Tag Archives: rata

Digitalisasi Klinik Kesehatan

Menaruh Harapan pada Digitalisasi Klinik Kesehatan

Pandemi Covid-19 merombak dinamika industri medis, lanskap layanan kesehatan pun juga ikut berubah karenanya. Tidak diragukan lagi, pandemi ini menimbulkan tantangan baru, namun juga mempercepat inovasi layanan kesehatan. Penyedia fasilitas kesehatan harus mencari cara untuk berbuat lebih banyak dengan sumber daya yang lebih sedikit.

Sebab saat menatap masa depan, penting untuk memahami bagaimana layanan kesehatan dapat terus berkembang dengan dukungan teknologi. Dari kunjungan pertama pasien, didiagnosis, hingga kembali ke rumah, teknologi yang terhubung dapat membantu penyedia fasilitas kesehatan meningkatkan produktivitas dan tingkat layanan yang diberikan kepada pasien.

Menurut data dari Statista Market Insights, yang terakhir diperbarui pada April 2023, mengestimasi pasar kesehatan digital selama dekade terakhir di Asia Tenggara. Pada 2017, total pendapatan industri ini mencapai $1,24 miliar. Kemudian pada 2023 melonjak hingga $6,66 miliar, menunjukkan pertumbuhan yang substansial.

Namun pertumbuhannya tidak seragam di semua segmen. Digital Fitness & Well-Being misalnya, tumbuh dari $0,72 miliar pada 2017 menjadi $3,35 miliar pada 2023. Sementara, segmen eHealth meningkat dari $0,52 miliar menjadi $3,32 miliar pada periode yang sama.

Indonesia akan memimpin kawasan ini dalam hal pendapatan pasar kesehatan digital. Angkanya meningkat dari $439,60 juta menjadi sekitar $2,3 miliar pada tahun ini.

Sebagai catatan, Statista mendefinisikan kesehatan digital terdiri dari dua segmen: Digital Fitness & Well-Being dan eHealth. Bagian pertama ini mencakup perangkat dan aplikasi yang dirancang khusus untuk kebugaran dan pelacakan gerak, seperti aplikasi kebugaran, aplikasi nutrisi, dan aplikasi meditasi. Kedua, eHealth yang sedikit lebih kompleks, mencakup perangkat, aplikasi, obat-obatan yang dijual melalui internet, dan konsultasi dokter online.

DailySocial.id menyusun artikel khusus untuk melihat gambaran bagaimana digitalisasi di segmen eHealth berjalan sejauh ini di Indonesia. Negara ini menarik karena terdiri dari ribuan pulau, sehingga klinik dan sejenisnya menjadi lapisan pertama layanan kesehatan. Agar akses kesehatan merata, bukan hanya perbanyak jumlah klinik, pendekatan lain bisa menjadi solusinya.

Menurut BPJS Kesehatan, jumlah fasilitas kesehatan (faskes) layanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia mencapai 27.659 unit hingga 31 Januari 2023. Puskesmas merupakan jenis faskes terbanyak, yakni 10.283 unit atau mencapai 37,17% dari total. Berikutnya, klinik pratama 7.158 unit, dokter praktek perorangan 4.720 unit, dan rumah sakit 2.601 unit.

Klinik Rata / Rata

Seperti diketahui, faskes itu tidak hanya rumah sakit saja, tapi juga ada klinik, puskesmas, apotek, lab kesehatan, klinik kecantikan, dan klinik spesialis lainnya. Ekosistem industri kesehatan ini melibatkan banyak aktor dan instansi, yakni dokter, perawat, apoteker, pasien, BPJS, Kementerian Kesehatan, Kominfo, BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara), pelaku bisnis klinik, pabrik farmasi, distributor alat kesehatan, ATK (alat tulis kantor), vendor IT, dan lainnya.

“Semua yang ada dalam ekosistem kesehatan, memiliki komunitas, kebutuhan, kepentingan, dan regulasi yang berbeda. Secara digital mereka semua sudah membuat dan menerapkan sistem untuk mempermudah pekerjaan mereka, namun sayangnya belum banyak yang bisa saling integrasi,” terang CEO TrustMedis Achmad Zulkarnain kepada DailySocial.id.

Co-Founder dan CEO DoctorTool Rainaldo menyampaikan perkembangan digitalisasi di industri kesehatan di Indonesia sejauh ini sedang berjalan ke arah yang menjanjikan. Terlihat dari komitmen dan inisiatif pemerintah dalam mendorong percepatan transformasi digital di dunia kesehatan.

“Banyak juga perusahaan startup yang mempunyai misi melakukan digitalisasi, baik dari sisi pemberi layanan maupun penerima layanan, yang tujuannya untuk meningkatkan kualitas dan aksesibilitas layanan kesehatan bagi masyarakat,” ujarnya.

Kendati begitu, sambungnya, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk membuat proses digitalisasi menjadi lebih cepat. Di antaranya, standarisasi data, interoperabilitas, keamanan dan privasi data, serta kapasitas dan kesadaran masyarakat.

Co-founder dan CMO Rata Deviana Maria menekankan perlunya peningkatan literasi digital untuk tenaga kesehatan itu sendiri. Staf, tenaga kesehatan, dan pasien perlu memahami penggunaan aplikasi fasilitas kesehatan (faskes), baik di klinik, rumah sakit, atau dokter mandiri. Penerapan teknologi digital sangat membantu dalam meminimalisir terjadinya human error, khususnya pada pengelolaan data rekam medis pasien sehingga peningkatan layanan yang lebih cepat dan efisien.

