Tag Archives: review gadget

[Review] Xiaomi 11T: Kencang dengan Dimensity 1200 dan Kamera Apik

Pada tahun 2021, Xiaomi banyak sekali mengeluarkan perangkat flagship dari seri 11-nya di Indonesia. Mulai dari Mi 11, Mi 11 Lite, sampai ke Xiaomi 11T Pro dan Xiaomi 11T. Yup, tahun 2021 Xiaomi mengubah semua smartphone Mi menjadi Xiaomi untuk branding yang menurut mereka lebih baik. Dailysocial tahun ini kedapatan unit review dari Xiaomi dengan Xiaomi 11T non Pro.

Xiaomi mengeluarkan 2 varian di kelas T seri 11, yaitu Xiaomi 11T dan Xiaomi 11T Pro. Perbedaan mendasar keduanya adalah Xiaomi 11T Pro menggunakan SoC Snapdragon 888 dan Xiaomi 11T menggunakan Mediatek Dimensity 1200. Oleh karena bukan kelas Pro, Xiaomi 11T tidak dipersenjatai dengan kemampuan Dolby Vision, pengisian baterai cepat 120 watt, suara Harman Kardon, serta perekaman 8K seperti yang ada pada Xiaomi 11T Pro.

Xiaomi 11T juga memiliki kamera yang ada pada Xiaomi 11T Pro, yaitu dengan ISOCELL HM2 dengan resolusi 108 MP. Hal ini membuat keduanya akan memiliki sedikit perbedaan pada saat pengambilan gambar, seperti yang diklaim oleh Xiaomi Indonesia. Selain itu, konfigurasi kameranya juga sama antara keduanya.

Untuk lengkapnya, berikut adalah spesifikasi lengkap dari Xiaomi 11T yang saya dapatkan

SoC Mediatek Dimensity 1200
CPU 1 x 3.0 GHz Cortex-A78 + 3 x 2.6 GHz Cortex-A78 + 4 x 2.0 GHz Cortex-A55
GPU Mali-G77 MC9
RAM 8  GB LPDDR5
Internal 256 GB UFS 3.1
Layar 6.67 inci 2400×1080 AMOLED 120 Hz GG Victus
Dimensi 164.1 x 76.9 x 8.8 mm
Bobot 203 gram
Baterai 5000 mAh 67 watt
Kamera 108 MP / 12 MP utama, 8 MP ultrawide, 5 MP Telemakro, 16 MP Selfie
OS Android 11 MIUI 12.5

Hasil dari CPU-Z, AIDA64, serta Sensor Box dapat dilihat sebagai berikut:

Satu hal yang juga membuat Xiaomi 11T lebih unggul dari saudaranya adalah kemampuan Mediatek Dimensity seri 1000 yang sudah mendukung codec AV1 secara hardware. Codec AV1 sendiri akan dipakai oleh Google secara keseluruhan agar streaming video menjadi lebih hemat. Netflix juga sudah mulai menggunakan AV1 untuk beberapa perangkat. Dan saat ini, Google Duo serta Youtube sudah mendukung AV1.

Unboxing

Seperti inilah isi dari paket penjualan smartphone Xiaomi 11T. Didalamnya hanya akan ditemukan kabel USB-C, charger, serta back case. Xiaomi menyertakan charger 67 watt untuk mengisi baterai pada smartphone ini.

Desain

Sangat sulit untuk membedakan antara Xiaomi 11T dan 11T Pro jika disejajarkan keduanya. Pada bagian belakangnya yang menggunakan bahan kaca ini juga memiliki desain yang mirip antar keduanya. Xiaomi mendesainnya dengan motif yang mirip dengan garis-garis pada permukaan aluminium. Kebetulan, saya mendapatkan perangkat dengan warna yang dinamakan Meteorite Black sehingga terlihat cukup mirip seperti metal.

Layar Xiaomi 11T memiliki resolusi 2400×1080 pada layar dengan dimensi 6.67 inci. Panel yang digunakan adalah AMOLED yang memiliki 1 miliar warna dengan refresh rate 120 Hz dan mendukung HDR10+. Xiaomi juga sudah menggunakan kaca terkuat saat ini dari Gorilla Glass dengan versi Victus. walaupun begitu, saya sangat menyarankan untuk menggunakan lapisan pelindung tambahan agar layar tersebut lebih aman dari goresan.

Xiaomi menempatkan kamera pada sisi kiri atas yang saat ini selalu digabungkan pada satu blok kotak. Xiaomi mendesain 3 kamera yang ada pada bagian belakangnya dengan 2 bulatan besar dan 1 bulatan kecil yang diletakkan ditengah. Xiaomi sendiri mengaku bahwa desain ini terinspirasi dari bentuk roll film pada sebuah kamera lama. Di sebelah kamera tersebut terdapat sensor fokus infra merah serta LED untuk flash.

Pada sebelah kanannya, terdapat tombol volume naik dan turun serta power yang juga sekaligus sebagai sensor sidik jari. Untuk bagian bawahnya, dapat ditemukan slot SIM, microphone, USB-C, serta speaker kanan. Di bagian atasnya hanya terdapat sensor infra merah serta speaker kiri. Pada perangkat ini, tidak ditemukan apa-apa pada bagian kirinya.

Xiaomi 11T sudah menggunakan sistem operasi Android 11 yang sudah terpasang MIUI 12.5 Enhanced. Versi MIUI yang saya gunakan saat ini adalah 12.5.3.0 (RKWIDXM) yang sudah memiliki fitur Memory extension. Xiaomi sendiri mengalokasikan 3 GB dari penyimpanan internalnya untuk dijadikan memori virtual. Hal ini tentu saja akan membuat RAM 8 GB yang ada menjadi jauh lebih lowong saat membuka banyak aplikasi, seperti memiliki RAM sebesar 11 GB.

Jaringan

Xiaomi 11T menggunakan chipset Dimensity 1200 yang memang ditujukan untuk perangkat flagship. Oleh karena itu, perangkat ini sudah menggunakan modem yang sudah mendukung teknologi terkini, seperti Carrier Aggregation untuk 4G maupun 5G. Modem yang digunakan oleh Dimensity 1200 juga sudah mendukung semua jaringan yang ada saat ini.

Smartphone ini sudah mendukung bandwidth 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 12, 13, 17, 18, 19, 20, 26, 28, 32, 38, 40, 41, 42, dan 66 untuk jaringan 4G. Sedangkan untuk jaringan 5G, Xiaomi 11T sudah mendukung bandwidth n1, n3, n5, n7, n8, n20, n28, n38, n40, n41, n66, n77, dan n78. Smartphone ini juga sudah mendukung jaringan 5G semua operator. Namun sayang, karena keterbatasan keadaan saya belum berhasil menguji jaringan 5G-nya

Dimensity 1200 mendukung fungsi Smart 5G Power Saving. Teknologi ini secara cerdas akan mengidentifikasi kekuatan sinyal di sekitarnya dan beralih antara 4G dan 5G tanpa jeda waktu peralihan. Hal tersebut akan menghasilkan konsumsi daya yang 30% lebih rendah dibandingkan dengan smartphone tanpa fitur Smart 5G.

Kamera: Bagus! tapi ….

Kamera masih merupakan salah satu poin penting untuk menentukan keputusan seseorang untuk membeli sebuah smartphone. Untuk memperindah gambarnya, Xiaomi membenamkan sensor 108 MP dari Samsung dengan ISOCELL HM2 1/1.52″. Dengan menggunakan teknologi filter Nonapixel, sensor ini menggabungkan 9 piksel 0,7 µm menjadi sebuah piksel sebesar 2.1 µm.

Pada saat dalam kondisi cahaya yang terang, hasil kameranya memang terlihat sangat bagus. Hasilnya memiliki dynamic range yang baik, tingkat ketajaman yang bagus, serta mampu menangkap detail yang pas. Akan tetapi, beberapa kali kamera ini menangkap gambar dengan detail yang washed out serta warna yang sedikit oversaturated. Saya menyarankan Anda untuk mengambil gambar 2x agar mendapatkan hasil yang bagus

Kamera wideangle yang menggunakan sensor Sony IMX355 ini memiliki resolusi 8 MP. Sensor kamera ini berhasil menghasilkan sebuah gambar lebar yang bagus dengan detail yang apik serta warna yang baik pula. Namun didalam ruangan yang cahayanya cukup rendah, saya menyarankan untuk menggunakan mode malam agar lebih baik hasilnya.

Kamera makro pada smartphone ini menggunakan sensor Samsung S5K5E9 dengan resolusi 5 MP. Hasilnya memang tidak terlalu tajam, namun dapat menghasilkan warna yang bagus. Kamera ini bahkan bisa membuat latar belakang bokeh yang sangat baik bila dibandingkan dengan kamera makro pada smartphone lainnya yang masih 2 MP.

Di bagian depannya terpasang kamera yang menggunakan sensor OmniVision OV16A1 dengan resolusi 16 MP quad bayer. Terus terang, saya menyukai hasil kamera ini karena memiliki tingkat ketajaman yang pas dengan warna yang baik saat dicetak pada kertas foto. Semuanya cukup terlihat natural pada saat kondisi cahaya yang cukup. Pada saat kondisi cahayanya kurang, saya menyarankan untuk menyalakan fungsi flash-nya agar menjaga tingkat ketajamannya yang menurun.

Pengujian

Xiaomi 11T menggunakan chipset 5G terbaru dan tertinggi dari Mediatek yang ada hingga tulisan ini diterbitkan, yaitu Dimensity 1200. Chipset ini sendiri menggunakan arsitektur 3 cluster DynamiQ dari ARM dengan Cortex A78 berkecepatan 3 GHz pada Ultra cluster, 3 inti CPU Cortex A78 berkecepatan 2.6 GHz pada Super cluster, dan paca cluster efisiensi menggunakan 4 inti Cortex A55 berkecepatan 2 GHz. GPU yang digunakan adalah ARM Mali-G77 MC9.

Saya menggunakan smartphone ini sebenarnya sudah cukup lama, sekitar 1,5 bulan. Hal tersebut memang dilakukan untuk mendapatkan firmware kedua yang sudah pasti lebih bebas dari bug. Ternyata, firmware tersebut datang di akhir bulan Desember 2021 dan tidak membawa peningkatan kinerja pada Dimensity 1200-nya. Walaupun begitu, kinerja yang ada sudah jauh dari mumpuni untuk menjalankan game serta untuk digunakan sehari-hari.

Bermain Game

Mediatek Dimensity 1200 merupakan SoC tertinggi yang dimiliki oleh Mediatek saat ini. Dengan spesifikasi yang sangat tinggi untuk sebuah smartphone Android, tentu saja mampu menjalankan semua aplikasi yang ada pada Google Play Store, termasuk Game. Pada pengujian kali ini, saya (sudah pasti) menggunakan game Genshin Impact yang sangat memakan resource dari sebuah smartphone serta Pokemon Unite.

Oleh karena chipset-nya ditujukan untuk perangkat flagship, tentu saja saya langsung memasang profile Highest pada Genshin Impact. Limit framerate juga dinaikkan ke 60 fps agar bisa mendapatkan hasil yang lebih akurat. Dan hasilnya, Xiaomi 11T rata-rata bisa menjalankan game ini dengan framerate 44 fps. Hasil seperti ini tentu saja akan membuat pengguna nyaman untuk bermain.

Dua game selanjutnya adalah Pokemon Unite dan PUBG: New State. Sayang memang, sampai saat ini PUBG: New State belum mendukung Developer Options sehingga perhitungan framerate hanya bisa melalui aplikasi Game Turbo bawaan Xiaomi. Hasilnya, kedua game ini dapat berjalan pada 60 fps dengan stabil.

Untuk mengukur framerate, saya menggunakan aplikasi GameBench yang akurat dalam menghitung frame per detiknya

Bekerja dan hiburan

Seperti biasa, sebuah smartphone tentu saja tidak melulu hanya dipakai untuk bermain game. Dalam kegiatan sehari-hari, perangkat ini tidak luput dari pemakaian untuk bekerja dan juga hiburan. Aplikasi sosial media seperti Facebook, Tiktok, Twitter, Instagram, Zoom, dan Whatsapp serta aplikasi editor Filmora Go saya gunakan pada perangkat ini. Selain itu, tentu saja Trello dan Slack juga dipakai untuk bekerja.

Untuk menonton video, saya menggunakan VLC dan mencoba untuk menjalankan video 1080p H.265 yang ternyata lancar hingga habis. Oleh karena Xiaomi 11T menggunakan Dimensity 1200, Youtube yang ada pada perangkat ini sudah menggunakan codec AV1 secara hardware sehingga lebih menghemat bandwidth. Saat dijalankan pada 1080p, tidak ada lag yang dirasakan sehingga nyaman digunakan.

Benchmarking

Xiaomi 11T menggunakan cip baru dari Mediatek dengan Dimensity 1200. Untuk hal ini, saya kembali menghadirkan Dimensity 1100, Snapdragon 870, serta Snapdragon 888. Hal ini hanya untuk membandingkan kinerja sistemnya secara keseluruhan.

Walaupun Dimensity 1200 bukan yang paling kencang, namun bukan berarti Xiaomi 11T pelan. Hasil yang ada memang sudah di atas rata-rata perangkat mainstream yang sudah diluncurkan hingga hari ini. Tentunya, hasil ini sejalan dengan pengalaman saya dalam memakainya sehari-hari.

Uji baterai: 5000 mAh

Untuk menguji baterai dengan kapasitas 5000 mAh memang membutuhkan 1 hari khusus untuk menjalankannya. Namun, aplikasi yang ada saat ini belum bisa merepresentasikan pemakaian sehari-hari. Sebuah pengujian menunjukkan bahwa pemakaian smartphone tidak didominasi untuk bermain game, namun untuk hiburan seperti menonton video dan mendengarkan musik serta sosial media.

Saya mengambil patokan dengan menggunakan sebuah file MP4 yang memakai resolusi 1920 x 1080 yang diulang sampai baterai habis. Xiaomi 11T dapat bertahan hingga 20 jam 12 menit. Setelah habis, saya langsung mengisi kembali baterainya dengan menggunakan charger bawaan 67 watt. Hasilnya, baterai akan terisi penuh dalam waktu kurang dari 45 menit.

Verdict

Untuk merasakan sebuah perangkat flagship, tentu saja orang harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Hal tersebut memang akan membuat orang tidak akan bisa merasakan lancarnya perangkat Flagship. Masalah tersebut dipecahkan oleh Xiaomi dengan mengeluarkan perangkat bernama Xiaomi 11T.

Smartphone ini menghasilkan kinerja yang sangat baik. Dengan menggunakan Mediatek Dimensity 1200, semua game dan aplikasi dapat berjalan dengan kencang tanpa masalah. Kinerja tersebut pun disokong dengan baterai 5000 mAh yang mampu bertahan lebih dari sehari. Apalagi, RAM yang sudah besar ini terbantu dengan Memory extension sebesar 3 GB yang membuatnya lebih lancar lagi untuk multitasking.

Setiap gambar yang diambil dari kamera Xiaomi 11T hasilnya akan bagus. Kamera 108 MP yang menghasilkan foto 12 MP tersebut mampu menggantikan kamera pocket untuk mengambil momen sehari-hari. Feature video yang ada juga membuat pengguna bisa mengeksplor bakat terpendam untuk menjadi sutradara. Sayang saja, kamera telephoto atau zoom absen pada perangkat ini.

Xiaomi menjual smartphone Xiaomi 11T dengan harga Rp. 5,999,000. Dengan harga tersebut akan terlihat terjangkau karena Xiaomi 11T hadir dengan fitur yang ada pada sebuah perangkat flagship. Harga tersebut juga jauh lebih menarik jika dibandingkan dengan kakaknya, Xiaomi 11T Pro. Dengan kinerja dan fitur berbanding harga terjangkau yang diberikan membuat smartphone menjadi salah satu yang menarik untuk dimiliki oleh mereka yang menginginkan perangkat flagship yang murah.

Sparks

  • Hasil foto Xiaomi 11T yang bagus pada setiap kameranya
  • Daya tahan baterai yang baik serta pengisiannya yang cepat
  • Kinerja yang kencang untuk bermain dan bekerja
  • Layar OLED yang nyaman di mata dan warnanya yang bagus
  • Responsif saat bernavigasi
  • Harganya terjangkau untuk sebuah flagship
  • Mendukung AV1 pada Youtube tanpa lag

Slacks

  • Tanpa Dolby vision dan 8K Recording seperti seri Pro
  • Absennya lensa zoom dan OIS
  • Minim game yang mendukung 120 Hz di Xiaomi 11T

[Review] Prolink Smart Bulb dan Smart IR Controller: Hidupkan Lampu dan Peralatan Listrik via Internet

Sekitar 2 bulan yang lalu, saya mendapatkan sebuah panggilan telepon dari Prolink. Seperti yang kita ketahui, Prolink sudah tenar dengan produknya yang berhubungan dengan networking, seperti router, mesh, dan lain sebagainya. Namun, ternyata saat ini Prolink sudah merambah ke produk AIoT. 2 Produk yang saat ini sedang saya gunakan adalah Prolink Smart Bulb dan Smart IR Controller.

