Menyusul peluncuran headset gaming kelas bujet Razer Kaira X pada bulan September lalu, Razer kali ini menghadirkan versi nirkabelnya. Bukan cuma satu, melainkan dua model yang berbeda sekaligus, yakni Kaira dan Kaira Pro.
Melihat gaya desain two-tone yang diusung, tampak jelas bahwa kedua headset ini ditargetkan untuk para pengguna PlayStation 5. Razer bahkan secara spesifik merancang agar dongle USB-C milik Kaira dan Kaira Pro dapat diposisikan secara optimal, dan tidak menutupi port USB lain di sisi depan PS5.
Guna memperluas kompatibilitas, Razer tak lupa menyertakan adaptor USB-A pada paket penjualannya. Kabar baiknya, kedua headset turut dibekali Bluetooth, dan dua macam koneksi nirkabel ini rupanya bisa aktif secara bersamaan. Dengan begitu, pengguna dapat dengan mudah menerima panggilan telepon yang masuk ke smartphone (yang terhubung via Bluetooth) meski sedang asyik bermain.
Alternatifnya, pengguna juga bisa berganti antara Bluetooth dan HyperSpeed Wireless secara manual via tombol pada headset. Khusus Kaira Pro, koneksi Bluetooth-nya turut dilengkapi mode khusus gaming untuk menekan latensi.
Namun faktor pembeda yang paling utama di antara kedua headset adalah haptic feedback. Kaira Pro datang membawa teknologi HyperSense seperti yang ditawarkan oleh Kraken V3 Pro, sedangkan Kaira tidak. Generasi anyar HyperSense ini cukup istimewa karena selain terasa lebih natural dan mampu memberikan efek stereo, ia juga dapat bekerja secara real-time dan tidak memerlukan integrasi game sama sekali.
Terkait kinerja audionya, Kaira Pro mengandalkan driver TriForce Titanium yang lebih premium, sementara Kaira mengandalkan driver TriForce standar. Mikrofonnya pun berbeda; Kaira Pro mengemas mic supercardioid yang bisa dilepas-pasang, sedangkan Kaira mengemas mic cardioid yang permanen.
Aspek ergonomi yang ditawarkan kedua headset juga bakal berbeda, sebab bahan yang melapisi bantalan telinganya tidak sama. Kaira menggunakan bahan kain breathable, sementara Kaira Pro harus menggunakan bahan kulit sintetis sebagai syarat utama fitur haptic feedback-nya tadi.
Soal daya tahan baterai, Kaira Pro diyakini mampu bertahan sampai 50 jam pemakaian dalam sekali pengisian, sementara Kaira sampai 30 jam. Kendati demikian, kalau fitur haptic dan RGB milik Kaira Pro diaktifkan, maka daya tahannya akan turun menjadi 11 jam saja.
Di Amerika Serikat, Razer Kaira saat ini telah dipasarkan seharga $100, sementara Kaira Pro akan menyusul pada bulan Desember seharga $200. Dalam kesempatan yang sama, Razer juga menghadirkan Quick Charging Stand untuk controller DualSense seharga $40.
Melanjutkan tradisi tahunan baru yang dimulai tahun kemarin, Razer resmi menggelar event RazerCon 2021. Seperti biasa, Razer memanfaatkan kesempatan ini untuk merilis sejumlah produk baru. Dua di antaranya yang akan saya bahas di artikel ini adalah Razer Zephyr dan Razer Kraken V3 Pro.
Kita mulai dari Zephyr dulu, yang sebelumnya kita kenal dengan nama Project Hazel. Kalau Anda familier dengan masker elektronik bikinan LG, Anda semestinya bisa langsung paham fungsi yang ditawarkan oleh Razer Zephyr sebagai sebuah “wearable air purifier”.
Dalam sesi presentasi tertutup yang saya ikuti bersama sejumlah awak media lain, Razer menjelaskan bahwa selama mengembangkan Zephyr, mereka menitikberatkan pada tiga aspek berikut: Safe, Social, dan Sustainable.
Aspek yang pertama diwujudkan melalui tiga buah filter N95 grade — dua di sisi kiri dan kanan, satu kecil di tengah — dengan perlindungan dua arah dan tingkat efisiensi penyaringan sebesar 99%. Razer pun tidak lupa menyematkan dua kipas intake dengan dua mode kecepatan (4.200 atau 6.200 RPM) sebagai opsi untuk memperlancar sirkulasi udara.
Razer turut membekali Zephyr dengan sepasang karet silikon yang menyangga bagian hidung dan dagu supaya perangkat benar-benar bisa menutup rapat hidung dan mulut pengguna. Di bagian belakang, kita juga bisa melihat sepasang strap yang adjustable guna menambah kenyamanan sekaligus mencegah masker mudah terlepas.
