Tag Archives: retail

Optimasi Strategi Omnichannel Erajaya Group, Studi Kasus Transformasi Digital Ritel

Erajaya (IDX: ERAA) didirikan sejak tahun 1996 sebagai perusahaan yang fokus pada impor, distribusi, dan perdagangan ritel produk telekomunikasi. Kini cakupannya meluas ke empat kategori berbeda melalui Erajaya Digital (produk elektronik konsumer: Erafone, ibox, Mi Store dll), Erajaya Active Lifestyle (produk gaya hidup: JD Sports, Urban Adventure dll), Erajaya Beauty & Wellness (perawatan dan kecantikan: Wellings, The Face Shop dll), dan Erajaya Food & Nourishment (makanan dan minuman: Paris Baguette, Sushi Tei dll).

Selama 27 tahun beroperasi, pelbagai dinamika bisnis telah dilalui. Hingga di titik ini, satu hal yang cukup menonjol dalam strategi bisnis grup Erajaya, yakni transformasi digital ritel. Salah satunya dengan model bisnis online-to-offline (O2O) atau biasa disebut juga sebagai omnichannel. Konsep ini memungkinkan sebuah bisnis ritel mengintegrasikan pengalaman berbelanja secara online melalui aplikasi, dengan berbelanja langsung ke sebuah gerai ritel di pusat perbelanjaan.

Untuk meninjau bagaimana strategi omnichannel memberikan proposisi nilai terhadap perusahaan, DailySocial.id berkesempatan untuk mewawancara Wakil Direktur Utama PT Erajaya Swasembada Tbk., Hasan Aula.

Wakil Direktur Utama PT Erajaya Swasembada Tbk., Hasan Aula / Erajaya

Menangkap perubahan tren konsumen

Membuka cerita, Hasan kembali mengingatkan kondisi saat pandemi melanda dunia – berbagai pembatasan aktivitas publik dilakukan untuk meminimalkan persebaran virus—sehingga berdampak sangat signifikan terhadap industri ritel, khususnya toko fisik. Di sisi lain, model online seperti mendapatkan momentum tersendiri, seketika itu pula traksi berbagai layanan (e-commerce) meningkat.

Pertumbuhan transaksi e-commerce saat pandemi / Momentum Works
Pertumbuhan transaksi e-commerce saat pandemi / Momentum Works

“Hal itulah yang mendorong kami untuk secara cepat melakukan transformasi bisnis yang relevan dengan behaviour masyarakat saat itu, yakni dengan memperkuat strategi omnichannel dan mengumumkan empat pilar bisnis dalam sektor yang berbeda. Istilahnya, kami melakukan ‘jemput bola’ untuk memastikan pertumbuhan bisnis tetap terjadi tanpa meninggalkan core business Erajaya itu sendiri sebagai bisnis ritel,” ujar Hasan.

Ketika pandemi mereda, strategi omnichannel yang diracik Erajaya masih terus akan ditingkatkan. Pasalnya mereka mencatat bahwa tren belanja online tetap tinggi, namun demikian banyak konsumen yang sudah kembali ke kebiasaan lama dalam belanja, yakni dengan datang langsung ke pusat perbelanjaan.

Hasan menjelaskan, “Strategi omnichannel akan tetap menjadi fokus kami seiring dengan ekspansi footprint ritel dari merek-merek yang kami miliki ke berbagai kota untuk menjangkau pelanggan lebih luas.”

Omnichannel sebagai proposisi nilai

Jauh sebelum pandemi, sebenarnya Erajaya juga sudah mulai menyusun strategi omnichannel-nya. Mereka melakukannya secara bebarengan, antara pengembangan platform Eraspace.com, memperluas official store di situs marketplace ternama, dan menambah toko ritel di pusat perbelanjaan modern.

Selain Eraspace.com, layanan lain turut dihadirkan antara lain “Click ‘n Pickup” berupa transaksi online yang diakhiri dengan pengambilan produk di gerai yang dipilih secara langsung. Hal ini ditawarkan kepada mereka yang ingin memilih produk secara nyaman di rumah dan langsung mendapatkan barangnya.

Ada juga “Mobile Selling” untuk memesan melalui Whatsapp. Lalu terdapat “EraXpress” untuk mengantar langsung produk yang dibeli secara online untuk pelanggan yang tinggal tidak jauh dari toko fisik terdekat Erajaya.

Online marketplace bisa dibilang sangat memudahkan masyarakat dalam membeli barang yang dibutuhkan. Namun, kami berusaha untuk memberikan personalisasi dalam pelayanan yang kami berikan. Melalui omnichannel yang dimiliki, Erajaya berusaha memahami kebutuhan dan kebiasaan masyarakat sebagai landasan dalam merumuskan strategi dengan mengutamakan pengalaman berbelanja yang nyaman,” imbuh Hasan.

Disinggung salah satu tantangan terberat untuk melakukan transformasi ritel adalah menyiapkan sumber daya agar siap memberikan layanan yang konsisten dan inovatif sesuai dengan tren konsumen yang dinamis.

Perlu berjalan beriringan

Pada tahun 2021, nilai penjualan pasar ritel di Indonesia mencapai sekitar $133,5 miliar. Nilai ini diharapkan akan terus meningkat dan mencapai sekitar $243 miliar pada tahun 2026. Sementara menurut laporan e-Conomy SEA termutakhir, tahun 2022 GMV e-commerce di Indonesia mencapai $59 miliar.

GMV (Gross Merchandise Value) adalah total nilai bruto dari semua produk terjual melalui platform selama periode waktu tertentu, tanpa memperhitungkan pengembalian atau potongan.

Dari data tersebut terindikasi, bahwa benar adanya sektor ritel dalam penjualan online meningkat, namun demikian cakupan pasarnya masih kurang dari 50% dari nilai industri keseluruhan. Artinya masih ada banyak peluang yang digarap –termasuk dengan sentuhan teknologi—pada model ritel konvensional. Integrasi antara keduanya menjadi salah satu pilihan tepat agar bisa merangkul dua segmen pasar sekaligus.

Sejak inisiatif omnichannel didengungkan, langkah yang diambil Erajaya untuk memperluas jaringannya adalah dengan mengekspansikan lini-lini bisnisnya secara beriringan.

“Kami melakukan ekspansi jaringan ritel dan strategi omnichannel secara beriringan. Ekspansi jaringan terus dilakukan dengan pertimbangan cermat untuk menjangkau lebih banyak wilayah di Indonesia dan melayani pelanggan lebih banyak. Di saat yang sama, strategi omnichannel terus dikembangkan agar bisa menghadirkan layanan yang lebih baik dan efisien,” ungkap Hasan.

Langkah dinilai berhasil memberikan dampak pada adaptasi yang baik dari sisi strategi penjualan dan kategori produk oleh para konsumen.

“Contohnya pada saat COVID-19 di mana kita melakukan online exhibition agar bisa menjangkau pelanggan lebih luas. Lalu setelah COVID-19 kita berusaha hadir mengombinasikan online maupun offline dengan cara berbelanja yang baru […] Sebagai perusahaan yang fokus pada konsumen, hal ini penting dilakukan untuk mengembangkan strategi yang relevan dengan kondisi dan kebutuhan pelanggan,” lanjut Hasan bercerita.

