Tag Archives: regulasi esports

skandal curang cs:go

Tertangkap Berbuat Curang, 37 Pelatih Tim CS:GO Terkena Hukuman dari ESIC

Esports Integrity Commission (ESIC) memutuskan untuk menghukum 37 pelatih tim Counter-Strike: Global Offensive karena diketahui berbuat curang. Puluhan pelatih ini menggunakan bug yang memungkinkan mereka untuk melihat gerakan dan posisi musuh secara real-time.

Hukuman yang diberikan oleh ESIC berupa larangan bagi para pelatih untuk masuk dalam server pertandingan dan berkomunikasi dengan para pemain 15 menit sebelum dan sesudah pertandingan. Para pelatih yang terkena hukuman juga tidak boleh ikut serta dalam proses pemilihan peta.

Durasi hukuman yang ESIC berikan pada 37 pelatih beragam, mulai dari 5 sampai 36 bulan, tergantung pada seberapa sering dan seberapa lama seorang pelatih menggunakan bug dalam game. Pelaku yang mengakui perbuatan mereka akan mendapatkan keringanan berupa pengurangan durasi hukuman. Sejauh ini, telah ada 19 pelatih yang mengaku bersalah.

skandal curang cs:go
37 pelatih tim CS:GO ketahuan menggunakan bug untuk mengetahui posisi musuh. | Sumber: Steam

Sayangnya, hukuman yang ditentukan oleh ESIC hanya berlaku dalam turnamen yang diadakan oleh angota ESIC, termasuk ESL, DreamHack, WePlay! Esports, BLAST, NODWIN Gaming, LVP, dan Eden Esports. Namun, ESIC juga meminta para penyelenggara turnamen lain untuk mematuhi larangan yang mereka tetapkan pada pelatih-pelatih yang diketahui berbuat curang demi “melindungi scene esports CS:GO secara global.”

“Kami mengerti bahwa kabar ini akan menyebabkan masalah bagi banyak orang dalam komunitas CS:GO, tapi kami percaya, masalah integritas pertandingan sebaiknya dihadapi secara langsung. Hal ini akan memberi dampak positif dalam jangka panjang,” ujar ESIC, seperti dikutip dari Esports Insider.

Lebih lanjut ESIC berkata, “Kami tahu bahwa kebanyakan pelatih, pemain, penyelenggara turnamen, publisher dan developer, fans, sponsor, dan broadcaster ingin agar esports dan CS:GO menjadi kompetisi yang jujur dan adil. Tugas kami adalah untuk merealisasikan hal tersebut dan memastikan pihak bermasalah direhabilitasi atau dikeluarkan.”

Pada 4 September 2020, ESIC memulai investigasi terkait kecurangan yang dilakukan oleh para pelatih. Untuk itu, mereka meninjau puluhan ribu demo game dari tahun 2016 yang disediakan oleh ESEA dan HLTV. Saat ini, ESIC telah meninjau 20% dari total 99.650 demo game. Pada awalnya, ESIC memperkirakan, investigasi mereka akan berlangsung selama 8 bulan. Namun, mereka kini mengatakan, investigasi baru akan berakhir pada Oktober 2020.

Di tengah pesatnya perkembangan esports, memang muncul sejumlah masalah. Pada akhir 2019, koalisi asosiasi esports telah membuat 4 prinsip dalam rangka menciptakan komunitas esports yang sehat. Hanya saja, hal itu tidak menghentikan munculnya masalah seperti penggunaan bug untuk berbuat curang atau penggunaan doping.

Esports Bakal Semakin Menarik untuk Pemerintah dan Politikus

Industri esports telah mencapai nilai US$1 miliar pada tahun lalu. Diperkirakan, industri esports masih akan terus tumbuh dengan para pemain profesional sebagai bintang utamanya. Sama seperti atlet olahraga tradisional, seiring dengan perkembangan industri esports, bargaining power para pemain profesional juga akan menjadi semakin kuat.

