Tag Archives: riswinandi

AFPI segera merilis studi "credit gap" dan kebutuhan akses pembiayaan untuk UMKM per sektor yang bisa dilayani fintech dan masuk ke segmen fintech

Apakah Perlu Mengkaji Jumlah Pelaku “Fintech Lending”

Dalam tiga bulan mendatang, OJK akan kembali membuka proses pendaftaran putaran baru untuk pemain fintech lending. Penangguhan yang berlaku mulai paruh pertama tahun ini, sebelumnya diambil atas rekomendasi AFPI karena mereka tengah membangun pusat data dan butuh waktu untuk integrasi dengan semua platform lending.

Mengutip dari berbagai pemberitaan, regulator dan asosiasi saat ini fokus pada pengembangan pusat data fintech atau Pusdafil (Fintech Data Center/FDC) yang telah dirilis pada November 2019. Salah satu manfaatnya adalah mengindentifikasi peminjam ‘nakal.’ Bagi regulator, karena ini adalah bagian komponen dari penyempurnaan sistem, maka proses pendaftaran dihentikan sementara.

“Penghentian itu dilakukan untuk memberi waktu dalam menyempurnakan sistem pengawasan dan memastikan peningkatan kualitas industri ini,” ujar Kepala Eksekutif IKNB OJK Riswinandi dikutip dari akun resmi OJK di Twitter.

AFPI merilis pusat data Fintech Data Center (FDC) untuk mempermudah penyedia layanan p2p dalam melakukan credit assessment saat menyalurkan kredit
Perayaan hari jadi AFPI yang pertama, turut dihadiri perwakilan OJK / DailySocial

Sepanjang penangguhan berlangsung, AFPI berfokus pada mengintegrasikan platform seluruh anggotanya dengan Pusdafil. Pusdafil dapat menjadi cara untuk mendeteksi dan mencegah calon nasabah melakukan peminjaman berlebihan melalui banyak platform fintech pada waktu bersamaan.

“Butuh waktu sekitar enam bulan untuk mengintegrasikan secara penuh dan real time [Pusdafil] bagi seluruh anggota AFPI saat ini,” terang Ketua Umum AFPI Adrian Gunadi.

Lebih jauh dijelaskan, Pusdafil akan berperan optimal jika seluruh anggota terintegrasi karena seluruh data yang dapat meningkatkan manajemen risiko di industri. Mereka semua bisa mengetahui portofolio calon peminjam dan credit assessment sehingga bisa mencegah potensi kredit bermasalah.

Adrian menyampaikan, informasi terkini sudah ada 21 perusahaan yang sudah terintegrasi dari 161 anggota AFPI yang terdaftar di OJK. “Ada sekitar 36 [perusahaan] yang sedang dalam tahap finalisasi. Target dalam tiga minggu ke depan bisa live lagi [Pusdafil],” ujar Adrian secara terpisah kepada DailySocial, Senin (16/3).

Sembari itu pula, OJK masih tetap memproses perusahaan yang sudah terdaftar untuk mendapatkan izin. Menurut regulator, terdapat 164 perusahaan yang sudah beroperasi, sebanyak 25 diantaranya sudah mengantongi izin.

Apakah perlu kaji ulang jumlah perusahaan?

Ada pertanyaan yang muncul dari pasca keputusan yang diambil regulator dan asosiasi, apakah sebenarnya durasi penangguhan perlu diperpanjang? Apakah jumlah pemain fintech yang terdaftar sebenarnya bisa mengakomodasi seluruh kebutuhan kredit yang belum bisa dijamah perbankan?.

Pengamat Indef Nailul Huda berpendapat dalam perlambatan ekonomi yang sedang dialami Indonesia, juga negara lainnya, kredit itu ibarat darah. Sehingga selalu dibutuhkan untuk menggenjot dunia usaha apalagi buat usaha kecil dan mikro agar terus bergerak dalam cashflow yang ideal. Fintech lending bisa menjadi channel yang tepat untuk memanfaatkan momentum tersebut.

“Gap kredit masih sangat lebar. Kita perlu membuka pintu untuk fintech. Saya kira masih banyak jenis fintech yang mampu didorong untuk memenuhi gap kredit di Indonesia. Equity crowdfunding salah satu yang bisa didorong untuk masuk ke pasar pembiayaan domestik,” imbuh Huda kepada DailySocial.