Framework transformasi ritel Erajaya Group / Erajaya

Dalam rangka meningkatkan retensi pelanggan, Erajaya juga meracik program loyalitas melalui fitur MyEraspace. Menurut Hasan, program ini menjadi salah satu kunci perusahaan memberikan pengalaman belanja yang menarik dan terintegrasi. Per akhir Juni 2023, MyEraspace sudah memiliki 8,3 juta anggota, meningkat 63% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya, pencapaian ini menunjukkan tumbuhnya permintaan dari pelanggan untuk memanfaatkan platform omnichannel Erajaya.

Digitalisasi yang ada juga secara otomatis memperluas aspek pendukung lainnya, termasuk pilihan pembayaran atau pembiayaan bagi para konsumen. Memanfaatkan keterhubungan di aplikasi, secara kontinyu perusahaan juga terus melibatkan pelanggan untuk turut meningkatkan pengalaman belanja mereka, melalui program umpan balik yang dilaksanakan rutin.

Capaian bisnis Erajaya

Merujuk pada laporan keuangan semester pertama 2023 yang diterbitkan, Erajaya berhasil growth yang tercermin dari peningkatan penjualan bersih 23,5% yoy atau naik dari Rp23,4 triliun pada 1H22 menjadi Rp28,9 triliun pada 1H23. Per Juni tahun ini, perusahaan juga telah mengoperasikan 1.944 gerai yang tersebar di Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Rantai pasoknya turut dibantu dengan 100 pusat distribusi dan 68 ribu mitra toko ritel pihak ketiga.

“Visi kami adalah untuk menjadi perusahaan lifestyle smart retailer terdepan dan perjalanan ke sana masih panjang. Langkah yang kami lakukan adalah melalui transformasi dengan terjun ke bisnis consumer electronic, computer, active lifestyle, F&B, grocery, health, dan beauty. Masih banyak tugas yang harus dilakukan untuk meraih sukses dan menjadi yang terdepan,” pungkas Hasan.

Application Information Will Show Up Here

Mengenal Platform Digitalisasi Ritel YOBO

Aktivitas offline kembali merebak selepas pandemi. Setelah peritel “dipaksa” masuk ke platform online demi menjangkau konsumen, kini mereka dapat bernapas lega kembali mengaktifkan gerai-gerainya untuk berinteraksi langsung. Walau begitu, peritel ini masih banyak yang belum bisa memahami konsumennya dan cara menariknya mau berkunjung ke gerai.

Steven Kim (CEO) bersama Jaeyoun Doh (CTO) menangkap kekosongan tersebut dengan merintis YOBO, platform perdagangan dan pembayaran (commerce and payment platform) yang memanfaatkan teknologi untuk mengumpulkan data, memberikan pengalaman konsumen yang lebih baik, dan mendorong pertumbuhan bisnis. Solusi tersebut berbasis digital, tidak memerlukan aplikasi yang harus diunduh oleh konsumen ataupun peritel.

“Kami membantu mereka membawa bisnisnya ke online, mendapatkan data konsumen seperti: siapa konsumen VIP-nya? Siapa yang paling rutin berkunjung? Data tersebut kami proses dari EDC yang sudah terhubung dengan reward untuk diberikan ke konsumen,” terang Co-founder YOBO Steven Kim saat ditemui DailySocial.id.

YOBO merupakan kepanjangan dari Your Own Business Online, diracik oleh Kim bersama Doh dan tim pada saat pandemi tengah berlangsung. Produk YOBO itu sendiri sudah live sejak pertengahan Juni 2023, dimanfaatkan sejumlah peritel yang tersebar di mal-mal seantero Jakarta.

Kim sebelumnya merupakan pendiri Qraved, pernah menduduki posisi penting di Rocket Internet SEA dan Zalora. Sementara perusahaan Doh sebelumnya adalah Itemku yang diakuisisi oleh Bukalapak pada Mei 2021.

Produk YOBO

Kim menjelaskan, produk YOBO adalah platform reward berbasis nomor handphone di EDC. Dari mesin EDC yang digunakan peritel, akan dikumpulkan data pelanggan saat pembayaran terjadi. Data tersebut diolah untuk mendapatkan insight yang dapat digunakan untuk meracik strategi promosi berikutnya.

YOBO

Berbeda dengan program reward yang dihadirkan oleh peritel, umumnya konsumen perlu mengunduh aplikasi reward dan memberi tahu kasir nomor pelanggan mereka untuk mengumpulkan poin yangloy dapat ditukar kemudian hari. Namun, cara tersebut belum tentu sukses karena tingkat churn yang tinggi. Unduhan hanya akan tinggi ketika terjadi promosi saja. Belum lagi investasi yang harus dikeluarkan bisnis untuk pengembangan aplikasi dan meracik promosi tergolong tidak murah.

Oleh karenanya, alur konsumen saat bertransaksi di tenant yang sudah memakai solusi YOBO sedikit berbeda. Perusahaan bekerja sama langsung dengan pengelola mal tersebut, sebelum mengajak tenant-tenantnya mengadopsi solusi YOBO.

Nantinya di dalam mal akan tersedia banner/spanduk berisi promosi dari tenant, sekaligus kode QR yang dapat dipindai pengunjung. Ketika dipindai, pengunjung akan dibawa ke situs mal tersebut dan diminta untuk memasukkan nama dan nomor handphone sebelum menerima informasi lainnya yang dikirim melalui WhatsApp.

Setelah sukses, secara otomatis konsumen akan menerima pesan dari WhatsApp, informasi mengenai direktori mal, melihat penjualan dan promosi berlangsung, hingga acara yang sedang berlangsung di mal.

“Karena banyak pengunjung yang saat masuk ke mal itu tidak tahu mau ke mana, promosi apa saja yang dapat mereka terima, dan benefit lainnya. Jadi kami ini tanpa aplikasi, pengalaman baru ini bagus untuk pengunjung karena semua informasi dikirim ke WhatsApp, yang mana mereka lebih sering buka WhatsApp daripada aplikasi lain untuk dapat informasi.”

DailySocial.id pun turut serta merasakan pengalaman saat berkunjung ke Ashta, SCBD Jakarta. Setelah memindai banner promosi yang berisi kode QR, terdapat promosi gratis minum yang disediakan oleh Saturdays, salah satu peritel yang sudah bermitra dengan YOBO.

Begitu sampai di gerai, pelayan memberi tahu persyaratan yang harus dilakukan untuk penukaran promo tersebut, yakni cukup dengan belanja salah satu menu makanan di sana. Mesin EDC milik Saturdays akan meminta nomor handphone konsumen sebelum kode QRIS muncul untuk pembayarannya.

“Dari mal dan tenant sekarang sudah punya satu konsumen baru, yang dapat dikirim pesan lagi berisi promosi lainnya untuk mengajak konsumen tersebut kembali datang.”

Kim juga memastikan keamanan data pengunjung tidak akan disebar ke pihak lainnya, hanya pengelola mal dan tenant sajalah yang dapat mengaksesnya.

YOBO

Tidak hanya kemudahan di atas, YOBO juga akan memberikan akses dasbor CRM kepada bisnis untuk monitor basis data  konsumen, serta memberikan rekomendasi promosi apa yang tepat, disertai dengan pesan yang terpersonalisasi dan terukur.

