Tag Archives: Ransomware

Acronis Luncurkan True Image 2020: Melindungi dari Malware dengan Backup

Di dunia yang sebagian besar sudah menggunakan akses komputer untuk bekerja saat ini tentu saja tidak luput dari ancaman keamanan. Apalagi, saat ini sudah banyak ancaman yang datang dari Ransomware, sebuah malware yang melakukan enkripsi secara otomatis dan meminta uang untuk membukan kuncinya. Tentunya, perusahaan harus merogoh kocek yang tidak sedikit untuk terhindar dari aksi kejahatan seperti ini.

Penggunaan software anti virus memang saat ini sudah merupakan sebuah keharusan. Akan tetapi, sering kali anti virus hanya dapat menangkal pada saat ransomware menyerang sebuah komputer. Itu pun jika database malware anti virus tersebut sudah dapat mendeteksi ransomware tersebut.

Acronis 2020 - Launch

Anti virus juga seringkali tidak bisa menanggulangi ransomware. Jika kunci enkripsi belum ada, software anti virus hanya akan menghapus file yang sudah terjangkit malware. Selain serangan malware, setiap data pasti akan hilang. 25% kasus kehilangan data biasanya disebabkan oleh kesalahan pengguna. Selain itu, kerusakan hardware juga menjadi penyebab sebuah data hilang begitu saja.

Satu-satunya langkah preventif yang harus dilakukan adalah melakukan backup. Namun, melakukan penyalinan data memang memiliki tingkat kesulitan yang mungkin tidak dapat dilakukan oleh orang awam. Selain itu, tingkat keamanan dari data yang tersalin juga rentan di hack oleh tangan jahil. Dan terakhir, biaya untuk melakukan backup juga ternyata tidak murah.

Masalah-masalah yang ada tersebutlah yang membuat Acronis kembali meluncurkan versi baru dari software penyalin datanya, yaitu True Image 2020. Di Indonesia, Acronis pun memperkenalkan produk barunya dengan mengundang DailySocial pada Hotel Ritz Carlton Mega Kuningan pada tanggal 5 November 2019.

Acronis 2020 - true image

Pada versi 2020 ini, Acronis pun menambah beberapa peningkatan dibandingkan versi sebelumnya. Yang pertama adalah kemampuan untuk mereplika salinan yang ada di komputer langsung ke cloud secara otomatis. Selain itu, pada True Image 2020 terdapat notifikasi agar pengguna dapat terus memonitor salinan data dan bisa menyelesaikan jika ada permasalahan keamanan.

True Image 2020 juga memiliki kecepatan replika data hingga 2 kali lipat dibandingkan versi sebelumnya. Fungsi Anti-malware juga telah tersedia, termasuk untuk menghentikan service saat malware akan menyerang. Dan jika pengguna memiliki dua koneksi, True Image 2020 juga akan menanyakan pada jaringan mana yang akan digunakan untuk melakukan backup.

Acronis juga mengklaim bahwa True Image saat ini sudah lebih baik dari Time Machine miliki Apple. Saat ini, pengguna Mac bisa langsung melakukan restorasi data dari volume APFS. Selain itu, pengguna juga bisa memilih apakah mereka mau melakukan backup pada saat perangkatnya masuk ke dalam mode Power Nap.

Dibandingkan dengan para pesaingnya, Acronis ternyata juga lebih efisien. True Image mampu melakukan backup dari Office 365 dan juga Virtual Machine. Dan Acronis juga mematok harga yang lebih murah dari para pesaingnya seperti Backblaze, Carbonite Safe, dan iDrive.

Acronis 2020 - Ransomware

Acronis memiliki tiga paket penjualan True Image 2020 untuk digunakan pada satu, tiga, atau lima PC. Untuk versi standar, Acronis menjual lisensinya pada harga $49.99 per PC. Sedangkan untuk versi Advanced dan Premium yang menghadirkan penyimpanan cloud sebesar 250 GB dan 1 TB, harganya adalah $49.99 per PC per tahun dan $99.99 per PC per tahun.

PT. Optima Solusindo Informatika selaku pemegang lisensi Acronis True Image di Indonesia mengatakan hal yang berbeda. Di Indonesia, harga lisensi dari True Image 2020 jual dengan harga yang sekitar 50% lebih murah. Selain itu, bekerja sama dengan e-commerce Bhinneka, setiap pembelian laptop pada toko online tersebut akan langsung mendapatkan Acronis True Image 2020 di paket penjualannya.

