Tag Archives: ritesh agarwal

startup jaringan hotel bujet OYO dikabarkan kembali mengajukan dokumen baru untuk IPO di India rencananya November 2023

OYO Kembali Jadwalkan IPO di India Jelang Akhir Tahun 2023

Setelah sempat tertunda, startup jaringan hotel bujet OYO dikabarkan kembali mengajukan dokumen baru untuk penawaran umum perdana saham atau IPO di India. Menurut sumber Skift, media lokal India, OYO mengurangi target dana segar yang diincar antara $400 juta-$600 juta, menurun tajam dari rencana awal sebesar $1 miliar.

Oravel Stays, induk dari OYO, telah mengajukan ulang Draft Red Herring Prospectus (DRHP) dengan Securities and Exchange Board of India (Sebi). Direncanakan IPO akan dilaksanakan sekitar November 2023 setelah Sebi memberikan persetujuan.

Sebelumnya, upaya untuk IPO diungkap pada 2021, OYO menargetkan dapat mengumpulkan 84,3 miliar Rupee ($1 miliar). Valuasi OYO sempat tembus ke angka $10 miliar pada 2019, tetapi ambles menjadi $2,7 miliar pada tahun lalu.

Rute pra-pengajuan (pre-filing) akan memberikan OYO fleksibilitas dalam hal waktu dan ukuran IPO. Biasanya dengan rute tradisional, perusahaan harus melaksanakan IPO dalam waktu 12 bulan sejak persetujuan Sebi. Sementara dalam jalur pra-pengajuan, IPO dapat diajukan dalam waktu 18 bulan sejak tanggal dari respons final Sebi.

Rute ini juga memberikan fleksibilitas untuk mengubah ukuran masalah utama sebesar 50 persen hingga tahap Updated Draft Red Herring Prospectus (UDRHP).

Nominal dana segar yang diincar $400 juta-$600 juta akan menjadi penerbitan utama (saham baru yang diterbitkan perusahaan untuk publik), akan digunakan untuk membayar sebagian besar utang perusahaan, menurut sumber Skift.

Pengajuan terakhir OYO ke Sebi pada November 2022 adalah hasil keuangan terbarunya untuk paruh pertama tahun keuangan 2022-2023, yang menunjukkan peningkatan signfikan dalam kinerja perusahaan sejak pengajuan IPO awal pada September 2021. Secara topline, ada peningkatan margin kotor yang berkelanjutan, dan pengurangan kerugian secara keseluruhan.

Founder OYO Ritesh Agarwal menyampaikan, perusahaan menargetkan EBITDA yang disesuaikan hampir ₹800 crore ($98 juta) di 2024. Untuk itu, perusahaan akan mengambil langkah-langkah untuk menjaga arus kas yang sehat dan terus beroperasi dengan menghemat banyak pengeluaran.

“Kami memiliki saldo kas saat ini sekitar ₹2.700 crore ($330 juta) dan kami berharap pada akhirnya dapat menggunakan sangat sedikit dana kas untuk operasi yang ada. Arus kas kami telah menunjukkan peningkatan dan ketergantungan kami pada dana eksternal secara bertahap menurun dari waktu ke waktu,” kata Agarwal dalam townhall baru-baru ini.

Dia mengaitkan peningkatan kinerja tersebut didukung oleh bisnis OYO di India, Indonesia, Amerika Serikat, dan UK serta pengoptimalan yang relevan dalam bisnis rumah liburan di Eropa.

Sepanjang pandemi, OYO mundur dari sejumlah pasar di luar India, memangkas staf demi bertahan hidup. Perusahaan juga beralih dari model bisnis padat modal dan aset fisik, mengalihkan fokusnya untuk membangun teknologi sebagai layanan.

OYO Indonesia

Perusahaan baru-baru ini mengumumkan rencananya untuk menggandakan jumlah hotel premium di India pada tahun 2023 dengan menambahkan sekitar 1.800 hotel premium. Fokus OYO pada hotel premium dimulai pada kuartal terakhir tahun 2022 dengan menambahkan lebih dari 400 hotel premium baru antara Oktober dan Desember.