“Banyak bisnis yang ingin punya solusi manajemen data, manajemen konsumen, business intelligence, project management, ads analysis. Tapi ini semua mahal karena harus rekrut orang, belum lagi ada risiko hasilnya tidak sepadan.”

Strategi monetisasi

Pendekatan YOBO ini terinspirasi dari kesuksesan Square, startup asal Amerika Serikat. Di sana, sejak Covid-19 pertumbuhan bisnis pembayaran dan teknologi bisnis untuk sektor F&B dan ritel telah berkembang pesat. Square sendiri adalah perusahaan pembayaran yang menyediakan produk POS.

Berbeda dengan Indonesia, para pemain POS kebanyakan menjual solusinya dengan berlangganan untuk memanfaatkan mesinnya dan benefit lainnya. Alhasil, ada biaya tetap yang harus dikeluarkan peritel, sementara tidak ada jaminan penjualan tetap tinggi setiap waktu.

“Sementara banyak bisnis yang belum memikirkan bagaimana strategi promosinya, sebab selama ini pemain e-wallet, seperti Gopay yang kasih cashback. Sementara sekarang mereka sudah tidak berikan promosi besar-besaran lagi. Bagaimana mereka bisa tahu siapa konsumen VIP, benefit apa yang perlu diberikan agar sering datang, itu tidak pernah terpikirkan.”

Oleh karena itu, monetitasi yang diambil YOBO hanya berasal dari biaya layanan sebesar 2,9% untuk setiap transaksi yang sukses terjadi di tenant. Ongkos tersebut terbilang lebih terjangkau daripada peritel harus mengadopsi banyak solusi dan merekrut orang baru.

Terlebih itu, peritel pun tidak harus menggunakan mesin EDC khusus dari YOBO, walau perusahaan bekerja sama dengan salah satu pemain POS lokal sebagai penyedianya. Perusahaan memilih untuk agnostik, alias solusinya bisa terhubung dengan berbagai penyedia POS, baik yang sudah digital (iSeller, Majoo, ESB, Moka) maupun konvensional, seperti Quinos, Raptor, dan Micros.

“YOBO adalah perusaahaan dengan pergerakan uang yang tinggi dan selalu meningkat tiap bulannya karena punya unit economics yang jelas. Semua pendapatan kami di dapat dari setiap transaksi yang sukses. Jadi tenant hanya membayar kami dari transaksi yang sukses, tanpa ada biaya upfront untuk berlangganannya.”

Sisi agnostik lainnya juga berlaku untuk target pengguna YOBO, tidak hanya untuk bisnis kuliner saja, tapi juga dari vertikal lainnya, yakni fesyen, skincare, supermarket, salon, gym, hingga otomotif.

Rencana selanjutnya

Kim memastikan saat ini perusahaan masih memfokuskan diri pada peritel offline dengan menjaring sebanyak-banyaknya pengelola mal menjadi penggunanya. Ditargerkan setidaknya dapat menambah 50 mal lagi sepanjang tahun ini. Adapun sekarang, perusahaan sudah bekerja sama dengan Asri Group, pengelola mal Ashta, MOI, PIK Avenue, Hub Life, dan Grand Galaxy Park.

Selanjutnya dari Pakuwon Group, pengelola Kota Kasablanka dan Gandaria City, serta Lippo Group, pengelola Spark Senayan dan Lippo Mall Puri. Rencananya mal-mal lainnya yang dikelola grup besar ini akan dijaring hingga nantinya YOBO dapat beroperasi di seluruh Indonesia.

Beberapa peritel yang sudah memanfaatkan solusi YOBO, di antaranya berasal dari Boga Group, Saturdays, Goobne, Social Affair, Baker Man, Xi Bo Ba, dan masih banyak lagi.

Untuk mewujudkan rencana tersebut, saat ini YOBO sedang menggalang pendanaan tahap awal. Adapun saat ini YOBO sudah mengantongi pendanaan pra-awal dari sejumlah investor dan angel investor, salah satunya DS/X Ventures.

“Kami mencari investor strategis yang kuat di pengalamannya dan punya jaringan yang kuat di dunia ritel offline agar selaras dengan bisnis kami saat ini.”

Kim juga membuka kemungkinan untuk menyasar peritel dari kalangan UMKM.  Walau belum bisa ditentukan kapan waktunya, menurutnya potensi yang ditawarkan dari segmen bisnis ini juga menjanjikan. Segmen ini umumnya punya tantangan berbeda karena kebanyakan masih berfokus pada peningkatan bisnis, belum pada retensi konsumen.

“Jadi dengan pendekatan top down, ketika ini sukses, pola pikir para UKM akan berubah. Jika mereka melihat grup besar seperti Boga Group sudah pakai, maka mereka akan terpengaruh.”

Masa depan Qraved

Terkait Qraved, Kim menuturkan pandemi “sukses” menghantam bisnis Qraved sebagai platform direktori kuliner karena monetisasinya mengandalkan pemasangan iklan oleh pebisnis. Tak hanya Qraved yang kesulitan, bahkan Zomato menutup bisnisnya di Indonesia.

Namun bukan begitu platform seperti ini tidak lagi relevan dengan perkembangan terkini, hanya lebih sulit untuk bertahan karena sebagian besar bisnis tidak punya budget pemasaran yang berlebih.

Saat ini, startupnya tersebut sedang masa jeda (paused), bukan berarti bakal tutup. Lantaran sebagian besar sumber daya diarahkan untuk pengembangan YOBO, dengan jumlah tim saat ini sekitar 15 orang. Kendati begitu ia belum bisa memastikan kapan setidaknya Qraved bisa dihidupkan kembali.

“Mungkin kuartal empat ini atau tahun depan, yang pasti kami akan hidupkan kembali. Sejujurnya belum tahu juga nanti akan tetap sebagai discovery platform atau bukan. Yang kami lihat sejauh ini kami banyak terima permintaan dari konsumen kapan akan update, sebab saat ini pilihan terakhir untuk discovery makanan itu dari Google Maps saja, sementara Zomato sudah tutup di sini.”

Sebagai catatan, Qraved sudah beroperasi sejak 2013. Saat itu, pesaing terbesarnya adalah Zomato dan pemain lokal, PergiKuliner. Sama dengan Qraved, Zomato juga hadir di Indonesia pada 2013.

Disclosure: DS/X Ventures merupakan bagian dari grup DailySocial.id

Fore Coffee Pertajam Strategi Bisnis untuk Capai Profitabilitas

Startup coffee chain Fore Coffee belum lama ini membongkar pencapaian EBITDA positif pada kuartal III 2021. Salah satu faktor kunci kinerja positif ini adalah pemangkasan anggaran promosi hingga 50%. Fore menyebut tren pemangkasan ini berlanjut di 2022 sebesar 30%, dan ditargetkan mencapai 20%-30% di 2023.

Selain itu, pihaknya mengungkap sekitar 50% gerai non-fungsi terhantam badai pandemi pada 2020-2021. Hal ini disebabkan oleh perubahan supply & demand, supply chain, serta proses produksi dan distribusi kopi. Situasi tersebut mendorong para pemain coffee chain untuk mengembangkan berbagai inovasi agar tetap bertahan.

Di bawah kepemimpinan Co-Founder & CEO Fore Coffee Vico Lomar, perusahaan banyak melakukan peninjauan strategi. Ia kembali mengarahkan fokus pada bisnis inti yang menyediakan produk makanan dan minuman berkualitas sesuai selera konsumen.