Menurut laporan VentureBeat, hal ini akan mendorong terciptanya asosiasi pemain profesional, yang dapat mewakili para atlet esports saat berhadapan dengan developer game atau penyelenggara turnamen. Saat ini, telah ada asosiasi yang mewakili para atlet esports, seperti Counter-Strike Professional Players’ Association (CSPPA), yang minggu lalu baru mengumumkan kerja samanya dengan DreamHack dan ESL. Pada Oktober 2019, pemain profesional Fortnite juga membentuk asosiasi sendiri. Di Indonesia, telah ada beberapa organisasi terkait esports, seperti Asosiasi Olahraga Video Games Indoensia (AVGI), Indonesia Esports Association (IESPA), dan Federasi Esports Indonesia (FEI).

Federasi Esports Indonesia
Acara peluncuran Federasi Esports Indonesia / Hybrid

Esports tidak hanya berkembang sebagai industri, tapi, esports juga semakin diakui sebagai olahraga. Esports menjadi pertandingan eksibisi pada Asian Games 2018 dan menjadi cabang olahraga bermedali pada SEA Games 2019. Tak hanya itu, esports juga dipertimbangkan untuk menjadi bagian dari Olimpiade, meski International Olympic Committee mengatakan, mereka hanya akan mempertimbangkan game esports yang merupakan simulasi dari olahraga di dunia nyata, seperti basket dan sepak bola. Memenangkan medali dalam acara olahraga bergengsi tentu akan mengharumkan nama negara. Karena itu, jangan heran jika pemerintah juga mulai turun tangan dalam melatih atlet esports. Tahun lalu, menjelang SEA Games 2019, pemerintah Indonesia juga mengajak atlet esports seperti Hendry ‘Jothree’ Handisurya, untuk ikut serta dalam Pelatnas.

Selain sebagai cabang olahraga, esports juga mulai memasuki ranah pendidikan. Beberapa universitas di Inggris Raya dan Amerika Serikat telah menawarkan program S1 di bidang esports. Memang, di Indonesia, belum ada universitas yang melakukan hal tersebut. Meskipun begitu, telah ada organisasi esports yang membuka kelas untuk melatih pemain amatir yang tertarik untuk menjadi pemain profesional.

Tak berhenti sampai di situ, esports juga mungkin akan dijadikan sebagai alat politik. Seiring dengan bertambahnya penonton esports, maka para atlet esports menjadi semakin populer. Di satu sisi, ini akan mendatangkan sponsor. Faktanya, penonton esports yang muda menjadi salah satu alasan mengapa merek non-endemik tertarik untuk menjadi sponsor esports.

| Sumber: IGN
Ng Wai “Blitzchung” Chung.| Sumber: IGN

Di sisi lain, esports bisa dijadikan sebagai panggung bagi politikus atau aktivis. Misalnya, Ng Wai “Blitzchung” Chung yang juga dikenal sebagai  pernah menyerukan slogan yang mendukung Hong Kong dalam turnamen Hearthstone Grandmasters. Sementara di Indonesia, Ketua Pengurus Besar (PB) Esports, Budi Gunawan (BG) berkelakar bahwa esports bisa menjadi wadah strategis untuk kampanye Pilpres 2024, khususnya untuk memenangkan hati generasi muda.

Masa depan esports memang terlihat cerah. Namun, tetap ada beberapa masalah yang harus diselesaikan para pelaku esports untuk menjamin pertumbuhan industri tersebut. Salah satu masalah yang mungkin muncul adalah skandal kecurangan. Pemain esports profesional biasanya masih sangat muda. Sementara hadiah yang ditawarkan di esports terus bertambah. Tidak heran jika ada pemain yang tergoda untuk melakukan match-fixing atau memanipulasi hasil pertandingan. Pada Agustus 2019, tim asal Australia diketahui mencurangi hasil pertandingan dari turnamen Counter-Strike: Global Offensive.

Masalahnya, skandal kecurangan dapat merusak integrasi esports. Ini bisa membuat para penonton berpaling dari esports. Karena itu, pada November 2019, empat asosiasi esports berinisiatif untuk membuat empat prisip dasar untuk pelaku esports. Salah satunya adalah larangan berbuat curang, mulai dari menggunakan doping sampai memanipulasi hasil pertandingan.