“Mungkin, perlu adanya pengetahuan dalam bentuk pelatihan atau demo produk pada pasien atau staf terkait penggunaan aplikasi. Di Rata, kami berusaha mengkomunikasikan hal ini dengan seluruh tim agar semua info tersampaikan secara merata,” ujar Deviana.

Baik Rata, DoctorTool, dan TrustMedis merupakan beberapa pemain healthtech yang bermain di area layanan kesehatan, khususnya klinik. DoctorTool dan TrustMedis adalah penyedia software untuk meningkatkan efisiensi dan pelayanan fasilitas kesehatan yang menghadirkan berbagai fitur, seperti memudahkan pengelolaan data pasien, rekam medis, jadwal dokter, inventaris obat, dan faktur keuangan.

Sementara, Rata bermain di area spesialis gigi dengan menciptakan inovasi Aligner (teknologi merapikan gigi) asli buatan Indonesia. Mereka juga mulai ekspansi klinik gigi di 9 lokasi di Indonesia.

Tantangan omnichannel

Achmad melanjutkan, dalam menerapkan digitalisasi, perlu diperhatikan dari tiga sisi. Pemilik klinik juga perlu memantau bisnisnya secara real-time dan memastikan profit. Lalu, pengelola, dokter, dan tenaga kesehatan di klinik butuh melayani pasien dengan lebih mudah, dan pasien butuh dilayani dengan cepat.

“Digitalisasi yang dibangun, minimal harus bisa menjawab kebutuhan di atas. Apabila salah satu tidak terpenuhi, maka bisa dianggap digitalisasi belum berhasil,” katanya.

Baginya, mengukur keberhasilan dari digitalisasi bisa dilihat dari waktu pelayanan dan jumlah pasien. Semakin cepat pelayanan, artinya digitalisasi sukses. Pelayanan yang ia maksud tidak hanya di ruang pemeriksaan, dimulai dari pasien booking antrean, antre di poli, pemeriksaan dokter, tes lab dan radiologi, antre di apotek, hingga bayar di kasir.

“Semua rangkaian proses ini harus cepat. Ketika pelayanan semakin baik, maka kepuasan pasien juga meningkat.”

DoctorTool

Bicara soal data pasien saja, lanjut Rainaldo, bila masih mengandalkan kertas sebagai media perekaman data akan begitu riskan karena punya banyak kelemahan, seperti sulit dibaca, sulit dicari, mudah hilang, dan memakan tempat penyimpanan.

“Mereka akan sulit mencari data, merekapnya, mengolah, dan membuat laporan yang diperlukan. Tentu saja kelemahan-kelemahan sistem konvensional sangat mudah diatasi dengan digitalisasi. Dengan data digital, kinerja pelayanan menjadi jauh lebih efisien,” imbuh Rainaldo.

Deviana menyampaikan, jikalau pendaftaran sudah sepenuhnya online, tapi prosedurnya masih lebih banyak dilakukan secara offline karena keterbatasan alat medis. Di Rata contohnya, sudah memiliki alat 3D scan dan CBCT (Cone Beam Computed Tomography) scan yang lebih canggih, namun hanya bisa digunakan untuk kunjungan pasien offline.

“Memang tidak semua klinik bisa menyediakan alat medis yang mumpuni, tetapi sebenarnya itu penting demi melancarkan dan mempercepat proses tindakan.”

Menurutnya, konsep ideal dari penerapan omnichannel di klinik kesehatan itu haruslah terintegrasi. Setidaknya visi tersebut sudah diterapkan di Rata. Pihaknya memanfaatkan teknologi baru, misalnya AI, untuk menghemat waktu lebih banyak, meningkatkan akurasi, serta efisiensi. Proses akuisisi pasien juga jauh lebih cepat, mulai dari mendapatkan leads hingga convert menjadi pasien.

“Ini semua berkat pendaftaran yang mudah dan tidak memerlukan banyak manpower.”

Tak lupa, perusahaan juga konsisten melakukan pelatihan untuk seluruh tim di semua divisi. Bahkan beberapa ada yang dikirim pelatihan di luar negeri. Strategi pemasaran juga terus menyesuaikan dengan tren masa kini. Rata bekerja sama dengan ratusan KOL dan brand gaya hidup, dan menggunakan media sosial untuk edukasi dan promosi.

“Semua channel online dan offline kami atur sedemikian rupa agar tetap terintegrasi untuk kenyamanan pasien, sehingga mereka mendapatkan pelayanan dan pengalaman yang menyenangkan dalam mendapatkan akses untuk meratakan gigi.”

Sejak berdiri di 2019, Deviana mengaku setiap tahunnya Rata dapat melayani lebih banyak pasien. Bila dihitung angkanya diklaim mencapai 70 ribu pasien, dengan beragam kasus gigi yang ditemui. Total kliniknya tersebar di 9 lokasi dan bekerja sama dengan 147 klinik rekanan.

Sementara itu, menurut Achmad, konsep omnichannel yang ideal menurutnya tak hanya terintegrasi antara online dan offline, juga setiap operasional klinik bisa mengetahui datanya. Alhasil optimalisasi dapat diketahui dari hulu ke hilir.