Sementara itu, Adrian belum bersedia memberikan pandangannya terkait pertanyaan ini. Dia berujar, asosiasi dan akademi sedang menyiapkan studi terkait credit gap dan kebutuhan akses pembiayaan untuk UMKM per sektor yang bisa dilayani fintech dan masuk ke segmen fintech.

“Sehingga tentunya terkait dengan kuantitas dan kebutuhan segmen UMKM bisa terpenuhi. Dari sisi kualitas [penyaluran kredit] tetap bagus. Sekitar sementar kedua akan dipublikasi.”

Dari hasil studi tersebut diharapkan akan muncul sejumlah rekomendasi valid yang bisa menjadi bahan pertimbangan buat para pengambil kebijakan. Kekhawatiran kerap muncul karena pesatnya pertumbuhan fintech lending, sejalan dengan kenaikan tindakan fraud yang dilakukan oleh pemain ilegal.

Satgas Waspada Investasi (SWI) menemukan 508 entitas ilegal pada kuartal pertama tahun ini. Bila menarik rentang waktu lebih jauh, total pinjaman fintech ilegal yang berhasil diringkus SWI sejak 2018 hingga Maret 2020 mencapai 2.406 perusahaan. Angka ini berbanding jauh dengan jumlah pemain yang legal.

Belajar dari Tiongkok

Sumber: Pixabay
Sumber: Pixabay

Quality over quantity. Kuantitas tidak melulu menjadi perkara baik kalau tidak bisa diimbangi dengan kualitas. Ketimpangan penyaluran kredit di Indonesia sebesar Rp1.000 triliun ini seperti pisau bermata dua, sehingga tidak bisa hanya dijawab dengan menghadirkan banyak pemain.

Skandal yang terjadi di Tiongkok menjadi bekal bahan pembelajaran agar tidak mengulangi yang sama. Saat ini pemain p2p lending diambang gulung tikar karena regulator Tiongkok memperketat ruang gerak laju pemain p2p lending dengan membuat sejumlah aturan. Kepercayaan masyarakat pun akhirnya pupus, meski angka permintaan kredit dari bisnis kecil dan individu tidak menunjukkan tanda mereda.

“Meningkatnya aturan dan modal untuk pemberi pinjaman p2p Tiongkok terus memberikan tekanan pada keberlanjutan model bisnis di seluruh sektor pada tahun ini, yang mengarah ke kontradiksi industri lebih lanjut,” kata Direktur Lembaga Keuangan Non Bank Fitch Ratings Katie Chen, seperti dikutip dari South China Morning Post.

Pengetatan aturan terefleksi dari berkurangnya jumlah pemain. Disebutkan pada 2016 angkanya mencapai 2.680 pemain, lalu turun drastis menjadi 343 pemain pada tahun lalu. Lebih dari separuh pemain berbasis di Beijing, ibukota Tiongkok.

Menurut laporan Wangdaizhijia, angka penyaluran menyusut menjadi 491 miliar Yuan ($70,4 miliar) pada tahun lalu. Padahal pada Juni 2018, angkanya tembus mencapai 1,32 triliun Yuan ($189,2 miliar). Perkembangan yang terlalu pesat dan kebijakan drastis yang diambil regulator mengakibatkan keruntuhan industri dalam waktu singkat.

Sumber: Pixabay
Sumber: Pixabay

“Uang telah mengering karena regulator mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk membersihkan sektor pinjaman non-bank dari penipuan dan penyalahgunaan yang terlalu merajalela,” kata Ketua dan Kepala Eksekutif China First Capital (bank investasi berbasis di Shenzhen) Peter Fuhrman. “Operator yang baik dihukum bersama bajingan,” sambungnya.

Salah satu pemain p2p lending terbesar di Tiongkok, Ezubao, disebutkan mengumpulkan dana sebesar 59,8 miliar Yuan ($8,5 miliar) dari lebih dari 900.000 investor. Perusahaan ini menjanjikan bunga pengembalian antara tiga hingga empat kali lebih besar dari bank. Tapi ini hanya sekadar janji manis, berbagai kasus bunuh diri terjadi karena mereka frustasi kehilangan dana.

Pada November 2019, regulator membuat ketentuan perusahaan harus memenuhi batas modal minimal 1 miliar Yuan ($143 juta) untuk memperoleh lisensi pembiayaan mikro online dan dapat beroperasi secara nasional. Besaran ini sama dengan persyaratan untuk bank komersial.

Regulator juga membatasi perusahaan untuk mengandalkan lembaga sebagai sumber dana, tidak lagi mengambil dari investor ritel. Fitch Ratings melihat persyaratan ini cenderung menjadi hambatan pertumbuhan untuk industri p2p lending, meski angka permintaan dari kalangan usaha kecil dan individu tidak menunjukkan tanda-tanda peredaan.

