Tag Archives: RedMart

Melihat Peta Persaingan Layanan “Grocery” Online di Indonesia

Penggantian CEO HappyFresh dan penjualan RedMart Singapura ke Lazada menjadi highlight akhir tahun 2016 yang menunjukkan kerasnya persaingan bisnis grocery online di kawasan Asia Tenggara, termasuk di Indonesia. Melihat peta persaingan yang ada, model bisnis yang tampaknya bakal bertahan adalah yang berafiliasi dengan pemain ritel konvensional yang sudah ada.

Sekitar 4-5 tahun yang lalu, beberapa pemain teknologi berusaha men-disrupt bisnis pasar swalayan. Mereka menciptakan inventorinya sendiri dan berusaha menjadi pasar swalayan yang hanya beroperasi secara online. Fast forward ke tahun 2017, kebanyakan dari mereka tidak bisa bertahan.

Hanya SeroyaMart yang tersisa dari rezim lama dan masih bergerilya berjualan melalui beberapa marketplace besar, meskipun tampaknya tidak lagi mempertahankan layanan e-commerce-nya sendiri.

Tahun ini setidaknya ada 5 pemain layanan grocery online di Indonesia. Mereka adalah HappyFresh, Honestbee, KeSupemarket, Hypermart, dan Go-Mart. Yang terakhir merupakan bagian Go-Jek. KeSupermarket adalah joint venture grup pemilik Ranch Market dan Kresna Graha Investama, sedangkan Hypermart merupakan perpanjangan tangan grup ritel Lippo yang dikelola MatahariMall.

Kendati dari sisi nominal pangsa pasar bisnis grocery online belum signifikan di Indonesia, masih ada keyakinan bagi mereka untuk mengeksploitasi lebih dalam potensi di segmen tersebut.

Grocery sebagai kebutuhan pokok masyarakat, setiap rumah membutuhkannya / Pixabay
Grocery sebagai kebutuhan pokok masyarakat, setiap rumah membutuhkannya / Pixabay

Mendefinisikan model bisnis kepada masyarakat

Jika melihat segmentasi produk yang dijajakan, grocery adalah barang yang sehari-hari dibutuhkan di setiap rumah, bahan makanan. Segmentasinya jelas, kebutuhan rumah tangga, umumnya dikelola oleh ibu atau asisten rumah tangga. Implikasinya penyedia layanan grocery perlu menyesuaikan strategi manuver (pemasaran, penyampaian produk dan lain-lain) yang sesuai dengan pangsa pasarnya.

Mengambil kasus di Jabodetabek, pasar tersebut sedang didominasi digital native dan digital immigrant, namun memiliki kadar kepekaan terhadap digitalisasi yang jauh berbeda. Para ibu di perkotaan, yang tech savvy, umumnya perempuan karier dan menyerahkan kebutuhan rumah tangga kepada asisten di rumah (umumnya non tech savvy). Sementara ibu rumah tangga yang berbelanja langsung secara sehari-hari masih banyak dikategorikan ke dalam digital immigrant.

Polanya menjadi semakin jelas, produknya menjadi kebutuhan banyak orang, tetapi pembelanjanya memiliki level yang perlu disesuaikan dan diedukasi dalam mengadopsi digitalisasi. Tantangannya tentu bagaimana membawa layanan online grocery ke segmentasi mayoritas tersebut.

Pendekatan terpadu perlu dilakukan dengan mendefinisikan ulang layanan online grocery secara lebih gamblang, memasarkannya dalam medium yang tepat dan melakukan edukasi pengguna dari hulu ke hilir. Masih terlalu lama untuk menunggu golongan digital native menjadi mayoritas konsumen di pasar produk grocery.

Keterlibatan komponen lain untuk penetrasi layanan online grocery

Melewati era millenium, pertumbuhan pengguna digital di Indonesia begitu signifikan, semua survei dan penelitian menyatakan simpulan yang sama. Internet menjadi faktor utama, kemampuannya untuk melebur jarak dan waktu membuat penggunanya terbuai. Lebih spesifik layanan internet yang makin memanjakan, ditambahkan penetrasi perangkat pintar yang tak kalah tinggi angkanya. Namun internet dan perangkat pintar tak akan mungkin sepopuler itu tanpa ada layanan/aplikasi pendukung di dalamnya.