Prolink Smart LED Bulb memiliki nomor seri DS-3601 merupakan sebuah bohlam LED yang memiliki hingga 16 juta warna. Hal ini berarti bahwa pengguna bisa membuat lampu tersebut berwarna sesuai dengan keinginannya. Untuk mengubahnya, tentu saja bisa dilakukan dengan sebuah aplikasi Untuk produk yang datang ke meja pengujian DailySocial.id, spesifikasi dayanya adalah 9 watt.

Prolink Smart IR Controller merupakan sebuah remote control untuk segala perangkat yang ada di rumah, seperti AC, TV, fan, proyektor, dan lain sebagainya. Perangkat ini nantinya harus ditaruh pada sebuah tempat yang terjangkau pada alat yang ingin di remote. Setelah itu, kita bisa menyalakan, mematikan, dan mengatur beberapa setting dari jarak jauh. Lagi-lagi, hal tersebut tentu saja membutuhkan sebuah aplikasi tersendiri.

Untuk produk AIoT-nya, Prolink bekerja sama dengan Tuya. Hal tersebut dapat dilihat dari logo perusahaan AIoT global tersebut pada paket penjualan dari Prolink Smart Bulb dan Smart IR Controller.

Desain

Prolink Smart LED Bulb terlihat seperti bohlam LED pada umumnya. Bagian atasnya bulat dan memiliki fitting e27 seperti bohlam pada umumnya. Hal tersebut berarti bahwa kita bisa memasangkan lampu ini di setiap fitting yang ada di rumah. Lampunya sendiri memiliki rating 9 watt dengan tingkat kecerahan 900 lumens. Perangkat ini memang terasa cukup berat untuk sebuah lampu LED karena memiliki bobot 108 gram.

Lampu LED pintar ini mendukung WiFi dengan 802.11 b/g/n. Hal tersebut berarti hanya jaringan 2,4 GHz saja yang bisa diakses oleh lampu tersebut. Usahakan agar jarak lampu dengan router WiFi cukup terjangkau sehingga mudah untuk dikendalikan dari jarak jauh.

Lampu ini memiliki hingga 16 juta warna untuk ditampilkan. Temperatur warnanya sendiri memiliki rentang antara 2700K hingga 6500K. Ketahanan dari lampu ini diklaim oleh Prolink memiliki waktu hingga 25000 jam. Jadi, lampu ini akan rusak jika dinyalakan secara terus menerus hingga 2,8 tahun atau 34 bulan.

Prolink Smart IR Controller yang saya dapatkan memiliki warna hitam dan berbentuk bundar. Keseluruhan badannya terbuat dari plastik. Bobotnya sendiri sangat ringan, hanya 68 gram saja. Karena menggunakan infra merah, maka perangkat ini harus berada di sekitar 10 meter dari setiap peralatan yang ingin di-control. Perangkat ini sendiri mampu mengakses beberapa peralatan secara langsung.

Untuk bisa stand by secara terus menerus, Prolink Smart IR Controller harus terhubung dengan listrik. Perangkat ini memiliki sebuah port microUSB pada bagian bawahnya. Namun sayang, kabel yang diberikan hanya memiliki panjang sekitar 1 meter saja sehingga cukup membatasi penempatan perangkat ini sendiri. Saya cukup menyarankan untuk membeli sebuah kabel microUSB yang memiliki panjang sekitar 3 meter.

Prolink Smart IR Controller dapat terhubung dengan WiFi 802.11 b/g/n. Hal tersebut juga berarti bahwa perangkat ini hanya bisa terhubung pada jaringan WiFi 2,4 GHz. Untuk melakukan reset dan pairing, terdapat sebuah tombol di bagian bawahnya.

Kedua perangkat dari Prolink ini tentu saja membutuhkan aplikasi untuk mengatur dan menggunakannya. Prolink sudah memiliki aplikasi bernama mEzee yang bisa digunakan pada sistem operasi Android dan iOS. Aplikasi ini bisa diinstal pada beberapa smartphone yang berbeda dengan 1 login yang sama. Hal ini tentu saja membuat seluruh keluarga dapat menyalakan dan mematikan lampu, AC, TV, dan lain sebagainya dari jarak jauh.

Pengalaman menggunakan

Dari kedua perangkat tersebut, Prolink Smart LED Bulb adalah yang pertama saya coba. Untungnya, bohlam ini datang pada saat lampu LED saya yang lama sudah berkedip setelah pemakaian lebih dari 7 tahun. Jadi, tidak ada salahnya saya memasangkan bohlam baru ini di kamar saya dan bukan untuk ruang studio.

Saat pertama kali saya nyalakan, lampu bohlam pintar ini berkedip-kedip. Hal ini berarti bahwa lampu tersebut akan melakukan pairing dengan aplikasi mEzee. Untuk pairing, saya harus terlebih dahulu terhubung dengan SSID WiFi pada jaringan 2,4 GHz. Setelah selesai pairing, lampu siap digunakan.

Lampu yang satu ini menyala cukup terang pada saat pertama kali berfungsi secara penuh. Tentu saja saya langsung mencoba mengubah warnanya dari aplikasi mEzee. Lampu ini dapat diubah dari lampu dengan warna putih fluorescent menjadi kuning bohlam sesuai dengan keinginan penggunanya. Tingkat kecerahannya juga bisa diturunkan sehingga tidak terlalu silau di mata serta menurunkan konsumsi dayanya pula.

Saat diubah warnanya ke mode RGB atau warna, tingkat kecerahannya langsung menurun drastis. Hal ini bisa saja terjadi karena perangkat ini mematikan LED warna putih didalamnya. Dengan mode ini, tentu saja kita bisa membuat warnanya seperti yang kita mau. Untuk mengubahnya bisa langsung menggunakan aplikasi mEzee dengan menggeser pilihan.

Tidak hanya dengan mode 1 warna saja, lampu ini juga bisa dibuat warna warni dengan pilihan yang ada. Jika sedang mendengarkan musik, mode musik akan mengubah warna lampu setiap ada suara yang terdengar. Selain itu, masih banyak preset yang bisa diatur pada perangkat ini.

Untuk mematikan dan menyalakan lampu, kita juga bisa langsung menggunakan pilihan yang ada pada aplikasi tersebut. Asalkan lampu ini terhubung dengan router yang terhubung pula dengan internet, kita bisa mengakses lampunya di mana saja. Aplikasi mEzee juga bisa membuat jadwal menyalakan dan mematikan lampu sehingga kita tidak lagi perlu melakukannya secara manual.

Sekarang berpindah dari lampu pintar ke Smart IR Controller. Oleh karena kabelnya yang cukup pendek, mau tidak mau perangkat ini saya hubungkan ke laptop yang selalu digunakan untuk bekerja saat sedang diuji. Untuk melakukan pairing, kita harus menekan tombol reset yang ada di bagian bawah perangkat ini selama 5 detik. Setelah berkedip, siapkan aplikasi mEzee.

Sama seperti Smart Bulb, Smart IR Controller dengan nama kode DS-3301 ini akan terhubung dengan jaringan 2,4 GHz yang sama digunakan di smartphone pada saat pairing. Setelah terhubung, tiba saatnya untuk menentukan perangkat ini akan menjadi remote untuk apa saja. Untuk pengujian, saya hanya menggunakannya untuk AC Sharp.

Sama seperti sebuah alat remote control pada smartphone, kita harus mencoba beberapa profile yang cocok. Jadi, saya harus mencocokkan kapan AC saya menyala pada setiap mode yang menjadi pilihan. Untungnya, semua pengujian berjalan lancar pada percobaan pertama.

Satu hal yang menjadi kendala adalah Smart IR Controller hanya bisa menyalakan, mematikan, mengatur suhu, dan kecepatan pada AC Sharp yang saya gunakan. Fungsi lain seperti mengatur flap arah AC, menyalakan fungsi ION, mode AC, dan lain sebagainya masih belum bisa dilakukan. Jadi, Smart IR Controller ini hanya bisa mengoperasikan fungsi-fungsi dasarnya saja.

Aplikasi mEzee juga bisa melakukan mode manual, di mana kita bisa mengarahkan remote kita pada Smart IR Controller. Nantinya, mEzee akan meminta pengguna untuk menekan 3 tombol untuk dicocokkan database-nya. Hal ini akan lebih memudahkan pengguna untuk menemukan profile mana yang cocok untuk peralatannya.

mEzee juga dapat dihubungkan dengan Google Assistant, Amazon Alexa, serta Siri. Hal tersebut tentunya membuat lampu pintar dan remote control ini bisa diakses melalui suara dan membuatnya menjadi lebih keren. Kita tidak perlu menjadi seorang Tony Stark untuk bisa menyalakan lampu melalui kendali suara.

Verdict

Dengan mulai berkembangnya minat masyarakan akan perangkat AIoT, tentu saja para perusahaan teknologi juga berlomba-lomba untuk menghadirkan produknya. Prolink adalah salah satu merek yang sudah lama bermain di Indonesia dan saat ini sudah merambah ke pasar AIoT. Walaupun produk AIoT-nya belum banyak, Prolink saat ini sudah memiliki Smart Bulb dan Smart IR Controller.

Lampu pintar ini dapat menghasilkan hingga 16 juta warna yang dapat diatur melalui aplikasi mEzee. Lampu ini juga sangat terang sebagai sebuah bohlam LED biasa dan dapat diredupkan sesuai dengan keinginan. Untuk mematikan dan menyalakannya, kita bisa langsung menggunakan aplikasi, mematikan melalui saklar, atau melalui suara.

Remote control pintar dari Prolink ini juga mampu menyalakan banyak perangkat seperti AC, TV, dan lain sebagainya. Namun sayang, hanya fungsi dasar saja yang mampu dilakukan oleh perangkat ini. Hal tersebut membuatnya belum bisa menggantikan fungsi remote control asli secara penuh. Walaupun begitu, setidaknya perangkat ini bisa menyalakan AC di kamar saya saat masih berada di luar rumah.

Harga dari Prolink Smart Bulb adalah Rp. 190.000. Untuk Smart IR Controller, Prolink menjualnya pada harga Rp. 210.000. Harga ini cukup kompetitif di mana beberapa merek ada yang sedikit lebih mahal dengan fungsi yang kurang lebih sama. Dengan harga tersebut, konsumen bisa membuat sebuah rumah pintar yang dapat diatur melalui koneksi internet.

Sparks

  • Smart Bulb yang memiliki 16 juta warna dan bisa diubah warnanya sesuai kehendak
  • Smart IR Controller yang bisa mengakses banyak perangkat
  • Aplikasi mEzee yang sangat mudah untuk digunakan, bahkan untuk orang awam sekalipun
  • Dapat dengan mudah dihubungkan dengan aplikasi asisten seperti Google Assistant
  • Smart Bulb yang memiliki daya tahan 25000 jam
  • Dapat dioperasikan dari jarak jauh dengan menggunakan internet

Slacks

  • Belum ada dukungan WiFi 5 GHz
  • Smart IR Controller hanya bisa mengakses fungsi dasarnya saja
  • Mode warna dari Smart bulb tidak terlalu terang

[Review] Realme 8i: Smartphone 120 Hz dengan Harga Terjangkau

Di penghujung tahun 2021, realme kembali memiliki sebuah perangkat yang memiliki harga terjangkau. Perangkat yang satu ini memiliki sebuah fitur yang mungkin sebelumnya tidak pernah terpikirkan bisa dimiliki pada harga di bawah 2,5 juta. Perangkat yang dimaksud adalah realme 8i dengan varian 4/64 GB.

Perangkat dengan varian yang satu ini pun datang ke meja pengujian tim Dailysocial. Sayangnya, fitur yang diberikan oleh realme pada versi 4/64 GB cukup berbeda dengan yang ada pada varian atasnya. Hal tersebut termasuk DRE atau Dynamic RAM Expansion yang bisa membantu RAM dalam menyimpan segala cache yang terjadi selama pemakaian. Padahal, penggunaan RAM 4 GB tentu saja membutuhkan ruang lebih agar pemakaian bisa menjadi lebih lancar.

Realme mengedepankan layarnya yang digunakan refresh rate 120 Hz. Mereka bahkan menyebutnya sebagai smartphone dengan layar 120 Hz pertama dengan harga di bawah 3 juta rupiah, yang berarti juga termurah di Indonesia untuk saat ini. Realme 8i juga menjadi yang pertama di Indonesia yang menggunakan Mediatek Helio G96.

Spesifikasi dari realme 8i yang saya dapatkan bisa dilihat pada tabel berikut

SoC Mediatek Helio G96
CPU 2 x 2.05 GHz Cortex-A76 + 6 x 2.0 GHz Cortex-A55
GPU Mali-G57 MC2
RAM 4  GB LPDDR4x
Internal 64 GB UFS 2.1
Layar 6.6 inci 2412×1080 IPS 120 Hz
Dimensi 164.1 x 75.5 x 8.5 mm
Bobot 194 gram
Baterai 5000 mAh 18 watt
Kamera 50 MP / 12,5 MP utama, 2 MP makro, 2 MP bokeh, 16 MP Selfie
OS Android 11 Realme UI 2

Hasil dari CPU-Z, AIDA64, serta Sensor Box dapat dilihat sebagai berikut:

Sayangnya, dengan menghadirkan 120Hz pada smartphone yang satu ini, membuat realme mengurangi beberapa fitur. Hal tersebut seperti speaker stereo dan NFC. Walaupun begitu, kedua fitur tersebut memang tidak terlalu penting. Seperti NFC yang belum banyak digunakan selain untuk mengisi kartu uang elektronik dan speaker stereo yang bisa disubstitusi dengan menggunakan earphone.

Unboxing

Seperti inilah isi dari paket penjualan smartphone realme 8i. Didalamnya hanya akan ditemukan kabel USB-C, charger, serta back case. Realme menyertakan charger 18 watt untuk mengisi baterai pada smartphone ini.

Desain

Desain belakang dari setiap perangkat realme memang didesain berbeda satu dengan lainnya. Seperti perangkat yang saya dapatkan yang memiliki warna bernama space purple. Realme menggunakan konsep desain mengalir sehingga terlihat seperti galaksi berwarna ungu. Desain ini juga terlihat cukup minimalis tanpa campuran warna lain dengan logo realme yang berada di sebelah kiri bawah.

Kamera terletak pada sebelah kiri atas dari sisi belakang realme 8i. Terdapat 4 bundaran yang terdiri dari kamera utama, makro, depth, serta lampu flash LED. Kamera utama dengan resolusi 50 MP terletak pada sebelah kiri atas diikuti dengan depth sensor pada sebelah kanannya. Di baris bawahnya, terdapa kamera makro yang disertai dengan LED flash.

Layar realme 8i memiliki resolusi 2412 x 1080 pada layar dengan dimensi 6,6 inci dengan model punch hole pada sebelah kiri atas. Smartphone ini menggunakan layar jenis IPS dengan refresh rate 120 Hz yang sayangnya tidak dilindungi dengan lapisan pelindung seperti Gorilla Glass. Walaupun begitu, realme 8i sudah terlapisi dengan lapisan tahan gores sehingga cukup menahan goresan saat berada didalam kantong celana. Terus terang saja, perangkat yang kami dapatkan sudah terkena goresan semenjak dibuka dari paket penjualannya dan untungnya hanya lapisan tersebut yang kena.

Pada sisi sebelah kiri, dapat ditemukan slot SIM serta tombol volume naik dan turun. Untuk sebelah kanannya, terdapat tombol power yang juga sekaligus sebagai sensor sidik jari. Untuk bagian bawahnya, dapat ditemukan port audio 3.5 mm, microphone, USB-C, serta speaker. Tidak ditemukan apa pun pada sisi sebelah atasnya.

Realme 8i sudah menggunakan sistem operasi Android 11 dengan antarmuka realme UI 2.0. Antar muka yang digunakan pada realme 8i masih memiliki app drawer sehingga Anda akan menemukan semua aplikasi di sana. Homescreen-nya juga memiliki beberapa gesture seperti swipe up untuk membuka app drawer dan swipe down untuk membuka fungsi search.

Jaringan

Realme 8i menggunakan chipset Mediatek Helio G96 yang ditujukan untuk para gamer dan pengguna mainstream. Oleh karena itu, perangkat ini sudah menggunakan modem yang sudah mendukung teknologi terkini, seperti Carrier Aggregation untuk 4G. Kategori LTE yang ada pada perangkat ini masuk dalam Cat 13 untuk download.

Kanal LTE yang didukung pada smartphone ini meliputi band 1, 3, 5, 8, 38, 40, dan 41. Tentunya, band yang didukung adalah yang sudah digunakan oleh operator seluler di Indonesia. Selain mendukung Dual 4G, perangkat ini juga sudah mendukung fitur dual VoLTE.