Sejumlah brand akomodasi untuk segmen mid-premium, yakni Townhouse Oak, Townhouse, Collection O, dan Capital O sudah tersebar di lebih dari 35 negara, termasuk Indonesia. Perusahaan juga meluncurkan program akselerator untuk pelaku bisnis perhotelan generasi pertama dengan lebih dari lima hotel operasional di platformnya.

Di Indonesia saja, segmen pengguna dari korporasi menyumbang kontribusi bisnis terbesar di OYO. Pada 2022, OYO memaparkan ada kenaikan pemesanan pada segmen korporasi di Indonesia sebesar 237% menjadi 253 korporasi dari tahun sebelumnya yang hanya 75 korporasi.

Para klien tersebut datang dari sektor keuangan, teknologi, startup, serta ritel dan logistik yang berlokasi Jakarta, Tangerang, Surabaya, Bekasi, dan Medan. Utamanya disumbang dari sektor keuangan yang menjadi kontributor terbesar bagi OYO Indonesia.

Sejak hadir di Indonesia sejak 2018, OYO memiliki 2.500 properti yang tersedia di 180 kota, termasuk di antaranya Jakarta, Bandung, Medan, Palembang, Semarang, Magelang, dan Yogyakarta. Pertumbuhan bisnisnya diklaim naik 15 kali lipat dengan peminat lebih dari 12 juta pelanggan.

Berdasarkan tren pemesanan tertinggi, Bandung, Bali, Yogyakarta, Malang, dan Lampung merupakan kota destinasi liburan sepanjang 2022. Sementara, Jakarta, Tangerang, Surabaya, Bekasi, dan Medan adalah kota dengan kunjungan bisnis tertinggi.

Application Information Will Show Up Here
Model bisnis Oyo menjadi sorotan karena dianggap berpotensi merusak ekosistem hotel bujet di Tanah Air

Dampak Oyo Terhadap Ekosistem Hotel Bujet Tanah Air

Tahun 2019 merupakan salah satu momen kejayaan operator hotel bujet di Indonesia. Perusahaan seperti Oyo, Reddoorz, Airy, dan ZenRooms memberikan opsi tambahan bagi para pelancong ketika harga tiket pesawat mengalami kenaikan siginfikan. Dari nama-nama tersebut, Oyo bersinar paling terang.

Di tangan pemuda India bernama Ritesh Agarwal, Oyo melejit sebagai salah satu startup dengan pertumbuhan paling cepat hingga akhirnya mereka menjelma sebagai unicorn. Sejak berdiri pada 2013, Oyo sudah beroperasi di banyak negara mulai dari kawasan Asia Selatan, Asia Tenggara, Timur Tengah, Asia Timur, Eropa, hingga Amerika Latin. Mereka pun sukses mendapat dukungan investasi dari Softbank dalam putaran pendanaan terakhir yang bernominal $1,5 miliar.

Indonesia sendiri merupakan salah satu pasar yang paling diperhitungkan Oyo. Oyo menggelontorkan dana untuk pasar tanah air senilai $300 juta atau setara Rp4,2 triliun tahun lalu. Oyo Indonesia berhasil meraih 5 juta pelanggan sepanjang tahun dan menggandeng 27.000 kamar dan 1.000 hotel. Sebuah pencapaian yang begitu besar untuk perusahaan yang belum terlalu lama bermukim di Indonesia.

“Kami pernah menyampaikan bahwa kita akan berinvestasi US$100 juta pada tahun lalu. Sekarang kami akan memperbarui investasi itu menjadi US$300 juta berkaca dari kesuksesan kita di sini,” ucap Ritesh saat bertandang ke Indonesia pada September lalu.