Terkait aspek yang kedua, Razer sengaja merancang Zephyr dengan cover plastik transparan dan lapisan anti-kabut agar wajah penggunanya bisa terlihat dengan cukup jelas. Bagian dalamnya bahkan dibekali pencahayaan sehingga ekspresi wajah penggunanya tetap bisa terlihat di berbagai kondisi pencahayaan.
Bicara soal pencahayaan, bukan produk Razer namanya kalau tidak ada sistem pencahayaan RGB, dan Zephyr pun rupanya tidak luput dari itu. Ketimbang sebatas tampil berbeda dengan masker non-konvensional, kenapa tidak sekalian saja mengundang perhatian dengan lampu warna-warni yang dapat dikustomisasi via aplikasi?
Ada kipas dan lampu, berarti Zephyr sudah pasti dibekali baterai. Dalam sekali pengisian, daya tahan baterainya diklaim bisa mencapai paling lama hingga 8 jam dengan mode kecepatan kipas rendah dan semua pencahayaan dimatikan. Kalau semuanya menyala dan kipas berputar dalam kecepatan maksimum, maka daya baterainya akan turun menjadi 3,5 jam. Kalaupun baterainya habis, pengguna dijamin masih bisa bernapas dengan baik walau kipasnya mati.
Lanjut ke aspek yang ketiga, Razer ingin memastikan bahwa perangkat ini bisa membantu mengurangi jumlah sampah yang diakibatkan oleh penggunaan masker sekali pakai. Untuk itu, Razer merancang agar filter milik Zephyr bisa tetap efisien sampai tiga hari pemakaian sebelum akhirnya perlu diganti dengan yang baru.
Lalu apakah filter tambahannya cuma bisa dibeli dari Razer? Tentu saja, tapi Razer juga bilang bahwa pengguna bebas menyelipkan filter lain jika mau, dengan catatan ukuran filternya pas dan bisa menutupi lubang di kiri, kanan, dan tengah Zephyr secara menyeluruh.
Rencananya, Razer Zephyr akan dijual seharga $100, sudah termasuk 3 set filter (untuk pemakaian selama 9 hari), atau dalam bundel Zephyr Starter Pack seharga $150 yang mencakup 33 set filter (untuk pemakaian selama 99 hari). Filter ekstranya sendiri bisa dibeli secara terpisah seharga $30 per 10 set. Setiap unit Zephyr di-cover oleh garansi selama satu tahun.
Setidaknya untuk sekarang, Zephyr hanya bisa dibeli secara eksklusif melalui Razer.com, akan tetapi perwakilan Razer sempat bilang bahwa mereka bakal mengusahakan agar produk ini juga bisa tersedia di Indonesia. Kapan pastinya masih belum diketahui.
Razer Kraken V3 Pro
Beralih ke Kraken V3 Pro, ini merupakan headset nirkabel yang mengunggulkan teknologi haptic feedback Razer HyperSense. Teknologi ini memang bukan hal baru, dan Razer sendiri pertama menerapkannya tiga tahun lalu melalui headset bernama Nari Ultimate. Namun tentu sudah ada penyempurnaan yang Razer terapkan di Kraken V3 Pro.
Utamanya, Razer mengklaim bahwa HyperSense mampu bekerja di rentang frekuensi yang lebih luas ketimbang teknologi haptic tradisional. Alhasil, pengguna bakal merasakan sensasi getaran yang lebih natural daripada biasanya.
Haptic di Kraken V3 Pro juga memiliki efek stereo. Artinya, pengguna dapat merasakan getaran di telinga kiri dan kanan secara terpisah, tergantung apa yang sedang tersaji dalam game. Contohnya, kalau pengguna mendengar ada ledakan dari sisi kiri, maka getarannya juga akan terasa di telinga sebelah kiri saja.
Namun yang menurut saya paling istimewa adalah, HyperSense bekerja secara real-time, dengan waktu pemrosesan tidak lebih dari 5 milidetik. Itu berarti HyperSense tidak memerlukan integrasi dengan tiap-tiap game. Selama game atau konten lainnya bisa menghasilkan suara, maka efek getarannya juga akan terasa.
Bukankah aneh seandainya efek haptic tetap muncul selagi pengguna hanya mendengarkan musik? Andai pengguna merasa demikian, matikan saja efek haptic-nya via tombol di earcup sebelah kanan. Tombol yang sama ini juga berfungsi untuk mengatur intensitas getarannya di tiga tingkatan (low, medium, high).
Juga istimewa adalah, HyperSense di Kraken V3 Pro tidak memerlukan driver khusus maupun software Razer Synapse agar bisa bekerja. HyperSense bahkan bisa aktif selagi headset tersambung ke smartphone via kabel 3,5 mm. Sayang perangkat ini tidak punya koneksi Bluetooth.