Perangkat ini juga sudah mendukung teknologi WiFi 5 atau yang dikenal dengan 802.11 ac. Hal tersebut tentu membuat realme 8i memiliki koneksi WiFi yang jauh lebih kencang karena menggunakan jaringan 5 GHz. Realme 8i juga sudah mendukung bluetooth versi 5.0.

Kamera

Selain layarnya yang memiliki refresh rate 120 Hz, realme 8i juga mengedepankan kamera utamanya. Perangkat yang satu ini menggunakan sensor ISOCELL JN1 50 MP untuk kamera utamanya. Kamera ini menggunakan teknologi ISOCELL 2 yang mampu menangkap cahaya lebih baik dari pendahulunya. Selain itu, sensor ini juga menggunakan algoritma Tetracell yang menggabungkan 4 piksel menjadi 1 yang menghasilkan gambar dengan resolusi 12,5 MP.

ISOCELL S5KJN1 dengan format 1/2.76″ mampu menangkap gambar dengan baik saat dalam kondisi cahaya yang cukup. Bahkan, mode malam pada realme 8i mampu mengambil gambar dengan bagus pada saat kondisi cahaya redup. Namun, gambar yang dihasilkan sepertinya menjadi tidak terlalu tajam saat fungsi HDR-nya dinyalakan. Walaupun begitu, hal tersebut tidak membuat gambar yang dihasilkan menjadi lebih buruk.

Untuk kamera makro, seperti biasa gambar yang dihasilkan tidak terlalu tajam. Apalagi, kamera ini membutuhkan jarak yang pas sehingga hasilnya tidak blur. Saya sendiri membutuhkan waktu khusus untuk membiasakan diri dengan jarak untuk mengambil foto makro. Berikut adalah contoh gambarnya

Kamera selfie-nya ternyata juga bisa menangkap gambar dengan cukup baik. Sensor SK Hynix Hi-1364Q mampu mengambil gambar dengan tingkat noise yang cukup rendah. Sama dengan kamera utamanya, saat HDR dinyalakan maka tingkat ketajamannya sedikit menurun.

Pengujian

Realme 8i menggunakan chipset 4G terbaru dari Mediatek, yaitu Helio G96. Cip yang satu ini ternyata memiliki spesifikasi CPU yang sama dengan Helio G95, yaitu 2 core Cortex A76 dengan kecepatan 2,05 GHz pada cluster kinerja dan 6 inti prosesor Cortex A55 pada cluster efisiensi berkecepatan 2 GHz. Bedanya, Helio G96 menggunakan GPU yang lebih lambat, yaitu Mali G57 MC2.

Hal tersebut tentu saja membuat saya penasaran dan mencobanya pada 2 skenario yang sering digunakan, yaitu bekerja dan bermain. Kedua skenario tersebut tentu saja menggunakan aplikasi yang ada pada Google Play Store. Untuk menjalankan pengujian ini, saya sudah menggunakannya selama 2 minggu penuh.

Bermain Game

Seri G dari Mediatek memang ditujukan untuk mereka yang gemar bermain game. Apalagi dengan menggunakan Cortex A76 yang memang kencang untuk menjalankan game yang ada pada platform Android. Namun, penggunaan Mali G57 MC2 memang kadang tidak lebih kencang dari G76 MC4 yang digunakan pada Helio G95. Jadi, akan ada beberapa game yang pengalaman bermainnya akan menjadi lebih rendah.

Pada realme 8i, saya hanya menggunakan 2 buah game saja. Hal ini memang cukup berkaitan dengan waktu uji dari perangkat yang satu ini. Genshin Impact yang merupakan sebuah keharusan karena sangat memakan resource dari smartphone pasti digunakan untuk menguji. Pokemon Unite juga digunakan karena mampu diajak bermain pada grafis tinggi dan framerate 60 fps.

Genshin Impact hanya bisa dijalankan dengan cukup lancar pada saat game berada pada profile lowest dan diubah ke 60 fps. Rata-rata framerate yang saya dapatkan kali ini adalah sekitar 40 fps. Untuk Pokemon Unite, perangkat ini bisa menjalankan dengan rata-rata framerate 57 fps pada seting grafis tertinggi. Kedua game tentu saja dapat berjalan tanpa masalah.

Untuk mengukur framerate, saya menggunakan aplikasi GameBench yang akurat dalam menghitung frame per detiknya

Bekerja dan hiburan

Untuk kali ini, penggunaan aplikasi yang saya gunakan sehari-hari memang tidak selengkap biasanya. Hanya aplikasi sosial media seperti Facebook, Tiktok, Twitter, Instagram, Zoom, dan Whatsapp serta aplikasi editor Filmora Go saja yang digunakan. Walaupun tidak menggunakan Trello dan Slack pada perangkat ini, namun sepertinya beberapa aplikasi tersebut sudah mewakili sebagian besar yang ada di Google Play.

Saya juga menonton Youtube dengan menggunakan perangkat ini saat ada beberapa peluncuran pada bulan Desember 2021. Dan hasilnya memang tidak ada masalah. Bahkan masalah panas pun tidak muncul pada perangkat yang satu ini. Namun karena speaker-nya hanya satu, saat menonton video ada baiknya menggunakan earphone agar suaranya lebih enak didengar.

Benchmarking

Realme 8i menggunakan cip baru dari Mediatek dengan Helio G96. Tentunya akan banyak yang penasaran bagaimana kinerjanya dibandingkan dengan G95. Untuk itu, saya menghadirkan kembali Helio G95, SD 678, dan SD 720. Berikut adalah hasilnya

Sayangnya, ada beberapa benchmark yang menolak berjalan pada perangkat yang satu ini. Entah apakah karena penggunaan RAM 4 GB atau memang masih ada bug pada perangkat ini. Namun, sebagian benchmark yang saya gunakan seharusnya sudah menggambarkan kinerja perangkat ini secara keseluruhan.

Uji baterai: 5000 mAh

Untuk menguji baterai dengan kapasitas 5000 mAh memang membutuhkan 1 hari khusus untuk menjalankannya. Namun, aplikasi yang ada saat ini belum bisa merepresentasikan pemakaian sehari-hari. Sebuah pengujian menunjukkan bahwa pemakaian smartphone tidak didominasi untuk bermain game, namun untuk hiburan seperti menonton video dan mendengarkan musik serta sosial media.

Saya mengambil patokan dengan menggunakan sebuah file MP4 yang memakai resolusi 1920 x 1080 yang diulang sampai baterai habis. Realme 8i dapat bertahan hingga 13 jam 2 menit. Setelah habis, saya langsung mengisi kembali baterainya dengan menggunakan charger bawaan 18 watt. Hasilnya, baterai akan terisi penuh dalam waktu kurang dari 2,5 jam.

Verdict

Banyaknya teknologi yang ditanamkan pada smartphone dengan harga premium memang membuat semua orang ingin merasakannya. Sayang memang, teknologi layar dengan refresh rate tinggi membuat orang cukup iri karena tidak memiliki dana untuk membelinya. Realme melihat masalah yang satu ini dan berusaha membawa teknologi 120 Hz dengan harga yang lebih terjangkau. Hal tersebut terwujud dengan realme 8i.

Kinerja smartphone yang satu ini memang cukup baik. Dengan menggunakan Mediatek Helio G96 membuatnya menjadi salah satu perangkat yang cukup kencang pada rentang harganya. Kinerja tersebut pun disokong dengan baterai 5000 mAh yang mampu bertahan seharian. Sayangnya, pada perangkat yang saya dapatkan tidak memiliki DRE, yang seharusnya mampu meningkatkan kinerja perangkat yang hanya memiliki RAM 4 GB saja.

Untuk kamera yang dimiliki oleh realme 8i, hasilnya memang benar-benar bagus. Kamera 50 MP yang ada mampu menangkap gambar dengan bagus pada kondisi cahaya yang terang maupun rendah. Sayangnya memang, kamera ultrawide sepertinya bukan pilihan realme untuk dipasangkan pada perangkat yang satu ini. Padahal, kamera tersebut lebih banyak digunakan dibandingkan dengan kamera makro.

Realme 8i dengan konfigurasi RAM 4G dengan penyimpanan internal 64 GB seperti yang saya dapatkan dijual dengan harga Rp. 2.499.000. Tentunya harga ini terlihat cukup murah untuk merasakan layar 120 Hz yang saat ini diketahui memiliki harga yang mahal. Dan dengan kinerja yang cukup baik pada smartphone ini, membuat realme 8i menjadi salah satu perangkat untuk hiburan dan bermain game yang memiliki harga terjangkau.

Sparks

  • Layar nyaman dengan 120 Hz
  • Kamera yang bagus untuk sebuah smartphone dengan harga di bawah 3 juta
  • Kinerja yang cukup baik untuk kebutuhan sehari-hari dan bermain game
  • Daya tahan baterai yang cukup panjang
  • Realme UI 2 yang responsif
  • Desainnya yang cukup menarik perhatian

Slacks

  • RAM 4 GB tidak memiliki DRE yang seharusnya membuat perangkat ini lebih nyaman digunakan
  • Hanya memiliki 1 speaker
  • Tidak memiliki kamera wideangle

[Review] Samsung Galaxy Watch 4 Classic: Lebih Elegan dengan Wear OS, Lengkap dengan Pengukur Tekanan Darah

Seperti yang kita ketahui, selama ini Samsung selalu menggunakan sistem operasi Tizen pada perangkat AIoT-nya. Seperti halnya Samsung Galaxy Watch yang selalu menggunakan sistem operasi buatan dapur mereka sendiri. Namun, saat ini sepertinya Samsung mengambil keputusan yang besar. Pada jam tangan pintar terbarunya, Samsung Galaxy Watch 4 Classic, Samsung menggunakan Wear OS dari Google!

Samsung Galaxy Watch 4 Classic yang datang ke DailySocial ternyata merupakan versi yang memiliki eSIM. Hal tersebut terlihat dari kartu eSIM dari salah satu operator seluler di Indonesia yang menjadi bundling dari paket penjualannya. Jam tangan pintar ini juga mengedepankan fitur pendeteksi tekanan darah yang selama ini sudah ditunggu-tunggu. Fitur lain yang juga dibawa oleh perangkat ini adalah electrocardiogram yang saat ini masih jarang ditemukan pada perangkat jam tangan pintar lain.

Spesifikasi dari Samsung Galaxy Watch 4 Classic yang saya dapatkan adalah sebagai berikut

SoC Exynos W920
CPU 2 x 1.18 GHz Cortex-A55
GPU ARM Mali-G68
Layar 1.4 inci AMOLED 450 × 450 Gorilla Glass DX+
Baterai 361 mAh
Konektivitas Bluetooth 5
Sertifikasi IP68
Dimensi 44.4 x 43.3 x 9.8 mm
Bobot 30 gram

Dapat dilihat bahwa pada Galaxy Watch 4 Classic ini, Samsung menggunakan SoC Exynos W920. Exynos W920 sendiri sudah menggunakan proses pabrikasi 5 nm, dibandingkan dengan generasi sebelumnya yang masih menggunakan 10 nm pada Exynos 9110. Peningkatan dari Cortex A53 ke A55 tentu saja membuat kinerjanya menjadi lebih baik.

Charger

Didalam kotak paket penjualannya, hanya akan ditemukan sebuah alat pengisi baterai. Samsung menggunakan Qi Wireless Charging yang juga bisa digunakan untuk mengisi smartphone Samsung lainnya. Tentunya, charger ini juga sudah dilengkapi dengan magnet sehingga tidak akan tergeser saat mengisi dayanya.

Desain

Seperti semua Galaxy Watch yang dikeluarkan oleh Samsung, perangkat yang satu ini juga memiliki desain bundar. Hal tersebut tentu saja  seperti layaknya sebuah jam tangan pada umumnya. Warna yang saya dapatkan adalah hitam.

Jam tangan yang satu ini menggunakan layar dengan dimensi 1,4 inci dengan resolusi 450 x 450 piksel. Layar dari Samsung Galaxy Watch 4 Classic ini pun sudah menggunakan Corning Gorilla Glass DX+, yang lebih tahan terhadap goresan dibandingkan dengan DX dan generasi yang sebelumnya. Di samping layarnya terdapat bundaran dial yang bisa diputar. Dengan dial tersebut, pengguna bisa menggeser pilihan ke menu lainnya.

Pada sisi sebelah kanan dari Samsung Galaxy Watch 4 Classic, terdapat dua buah tombol. Yang bagian atas dengan warna merah merupakan tombol daya, home, serta untuk memanggil Bixby saat ditahan lama. Tombol yang bawah digunakan sebagai back. Menu pada smartwatch ini dapat dilihat saat menggeser layarnya ke kanan atau ke kiri atau dengan menggunakan dial. Saat menggeser ke atas akan ditemukan app drawer dan sebaliknya saat digeser ke bawah akan ditemukan layar quick setting.

Strap pada jam tangan pintar ini juga bisa diganti, sehingga pengguna tidak bosan saat menggunakannya. Mengganti strap-nya juga cukup mudah, tinggal menggeser pin yang berada pada ujungnya sampai terlepas. Pengguna juga bisa menggunakan strap 20 mm yang dijual pada toko-toko jam tangan.

Samsung Galaxy Watch 4 Classic menggunakan Wear OS yang sudah dimodifikasi dengan antar muka One UI Watch 3. Untuk menghubungkan perangkat ini dengan sebuah smartphone, aplikasi Galaxy Wear memang dibutuhkan. Semua setting yang dibutuhkan akan ditemukan pada aplikasi yang satu ini.

Pengalaman menggunakan: Mudah sekaligus rumit

Jam tangan pintar dengan desain bundar? Tentu saja langsung menarik perhatian saya semenjak datang sekitar 3 minggu yang lalu. Oleh karenanya, saya langsung menggunakan Samsung Galaxy Watch 4 Classic pada saat bepergian untuk berbelanja mau pun keperluan lainnya. Hal tersebut tentu saja untuk menjajal sebagian kemampuannya pintarnya.

Saat membuka paket penjualannya yang cukup ramping, saya hanya menemukan jam tangannya dan sebuah paket eSIM dari Smartfren. Jam tangan ini langsung saya charge sambil melakukan setting lainnya. Hal pertama yang saya ingin coba tentu saja fitur kesehatan blood pressure. Namun, hal ini ternyata tidak mudah jika kita tidak memiliki sebuah smartphone Samsung.

Fitur pengukur tekanan darah ini membutuhkan sebuah perangkat yang bisa diinstal aplikasi Samsung Health dan Samsung Health Monitor. Untuk bisa melakukan instalasinya, harus menggunakan Samsung Galaxy Store. Aplikasi ini sayangnya hanya bisa dibuka melalui sebuah smartphone Samsung. Jadi, fitur-fitur kesehatan yang menarik tidak akan jalan jika Anda tidak memiliki smartphone Samsung.

Oleh karena itu, saya meminjam perangkat Samsung Galaxy Flip 3 untuk mencoba fitur ini. Dan benar saja, semua instalasi berjalan sangat lancar tanpa adanya masalah. Dan untung saja, untuk mencoba fitur pengukur tekanan darah ini harus memiliki sebuah alat pengukur tekanan darah digital untuk kalibrasi. Dan setelah melakukan kalibrasi, fitur pengukur tekanan darah ini langsung dapat digunakan kapan saja.

Saya melakukan percobaan pengukuran tekanan darah dengan menggunakan alat pengukur digital melawan Samsung Galaxy Watch 4 Classic. Ternyata hasilnya cukup mirip antara jam tangan pintar ini dengan alat pengukur tekanan darah digital yang saya miliki. Bahkan setelah kalibrasi, pengukuran tekanan darah tersebut dapat digunakan orang lain dengan cukup akurat. Walaupun begitu, Samsung sendiri meminta agar pengguna tidak menjadikan hasilnya sebagai patokan kesehatan.

Saya juga mencoba fitur-fitur kesehatan lainnya seperti ECG, tingkat Stress, pemindai detak jantung, serta SpO2. Untuk ECG, saya tidak memiliki alat untuk membandingkan hasilnya. Untuk SpO2, hasilnya kurang lebih sama dengan alat pengukur pada jari di mana saya mendapatkan nilai 98%. Sayangnya, saya bukan orang yang sering berolah raga sehingga cukup sulit mencoba fitur olah raganya.

Setelah itu, saya mencoba untuk mendaftarkan eSIM pada jam tangan pintar ini. Ternyata cukup sulit. Hal pertama adalah pengguna harus memiliki SIM dari penyedia layanan yang sama dengan yang ingin diisi, dalam hal ini saya harus menggunakan SIM dari Smartfren agar bisa memasukkan eSIM dari Smartfren. Jika tidak ada SIM, setting pada Galaxy Wear akan menolak terbuka.

Sayang memang, eSIM yang saya dapatkan tidak bisa dimasukkan ke dalam Samsung Galaxy Watch 4 Classic. Aplikasi Galaxy Wear mengatakan bahwa eSIM saya sudah digunakan pada perangkat lainnya. Dan untuk mengganti QR, saya harus mengantri ke galeri Smartfren serta membayar uang Rp. 15.000. Karena pandemi masih belum selesai, hal ini tentu saja saya urungkan.