“Omnichannel sudah jadi keniscayaan dengan diterbitkannya Permenkes yang terbaru. Terlebih dengan penetrasi internet dan mobile yang sangat tinggi, pasien sekarang sudah aware dan minta instan, mulai dari membuat janji temu, melihat informasi pasien, review dokter, dan sebagainya.”

TrustMedis

Hanya saja, pada kenyataannya klinik kesehatan di daerah masih kesulitan mengimplementasikan konsep tersebut. Beberapa alasannya, kekurangan SDM dan ketersediaan pra-sarana internet atau software pendukung, sehingga kurang optimal dalam pelayanan, berdampak pada seringnya terjadi penumpukan pasien.

TrustMedis sendiri memiliki memiliki 28 modul, dari mulai pelayanan, operation, hingga back office untuk klinik, rumah sakit, laboratorium, dan klinik kecantikan. Setiap unit di klinik memiliki kebutuhan yang berbeda, modul yang berbeda, sehingga harus ditangani dengan cara berbeda.

“Di TrustMedis kita memiliki banyak (scout) talenta dengan tugas dan fungsi yang berbeda, beberapa scout kami merupakan dokter dan tenaga kesehatan, ada juga ahli akuntansi.”

Disebutkan perusahaan telah membantu lebih dari 400 layanan kesehatan. Tidak hanya membantu klinik mengelola bisnisnya, tapi juga meningkatkan pengalaman pasien dari klinik tersebut.

Prospek industri

DoctorTool turut serta mendukung program JKN BPJS Kesehatan yang ingin menjamin kesehatan bagi seluruh warga. Rainaldo menuturkan, pihaknya menyoroti digitalisasi dari semua sumber data yang terintegrasi dalam satu ekosistem menjadi hal yang sangat penting. Oleh karenanya, perusahaan merancang aplikasi sistem informasi manajemen dan rekam medis elektronik yang mudah digunakan oleh semua staf dan tenaga kesehatan.

“Semua fitur dikembangkan demi kemudahan dalam penggunaan, tetapi tetap memperhatikan kelengkapan data yang harus ditangkap. AI dan IoT diterapkan sebanyak mungkin dalam efisiensi pelayanan.”

Ada dua produk yang diperkenalkan: DoctorTool Mobile, aplikasi untuk pasien yang terintegrasi langsung dengan sistem DoctorTool di fasilitas kesehatan yang memungkinkan konsep omnichannel yang ideal bisa dilakukan; DoctorTool Hub, penghubung aplikasi DoctorTool dengan berbagai alat kesehatan berbasis IoT, sehingga tenaga kesehatan bisa mengurangi kesalahan dan mempercepat pencatatan dalam pengukuran tanda-tanda vital dan antropometri pasien.

Dengan penerapan solusi DoctorTool, diklaim rata-rata waktu tunggu jadi jauh lebih cepat sekitar 15 menit. Pencarian data rekam medis dari yang tadinya harus mencari kertas secara manual, sekarang hanya sekitar 5 detik.

“Karena DoctorTool sudah terintegrasi dengan Satu Sehat dan BPJS Kesehatan, DoctorTool dapat meningkatkan nilai kinerja klinik dari BPJS Kesehatan dengan sistem pelaporan otomatis sehingga klinik mendapatkan pendapatan kapitasi yang maksimal.”

Diklaim perusahaan telah melayani lebih dari 650 fasilitas kesehatan di 110 kota di seluruh Indonesia.

Rainaldo menyebut prospek industri klinik kesehatan yang sangat baik ke depannya, terlihat dari kebutuhan masyarakat yang meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Kesadaran tentang kesehatan dan gaya hidup sehat juga turut memengaruhi kebutuhan akan layanan kesehatan.

Achmad menambahkan, persebaran jumlah klinik juga terus dibutuhkan di daerah pedalaman mengingat luasnya Indonesia. Klinik yang terus berkembang juga akan berubah menjadi rumah sakit. Kesempatan tersebut diiringi dengan tantangan dari pasien yang ingin cepat dan mudah dilayani.

“Maka tantangan buat klinik juga makin besar, telemedis dan AI harus bisa segera diterapkan dalam melayani pasien. Kami akan terus berinovasi dan implementasi teknologi baru yang bisa diterapkan di klinik, RS, dan fasilitas kesehatan lainnya.”

Deviana juga turut memberikan harapannya. Dia bilang, “Edukasi pada berbagai platform juga sangat penting agar layanan kesehatan online dan offline bisa terintegrasi lebih mudah. Karena di luar negeri, akses kesehatan gigi sangat mudah dijangkau dan bisa ditemui di mana-mana. Sudah saatnya Indonesia juga menerapkan hal yang sama, sesuai dengan misi Rata yang ingin memberikan akses kesehatan gigi lebih terjangkau pada seluruh masyarakat Indonesia.”

Clear aligner adalah ujung tombak dari bisnis Rata

Segera Rampungkan Pendanaan Pra-Seri A, Rata Fokuskan Ekspansi Domestik

Sebagai satu dari sedikit pemain teledentistry di Indonesia, Rata kian serius untuk meraih pasar yang lebih luas. Keinginan tersebut semakin terlihat seiring putaran pendanaan pra-seri A yang tak lama lagi mereka kantongi sebagai bekal pengembangan bisnis.