Kesuksesan kilat Oyo bukan tanpa alasan. Kecepatan mereka mengakuisisi properti baru tak lepas dari skema minimum guarantee (MG) yang mereka tawarkan. Skema ini memungkinkan pemilik properti mendapat jaminan bayaran dengan nominal tetap yang diukur dari potensi properti mereka terlepas dari berapa tingkat okupansinya. Sara (bukan nama sebenarnya) adalah salah satu mitra yang mengaku memutuskan bermitra dengan Oyo karena skema ini. Sara mendapat jaminan Rp36 juta per bulan dari Oyo untuk hotel bujetnya. Ketertarikan serupa dialami mayoritas mitra mereka di seluruh dunia.

Pandemi mengubah cerita manis tersebut. Anjloknya tingkat okupansi dan beban operasional yang tak berkurang memaksa mereka mengambil langkah drastis, yakni mengganti skema MG itu dengan skema bagi hasil. Ritesh sudah mengakui perubahan skema ini. Begitu pula dengan Oyo Indonesia yang diwakili oleh Country Head, Emerging Business, Eko Bramantyo.

“Yang kita sampaikan sederhana kepada para mitra terhormat bahwa kita tidak bisa lagi pakai model MG tapi dengan bagi hasil atau revenue share. Ini terjadi karena kita enggak tahu okupansinya akan berapa dan kedua kita enggak tahu harganya akan bagaimana karena pergerakan harga ini luar biasa signifikan dan beragam. Kita tidak bisa lakukan model bisnis seperti sebelum corona,” terang Eko dalam sebuah sesi tanya jawab dengan media pekan lalu.

Dampak terhadap ekosistem perhotelan bujet

Kesuksesan Oyo sebagai hotel bujet juga mengundang keresahan pelaku bisnis hotel bujet. Harga kamar Oyo yang begitu murah dianggap menjadi masalah baru, bahkan oleh para mitranya sendiri. Albert, seorang pemilik properti di Jawa Timur yang sempat bermitra selama setahun dengan Oyo, mengeluhkan bagaimana murahnya tarif yang diterapkan Oyo sebagai bentuk predatory pricing. Ketika harga hotel bujet berada di kisaran Rp200.000-Rp300.000, Oyo bisa menekan harga hingga setengahnya saja memanfaatkan kekuatan modal dengan menggaet hotel bujet lain, homestay, guesthouse, hingga kamar indekos yang dijual secara harian dengan tarif per malam bisa di bawah Rp100.000.

“Bisa dibilang mereka menurunkan standar industri. Dengan harga hotel turun terus, gaji pegawai harus turun, service charge harus ditiadakan, dari safety juga dikurangi. Ini bukan persaingan yang sehat lagi. Dan yang mereka lakukan dengan bilang dynamic pricing itu omong kosong karena mereka itu predatory pricing,” tegas Albert.

Sara pun berpendapat serupa. Setelah kurang lebih satu tahun bermitra, ia mengaku murahnya harga kamar yang ditawarkan Oyo menyebabkan kemungkinan terburuk dari tamu yakni pelajar yang belum cukup umur, hingga anak-anak mudah yang sekadar ingin mabuk-mabukan. “Saking murahnya harga dasar yang mereka kasih, pernah kejadian kasus tamu kemalingan di kamar yang ternyata setelah diselidiki buntut aksi prostitusi online,” ujar Sara.

Protes sekaligus harapan diletakkan pemilik properti ke platform digital pemesanan akomodasi hotel, misalnya Traveloka dan Pegipegi. Mereka menilai, sebagai kanal penjualan kamar hotel, platform punya daya tawar untuk mencegah penetapan harga yang terlalu murah dengan mempertimbangkan banyaknya laporan ketidakpuasan konsumen.