Frost & Sullivan memperkirakan p2p lending akan tumbuh menjadi 2,17 triliun Yuan ($311 miliar) pada 2023, naik drastis dari posisi 789 miliar Yuan ($113 miliar) pada 2018.

Mantan Presiden ICBC Yang Kaisheng mengatakan bahwa regulator Tiongkok perlu belajar dari kesalahan mereka dalam bertindak terlalu lambat dalam menangani risiko p2p lending.

“Jika enam atau tujuh tahun lalu ketika gelombang keuangan digital memanas, jika ada peraturan yang disarankan saat itu, meski kemungkinan [aturan] tidak terlalu matang, [risiko] mungkin agak samar, itu akan jauh lebih baik daripada apa yang terjadi bertahun-tahun kemudian,” katanya.

Kualitas di Indonesia sejauh ini

Dalam mengukur kualitas suatu industri indikatornya bisa dilihat dari kinerja. Menurut data yang dirangkum OJK, per Januari 2020, akumlasi penyaluran pinjaman secara nasional mencapai Rp88,37 triliun naik 239,85% yoy. Pulau Jawa masih mendominasi dari total portofolio sebesar Rp75,71 triliun dan luar Pulau Jawa Rp12,67 triliun.

Tingkat keberhasilan 90 hari (TKB90) mencapai 96,02% (skala 100), turun dibandingkan Desember 2018 sebesar 98,55%. Meski turun, angka ini menurut Kepala Bidang Kelembagaan dan Humas AFPI Tumbur Pardede masih dalam tahap wajar, sehingga tidak akan mengurangi kepercayaan pemberi pinjaman.

“Turunnya tingkat keberhasilan tahun lalu dianggap merupakan konsekuensi dari upaya penetrasi ke daerah-daerah yang tengah gencar dilakukan oleh pemain. Di luar Jawa, mereka gencar dengan sasaran utamanya adalah pinjaman bersifat konsumtif,” kata Tumbur dikutip dari Bisnis.com.

TKB adalah istilah lazim dalam dunia p2p lending, untuk memberi gambaran kepada calon pemberi pinjaman sebelum berinvestasi melalui platform. TKB merujuk pada tingkat keberhasilan dari perusahaan dalam menyediakan fasilitas penyelesaian kewajiban pinjam meminjam dalam jangka waktu 90 hari sejak jatuh tempo.

TKB wajib dicantumkan dalam laman situs platform sebagai perwujudan transparansi. Semakin tinggi persentase TKB 90 dalam sebuah platform menunjukkan bahwa perusahaan memiliki strategi yang solid untuk mencegah terjadinya gagal bayar kepada pemberi pinjaman.

Sumber: Pixabay
Sumber: Pixabay

Penyaluran peminjaman memang sudah merambah ke daerah luar Jawa. OJK mencatat, titik lokasinya terlihat sudah menyentuh Aceh hingga Papua. Dari pertumbuhan yoy terbesar, dipegang oleh Sulawesi Utara (458,37%), Sulawesi Tengah (437,1%), Papua Barat (432,73%), Maluku Utara (392,71%), dan Kalimantan Tengah (380,24%).

Meskipun secara nominal belum besar, tapi pertumbuhan ini menjadi indikasi bahwa ada kebutuhan yang besar di sana. Angka pertumbuhan yang dipegang lima provinsi ini kalah jauh dengan pertumbuhan di Pulau Jawa dan Bali.

Peluang tersebut, bisa dijawab oleh pemain fintech lending entah baru atau petahana dengan meracik produk pinjaman yang bisa menjawab kebutuhan pasar. Jadi sebenarnya ini bukan soal perlu atau tidaknya banyak pemain baru. Melainkan seberapa cepat perusahaan berinovasi menangkap peluang. Kesempatan terbuka ini berlaku buat semua perusahaan.

Keberadaan platform digital, sangat membantu perusahaan ekspansi lebih cepat. Pemberi pinjaman dari manapun bisa meminjamkan dananya untuk peminjam di lokasi lain. Memanfaatkan keberadaan pemain industri keuangan konvensional seperti koperasi dan BPR, atau membuat skema urun dana seperti Amartha bisa menjadi cara untuk mengendalikan potensi fraud dan kredit macet.

