harus terlebih dulu menanam kepercayaan pada founder. Ketika keduanya sudah align, barulah bisa masuk ke pembicaraan mengenai valuasi.
Peran seorang Founder, yang kerap merangkap CEO bisa diibaratkan sebagai seorang nahkoda yang bertugas menentukan arah perusahaan, namun tanpa kapasitas yang mumpuni bisa menenggelamkan kapal yang telah dibangun sedemikian rupa.
Iklim bisnis yang positif di Indonesia juga turut mengambil peran dalam perkembangan industri startup. Lima unicorn menjadi bukti serta menunjukkan pasar yang semakin mature.
Co-founder dan Direktur Tokopedia Leontinus Alpha Edison mengatakan, “Founder dalam satu dekade terakhir harusnya memiliki kualitas yang lebih baik, didukung dengan penetrasi internet dan mobile yang sudah terbangun, serta akses pada pendanaan yang lebih mudah.”
Tahapan pendanaan
Dalam praktiknya ada beberapa tahapan dalam pertumbuhan bisnis startup. hal ini turut mempengaruhi investasi dan valuasi perusahaan. Masing-masing pemodal ventura memiliki fokus tersendiri. Ada yang lebih fokus ke early stage, yang lain memilih bermain aman dengan investasi pada later stage.
Kepada DailySocial, Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengatakan, “Setiap tahapan startup memiliki metrik yang berbeda. Di tahap awal kami akan memantau adopsi pengguna, selanjutnya akan lebih fokus pada unit ekonomi. Tidak ada aturan tunggal yang bisa berlaku untuk semua.”
Di sisi lain, dengan banyaknya jenis modal ventura yang ada, masing-masing punya strategi tersendiri dalam mengisi portfolio. Salah satunya dari Corporate Venture Capital (CVC), yang lebih fokus pada strategi dan potensi pemanfaatan aset.
CEO Telkomsel Mitra Inovasi (TMI), dana kelolaan milik Telkomsel, Andi Kristianto mengatakan, “Sebagai modal ventura korporasi, kami lebih fokus pada later stage. Dengan aset yang begitu banyak, kami berharap investasi ini bisa disalurkan pada semua vertikal startup yang relevan dengan core business kami.”
Strategi Investor
Menanggapi isu WeWork dan Uber, Willson tidak melihat kasus ini berdampak signifikan dengan kondisi di tanah air. Sebagai pemodal ventura, ia memandang memang ada nilai-nilai yang harus dipegang teguh agar kelak tidak tersandung persoalan seperti ini.
“Kami memahami bahwa disiplin finansial itu penting dan kami hanya akan memberikan valuasi yang fair kepada model bisnis, inovasi, serta penciptaan nilai yang baik,” tambah Willson.
Menurut pemaparan CEO DailySocial Rama Mamuaya, data menunjukkan adanya penurunan jumlah startup yang menerima pendanaan. “Tidak lagi menyuntik dana sedikit-sedikit di beberapa perusahaan, tetapi invest ke sebuah perusahaan dalam jumlah besar,” ujarnya.
Hal ini bisa berarti para investor semakin selektif dalam berinvestasi. Untuk pendanaan dalam jumlah besar tentu saja tidak cukup hanya melihat valuasi. Dibutuhkan metrik lain untuk bisa mendapatkan kepercayaan dari sisi investor, salah satunya adalah founder yang berkualitas.
“Tidak hanya financial gain, tapi juga fundamental value,” ujar Andi.
Dalam kasus WeWork dan Uber, ketika valuasi sudah terlanjur (terlalu) tinggi, ada beberapa strategi yang bisa jadi solusi. Mengganti CEO bisa jadi adalah solusi yang paling memungkinkan, tapi solusinya bisa berbeda terkait model bisnis masing-masing perusahaan.
Modal ventura adalah bisnis yang sarat risiko. Dengan berbagai isu negatif terkait investasi, wajar jika para investor sangat berhati-hati dalam menggelontorkan dana. Permainan valuasi tetap harus diimbangi dengan struktur organisasi dan ekosistem yang mumpuni.