Kepada DailySocial, Traveloka mengaku selalu memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama bagi mitra penyedia akomodasi yang tergabung ke dalam platform dan menjalin komunikasi dengan mitra untuk menjaga pengalaman menginap tamu. Sementara Pegipegi menjelaskan pihaknya menyayangkan penetapan tarif menginap yang terlalu murah. Namun mereka mengaku hal itu menjadi domain operator properti. “Dari sisi yang kami lakukan, kami tidak meng-highlight properti tersebut di aplikasi kami,” tegas Corporation Communications Manager Pegipegi, Busyra Oryza.

Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengakui, keluhan para pemilik hotel bujet terhadap cara main operator virtual ini sudah terdengar cukup lama. Persaingan tidak sehat tersebut menurut Maulana berasal dari beberapa faktor. Pertama adalah ketidakcermatan pemilik properti sendiri yang kerap terlena oleh jaminan pendapatan yang ditawarkan operator virtual, meskipun pada akhirnya ia juga mewajarkan ketertarikan para pemilik untuk bermitra. Sementara di satu sisi, operator punya hak menetapkan harga semurah itu karena mereka sudah diberikan kewenangan untuk mengelola segala hal termasuk soal penetapan harga.

Namun Maulana menunjuk lemahnya pengawasan pemerintah pusat dan daerah sebagai penyebab utama rendahnya tarif hotel bujet setahun belakangan. Yang paling kentara, menurutnya, adalah maraknya penggunaan akomodasi bulanan seperti indekos sebagai penginapan harian. Ketika operator virtual merambah kamar indekos, persaingan bisnis menurutnya makin tak wajar. Ia menuding pemerintah pusat dan daerah tidak tegas menertibkan kondisi tersebut.

“Kami dari PHRI melihat pemerintah pengawasannya masih kurang karena harusnya pemerintah sebagai pemilik peraturan bisa lebih tegas. Perbedaan pungutan harga itu terjadi karena ada perbedaan pungutan pajak dan perizinan. Pemerintah jadi kunci, khususnya pemerintah daerah,” sambung Maulana.

Berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Industri (KBLI) Bidang Pariwisata 2015 indekos memang tidak masuk ke dalam klasifikasi penyediaan akomodasi jangka pendek. Dasar peraturan ini yang dipegang teguh PHRI mengkritik keras operator virtual seperti Oyo maupun pemerintah sebagai regulator. “Kalau enggak dibenahi, pengusaha akan berantakan, yang rugi juga nanti para karyawannya. Nanti tidak ada hotel bujet, tapi adanya malah kos-kosan,” imbuh Maulana.

Kurang silaturahmi

Eko Bramantyo menanggapi kecaman PHRI itu dengan cukup santai. Eko sendiri mengaku sudah datang langsung ke acara musyawarah nasional PHRI yang terakhir digelar Februari lalu. Ia menilai ribut-ribut mengenai metode bisnis mereka terjadi karena komunikasi yang kurang baik. Itu sebabnya mereka berniat memperbaiki komunikasinya dengan asosiasi industri serta pemerintah.

“Yang menyebabkan keributan-keributan itu sebetulnya satu, silaturahminya belum terjalin dengan baik. Kalau terjalin dengan baik, yang diuntungkan negara ini karena pada akhirnya akan menciptakan peluang-peluang bisnis dan koridor sinergi bisnis yang akahirnya mensejahterakan lingkungannya,” tukas Eko.

Oyo Indonesia mengakui komunikasi dan sinergi mereka dengan regulator dan pelaku industri masih belum ideal dan mulus untuk saat ini. Eko menjadikan hal itu sebagai indikator kinerja perusahaannya bisa lebih baik. Oyo tentu mendambakan hubungan baik tersebut karena mereka dikenal agresif dalam melakukan ekspansi bisnisnya.

Namun, sementara ini, Oyo dipastikan tidak akan jor-joran seperti sebelumnya. Eko menyebut pihaknya kehilangan tingkat okupansi hingga 60% selama pandemi berlangsung. Eko juga mengklaim saat ini tak memikirkan market share karena semua sumber daya difokuskan untuk bertahan hingga setahun ke depan. Salah satu cara yang mereka tempuh adalah mengubah skema MG menjadi skema bagi hasil.