Laporan East Ventures bertajuk EV-DCI 2020 menjadi rujukan terbaik (untuk saat ini) dalam memetakan potensi ekonomi digital dari masing-masing kota atau provinsi yang bisa dikembangkan lebih dalam. Di Sulawesi Utara, misalnya, masuk urutan ke-15 dengan skor 30,2 (dari skala 0-100).

Kekuatan di provinsi ini adalah pilar penggunaan ICT (54,9; urutan ke-10 dari semua provinsi). Pilar tersebut didukung oleh indikator rasio penduduk yang mengakses internet dengan smartphone (93,1; ke-8). Selain itu, infrastruktur juga sudah cukup baik (46,9; ke-17).

Akan tetapi, dari sisi SDM masih tertinggal dan ada di posisi ke-24 karena jumlah program studi digital yang sangat minim. Alhasil mahasiswa berkemampuan digital menjadi sangat terbatas. Input dan penunjang yang masih kurang membuat kewirausahaan digital di provinsi ini sulit berkembang (5,8; ke-24).

Kondisi ini selaras dengan jumlah Usaha Menengah Besar (UMB) dan Usaha Mikro Kecil (UMK) yang menggunakan internet (3,3) dan rasio antara keduanya (21,7).

Bagi sektor fintech lending, menciptakan produk pinjaman dimulai dari bersifat konsumtif bisa menjadi panduan awal sebelum diperkenalkan lebih dalam dengan produk pinjaman lainnya yang diperuntukkan buat modal usaha di sektor usaha yang paling dominan.

Di sana, kontribusi PDRB (produk domestik regional bruto) terbesar dipegang oleh ICT (38,3), sektor jasa keuangan (29,6), dan subsektor pergudangan, penunjang angkutan, pos & kurir (16,4).

EV-DCI mencatat rasio desa yang memiliki ATM sangat kecil (9,2). Angka ini selaras dengan ketersediaan kantor cabang bank (9,7). Dengan kata lain, provinsi ini punya peluang yang besar untuk dirambah pemain fintech, khususnya lending.

Menurut preview riset tahunan DailySocial, Fintech Report 2019, terungkap potensi unicorn berikutnya adalah fintech karena kenaikan traksi

Fintech Tahun Ini: Jumlah Pemain Baru Melambat, Traksi Meningkat

Riset tahunan yang dirilis DailySocial, Fintech Report 2019, mengungkapkan pertumbuhan startup fintech di Indonesia sepanjang tahun ini mengalami perlambatan, sementara traksi pemain yang sudah terus memperlihatkan kenaikan.

Perlu dicatat, full version riset ini segera dirilis resmi dalam waktu dekat.

CEO DailySocial Rama Mamuaya memaparkan, pada 2018 ada 61 pemain p2p lending yang beroperasi. Namun pada tahun ini hanya 47 pemain saja. Fenomena yang sama terjadi juga untuk fintech pembayaran. Pada 2018, ada delapan pemain, sementara pada tahun ini menurun jadi empat.

Mengacu dari data OJK, total penyaluran untuk periode yang sama, akumulasi penyaluran pinjaman mencapai Rp60,41 triliun meningkat 166,51% year to date dari Rp22,6 triliun.

Peningkatan juga terjadi untuk akumulasi rekening peminjam menjadi 14,3 juta entitas dari sebelumnya 4,3 juta entitas. Sedangkan untuk pemberi pinjaman mencapai 558 ribu entitas, naik 169,28%.

Bicara soal legalitas di regulator, per September 2019, ada 13 pemain fintech lending yang mengantongi izin dari OJK. Adapun total pemain yang terdaftar di OJK ada 144 perusahaan. Sedangkan, empat perusahaan yang mendapat lisensi uang elektronik dari BI.

Berdasarkan data itu, diyakini bahwa startup berikutnya yang akan menyabet status unicorn berasal dari fintech. “Ada banyak perusahaan yang valuasinya lebih dari ratusan juta dolar, seperti Akulaku, Kredivo, mereka semua perusahaan fintech,” terangnya di NextICorn International Summit 2019, Kamis (14/11).

“Apapun perusahaannya, unicorn berikutnya adalah fintech. Pertanyaannya adalah apakah akan ada daging yang tersisa? Jika kita ingin memulai perusahaan fintech, bisakah tetap tumbuh lebih besar?,” sambungnya.

Mendukung pernyataannya tersebut, dia memaparkan sejauh ini tercatat ada 22 pendanaan untuk startup fintech yang diumumkan dengan total $121 juta (setara 1,7 triliun Rupiah).

