Tag Archives: reformasi digital

Kurir Beserta Aktivis Menuntut Reformasi dalam Gig Economy di Indonesia

Bersama pandemi yang menyebabkan hampir 50% peningkatan dalam transaksi e-commerce tahun ini dibandingkan dengan tahun 2020, perusahaan e-commerce dan logistik mengalami pertumbuhan yang stabil. Namun, peningkatan pendapatan bagi perusahaan belum disalurkan dengan baik untuk kurir pengiriman, yang merupakan tulang punggung operasi e-commerce.

Pada tahun 2016, Ade Putra mulai bekerja sebagai pengemudi ojek untuk berbagai platform seperti Uber, Gojek, dan Grab. Namun, tahun lalu, ketika perusahaan ride-hailing melihat penurunan drastis dalam pesanan penumpang karena lockdown yang memengaruhi sebagian besar wilayah Indonesia, Ade memutuskan untuk beralih profesi menjadi kurir. Ia bergabung dengan dua perusahaan logistik—GoKilat dan Lalamove milik Gojek.

Ade berpikir bahwa dua pekerjaan itu akan memberinya penghasilan yang layak, memang seperti itu adanya hingga di bulan Juni, kedua perusahaan menyesuaikan skema insentif mereka, yang mengurangi komisi per km pengendara pengiriman untuk setiap pesanan.

“Sebelumnya tarif Lalamove adalah Rp 4.000 [USD 0,28], tetapi dipotong setengahnya pada Januari 2021. GoKilat juga mengubah skema insentif baru-baru ini, jadi kami mengajukan keluhan,” ujar Ade kepada KrASIA. Ia juga sebagai juru bicara kelompok mitra Lalamove yang mogok pada bulan Juni dan secara kolektif menonaktifkan akun mereka selama tiga hari.

Ade dan kurir lain yang bekerja untuk Lalamove yang berbasis di Hong Kong juga mengeluhkan kebijakan penangguhan platform. “Terkadang terjadi hal-hal yang di luar kendali kita, seperti salah alamat pengiriman, atau tiba-tiba sepeda motor kita mogok. Namun, platform tidak peduli dengan alasan ini, dan kami dapat ditangguhkan jika kami membatalkan pesanan atau jika pelanggan memberi peringkat rendah,” jelasnya.

Pada awal Juni, kurir GoKilat Gojek menolak menerima pesanan sebagai protes atas paket kompensasi baru. Dokumentasi oleh Shutterstock.

Ketidakadilan dalam model partnership antara platform dan kurir

Gig economy adalah konsep yang relatif baru di Indonesia, dipopulerkan oleh perusahaan ride-hailing seperti Uber, Grab, dan Gojek, yang merevolusi ojek informal sejak 2014. Grab—yang mengakuisisi operasi Uber Asia Tenggara pada 2018—dan Gojek telah memperluas layanan mereka di luar ride-hailing untuk memberikan penawaran lain, termasuk pengiriman jarak jauh dan pengiriman makanan.

Menyusul kesuksesan perusahaan ride-hailing, sejumlah perusahaan logistik seperti Lalamove, Lazada Logistics, J&T Express, dan SiCepat juga telah mulai beroperasi di Indonesia untuk menyediakan solusi dan pengiriman logistik yang cepat, mendukung pertumbuhan e-commerce di negara ini. Beberapa dari perusahaan ini telah mengadopsi “model kemitraan” dengan kurir mereka, mengklaim menawarkan kebebasan dan fleksibilitas yang lebih besar dari segi jam dan pengaturan kerja. Namun, perusahaan-perusahaan ini tidak mengklasifikasikan kurir sebagai karyawan formal. Sebaliknya, mereka didefinisikan sebagai kontraktor sementara. Tanpa menjalin hubungan kerja formal, perusahaan dapat menyangkal insentif yang seharusnya diterima oleh kurir menurut hukum Indonesia.

“Platform sharing economy saat ini menawarkan sistem kemitraan semu yang mengarah pada eksploitasi pekerja,” Bhima Yudhistira Adhinegara, direktur lembaga think-tank Center of Economic and Law Studies (Celios), mengatakan kepada KrASIA. “Dalam kemitraan yang ideal, kedua belah pihak harus menyepakati setiap kebijakan, sehingga perusahaan tidak boleh mengambil keputusan sepihak, terutama dalam hal upah dan beban kerja.”