Semenjak pandemi melanda Indonesia, bisnis perhotelan adalah salah satu sektor yang terdampak paling keras. PHRI menyebut sudah lebih dari 2.000 hotel berhenti beroperasi hingga awal Mei. Angka ini diprediksi masih bisa terus bertambah walaupun pemerintah sudah melonggarkan pembatasan mobilitas penduduk di banyak daerah.

Dalam kasus Oyo, Albert sebagai pemilik hotel kelas bujet menilai Covid-19 hanya memperjelas kondisi persaingan yang tidak sehat. Banyaknya hotel yang tutup bahkan ketika pandemi baru melanda Indonesia menurutnya adalah pertanda bahwa selama ini hotel sudah berdarah-darah untuk sekadar beroperasi. “Itu artinya hotel tidak punya dana untuk daily basis operation,” Albert mengakhiri.

Oyo Indonesia tentu membantah tudingan tersebut. Mereka menyebut tarif murah itu merupakan value proposition mereka yang diperoleh dari mekanisme dynamic pricing berdasarkan teknologi yang mereka pakai. Kalaupun ada harga kamar yang tampak begitu murah, mereka berdalih itu terjadi dalam rangka promo dengan periode waktu tertentu saja.

Application Information Will Show Up Here
OYO Indonesia

Perkuat Bisnis di Indonesia, OYO Siapkan Dana Investasi 4,2 Triliun Rupiah

OYO mengumumkan komitmen baru dalam investasi mereka di Indonesia menjadi US$300 juta atau setara 4,2 triliun Rupiah. Komitmen anyar ini diumumkan setelah keberhasilan perusahaan menembus 5 juta pelanggan sepanjang 2019 ini.

Pendiri dan CEO OYO Ritesh Agarwal menyampaikan langsung sejumlah pencapaian yang sudah mereka peroleh selama beroperasi di Indonesia. Ritesh mengatakan, saat ini OYO sudah menggandeng 1.000 hotel dan 27.000 kamar di 100 kota di Indonesia. Ia menyebut angka itu tercapai lebih cepat dari target mereka yakni satu tahun.

“Kami pernah menyampaikan bahwa kita akan berinvestasi US$100 juta pada tahun lalu. Sekarang kami akan memperbarui investasi itu menjadi US$300 juta berkaca dari kesuksesan kita di sini,” ucap Ritesh.

Country Head OYO Indonesia Rishabh Gupta menjelaskan, tambahan investasi US$200 juta itu dianggarkan untuk satu tahun ke depan. Menurutnya, dana itu akan digunakan utamanya untuk revitalisasi bangunan hotel dan pelatihan staf yang tersebar

Country Head of Business Development OYO Indonesia Agus Hartono Wijaya turut menambahkan, pengucuran investasi itu diputuskan karena mereka menyadari ada cukup banyak hotel di sejumlah kota yang kualitasnya di bawah standar. Renovasi jadi langkah prioritas mereka untuk menarik pelanggan.

Let’s say okupansi mereka di bawah 50 persen misalnya. Justru itu value OYO untuk meningkatkan okupansi mereka jadi di atas 50 persen. Bagaimana caranya ya dengan direnovasi dulu,” imbuh Agus.

Perbedaan akses dan infrastruktur suatu daerah turut berpengaruh pada kualitas hotel yang beragam. Disparitas kualitas hotel inilah yang hendak diselesaikan oleh OYO lewat tambahan investasi mereka.

Fokus di timur

Salah satu fokus ekspansi OYO di Indonesia berada di wilayah timur. Potensi wisata yang besar dan industri perhotelan yang masih berkembang di sana jadi alasan OYO membidik ke sana.

Kendati demikian, upaya ekspansi itu tak akan mudah karena gairah bisnis perhotelan di sana sedang lesu.