Clear aligner adalah ujung tombak dari bisnis Rata. Teknologi Rata memungkinkan aligner mereka menggerakkan gigi hingga 0,25mm di setiap nomor. Sebelum mengirim aligner, tim Rata akan meminta pasien mengisi kuesioner untuk mengetahui kondisi gigi pasien. Setelah memperoleh data, Rata akan membuat simulasi pergerakan gigi menggunakan sistem AI, dan akhirnya mencetak clear aligner yang akan dikirim ke pasien.

Rata mengklaim, selain faktor biaya, penggunaan aligner untuk memperbaiki bentuk gigi dianggap lebih praktis dalam perawatan dan lebih nyaman secara penampilan dibanding behel.

Co-Founder & CMO Rata Deviana Maria menyebut, pangsa pasar untuk clear aligner di seluruh Asia Tenggara mencapai $47,78 juta (sekitar Rp676 miliar) pada 2018 dan diprediksi akan terus meningkat. Deviana menilai porsi Indonesia dalam pangsa pasar tersebut masih begitu kecil. Namun Deviana sadar keadaan tersebut sekaligus menandakan ada ruang kesempatan yang cukup besar untuk mereka eksplorasi.

Keinginan Rata dituangkan ke dalam ekspansi bisnis ke sejumlah kota-kota besar di Indonesia. Deviana menyebut ekspansi pasar di dalam negeri ini menjadi fokus mereka dalam satu tahun ke depan. “Kita akan melakukan ekspansi secara digital serta offline, dan Rata akan fokus di nasional terlebih dahulu pada tahun 2021,” imbuh Deviana.

Segera amankan suntikan modal baru

Rata memperoleh pendanaan awal dengan nominal tak disebutkan pada Agustus 2019. Hanya berselang setahun lebih Deviana Maria (CMO), Edward Makmur (CEO), Danny Limanto (CSO), Jason Wahono (CFO) segera mengamankan kepercayaan investor untuk menyuntikkan modal melalui putaran pendanaan pra-seri A. Rata menolak menyebut nominal pendanaan dan informasi detail lainnya. Namun bisa dipastikan di antara partisipan terdapat sejumlah investor regional.

“Terkait investasi pra-Seri A, kita masih belum bisa umumkan nama-nama investornya. Akan tetapi Alpha JWC Ventures ikut di putaran ini dan bekerja sama dengan investor regional. Untuk detail akan kami infokan nantinya,” jelas Deviana.

Pendanaan tersebut memungkinkan Rata mengebut dan memperbesar cakupan bisnisnya ke level nasional. Di samping itu mereka juga akan memanfaatkan dana segar tadi untuk mengembangkan inovasi terbaru.

Salah satunya adalah aplikasi mobile. Rata yang sebelumnya hanya bisa diakses melalui situs web, kini sudah bisa dijangkau dengan aplikasi. Namun Deviana menambahkan aplikasi Rata belum bisa diakses terbuka ke semua orang. “Sifatnya masih undangan untuk para konsumen kami.”

Deviana percaya pendanaan baru yang segera mereka kantongi akan mendorong pertumbuhan bisnis lebih cepat. Mengklaim sebagai yang pertama menciptakan clear aligner secara in-house, Deviana mengatakan inovasi-inovasi mereka berikutnya akan berkutat untuk meningkatkan pengalaman pelanggan.

Lebih dari itu, masa pandemi juga membawa berkah tersendiri bagi teledentistry ini. Sebagaimana diketahui luas, wabah Covid-19 memaksa orang-orang mencoba layanan digital untuk menghindari kemungkinan terpapar virus. Tak terkecuali bagi Rata. Deviana mengatakan layanan konsultasi teledentistry meningkat signifikan.

Lalu saat disinggung mengenai peta kompetisi di mana mulai bermunculan layanan teledentistry serupa, Deviana mengaku tak gentar. Menurutnya apa yang ditawarkan oleh pemain-pemain tersebut masih sebatas teledentistry secara umum saja.

“Rata fokus untuk aligner treatment. Diharapkan ke depannya Indonesia akan lebih melek terhadap kesehatan gigi dan mulut. Untuk persaingan, kami rasa model bisnis kami cukup berbeda,” pungkas Deviana.

Ilustrasi Konsultasi Online / Pexels

Seputar Pemanfaatan Teknologi pada Layanan Kesehatan Gigi

Selama masa pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19, layanan kesehatan berbasis online merupakan salah satu dari sejumlah layanan yang banyak diburu masyarakat di Indonesia. Layanan ini dinilai dapat membantu mengurangi penyebaran Covid-19 tanpa perlu bertatap muka.

Sebetulnya, sebelum penyebaran wabah Covid-19, startup di bidang kesehatan berbasis teknologi (healthtech) memang digadang bakal bersinar pada tahun ini.  Healthtech memampukan setiap stakeholder di dalamnya untuk menyediakan layanan kesehatan lebih mudah, cepat, dan terjangkau bagi pasien.

Pemanfaatan teknologi di bidang ini dianggap sangat dinantikan oleh banyak pihak, terutama bagi pasar yang memiliki keterbatasan akses pada layanan kesehatan.

Bicara healthtech, Chief Marketing Officer Rata Deviana Maria berbagi informasi menarik seputar pemanfaatan Artificial Technology (AI) pada jenis layanan ini. Simak selengkapnya pada sesi #SelasaStartup kali ini.

Pemanfaatan AI untuk decision-making

Rata merupakan contoh startup di bidang kesehatan yang memanfaatkan teknologi untuk menyediakan solusi permasalahan estetika gigi. Startup ini memanfaatkan teknologi Artificial Intelligence (AI) untuk menciptakan sebuah solusi terprediksi bagi pasiennya.