Digitalisasi banyak didorong penetrasi mobile, e-commerce dan on-demand / Pixabay
Digitalisasi banyak didorong penetrasi mobile, e-commerce dan on-demand / Pixabay

Di Indonesia, popularitas digital dalam sektor riil banyak didorong hal-hal berikut ini yang memberikan edukasi secara native untuk adopsi layanan digital dalam aktivitas masyarakat, yakni media sosial, e-commerce dan on demand. Orang menjadi terbiasa berkomunikasi online berkat media sosial, orang menjadi terbiasa bertransaksi online berkat e-commerce, dan orang menjadi percaya untuk memilih layanan berbasis aplikasi berkat on demand.

Kembali kepada pasar online grocery, layanan ini trennya masih akan dianggap baru, sebelum ketiga hal di atas (media sosial, e-commerce, on demand) membentuk budaya baru dalam pemenuhan kebutuhan ini. Sama seperti ketika orang mulai meninggalkan taksi menuju layanan berbasis aplikasi. Selama kultur tersebut belum berhasil tertanam, tantangannya masih sangat besar, terlebih jika mengembalikan pada segmentasi konsumennya.

Ini hanya masalah waktu, karena ketiga hal di atas saat ini sudah mulai memperkenalkan sistem yang sama. Sebagai contoh melalui Go-Mart, orang yang sebelumnya sudah sangat terbiasa menggunakan aplikasi untuk memesan ojek, akan dibiasakan berbelanja menggunakan jasa tukang tersebut. Tak terkecuali segmen e-commerce yang memberikan pelayanan yang lebih luas, dengan cakupan produk makin beragam dan dukungan logistik satu jam sampai.

Ya, online grocery diperkirakan masih akan bergantung pada popularitas layanan lain dalam berkembang di Indonesia. Kendati demikian, dengan angka yang minim di wilayah yang terbatas, online grocery masih terlihat menjanjikan. HappyFresh pernah merilis sebuah laporan yang menyatakan tahun 2020 total pasar grocery online di Asia akan mencapai lebih dari Rp 182,4 triliun.


Amir Karimuddin berkontribusi untuk penulisan artikel ini

5 Alasan Lazada Mengakuisisi RedMart

Spekulasi yang muncul akhir pekan lalu bahwa Lazada, online marketplace terdepan di Asia Tenggara, yang dikabarkan ingin mengakuisisi startup online grocery asal Singapura, Redmart seharga $30-40 juta, telah terkonfirmasi. Lazada, yang baru mendapat suntikan dana segar sebesar $1 miliar dari Alibaba, sebelumnya tidak dikenal dengan kebiasaan mengadopsi model dengan aset berat; bahkan mereka secara aktif mencoba berubah menjadi model marketplace sepenuhnya, khususnya setelah akuisisi Alibaba.

Lalu mengapa perusahaan yang satu ini kemudian ingin mengakuisisi sebuah peritel bahan makanan online? ecommerceIQ membagi beberapa kemungkinan alasannya:

1. Bergabung dengan arena baru yang sedang berkembang

Elektronik, kesehatan & kecantikan, pakaian, kebutuhan rumah tangga, Lazada menawarkan semua kategori ini, kecuali barang yang mudah rusak/bahan makanan.

Bahan pangan online telah hadir di Amerika Utara sejak tren Dot-com namun baru akhir-akhir ini menjadi populer melalui model on-demand, pertama kali dikenalkan oleh Instacart dan sejak saat berkembang dengan kehadiran Google dan Postmates yang memenuhi ruang ini.