“Perusahaan menawarkan ‘ilusi pilihan’, seolah-olah kurir memiliki fleksibilitas untuk bekerja kapan saja. Tetapi dengan sistem insentif yang rendah, mereka harus bekerja kapan saja jika ingin membawa pulang uang yang layak,” kata Margianta Surahman, direktur eksekutif Emancipate Indonesia, sebuah organisasi pemuda yang fokus pada masalah ketenagakerjaan.

Terlebih lagi, di bawah undang-undang ketenagakerjaan saat ini, pekerja gig tidak diizinkan untuk membuat serikat pekerja formal, dan organisasi mereka hanya dilihat sebagai komunitas informal, sehingga sulit untuk menyuarakan tuntutan mereka.

Lazada Logistics di Indonesia didukung oleh lebih dari 15.000 karyawan dan mitra kurir. Dokumentasi oleh Lazada Indonesia.

Menuntut reformasi

Pendapatan bersih rata-rata kurir GoKilat pada Mei 2021 adalah sekitar Rp 1,6 juta (USD 112), kurang dari setengah upah minimum di Jakarta sebesar Rp 4,4 juta (USD 309), menurut laporan Universitas Gajah Mada. Laporan tersebut juga menyoroti bahwa rata-rata jam kerja kurir GoKilat adalah 11,2 jam per hari, 25,2 hari per bulan. Selain itu, 60% kurir tidak memiliki asuransi kesehatan, dan 97% tidak memiliki asuransi kendaraan. KrASIA tidak dapat menemukan data atau laporan publik terbaru dari perusahaan lain.

Pada paruh pertama tahun 2021, setidaknya ada empat mogok kerja yang dilakukan oleh kurir sebagai bentuk ketidakpuasan mereka terhadap skema insentif yang rendah. Pekerja pertunjukan memprotes Shopee Express pada bulan April, diikuti oleh protes terhadap GoKilat Gojek, juga dikenal sebagai GoSend Same Day, pada bulan Juni. Gelombang aksi terorganisir untuk remunerasi dan tunjangan yang lebih baik berlanjut dengan protes lain terhadap GrabExpress dan Lalamove pada bulan yang sama.

Ketidakpuasan yang semakin jadi dari para pekerja pengiriman mendorong sejumlah peneliti independen, organisasi nirlaba, dan komunitas online untuk bekerja sama membentuk petisi resmi yang akan disampaikan kepada Menteri Tenaga Kerja Indonesia, Ida Fauziah. Petisi, yang memiliki judul yang dapat diterjemahkan sebagai “Tolong lindungi kurir e-commerce, karena mereka tidak aman dan sejahtera,” telah mengumpulkan lebih dari 8.549 tanda tangan sejak 2 September. Penyelenggara berharap untuk mengumpulkan 10.000 tanda tangan.

Penulis petisi berharap kementerian dapat menetapkan peraturan baru untuk memastikan skema pendapatan yang layak, beban kerja yang manusiawi, hak-hak buruh, dan bantuan hukum saat dibutuhkan untuk kurir. Mereka juga mendesak platform e-commerce untuk memberikan pendidikan publik yang lebih baik tentang sistem cash-on-delivery karena serangkaian pelanggaran terhadap kurir oleh pelanggan yang tidak puas.

Keluhan tentang penganiayaan pekerja gig adalah fenomena global. Pada akhir Juli, China mengeluarkan kebijakan baru untuk melindungi pengendara pengiriman makanan dan memerintahkan platform online untuk menjamin pendapatan dasar dan kesejahteraan sosial bagi pengendara mereka. Di Singapura, Perdana Menteri Lee Hsien Loong menyatakan keprihatinannya terhadap pekerja pengiriman dan mengatakan bahwa pemerintahnya akan mengatasi perjuangan para pekerja berupah rendah secara umum.

Dengan lebih dari 33 juta pekerja gig di Indonesia, para kritikus mengatakan pemerintah harus segera mengambil tindakan serupa. Adhinegara dari Celios membuat perbandingan dengan Inggris, di mana pengemudi Uber diklasifikasikan sebagai pekerja, bukan kontraktor independen wiraswasta. Analis percaya bahwa sektor teknologi Indonesia, yang valuasinya terus tumbuh, memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan mitra pengemudi dan kurirnya.