California Sahkan Regulasi untuk Jamin Kesejahteraan Pemain Esports

Riot Games mengatakan bahwa esports kini telah menjadi bagian dari bisnis mereka. Memang, dari sejumlah liga League of Legends, dua di antaranya telah menghasilkan untung. Pemain profesional merupakan bagian penting dari turnamen esports. Tanpa atlet esports, tidak akan ada turnamen esports.

Masalah gaji, pendapatan pemain profesional sudah memadai. Rata-rata gaji minimal yang didapatkan oleh pemain League of Legends profesional adalah US$75 ribu per tahun dan pada 2018, rata-rata gaji pemain League of Legends Championship Series, liga di Amerika Utara, mencapai US$300 ribu. Meskipun begitu, pemain profesional tidak dianggap sebagai pekerja di bawah Riot Games. Memang, seorang pemain profesional biasanya menjalin kontrak dengan organisasi esports. Namun, untuk bergabung dengan tim League of Legends profesional, seseorang harus membuat kontrak dengan Riot Games sebagai publisher game tersebut.

Ini memberi Riot kuasa yang sangat besar atas para pemain. Mereka tidak hanya menentukan besar gaji yang diterima pemain, tapi mereka juga bisa mengharuskan para pemain untuk berlatih di tempat yang telah ditentukan perusahaan atau menggunakan perangkat yang digunakan oleh tim. Selain itu, Riot juga bisa membatasi kebebasan berpendapat dari para pemain. Misalnya, ketika Hong Kong melakukan protes atas Tiongkok, John Needham, Global Head of League of Legends Esports mendorong para atlet untuk tidak mengungkap pendapat pribadi mereka terkait isu sensitif, lapor Quartz.

Per 1 Januari 2020, regulasi baru bernama Assembly Bill 5 (AB5) mulai berlaku di California, Amerika Serikat. Di bawah regulasi ini, semua orang yang bekerja demi keuntungan perusahaan akan dianggap sebagai pekerja tetap perusahaan. Ada tiga hal yang membuat seseorang tidak dianggap sebagai pekerja tetap perusahaan. Pertama, jika perusahaan tak memiliki kendali atas seorang individu. Kedua, jika apa yang dilakukan oleh seseorang tidak berkaitan dengan bisnis perusahaan. Terakhir, jika seseorang memiliki akses yang memadai untuk bisa mendapatkan penghasilan ekstra atau menjadi pengusaha.

Atlet esports League of Legends memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendapatan ekstra yang sangat terbatas karena Riot memiliki peraturan ketat terkait sponsorship. Mereka bahkan membatasi jenis perusahaan yang boleh menjadi sponsor para pemain. Selain itu, Riot sempat melarang para atlet esports untuk membuat konten dari game yang dianggap sebagai saingan mereka, walau untungnya, mereka akhirnya membatalkan peraturan tersebut.

Di bawah regulasi AB5, semua atlet esports League of Legends merupakan karyawan tetap dari RIot Games. Itu artinya, mereka tidak hanya berhak atas gaji minimal, tapi juga perlindungan dan benefit yang didapatkan oleh pekerja tetap, seperti cuti dan asuransi. Sebagai industri yang masih relatif baru, memang belum banyak regulasi tentang esports yang ada. Namun, perlahan tapi pasti, seiring dengan semakin besarnya industri esports, akan mulai muncul regulasi yang mengatur industri tersebut.

Di Indonesia, belum ada regulasi yang mengatur tentang kontrak pemain profesional. Meskipun begitu, para pelaku industri esports memiliki inisiatif untuk membentuk Federasi Esports Indonesia pada Oktober 2019 dengan tujuan untuk mengatasi berbagai masalah di industri esports, termasuk standarisasi kontrak pekerja esports, baik pemain profesional maupun talent.