Memasuki tahun ke-5 beroperasi, Vico memaparkan tiga langkah strategis yang jadi kunci keberhasilan Fore Coffee dalam memperluas jangkauan dan layanan guna capai profitabilitas usaha, yaitu mendorong kualitas produk unggulan dengan inovasi Litbang, mengoptimalkan kinerja sumber daya manusia bermutu, serta menargetkan pembukaan gerai terbaru.

Hingga saat ini, Fore Coffee telah memiliki 134 gerai di Jabodetabek, wilayah pulau Jawa, Sumatra, dan Kalimantan. Fore akan menambah sekitar 75 gerai dan merambah kota-kota mid-size sehingga bisa mengoperasikan total sekitar 200 gerai hingga akhir 2023.

“Cita-cita kami adalah Fore Coffee bisa menjadi satu brand yang dicintai dan dipercayai oleh konsumen Indonesia. Goal ini tampak sederhana tapi memerlukan komitmen yang luar biasa dari semua elemen perusahaan. Dengan asas keterbukaan dan transparansi serta giat berinovasi demi kepuasan pelanggan, niscaya cita-cita tersebut dapat tercapai,” kata Vico.

Fore juga melakukan reposisi citra brand menjadi minuman trendi yang ramah kantong. Perusahaan menghadirkan produk minuman musiman sembari mendorong produk unggulan mereka.

Matthew Ardian, CMO Fore Coffee, mengungkapkan dalam keterangan resmi, Fore Coffee tampil dengan pendekatan brand yang berbeda dari pemain kopi lainnya. Hal ini mendorong persepsi kebanyakan masyarakat bahwa Fore Coffee adalah brand kopi premium lokal. Persepsi inilah yang ingin diluruskan oleh perusahaan.

“Di awal 2022, kami mempertajam posisi kami bukan untuk dikenal sebagai pemain premium, tetapi sebagai power house brand kopi terkemuka yang menyajikan produk essential, berbeda, berkualitas terbaik, serta disukai masyarakat, karena kami paham konsumen berhak disajikan produk yang lebih baik,” Jelas Matthew.

Beberapa produk unggulan Fore Coffee di sepanjang 2022 termasuk Aren Latte, Pandan Latte, dan Butterscotch Sea-Salt Latte. Produk-produk ini diklaim membawa brand Fore masuk ke jajaran TOP 5 Brand dengan top of mind tertinggi di Indonesia.

“Sepanjang 2022, Fore Coffee banyak melakukan firsts, mulai dari lini minuman untuk anak-anak bernama Fore Junior, lini Fore Deli, hingga kolaborasi dengan brand gaya hidup premium seperti Grab, Laneige, Green Rebel hingga Oma Elly. Semua peluncuran ini dikemas dengan pemasaran digital-centric yang kekinian,” tambah Matthew.

Pemasaran organik

Lebih lanjut, pihaknya memaparkan peran pokok pemasaran dalam mendukung Litbang dan operasional. Selain mengerti aspirasi dan inspirasi konsumen Indonesia, pemasaran berperan dalam menjembatani aspirasi dengan ragam inovasi produk yang diinginkan masyarakat.

Targetnya adalah menjalankan pemasaran secara organik dan berkelanjutan di 2023. Tingginya akuisisi pelanggan baru secara offline atau online adalah bentuk kontribusi penajaman citra brand. Selain itu, perusahaan juga aktif melakukan kampanye tiap bulannya. Hal ini berbuah konsumen yang juga aktif menyebarkan konten melalui jaringan media sosial.

Berdasarkan riset yang dilakukan bersama pihak ketiga, Fore Coffee mengalami lonjakan tingkat kepuasan dan NPS (Net Promoter Score) sebanyak 23% serta menempatkan Fore Coffee sebagai peraih NPS tertinggi diantara brand lainnya di Indonesia.

“Produk minuman unggulan kami adalah instrumen promosi paling efektif. Produk tersebut telah berhasil jadi pembawa pesan kualitas produk yang Fore Coffee sajikan kepada masyarakat Indonesia. Itu sebabnya fokus kami terletak pada Litbang Produk yang intensif dan berkelanjutan sehingga dapat menciptakan tren baru, dan dapat memperkenalkan produk-produk baru yang akan jadi kegemaran masyarakat.”  Tutup Vico.

Mencatat Penjualan dengan Aplikasi Kasir iReap Pos Lite

Di zaman serba digital seperti saat ini, menjalankan usaha dapat Anda lakukan dengan lebih mudah. Salah satu faktor yang memudahkan kegiatan usaha Anda adalah adanya aplikasi kasir digital seperti iReap Pos Lite, di mana Anda dapat menerapkan cara mencatat penjualan yang lebih efektif dengan iReap Pos Lite.

Tapi, jika kita lihat kembali, saat ini sudah banyak sekali aplikasi kasir digital yang bisa dipilih. Lalu, apa yang membedakan aplikasi Cashier iReap Pos Lite dengan yang lain? Lalu, bagaimana cara menggunakannya? Anda dapat simak informasi selengkapnya di artikel ini.

Apa Itu iReap Pos Lite?

Aplikasi kasir iReap Pos Lite merupakan aplikasi POS (Point of Sales) dengan fitur lengkap yang dapat digunakan secara offline tanpa perlu membayar, serta tanpa iklan. Sehingga Anda sebagai pengguna tidak akan terganggu dengan iklan yang akan mengurangi efisiensi kerja Anda.

iReap Pos Lite hadir guna membantu para pelaku usaha retail, khususnya pada kategori UMKM, dalam mengatur usahanya termasuk membantu pelaku usaha dalam manajemen stok, mencatat penjualan, hingga memonitor profit setiap penjualan barang.

Cara Mencatat Penjualan dengan iReap Pos Lite

Setelah mengenal apa itu aplikasi iReap Pos Lite, selanjutnya mari masuk ke tutorial cara mencatat penjualan dengan iReap Pos Lite. Berbeda dengan aplikasi lainnya, untuk mulai mencatat penjualan di aplikasi ini, Anda tidak perlu membuat atau mendaftar akun terlebih dahulu. Satu hal yang perlu Anda lakukan adalah memilih jenis usaha yang Anda jalankan. 

Setelah itu, Anda dapat mengakses semua fitur aplikasi iReap Pos Lite secara gratis. Tapi, sebelum mulai mencatat penjualan, Anda perlu menambahkan produk terlebih dahulu ke aplikasi iReap Pos Lite.

Jika Anda telah selesai menambahkan produk di aplikasi iReap Pos Lite, Anda dapat melanjutkan ke pencatatan penjualan dengan mengikuti langkah-langkah berikut ini:

  • Buka aplikasi iReap Pos Lite.
  • Lalu, pilih menu Sales / Return Transaction.

  • Kemudian, untuk mencatat penjualan baru, klik ikon tanda tambah di bagian kanan atas halaman.

  • Selanjutnya, pada halaman pencatatan penjualan, klik kembali ikon tanda tambah di pojok kanan atas halaman dan pilih produk yang terjual.

  • Setelah itu, lengkapi keterangan penjualan, seperti jumlah barang yang terjual, diskon yang diberikan, serta catatan (jika diperlukan). Jika sudah, klik Save.