Pada kasus ini, AI dapat dimanfaatkan untuk mengolah dental record dan memperoleh sebuah hasil dari photo scan gigi pasien tentang bagaimana perawatan pasien selanjutnya.

“Teknologi yang kami gunakan bisa menghasilkan sebuah prediksi, misalnya berapa lama gigi pasien bisa rata kembali. Kami kan juga punya video pergerakan gigi pasien. Nah, teknologi ini dapat memudahkan dokter dan pasien untuk mengambil keputusan,” papar Deviana.

AI bantu untuk memilah kasus

Deviana mengakui bahwa implementasi AI di Indonesia belum secanggih di Tiongkok yang sudah diterapkan ke berbagai use case. Pada kesehatan gigi, pemanfaatan AI di Tiongkok sudah bisa digunakan untuk menghasilkan bentuk gigi yang sesuai dengan wajah pasien.

Bagi Deviana, adopsi AI di Indonesia memang masih sangat mendasar. Tak hanya menghasilkan prediksi, AI dinilai sangat membantu para dokter untuk memilah kasus.

Pada contoh berikut, AI dapat memudahkan dokter untuk menentukan apakah kasus pasien terkait dapat ditangani atau tidak. Pada kasus perataan gigi, AI dapat membantu untuk melihat bagaimana prosesnya untuk mencapai bentuk ideal.

“Misalnya, dokter ingin ingin menggerakkan gigi ke posisi ideal. AI akan mengolah data dan menghasilkan output apakah bisa atau tidak. Teknologi AI kan terus belajar dan semua hasilnya pasti memiliki batasan. Sebagai dokter, kami harus mencari cara lain,” tuturnya.

Peluang bisnis healthtech 

Secara umum, Deviana menilai bahwa layanan healthtech di Indonesia saat ini kebanyakan diisi oleh kesehatan umum (general health) yang sangat kuat pada layanan konsultasi online dan pemesanan obat. Misalnya, Halodoc dan Alodokter. Belum banyak yang mengarah yang pada layanan estetika gigi.

Menurutnya, selama lima tahun terakhir melakukan R&D, masyarakat Indonesia belum melek terhadap kesehatan gigi. Terlebih, selama ini masyarakat lebih banyak menggunakan perawatan saat sakit (sick care), bukan perawatan untuk menghindari penyakit (healthcare).

Maka itu, layanan ini dinilai dapat mendorong masyarakat untuk aware terhadap kesehatan karena lebih accessible berkat dukungan teknologi. “Apalagi pada situasi pandemi saat ini. Orang menjadi lebih sadar terhadap kesehatan. Health is something to invest on,” ungkapnya.

Peluang kolaborasi dengan pelaku healthtech lain

Sama halnya dengan startup lain, kolaborasi antar-pelaku bisnis healthtech juga sangat memungkinkan. Terutama bagi startup yang memiliki layanan niche, seperti Rata. Kolaborasi ini dapat saling mengisi dan memperkuat ekosistem layanan.

Layanan kesehatan umum dan pemesanan obat yang didominasi oleh Halodoc dan Alodokter memungkinkan terjadinya kolaborasi dengan layanan estetika gigi maupun wajah.

“Sejak awal introduce ke investor, kami memang tidak memosisikan diri sebagai penyedia layanan health care, tetapi direct-to-customer product untuk lifestyle and beauty. Dengan tren layanan gaya hidup dan kecantikan, tentu peluangnya juga semakin besar,” ujar Deviana.

Berikut ini 10 layanan femtech potensial yang didirikan oleh Founder perempuan atau ditujukan ke pasar perempuan.

10 Startup “Femtech” Berpotensi di Indonesia

Riset yang dilakukan Frost & Sullivan menyebutkan female technology (femtech) secara global bisa menjadi pasar bernilai $50 miliar hingga tahun 2025 mendatang. Femtech bisa berarti bisnis yang didirikan oleh perempuan dan kebanyakan menyasar kebutuhan khusus untuk kalangan perempuan.

Di Indonesia sendiri, perlahan tapi pasti, sudah mulai banyak startup yang didirikan perempuan. Beberapa startup di antaranya diprediksi bakal meluncur mulus dalam waktu 2 hingga 3 tahun ke depan, termasuk yang menyasar produk kecantikan, layanan e-commerce dan marketplace fashion, kebutuhan produk segar, dan makanan dan keperluan bayi.

Menyambut peringatan hari Kartini bulan April ini, berikut adalah rangkuman 10 startup yang didirikan dan dipimpin perempuan dan menyediakan layanan dan produk untuk perempuan Indonesia.

1. Base

CEO Base Yaumi F. Sugiharta
CEO Base Yaumi F. Sugiharta

Base adalah layanan e-commerce kecantikan yang memberikan rekomendasi produk berdasarkan kondisi kulit pengguna. Rekomendasi akan muncul setelah konsumen mengisi seluruh pertanyaan yang ditanyakan. Startup ini didirikan oleh Yaumi Fauziah Sugiharta dan Ratih Permata Sari.

Seluruh produk kecantikan Base diproduksi sendiri. Akhir tahun 2019 lalu startup produk kecantikan berbasis metode direct-to-consumer (DTC) ini mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal yang dipimpin oleh East Ventures dan Skystar Capital.