Sumber header: Red Bull

Koalisi Asosiasi Esports Buat 4 Prinsip untuk Ciptakan Komunitas Esports yang Sehat

Walau esports berkembang pesat, tak banyak regulasi tentang industri ini. Karena itu, sejumlah asosiasi esports, seperti Esport Student Association (ESA), Entertainment Software Association of Canada (ESAC), Interactive Games & Entertainment Association (IGEA), Interactive Software Federation of Europe (ISFE), dan UK Interactive Entertainment (UKIE) mengambil inisiatif untuk membuat empat prinsip dasar bagi para pelaku industri esports. Prinsip pertama adalah komunitas esports harus bebas dari kekerasan atau perlakuan tak menyenangkan yang membuat seseorang merasa terancam atau terganggu. Jika Anda sering menjelajah media sosial atau forum di dunia maya, Anda pasti pernah bertemu atau melihat troll, orang-orang yang sengaja membuat pernyataan untuk memancing emosi pengguna lain.

Prinsip kedua yang ingin ditegakkan oleh koalisi asosiasi game dan esports adalah tentang integritas dan fair play. Semua pelaku esports dilarang berbuat curang, seperti dengan melakukan hacking atau kegiatan lain yang merugikan tim dan pemain lain atau merusak kepercayaan masyarakat akan esports. Menurut data Goldman Sachs, jumlah penonton esports pada tahun ini telah mencapai 194 juta orang dan akan naik menjadi 276 juta orang pada 2022. Namun, jika muncul banyak skandal di dunia esports, hal ini akan membuat para penontoh beralih. Menurut Esports Integrity Coalition (ESIC), asosiasi nirlaba yang didirikan pada 2015 untuk mengatasi masalah integritas di esports, ada empat jenis “kecurangan” di esports, yaitu menggunakan software untuk membuat seorang pemain atau sebuah tim lebih unggul dari lawan, serangan online yang menghambat musuh, match-fixing (manipulasi hasil pertandingan), dan penggunaan doping, lapor The Esports Observer.

Prinsip ketiga terkait inklusivitas dalam industri esports. Semua pelaku esports didorong untuk menghargai dan menghormati satu sama lain, termasuk rekan satu tim, lawan, penyelenggara, dan penonton. Mengingat esports adalah fenomena global, para pelaku dan penonton yang terlibat di dalamnya datang dari berbagai negara dengan latar belakang budaya, sosial, dan ekonomi yang berbeda-beda pula. Karena itu, koalisi asosiasi esports mendorong agar para pelaku esports tidak memberikan perlakuan berbeda berdasarkan ras, gender, umur, agama, dan lain sebagainya. Memang, seksisme masih menjadi salah satu masalah di esports. Xiaomeng “VKLiooon” Li, perempuan pertama yang menjadi Hearthstone Global Champion menceritakan perlakuan seksis yang dia terima ketika dia ikut bertanding dalam turnamen Hearthstone.

Sumber: Twitter
Xiaomeng “VKLiooon” Li saat memenangkan Hearthstone Grandmasters Global Finals| Sumber: Twitter

Terakhir, prinsip yang ingin ditegaskan oleh koalisi asosiasi adalah gameplay yang positif dan membangun. Mereka merasa, bermain esports dapat meningkatkan kemampuan komunikasi dan kerja sama seseorang. Selain itu, bermain esports juga bisa menjadi cara untuk menjalin pertemanan, baik dengan rekan satu tim atau bahkan dengan musuh. Yohannes P. Siagian yang pernah menjadi Kepala Sekolah SMA 1 PSKD dan VP EVOS Esports, ada banyak soft skills yang bisa dipelajari oleh siswa SMA jika esports dibawa ke sekolah.

Dalam pernyataan resmi yang dibuat bersama oleh koalisi asosiasi, mereka berkata bahwa keberagaman, keamanan, inklusivitas, dan fair play harus menjadi pondasi dari komunitas esports. Dikutip dari GameIndustry, mereka berkata, “Komunitas kami terdiri dari pemain, tim, penyelenggara, dan juga publisher game serta pemegang hak cipta atas properti intelektual. Mereka semua bertanggung jawab atas pertumbuhan ekosistem esports sehingga ia tumbuh seperti sekarang. Sebagai bagian dari komunitas ini, kami membuat empat prinsip utama untuk membuat komunitas esports yang adil, ramah, dan menyenangkan bagi semua orang. Seiring dengan pertumbuhan esports, kami akan terus mendukung pengembangan ekosistem yang bisa memuaskan semua komunitas — mulai dari komunitas untuk turnamen internasional sampai komunitas acara lokal.”