“Semua persyaratan untuk meresmikan hubungan kerja antara platform teknologi dan mitra pengemudi telah dipenuhi. Ada majikan, karyawan, deskripsi pekerjaan yang jelas, dan target kerja. Jika kita terus mendorong gig system untuk pekerja kasar, kita akan memperbesar sektor informal di mana pekerja tidak memiliki perlindungan dan keamanan kerja,” kata Adhinegara.

Saat dihubungi KrASIA, kepala logistik Gojek, Steven Halim, mengatakan bahwa mitra pengemudi GoKilat adalah bagian penting dari bisnis perusahaan. Pengemudi memiliki kebebasan untuk menentukan jam kerja mereka sendiri dan fleksibilitas untuk memutuskan berapa banyak paket yang ingin mereka kirimkan dalam sehari, tegasnya. “Pada saat yang sama, kami menyadari pentingnya memastikan mereka memiliki pendapatan yang berkelanjutan,” tambahnya.

“Kami memiliki skema pendapatan dasar yang kompetitif untuk pengemudi GoKilat, dan skema insentif yang memberikan peluang lebih besar bagi mereka untuk mendapatkan pendapatan tambahan.”

Steven tidak memberikan rincian tentang pendapatan dasar dan skema insentif tersebut, tetapi dia mengatakan kepada media lokal pada bulan Juni bahwa mitra kurir mendapatkan bonus Rp1.000 (USD 0,07) per paket untuk satu hingga sembilan pengiriman, naik hingga maksimum Rp. 2.500 (USD 0,18) per paket untuk pengiriman 15 paket ke atas.

Lazada juga memberikan tanggapan serupa. “Keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan setiap mitra Lazada Logistics, termasuk kurir kami, selalu dan akan selalu menjadi prioritas utama kami. Setiap mitra kurir Lazada di Indonesia berhak atas asuransi jiwa dan asuransi kecelakaan,” ujar Philippe Auberger, Chief Logistics Officer Lazada Indonesia.

Sementara itu, tarif insentif rata-rata saat ini untuk mitra pengiriman Shopee Express di Jabodetabek adalah Rp 2.213 [USD 0,16] per paket berdasarkan 80 paket per hari. “Program insentif kami selalu sesuai dengan peraturan setempat, dan sangat kompetitif dalam industri jasa logistik. Kami mendukung mitra kurir kami melalui berbagai inisiatif lain termasuk menawarkan pelatihan dan perlindungan asuransi untuk memastikan lingkungan kerja yang lebih aman,” kata representatif Shopee kepada KrASIA.

Promotor reformasi, bagaimanapun, mengatakan bahwa model kemitraan antara kurir online dan platform teknologi bahkan tidak diakui oleh kerangka kerja Indonesia. “Undang-undang ketenagakerjaan Indonesia tidak mengenal kemitraan semacam ini, jadi regulator harus segera meninjau [undang-undang untuk sistem ini],” kata Adhinegara. Sementara undang-undang nomor 20 tahun 2008 tentang usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mengatur sistem kemitraan yang melibatkan UMKM, pekerja gig harus diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan, tambahnya.

Sementara itu, Surahman dari Emancipate mengatakan bahwa jika mengubah status kurir dari “mitra” menjadi karyawan “terlalu sulit saat ini”, perusahaan teknologi harus memperbarui model saat ini untuk setidaknya memberikan jaminan pendapatan minimum dan asuransi.

Surahman, bersama dengan aktivis dan perwakilan komunitas kurir online lainnya, mengadakan pertemuan online dengan staf Kementerian Tenaga Kerja pada bulan Agustus. Usai pertemuan, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah mengatakan akan mengevaluasi sistem kemitraan hingga akhirnya melakukan perubahan untuk mendukung posisi tawar yang setara antara kurir dan perusahaan teknologi.