“Industri kecantikan di Indonesia saat ini sedang tumbuh dengan cepat. Hal tersebut terjadi seiring dengan berkembangnya kebutuhan konsumen dan juga kemajuan teknologi. Dengan mudahnya akses informasi dan jual beli produk dari luar negeri, saat ini konsumen memiliki demand produk dengan kualitas tinggi. Fenomena tersebut mendorong para pemain industri kecantikan untuk meningkatkan standar kualitas produknya. Audiens Gen Z dan juga milenial adalah segmen yang dapat kami kategorikan sebagai smart buyer, ingin mengenal dengan cermat tentang produk yang mereka gunakan dan terliterasi dengan baik,” kata Yaumi.

Tahun 2020 ini Base memiliki target pengembangan produk baru sesuai dengan masukan konsumen dan mengenalkan brand serta edukasi kepada audiens yang lebih luas. Perusahaan juga akan melakukan penyempurnaan teknologi untuk mengoptimalkan analisis data menggunakan Artificial Intelligence, yang kemudian digunakan untuk pengembangan produk dan strategi pengembangan perusahaan.

2. Sayurbox

CEO Sayurbox Amanda Cole
CEO Sayurbox Amanda Susanti Cole

Sayurbox hadir mencoba memenuhi kebutuhan buah segar dan produk sayuran berkualitas kepada warga ibukota. Platform online ini menyediakan bahan segar dan produk sehat berkualitas dari petani dan produsen lokal Indonesia. Sayurbox awalnya didirikan Amanda Susanti Cole dan Rama Notowidigdo, kemudian Metha Trisnawati bergabung ke tim sebagai COO.

Sayurbox mengusung konsep bisnis farm-to-table yang memungkinkan konsumen mendapatkan berbagai bahan segar dan produk berkualitas langsung dari petani dan produsen lokal. Sayurbox merupakan salah satu startup yang telah menerima beberapa putaran pendanaan, termasuk dari Patamar Capital di tahun 2018 dan kemungkinan Tokopedia tahun lalu.

3. Love and flair

Co-founder & CEO LOVE AND FLAIR Emily Jaury
Co-founder & CEO LOVE AND FLAIR Emily Jaury

Didirikan oleh Emily Jaury, Love and Flair merupakan layanan e-commerce multibrand yang dikurasi untuk perempuan Indonesia. Dengan menerapkan bisnis berorientasi konsumen, semua masukan dari konsumen menjadi fokus perusahaan. Selain bisa diakses secara online, Love and Flair juga telah memiliki toko permanen di mall terkemuka Jakarta.

Tahun 2018 lalu Love and Flair tergabung dalam program akselerator besutan Gojek dan Digitaraya, Gojek Xcelerate batch kedua, yang fokus ke startup karya founder perempuan Indonesia dan Asia Pasifik.

4. Kotoko

CEO Kotoko Cynthia Krisanti
CEO Kotoko Cynthia Krisanti

Didirikan di Singapura tahun 2019 lalu oleh Cynthia Krisanti, Kotoko adalah startup di bidang ritel dan teknologi yang menyediakan ekosistem online dan offline bagi brand-brand independen, termasuk DTC, di Indonesia untuk memasarkan produk-produk mereka ke lebih banyak konsumen. Perusahaan mendapatkan dana awal dari Antler.

Saat ini Kotoko telah memiliki sekitar 60 brand independen ternama dengan jumlah kumulatif 1 juta pengikut di Instagram. Perusahaan telah membuka multibrand store pertama di Plaza Indonesia dan mempersiapkan ekspansi ke kota-kota besar di luar Jabodetabek, seperti Bandung, Surabaya, Makassar, dan Bali.

5. Gigel

Co-founder Gigel Putri Arinda
Co-founder Gigel Putri Arinda

Gigel didirikan oleh pasangan suami istri Putri Arinda dan Muhammad Syahdani. Platform ini berisi penyewaan produk yang banyak dibutuhkan pasangan muda yang baru memiliki anak, seperti stroller, mainan, dan lain-lain.

Awal tahun ini Gigel gencar mengembangkan cakupan layanan dan model bisnis marketplace penyewaannya. Tidak hanya produk untuk bayi, pengguna bisa menyewa barang seperti winter jacket, koper untuk wisata, atau kamera. Gigel mengklaim telah memiliki sekitar 500 mitra dan 15 ribu pengguna aktif. Masih terbatas di kawasan Jabodetabek, tahun ini Gigel memiliki rencana untuk memperluas layanan ke kota-kota besar lainnya.

“Saat ini kami telah memiliki angel investor dan belum berencana untuk melakukan penggalangan dana. Masih fokus kepada traksi dan melayani lebih banyak pengguna. Diharapkan tahun ini kami juga bisa menambah pilihan produk untuk pengguna,” kata Arinda.

6. Rata

CMO RATA Drg. Deviana Maria A
CMO RATA drg. Deviana Maria A

Startup Rata didirikan oleh drg. Edward Makmur, Danny Limanto, Jason Wahono, dan drg. Deviana Maria A untuk mengatasi permasalahan estetika gigi yang dibantu teknologi artificial intelligence.

“Kami ingin menciptakan clear aligner yang bisa dijangkau semua orang, dan pastinya much better than using braces. Permasalahan seperti kawat gigi yang menusuk, harus datang ke klinik dental secara rutin dan mengganggu penampilan yang pada akhirnya membuat orang menjadikan permasalahan estetika gigi kebutuhan kesekian,” ujar Deviana.