PT. Optima menargetkan untuk bisa menjual sekitar 5000 lisensi bersama Bhinneka. Hal tersebut berarti ada target sekitar 60.000 lisensi Acronis True Image 2020 yang bakal terjual bersamaan dengan laptop di Bhinneka.

Mencoba True Image 2020

Untuk merasakan bagaimana True Image 2020 melakukan penyalinan data, tentu saja hal pertama yang harus dilakukan adalah menginstalnya ke dalam komputer pribadi. Melakukan download file sebesar 500 MB memang memakan waktu sekitar 7-10 menit, namun yang lebih lama menunggu adalah melakukan instalasinya, bisa mencapai 15 menit sendiri!

Setelah instalasi selesai, kita pun akan dibawa ke sebuah tutorial. Jika pernah menggunakan True Image sebelumnya, maka melakukan backup data akan menjadi sangat mudah. Apalagi mereka yang sering melakukan cloning HDD, True Image memang bisa menjadi andalan.

Acronis 2020 - Software

Saat memilih menu Backup, maka pengguna akan ditanyakan mengenai sumber data yang akan disalin, apakah di hard disk, mobile, cloud, dan lain sebagainya. Kita bisa melakukan backup untuk seluruh hard disk atau hanya sebagian file saja. Tentunya untuk sebuah perusahaan, melakukan perlindungan secara keseluruhan akan menjadi prioritas utama.

Setelah itu, kita akan ditanya di mana kita akan menempatkan salinan datanya. Untuk menyalin ke cloud Acronis, tentu saja kita harus membeli paket penjualannya. Untuk pengguna rumahan, sepertinya penyalinan data ke sebuah hard disk eksternal bisa dilakukan dengan mudah. Setelah itu, klik saja Backup Now dan True Image 2020 akan melakukan tugasnya.

Acronis 2020 - Software Sumber Backup

Ternyata, melakukan backup data cukup mudah dengan True Image 2020 ini. Namun, jangan lupa untuk melakukan cek pada pilihan-pilihan backup-nya. Toh, kita tidak butuh untuk menyalin file-file sementara dari Windows seperti file Hibernasi, Pagefile.sys, dan lain sebagainya.

AV Test: Anti Malware Gratis Windows Defender Sudah Cukup untuk Melindungi PC

Sistem operasi Windows 10 saat ini memang merupakan sistem operasi yang cukup populer dan banyak digunakan pada perangkat desktop maupun laptop. Selain sangat mudah untuk digunakan, pilihan bundling dengan laptop baru juga merupakan penyebab orang memilih sistem operasi yang satu ini.

Akan tetapi, satu hal yang cukup menghantui para pengguna komputer dengan sistem operasi Windows 10 adalah malware. Malware pada sistem operasi ini merupakan yang paling banyak di antara semua sistem operasi.

Microsoft sendiri pernah membeli beberapa perusahaan anti malware untuk bertarung dengan malware yang merusak PC dan merugikan. Hasilnya adalah Microsoft mengeluarkan software anti virus bernama Security Essential yang berubah menjadi Windows Defender.

Windows Defender yang dapat dikatakan gratis ini memang berfungsi untuk melindungi komputer dari serangan malware, termasuk virus dan ransomware. Namun, banyak yang meragukan kemampuannya karena gratis, karena gratis dianggap tidak akan berjalan sebagaimana mestinya.

AV Test, sebuah institusi asal Jerman yang selalu melakukan pengujian terhadap keamanan, ternyata berkata sebaliknya. Pada pengujian yang dilakukan pada bulan Juni lalu, mengklaim bahwa Microsoft Windows Defender memiliki kemampuan yang tidak kalah dengan anti malware berbayar.

AVTest

AV Test menguji sekitar 18 program anti malware yang ditujukan kepada pengguna rumah. Pengujian dilakukan dengan memberikan sekitar 5600 malware yang ditemukan selama empat minggu sebelum pengujian. Selain itu, terdapat 255 malware yang ditemukan kurang dari 24 jam juga masuk dalam tahap pengujian.

AV Test memberikan angka 6 sebagai angka tertinggi di setiap pengujian. Dengan total tiga pengujian, yaitu Proteksi, Performa, dan Penggunaan, nilai tertinggi akan mendapatkan 18 poin. Microsoft Windows Defender sendiri mendapatkan nilai 17,5 dari pengujian.