“Setelah petisi mencapai 10.000 tanda tangan, kami akan menindaklanjuti dengan kementerian untuk memberikan lebih banyak tekanan bagi publik. Mudah-mudahan pemerintah segera memberikan win-win solution,” kata Surahman.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Perubahan menuju digital adalah keniscayaan / Pixabay

“Reformasi Digital”, Perjuangan yang Belum Usai

Tahun 1998 merupakan salah satu lembaran kelam perjalanan sejarah negeri ini. Tak hanya soal kerusuhan dan demo di sana-sini, kondisi ekonomi dan moneter negara jatuh terpuruk seiring dengan krisis yang melanda kawasan Asia Tenggara. Krisis di tahun 1998 tersebut menandai jatuhnya pemimpin bangsa yang sempat bertahan di posisinya hingga lebih dari 30 tahun. Meskipun demikian, sejarah juga mencatat ekonomi Indonesia bisa bertahan karena bertumbuhnya sektor usaha kecil dan menengah, termasuk yang bergerak di industri kreatif.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa pasca krisis tahun 1998, jumlah UKM justru terus meningkat. Bahkan BPS menyebutkan 99% bisnis di Indonesia, atau lebih dari 56 juta buah, adalah UKM. Sisanya, sekitar 5000 buah, tergolong usaha besar.

UKM bisa dibilang adalah pilar penopang yang bisa mendorong Indonesia untuk bangkit. Kini, dengan model gerakan yang sedikit berbeda, UKM dan industri kreatif memimpin pertumbuhan ekonomi Indonesia di abad ke-21. Pionirnya adalah startup-startup digital bertajuk unicorn, baik yang bergerak di industri e-commerce maupun layanan on-demand.

“Kaum millennial”, mereka yang saat reformasi tahun 1998 masih duduk di bangku sekolah atau bahkan baru berusia beberapa tahun, kini memimpin reformasi yang berbeda. Sebut saja gerakannya saat ini sebagai reformasi digital.

Reformasi model baru

Dua puluh tahun pasca reformasi, wajah dunia yang berubah membawa kita ke “reformasi model baru”. Meski tidak ada penjelasan bakunya, reformasi digital bisa diartikan sebagai pergeseran tata cara dari yang sifatnya konvensional ke digital. Reformasi digital bisa dijalankan di berbagai aspek, termasuk pemerintahan, manufaktur, pendidikan, penegakan hukum, dan ekonomi.

Reformasi digital adalah modal setiap bangsa memasuki abad kekinian. Melalui teknologi digital, ekonomi tak lagi didasarkan pada transaksi yang dilakukan di tempat yang sama antara penjual dan pembeli. Penjual dan pembeli bisa berdomisili di kota atau bahkan negara yang berbeda. Sarana logistik dan pembayaran digital akan menjadi jembatan yang memudahkan transaksi ini.

Reformasi seperti ini mendukung usaha Indonesia untuk sejajar dengan negara-negara maju. Berbagai studi lembaga terkemuka dunia, termasuk oleh McKinsey dan PwC, meyakini hadirnya Indonesia di jajaran ekonomi terdepan dunia di tahun 2030. Berdasarkan beberapa metode, Indonesia bahkan dianggap layak masuk ke jajaran lima besar ekonomi global, bersama dengan Tiongkok, Amerika Serikat, India, dan Jepang.

Abad ke-21 ditandai dengan booming pertumbuhan perusahaan teknologi. Data tiba-tiba menjadi “emas atau minyak baru” dan jargon-jargon seperti big data, artificial intelligence, blockchain, internet of things, dan connected device menjadi makanan sehari-hari.

Jika di awal tahun 2000-an perusahaan bervaluasi terbesar di dunia didominasi oleh perusahaan minyak dan ritel, di tahun 2018 ini hegemoni tersebut dikuasai perusahaan berbasis teknologi yang berbasis di Silicon Valley. Sebut saja Apple, Google/Alphabet, Amazon, Microsoft, dan Facebook di Amerika Serikat.

Sementara di Tiongkok, Tencent dan Alibaba bersaing ketat menjadi pemimpin pasar. Tiap-tiap perusahaan itu nilai perusahaannya udah berada di atas $400 miliar, bahkan Apple sudah berada di kisaran $800 miliar.

Pelaku di Indonesia tidak mau kalah, walaupun skalanya belum sebesar di Amerika Serikat maupun Tiongkok. Jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 260 juta jiwa, terbesar keempat di dunia, menjadi modal dasar bangsa untuk unggul di zaman digital. Terlebih masyarakat kita sangat adoptif terhadap perkembangan teknologi. Lebih dari separuh masyarakat, atau sekitar 143 juta jiwa menurut data APJII, telah memiliki akses ke layanan internet. Ini adalah pangsa pasar yang sangat ideal. Di Asia kita adalah yang pasar ketiga terbesar setelah Tiongkok dan India.