Ketua Umum Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Haryadi Sukamdani mengutarakan, tingkat okupansi hotel di kawasan timur merosot 30 persen. Serupa dengan data PHRI, Badan Pusat Statistik pun mencatat penurunan tingkat hunian hotel berbintang pada Maret 2019 sebesar 4,21 poin menjadi 52,89 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Haryadi menyebut kenaikan harga tiket pesawat jadi penyebab utama hal itu terjadi.

Kendati demikian, Rishabh meyakini kenaikan harga tiket pesawat tak begitu berpengaruh pada industri perhotelan. Di samping upaya pemerintah Indonesia yang terus membenahi infrastruktur pariwasata, pihaknya juga terus berinvestasi untuk memperbaiki kualitas pelayanan hotel yang bekerja sama dengan OYO.

“Lagipula orang Indonesia tidak hanya berwisata melalui pesawat, banyak juga yang pakai infrastruktur darat seperti kalau ke Bandung atau Yogyakarta. Bagi OYO, okupansi hotel tidak terdampak oleh kenaikan tiket pesawat,” cetus Rishabh.

Program OPEN untuk pemilik aset

Pada saat yang sama, OYO juga meluncurkan OPEN yang ditujukan untuk mitra pemilik aset. Sederhananya, program ini merupakan wadah bagi para pemilik aset untuk bertukar ide, informasi, dan lainnya yang dapat menunjang bisnis.

Dalam program itu OYO berkomitmen untuk membagi hasil pendapatan tepat waktu, memberikan akses pembiayaan yang terjangkau, membantu pemasaran hotel, dan menyediakan teknologi sebagai solusi untuk pemilik hotel.

Startup unicorn India Oyo resmikan kehadiran di sektor hospitality Indonesia. Menggelontorkan dana investasi sekitar Rp1,5 triliun untuk pengembangan bisnis

Oyo Resmi Hadir di Indonesia, Siapkan Investasi 1,5 Triliun Rupiah

Oyo, startup yang bergerak bisnis jaringan hotel, meresmikan kehadirannya di Indonesia setelah kontinu mempersiapkan operasionalnya sejak setahun lalu. Di saat yang bersamaan, perusahaan mengumumkan komitmen investasi lebih dari US$100 juta (sekitar Rp1,5 triliun) untuk menjadi pemain terdepan di Indonesia.

Founder dan CEO Oyo Ritesh Agarwal menuturkan, komitmen investasi yang disiapkan ini diambil dari perolehan dana segar yang didapat perusahaan sebulan lalu sebesar US$1 miliar dari Softbank, Lightspeed, Sequoia, dan Greenoaks Capital. Ada pula tambahan US$200 juta yang diambil dari neraca keuangan perusahaan.

Oyo akan menggunakan mayoritas dana tersebut untuk membangun infrastruktur jaringan hotel dan merenovasi bangunan agar sesuai dengan kriteria Oyo. Kemudian mereka melatih talenta agar dapat bekerja di industri hospitality, mengembangkan teknologi, dan melancarkan strategi pemasaran agar dapat menarik pengguna baru.

“Oyo membantu para pemilik unbranded hotel dengan teknologi yang kami miliki untuk meningkatkan standar pelayanannya setara dengan jaringan hotel sehingga pada akhirnya okupansi dapat meningkat. Komitmen kami sangat kuat untuk mengembangkan Indonesia dan ingin bertahan lama di sini,” ucapnya, Kamis (18/10).

Sebelum meresmikan kehadiran, pihaknya sudah melakukan berbagai riset kondisi pasar, sosial, hingga regulasinya. Secara perlahan-lahan, Oyo mulai merintis kiprahnya dengan badan hukum PT Oyo Rooms Indonesia. Operasional sendiri dimulai sejak pada Februari 2018.

Kini Oyo telah menggandeng lebih dari 30 pemilik properti yang telah terinventarisasi dan 1000 kamar tersebar di tiga kota, yakni Jakarta, Surabaya, dan Palembang. Harga yang ditawarkan mulai dari Rp149 ribu. Salah satu mitra properti yang dikelola Oyo adalah Adhi Persada, anak usaha perusahaan pelat merah Adhi Karya.