ISFE Buat Divisi Esports untuk Satukan Pelaku Industri

Semakin tinggi sebuah pohon, semakin kencang angin yang menerpa. Begitu juga dengan industri. Seiring dengan semakin besarnya industri esports, semakin banyak pula masalah yang akan dihadapi. Terutama karena para pelaku industri esports memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Ini mendorong Interactive Software Federation of Europe (ISFE) untuk membentuk divisi khusus esports.

ISFE didirikan pada 1998 sebagai sebuah organisasi mandiri yang mewakilkan kepentingan sektor software interaktif di Eropa. Sementara ISFE Esports didirikan untuk menyatukan para pelaku industri esports, mulai dari penyelenggara turnamen sampai platform streaming. Beberapa anggota ISFE Esports antara lain Activision Blizzard, Bandai, ESL, Electronic Arts, Epic Games, Riot Games, Take-Two Interactive, dan Twitch, Ubisoft. Selain para pelaku industri esports, ISFE Esports juga didukung oleh organisasi serupa dari kawasan lain, sepreti Entertainment Software Association (ESA) dari Amerika Serikat, Entertainment Software Association of Canada (ESAC), dan International Game & Entertainment Association (IGEA) dari Australia dan Selandia Baru.

Sumber: Wikipedia
Esports kini menjadi industri yang semakin besar. Sumber: Wikipedia

Di bawah ISFE Esports, semua perusahaan yang terlibat di bidang esports diharapkan akan dapat melakukan koordinasi sehingga mereka semua dapat mengirimkan pesan yang sama ke masyarakat ketika mereka melakukan edukasi terkait esports. Selain itu, para anggota ISFE Esports juga diharapkan akan dapat saling membantu dalam menciptakan ekosistem yang inklusif. Tidak berhenti sampai di situ, ISFE Esports juga akan menjembatani anggotanya dengan regulator. Seiring dengan semakin besarnya esports, tak terelakkan lagi, pihak regulator pasti akan membuat peraturan terkait industri ini.

Esports adalah bagian dari industri game yang penting dan tumbuh dengan cepat. Esports juga menawarkan kesempatan besar untuk membuat lapangan kerja, mendorong pertumbuhan ekonomi, pariwisata, dan pengembangan kemampuan digital,” kata Chairman ISFE, Olaf Coenen, seperti dikutip dari Dot Esports. “Menurut Newzoo, pendapatan esports secara global bisa menembus €2 miliar pada 2020. Esports telah mengubah cara masyarakat menikmati olahraga, game, dan platform streaming online.”

CEO ESL, Ralf Reichert percaya, keberadaan ISFE Esports akan dapat mempercepat pertumbuhan industri esports, menurut laporan Game Industry. Newzoo menyebutkan, pendapatan di industri esports akan mencapai US$2,2 miliar pada 2022, naik dari US$1,1 miliar pada tahun ini. Alberto Guerrero, European Head of Esports, Riot Games dan Co-chairman of ISFE Esports berkata, “Melihat pesatnya pertumbuhan industri esports, penting bagi kami para publisher untuk berbagi pengalaman kami, khususnya terkait standar cara bermain yang bertanggung jawab untuk melindungi para pemain game kami dan demi kebaikan ekosistem esports itu sendiri.”

Esports Regulatory Congress Bakal Diadakan Pada Akhir September

Esports diperkirakan akan menjadi industri bernilai US$1,8 miliar pada 2022. Meskipun begitu, hingga saat ini, belum ada peraturan yang pasti untuk meregulasi industri tersebut. Inilah yang mendorong diselenggarakan Esports Regulatory Congress. Acara yang akan diadakan pada 23-24 September di Barcelona, Spanyol itu diklaim sebagai konferensi regulasi esports internasional pertama di dunia.

Acara tersebut akan mengundang lebih dari 30 pembicara. Beberapa pembicara yang akan hadir antara lain Managing Director of Rogue Sports Europe, Anna Bauman, CEO of British Esports, Chester King dan CEO of Esports Middle East, Saeed Sharaf. ERC akan diadakan selama dua hari, yaitu pada 23 dan 24 September. Pada hari pertama, beberapa topik yang akan diangkat adalah masa depan esports, pengakuan pemerintah akan esports, investasi esports, tanggung jawab atlet esports dan para influencer, serta kolaborasi dengan publisher game.

Esports kini memang mulai diakui sebagai olahraga. Pada tahun lalu, Asian Games menjadikan esports sebagai pertandingan eksibisi. Sementara pada tahun ini, esports akan masuk menjadi salah satu cabang olahraga dalam SEA Games. Pemerintah Indonesia juga mengatakan bahwa mereka ingin mendukung pengembangan industri gaming dan esports. Anak bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarepan bahkan rela “bergabung” dengan Genflix Aerowolf untuk bisa memahami industri game dan esports di Indonesia.

https://www.youtube.com/watch?v=QLFKmE3GeYw

Menurut laporan Esports Insider, pada hari kedua dari Esports Regulator Congress, topik yang diangkat akan sedikit berbeda. Kali ini, sisi monetisasi esports yang akan dibahas, seperti tentang sponsorship dan iklan di esports. Sekarang, sponsorship memang masih menjadi sumber pendapatan utama bagi pelaku industri esports. Namun, hak siar media menjadi pendapatan dengan pertumbuhan paling tinggi. Karena itu, diharapkan, di masa depan, industri esports bisa menjadikan hak siar media sebagai sumber pemasukan utama.

Regulasi dalam sebuah industri memang penting. Namun, jika regulasi yang ada terlalu ketat, ini justru akan membuat industri tak bisa berkembang. Menurut VentureBeat, jika esports hendak diregulasi, salah satu masalah yang harus bisa diselesaikan adalah match-fixing atau manipulasi hasil pertandingan. Sayangnya, match-fixing memang merupakan masalah di ekosistem esports. Pada akhir Agustus lalu, enam orang ditangkap karena hendak sengaja membuat timnya kalah dalam turnamen CS:GO demi memenangkan taruhan.

Tanpa regulasi yang jelas pun, sebenarnya para pelaku industri telah berusaha untuk mengatasi masalah ini. Pada tahun 2015, Esports Integrity Coalition (ESIC) didirikan dengan tujuan untuk menjaga integritas esports. Untuk mencegah match-fixing, mereka bekerja sama dengan sejumlah situs judi dan pihak berwajib lokal. Selain itu, mereka juga berusaha untuk mencegah penggunaan software untuk bermain curang.

Sumber: Wikipedia
Ilustrasi pertandingan esports. Sumber: Wikipedia

Tak hanya manipulasi hasil pertandingan, masalah lain yang harus bisa diatasi di esports adalah penggunaan doping. Walau pemain esports hanya duduk di hadapan layar saat bertanding, mereka juga bisa menggunakan doping untuk meningkatkan refleks dan konsentrasi mereka. Karena itu, para pemain esports profesional harus bisa dipastikan tidak menggunakan doping. Salah satu cara mencegah hal ini adalah dengan melakukan tes secara random. Electronic Sports League (ESL) telah melakukan ini pada para peserta dari turnamen yang mereka selenggarakan.

Masalah terakhir adalah tentang data. Dengan semakin bertumbuhnya industri esports, data para pemain — mulai dari nama, julukan yang digunakan, performa, sampai biometrik — juga akan semakin bernilai. Mengingat esports belum memiliki sistem monetisasi, penyelenggara liga dan turnamen bisa menjual data para pemain ke pihak ketiga untuk mendapatkan pendapatan ekstra.

Industri esports masih relatif muda. Di Indonesia, regulasi terkait esports masih belum ada. Jika pemerintah memang ingin mengembangkan ekosistem esports, mereka harus bisa membuat regulasi yang tepat, cukup ketat untuk memastikan tidak ada pihak yang dirugikan, tapi juga tidak sangat ketat sehingga menghambat pertumbuhan atau bahkan mematikan industri esports itu sendiri.

Sumber header: Esports Insider