Saya pun mencoba apakah Samsung Galaxy 4 Classic bisa menerima telepon melalui aplikasi Telegram. Sayangnya, jam tangan pintar ini hanya bisa menolak panggilan tersebut. Saya mencoba untuk melihat apakah ada setting khusus untuk menerima pada jam tangan pintar ini. Namun, entah apakah kurang waktu untuk menelusuri, saya tidak menemukannya.

Sekarang tiba saatnya untuk menguji seberapa lama baterainya dapat bertahan. Tidak muluk-muluk, hampir setiap jam tangan pintar dari Samsung yang pernah saya coba hanya memiliki daya tahan hingga 2 hari saja. Tidak berbeda dengan Samsung Galaxy Watch 4 Classic yang juga memiliki daya tahan yang sama. Oleh karena itu, ada baiknya untuk memiliki sebuah power bank yang mendukung Qi wireless charging agar jam tangan ini bisa diisi ulang di luar rumah.

Saat mengisi Samsung Galaxy Watch 4 Classic, tidak ada masalah sama sekali yang saya temukan. Charger-nya sendiri memiliki magnet sehingga jam tangan ini tidak akan tergeser secara tidak sengaja. Mengisi daya pada jam tangan pintar ini akan memakan waktu sekitar 1,5 jam.

Menggunakan Android Wear OS membuat perangkat ini memiliki lebih banyak aplikasi pihak ketiga yang bisa diinstalasi. Namun sayang memang, untuk menambah aplikasi pada jam tangan ini mengharuskan pengguna untuk memakai smartphone Samsung. Untuk mereka yang memiliki smartphone merek lain (seperti saya), hanya bisa menggunakan fitur-fitur dasar saja.

Antar muka dari perangkat ini sudah menggunakan One UI Watch 3. Icon-iconnya sendiri juga sudah diubah menjadi bentuk bulat. Antar muka ini juga lebih memudahkan dalam pemakaian jam tangan pintar dibandingkan sebelumnya. Walaupun begitu, mereka yang sudah pernah menggunakan generasi sebelumnya, tentu tidak akan bingung karena memang antar mukanya mirip.

Verdict

Samsung memang tidak bisa dipungkiri lagi memiliki sebuah jam tangan paling pintar yang ada di pasaran saat ini. Hal tersebut ditandai dengan beberapa fitur-fitur kesehatan yang memang belum ada pada jam tangan pintar merek lainnya. Hal tersebut diteruskan oleh Samsung pada jam tangan terbarunya, yaitu Samsung Galaxy Watch 4 Classic.

Dengan menggunakan SoC terbaru yang memiliki prosesor Cortex A55, jam tangan pintar ini memiliki kinerja yang sangat baik. Selama penggunaan, saya tidak menemukan masalah dalam menjalankan aplikasi-aplikasi yang ada pada smartwatch ini. Hanya saja, jam tangan ini harus diisi ulang baterainya setiap 2 hari sekali sehingga pengguna tidak boleh lupa melakukan charging.

Samsung Galaxy Watch 4 Classic juga menawarkan fitur-fitur kesehatan yang dapat memberikan data langsung kepada pemakainya. Fitur pemindai tekanan darah, SpO2, serta ECG saat ini dibutuhkan agar kita bisa terhindar dari penyakit yang berkelannjutan, seperti darah tinggi dan COVID-19. Selain itu, jam tangan pintar ini juga sudah bisa disisipkan eSIM untuk melakukan panggilan suara. Sayang, semua itu hanya bisa terwujud pada saat smartphone yang digunakan juga dari Samsung.

Samsung Galaxy Watch 4 Classic di Indonesia dijual pada harga Rp. 4.999.000. Walaupun termasuk dalam harga yang premium, namun pengguna akan bisa mendapatkan fitur-fitur kesehatan yang cukup akurat yang nantinya bisa menyelamatkan nyawa. Hal tersebut tentunya akan terlihat lebih terjangkau untuk mereka yang suka berolah raga serta menjaga kondisi kesehatan setiap saat.

Sparks

  • Build kokoh dengan bingkai aluminium dan kaca Gorilla Glass
  • Fitur kesehatan yang cukup akurat dengan pendeteksi tekanan darah, SpO2, ECG, detak jantung, stress, dan lainnya
  • Mendukung 4G dengan eSIM
  • Responsif dengan SoC baru dan Android Wear OS
  • Mendukung charger Qi dan beberapa powerbank
  • Nyaman digunakan

Slacks

  • Fitur kesehatan mengharuskan penggunaan smartphone Samsung
  • Daya tahan baterai hanya 2 hari
  • Harganya cukup tinggi

[Review] Xiaomi Pad 5: Performa Flagship Harga Mainstream, Bisa untuk Gantikan Laptop

Pasar tablet Android sepertinya sudah sepi dari sebelum pandemi COVID 19 merebak. Hal tersebut kemungkinan dikarenakan oleh kebutuhan masyarakat lebih condong pada penggunaan smartphone. Namun, pandemi COVID 19 mengharuskan semua orang untuk bekerja dan sekolah di rumah. Dan ini mungkin merupakan sebuah titik balik dari penjualan tablet di seluruh dunia dan juga di Indonesia.

Pemilihan tablet memang cukup sulit untuk saat ini. Ada tablet dengan harga yang murah, namun memiliki spesifikasi yang kurang tinggi. Sayangnya, banyak tablet dengan spesifikasi yang bergaris lurus dengan harga yang dikenakan pula. Di sinilah Xiaomi ingin mengambil momen dengan mengeluarkan tablet Android terbarunya yang bernama Xiaomi Pad 5. Yup, Xiaomi saat ini sudah menghilangkan nama Mi pada semua perangkatnya.

Jika saya tidak salah, Xiaomi pernah memasukkan dua tabletnya ke Indonesia, yaitu Mi Pad dan Mi Pad 2. Setelah itu, sepertinya Xiaomi vakum dalam mengeluarkan perangkat tabletnya di Indonesia. Setelah pergantian kepemimpinan dari Steven Shi ke Alvin Tse, sepertinya Xiaomi Indonesia mulai berani memasukkan perangkat-perangkat non Redmi, termasuk kembalinya tablet Xiaomi Pad terbaru, yaitu Xiaomi Pad 5.

Xiaomi Pad 5 bisa dibilang sebuah tablet dengan spesifikasi flagship yang dijual dengan harga mainstream. Hal ini tentu saja membuatnya bisa digunakan di mana saja untuk bekerja dan meeting dengan menggunakan aplikasi seperti Zoom dan Google Meet. Kita juga bahkan bisa mengetik dengan menggunakan aplikasi Office dengan mudah serta menggambar langsung di layarnya.

Sebagai catatan, Xiaomi Indonesia hanya memasukkan Xiaomi Pad 5 non Pro saja. Paket penjualannya sendiri terpisah dengan keyboard dan juga stylus-nya. Anda juga bisa menggunakan stylus dan keyboard bluetooth pihak ketiga tanpa adanya masalah. Dan semua itu akan dapat digunakan dengan sangat smooth tanpa adanya lag. Dengan begitu pula, Xiaomi bisa menekan harga dari tablet ini untuk tidak mencapai nilai 5 juta rupiah.

Xiaomi Pad yang saya dapatkan (dan satu-satunya varian yang ada saat ini) bisa dilihat pada tabel berikut

SoC Qualcomm Snapdragon 860
CPU 1 x 2.96 GHz Kryo 485 Gold + 3 x 2.42 GHz Kryo 485 Gold + 4 x 1.78 GHz Kryo 485 Silver
GPU Adreno 640
RAM 6 GB LPDDR4x
Internal 128 GB UFS 3.1
Layar 11 inci 2560×1600 IPS 120 Hz Dolby Vision
Dimensi 254.7 x 166.3 x 6.9 mm
Bobot 511 gram
Baterai 8720 mAh fast charge 33 watt, 22,5 watt charger
Kamera 13 MP utama, 8 MP Selfie
OS Android 11 MIUI 12.5 Enhanced

Hasil dari CPU-Z, AIDA64, serta Sensor Box dapat dilihat sebagai berikut:

Mungkin Anda berpikir mengapa review ini lama keluar. Saya terus terang menunggu hingga MIUI 12.5 Enhanced datang ke Xiaomi Pad 5. Salah satu yang ingin saya rasakan adalah menggunakan memory extension sebesar 3 GB yang menjadi sebuah virtual memory pada tablet ini. Hal tersebut membuat Xiaomi Pad benar-benar bisa dipakai sebagai pengganti laptop!

Charger

Didalam paket penjualannya hanya akan ditemukan beberapa dokumen serta charger dan kabel USB-C. Walaupun Xiaomi Pad 5 mendukung pengisian hingga 33 watt, Xiaomi hanya memberikan charger dengan daya 22,5 watt saja.

Desain

Terus terang, Xiaomi Pad 5 memiliki desain yang menurut saya cukup keren. Badan dari tablet ini menggunakan bahan plastik polikarbonat keras dengan finishing matte. Untuk frame-nya sendiri sudah menggunakan bahan aluminium sehingga perangkat ini tidak mudah bengkok. Untuk perangkat yang saya dapatkan memiliki warna yang disebut dengan Cosmic Grey.

Layar Xiaomi Pad 5 memiliki resolusi 2560×1600 pada layar dengan dimensi 11 inci. Panel yang digunakan adalah IPS yang memiliki 1 miliar warna dengan refresh rate 120 Hz dan mendukung HDR10 serta Dolby Vision. Sayangnya, tidak dijelaskan apakah layar ini sudah menggunakan teknologi dari Corning dengan Gorilla Glass atau dari Asahi dengan DragonTrail atau tidak.  Oleh karenanya, gunakan lapisan pelindung tambahan agar layar tersebut aman dari goresan.

Xiaomi menempatkan kamera pada sisi atas (jika dalam posisi portrait), sehingga tablet ini lebih cocok digunakan pada posisi tersebut saat melakukan video conferencing. Pada bagian belakangnya, terdapat sebuah kamera serta LED flash yang terang. Sayang memang, bagian kameranya cukup menonjol sehingga cukup mengganggu desain tipis dari tablet ini yang memiliki dimensi 254.7 x 166.3 x 6.9 mm. Bobotnya sendiri cukup ringan untuk sebuah tablet berukuran besar, hanya 511 gram saja.

Jika dalam posisi landscape, tombol volume berada pada sisi atas beserta dengan konektor untuk stylus-nya. Pada bagian kiri akan ditemukan tombol power beserta dua speaker kiri. Untuk bagian kanannya dapat ditemukan dua speaker kanan beserta port USB-C untuk mengisi daya dan OTG. Bagian bawahnya akan ditemukan konektor untuk Xiaomi Pad Keyboard.

Xiaomi Pad 5 sudah menggunakan sistem operasi Android 11 yang sudah terpasang MIUI 12.5 Enhanced. Versi MIUI yang saya gunakan saat ini adalah 12.5.11 (RKXMIXM) yang sudah memiliki fitur Memory extension. Xiaomi sendiri mengalokasikan 3 GB dari penyimpanan internalnya untuk dijadikan memori virtual. Hal ini tentu saja akan membuat RAM 6 GB yang terpasang lebih lowong saat membuka banyak aplikasi.

Memori virtual ini sendiri sangat diperlukan jika Xiaomi Pad 5 digunakan untuk bekerja. Apalagi saat digunakan seperti sebuah laptop, misalnya dengan membuka aplikasi Office dengan tab yang banyak, browser internet dengan jumlah yang banyak pula, tentu saja akan membuat tablet ini menjadi tidak lag.

Konektivitas

Xiaomi Pad 5 yang dijual di Indonesia merupakan versi WiFi tanpa konektivitas seluler. Dengan Snapdragon 860, perangkat ini sudah mendukung WiFi 5 atau yang dikenal dengan 802.11 AC yang berjalan pada kanal 2,4 GHz dan 5 GHz. Tangkapan sinyal WiFi juga cukup baik, di mana saat beberapa smartphone hanya menangkap 3 bar tablet ini masih menangkap dengan penuh.

Xiaomi Pad 5 tidak memiliki GPS yang biasa digunakan untuk menampilkan lokasi secara akurat. Namun saat terkoneksi dengan WiFi, perangkat ini mampu memberikan informasi lokasi dengan cukup baik. Tablet ini juga tidak dilengkapi dengan NFC.

Kamera: Tablet namun hasil fotonya bagus!

Xiaomi Pad 5 juga dilengkapi dengan kamera untuk berbagai jenis kebutuhan. Pada bagian belakangnya, Xiaomi menyematkan kamera dengan resolusi 13 MP buatan OmniVision dengan OV13B10. Lalu pada bagian depannya, kamera yang terpasang memiliki resolusi 8MP yang menggunakan sensor OmniVision OV8856. Lalu bagaimana hasilnya?

Kamera bagian belakangnya ternyata mampu menangkap gambar dengan sangat baik. Pada kondisi cahaya yang cukup, perangkat ini mampu mengambil gambar dengan tajam dan rendah noise. Warna yang dihasilkan juga cukup baik serta kontrasnya yang juga baik. Hasilnya bisa dilihat pada gambar berikut ini

Kamera depannya juga bisa menangkap gambar dengan bagus. Untuk sebuah kamera 8 MP, hasilnya cukup tajam serta warnanya yang cukup baik. Untuk hasil yang lebih baik lagi, saya sarankan untuk menyalakan HDR serta mematikan fitur beautify.

Pengujian

Xiaomi Pad 5 menggunakan chipset dari Qualcomm, yaitu Snapdragon 860. Kembaran Snapdragon 855+ ini memang ditujukan untuk perangkat flagship pada 2 tahun yang lalu, namun kinerjanya saat ini masih menduduki peringkat atas. Qualcomm menggunakan 3 cluster yang terdiri dari Kryo 485 Gold (berbasis Cortex A76) 2.96 GHz pada cluster Prime,  3 core Kryo 485 Gold berkecepatan 2.42 GHz serta 4 core Kryo 485 Silver (berbasis Cortex A55) dengan kecepatan 1.78 GHz. GPU yang digunakan adalah Adreno 640.

Seperti biasa, saya menggunakan tablet ini dalam dua skenario, yaitu bermain serta bekerja. Game yang saya gunakan tentu saja ada pada Google Play. Skenario kedua adalah menggunakan tablet dengan aplikasi yang saya gunakan sehari-hari. Perangkat ini sendiri sudah saya gunakan sekitar 1 bulan.

Games

Terus terang, sebenarnya ada 3 game yang saya uji dengan menggunakan Xiaomi Pad 5. Ketiganya adalah Genshin Impact, Pokemon Unite, dan PUBG New State. Namun sayang, aplikasi GameBench mengharuskan saya untuk menyalakan Developer Options dan PUBG New State mensyaratkan agar pilihan tersebut dimatikan.

Dengan menggunakan Snapdragon 855+ Snapdragon 860, tentu saja sudah lebih dari cukup untuk menjalankan game-game yang beredar saat ini. Hal tersebut memang berhubungan langsung dengan clock yang dimiliki oleh SoC ini serta GPU-nya yang tergolong masih ada diurutan atas, yaitu Adreno 640. Terlebih lagi dengan layar 120 Hz yang digunakan yang berhubungan langsung dengan kemampuannya untuk menampilkan sampai 120 fps.

Berbicara mengenai 120 fps, ada sebuah hal yang cukup unik saat bermain PUBG New State. Oleh karena tidak bisa menggunakan aplikasi GameBench untuk mengukur framerate-nya, langsung saja saya mencoba menggunakan fitur Game Turbo dari MIUI. Ternyata, Game Turbo mendeteksi bahwa game ini jalan pada 120 fps! Akan tetapi, pada saat memindah pilihan dari Vulkan ke OpenGL ES, framerate tersebut terkunci pada 60 fps.

Untuk Genshin Impact dan Pokemon Unite, keduanya mendapatkan framerate yang sama pada tablet ini. Dengan 40 fps, tentu saja pengguna bisa bermain dengan cukup lancar. Saya memilih setting paling tinggi untuk kedua game ini, sehingga jika 40 fps dirasa kurang, Anda bisa menurunkan kualitasnya untuk mencapai 60 fps.

Satu hal yang kurang nyaman saat bermain adalah bobot dari perangkat ini. Untuk sebuah tablet, perangkat dengan bobot 511 gram ini memang cukup ringan. Akan tetapi jika dipegang dengan 2 tangan yang jari-jarinya digunakan untuk bermain game, beratnya akan cukup terasa pada lengan. Namun tentunya hal ini kembali lagi ke preferensi masing-masing penggunanya.

Hasil benchmark yang saya dapatkan bisa dilihat sebagai berikut

Bekerja dan hiburan

Selama sebulan, saya mencoba mengetik dengan menggunakan Xiaomi Pad 5 yang dihubungkan dengan keyboard dan mouse bluetooth. Yang saya rasakan memang hampir tidak ada bedanya dengan menggunakan sebuah laptop. Yang membedakan tentu saja dari sisi sistem operasi. Namun dari pengalaman, saya lebih suka menggunakan tablet ini jika dibandingkan dengan sebuah Chromebook.

Aplikasi yang saya gunakan pada tablet ini meliputi Trello, Slack, GMail, WPS, Telegram, Facebook, Tiktok, serta Chrome. Sebagai catatan, artikel ini sebagian besar saya ketik dengan menggunakan browser Chrome pada Xiaomi Pad 5. Pekerjaan grafik juga dilakukan pada WPS untuk Android. Untuk melakukan editing, saya menggunakan Photopea secara online sehingga memang tidak ada kendala sama sekali saat menggunakannya.

Tablet ini juga saya coba gunakan untuk sekolah anak yang saat ini masih dilakukan di rumah. Dengan menggunakan Zoom, yang ternyata lebih lancar jika dibandingkan dengan laptop Windows, membuat kegiatan tersebut terasa lebih nyaman. Hal ini tentu saja tidak lepas dari RAM 6 GB yang sudah mendukung memori virtual sebesar 3 GB.

Untuk menonton video, perangkat ini sudah dilengkapi dengan Dolby Vision serta Dolby Atmos. Hal ini tentu saja akan meningkatkan kualitasnya saat menonton layanan video streaming seperti Netflix. Perangkat ini juga sudah mendukung Widevine L1 sehingga bisa menonton video 1080p pada banyak layanan streaming. Anda juga harus mendengarkan suara yang keluar dari 4 speaker yang ada, karena suaranya yang keras serta cukup jernih.

Benchmarking

Xiaomi Pad 5 menggunakan Snapdragon 860 yang notabene merupakan Snapdragon 855+. Untuk mengetahui seberapa baik kinerjanya, saya menghadirkan Snapdragon 870 atau Snapdragon 865+, Snapdragon 865, serta Mediatek Helio G95.  Berikut adalah hasilnya

Dapat dilihat bahwa kinerja Xiaomi Pad 5 yang menggunakan Snapdragon 860 memang kencang. Dengan hasil yang ada, tentu saja sejalan dengan pengalaman saya dalam menggunakannya selama sebulan penuh. Nilai tersebut juga berarti bahwa perangkat ini mampu digunakan dengan bebas lag.

Uji baterai: 8720 mAh yang cukup panjang

Untuk menguji baterai dengan kapasitas 8720 mAh memang membutuhkan banyak waktu. Sayangnya, aplikasi yang ada saat ini tidak merepresentasikan pemakaian sehari-hari. Sebuah pengujian menunjukkan bahwa pemakaian tablet tidak didominasi untuk bermain game, namun untuk hiburan, bekerja, serta sosial media.

Saya mengambil patokan dengan menggunakan sebuah file MP4 yang memakai resolusi 1920 x 1080 yang diulang sampai baterai habis. Xiaomi Pad 5 dapat bertahan hingga 14 jam 5 menit. Setelah habis, saya langsung mengisi kembali baterainya dengan menggunakan charger bawaan 22,5 watt. Hasilnya, baterai akan terisi penuh dalam waktu kurang lebih 2 jam.

Verdict

Kebutuhan akan sebuah tablet Android untuk keperluan WFH dan SFH memang sedang meningkat. Sayangnya, banyak tablet dengan kinerja tinggi memiliki harga yang mahal. Untuk tablet dengan harga yang murah, spesifikasi yang diberikan juga tidak terlalu tinggi. Masalah inilah yang dipecahkan oleh Xiaomi dengan meluncurkan Xiaomi Pad 5.

Kinerja dari Xiaomi Pad 5 memang sangat bagus karena menggunakan SoC Qualcomm Snapdragon 860. Dengan menggunakan SoC ini, kinerja tablet yang digunakan untuk bermain game, bekerja, serta hiburan menjadi nyaman karena terasa responsif. Apalagi, tablet ini memiliki memori virtual tambahan 3 GB yang memastikan RAM tidak akan kepenuhan. Semua itu juga ditunjang dengan baterai yang memiliki kapasitas besar dan berdaya tahan lama.

Tablet ini juga memiliki kamera yang menghasilkan gambar serta video yang bagus. Hal tersebut tentu saja membuat perangkat ini bisa mengambil momen sehari-hari sekaligus bisa diandalkan saat melakukan panggilan video untuk meeting. Sayang memang, tablet ini tidak memiliki GPS serta NFC yang saat ini mungkin dibutuhkan oleh para konsumen di Indonesia. Tablet ini juga hanya memiliki konektivitas WiFi tanpa adanya dukungan jaringan seluler.

Xiaomi Pad 5 dijual oleh Xiaomi Indonesia dengan harga Rp. 4.999.000. Dengan harga tersebut, pengguna akan mendapatkan semua kelebihan yang sudah saya sebutkan di atas. Bagi saya, Xiaomi Pad 5 memang merupakan sebuah tablet terjangkau dengan kinerja yang tinggi yang bisa digunakan untuk segala macam kegiatan seperti bermain game, belajar, bekerja, dan menikmati hiburan.

Sparks

  • Kinerja tinggi dengan Snapdragon 860
  • Responsif dengan RAM 6 GB + memori virtual 3 GB
  • Daya tahan baterai yang cukup panjang
  • 4 Speaker Dolby Atmos dan layar 120 Hz yang mendukung Dolby Vision
  • Desain cantik dan tipis
  • Hasil kamera yang bagus

Slacks

  • Tanpa GPS dan NFC
  • Charger bawaan hanya 22,5 watt saja
  • Tanpa microSD
  • Tanpa port audio

[Review] Seagate NVMe SSD FireCuda 530: Storage PCIe Gen 4 x4 Super Kencang

Seiring dengan perkembangan pada sisi penyimpanan di komputer, tentu saja kinerja akan lebih meningkat lagi. Dahulu semua orang masih menggunakan hard disk ATA yang kemudian digantikan oleh SATA sampai generasi ke 3. Setelah itu, muncullah NVMe yang menggunakan jalur PCI express yang meningkatkan kinerjanya berkali-kali lipat. Dan saat ini, jalur PCI express pun sudah sampai ke generasi ke 4.

Jalur PCI express juga memiliki beberapa jalur yang saat ini dikenal dari x1, x4, x8, hingga x16. Pada PCIe generasi ke 3, jalur x1 memiliki kecepatan 0,985 GB/s, sehingga pada NVMe yang membutuhkan jalur x4 akan memberikan bandwidth sebesar 3.939 GB/s. Untuk PCIe generasi ke 4, jalur x1 akan memiliki kecepatan 1.969 GB/s dan untuk storage NVMe yang menggunakan x4 akan memiliki bandwidth 7.877 GB/s.

Saat ini, media penyimpanan SSD berbasis PCIe NVMe generasi ke 4 pun sudah datang. Salah satunya adalah Seagate FireCuda 530 yang menggunakan PCIe 4.0 x4. FireCuda sendiri merupakan lini penyimpanan dari Seagate yang memiliki kinerja tinggi dan ditujukan untuk para gamer. Oleh karenanya, terdapat logo Seagate Gaming pada setiap kotak penjualan dari Seagate FireCuda.

SSD yang satu ini diklaim dapat melakukan transfer data pada kecepatan 7000 MB/s. Kecepatan tersebut tentunya akan bisa dicapai hanya dengan menggunakan NVMe dengan PCI express generasi ke 4 pada jalur x4. Hal ini tentunya membuat Firecuda 530 menjadi salah satu SSD dengan kinerja sangat kencang yang ada pada tahun 2021 ini. Tipe Seagate FireCuda yang datang ke meja pengujian tim DailySocial merupakan SSD dengan heatsink tebal, yang dikenal dengan FireCuda 530 Heatsink.

Spesifikasi dari Seagate FireCuda 530 NVMe SSD yang saya dapatkan adalah sebagai berikut

Kapasitas 2 TB
Interface PCIe Gen 4 x4
Tipe konektor NVMe 1.4
Form Factor M.2 2280
Controller Phison PS5018-E18
Jenis memori NAND Micron 176L TLC
Endurance 2550 TBW
Dimensi 24.2 x 10.74 x 9.6 mm
Bobot 47 gram

Seagate memberikan garansi 5 tahun untuk SSD NVMe yang satu ini. Selain itu, garansi yang diberikan juga akan akan terpotong oleh TBW (TeraByte Written) yang ditentukan. Jadi, garansi akan berakhir jika sudah terpakai lebih dari 3 tahun atau melebihi penulisan 2550 TB. Oleh karena itu, jangan sering-sering ya melakukan benchmarking pada SSD ini 🙂

Desain

Bulky! Itulah yang pertama kali muncul dipikiran saya saat membuka paket penjualan dari FireCuda 530. Tentu saja, hal tersebut karena heatsink tebal yang dipasangkan di atas cip NAND yang ada. Dengan meningkatnya kinerja cip tentu saja menghasilkan panas yang berlebih dan ini adalah cara Seagate untuk meredamnya.

Seagate FireCuda 530 menggunakan kedua sisi dari board-nya untuk diisi berbagai chip. Untuk kontrolernya, Seagate FireCuda 530 menggunakan Phison PS5018-E18 dengan proses pabrikasi 12 nm dari TSMC. Cip NAND-nya sendiri menggunakan Micron 176-Layer Triple-Level Cell. Dan hadir cip RAM DDR4 buatan Hynix yang berfungsi sebagai cache.

Bobot yang dimiliki oleh Seagate FireCuda 530 ini sangat ringan, hanya 47 gram saja. Perangkat ini memiliki dimensi 24.2 x 10.74 x 9.6 mm yang cocok untuk dipasangkan pada sebuah desktop mau pun Playstation 5. Sayangnya SSD ini sepertinya tidak cukup saat dipasangkan pada beberapa laptop gaming karena dimensi heatsink-nya yang cukup tebal. Namun, dengan heatsink setebal ini, membuat FireCuda 530 bisa lebih terjaga suhunya, walaupun kadang masih terjadi overheating.

Seagate FireCuda 530 juga sudah didukung dengan Seagate Seatools. Software yang satu ini dapat memonitor keadaan FireCuda 530 sehingga pengguna tahu kapan harus mengganti SSD-nya. Sayangnya karena keterbatasan waktu, saya tidak sempat menguji SSD ini dengan memakai Seagate Seatools. Namun, aplikasi ini sudah tersedia langsung pada halaman resmi dari FireCuda 530.

Pengujian

Dalam menguji SSD yang satu ini, tentu saja membutuhkan sebuah perangkat yang sudah mendukung PCI-e 4.0. Saya memilih menggunakan sebuah laptop yang memakai prosesor Intel Core i5 Generasi ke 11 yang memang sudah mendukung PCI express 4.0 dan mampu menjalankan SSD NVMe PCIe Gen 4 x4 dengan kecepatan penuh. Untuk mengujinya, tentu saja saya menggunakan slot NVMe utama yang tersedia. Sistem operasi yang digunakan adalah Windows 11.

Saat menggunakan slot SSD NVMe kedua yang disediakan oleh vendor laptop yang saya pakai, ternyata hasil ujinya masih terbatas pada PCI-e generasi ke 3. Jadi, Seagate Firecuda 530 hanya terbatas pada kecepatan 3.500 MB/s saja, walaupun angka tersebut sudah termasuk kencang untuk sebuah gaming PC. Saat dipasangkan pada slot pertama, masalah kecepatan pun teratasi. Akan tetapi muncul masalah lainnya.

Iklim tropis di Indonesia memang mudah membuat peralatan PC menjadi lebih panas. Hal tersebut juga terjadi pada Seagate FireCuda 530, di mana bisa mencapai angka di atas 80 derajat celcius pada saat saya uji tanpa menggunakan AC. Saat panas, SSD ini ternyata hanya bisa berjalan pada 64 MB/s saja pada hampir semua software benchmark. Dan saat saya pegang heatsink-nya, memang terasa sangat panas sekali.

Pada pengujian kali ini, saya akan menggunakan dua buah software benchmark, yaitu Crystal Disk Mark dan ATTO. Crystal Disk Mark sendiri saya gunakan dua versi, yaitu versi 6 dan 8, karena keduanya memiliki perhitungan yang berbeda. Berikut adalah hasilnya

Cukup senang rasanya bisa mendapatkan angka 7 GB/s saat menguji SSD yang satu ini. Pada Crystal Disk Mark 6, akhirnya janji Seagate yang mengatakan bahwa SSD ini dapat berjalan pada kecepatan 7.000 MB/s dapat terlampaui dengan hasil 7.033 MB/s. Sayangnya hasil tersebut akan didapat dengan menghasilkan suhu yang panas, yaitu pada sekitar 70 derajat celcius.

Dengan kinerja seperti ini, tentu saja bisa membuat loading sebuah game berat menjadi lebih cepat. Saat menggunakannya dengan Windows 11 pun, membuat sistem secara keseluruhan menjadi terasa lebih responsif jika dibandingkan dengan sebuah SSD SATA. Apalagi saat mencobanya bermain game Valorant, loading-nya memang terasa lebih kencang walaupun tidak terpaut cukup jauh dengan SSD NVMe PCI-e Gen 3 x4 yang banyak terpasang pada laptop saat ini.

Kinerja seperti ini tentu saja juga menguntungkan untuk mereka yang sering melakukan editing dan rendering gambar serta video. Semakin cepat kinerja dari SSD, tentu saja berbanding lurus dengan selesainya sebuah pekerjaan. Kecepatan seperti ini juga cukup disarankan untuk mereka yang menggunakan software Office berat yang membuka lebih dari 10 window, seperti untuk mereka yang bekerja pada sebuah kantor akuntan.

Verdict

Saat memiliki sebuah sistem yang mendukung PCI-e 4.0, tentu saja mengganti SSD pada tingkat yang lebih tinggi akan mempercepat sistem secara keseluruhan. Dengan kinerja yang lebih tinggi, tentu saja membuat semua software yang dijalankan akan lebih cepat. Hal tersebut juga akan membuat para gamer tidak lagi perlu menunggu loading menjadi lebih lama. Oleh karena itu, Seagate menawarkan FireCuda 530 yang memiliki kinerja sangat tinggi untuk sebuah media penyimpanan saat ini.

Kinerja tinggi tersebut diberikan oleh Seagate dengan angka transfer data 7 GB/s. Selain itu, hasil benchmark juga menunjukkan bahwa Seagate FireCuda 530 mampu digunakan untuk segala pekerjaan. Dengan heatsink yang tebal juga memastikan agar SSD ini tidak akan kepanasan saat dipakai secara ekstrim. Memiliki TBW yang besar memastikan bahwa SSD ini tidak akan rusak dalam waktu yang dekat.

Seagate menjual FireCuda 530 2 TB dengan harga Rp. 7.899.000. Memang, harga ini tergolong mahal untuk ukuran kapasitas 2 TB dan jika dibandingkan dengan kompetitornya. Walaupun begitu, SSD ini cocok untuk para profesional dan gamer yang membutuhkan kinerja tinggi sebuah komputer. Dan tentu saja, mereka yang memiliki PS5 juga akan diuntungkan dengan kinerja yang dimiliki oleh FireCuda 530 ini.

Sparks

  • Kinerja baca dan tulis sangat kencang
  • Heatsink tebal yang memastikan suhu terjaga
  • Bisa digunakan pada Playstation 5
  • Garansi yang panjang, yaitu 5 tahun
  • TBW yang cukup besar dengan 2550 TBW

Slacks

  • Harganya yang cukup mahal
  • Tidak cocok untuk semua laptop karena tebalnya heatsink

 

[Review] Realme Narzo 50A: Baterai Besar, Bermain Lancar, Kamera Mumpuni, dan Harga Terjangkau

Realme kembali mengeluarkan sebuah smartphone yang ditujukan untuk anak-anak muda yang gemar bermain game serta pecinta smart gadget. Tentu saja, perangkat yang satu ini hadir pada lini Narzo. Perangkat yang datang ke meja pengujian tim DailySocial kali ini adalah realme Narzo 50A yang memiliki slogan “Mighty Performance Inside“. Lalu apa maksud dari slogan tersebut?

Lini Narzo selalu hadir dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan lini nomor dari realme. Seperti halnya realme Narzo 50A yang memiliki harga di sekitar 2 jutaan. Dengan harga tersebut, realme memposisikan Narzo 50A sebagai smartphone dengan pengalaman bermain terbaik di harga 2 jutaan. Perubahan besar dihadirkan pada realme narzo 50A diantaranya dari sisi kamera baik dari sisi jumlah kamera menjadi tiga dan besaran megapiksel maupun dari sisi sistem operasi yang sudah berbasis Android 11.

Dengan harga tersebut pula, realme juga kembali menggunakan SoC buatan Mediatak. Pada Narzo 50A, realme memilih Mediatek G85 yang memang sudah mumpuni untuk menjalankan semua game yang hadir di Android. Tentunya hal tersebut tidak lepas dari penggunaan CPU Cortex A75 yang bertenaga. Dan tentunya perangkat ini bisa bertahan lama berkat baterai 6000 mAh yang terpasang didalamnya.

Spesifikasi lengkap dari realme Narzo 50A yang saya dapatkan bisa dilihat pada tabel berikut ini

SoC Mediatek Helio G85
CPU 2 x 2.0 GHz Cortex-A75 + 6 x 1.8 GHz Cortex-A55
GPU Mali-G52 MC2
RAM 4 GB LPDDR4x
Internal 64 GB eMMC 5.1
Layar 6,5 inci 1600 x 720 IPS
Dimensi 164.5 x 75.9 x 9.6 mm
Bobot 207 gram
Baterai 6000 mAh 18 watt charger
Kamera 50 MP / 12.5 MP utama, 2 MP macro, 2 MP B/W, 8 MP Selfie
OS Android 11 Realme UI 2

Untuk hasil pemindaian dengan menggunakan software CPU-Z serta SensorBox bisa dilihat pada gambar berikut ini.

Dengan kapasitas baterai yang besar, realme memberikan Narzo 50A sebuah charger yang bisa mengisi dengan cukup cepat. Kapasitas tersebut juga membuat perangkat yang satu ini bisa menyelamatkan smartphone lain pada saat butuh mengisi baterai alias reverse charging. Perangkat ini juga mengusung kamera dengan resolusi 50 MP baru dari Samsung. Lalu seperti apa kinerja dari realme Narzo 50A?

Unboxing

Perlengkapan inilah yang bisa didapatkan didalam kotak penjualan dari realme Narzo 50A. Realme juga masih menghadirkan charger 18 watt sehingga pengguna tidak perlu lagi membelinya secara terpisah.

Desain

Unik! Itulah yang saya pikirkan pertama kali saat melihat desain belakang dari realme Narzo 50A. Selain desain garis diagonal yang cukup mirip dengan realme Narzo 30A, realme Narzo 50A dilengkapi dengan sebuah kotak hitam yang cukup besar pada bagian kiri atas belakangnya. Realme juga menempatkan logo Narzo pada kotak hitam tersebut, sehingga memang cukup tersamar. Warna yang saya dapatkan memiliki nama Oxygen Blue.

Berbicara kotak hitam yang ada dibelakangnya tersebut, realme menempatkan tiga buah kamera di sana. Selain itu, terdapat pula sebuah LED flash di sebelah kamera B/W. Kamera utama berada pada sisi kiri atas dan kamera makro ada di sebelahnya. Area hitam ini juga sekaligus menjadi tempat untuk sensor fingerprint yang memang cukup cepat dalam memindai jari telunjuk saya.

Layar realme Narzo 50A memiliki resolusi 1600×720 pada layar dengan dimensi 6,5 inci dengan model poni mini dropSmartphone ini menggunakan layar dengan jenis IPS yang sayangnya tidak dilindungi dengan lapisan pelindung seperti Gorilla Glass. Walaupun begitu, realme Narzo 50A sudah terlapisi dengan lapisan tahan gores sehingga cukup menahan goresan saat berada didalam kantong celana. Agar memiliki perlindungan yang lebih baik lagi, ada baiknya untuk menyisihkan dana maksimal Rp. 100.000 untuk membeli lapisan yang lebih kuat lagi seperti tempered glass atau hydrogel.

Untuk tombol volume serta power, bisa ditemukan pada sisi sebelah kanan dari Narzo 50A. Slot SIM serta microSD bisa ditemukan pada sisi sebelah kirinya. Pada bagian bawahnya akan ditemukan port audio 3,5 mm, microphone, USB-C, dan speaker.

Realme Narzo 50A sudah menggunakan sistem operasi Android 11 dengan antarmuka realme UI 2.0. Antar muka yang digunakan pada realme Narzo 50A masih memiliki app drawer sehingga Anda akan menemukan semua aplikasi di sana. Homescreen-nya juga memiliki beberapa gesture seperti swipe up untuk membuka app drawer dan swipe down untuk membuka fungsi search.

Jaringan

Realme Narzo 50A menggunakan chipset Mediatek Helio G85 yang ditujukan untuk para gamer dan pengguna mainstream. Oleh karena itu, perangkat ini sudah menggunakan modem yang sudah mendukung teknologi terkini, seperti Carrier Aggregation untuk 4G. Kategoti LTE yang ada pada perangkat ini masuk dalam Cat 7 untuk download dan Cat 13 untuk upload.

Kanal LTE yang didukung pada smartphone ini meliputi band 1, 3, 5, 8, 38, 40, dan 41. Tentunya, band yang didukung adalah yang sudah digunakan oleh operator seluler di Indonesia. Selain mendukung Dual 4G, perangkat ini juga sudah mendukung fitur dual VoLTE.

Perangkat ini juga sudah mendukung teknologi WiFi 5 atau yang dikenal dengan 802.11 ac. Hal tersebut tentu membuat realme Narzo 50A memiliki koneksi WiFi yang jauh lebih kencang karena menggunakan jaringan 5 GHz. Narzo 50A juga sudah mendukung bluetooth versi 5.0.

Kamera: 50 MP yang bagus

Realme saat ini tidak lagi menggunakan kamera dengan sensor 48 MP dan menggantinya dengan sensor buatan Samsung, yaitu ISOCELL JN1. Sensor baru ini sudah menggunakan teknologi ISOCELL 2.0 sehingga mampu meningkatkan sensitivitas cahaya dibandingkan dengan teknologi yang lama. ISOCELL JN1 juga menggunakan teknologi Tetracell RGB Bayer yang akan membuat resolusi kamera menjadi 12,5 MP.

Kamera yang satu ini, secara mengejutkan, mampu menghasilkan gambar yang cukup bagus. Asalkan cahaya yang ada cukup, gambar yang dihasilkan memang cukup tajam dan rendah noise. Untuk latar belakang yang lebih terang, usahakan untuk menyalakan HDR agar dynamic range-nya lebih baik. Untuk kondisi saat cahaya rendah, selalu gunakan Nightscape agar gambarnya lebih baik.

Kamera makro yang terpasang memiliki resolusi 2 MP saja. Oleh karena itu, hasilnya juga tidak akan sebaik kamera utamanya. Saya merupakan orang yang sangat jarang menggunakan kamera ini, karena hasil cropping kamera utamanya masih terasa lebih baik.

Kamera selfie pada smartphone ini menggunakan sensor Omnivision OV8856 yang memiliki resolusi 8 MP. Hasilnya memang lumayan pada saat kondisi cahaya yang baik. Namun didalam ruangan, saya sangat menyarankan untuk mengaktifkan fitur fill light agar hasilnya lebih baik dan tidak buram.

Pengujian

Realme Narzo 50A menggunakan chipset dari Mediatek, yaitu Helio G85. Dengan seri Helio, chipset ini memang didesain untuk digunakan pada perangkat mainstream sehingga akan memiliki kinerja yang cukup tinggi, walaupun saat ini sudah digunakan pada perangkat entry level. SoC ini menggunakan 2 buah cluster yaitu 2 core Cortex A75 dengan kecepatan 2 GHz pada cluster kinerja dan 6 inti prosesor Cortex A55 pada cluster efisiensi berkecepatan 1,8 GHz. GPU yang digunakan adalah Mali-G52 MC2.

Untuk menguji seberapa kencang Helio G85 yang dipakai pada Narzo 50A dalam penggunaan sehari-hari, saya memakai dua skenario. Skenario pertama tentu saja bermain game-game yang ada pada Google Play. Skenario kedua menggunakan perangkat ini untuk penggunaan sehari-hari. Perangkat ini sudah saya gunakan sekitar 1 minggu.

Bermain Game

Mediatek menciptakan Helio seri G memang ditujukan untuk bermain game. Dengan menggunakan 2 inti Cortex A75, memang membuat perangkat yang menggunakan Helio G85 bisa bermain game dengan cukup nyaman. Akan tetapi, GPU yang digunakan, yaitu Mali-G52 MC2, memang menjadi hambatan beberapa game untuk dapat dimainkan pada framerate yang lebih tinggi lagi.

Saat menguji Narzo 50A, saya menggunakan 3 game yang dimainkan selama 1 minggu. Ketiganya adalah Genshin Impact, Pokemon Unite, dan PUBG Mobile. Sayangnya pada PUBG Mobile di Narzo 50A, saya hanya dapat memilih smooth ultra yang membatasi framerate sampai 40 fps saja. Padahal, chipset Mediatek Helio G85 seharusnya mampu membuat game ini jalan pada 60 fps.

Pada saat bermain Genshin Impact yang terkenal berat, saya berpikir bahwa perangkat ini tidak akan mampu berjalan pada rata-rata 30 fps. Ternyata, saya salah! Dengan profile lowest dan menggunakan pilihan framerate 60 fps, ternyata Genshin Impact dapat dijalankan pada rata-rata 30 fps. Hal ini tentu saja tidak akan membuat orang pusing saat memainkannya.

Game Pokemon Unite dipasang pada mode rekomendasi rendah. Oleh karena keterbatasan waktu, saya hanya mengujinya pada mode grafis rendah namun menggunakan framerate tinggi. Saat menguji, ternyata Narzo 50A mampu berjalan pada 60 fps. Tentu saja hal ini sangat membantu pemain untuk meraih kemenangan.

Untuk mengukur framerate, saya menggunakan aplikasi GameBench yang akurat dalam menghitung frame per detiknya. Berikut adalah hasil dari ketiga game tersebut yang dijalankan pada realme Narzo 50A

Bekerja dan hiburan

Untuk pekerjaan yang berhubungan dengan kantor, saya harus menggunakan beberapa aplikasi seperti Trello, Slack, GMail, Whatsapp, Telegram, Facebook, Tiktok, serta Chrome. Saat memakainya selama seminggu, saya sama sekali tidak mendapatkan masalah serta lag yang mengganggu. Oleh karena itu, smartphone ini memang cocok untuk dijadikan teman bekerja. Apalagi saat meeting melalui Zoom atau Meet, saya tidak menemukan kendala apa pun dan rapat pun selesai tanpa gangguan.

Saat menonton, saya mengecek apakah Netflix dapat menjalankan konten HD pada perangkat ini. Realme Narzo 50A hanya memiliki sertifikasi Widevine L3, sehingga semua video streaming akan dibatasi hingga 540p saja. Tentu saja, hal tersebut berkaitan dengan resolusi HD+ yang diusung oleh Narzo 50A. Oleh karena speaker-nya hanya satu, menggunakan earphone merupakan suatu keharusan saat menonton film.

Benchmarking

Oleh karena realme Narzo 50A menggunakan cip Mediatek mainstream yang ada saat ini, saya penasaran untuk membandingkannya dengan cip lainnya. Oleh karena itu, Helio G95 serta Snapdragon 662 dan Unisoc T710 saya hadirkan sebagai pembanding. Berikut adalah hasilnya

Uji baterai: 6000 mAh

Untuk menguji baterai dengan kapasitas 6000 mAh memang membutuhkan banyak waktu. Sayangnya, aplikasi yang ada saat ini tidak merepresentasikan pemakaian sehari-hari. Sebuah pengujian menunjukkan bahwa pemakaian smartphone tidak didominasi untuk bermain game, namun untuk hiburan seperti menonton video dan mendengarkan musik serta sosial media.

Saya mengambil patokan dengan menggunakan sebuah file MP4 yang memakai resolusi 1920 x 1080 yang diulang sampai baterai habis. Realme Narzo 50A dapat bertahan hingga 26 jam 25 menit. Setelah habis, saya langsung mengisi kembali baterainya dengan menggunakan charger bawaan 18 watt. Hasilnya, baterai akan terisi penuh dalam waktu kurang lebih 2,5 jam.

Verdict

Di era keterbatasan chipset seperti saat ini, mencari sebuah perangkat yang memiliki harga terjangkau dengan kinerja tinggi mungkin cukup sulit. Hal tersebut dikarenakan dengan harga rendah, spesifikasi yang diberikan akan sulit digunakan untuk bermain game. Jika spesifikasinya tinggi, harganya pun juga ikut tinggi. Namun hal tersebut tidak berlaku untuk realme Narzo 50A yang baru saja diluncurkan oleh realme.

Perangkat yang satu ini memiliki kinerja yang cukup baik karena menggunakan Mediatek Helio G85. Dengan SoC tersebut dan ditemani dengan RAM 4 GB, saya dapat dengan lancar bermain game pada perangkat ini. Baterai yang besar juga membuat waktu bermain menjadi lebih lama. Tentu saja untuk dipakai bekerja setiap hari, smartphone ini nyaman digunakan.

Kamera yang terpasang pada realme Narzo 50A memiliki hasil yang dapat diandalkan pada cahaya yang cukup. Dengan ISOCELL JN1, membuat semua orang bisa mengambil gambar dengan resolusi tinggi. Cukup disayangkan memang, kamera ultrawide tidak hadir pada smartphone yang satu ini.

Realme menjual Narzo 50A dengan harga Rp. 2.099.000 untuk varian yang saya dapatkan, yaitu 4/64 GB, dan Rp. 2.299.000 untuk varian 6/128 GB. Dengan harga tersebut, membuat realme Narzo 50A menjadi salah satu perangkat dengan harga terjangkau yang bisa digunakan untuk bermain game dengan nyaman. Oleh karena itu, mereka yang gemar bermain game serta pekerja dengan dana terbatas bisa memilih perangkat yang satu ini sebagai daily driver mereka.

Sparks

  • Kinerja yang cukup baik dengan Helio G85
  • Daya tahan baterai yang sangat baik dengan 6000 mAh
  • Kamera utama yang bagus untuk kelas smartphone 2 jutaan
  • Desainnya cukup unik
  • Responsif saat digunakan

Slacks

  • Resolusi layar masih HD+ dengan 60 Hz
  • Tanpa kamera ultrawide
  • Waktu pengisian baterai cukup lama

[Review] Vivo X70 Pro: Gunakan Mediatek Dimensity 1200 dengan Desain Cantik dan Kamera Zeiss Memukau

Setelah sukses dengan smartphone Vivo X60 Pro, tentu saja produsen smartphone asal Tiongkok ini harus mempertahankan posisinya. Oleh karena itu, Vivo saat ini sudah meluncurkan sang penerus dari perangkat yang menggunakan kamera dengan lensa Zeiss. Smartphone penerus tersebut memiliki nama Vivo X70 Pro, yang saat ini sudah saya gunakan selama hampir 1 bulan penuh.

Dibandingkan dengan perangkat sebelumnya, Vivo menambahkan 1 lapisan lagi pada kamera X70 Pro, Lapisan tersebut bernama Zeiss T*lens coating yang akan mengurangi pantulan atau efek cahaya yang tidak diinginkan dalam foto. Lapisan ini telah digunakan pada Vivo X60 Pro+ yang tidak masuk ke wilayah Indonesia. Pada perangkat yang satu ini, Vivo juga masih mempertahankan fitur yang menstabilkan gambar yang disebut Gimbal.

Vivo juga mengganti produsen SoC pada X70 Pro. Pada X60 Pro, Vivo menggunakan Snapdragon 870 yang digantikan dengan Mediatek Dimensity 1200 pada X70 Pro. Kedua chipset memang sama-sama memiliki kinerja yang tinggi. Untuk spesifikasi lengkap dari X70 Pro yang saya dapatkan bisa dilihat pada tabel berikut ini

SoC Mediatek Dimensity 1200 MT6893
CPU 1 x 3.0 GHz Cortex-A78 + 3 x 2.6 GHz Cortex-A78 + 4 x 2.0 GHz Cortex-A55
GPU Mali-G77 MC9
RAM 12 GB LPDDR4x + 4 GB Memory Expansion
Internal 256 GB UFS 3.1
Layar 6,56 inci 2376 x 1080 120Hz AMOLED
Dimensi 158.3 x 73.2 x 8 mm
Bobot 183 gram
Baterai 4400 mAh 44 watt charger
Kamera 50 MP / 12.5 MP utama, 12 MP Zoom 2x, 8 MP Periscope 5x, 12 MP Ultrawide, 32 MP Selfie
OS Android 11 FunTouch OS 12

Untuk hasil pemindaian dengan menggunakan software CPU-Z serta SensorBox bisa dilihat pada gambar berikut ini.

Baterai yang terpasang pada smartphone ini memiliki kapasitas yang sedikit lebih besar dari sang pendahulunya, yaitu 4400 mAh. Uniknya, pengisian daya dari Vivo memakan daya 44 watt. Hal ini tentunya cukup berbeda dengan standar yang ada seperti 30 watt atau 65 watt. Walaupun begitu, pengisian daya seperti ini tentu saja membuat waktu tunggu menjadi lebih cepat.

Unboxing

Seperti inilah yang akan ditemukan pada paket penjualan dari Vivo X70 Pro. Vivo juga sudah menyertakan charger yang dapat mengisi dengan cepat, yaitu 44 watt.

Desain

Desain bagian belakang dari Vivo X70 Pro memang hampir mirip dengan X60 Pro. Yang membedakan adalah area kamera yang ada di sebelah kiri atasnya. Untuk logo Vivo-nya sendiri, masih terletak pada kiri bawah. Warna yang saya dapatkan memiliki nama Aurora Dawn.

Layar Vivo X70 Pro memiliki resolusi 2376×1080 pada layar dengan dimensi 6,56 inci ini serta memiliki refresh rate 120 Hz yang sangat smooth saat digeser. Smartphone ini sudah menggunakan layar dengan jenis Super AMOLED namun tidak jelas apakah dilindungi dengan Gorilla Glass. Walaupun begitu, Vivo X70 Pro sudah terlapisi dengan lapisan hydrogel sehingga aman dari goresan dan benturan ringan.

Pada sisi belakangnya, terdapat ruang kotak yang berisikan kamera dengan LED Flash. Kamera utama dengan 50 MP berada pada bagian atas, kamera zoom 2x ada dibawahnya, dan kamera periscope ada pada sisi bawah dengan dimensi kotak. Di sebelah kirinya merupakan kamera ultrawide.

Pada bagian atasnya ditemukan sensor inframerah dan microphone. Volume naik dan turun serta tombol power diletakkan pada sisi sebelah kanan. Dan pada bagian bawahnya terdapat slot USB-C, speaker, microphone utama dan slot nano SIM. Anda tidak akan menemukan slot microSD dan juga port audio 3.5 mm pada perangkat ini.

Perangkat Vivo X70 Pro yang saya uji sudah menggunakan FunTouch OS versi 12. Basis sistem operasi yang digunakan masih memakai Android 11. Antar muka yang digunakan pada Funtouch OS masih memiliki app drawer sehingga Anda akan menemukan semua aplikasi di sana. Homescreen-nya juga memiliki beberapa gesture seperti swipe up untuk membuka app drawer dan swipe down untuk membuka fungsi search.

Fungsi Extended RAM juga sudah terpasang secara default pada perangkat ini. Pada Vivo X70 Pro, fungsi Extended RAM akan menambah ruang cache sebesar 4 GB. Ruang ini diambil langsung dari penyimpanan internal yang sudah menggunakan teknologi UFS 3.1. Hal ini akan mengurangi isi RAM sehingga perangkat terasa memiliki RAM sebesar 16 GB.

Jaringan

Vivo X70 Pro menggunakan chipset Dimensity 1200 yang memang ditujukan untuk perangkat flagship. Oleh karena itu, perangkat ini sudah menggunakan modem yang sudah mendukung teknologi terkini, seperti Carrier Aggregation untuk 4G maupun 5G. Modem yang digunakan oleh Dimensity 1200 juga sudah mendukung semua jaringan yang ada saat ini.

Smartphone ini sudah mendukung bandwidth 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 12, 17, 18, 19, 20, 26, 28, 38, 39, 40, dan 41 untuk jaringan 4G. Sedangkan untuk jaringan 5G, Vivo X70 Pro sudah mendukung bandwidth n1, n3, n5, n8, n28, n41, n77, n78, dan n79. Di atas kertas, Vivo X70 Pro memang belum mendukung n40. Namun, Vivo berjanji bakal membuka kanal n40 agar dapat terhubung dengan jaringan Telkomsel.

Dimensity 1200 mendukung fungsi Smart 5G Power Saving. Teknologi ini secara cerdas akan mengidentifikasi kekuatan sinyal di sekitarnya dan beralih antara 4G dan 5G tanpa jeda waktu peralihan. Hal tersebut akan menghasilkan konsumsi daya yang 30% lebih rendah dibandingkan dengan smartphone tanpa fitur Smart 5G.

Kamera: 50 MP Sony IMX 766

Biasanya, smartphone dengan kamera 50 MP didominasi dengan sensor buatan Samsung. Akan tetapi berbeda dengan Vivo yang menggunakan Sony IMX 766. Kamera zoom 2x yang terpasang menggunakan sensor Sony IMX 663 dan zoom 5x nya menggunakan sensor OmniVision OV08A10. Untuk kamera wideangle menggunakan sensor buatan Samsung, yaitu S5K3L6.

Kamera utamanya akan menghasilkan gambar 12,5 MP saat algoritma quad bayer digunakan. Kamera ini juga menghasilkan gambar yang cukup memukau, di mana minim noise dan cukup tajam. Warna yang dihasilkan juga kaya dan memiliki dynamic range yang baik. Kamera ini juga terbukti bagus saat digunakan dengan mode malam yang sangat minim cahaya.

Kamera zoom juga memiliki profile yang cukup mirip. Hanya saja, tingkat ketajamannya memang menurun walaupun tidak menjadi masalah yang berarti. Hasil antara 2x dan 5x memang cukup mirip.

Kamera wideangle mungkin merupakan yang memiliki hasil paling bawah, walaupun tidak buruk. Perbandingannya cukup terlihat pada tingkat ketajaman dan warna yang dihasilkan. Akan tetapi, hasilnya memang cukup baik untuk mengambil gambar sehari-hari

Hasil kamera makro pada Vivo X70 Pro patut diacungi jempol. Fungsi makro pada Vivo X70 Pro menggunakan kamera wideangle dan memiliki fungsi AF. Hasil tangkapannya cukup tajam untuk ukuran kamera makro smartphone.

Kamera selfie pada smartphone ini juga dapat mengambil gambar yang bagus. Namun, mungkin untuk Anda yang kurang suka dengan fitur beautify akan cukup terganggu dengan hasil muka yang cukup licin, walaupun sudah mematikan fungsi tersebut. Akan tetapi, hasilnya memang cukup baik dan dapat digunakan untuk mengambil momen sehari-hari.

Pengujian

Vivo X70 Pro menggunakan chipset baru dari Mediatek, yaitu Dimensity 1200. Dengan seri 1xxx, chipset ini memang didesain untuk digunakan pada perangkat high end sehingga akan memiliki kinerja yang cukup tinggi. SoC ini menggunakan 3 buah cluster yaitu Cortex A78 dengan kecepatan 3 GHz pada cluster Prime, 3 inti prosesor Cortex A78 pada cluster performa berkecepatan 2,6 GHz, dan 4 inti prosesor Cortex A55 pada cluster efisiensi berkecepatan 2 GHz. GPU yang digunakan adalah Mali-G77 MC9.

Untuk menguji seberapa kencang Dimensity 1200 dalam penggunaan sehari-hari, saya memakai dua skenario. Skenario pertama tentu saja bermain game-game yang ada pada Google Play. Skenario kedua menggunakan perangkat ini untuk penggunaan sehari-hari. Perangkat ini sudah saya gunakan sekitar 1 bulan penuh.

Bermain game

Jika berbicara mengenai bermain, tentu saja Dimensity 1200 sudah lebih dari cukup. Apalagi dengan hadirnya Prime core membuatnya akan lebih kencang pada aplikasi yang hanya membutuhkan 1 inti prosesor saja. Untuk aplikasi yang membutuhkan resource tinggi, inti prosesor yang memiliki clock tinggi juga sudah sanggup untuk memprosesnya. Hal tersebut terutama untuk bermain game.

Sayangnya, pada pengujian kali ini saya tidak bisa menampilkan framerate dari setiap game. Hal tersebut dikarenakan aplikasi GameBench gagal dijalankan pada Vivo X70 Pro. Activator untuk membuat GameBench bisa terverifikasi akan terhenti.

Saya memainkan beberapa game yang diantaranya adalah Genshin Impact, Battlefield, Pokemon Unite, dan PUBG. Sangat disayangkan bahwa PUBG Mobile hanya mampu dimainkan paling cepat pada smooth extreme. Jadi, perangkat ini belum didukung untuk bermain pada 90 fps.

Untuk game lainnya selain Genshin Impact, saya tidak menemukan lag saat bermain. Hal tersebut bisa berarti bahwa semua game tersebut bisa berjalan pada 60 fps. Genshin Impact pun juga dapat dimainkan tanpa terasa lag pada profile highest 60 fps. Walaupun sepertinya game tidak berjalan seara konstan di 60 fps, tetapi sepertinya game ini tidak pernah kurang dari 50 fps saat dimainkan.

Bekerja dan Hiburan

Trello, Slack, GMail, Whatsapp, Telegram, Facebook, Tiktok, serta Chrome adalah aplikasi yang sudah pasti saya gunakan tiap hari. Tentu saja, perangkat ini tidak memiliki masalah saat menjalankan semuanya. Bahkan beberapa kali saya menemukan bahwa sebagian dari aplikasi tersebut masih tetap terbuka di background saat sudah ditutup dan beralih ke aplikasi lainnya. Mungkin hal tersebut efek dari menggunakan RAM 12 GB ditambah 4 GB extended.

Netflix dan Disney+ pun tidak luput dari aplikasi yang saya gunakan untuk menonton. Tidak ada masalah sama sekali pada saat menggunakan ke 2 aplikasi tersebut untuk menonton. Sayang memang, speaker yang ada di Vivo X70 Pro hanya satu, sehingga mengurangi kenyamanan saat menonton dan mendengarkan musik.

Benchmarking

Oleh karena Vivo X70 Pro menggunakan cip Mediatek tertinggi yang ada saat ini, saya penasaran untuk membandingkannya dengan cip lainnya. Oleh karena itu, Dimensity 1100 serta Snapdragon 870 dan 860 saya hadirkan sebagai pembanding. Berikut adalah hasilnya

Walaupun menggunakan cip dengan performa tinggi, namun sepertinya Vivo memilih untuk sedikit menurunkan kinerjanya. Mungkin hal tersebut dilakukan untuk mengurangi panas yang dihasilkan. Kinerjanya sendiri masih sering tercatat berada di bawah Dimensity 1100.

Uji baterai: 4400 mAh

Untuk menguji baterai dengan kapasitas 4400 mAh memang membutuhkan banyak waktu. Sayangnya, aplikasi yang ada saat ini tidak merepresentasikan pemakaian sehari-hari. Sebuah pengujian menunjukkan bahwa pemakaian smartphone tidak didominasi untuk bermain game, namun untuk hiburan seperti menonton video dan mendengarkan musik serta sosial media.

Saya mengambil patokan dengan menggunakan sebuah file MP4 yang memakai resolusi 1920 x 1080 yang diulang sampai baterai habis. Vivo X70 Pro dapat bertahan hingga 20 jam 5 menit. Setelah habis, saya langsung mengisi kembali baterainya dengan menggunakan charger bawaan 44 watt. Hasilnya, baterai akan terisi penuh dalam waktu kurang lebih 60 menit.

Verdict

Vivo lagi-lagi menawarkan sebuah smartphone flagship yang memiliki kamera bagus serta kinerja yang baik. Setelah sukses dengan seri X60 Pro-nya, mereka kembali hadirkan sang penerus. Dengan nama X70 Pro, Vivo menawarkan fitur-fitur yang lebih baik dari sang pendahulu dan tetap menyasar pada pasar premium.

Kinerja yang ditawarkan oleh Vivo X70 Pro memang bukan yang paling kencang yang ada di pasar saat ini. Namun, dengan Dimensity 1200 sudah sangat mumpuni untuk mengerjakan semua hal dan menjalankan aplikasi serta game yang ada pada Google Play Store. Kinerja ini dibarengi dengan daya tahan baterai yang cukup lama.

Kamera juga menjadi andalan dari X70 Pro untuk bersaing di pasar Indonesia. Dengan Sony IMX 766, membuat smartphone ini bisa menangkap momen dengan baik di segala cuaca. Selain bisa menangkap gambar dengan baik, video yang dihasilkan juga sangat bagus. Apalagi, dengan Gimbal OIS yang terpasang dapat menstabilkan pengambilan gambar tanpa buram.

Vivo menjual X70 Pro dengan RAM 12 GB serta penyimpanan internal 256 GB dengan harga Rp. 10.999.000. Dengan harga tersebut, tentu saja konsumen akan mendapatkan sebuah perangkat yang memiliki kamera apik dan mempunyai kinerja yang sangat baik. Smartphone ini juga cocok untuk mereka yang ingin memiliki kamera yang bisa dibawa setiap hari sebagai pengganti kamera saku.

Sparks

  • Kinerja tinggi dengan Dimensity 1200
  • Hasil kamera yang bagus
  • Pengisian baterai yang cepat dengan charger 44 watt
  • Layar 120 Hz yang cerah
  • Gimbal OIS sangat stabil
  • Walau baterai di bawah 5000 mAh, daya tahannya sangat baik

Slacks

  • Speaker-nya masih mono
  • Masih belum mengadopsi wireless charging
  • Layar tidak menggunakan kaca keras seperti Gorilla Glass

[Review] Dell UltraSharp U2421E: Monitor Layar Tajam dan Nyaman di Mata dengan Konektivitas Lengkap

Dengan merebaknya virus Covid-19, menyebabkan semua orang harus bekerja dan belajar di rumah. Kegiatan WFH dan SFH tentu saja membutuhkan sebuah perangkat komputer. Untuk lebih nyaman dalam bekerja, tentu saja sebuah monitor akan meningkatkan tingkat ergonomis saat menggunakan komputer. Untuk itu, Dell menawarkan monitornya yang bernama Dell Ultrasharp U2421E.

Seperti namanya, Dell Ultrasharp menawarkan tingkat ketajaman yang lebih baik, terutama jika dibandingkan dengan layar laptop. Untuk menambah kenyamanannya, monitor yang satu ini juga menawarkan konektivitas yang lebih lengkap. Salah satunya adalah USB-C yang saat ini pelan-pelan sudah menjadi standar konektivitas. Tentunya hal ini akan mempermudah seseorang dalam menggunakan perangkat eksternalnya seperti flash disk dan HDD eksternal.

Dell Ultrasharp U2421E sendiri memiliki spesifikasi sebagai berikut

Dimensi layar 24,1″
Rasio 16:10
Resolusi 1920×1200
Tipe panel IPS
Dimensi 530.8 x 313.7 x 39
Berat total 4 KG
Port Display Port 1.4, HDMI 1.4, 2x USB-C, 3x USB 3.2, RJ 45, Audio 3.5mm‎‎‎
Response Time 5-8 ms
Kontras 1000:1

Monitor ini juga memiliki penyanggal panel yang bisa diatur tingkat ketinggiannya. Bahkan, bagi mereka yang membutuhkan monitor dengan posisi vertikal juga bisa memilih monitor yang satu ini. Hal tersebut membuat penggunaan Dell UltraSharp menjadi lebih luas.

Unboxing

Didalam paket penjualannya hanya akan ditemukan buku manual serta beberapa kabel. Kabel-kabel tersebut terdiri dari kabel USB-C to USB-C, USB-A to USB-C, serta Display Port. Tidak ditemukan kabel HDMI didalamnya yang mengharuskan pengguna untuk membelinya secara terpisah. Kabel power bawaannya juga masih belum menggunakan standar Indonesia.

Desain

Dell UltraSharp U2421E datang dengan panel berjenis In-Plane Switching atau IPS. Oleh karena ditujukan untuk penggunaan secara multipurpose dan tidak hanya untuk bekerja saja atau bermain saja, monitor ini memiliki response time 5 ms (GtG fast) dan 8 ms (GtG normal). Dell juga menggunakan refresh rate 60 Hz pada UltraSharp U2421E, seperti kebanyakan monitor yang dijual di pasar Indonesia.

Monitor Dell UltraSharp U2421E juga bisa diputar menjadi vertikal dan horizontal, membuatnya juga cukup cocok untuk para designer. Selain itu, monitor ini juga bisa dihadapkan ke kanan dan ke kiri, ke atas dan ke bawah agar dapat terlihat dengan nyaman oleh sang pengguna. Hal ini tentu saja bisa membuat tubuh sang penggunanya serta leher menjadi lurus sehingga tidak mudah lelah. Posisi ini tentunya lebih menyehatkan.

Monitor Dell yang satu ini juga memiliki On Screen Display Menu. Pada menu ini, pengguna dapat melihat beberapa informasi fitur yang digunakan. Selain itu, pada OSD ini juga pengguna bisa mengubah setting-setting tertentu seperti brightness dan contrast-nya. Navigasi untuk menunya sendiri cukup nyaman karena memiliki tombol arah yang ada pada belakang layarnya.

Tombol navigasi yang berada pada bagian belakang layar ini ditemani dengan sebuah tombol power untuk mematikan dan menghidupkan layar ini.  Pada bagian bawah layarnya akan ditemukan sebuah port USB 3.2 dan USB-C. Port lainnya seperti power, HDMI, Display Port in, Display Port out (untuk daisy chain), USB-C Display Port, Audio 3,5 mm, dan dua buah USB 3.2.

Memakai Dell Ultrasharp U2421E untuk bekerja, menonton, dan bermain

Terus terang, sebagai pengguna laptop yang selalu melihat pada sebuah layar dengan dimensi 15 inci setiap hari, tentu saja lega saat menggunakan layar 24 inci untuk bekerja. Saat digunakan untuk mengetik, baik pada software Office maupun langsung pada browser internet, monitor ini mampu memberikan bentuk teks yang bersih dan dapat terbaca dengan baik. Warna yang diberikan juga memiliki kontras yang bagus untuk sebuah gambar dan video. Saat digunakan untuk melakukan streaming, seperti menggunakan aplikasi Zoom untuk melakukan meeting secara online, monitor ini juga nyaman untuk digunakan.

Selanjutnya, saya menggunakan monitor ini semenjak sekitar 3 minggu lalu untuk menonton video-video yang ada pada layanan streaming. Tentunya, monitor ini memberikan kontras yang sangat baik pada layar dengan bingkai yang tipis ini. Saya sama sekali tidak melihat bayang-bayang saat film ada pada gerakan yang cepat. Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh pilihan menu refresh rate yang diubah ke fast.

Sepertinya para editor gambar dan video juga akan menyukai monitor ini. Dell menawarkan 16,7 juta warna yang cukup akurat. Selain itu, monitor ini juga sudah mendukung cakupan 99% sRGB serta Delta E <2. Mata saya juga tidak cepat lelah karena sudah memiliki fungsi low blue light yang memiliki potensi untuk merusak mata.

Bermain game dengan menggunakan monitor ini juga cukup baik, walaupun hanya memiliki refresh rate sampai 60 Hz saja. Game seperti Valorant dan CS:GO dapat dimainkan dengan baik tanpa harus membuat mata menjadi lelah serta kepala menjadi pusing. Saat bermain, saya juga bisa mengisi baterai untuk beberapa smartphone yang menggunakan port USB-C. Layar ini mampu memberikan daya 90 watt untuk disalurkan pada jalur USB-C tersebut dengan Power Delivery.

Sayang memang, saya tidak bisa menggunakan koneksi Display Port serta USB-C Display Port untuk membandingkannya dengan HDMI. Walaupun begitu, dengan HDMI saja monitor ini sudah memberikan hasil yang cukup memuaskan. Sebagai informasi saja, artikel ini sebagian besar juga diketik dengan menggunakan monitor Dell Ultrasharp U2421E.

Satu hal lagi, sebuah komputer yang terkoneksi pada Dell Ultrasharp U2421E akan mendeteksi adanya sebuah output suara. U2421E sendiri tidak memiliki built-in speaker sehingga tidak bisa mengeluarkan suara. Satu-satunya suara yang akan dihasilkan oleh monitor ini adalah melalui port audio 3.5 mm. Jadi, jangan sampai salah ya…

Verdict

Dalam membeli sebuah monitor, tentu saja ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Misalnya saja fitur-fitur lain yang mungkin tidak ada pada monitor-monitor standar lainnya. Dell menawarkan Ultrasharp U2421E yang memiliki beberapa fungsi tambahan yang membuat badan serta mata tidak lelah.

Dell Ultrasharp U2421E juga memiliki beberapa fitur yang tidak dimiliki oleh monitor lain. Monitor ini mampu memberikan port USB dan USB-C tambahan yang memudahkan para penggunanya saat membutuhkan. Selain itu, monitor ini juga mampu mengisi baterai dari sebuah smartphone atau laptop berkat Power Delivery 90 watt.

Dell juga menawarkan stand yang dapat diatur ketinggiannya agar tidak membuat badan menjadi bungkuk. U2421E juga dapat diubah posisinya menjadi vertikal agar bisa digunakan oleh mereka yang membutuhkan seperti para designer atau editor gambar. Tombol navigasinya juga cukup mudah dan nyaman digunakan serta terletak di bagian belakang monitornya.

Dell menjual Ultrasharp U2421E dengan harga Rp. 4.999.000. Dengan harga tersebut, Anda bisa mendapatkan sebuah monitor yang posisinya bisa diatur dengan mudah serta memiliki banyak port. Monitor ini juga menawarkan banyak pilihan input modern seperti HDMI, DP, dan USB-C DP. Jadi, harga yang ditawarkan tentu saja tidak terlihat mahal jika dibandingkan dengan fitur yang ditawarkan

Sparks

  • Kontras dan warna yang dihasilkan bagus
  • Memiliki banyak port USB dan USB-C
  • Posisi dapat diatur dengan mudah
  • USB-C Power Delivery 90 watt yang dapat mengisi baterai smartphone serta laptop
  • Mendukung daisy chain ke beberapa perangkat yang mendukung DP

Slacks

  • Tanpa built in speaker
  • Tidak disertakan kabel HDMI
  • Kabel power bukan standar Indonesia

[Review] Huawei Freebuds 4: TWS Open-fit dengan ANC 2.0, Suara Bagus tanpa Gangguan Suara Luar

Huawei merupakan salah satu produsen AIoT yang memperkenalkan teknologi active noise cancelling pada produk True Wireless Stereo-nya di Indonesia. Berselang 2 tahun kemudian, Huawei kembali meluncurkan produk TWS-nya yang memiliki teknologi ANC yang lebih canggih lagi. Produk tersebut adalah penerus dari Huawei Freebuds 3, yaitu Huawei Freebuds 4.

Berbeda dengan Huawei Freebuds 4i yang memiliki desain in-ear, Freebuds 4 masih mengadopsi desain yang sama dengan Freebuds 3, yaitu Open-Fit. Unit review dari Huawei ini juga sudah menghampiri rumah saya semenjak bulan lalu. Dan semenjak itu, saya penasaran ingin mencoba teknologi ANC 2.0 yang dibenamkan pada TWS baru ini. Huawei juga mengatakan bahwa Freebuds 4 sudah dicoba dengan berbagai macam bentuk telinga sehingga ANC-nya lebih efektif dibandingkan seri sebelumnya.

Hal tersebut juga lah yang membuat saya sangat tertarik untuk mencobanya. Saya merupakan salah satu orang yang kurang cocok dengan TWS dengan desain Open-Fit. Hal tersebut tentu saja karena TWS jenis ini mudah tergeser ke bagian luar sehingga suara dari driver tidak sepenuhnya masuk ke rongga telinga serta noise dari luar yang mengganggu suara.

Huawei Freebuds 4 sendiri memiliki spesifikasi sebagai berikut

Bobot 4,1 gram per earbuds, 38 gram case
Versi Bluetooth 5.2
Ukuran Driver ⌀14,3 mm dynamic
Dimensi 41,4 x 16,8 x 18,5 mm (earbud), ⌀58 x 21,2 mm (case)
Kapasitas Baterai 30 mAh (per earbud), 410 mah (case)

Seperti pendahulunya, Huawei Freebuds 4 masih menggunakan driver besar dengan dimensi 14,3 mm. Driver berukuran besar ini memang cocok untuk melepaskan suara dengan lebih kuat ke rongga telinga pada model Open-fit. Huawei juga menjanjikan latensi rendah, yaitu 150ms pada smartphone EMUI serta 90 ms pada sistem operasi HarmonyOS. Sayangnya, saya sedang tidak memegang perangkat HarmonyOS pada saat pengujian.

Unboxing

Pada paket penjualan dari Huawei Freebuds 4 hanya akan ditemukan sebuah kabel USB-C untuk mengisi daya. Bagi pengguna yang memakai smartphone dengan port USB-C tentunya tidak perlu menggunakan kabel ini dan bisa memakai bawaan dari smartphone-nya.

Desain

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, Huawei Freebuds 4 menggunakan model Open ear atau Open fit. Model ini sendiri akan digantung pada celah yang ada di telinga bagian bawah. Oleh karena itu, model Open fit tentu tidak akan masuk rapat ke rongga telinga dan seringkali tergeser ke luar. Dengan begitu, suara dari luar akan masuk ke rongga telinga sehingga suara dari driver kerap terganggu dan tidak penuh dan di sinilah ANC 2.0 dari Huawei berfungsi.

Sama seperti TWS yang beredar di pasaran, Huawei Freebuds 4 masih menggunakan bahan plastik polikarbonat yang tebal. Saat dipegang, TWS ini memang terasa kokoh sehingga saya tidak terlalu khawatir jika perangkat ini jatuh dari telinga. Charging case-nya pun juga dibuat sangat kokoh oleh Huawei sehingga tidak perlu khawatir untuk menaruhnya pada kantong belakang celana Anda.

Pada setiap earbuds-nya terdapat sebuah speaker, microphone, serta beberapa sensor. Pada bagian batang setiap earbuds-nya terdapat sensor sentuh yang bisa dikonfigurasi fungsinya dari aplikasi AI Life. Sensor tersebut memiliki 3 jenis gesture, yaitu sentuh 1x, sentuh 2x, dan menggeser dari atas ke bawah atau sebaliknya. Dan pada bagian bawah dari TWS ini terdapat konektor untuk mengisi ulang baterai dari case-nya.

Pada charging case-nya sendiri terdapat sebuah LED pada bagian depannya. Saat case ini terbuka, earpiece-nya akan langsung mencari perangkat bluetooth lainnya untuk melakukan pairing atau langsung terhubung. Pada bagian kanannya terdapat sebuah tombol untuk melakukan pairing dengan perangkat lainnya.

Huawei telah membenamkan driver berukuran besar ke dalam TWS Open-fit ini. Dengan dimensi yang sedikit lebih besar dibandingkan sang pendahulunya, Freebuds 4 pun memiliki driver 14,3 mm. Penggunaan driver yang lebih besar sendiri juga membuat suara pada bagian bass menjadi lebih baik. Hal ini pula lah yang dibutuhkan pada sebuah TWS dengan model ini.

Baterai yang ditanamkan pada kedua buah earpiece ini memiliki kapasitas 30 mAh. Dengan kapasitas ini, Huawei menjanjikan pemakaian hingga 4 jam tanpa ANC dan 2,5 jam dengan ANC. Untuk Charging case-nya sendiri sudah ditanamkan baterai 410 mAh yang membuat total pemakaian bisa mencapai 22 jam atau seharian penuh. Pengisian baterai charging case-nya sendiri menggunakan USB-C yang sudah umum digunakan saat ini.

Untuk orang yang sering berkeringat seperti saya, tidak perlu lagi khawatir TWS-nya akan rusak. Huawei Freebuds 4 sudah memiliki sertifikasi IP4X yang tahan terhadap percikan air. Jadi, perangkat ini juga cocok dijadikan perangkat penghilang kebosanan saat sedang berolah raga sendirian.

Huawei Freebuds 4 menggunakan sebuah aplikasi yang bernama AI Life. Aplikasi ini akan memperlihatkan informasi mengenai Huawei Freebuds 4, seperti sisa baterai. Selain itu, aplikasi ini juga bisa mengubah setting seperti gesture dan mengkonfigurasi ANC yang ada. Tentunya, aplikasi ini juga bisa melakukan upgrade firmware.

Menggunakan selama sebulan

TWS dengan model Open-ear memang tidak cocok untuk orang dengan telinga seperti saya. Setiap kali memasangkannya pada telinga, selalu saja ujung eartips menjauh dari rongga telinga. Hal tersebut tentu saja membuat suara yang dihantarkan dari driver ke telinga berkurang dan menjadi tidak lengkap. Oleh karena itu, saya sangat tertarik untuk mencoba ANC yang ada pada TWS ini.

Setelah membuka paket penjualannya, saya langsung menghubungkannya ke smartphone yang digunakan. Perangkat ini sudah mendukung codec SBC dan AAC dalam mentransfer suara. Aplikasi AI Life juga langsung mendeteksi perangkat yang satu ini. Setelah itu, sebuah firmware pun juga terdeteksi setelah terhubung dengan aplikasi tersebut, sehingga ada beberapa peningkatan pada Huawei Freebuds 4 yang saya gunakan.

 

Sekarang waktunya memasangkan perangkat ini pada kedua telinga saya. Tentunya saat memasangkan kedua earpiece tersebut, tidak ada yang berbeda dengan TWS Open-fit pada umumnya. Ujung dari earpiece lagi-lagi tidak mencapai rongga telinga sehingga saya cukup jelas mendengar semua suara di sekitar saya.

Kemampuan ANC 2.0 pada TWS ini pun saya uji kebenarannya. Saat menyalakannya, suara yang ada dari luar memang terdengar lebih kecil dibandingkan biasanya. Suara kipas PC yang biasanya cukup terdengar, sekarang terdengar sekitar 30-40%-nya saja. Apalagi suara ketikan dari sebuah keyboard mechanical yang menjadi hampir tidak mengganggu.

Setelah itu, saya langsung mendengarkan sebuah lagu dari aplikasi Spotify. Dengan menggunakan bitrate tertinggi (Vorbis 320 Kbps), saya mencoba pada volume sekitar 80% saja. Ternyata, suara yang ada dari luar menjadi sangat kecil sehingga suara dari lagu yang dimainkan menjadi dominan. Hal ini tentunya menambah kenyamanan pemakainya dalam mendengarkan musik.

Sayangnya, karena terdapat celah antara earpiece dan rongga telinga, membuat saya harus menaikkan volume suara menjadi 90%-100%. Pada tingkat ini, suara dari luar sudah hampir tidak terdengar sama sekali. Selain itu, menaikkan volume dari TWS ini juga diperlukan karena memang suara yang dihasilkan terdengar kurang kuat.

Satu hal yang pasti pada perangkat TWS ini adalah suara vokal yang dihasilkan terdengar jernih. Untuk channel high dan low, akan cukup menyenangkan mereka yang menyukai profil balanced. Untuk saya, TWS memberikan bass yang kurang dominan sehingga harus menyalakan fungsi bass boost pada aplikasi AI Life. Setelah itu, baru TWS ini terasa pas suaranya.

Mendengarkan lagu dengan format FLAC bahkan menjadi lebih enak untuk ukuran TWS Open-fit. Saya bisa mendengar petikan senar gitar dengan cukup jelas pada lagu Tears in Heaven. Tentunya suara dari Eric Clapton sendiri terdengar jelas dan tidak mendominasi. Untuk urusan mendengar musik, TWS ini berhasil memikat hati saya.

Dengan menyalakan ANC-nya, saya juga mencoba menonton film-film yang ada di Netflix. Hasilnya memang cukup menyenangkan. Suara yang ada terasa sangat fokus pada film tersebut dan hampir tidak terdengar suara lain dari luar. Akan tetapi apabila ada orang didekat saya sedang berbicara, tentu saja masih akan terdengar suaranya.

Dengan janji latensi yang rendah, tentu saja saya mencoba TWS ini dengan bermain game. Saya mencoba TWS ini dengan bermain game di PC, yaitu Shadow of the Tomb Raider dan Valorant. Alangkah senangnya pada kedua game ini, delay yang terjadi hampir tidak terasa sama sekali. Suara langkah musuh bisa saya dengar dengan jelas dan tepat.

Terakhir adalah pengujian untuk melakukan panggilan dengan menggunakan Whatsapp Call. Saya pun mencoba di luar ruangan yang memiliki banyak gangguan suara dan angin. Call Noise Cancellation yang ada bisa meredam gangguan dengan cukup baik, walaupun belum mengisolasi suara saya secara utuh.

Janji Huawei untuk daya tahan baterai pada TWS ini ternyata cukup tepat. Tanpa ANC, saya bisa menggunakannya hingga 4 jam. Untuk ANC, TWS ini akan mati dalam waktu sekitar 2,5 jam saja. Untuk mengisi baterai pada earpiece-nya, akan penuh dalam waktu sekitar 30 menit.

Verdict

Membeli sebuah TWS Open-Fit akan terasa sama jika tidak memiliki sebuah Active Noise Cancelling. Hal tersebut disebabkan oleh adanya celah yang cukup besar antara eartips dengan rongga telinga. Hal tersebut akan membuat suara dari luar masuk ke telingga sehingga suara dari TWS akan memudar. Masalah ini pun dipecahkan oleh Huawei dengan mengeluarkan Freebuds 4.

Teknologi Open-fit noise cancellation yang ada pada Huawei Freebuds 4 memang membuatnya berbeda dari TWS lain. Walaupun posisinya tidak pas pada telinga saya, suara yang dihadirkan pun menjadi lebih terdengar karena suara dari luar akan terhalau oleh ANC. Dengan volume penuh, suara luar akan terasa terisolasi dan akan memberikan suara yang bagus.

Daya tahan baterai dari TWS ini juga cukup baik saat tidak menyalakan ANC-nya. Selain itu, IP4x juga menjamin bahwa perangkat ini tidak rusak akibat terkena keringat di telinga. Latensi pada perangkat ini juga cukup kecil yang membuatnya pas untuk bermain game.

Untuk semua fitur yang dihadirkan, Huawei menjual Freebuds 4 dengan harga Rp. 2.199.000. Dengan harga tersebut, konsumen akan mendapatkan sebuah TWS Open-fit yang terasa pas untuk semua telinga berkat ANC 2.0-nya. Huawei menjual TWS ini pada jalur distribusi mereka baik online maupun offline.

Sparks

  • Teknologi ANC yang membuat TWS ini mirip in-ear
  • Kualitas suara yang dihasilkan bagus
  • Desainnya cukup nyaman di telinga
  • Aplikasi AI Life menyediakan fungsi yang cukup lengkap
  • Latensi kecil yang nyaman untuk bermain game

Slacks

  • Suara yang dihasilkan terasa kurang keras
  • Daya tahan baterai, terutama dengan ANC, kurang lama