  • Kemudian, lanjutkan ke proses pembayaran. Klik Pay Cash apabila pelanggan membayar dengan uang tunai dan pilih Pay Card apabila pelanggan membayar dengan kartu.

  • Terakhir, proses pembayaran hingga selesai.

Nah, itu dia cara mencatat penjualan dengan iReap Pos Lite. Dengan menggunakan aplikasi kasir digital, Anda sebagai pelaku usaha kecil dan menengah diharapkan dapat mengelola usaha Anda dengan lebih efektif dan efisien. Selamat mencoba!

BRI Ventures to Launch a New Fund “Sembrani Kiqani”, Targeting D2C Sector

After launching the Sembrani Nusantara Venture Fund last year which focuses on early-stage startups funding, BRI Ventures (BVI) is to launch another investment vehicle named “Sembrani Kiqani”.It is still targeting the early-stage startups, but rather focuses on consumer brands targeting the direct-to-consumer (D2C) sector.

BVI’s CEO, Nicko Widjaja, in his opening remarks at the BRI Ventures Networking Day (23/11) mentioned the potential of the D2C sector growth in Indonesia for the fashion, F&B, and beauty segment. He said, this sector is capable to drive the current industry, especially amidst the economic recovery from the Covid-19 pandemic.

Marcel Lukman, owner of one of the well-known retail groups 707company, also one of the Partners at Sembrani Kiqani said that apart from D2C, this managed fund is also targeting the blockchain industry and its derivatives related to cryptocurrencies. BVI alone is planning to strengthen its investment to develop the crypto ecosystem in the country.

Previously, through Sembrani Nusantara, BVI has invested in the beverage brand developer Haus!, which is also its first non fintech portfolio. They disbursed around 30 billion Rupiah in the debut fund for startup. In addition, the local shoe product developer Brodo also received funding through its series A round.

Indonesian D2C industry

Retail is one of the industries that highly contributes to the national economy. However, the Covid-19 pandemic that shaken this industry’s resilience had caused many businesses to change strategies or even give up on the situation. The one strategy being used is currently to directly target the consumers or direct-to-consumer (D2C).

According to data compiled in the “Driving Growth with D2C” report by Ogilvy, Commercetolls, and Verticurl, it is considered a must for brand owners to have a D2C digital strategy to win the market. The main goal is to build a more personal relationship with customers, thereby creating a more effective and engaging brand experience as a value proposition. D2C provides invaluable ownership of customer data.

In Indonesia alone, there are already several startups have adopted the D2C concept, including Brodo and Saturdays (fashion), Kopi Kenangan, Fore Coffee, Lemonilo (F&B), Dropezy (grocery), as well as the retail group startup Hypefast which focuses more on being a venture builder. VCs such as East Ventures are also targeting this sector, proven by its two newest portfolios, mohjo and Kasual.

Blockchain invesment

In early 2010, perhaps not many people understood the concept of blockchain and its utility in the technology industry. Today, discussions regarding crypto assets that run on blockchain platforms are heard everywhere both in the real world and on social media. However, the crypto ecosystem in Indonesia is quite premature and still requires in-depth education.

In an effort to develop the crypto ecosystem in Indonesia, BRI Ventures in collaboration with Tokocrypto, is planning a new initiative called the Tokocrypto Sembrani Blockchain Accelerator (TSBA). The first blockchain project is targeted to be launched in 2022.

In addition to crypto assets, a product that is currently captured the market, especially among tech enthusiasts, is NFT. As one of the unique digital assets, all types of media can be printed or tokenized and converted into NFT. This product has been available in various industries from digital art, virtual real estate, also collectibles, games, and many more.

The NFT hype encourages people to try this platform as an alternative investment commodity, supported by the presence of secondary markets on various popular marketplace platforms. Nonetheless, NFT is still a very new market, therefore, being prudent is mandatory.

There are several NFT marketplace platforms available in Indonesia, including TokoMall, Kolektibel, and Paras Digital.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Sembrani Kiqani BRI Ventures

BRI Ventures Segera Luncurkan Dana Kelolaan “Sembrani Kiqani” untuk Startup D2C

Setelah tahun lalu meluncurkan Dana Ventura Sembrani Nusantara yang fokus mendanai startup tahap awal, BRI Ventures (BVI) kembali akan menghadirkan kendaraan investasi mereka yang diberi nama “Sembrani Kiqani”. Masih dengan misi untuk mendanai startup tahap awal, hanya saja difokuskan untuk consumer brands menyasar sektor direct-to-consumer (D2C).

Dalam kata sambutannya di acara BRI Ventures Networking Day (23/11), CEO BVI Nicko Widjaja juga menyinggung tentang potensi pertumbuhan sektor D2C di Indonesia yang kian meningkat baik di bidang fesyen, F&B, dan kecantikan. Menurutnya, sektor ini mampu menjadi penggerak industri terutama di tengah pemulihan ekonomi dari pandemi Covid-19.

Marcel Lukman, pemilik salah satu grup ritel ternama 707company, juga salah satu Partner Sembrani Kiqani turut menyampaikan, selain D2C dana kelolaan ini juga ditargetkan untuk menyasar industri blockchain serta turunannya yang terkait dengan cyptocurrency. BVI sendiri tengah berencana memperkuat investasi untuk mengembangkan ekosistem kripto di tanah air.

Sebelumnya, melalui Sembrani Nusantara, BVI telah berinvestasi kepada pengembang brand minuman Haus!, yang juga menjadi portofolio pertama mereka di luar fintech. Dana yang dikucurkan mencapai 30 miliar Rupiah untuk debut ke startup. Selain itu, pengembang produk sepatu lokal Brodo juga mendapat suntikan dana dalam putaran seri A mereka.

Industri D2C di Indonesia

Ritel merupakan salah satu industri yang berkontribusi besar pada perekonomian nasional. Namun, pandemi Covid-19 yang sempat mengguncang daya tahan industri ini menyebabkan banyak usaha harus mengubah strategi bahkan menyerah dengan situasi. Salah satu strategi yang sedang ramai digunakan adalah dengan langsung menyasar konsumen atau direct-to-consumer (D2C).

Menurut data yang dihimpun dalam laporan “Driving Growth with D2C” oleh Ogilvy, Commercetolls, dan Verticurl, pemilik brand saat ini dinilai harus memiliki strategi digital D2C untuk dapat memenangkan pasar. Tujuan utamanya untuk membangun hubungan yang lebih personal dengan pelanggan, sehingga bisa menciptakan pengalaman brand yang lebih efektif dan menarik sebagai proposisi nilai. D2C memberikan kepemilikan data pelanggan yang tak ternilai.

Di Indonesia sendiri, sudah ada beberapa startup yang mengadopsi konsep D2C ini termasuk Brodo dan Saturdays (fesyen), Kopi Kenangan, Fore Coffee, Lemonilo (F&B), Dropezy (grocery), juga startup grup ritel Hypefast yang fokusnya lebih menjadi venture builder. VC seperti East Ventures juga semakin gencar menyasar sektor ini, termasuk dua portfolio terbaru mereka mohjo dan Kasual.

Investasi di industri blockchain

Di awal tahun 2010, mungkin belum banyak orang yang mengerti konsep blockchain serta utilitasnya dalam industri teknologi. Dewasa ini, pembahasan terkait aset kripto yang dijalankan di atas platform blockchain semakin marak terdengar baik di dunia nyata maupun media sosial. Meskipun begitu, ekosistem kripto di Indonesia masih terbilang prematur dan membutuhkan edukasi mendalam.