Industri kreatif dan UKM kita kemudian berevolusi. Tak hanya berjualan dari lapak ke lapak, mereka sudah merambah ke sektor digital. Ekonomi digital menjadi sebuah kredo populer, baik digaungkan pemerintah, penggiat ekonomi digital, maupun berbagai lapisan masyarakat.

Pengrajin di Jepara kini bisa memiliki pelanggan di Sabang, sementara pedagang mainan berskala kecil bisa mengirimkan barangnya ke Merauke. Semua dikendalikan melalui genggaman tangan.

Data Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) menunjukkan hampir 25 juta orang atau 9 persen dari total populasi telah membeli barang secara online di tahun 2016.

Digital booming

Layanan berbasis online mulai bermunculan sejak tahun 2009, tapi booming-nya baru terasa di tahun 2014 yang diakselerasi kehadiran Rocket Internet. Jagad industri digital terbangun dari tidurnya ketika Tokopedia, salah satu layanan e-commerce lokal yang didirikan oleh William Tanuwijaya dan Leontinus Alpha Edison, mendapatkan suntikan dana segar senilai $100 juta (atau lebih dari 1 triliun Rupiah dengan nilai tukar saat itu) dari dua investor terkemuka, Softbank dan Sequoia Capital. Sejak itu industri digital Indonesia tak lagi sama.

Duit jutaan dollar kini mengalir ke kantong-kantong pendiri startup lokal. Sekitar tiga miliar dollar dikucurkan investor untuk startup Indonesia tahun 2017 lalu. Setiap tahun ratusan startup dibangun oleh anak-anak muda idealis yang ingin menyelesaikan masalah bangsa.

Indonesia yang memiliki permasalahan di berbagai aspek adalah suatu laboratorium eksperimen yang ideal bagi berbagai startup untuk menguji coba ide-idenya.

Presiden Joko Widodo di pertemuan World Economic Forum 2015 mengatakan: “When we see challenges, I see opportunities. Indonesia’s challenges are your opportunities.”

Kita tak lagi kaget ketika Go-Jek mencari dana miliaran dollar untuk tetap relevan dalam kompetisinya menghadapi pesaing terdekat. Semua berebut kue lezat yang didengungkan seantero jagad. Indonesia layaknya gadis molek yang diperebutkan semua orang.

Negara kita kini memiliki empat perusahaan startup yang memiliki valuasi di atas satu miliar dollar. Mereka adalah Go-Jek, Tokopedia, Traveloka, dan Bukalapak. Satu startup bergerak di sektor pelayanan dan logistik, sementara sisanya berhubungan dengan perdagangan.

Saking produktifnya, jumlah startup unicorn Indonesia lebih banyak dibanding total unicorn di negara-negara Asia Tenggara lainnya. Yang lebih mengejutkan lagi, nilai valuasi ini dicapai dalam jangka waktu pendek.

Sebagai gambaran, nilai valuasi Go-Jek, yang disebut-sebut menyentuh angka empat miliar dollar, lebih tinggi dibanding perusahaan transportasi apapun yang telah melantai di Bursa Efek Indonesia.

Selain itu sekitar dua juta UKM Indonesia kini menggantungkan kelangsungan bisnisnya melalui kepemimpinan perusahaaan digital. Belum lagi jutaan mitra pengemudi yang bergabung di layanan transportasi berbasis aplikasi.

Optimisme yang terukur

Menurut Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, dalam enam tahun terakhir pertumbuhan industri digital mencapai 9,8-10,7 persen, dua kali lipat dari pertumbuhan dari pertumbuhan ekonomi nasional. Airlangga bahkan yakin angkanya mencapai di atas 11 persen di tahun 2019 karena seluruh Nusantara sudah terhubung dengan internet.

Saat ini ekonomi digital disebut baru menyumbang sekitar 1-2% dari total GDP, tapi semua optimis porsinya bakal terus bertambah. Menkominfo Rudiantara bahkan pernah memberi pernyataan bombastis bahwa di tahun 2020 ekonomi digital bakal menyumbang 11 persen (senilai $130 miliar) dari total GDP Indonesia, meskipun penulis melihat jangka waktu tersebut belum realistis.