Terkait kinerja audionya, Kraken V3 Pro mengandalkan driver TriForce Titanium berdiameter 50 mm yang sama seperti di BlackShark V2 Pro, lengkap dengan dukungan terhadap fitur THX Spatial Audio.
Kemudian soal kenyamanan, Razer membekali Kraken V3 Pro dengan pelapis earpad yang terbuat dari kombinasi bahan kain plus kulit sintetis. Jadi yang menempel pada sekitaran telinga adalah kain, sementara sisi samping bantalannya terbuat dari kulit demi memastikan bass yang dihasilkan tetap terasa mantap.
Kenapa tidak memakai bahan Flowknit seperti BlackShark saja? Well, kalau menurut Razer sendiri, Flowknit rupanya tidak kompatibel dengan haptic. Jadi memang material hybrid tadi adalah satu-satunya pilihan untuk Kraken V3 Pro.
Dalam sekali pengisian, baterai Kraken V3 Pro diyakini mampu bertahan selama 11 jam pemakaian (dengan semua pengaturan di level maksimum). Kalau haptic dan pencahayaan RGB-nya dimatikan (jadi headset wireless biasa), maka perangkat bisa beroperasi sampai 40 jam. Charging-nya sendiri sudah mengandalkan USB-C.
Razer Kraken V3 Pro kabarnya akan tersedia pada kuartal ke-4 tahun ini dengan banderol $200. Alternatifnya, Razer juga akan lebih dulu memasarkan Kraken V3 dan Kraken V3 HyperSense di bulan Oktober ini juga, masing-masing seharga $100 dan $130.
Kedua headset ini lebih murah karena sama-sama masih mengandalkan kabel. Meski begitu, keduanya tetap mewarisi beberapa fitur andalan milik Kraken V3 Pro, mulai dari driver TriForce Titanium sampai lapisan earpad berbahan hybrid itu tadi.
Khusus Kraken V3 HyperSense, tentunya ada teknologi haptic yang advanced itu tadi, akan tetapi ia cuma bisa digunakan dengan PC saja via kabel USB (tidak ada jack 3,5 mm seperti di Kraken V3 Pro). Kedua headset ini juga mengandalkan mikrofon cardioid biasa, berbeda dari Kraken V3 Pro yang dibekali mikrofon supercardioid.
Razer meluncurkan kursi gaming pertamanya pada bulan Oktober 2020. Baru beberapa bulan berselang, mereka rupanya sudah punya gambaran ke mana kategori produk ini bakal mengarah ke depannya. Gambaran itu mereka tuangkan dalam wujud konsep kursi gaming canggih bernama Project Brooklyn.
Dalam posisi normal, Project Brooklyn tampak seperti kursi gaming standar yang dibekali aksen pencahayaan RGB. Namun senjata rahasianya tersembunyi pada bagian yang menopang punggung pengguna, yakni sebuah layar OLED fleksibel berukuran 60 inci yang bisa diposisikan persis di depan pengguna, menyuguhkan visual yang lebih immersive dari monitor gaming tradisional.
Bukan hanya itu, di dalam sandaran tangannya juga tersembunyi meja lipat untuk menaruh keyboard dan mouse. Lalu supaya pengalaman bermain yang dirasakan jadi kian immersive, Razer turut menyematkan teknologi haptic feedback HyperSense ke sandaran punggung kursi berangka serat karbon ini.
Secara keseluruhan, premisnya cukup mirip seperti yang ditawarkan oleh Predator Thronos, kursi gaming seharga Rp200 juta yang Acer perkenalkan dua tahun silam. Bedanya, Acer memanfaatkan teknologi yang sudah ada, sedangkan Project Brooklyn masih berstatus konsep karena memang layar yang sefleksibel itu belum eksis sampai saat ini.
Kapan konsep ini bisa direalisasikan menurut saya sepenuhnya bergantung pada perkembangan teknologi display. Seandainya produsen panel OLED macam Samsung atau LG sudah siap memproduksi layar secanggih itu secara massal, saya kira sah-sah saja Razer menawarkan produk semacam ini ke publik.
Untuk sekarang, yang mungkin sudah bisa diterapkan adalah inovasi-inovasi macam meja lipat dan sistem haptic feedback itu tadi. Pencahayaan RGB pun tentu juga sangat memungkinkan, dan saya tidak akan terkejut seandainya kursi gaming kedua Razer hadir mengusung elemen dekorasi warna-warni tersebut.
Rencananya, Razer akan terus mengembangkan konsep kursi gaming futuristis ini, mengujinya bersama atlet-atlet esport kenamaan dan kalangan influencer guna mendapatkan tolok ukur performa, kenyamanan, dan kelayakannya. Harapannya tentu adalah supaya masukan-masukan yang ditampung bisa Razer terapkan ke portofolio kursi gaming-nya dalam waktu dekat.