Dalam upaya mengembangkan ekosistem kripto di Indonesia, BRI Ventures bekerja sama dengan Tokocrypto, sedang merencanakan inisiatif baru yang dinamakan Tokocrypto Sembrani Blockchain Accelerator (TSBA). Proyek blockchain pertama ini ditargetkan untuk bisa segera meluncur di tahun 2022.

Selain aset kripto, produk yang juga tengah digandrungi masyarakat, terutama di kalangan penggiat teknologi, adalah NFT. Sebagai salah satu aset digital yang terbilang unik, semua jenis media dapat dicetak atau diberi token dan diubah menjadi NFT. Produk ini sendiri telah hadir di berbagai industri, mulai dari seni digital, real estate virtual, hingga barang koleksi, game, dan masih banyak lagi.

Hype NFT membuat orang-orang berbondong-bondong menjadikan platform ini sebagai komoditas alternatif investasi, terlebih didukung kehadiran secondary market di berbagai platform marketplace populer. Meskipun demikian, NFT masih merupakan pasar yang sangat baru, sehingga perlu ekstra hati-hati.

Beberapa platform marketplace NFT yang sudah beroperasi di Indonesia termasuk TokoMall, Kolektibel, dan Paras Digital.

New retail platform to democratize shopping experience through digital

Potential Synergy of Startups and Retails to Realize “New Retail” in Indonesia

New retail is a term popularized by e-commerce giant Alibaba to describe the combination of online and offline retail through digitizing the trade process or what is called the retail value chain. The goal is to provide a better user experience (UX) for the benefit of merchants, consumers, as well as various partners involved in business processes.

Based on the CGAP study, the new retail concept democratizes several dimensions in the trading business, including (1) supply chain and distribution logistics, (2) value-added services for producers/retailers, (3) an integrated shopping experience for consumers.

With its financial resources and capabilities, Alibaba develops all these aspects independently. But what if we are faced with the opposite condition, when digital transformation met the legacy business processes, change cannot be done quickly – with various limited resources.

Potential synergy

The realization of new retail, especially in Indonesia, can be done with a synergy between technology startups and retail companies. This synergy may be started by identifying the most fundamental aspect of new retail itself, which is none other than building a data warehouse. The collected data will be used for various needs such as predictive analysis.

If we look deeper, there are several data that can be used in the retail business process to help the decision-making system, including payment/transaction data, product data, promotional data, and logistics/supply chain data.

new_retail_1

Not only the digitization process performed by many traditional retailers, but these data must also be integrated by each party to produce comprehensive insights. For example, between product data, transaction trends, and a logistics system to help retailers ensure the food stock always in prime condition.

Technically, there must be good connectivity between the point of sales applications that accept transactions from consumers, applications for available items in warehousing units, to supply chain applications that connect retailers with their partners.

new_retail_2

The use of digitization tools will significantly convert data settings that are produced or managed by retailers. The existing platforms are generally open, allowing integration with other digital services. For example, a financial recording application that can be integrated with a cashier system or digital wallet transaction dashboard via an API connection.

Research conducted by Accenture also shows a trend of accelerating digital transformation in the retail and FMCG sectors during the pandemic. There are ten aspects to be captured, from the willingness to decompose consumer data into knowledge, improving sales management, to improving the partner ecosystem.

DSResearch’s survey on FMCG/retail companies also shows roughly the same results. The transformation vision launched a breakthrough that opens the potential for new products/services and adapts to the trend of consumer needs.

Accenture

Collaboration form

Studying the form of digital transformation from the DSResearch report above, there are several models that retail companies can adopt when collaborating with startups. The first form is system adoption, simply put retailers only need to become premium customers of digital services provided by startups. Several platforms provide flexibility to customize needs at a limited level.

The second form is through strategic partnerships. In Indonesia, for retail companies or FMCG, this practice does not seem common, it’s just that some have done it. Companies with greater scale and capability can participate in startup development – generally through ownership, aka the company becomes a shareholder (either majority or minority). This model allows vision alignment between companies, therefore, they can synergize more closely.

The third is through sharing platforms, some startups are dependent on business partners in terms of product fulfillment. Especially for those who develop an online-to-offline based system.

New consumer experience

Through the omnichannel platform, retailers can enter the digital platform to serve more users. Stores that provide fresh ingredients, for example, could just enter the HappyFresh ecosystem, even some popular e-commerce services have also started to accommodate similar services. Apart from being delivered, the grocery application also has the option to be picked up at the store, so that an offline shopping experience is still possible.

When people shop, they will have three experiences, shopping preparation, shopping process, and after shopping. In the shopping preparation stage, several activities start from listing groceries, finding inspiration to buy new items, looking for/seeking promos, to selecting the retail store you want to visit.

While in a retail store, they are exposed to several activities. Starting from circling the shelves to find items to purchase. In this process, there are several innovations that might be developed, such as a store mapping application or as simple as a product information application – users can scan the code printed on a product to view various information, from price, content, to the distribution process (this will affect fresh produce such as vegetables). Continue with the payment process and claim a discount if there are certain promos.

new_retail_3

After returning home, there are still some experiences left. For example, allowing users to get points from loyalty programs or testimonials on certain items. The most important aspect is that it makes it easy for users to manage their shopping records and helps them perform expense analysis. At this stage, several local startups have tried to present innovations, one of which is Pomona, which allows users to earn points by scanning shopping receipts.

Retail industry to survive

A study suggests that direct shopping experience will still be relevant amid the development of e-commerce or online grocery services. There are four dimensions that are maintained, including sensory, emotional, psychosocial, and impression/meaning.

The sensory dimension relates to experience which refers to stimuli of form, color, touch, and so on. Meanwhile, the emotional dimension is related to the experience of using emotions to generate liking for a brand or product. The psychosocial dimension is people’s desire to pamper themselves such as going out while shopping. Meanwhile, the impression/meaning dimension is related to the experience of doing the activity itself.

What currently deserves to be a retailers’ priority is how to improve the above factors through cell phones that stay in the hand of every consumer. This is done while looking for innovations to bring new experiences that are more memorable, the aim of which is to increase sales/visits. Doing digital transformation is the answer. Forming a synergy with digital startups is an option.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Header: Depositphotos.com

Sinergi dengan startup digital dapat dijadikan opsi strategi transformasi digital bisnis ritel di Indonesia

Potensi Sinergi Startup dan Perusahaan Ritel Merealisasikan “New Retail” di Indonesia

New retail adalah istilah yang dipopulerkan raksasa e-commerce Alibaba untuk menggambarkan perpaduan ritel online dan offline melalui digitalisasi proses perdagangan atau disebut dengan retail value chain. Tujuannya menghadirkan pengalaman pengguna (User Experience/UX) yang lebih baik untuk kepentingan pedagang, konsumen, sekaligus berbagai mitra yang terlibat dalam proses bisnis.

Berdasarkan studi CGAP, konsep new retail mendemokratisasi beberapa dimensi di bisnis perdagangan, meliputi: (1) rantai pasokan dan logistik distribusi, (2) layanan nilai tambah bagi produsen/pengecer, (3) pengalaman berbelanja yang terintegrasi bagi konsumen.