Sektor bahan makanan offline di Singapura bernilai dengan estimasi sebesar SG$5.5 miliar pada 2014, sementara ritel bahan makanan online diperkirakan berharga SG$120 juta dan hanya menyusun 1-2% dari seluruh pasar bahan makanan di Singapura. Hal ini menunjukan bahwa semakin banyak pekerja profesional dan keluarga yang rela mengeluarkan uang untuk mendapati kenyamanan bahan makanan mereka dikirimkan ke pintu depan mereka.

Dari semua negara Asia Tenggara, Singapura memiliki penetrasi internet tertinggi dan kemampuan berbelanja terbesar, menjadikan pasar ini paling siap untuk model bisnis seperti ini. ECOMScape: Singapore menunjukan banyaknya pemain, baik dari tradisional peritel bahan makanan offline maupun pemain online murni, yang turut bergabung di sektor e-grocery ini dengan harapan bisa mendapatkan bagian di pasar online ini.

Landscape E-Commerce Food Grocery Singapura
Lanskap E-Commerce Food Grocery Singapura
Lanskap E-Commerce Ritel Singapura
Lanskap E-Commerce Ritel Singapura

“Strategi untuk memasuki ruang ini adalah mencari pemain lokal yang telah menunjukan traksi dan membeli mereka untuk mendapatkan pijakan yang kuat dan kita akan melihat banyak (kejadian) seperti itu,” ujar Vinnie Lauria, Founding Partner dari Golden Gate Ventures, yang telah berinvestasi di marketplace seperti Carousell dan penjual bahan makanan online Redmart.

Dengan mengakuisisi Redmart, Lazada akan turut masuk ke dalam kompetisi bahan makanan online yang sudah sengit namun dengan reputasi yang terjamin dan Alibaba di sudut mereka, mereka memiliki kemampuan untuk mengurangi kerugian operasional Redmart dan menjadi pemain baru yang kuat. Akuisisi Redmart oleh Lazada sebenernya menyelamatkan startup tersebut untuk berakhir menjadi Webvan selanjutnya, pionir penjual bahan makanan online yang membakar uang terlalu cepat.

“Sebagai bagian dari strategi pertumbuhan kami, kami selalu mencari cara untuk melayani konsumen kami lebih baik dengan menambahkan kategori-kategori produk baru dan memperbaiki penawaran layanan kami,” komentar Maximilian Bittner, Group CEO Lazada, tentang akuisisi ini.

Dengan pendekatan multi-kategori, akuisisi Redmart ini akan memungkinkan Lazada untuk memaksimalkan pendapatan per pengguna Redmart untuk melebihi penjualan bahan makanan yang sering dicirikan oleh margin yang tipis.

2. Lelong, lelong!

Asia Tenggara sangat menyukai penawaran yang bagus dan tidak heran bahwa Redmart diam-diam menempatkan menaruh diri mereka di pasaran setelah laporan kerugian operasional sebesar $21 juta pada 2015 dan kewajiban perusahaan yang dinilai sebesar $125 juta muncul pada awal tahun ini. Terdengar juga rumor bahwa pada awal tahun ini Redmart berusaha mendapatkan suntikan dana baru sebesar $100 juta namun belum ada konfirmasi apapun. $30-40 juta bukan lah harga yang buruk bagi startup yang telah mendapatkan pendanaan lebih dari $59 juta dari Softbank, Garena dan didukung oleh selebritas tech seperti co-founder Facebook, Eduardo Saverin.

Lazada dengan percaya diri melakukan akuisisi ini karena tahu mereka bisa mengoptimalkan biaya operasional dengan memanfaatkan armada mereka sendiri untuk melakukan pengiriman melalui LEX. Sebagai perbandingan dengan kompetitor mereka, Honestbee dan HappyFresh, model bisnis Redmart bekerja cukup baik:

Sumber: Tech In Asia
Sumber: Tech In Asia

3. Distribusi lebih lanjut untuk Alipay

Pilihan pembayaran Redmart saat ini meliputi PayPal dan kartu kredit. Tidak akan lama sebelum Lazada mengimplementasikan Alipay di situs mereka dan memungkinkan para pembelanja untuk membayar bahan makanan mereka melalui Alipay. Bahan pangan adalah gerbang yang tepat untuk membuat pengguna ketagihan untuk melakukan pembelanjaan online — dibutuhkan semua orang dan memiliki harga rata-rata yang cukup rendah. Seperti Alibaba yang memanfaatkan Didi di Cina untuk membuat penggunanya mendaftarkan diri ke Alipay Wallet dengan mensubsidi pesanan taksi, mereka akan menggunakan bahan pangan dari Redmart untuk menarik masyarakat di Asia Tenggara bergantung dengan Alipay.