Di Tiongkok, yang penetrasi ekonomi digitalnya sudah luar biasa, angka tersebut baru dicapai setelah sekitar 15-20 tahun.

Skala ekonomi yang dikembangkan layanan digital tak bisa dianggap remeh. Kajian Lembaga Demografi Universitas Indonesia beberapa waktu yang lalu menyebutkan bahwa Go-Jek per tahun sudah menyumbang sekitar 9,9 triliun Rupiah ke ekonomi nasional untuk meningkatkan taraf hidup jutaan mitra pengemudi dan keluarganya melalui dua jenis layanan saja, layanan transportasi dan layanan pengantaran makanan.

Sebagai seseorang yang beruntung merasakan langsung dinamika yang terjadi antara 1998 dan 2018, penulis meyakini faktor perkembangan teknologi memegang peranan penting bagi perkembangan ekonomi Indonesia ke depannya. Memanfaatkan teknologi, kita menjadi lebih efisien dalam melakukan transaksi perdagangan, kegiatan logistik, maupun pelayanan-pelayanan di sektor lainnya.

Efek samping

Meskipun demikian, implementasi teknologi bukan berarti tak punya sisi negatif. Sikap apatis, antisosial, dan semakin pudarnya sikap sopan santun menjadi sinyalemen bahwa kemajuan teknologi juga membawa dampak buruk.

Selain itu kita juga sekarang cenderung malas untuk bergerak karena layanan on-demand, seperti Go-Jek, sangat memudahkan kita untuk memperoleh satu barang atau bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Tak heran jika tingkat obesitas di Indonesia termasuk yang melonjak tajam. Data Riset Kesehatan Nasional menyebutkan 20% penduduk dewasa Indonesia mengalami obesitas, sementara pengidap obesitas di anak-anak meningkat tiga kali lipat.

Sejumlah literatur juga menyoroti dampak buruk ekonomi digital. Don Tapscott, yang menerbitkan buku The Digital Economy tahun 1995, dalam tulisan retrospektifnya di Harvard Business Review, menyoroti isu-isu sosial, seperti berkurangnya lapangan pekerjaan, hilangnya privasi, dan semakin dalamnya jurang kesenjangan sosial.

Kehadiran layanan e-commerce memang mendorong perubahan budaya. Pusat-pusat perbelanjaan tidak lagi menjadi tujuan kita saat membutuhkan suatu barang. Tercatat setidaknya lima gerai ritel besar berguguran sepanjang tahun lalu, yang salah satunya berdampak pada menurunnya jumlah lapangan pekerjaan.

Kemajuan teknologi juga mengancam pekerjaan di sektor layanan pelanggan yang mulai digantikan teknologi seperti chatbot dan asisten virtual.

Kebanyakan yang menjadi korban adalah kalangan menengah ke bawah dengan skill atau tingkat pendidikan yang relatif rendah. Penetrasi teknologi yang semakin luas bisa berdampak semakin sempitnya lapangan pekerjaan bagi kalangan ini.

Kesimpulan

If we are really to be a great nation, we must not merely talk; we must act big. (Theodore Roosevelt, Presiden Amerika Serikat ke-26)

Reformasi tahun 1998 akan selalu menjadi pengingat bahwa sejarah Indonesia memiliki masa-masa naik dan turun. Indonesia adalah bangsa yang masih muda. Seperti halnya bangsa-bangsa lain yang memiliki sejarah lebih panjang, peristiwa tersebut akan menjadi titik tolak untuk melangkah menjadi bangsa yang lebih baik.

Kemajuan zaman tidak bisa dihindari dan adopsi teknologi adalah keniscayaan. Terlepas dari sejumlah efek samping yang ditimbulkannya, ekonomi digital akan terus merangsek dan berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi negara. Inklusi finansial, yang juga merupakan program pemerintah, bakal semakin mudah dengan hadirnya berbagai layanan digital, termasuk peminjaman, pembiayaan, investasi, dan lain sebagainya.

Reformasi digital masih belum usai dan menjadi kewajiban kita bersama mengawalnya untuk selalu berada di arah yang benar. Hal ini demi mencapai cita-cita Indonesia yang berdaulat dan sejajar dengan negara-negara besar lainnya pada tahun 2030.


Artikel ini juga dimuat di The Jakarta Post dalam format bahasa Inggris