Dengan sumber daya dan kemampuan finansial yang dimiliki, Alibaba mengembangkan semua aspek tersebut secara mandiri. Namun bagaimana jika dihadapkan dengan kondisi sebaliknya, saat transformasi digital dihadapkan pada proses bisnis legasi, perubahan tidak bisa dilakukan cepat – dengan berbagai keterbatasan sumber daya yang ada.

Peluang sinergi

Realisasi new retail, khususnya di Indonesia, bisa dilakukan dengan jalinan sinergi antara startup teknologi dan perusahaan ritel. Sinergi tersebut dapat dimulai dengan mengidentifikasi aspek paling fundamental dari new retail itu sendiri, yang tak lain adalah membangun data warehouse. Data yang terkumpul nantinya digunakan untuk berbagai kebutuhan seperti analisis prediktif.

Jika ditinjau lebih dalam, ada beberapa data yang bisa dimanfaatkan dalam proses bisnis retail guna membantu sistem pengambilan keputusan, meliputi data pembayaran/transaksi, data produk, data promosi, dan data logistik/rantai pasokan.

new_retail_1

Tidak hanya proses digitalisasi seperti yang sudah banyak dilakukan peritel tradisional, data-data tersebut harus dapat diintegrasikan satu dengan yang lain untuk menghasilkan insight komprehensif. Misalnya antara data produk, tren transaksi, dan sistem logistik untuk membantu peritel memastikan stok bahan makanan selalu dalam kondisi prima.

Secara teknis, harus ada konektivitas yang baik antara aplikasi point of sales yang menerima transaksi dari konsumen, aplikasi stok barang di unit pergudangan, hingga aplikasi rantai pasokan yang menghubungkan peritel dengan mitra-mitranya.

new_retail_2

Penggunaan alat-alat digitalisasi secara signifikan akan mengonversi tatanan data yang diproduksi atau dikelola peritel. Platform yang ada saat ini juga umumnya bersifat terbuka, memungkinkan adanya integrasi dengan layanan digital lainnya. Ambil contoh aplikasi pencatatan keuangan yang dapat terintegrasi dengan sistem kasir atau dasbor transaksi dompet digital melalui sambungan API.

Riset yang dilakukan Accenture juga memperlihatkan adanya tren akselerasi transformasi digital yang dilakukan di sektor ritel dan FMCG selama masa pandemi. Ada sepuluh aspek yang ditangkap, mulai keinginan untuk mengurai data konsumer menjadi pengetahuan, peningkatan manajemen penjualan, hingga peningkatan ekosistem mitra.

Survei DSResearch terhadap perusahaan FMCG/ritel lokal juga memperlihatkan hasil yang kurang lebih sama. Visi transformasi yang dicanangkan untuk menghadirkan terobosan membuka potensi produk/layanan baru dan menyesuaikan dengan tren kebutuhan konsumen.

Accenture

Bentuk kolaborasi

Mempelajari bentuk transformasi digital dari laporan DSResearch di atas, ada beberapa model yang dapat diadopsi perusahaan ritel ketika berkolaborasi dengan startup. Bentuk pertama adalah adopsi sistem, sederhananya peritel hanya perlu menjadi pelanggan premium dari layanan digital yang disediakan startup. Beberapa platform memberikan keleluasaan untuk melakukan kustomisasi kebutuhan di tataran terbatas.

Bentuk kedua ialah melalui kemitraan strategis. Di Indonesia, untuk perusahaan ritel ataupun FMCG praktik ini memang terlihat belum lazim, hanya saja beberapa sudah melakukan. Perusahaan dengan skala dan kapabilitas yang lebih besar dapat turut serta dalam pengembangan startup – umumnya melalui kepemilikan alias si perusahaan menjadi shareholder (baik mayoritas atau minoritas). Model ini memungkinkan penyelarasan visi antarperusahaan, sehingga dapat bersinergi secara lebih intim.

Ketiga adalah melalui platform sharing, beberapa startup memiliki ketergantungan kepada mitra bisnis dalam kaitannya dengan pemenuhan produk. Khususnya bagi mereka yang mengembangkan sistem berbasis online-to-offline.

Pengalaman baru konsumen

Melalui platform omni-channel, peritel bisa masuk ke platform digital untuk melayani lebih banyak pengguna. Toko yang menyediakan bahan segar, misalnya, bisa saja masuk ke ekosistem HappyFresh, bahkan beberapa layanan e-commerce populer juga mulai akomodasi layanan serupa. Selain diantarkan, aplikasi grocery juga memiliki opsi untuk diambil di toko, sehingga pengalaman offline berbelanja masih sangat mungkin terbentuk.

Ketika orang berbelanja, ada tiga pengalaman yang akan dirasakan, yakni persiapan belanja, proses belanja, dan setelah belanja. Di tahap persiapan belanja, beberapa aktivitas mulai dari mendata barang belanjaan, menemukan inspirasi untuk membeli item baru, mencari/melihat promo, sampai memilih toko ritel yang ingin dikunjungi.

Saat berada di toko ritel, mereka dihadapkan pada beberapa aktivitas. Dimulai dari mengitari rak demi rak untuk menemukan barang yang bisa dibeli. Di proses ini ada beberapa inovasi yang mungkin bisa dikembangkan, seperti aplikasi store mapping atau sesederhana aplikasi informasi produk – pengguna dapat melakukan scan ke kode yang tertera pada suatu produk untuk melihat berbagai informasi, mulai dari harga, kandungan, hingga proses distribusi (akan berpengaruh pada produk segar seperti sayuran). Dilanjutkan proses pembayaran dan klaim diskon jika sedang ada promo yang diikuti.

new_retail_3

Setelah pulang pun masih ada beberapa pengalaman yang bisa disuguhkan. Contohnya memungkinkan pengguna untuk mendapatkan poin dari program loyalty yang dijalankan atau pengguna dapat memberikan testimoni terhadap barang tertentu. Aspek yang paling penting adalah memudahkan pengguna  mengelola catatan belanja mereka dan membantu melakukan analisis pengeluaran. Di tahap ini, beberapa startup lokal sudah mencoba menghadirkan inovasi, salah satunya Pomona, memungkinkan pengguna mendapatkan poin dengan cara melakukan scan struk belanja.

Industri ritel akan bertahan

Sebuah penelitian mengemukakan pengalaman berbelanja langsung masih akan relevan di tengah perkembangan layanan e-commerce atau online grocery. Ada empat dimensi yang dipertahankan, meliputi sensoris, emosional, psikososial, dan kesan/makna.

Dimensi sensoris terkait pengalaman yang mengacu pada rangsangan bentuk, warna, sentuhan, dan lain-lain. Sementara dimensi emosional terkait pengalaman menggunakan emosi untuk menghasilkan kesukaan terhadap merek atau produk. Dimensi psikososial adalah keinginan orang untuk memanjakan diri seperti jalan-jalan sambil berbelanja. Sementara dimensi kesan/makna terkait dengan pengalaman dalam melakukan aktivitas itu sendiri.

Yang layak menjadi prioritas saat ini oleh peritel adalah bagaimana meningkatkan faktor-faktor tersebut di atas melalui ponsel yang selalu digenggam tiap konsumen. Ini dilakukan sambil mencari inovasi untuk menghadirkan pengalaman baru yang lebih berkesan, yang tujuannya untuk meningkatkan penjualan/kunjungan itu sendiri. Melakukan transformasi digital adalah jawabannya. Membentuk sinergi dengan startup digital jadi satu opsi yang dapat dipilih.