Ant Financial, perusahaan di balik Alipay telah melakukan beberapa langkah untuk melancarkan ekspansi global mereka dan memastikan bahwa metode pembayaran tersebut tersebar di seluruh Asia Tenggara. Perusahaan ini telah memiliki partnership dengan banyak perusahaan, termasuk Concardis, Ingenico, Wirecard dan Zapper di Eropa, First Data dan Verizone di Amerika Utara dan Paysbuy dan Counter Services di Asia Tenggara.

Alipay adalah sistem pembayaran dan transfer uang online terbesar di Cina dengan lebih dari 450 juta pengguna aktif. Tidak akan lama atau terlalu sulit bagi Jack Ma untuk mengeluarkan Kuda Trojan-nya.

4. Mendapatkan tenaga kerja e-commerce

Tantangan SDM bukanlah konsep yang baru bagi perusahaan-perusahaan di Asia Tenggara. Dengan mengakuisisi Redmart, Lazada mendapatkan 200 pegawai in-house secara instan yang sudah terlatih di bidang khusus ecommerce. Kemampuan mengakuisisi bakat yang memiliki pengetahuan luas dan terampil akan memudahkan Lazada untuk mengekspansi ecommerce kategori bahan pangan secara cepat di negara Asia Tenggara lainnya di mana Lazada berada selain Singapura. Indonesia, Thailand, Filipina dan Malaysia mempunyai pengeluaran konsumen untuk makanan dan minuman tidak beralkohol yang masing-masing sebesar $130.2 miliar, $63.3 miliar, $51.3 miliar dan $25 miliar (Agriculture Canada). Dan selain itu…

5. Amazon segera hadir di Asia Tenggara

Raksasa ecommerce asal AS, Amazon akhirnya mengumumkan rencana mereka memasuki Asia Tenggara via Singapore pada Q1 2017 dan Lazada perlu menjaga keunggulan kompetitif mereka. Amazon telah memulai Amazon Prime dengan versi yang telah disesuaikan di Cina agar mampu berkompetisi lebih baik dengan Alibaba dan kemungkinan besar juga akan memperkenalkan layanan eksklusif yang sama di Asia Tenggara yang membuat konsumen mereka di AS sangat loyal kepada marketplace ini — seperti Amazon Fresh dan Amazon Prime.

Amazon Fresh diluncurkan pada tahun 20o7 dan saat ini berada di 17 pasar. Pembelanja hanya butuh membayar $14.99 per bulan untuk layanan ini namun membutuhkan keanggotaan Amazon Prime — sebuah layanan yang masih belum direplikasi Lazada untuk penggunanya.

“Standar bagi ritel bahan makanan sangat tinggi. Supermarket dan penjual bahan pangan adalah salah satu peritel yang terbaik di dunia.” Ajay Kava, Vice-President dari Amazon Fresh, menyampaikan kepada The Daily Telegraph.

“Kami percaya bahwa kunci dari kesuksesan jangka panjang Amazon Fresh adalah untuk menggabungkan harga yang murah, pilihan yang beragam, metode pengiriman yang cepat dan pengalaman pengguna yang dikenal dan dicintai oleh para pengguna Amazon.”

Biarkan penajaman pisau dapur ini dimulai.

Mari menajamkan pisau untuk perang e-commerce yang lebih besar tahun depan
Mari menajamkan pisau untuk perang e-commerce yang lebih besar tahun depan


Disclosure: Tulisan ini ditulis oleh Cynthia Luo dan diterjemahkan oleh Rara Kinasih. Artikel aslinya bisa diakses di sini.

Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan eCommerceIQ.