“Umumnya ini baru 60% yang diumumkan, sisanya tertutup. Kalau itu semua diumumkan, tentu nilainya akan jauh lebih besar.”

Imbauan kaji jumlah pemain p2p lending

Dalam kesempatan terpisah, OJK meminta asosiasi untuk meninjau kembali jumlah pemain p2p lending dengan pertimbangan pertumbuhan yang cepat harus seimbang dengan jumlah nasabah.

Kepala Eksekutif IKNB OJK Riswinandi mengatakan perkembangan p2p lending sanat cepat. Sejak dirilisnya POJK No.77 Tahun 2016 pada tiga tahun lalu, sudah ada 144 penyelenggara p2p lending sampai November 2019.

Kondisi ini kontras dengan industri pembiayaan dan asuransi yang butuh waktu puluhan tahun untuk sampai ke angka tersebut. Tercatat ada 183 pemain multifinance dan 70 perusahaan asuransi yang beroperasi saat ini. Untuk itu, dia menilai perlu dikaji dengan jumlah perusahaan fintech lending yang terdaftar.

Peninjauan ini dibutuhkan mengingat banyaknya peminjam yang terjebak dengan kemudahan meminjam secara online melalui p2p lending. Kajian tersebut diperlukan agar dapat melindungi kepentingan nasabah.

“Coba dipelajari, diskusi bersama untuk meningkatkan kualitas p2p lending. Jika memang hasil kajiannya dirasa sudah cukup, akan kami batas dulu (jumlah pemain p2p lending),” ucap Riswinandi saat keynote speech hari jadi AFPI, Senin (11/11).

Mengutip dari Bisnis.com, Kepala Bidang Kelembagaan dan Humas AFPI Tumbur Pardede mengatakan arahan dari OJK tidak mengarah kepada pembatasan jumlah p2p lending.

“Inisiasi dari industri ini, kesiapan dan kualitas kami harus tonjolkan. Jadi bukan bicara kuantitas. Dengan kualitas yang baik menggunakan teknologi, cakupan kita dapat meluas,” ujarnya.

PT Pegadaian Luncurkan Layanan Gadai Online Tahun Depan

Banyaknya perusahaan financial technology (fintech) lahir di Indonesia turut membuat perusahaan pelat merah seperti Pegadaian ikut andil berpartisipasi dengan mendirikan gadai online. Rencananya layanan ini akan diluncurkan tahun depan.

Riswinandi, Direktur Utama Pegadaian, menjelaskan pertimbangan tersebut didasarkan pada geliat fintech yang cukup agresif akhir-akhir ini. Ia mengharapkan gadai online bisa menjadi jalur cepat untuk konsumen dalam mencairkan pinjamannya.

“Kami mulai memantau perkembangan fintech sejak setahun ini, ada juga masukan dari konsumen. Akhirnya kami mulai merencanakan pendirian gadai online dan diharapkan bisa launch tahun depan,” ujarnya, Rabu (12/10).

Kendati demikian, dia mengaku pihaknya masih mempertimbangkan proses bisnis seperti apa yang akan dipilih Pegadaian. Pasalnya, dalam menyalurkan pinjaman Pegadaian tetap ingin mempertahankan proses tatap muka antara konsumen dengan petugas Pegadaian sebagai langkah perlindungan dan keamanannya.

Salah satu gambaran proses bisnis, lanjutnya, konsumen yang ingin menggadaikan barangnya dapat mengakses aplikasi gadai online lalu mengisi data pribadinya secara lengkap. Pihak Pegadaian kemudian akan melakukan verifikasi data. Bila data diterima, nasabah akan menerima nomor antrian saat mendatangi kantor Pegadaian.

“Masih [di]pikirkan proses bisnisnya, tapi pada intinya kami tetap ingin ada proses tatap muka karena ini kan barang berharga mereka yang mau digadaikan ke kami. Jangan sampai terjadi dispute karena ini salah satu bentuk service kami.”

Pegadaian merupakan salah satu pemain gadai offline terbesar dan tertua di Indonesia yang dimiliki oleh pemerintah. Awalnya pangsa bisnis Pegadaian terbesar adalah bisnis gadai, namun setelah pemain gadai swasta mulai menjamur kini Pegadaian melakukan diversifikasi usaha. Saat ini bisnis Pegadaian meliputi gadai, kredit mikro, investasi emas, pembiayaan melalui fidusia, remitansi, dan PPOB.

Kompetitor Pegadaian di ranah online adalah Pinjam yang cukup eksis setelah berhasil memperoleh pendanaan Seri A bulan Juni lalu.