Gambar Header: Depositphotos.com

Program Kupon Supportlocalbrands

TADA, Gojek, dan Moka Inisiasi Platform “Supportlocalbrands”, Bantu Peritel Berjualan Kupon Belanja

Dampak pandemi yang luas ke segala sektor usaha, menyiksa pebisnis untuk putar otak untuk memastikan usahanya tetap berjalan. Tada, platform end-to-end customer retention, dibantu Gojek dan Moka membuat gerakan dukung merek lokal atau Supportlocalbrands, sudah mulai beroperasi sejak awal Apri 2020.

Kolaborasi tersebut berbentuk adanya akses buat masyarakat untuk membeli kupon dari merek lokal dengan harga spesial lewat aplikasi Gojek dan situs web Supportlocalbrands itu sendiri. Beragam kupon yang ditawarkan di antaranya untuk produk makanan dan minuman, fesyen, layanan kecantikan, kesehatan pribadi, gaya hidup, dan hotel.

“Melalui gerakan ini, baik konsumen dan pemilik bisnis sama-sama memperoleh manfaat. Konsumen dapat membeli lebih awal kupon dari ratusan merek lokal. Kupon ini nantinya bisa digunakan saat layanan tersedia atau bisnis buka kembali. Sementara itu, pemilik bisnis dapat mempertahankan usahanya dengan pemasukan dari hasil penjualan kupon ini,” terang Managing Director TADA Antonius Taufan kepada DailySocial, Senin (20/4).

Gojek turut berpartisipasi lantaran solusi yang diinisiasi oleh TADA menjawab permasalahan yang ada di kehidupan sehari-hari. Situs Supportlocalbrands kini tersedia melalui shuffle card di dalam aplikasi Gojek untuk memudahkan lebih banyak pelanggan untuk mengakses kesempatan tersebut.

“Inisiatif ini merupakan salah upaya nyata kami untuk memastikan pengguna Gojek mendapat manfaat potongan harga dari merek lokal favorit mereka, sekaligus membantu bisnis karya anak bangsa untuk tetap bertahan,” imbuh Chief of Corporate Affairs Gojek Nila Marita.

Hadirnya TADA dan inisiasinya dalam aplikasi Gojek, menandakan bertambahnya mitra pihak ketiga yang berpartisipasi untuk perkuat posisinya sebagai super app.

Sejak softlaunch pada awal bulan ini, disebutkan situs ini sudah menjaring lebih dari raturan merek lokal untuk berpartisipasi, termasuk mereka yang sudah menjadi merchant di Moka.

Co-Founder & CEO Moka Haryanto Tanjo mengatakan, mereka sudah mengimbau 40 ribu merchant-nya untuk turut berpartisipasi dan mendukung kemudahan dalam penukaran kupon. “Kolaborasi ini salah satu bentuk inisiatif kami untuk membantu pelaku usaha dalam menghadapi masa sulit,” katanya.

Keberadaan dukungan ini, lanjutnya, begitu dibutuhkan pebisnis. Meski tidak memberi data rinci, Taufan menyebut beberapa klien ritelnya memang melaporkan bahwa mereka sudah melakukan pemotongan gaji atau merumahkan karyawan dalam kurun waktu tertentu demi mempertahankan cashflow.

“Untuk angka pastinya, mohon maaf kami tidak bisa sebut, namun yang pasti bagi sektor ritel, hal ini sangat berdampak besar,” ujar Taufan.

Dia juga menyebut dalam membuat gerakan ini ketiga perusahaan tidak memungut biaya atas transaksi yang terjadi hingga 30 Juni 2020. Keseluruhan nilai yang dibayarkan konsumen akan diberikan sepenuhnya kepada para pelaku usaha yang bergabung.

Rencananya, situs ini akan aktif sampai tanggal tersebut dan pembeli bisa membeli hingga waktu tersebut. Seluruh kupon yang dibeli akan memiliki masa berlaku satu tahun, sehingga pembeli punya cukup waktu hingga gerai-gerai kembali di buka untuk menukarnya.

“Untuk ke depannya, jika pelaku usaha masih ingin memakai platform yang sama untuk program yang berbeda, maka dikembalikan sesuai kebijakan pemilik platform masing-masing. Yang pasti, tidak ada keterikatan apapun selama gerakan ini berlangsung.” pungkas Taufan.

Demi memastikan transaksi dapat berjalan lancar, TADA terus mengupayakan agar traffic ke situs semakin optimal.

Kotoko to Accommodate Independent Retail Brands with Offline Store

Founded in Singapore in 2019, Kotoko is a startup engaged in retail and technology that provides online and offline ecosystems for independent / Direct-to-Consumer brands in Indonesia to market their products to more consumers. The company received seed funding from Antler.

Kotoko’s Co-Founder & COO Kanta Nandana who was a former Country Manager at Luno Indonesia told DailySocial that the business idea was based on Cynthia Krisanti, the Co-Founder & CEO’s personal experience who had difficulty finding offline stores in strategic locations at affordable prices.

“This issue also happened to other friends with online businesses in Fashion & Accessories. The current solution available is to rent an offline store with a high cost and inflexible rental periods.”

For this reason, Kotoko provides a solution for independent brands in Indonesia to have offline stores in strategic locations in Indonesia at affordable prices and flexible rental terms through Kotoko multi-brand stores.

Kotoko is to rent a place in strategic commercial areas, such as shopping centers, malls, and shophouses, divide this place into several smaller areas, then rent it back to several brands, so they can share the place with other famous brands to market their products.

“The monetization strategy is to charge a monthly membership fee and a sales commission discount for brands interested to join,” Nandana said.

First brand store in Plaza Indonesia

Kotoko brand store
Kotoko brand store

Supported by the experience of its founders in finance, retail, and technology, Kotoko has several services that brand partners can use to improve their business, including Kotoko Multi-Brand stores, Kotoko Chapter, Kotoko Block, and Kotoko e-commerce sites.

“Kotoko’s e-commerce website can be used by consumers as long as they are inside the Kotoko offline shop to check product information, price, size, and material information using the Scan & Shop feature on mobile phones,” Nandana added.

They can also access Kotoko.shop via mobile to buy products and complete payments online (mobile payment). Products will be sent directly to the customer’s address.

“Kotoko has currently embraced Indonesian independent brands in the category of Fashion & Accessories and Food & Beverage. In the future, Kotoko targets other categories such as Health & Beauty, Household Goods and Furniture, “Nanta said.

Kotoko Scan & Shop feature
Kotoko Scan & Shop feature

In specific, the solution provided by the company for independent brands is claimed to increase revenue through marketing collaboration, promotion, and partnership programs. Kotoko also seeks to increase distribution and marketing channels for brand products incorporated through retailer partners.

Currently, Kotoko has curated around 60 well-known independent brands with a cumulative number of 1 million followers on Instagram. The company has opened the first multi-brand store in Plaza Indonesia and is currently preparing to expand to the first-tier cities outside Jabodetabek, such as Bandung, Surabaya, Makassar, and Bali.

“We have a fundraising target this year which we plan to use on expanding business and increasing the number of brands to join,” Nandana said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian