Tag Archives: Rianto

Kurikulum Universitas dan Relevansinya dengan Industri Teknologi (Bagian 2)

Di bagian pertama wawancara, sudah dibahas seputar bagaimana kurikulum, regulasi dan inisiatif pendidik dalam menghadirkan lulusan yang baik. Pada bagian kedua ini akan dibahas bagaimana peranan mahasiswa seharusnya untuk dapat memaksimalkan pencapaiannya di universitas serta peranan industri dalam memberikan sumbangsih bagi kemajuan pendidikan bangsa.

Berikut adalah lanjutan hasil wawancara dengan Romi Satrio Wahono (dosen di beberapa universitas TI di Indonesia dan Founder Brainmatics), Agus Kurniawan (dosen TI di Universitas Indonesia, Microsoft Valuable Professional, dan penulis aktif buku seputar pengembangan software serta IoT), dan Rianto (dosen di Universitas Teknologi Yogyakarta).

Apa saran Anda untuk mahasiswa jurusan teknologi, sehingga dapat lulus dan berperan aktif di dalam dunia yang telah dipelajari?

Rianto mengungkapkan bahwa lulus dan kebutuhan pasar ini sebenarnya tidak terhubung secara langsung, karena untuk bisa lulus saja sebenarnya dengan rajin masuk dan taat aturan saja bisa cepat. Berbeda ketika visi lulus kuliah adalah dengan prestasi dan nantinya bisa bekerja sesuai bidang ilmu yang dipelajari untuk menghasilkan manfaat. Opsi kedua ini membutuhkan energi ekstra untuk meraihnya.

Untuk memastikan lulus dengan kompetensi baik, Romi menekankan bahwa mahasiswa harus gaul, kreatif, banyak bergerak, banyak mencoba, jangan malu mencoba berbagai hal, termasuk di dalamnya part time di banyak tempat sesuai dengan bidang yang kita garap. Jadikan technopreneur sebagai satu-satunya karier hidup dan jangan pernah sekedar menjadi pegawai yang hanya bekerja untuk orang lain.

Agus menambahkan bahwa para mahasiswa disarankan untuk memiliki blog atau media lain untuk melakukan sharing baik bentuk tulisan dan multimedia. Apa tujuannya? Selain sebagai media review dan mengingat kembali apa yang didapatkan, cara ini juga dapat membantu kepercayaan diri. Tidak perlu takut salah, yang penting mau menerima kritikan sebagai ajang perbaikan diri.

Apakah diperlukan peran serta industri untuk turut berkolaborasi dengan lingkungan akdemik untuk menghasilkan lulusan yang lebih berkualitas? Ada saran skema yang bisa diterapkan?

Bagi Rianto yang juga menjabat sebagai Wakil Rektor Bidang ICT di kampusnya, kolaborasi dengan industri sangat diperlukan karena ia yakin universitas tidak bisa berjalan sendiri dalam soal serapan lulusannya. Skemanya tentu kerja sama, misalnya MoU dengan perusahaan pengembang handset mobile. Perusahaan meminta produk mobile apps ke universitas, lalu universitas dengan mahasiswanya membuatkan produk mobile apps tersebut. Biarlah perusahaan yang menjual, jika apps tersebut diterima pasar berarti universitas tersebut lulusannya akan diakui pasar. Nah hal seperti itu sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh perguruan tinggi di Indonesia namun belum semua karena ada ketakutan untuk memotong lingkaran.

Sedangkan menurut Romi, industri harus mau lebih sabar berhubungan dengan lingkungan akademik, demikian juga dunia akademik harus bisa merespon kebutuhan dunia industri. Sinergi keduanya diperlukan, meskipun masing-masing pihak mengejar KPI (Key Performance Index) yang berbeda. Akademisi mengejar contribution to knowledge dalam bentuk publikasi tulisan ilmiah, sedangkan industri mengejar contribution to people dalam bentuk produk yang bermanfaat untuk masyarakat.

Saat ini yang terjadi hanya sebatas kerja praktik dan itu pun di-trigger oleh universitas di dalam kurikulumnya. Begitu diungkapkan Agus memaparkan pengalamannya. Kalau dilakukan sebuah “gap analysis”, universitas memiliki aset SDM yaitu mahasiswa, pengajar, dan peneliti. Industri memiliki aset berupa kasus (real-problem) harus diselesaikan untuk menunjang bisnisnya. Ini sebenarnya matching untuk dihubungkan dalam sebuah skema kerja sama, misalnya pihak industri memberikan funding R&D (Research and Development) ke universitas untuk menyelesaikan problem mereka.

Saat ini yang terjadi industri kebanyakan hanya memberikan “proyek” dan menurutku kadang tidak ada R&D-nya. Hanya sebagai CMS atau CRUD (Create, Read, Update, Delete) dari sebuah data processing.

Inilah gap-nya. Agus mencontohkan sebuah sinergi yang banyak dilakukan di universitas di Jerman (karena ia sendiri sedang studi di Jerman), bagaimana hubungan industri dan universitas berjalan dengan baik. Pihak industri biasanya memberikan funding untuk R&D untuk menyelesaikan problem mereka.

Industri membutuhkan solusi ilmiah untuk menyelesaikan problem mereka, universitas membutuhkan problem atau studi kasus untuk diselesaikan. Jadi pihak kampus akan memberikan solusinya baik secara literatur hingga implementasi. Industri sebagai “client” memberikan specification problem yang diselesaikan hingga memberikan funding. Pihak universitas juga membutuhkan funding tersebut untuk melakukan publikasikan di jurnal atau conference.

Beberapa kasus di Jerman industri juga memberikan funding dengan memberikan beasiswa Vokasi, S1, S2 dan S3. Sebagian waktu mahasiswa akan kerja di industri dan sisanya belajar di kampus. Ada juga beberapa industri memberikan funding ke mahasiswa S3 atau post-doctoral untuk melakukan inovasi R&D, dan hasilnya dalam bentuk paten. Paten ini akan dimiliki oleh industri atau disesuaikan dengan perjanjian di awal.

Langkah ini juga dilakukan perusahaan besar seperti Google, Microsoft, IBM, Apple untuk “memindahkan” R&D-nya ke universitas. Kalau ini diterapkan di Indonesia, diyakini akan cepat mencapai kemajuannya. Hubungan industri, universitas dan pemerintah tidaklah bisa dipisahkan.

Apa saran Anda untuk universitas terkait persiapannya dalam melahirkan lulusan yang memiliki kompetensi siap terap di industri?

Menurut Romi, universitas harus bisa mewadahi berbagai kegiatan mahasiswa yang tujuannya untuk meningkatkan kapasitas mahasiswa, baik dari sisi kognitif, psikomotorik maupun afektif. Universitas harus lebih berani memperbarui kurikulum dan materi mengikuti perkembangan teknologi yang begitu dinamis. Universitas juga harus lebih agresif menjalin kerja sama dengan dunia industri.

Bagi Agus, infrastruktur dan SDM merupakan hal yang utama untuk kasus ini. Namun kalau memang ada keterbatasan biaya dan funding pemerintah tidak mencukupi, mungkin sudah saatnya kerja sama dengan industri tanpa mengurangi idealisme pihak disisi kampus ataupun industri.

Rianto pun juga berpikir demikian. Jika melalui kurikulum tidak bisa maka buatkan wadah tersendiri untuk membantu menyiapkan lulusan yang berkelas. Misalnya dengan cara membuat workshop khusus pemrograman, mengadakan program sertifikasi internasional hingga melakukan kerja sama strategis dengan lebih banyak industri terkait.

Disclaimer: Pendapat yang disampaikan pemateri bersifat pribadi, tidak mewakili institusi tempat ia mengajar/bekerja.

Kurikulum di Universitas dan Relevansinya dengan Industri Teknologi (Bagian 1)

Beberapa waktu lalu, bersama ADITIF (Asosiasi Digital Kreatif) di Yogyakarta, saya berkesempatan mengikuti sebuah diskusi membawakan tema “Managing People for Tech-Startup”. Salah satu yang menjadi bahasan hangat dalam sesi diskusi adalah seputar kesulitan para tim HR (Human Resources) untuk menemukan kandidat yang memiliki kualifikasi mumpuni untuk masuk dalam timnya. Yang menjadi sorotan salah satunya terkait dengan lulusan universitas jurusan Teknologi Informasi (TI) yang justru belum maksimal dalam men-supply lulusan yang berkompetensi baik.

Dalam diskusi tersebut, pemateri GM Operations Sebangsa Andri Wardhana dan Co-Founder Sale Stock Indonesia Stanislaus Mahesworo mengungkapkan kegelisahan tersebut. Pihaknya begitu sulit untuk menemukan sosok pekerja IT (developer, designer, hingga data scientist) yang bisa siap terap ketika baru lulus dari universitas. Keduanya banyak melakukan strategi “jemput bola”, mengadakan training secara mandiri dan mendidik para lulusan sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan perusahaan.

Di akhir diskusi, ada sebuah pertanyaan dari salah satu peserta, “Apakah kurikulum yang ada di kampus sudah tidak relevan lagi dengan kompetensi yang dibutuhkan di industri?”

Sayangnya, kedua pemateri menjawab: “Iya”.

Dari situ saya berinisiatif menanyakan langsung kondisi di kampus berjurusan teknologi informasi. Bagaimana kondisi yang ada saat ini. Saya berkesempatan mewawancarai tiga orang dosen, yang menurut saya sangat capable untuk memberikan pandangannya, karena selain aktif di dunia akademik, ketiga dosen tersebut juga aktif mengikuti perkembangan teknologi informasi, termasuk di sektor industri.

Saya berkesempatan mewawancara Romi Satrio Wahono (dosen di beberapa universitas TI di Indonesia dan Founder Brainmatics), Agus Kurniawan (dosen TI di Universitas Indonesia, Microsoft Valuable Professional, dan penulis aktif buku seputar pengembangan software serta IoT), dan Rianto (dosen di Universitas Teknologi Yogyakarta).

Berikut hasil wawancara saya:

Apakah Anda setuju bahwa materi yang ada di universitas di Indonesia saat ini kebanyakan menggunakan bahan yang kurang relevan dengan kebutuhan industri?

Mengawali perbincangan Romi mengatakan secara umum setuju bahwa dalam aspek kurikulum masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan. Dalam aspek materi ajar juga memiliki masalah di kebaruan, karena pembaruan memang jarang sekali dilakukan. Begitu pun dengan Rianto, ia memberikan pendapat yang sama, hanya saja ia meyakini bahwa tidak semua universitas seperti itu.

Menurut Agus Kurniawan, di suatu universitas memang tidak semua materi relevan dengan kompetensi yang dibutuhkan industri. Kebanyakan tidak relevan itu di ranah implementasi, tapi tatanan teori dan konsep harus tetap relevan. Industri di Indonesia lebih banyak “bermain” di ranah praktis. Menjadi pakar praktis tanpa memiliki dasar yang cukup akan melahirkan para praktisi yang sama seperti pengguna, bedanya jam terbang yang dimiliki saja.

Di sisi universitas lebih banyak diajarkan teori, misalnya untuk jenjang S1 dengan 8 semester, biasanya 4 semester dihabiskan untuk teori dan selanjutnya spesialisasi. Kasus yang diangkat akan sangat tergantung dari pengajarnya dan kurikulum yang ditentukan. Ini umum dilakukan termasuk di universitas luar negeri. Berbeda dengan tempat kursus, peserta hanya diajarkan cara menggunakan (how and what) tapi kadang kalanya “why”-nya tidak diajarkan.

Apakah relevansi kurikulum yang kurang baik ini ada kaitannya dengan regulasi, misal di tingkat Kementerian?

Romi menerangkan bahwa yang memiliki kewajiban menyusun kurikulum, termasuk mengembangkan silabus dan memilih buku teks adalah universitas. Jadi ini tidak ada urusannya dengan kementerian yang hanya membuat peraturan garis besar tentang pendidikan nasional.

Kalau mau dianalisis sumber permasalahannya, ini merupakan permasalahan multidimensi. Yang pertama, universitas sering terlambat merespon timpangnya kebutuhan industri dan kapasitas dosen dan mahasiswa. Yang kedua, dosen sebagai aktor utama pendidikan dan pembimbingan mahasiswa tidak memiliki kreativitas untuk memperbaiki materi ajar dan memperbarui buku teks yang digunakan.

Yang ketiga, mahasiswa juga memiliki kontribusi masalah, karena sering tidak kreatif dan tidak kritis ketika mendapatkan materi dari dosen. Mahasiswa Indonesia lebih cenderung mendengarkan dan menaati apa yang disampaikan dosen. Padahal sudah merupakan fatsun dalam pendidikan bahwa “jangan pernah menjadikan dosen sebagai sumber utama referensi”.

Terkait regulasi ini Agus juga menyampaikan bahwa regulator seperti Dikti hanya memberikan petunjuk dan arahan saja yang ingin dicapai, serta lebih ke arah strategis pendidikan nasional secara umum. Di sinilah aneka ragamnya perbedaan dari satu universitas ke universitas lainnya dalam menyusun kurikulum, walaupun regulator mungkin sudah memberikan “template curriculum“.

Bagi universitas yang memiliki SDM (Sumber Daya Manusia) yang bagus dengan pengalaman industri yang cukup maka kurikulum berkualitas dapat dihasilkan. Namun ada beberapa kasus, mungkin penyusun kurikulum tahu bagaimana menyusun kurikulum yang bagus tapi melihat infrastruktur yang dimiliki bisa jadi kurikulum “ideal” tersebut disesuaikan.

Sebagai pendidik, apa inisiatif dan saran Anda untuk memastikan peserta didik mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi yang begitu dinamis?

Bagi Agus belajar tidaklah dimaknai sekedar belajar di kelas. Hal ini yang selalu disampaikan kepada para mahasiswanya. Belajar dari buku, jurnal dan sumber internet lainnya dapat menjadikan rujukan.  Selain itu, berdiskusi dan menghadiri seminar/workshop dari topik yang disenangi dari para pakar dapat mempercepat proses belajar tersebut. Bergabung ke suatu komunitas TI juga mempercepat proses belajar tersebut.

Komunitas ini bisa berada di lingkungan akademis seperti kemahasiswaaan, IEEE, ACM, Science Direct atau komunitas di lingkungan industri seperti komunitas Java, .NET, PHP, Ruby, Python, Linux, Windows dan lain-lain. Atau yang memang ingin meningkatkan skill entrepreneurship, dapat mengikuti meetup yang diselenggarakan di komunitas tersebut. Intinya semangat untuk belajar di topik yang disenangi.

Romi memaparkan bahwa secara periodik dari sisi pendidik harus rajin melakukan pembaruan materi ajar. Pilih dan gunakan buku yang baik dengan standar internasional. Selain itu dosen juga harus memberi kesempatan mahasiswa untuk mengerjakan proyek-proyek riil yang ada di dunia industri. Untuk memungkinkan hal ini terjadi, dosen harus memiliki kapasitas tidak hanya sebagai akademisi, tetapi juga sebagai technopreneur atau praktisi.

Dari sisi penyampaian materi Rianto turut menambahkan, bahwa penting untuk dilakukan klasifikasi, misalnya materi taraf fundamental, skill, dan pasar. Dulu pendidik selalu bilang berilah kail supaya bisa memancing ikan dan jangan diberi ikan. Namun saat ini itu tidak cukup karena peserta didik harus diberi pengetahuan tentang ikan.


Disclosure: Pendapat yang disampaikan pemateri bersifat pribadi, tidak mewakili institusi tempat ia mengajar atau bekerja.