Berikutnya Oyo siap memperluas kehadirannya di 35 kota di seluruh Indonesia, termasuk Yogyakarta, Bandung, dan Bali dalam 15 bulan ke depan. Pada tahun 2020 mendatang, Oyo berambisi dapat merekrut lebih dari 60 ribu karyawan di berbagai daerah untuk memperkuat sektor perhotelan, seperti pekerjaan untuk front office, jasa katering, dan house keeping.

“Prinsip kami tiga kamar hotel bisa mempekerjakan satu orang tenaga kerja. Semakin banyak kamar tentunya akan membuka semakin banyak lapangan pekerjaan untuk orang Indonesia,” tambah Country Lead Oyo Indonesia Rishabh Gupta.

Model bisnis Oyo

Ritesh menegaskan kehadirannya di Indonesia bukan menjadi kompetitor untuk para pemain OTA yang sudah lebih dahulu hadir, melainkan sebagai mitra distribusi. Justru yang dianggap sebagai kompetitor adalah jaringan hotel budget yang sudah memiliki reputasi besar, seperti Accor, Pop Hotels, Tauzia Hotel, Harris, dan masih banyak lagi.

“Justru OTA itu adalah mitra kami untuk distribusi kamar. Kami bermitra dengan mereka semua. Salah satu pemilik properti kami menyebut okupansi naik dari 28% jadi 92% setiap harinya setelah masuk ke jaringan Oyo. Hotelnya mendapat rating bintang empat, dari hanya satu, di Booking.com.”

Dalam model bisnisnya, dia menjelaskan pemilik properti yang bermitra dengan Oyo akan beroperasi mengadopsi model manchise (manajemen dan franchise). Kontrol dan manajemen hotel akan dipegang penuh Oyo. Model ini juga diterapkan di India dan Tiongkok.

Semua properti akan dioperasikan dalam perjanjian sewa atau mengizinkan pemilik properti menjalankan properti mereka dalam kesepakatan franchise. Oyo biasanya mengutip 20% dari total pendapatan hotel untuk skema perjanjian sewa.

Dalam pemilihan properti, Ritesh mengatakan pihaknya melihat segala jenis properti yang ada, lalu mengukurnya dari segi luas kamar tidur, kamar mandi, luas lobi, dan sebagainya. Yang terpenting adalah lokasinya yang harus strategis.

Semuanya dibutuhkan untuk melihat seberapa besar renovasi yang dibutuhkan agar dapat beroperasi sesuai kriteria manajemen Oyo dan mengatur kesepakatan harga kamarnya. Setelah semuanya terukur, pemilik properti akan merenovasi dengan biaya sendiri. Nanti Oyo akan bekerja sama dengan institusi keuangan lokal untuk membantu pemilik properti meringankan ongkos tersebut dengan cicilan yang terjangkau.

Seluruh manajemen hotel akan dipantau dari aplikasi. Oyo menyediakan lima jenis aplikasi untuk kebutuhan yang berbeda-beda. Ada Krypton, Oyo Owner, Co Oyo, Oyo OS, dan Oyo : Branded Hotels untuk konsumen.

Sejak pertama kali berdiri di bulan Mei 2013, Oyo telah hadir di lebih dari 350 kota dengan menggandeng lebih dari 10 ribu mitra tersebar di enam negara, India, Tiongkok, Malaysia, Nepal, Inggris, Uni Emirat Arab, dan Indonesia.

Oyo mengklaim sebagai pemimpin teknologi perhotelan dengan memiliki 211 ribu franchised kamar yang dapat disewa. Lebih dari 125 ribu kamar hotel terisi setiap harinya.

Di Indonesia, Oyo telah memiliki 155 karyawan. Kantor sementara masih berlokasi di coworking space WeWork Revenue Tower, Jakarta.

Application Information Will Show Up Here