AVTest Protection

Nilai yang didapat ini tentu menggunakan update terakhir dari Windows Defender. Pada update bulan Mei, nilainya tidak sebaik update bulan Juni dari sisi performa, namun pengujian proteksinya memang sudah yang paling tinggi.

Windows Defender juga mampu mendeteksi malware dengan sangat baik pada update terakhirnya. Pengujian AV Test menunjukkan bahwa anti malware gratis ini tidak pernah salah mendeteksi sebuah malware.

AVTest Performance

Dengan nilai 17,5 ke atas, AV Test memberikan penghargaan “Top Product“. Hal tersebut diraih Windows Defender bersama dengan Ahnlab V3 Internet Security 9.0,  Avast Free AntiVirus 18.3 & 18.4. AVG Internet Security 18.3 & 18.4, Avira Antivirus Pro 15.0, Bitdefender Internet Security 22.0, Kaspersky Internet Security 18.0 & 19.0, McAfee Internet Security 21.1 & 21.2, Windows Defender 4.12, eScan Internet Security Suite 14.0, Norton Security 22.14, dan VIPRE AdvancedSecurity 10.1.

Hal ini tentu saja membuat para pengguna Windows 10 yang tidak memiliki dana berlebih bisa menggunakan perangkatnya dengan lebih tenang. Tidak perlu lagi menggunakan anti malware lain karena perlindungan maksimal sudah didapatkan.

AVTest Usability

Akan tetapi bagi para pengguna komputer di perusahaan-perusahaan besar, Windows Defender belum tentu cukup untuk memenuhi kebutuhan keamanan.

Sumber: AV Test.

Meski Kalem, Ransomware Petya Lebih Berbahaya Ketimbang WannaCry

Serangan ransomware meningkat dalam beberapa bulan terakhir. WannaCry menjadi malware yang paling menakutkan. Yang menarik, beberapa malware yang menyerang berbasiskan pada tool hack NSA yang bocor dan kemudian dirancang ulang oleh oknum tertentu untuk menyerang Windows versi lawas. Microsoft telah memberikan perhatian khusus atas serangan WannaCry dan juga ransomware terbaru bernama Petya. Dalam analisis mendalam yang mereka lakukan, mereka mendapati bahwa sebagian besar sistem yang terinfeksi menggunakan OS Windows 7.

Laporan tersebut mengatakan bahwa ransomware Petya muncul pertama kali di Ukraina dengan angka infeksi mencapai 70% dari total PC yang terinfeksi secara global. Namun menurut Microsoft, skala serangan Petya jauh lebih kecil dibandingkan WannaCry, dengan jumlah komputer  yang terinfeksi sebanyak 20.000 unit. Meski begitu, Microsoft memberikan garis bawah, bahwa Petya dirancang untuk menargetkan korban tertentu seperti organisasi dan perusahaan berskala besar di Eropa.

Raksasa Redmond juga menyatakan bahwa setiap malware yang baru muncul mempunyai kemampuan yang lebih menakutkan yang dirancang untuk mengelabui sistem keamanan komputer. Jadi cukup masuk akal mengapa Microsoft mendorong perusahaan dan organisasi dunia untuk melakukan upgrade ke sistem operasi yang lebih baru, tentu saja Windows 10. Persentase yang ada menunjukkan OS paling anyar Microsoft ini relatif lebih kebal terhadap berbagai serangan dengan algoritma terbaru.

02-petya-kill-chain-diagram1

Di kasus Petya ini misalnya, Microsoft mengatakan kendati skala serangan Petya tidak sebesar WannaCry, namun varian ini lebih kompleks ketimbang aslinya. Petya mempunyai mekanisme penyebaran yang lebih berbahaya ketimbang WannaCry dengan menggunakan serangan kedua dan menambahkan metode propagasi. Selain mampu menyusup ke celah yang dimanfaatkan oleh WannaCry, Petya juga mampu mengeksploitasi Windows Management Instrumentation (WMI) dan PSExec sehingga komputer dengan sistem operasi Windows yang telah diperbarui sekalipun, bisa diinfeksi oleh Petya. Kemampuan lateral ini membuat ransomware Petya jauh lebih berbahaya bagi komputer dan jaringan.

Sumber berita Microsoft via SoftPedia dan header Pixabay.

Laporan Kaspersky Sebut Windows XP Justru Bertahan dari Serangan WannaCry

Ketika Ransomware WannaCry menghantam sejumlah negara, banyak orang yang menggunakan Windows XP dibuat panik. Banyak pihak juga menilai versi Windows ini sebagai pengguna yang paling terancam keamanannya. Bahkan Microsoft rela membuatkan patch dadakan yang ditujukan untuk Windows XP yang notabene sudah dihentikan dukungannya.

Tetapi faktanya tidak demikian. Menurut laporan dua perusahaan keamanan, Kaspersky Lab dan BitSight, bahwa mayoritas perangkat yang terkena infeksi WannaCry justru perangkat yang menjalankan sistem operasi Windows 7. Berdasarkan grafik yang dirilis oleh Kaspersky, Windows 7 x64 Edition menjadi korban terbanyak mencapai 60,35% sedangkan Windows 7 jadi korban terbanyak kedua dengan persentase 31,72 lalu di tempat ketiga masih versi Windows 7 Home x64 dengan persentase 3,67.

Jika ditotal 97% perangkat yang terinfeksi secara global menggunakan Windows 7, kata Costin Raiu director of global research and analysis Kaspersky Lab. Raiu juga mengatakan justru perangkat Windows XP yang terinfeksi hanya dalam jumlah yang sangat kecil. Bahkan jika diamati dari grafis di atas, Windows 10 masih lebih terdampak akibat dari infeksi WannaCry ketimbang Windows XP.

Laporan ini memang didapatkan hanya dari perangkat yang menggunakan aplikasi Kaspersky, bukan dari seluruh pengguna Windows. Pun begitu, data Kaspersky didukung oleh laporan dari BitSight yang kurang lebih menemukan pola yang serupa. Perusahaan yang bermarkas di Amerika itu telah menganalisa 160.000 komputer dan menemukan 67% perangkat yang terinfeksi menggunakan sistem operasi Windows 7.

Jika kembali ke masa ketika WannaCry sedang merajalela, Windows  XP adalah sistem operasi terakhir yang memperoleh patch dari Microsoft. Sedangkan Windows 7 sudah lebih dulu kebagian jatah pada bulan Maret lalu. Ketimpangan ini terjadi karena memang Microsoft sudah menghentikan dukungan update untuk Windows XP sejak tahun 2014 lalu. Keputusan Microsoft menggulirkan update patch tak lain karena merasa ikut bersedih melihat banyaknya korban yang berjatuhan.

Untuk mencegah infeksi Ransomware WannaCry, DailySocial juga sudah pernah mengangkat beberapa tipsnya untuk Anda. Silahkan baca di sini.

Sumber berita Sofpedia dan gambar header Pixabay.

“Ransomware” dan Keterbukaan untuk Melakukan Perbaikan

Isu serangan perangkat tebusan (ransomware) berjenis WannaCry‎ ditanggapi beragam oleh banyak pihak, tak terkecuali oleh jajaran pemerintahan di Indonesia. Saat pemberitaan tentang WannaCry‎ memuncak (sekitar 14-15 Mei yang lalu), Kemenkominfo pun sebagai lembaga negara di bidang pengelolaan layanan digital turut memberikan instruksi teknis seputar proses pengamanannya (tidak kami terangkan di sini, karena broadcast tentang sebaran tersebut mungkin juga sudah ada di ponsel Anda).

Tanggapan juga keluar dari parlemen, disampaikan oleh Anggota Komisi XI DPR Donny Imam Priambodo, menurutnya Indonesia perlu membangun pipa saluran utama satu pintu untuk memonitor ragam bentuk serangan siber, dan memiliki sistem operasi yang dikembangkan sendiri. Pertimbangan yang disampaikan Donny, jika terjadi serangan mirip WannaCry dengan intensitas yang lebih besar maka risikonya mematikan roda perekonomian.

‎”Bayangkan jika semua sudah memakai sistem operasi dari sebuah pabrikan lalu sudah masif dipakai dan mempengaruhi jalannya kehidupan sebuah negara, lalu seketika berhenti bersama-sama, apakah itu tidak membuat negara kacau balau. Ini yang harus dipikirkan,” ujar Donny seperti dikutip laman Liputan6.

Lalu apakah benar bahwa yang perlu kita lakukan seperti apa yang dikatakan oleh Donny: memiliki satu pintu utama untuk saluran siber dan membuat sistem operasi sendiri? Mari kita bahas satu per satu.