Mendapat investasi dari Alpha JWC Ventures, Rata juga memberikan kesempatan konsultasi online secara gratis dan melakukan engagement langsung memanfaatkan media sosial.

7. Bubays

CPO Bubays Ifatul Khasanah
CPO Bubays Ifatul Khasanah

Bubays didirikan oleh pasangan suami istri Ifatul Khasanah dan Muhammad Faiz Ghifari. Platform ini menjual produk makanan pendamping air susu ibu (MPASI). Ide pengembangan usaha tersebut muncul ketika founder mengikuti program startup generator Antler di Singapura. Bubays juga sudah membukukan pre-seed funding dari Antler senilai 1,5 miliar Rupiah.

Bubays menghadirkan makanan bayi sehat untuk keluarga muda di Indonesia, yang bisa diantar hingga ke rumah. Platform ini memastikan makanan yang dibuat dengan bahan-bahan segar, lezat, dan bernutrisi tinggi yang diperlukan untuk tumbuh kembang bayi. Platform ini memungkinkan pengguna untuk secara khusus memesan makanan bayi mereka berdasarkan usia bayi, alergi, dan juga membantu melacak tumbuh kembang bayi mereka.

Saat ini cakupan pangsa pasar Bubays baru di seputar Jabodetabek.

8. Greenly

Co-founder Greenly Liana Gonta Widjaja
Co-founder Greenly Liana Gonta Widjaja

Greenly didirikan oleh Liana Gonta Widjaja dan Edrick Joe Soetanto. Liana adalah sarjana di bidang nutritional science, dietetics, dan juga telah menjalani karier sebagai ahli nutrisi kesehatan.

Konsep new retail yang diadopsi Greenly menawarkan aneka makanan dan minuman sehat. Selama satu tahun perjalanannya, Greenly mengklaim berhasil mengalami pertumbuhan hingga lima kali lipat dengan ratusan pesanan tiap harinya.

Memasuki tahun keduanya, Greenly berhasil mendapatkan pendanaan tahap awal yang dipimpin East Ventures. Dana segar yang didapat rencananya akan digunakan perusahaan untuk menginovasi produk, pengembangan teknologi, dan memperluas jaringannya di Surabaya, termasuk juga ekspansi di kota-kota lainnya.

9. Style Theory

Co-founder dan COO Style Theory Raena Lim
Co-founder dan COO Style Theory Raena Lim

Diluncurkan pada 2016 di Singapura oleh Raena Lim dan Chris Halim, platform penyewaan produk fesyen Style Theory hadir menawarkan opsi penyewaan lebih dari 50 ribu koleksi busana yang dapat diakses melalui aplikasi. Perusahaan menawarkan langganan bulanan dan resmi hadir di Indonesia sejak tahun 2017 lalu. Perusahaan ingin mengurangi konsumsi busana (dalam bentuk pembelian) di kalangan masyarakat, yang pada akhirnya diharapkan berpengaruh ke lingkungan.

Saat ini Style Theory telah memiliki lebih dari 13 ribu pengguna yang tersebar di Indonesia, Singapura, hingga Hong Kong. Awal bulan Desember lalu Style Theory mengantongi pendanaan putaran Seri B yang dipimpin SoftBank Ventures Asia.

10. Woobiz

Co-founder Woobiz Putri Noor Shaqina / SWA
Co-founder Woobiz Putri Noor Shaqina / Photo credit : SWA

Woobiz didirikan oleh Putri Noor Shaqina, Rorian Pratyaksa, Josua Sloane, dan Hendy Wijaya pada bulan Desember 2018. Platform ini menawarkan akses teknologi bagi para perempuan Indonesia untuk bisa menjadi pengusaha mikro. Salah satunya adalah menghubungkan mitra, yang kebanyakan ibu rumah tangga, dengan brand. Woobiz mengklaim bisnis yang dijalankan, sebagai social commerce, memiliki misi untuk memberdayakan perempuan Indonesia, khususnya ibu rumah tangga, agar bisa meningkatkan kualitas hidup serta mandiri secara finansial.

“Dalam ekosistem kita, mitra atau user akan berjualan menggunakan channel social neighbourhood community dan kita dukung dengan fitur untuk social sharing secara online,” kata Chief Growth and Marketing Woobiz Putri Noor Shaqina.

Dari sisi pendanaan, Woobiz telah mendapatkan pendanaan sejak akhir tahun 2018. Untuk monetisasi bisnis, pihaknya mengaku juga mendapat bagian dari produk yang berhasil didistribusikan. Sejauh ini, mereka telah bekerja sama dengan pihak ketiga yang mempunyai infrastruktur logistik.

“Ke depannya, kita berencana untuk memperkuat sendiri, membangun hub atau pick-up point,” ujar Putri.

Startup healthtech mulai menyasar penyediaan teknologi ke rumah sakit, klinik, dan korporasi

Kaleidoskop Startup Kesehatan dan Wellness Selama Tahun 2019

Sepanjang tahun ini Indonesia diramaikan dengan berita investasi di startup yang menyasar sektor kesehatan dan makin maraknya layanan wellness.

Tidak hanya layanan kesehatan yang mencoba untuk meng-cater konsumen secara langsung, startup yang berbasis teknologi kesehatan juga mulai menawarkan teknologi yang bisa digunakan pihak rumah sakit, dokter, dan klinik. Hal tersebut membuktikan teknologi sudah mulai diadopsi sektor kesehatan yang selama ini dikenal paling sulit untuk di-disrupt.