Keniscayaan dari kecanggihan teknologi dan unsur kejahatan yang mengikuti

Serangan virus komputer berbahaya tidak hanya terjadi saat ini saja. Jika mengikuti perkembangan teknologi komputer dan internet, mungkin cerita tentang Morris Worm akan begitu melekat. Virus ini keluar di era awal ditemukannya internet, tepatnya sekitar tahun 1988. Virus yang diciptakan oleh seorang mahasiswa Cornell University bernama Robert T. Morris ini awalnya berdalih ingin mengukur kecepatan internet. Namun menggunakan kelemahan yang ada di sistem Unix saat itu, virus tersebut menyebar melalui internet dan melumpuhkan sekurangnya 6 ribu komputer saat itu, mengakibatkan kerugian hingga $100 juta, dan masih banyak lagi cerita serupa.

Lalu coba kita menelisik lebih dalam sebenarnya apa yang mendasari sebuah serangan siber diupayakan. Tak lain karena urgensi peralatan komputasi untuk menunjang laju bisnis, terlebih saat ini peralatan berbasis komputer dan internet sudah menjadi “DNA” dalam proses bisnis. Microsoft sendiri dalam berbagai keterangan persnya menyebutkan, bahwa sistem operasi besutannya, korban serangan WannaCry didominasi oleh pengguna Windows, sudah sejak lama merilis pembaruan sistem keamanan untuk mencegah dari serangan perangkat tebusan. Sayangnya tidak semua pengguna aware untuk memperbarui sistem operasi di komputernya.

Kembali ke apa yang diungkapkan oleh Anggota Komisi XI DPR di atas, pertama tentang diperlukannya satu kanal terpusat untuk lalu lintas siber sehingga memudahkan pemantauan. Secara kasat mata pernyataan tersebut menimbulkan beberapa pertanyaan: (1) apakah teknologi kita akan mampu menangkis jika ada serangan yang lebih besar, (2) skemanya seperti apa, dan (3) apakah corong terpusat itu justru tidak akan menimbulkan potensi bencana yang lebih besar.

Sepemahaman kami, dengan perumpamaan sederhana, yang dimaksud dengan pipa saluran utama itu adalah sebuah “kebijakan” yang mengharuskan semua transaksi –khususnya di konektivitas internasional—melewati satu “gerbang” terpusat.

Dengan standar sistem dan kompetensi yang kuat, akan berimplikasi pada sebuah penyaringan yang ketat terhadap ancaman serangan siber. Namun risiko besar pun tetap akan menghadang tatkala sistem penjagaan tersebut ambruk, atau justru menjadi sarana yang justru dimanfaatkan penjahat siber.

Untuk konektivitas saat ini tidak ada batasan –dibatasi pun selalu ada celah untuk melewati, contoh paling sederhana tentang pemblokiran situs dan teknologi VPN. Padahal jika dikembalikan kepada asal mula permasalahan, serangan seperti perangkat tebusan dapat dicegah dengan disiplin yang kuat pada kebijakan pengamanan perangkat di perusahaan.

Pada sistem komputasi berstandar korporasi, ada sebuah tren yang disebut dengan BYOD (Bring Your Own Devices). Bukan semudah membiarkan karyawan bekerja dengan perangkat yang dimiliki, dan tanpa konsiderasi khusus, melainkan kebijakan tersebut muncul karena sudah dimungkinkan pemantauan dan kontrol perangkat mobilitas pengguna dari ancaman serangan siber. Hampir semua vendor teknologi dunia saat ini memiliki solusi untuk tren tersebut, dan banyak menggembor-gemborkannya pula, karena implikasinya pada peningkatan produktivitas.

Salah satu keuntungan dari teknologi yang mendampingi tren BYOD adalah kemudahan tim teknis perusahaan untuk selalu memastikan kualitas perangkat lunak di perangkat pengguna. Artinya jika ada kemauan, perlindungan tersebut sangat mungkin untuk dilakukan.

Di sini yang menjadi kesimpulan adalah bahwa perlindungan terhadap kemungkinan serangan siber yang paling efektif justru dilakukan dari sisi pengguna akhir. Terdapat sekat pemisah antara kebijakan perlindungan terkait dengan serangan bersifat individu ataupun serangan yang berskala nasional. Sedangkan perangkat tebusan masih sangat mungkin dihadapi dengan perlindungan di level individu tersebut.