Munculnya layanan wellness

Salah satu layanan yang makin menjamur kehadirannya sepanjang tahun 2019 adalah layanan menyediakan pilihan aktivitas atau kegiatan olahraga. Konsep yang mengedepankan kemitraan dan agregator pusat kebugaran ditawarkan oleh layanan seperti The Fit Company, ClassPass hingga R Fitness.

Bulan Agustus 2019 lalu The Fit Company meluncurkan aplikasi bernama “Fitco” dan berkomitmen untuk menciptakan gaya hidup aktif dan sehat bagi seluruh masyarakat Indonesia. Aplikasi Fitco merupakan produk unggulan yang memungkinkan masyarakat mengakses layanan gaya hidup aktif dan sehat dengan mudah. Sementara itu usai mengantongi pendanaan Pra-Seri A sebesar Rp17,7 miliar, R Fitness melakukan rebranding dan menawarkan tiga pilihan aktivitas olah raga yang lengkap untuk warga penggunannya. Setelah sebelumnya dikenal dengan nama Ride, startup wellness yang menghadirkan layanan kebugaran, khususnya indoor cycling, melakukan rebranding menjadi R Fitness.

Sementara platform asal Amerika Serikat “ClassPass” meresmikan kehadiran mereka di Indonesia. Kepada DailySocial, Country Manager ClassPass Indonesia Anjani Percaya mengungkapkan, makin besarnya minat warga ibukota peduli akan olahraga dan gaya hidup yang sehat, menjadikan platform seperti ClassPass mulai banyak diminati saat ini. ClassPass merupakan platform wellness asal Amerika Serikat, saat ini telah memiliki 20 ribu mitra secara global.

Khusus untuk suplemen, Jovee menjadi pendatang baru yang menawarkan kebutuhan suplemen untuk pengguna milenial. Jovee didirikan oleh veteran industri, Natali Ardianto, yang sebelumnya adalah Co-Founder Tiket.com.

Hadirnya berbagai layanan kesehatan baru

Jika di tahun 2017-2018 banyak bermunculan startup healthtech yang menawarkan layanan konsultasi dokter (telemedicine) dan pengantaran obat langsung ke rumah pelanggan, sepanjang tahun 2019 makin banyak bermunculan layanan kesehatan berbasis teknologi yang menawarkan ragam layanan baru, mulai dari jasa perawat yang bisa dipesan seperti MHomecare hingga platform yang menghadirkan informasi dan berita kesehatan terkurasi SehatQ.

Kedua layanan tersebut mencoba untuk meng-cater target pasar dari berbagai kalangan untuk bisa mendapatkan layanan kesehatan hingga informasi kesehatan yang diinginkan.

Layanan kesehatan yang lebih fokus kepada kosmetik atau perawatan dental (gigi) juga mulai hadir di Indonesia, diprakarsai platform lokal Rata dan platform Singapura yang merupakan alumni program Surge Sequoia India bernama Zenyum. Tahun 2020 mendatang diprediksi makin banyak lagi layanan kesehatan kosmetik berbasis teknologi.

Sementara itu, Grab melalui GrabHealth meresmikan layanan kesehatan bersama Good Doctor Technology Indonesia (anak usaha Ping An Good Doctor). President Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata mengatakan, GrabHealth adalah salah satu buah investasi SoftBank senilai $2 miliar yang diumumkan pada Juli 2019 untuk Indonesia. Perusahaan percaya pemanfaatan teknologi yang tepat bisa membawa manfaat positif buat masyarakat.

Ada empat fitur yang dihadirkan, di antaranya tanya jawab kesehatan dengan dokter, membuat janji konsultasi tatap muka dengan dokter, belanja produk kesehatan dan kebugaran (Health Mall), dan konten kesehatan dan gaya hidup yang dikurasi oleh tim dokter. Seluruh fitur ini dapat diakses secara gratis, sementara tersedia di Jabodetabek, dan segera digulirkan ke kota lain di dalam cakupan operasional Grab secara bertahap.

Layanan lain untuk rumah sakit dan klinik

Dengan regulasi yang ketat di industri, belum banyak startup healthtech yang menyasar konsumen rumah sakit dan klinik. Didukung Ikatan Dokter Indonesia, tahun ini beberapa startup healtech mencoba mengakomodir konsumen ini. Salah satunya adalah Medigo yang menawarkan joint venture dengan pihak klinik untuk memberikan sistem manajemen layanan kesehatan terpadu dan proses digitalisasi klinik melalui Klinik Pintar. Dikabarkan IDI juga berniat untuk merangkul lebih banyak investor untuk mendukung klinik yang tersebar di seluruh Indonesia untuk mengadopsi teknologi melalui kemitraan.

Sementara fitur unik lainnya adalah ulasan rumah sakit melalui Dokter.id. melalui fitur ini nantinya Pengguna bisa memberikan pendapat, kritik, dan testimoni kepuasan pelanggan terhadap layanan dokter, perawat, dan proses pengobatan selama berada di rumah sakit.

Layanan yang sudah dikenal publik, seperti Halodoc dan Alodokter, terus menambah lini bisnis baru, termasuk menyasar konsumen korporasi dan peningkatan variasi layanan. Pengembangan teknologi dan strategi bisnis yang ada membuktikan bahwa layanan kesehatan berbasis teknologi mendapatkan momentum yang tepat tahun ini.