Yang perlu diketahui dari sebuah komponen sistem operasi

Kemudian berlanjut pada pernyataan kedua tentang kepemilikan sistem operasi komputer yang dikembangkan sendiri. Sebagai informasi, inisiatif pengembangan sistem mandiri oleh pengembang di Indonesia sudah digalakkan sejak lama, sebut saja BlankOn, sebuah distro Linux yang didesain dan dikembangkan sedemikian rupa menyesuaikan kebutuhan masyarakat Indonesia. Sejauh ini masih banyak digunakan di kalangan komunitas dan pecinta teknologi open source.

Sistem operasi –sebut saja Windows atau Mac OS—selain aspek teknis pada baris kode untuk setiap fungsionalitas, ada berbagai aspek lain yang mencoba selalu diunggulkan, misalnya terkait kebijakan privasi pengguna, penanganan pengembalian data, pembaruan unsur keamanan, kemampuan integrasi dengan sistem lainnya, hingga kompatibilitas dengan berbagai perangkat lunak dan keras yang umum digunakan. Sekompleks itu. Dibutuhkan perancangan, arsitektur, teknologi, hingga tatanan sistem yang sangat detail untuk melahirkan sebuah sistem operasi berstandar.

Sementara perusahaan pengusung sistem operasi selalu memiliki divisi keamanan yang berperang melawan gangguan dan ancaman yang selalu datang, berjaga setiap saat. Perusahaan khusus yang menawarkan keamanan juga bekerja untuk pengamanan sistem.

Urgensi pembuatan sistem operasi sendiri tampaknya bukan sebagai solusi yang pas, baik untuk jangka pendek ataupun jangka panjang, kecuali negara berminat mengakuisisi Microsoft dan Symantec Corporation. Valuasi Microsoft sudah mencapai lebih dari $550 miliar dan pengembang antivirus Norton bervaluasi senilai $5.27 miliar.

Kebijakan birokrasi bisa menjadi solusi, dengan melahirkan sebuah SOP bertaraf nasional untuk kualitas pengamanan data. Di sini pembaruan juga penting dilakukan, seiring dengan dinamika dunia siber yang selalu berubah-ubah setiap harinya.

Tentang kedewasaan menggunakan teknologi

Wacana untuk menjadi bangsa pengembang memang sebuah cita-cita yang mulia. Namun berpikir realistis juga tak kalah penting ketika menyikapi apa yang terjadi saat ini. Diakui atau tidak, saat ini Indonesia masih didominasi oleh kalangan pengguna, ketimbang inovator teknologi itu sendiri. Sehingga untuk mencegah terjadinya ancaman seperti serangan siber yang bisa segera dilakukan ialah mendewasakan pengguna teknologi itu sendiri. Disadari bahwa proses tersebut juga tidak bisa dilakukan secara instan, namun banyak hal yang bisa diperbaiki bersama.

Pendidikan menjadi salah satu jembatan terbaik untuk mendewasakan pengguna teknologi di Indonesia. Apa yang bisa dilakukan pendidikan ialah menanamkan konsep yang jitu terkait bagaimana memanfaatkan teknologi secara aman. Untuk masuk ke sana pun banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan, salah satunya perombakan kurikulum yang didasarkan dengan kebutuhan saat ini, kebutuhan produktivitas di abad ke-21.

Pencegahan juga dapat dilakukan dalam berbagai kegiatan sosial. Salah satunya memberikan pemahaman tentang perangkat lunak yang aman dan tidak aman –termasuk edukasi terhadap perangkat bajakan. Bisa dibuktikan sendiri, tak sedikit pengguna teknologi di masyarakat yang tidak menyadari bahwa apa yang ia gunakan sebenarnya akses tidak legal dari sebuah perangkat. Kembali ke poin sebelumnya, pendidikan kita belum terlalu mempertimbangkan berbagai unsur tersebut.

Akhirnya kejadian seperti hype serangan perangkat tebusan ini dapat membuat kita memahami, banyak hal yang masih perlu diselaraskan di sini. Sebuah kesempatan emas untuk berintrospeksi, membenahi apa yang sebelumnya terlewat. Karena terkadang solusi itu tidak harus serumit menghadirkan sesuatu yang kompleks, namun memulai sebuah kebiasaan sederhana untuk disiplin terhadap proses antisipasi. Menuju Indonesia yang lebih tangkas berteknologi.