Tag Archives: Robin Lo

Perusahaan logistik J&T Express dikabarkan berencana untuk melantai atau initial public offering (IPO) di Hong Kong pada kuartal II 2023

J&T Express Dikabarkan Segera IPO di Hong Kong Tengah Tahun Ini

Perusahaan logistik J&T Express dikabarkan berencana untuk melantai atau initial public offering (IPO) di Hong Kong pada kuartal kedua tahun ini. Perusahaan berencana mengincar dana segar antara $1 miliar sampai $2 miliar (antara Rp15,1 triliun-Rp30,3 triliun).

Belum ada konfirmasi yang diberikan J&T Express terkait rumor tersebut. Pemberitaan pertama kali berhembus dari sumber Reuters pada pekan lalu (17/2).

Sumber Reuters yang mengetahui kabar tersebut menyebutkan, sebenarnya J&T Express berencana untuk IPO pada tahun lalu, namun ditunda karena kondisi pasar yang tidak menentu.

Bila aksi korporasi ini terlaksana, diprediksi IPO ini akan jadi yang terbesar di Hong Kong pada 2023. Sepanjang 2021-2022, nilai penjualan saham IPO turun 74% menjadi $7,4 miliar di 2022 dari $28,17 miliar di 2021. Faktor pemicunya, menurut Refinitv, dikarenakan perlambatan global di pasar modal sebagai akibat dari kenaikan suku bunga, inflasi tinggi, dan ketegangan geopolitik yang berkelanjutan.

“J&T Express yang diluncurkan untuk melayani pasar e-commerce booming Asia Tenggara ini mengincar valuasi $20 miliar, berhasil dicapai dalam putaran pendanaan privat terakhirnya pada November 2021,” mengutip dari Reuters.

Dengan mengacu dari valuasi tersebut, perusahaan sedang mempertimbangkan untuk menjual 5% hingga 10% dari sahamnya, yang akan membuat IPO bernilai antara $1 miliar-$2 miliar, kata sumber tersebut.

Sebelumnya, perusahaan disebutkan telah menyandang status decacorn pada November 2021 pasca-memperoleh pendanaan sebesar $2,5 miliar. Pendanaan ini melambungkan valuasi perusahaan ke angka $20 miliar. Investor yang berpartisipasi dalam putaran tersebut adalah Boyu Capital, Hillhouse Capital Group, dan Sequoia Capital China dan investor lainnya dari Tiongkok.

Perusahaan sendiri sebenarnya didirikan di Indonesia pada 2015 oleh Robin Lee dan Jet Lee. Kini sudah beroperasi di 13 negara, termasuk Vietnam, Malaysia, Filipina, Thailand, Kamboja, Singapura, Tiongkok, Arab Saudi, UEA, Meksiko, Brasil, dan Mesir. Lima negara terakhir dirambah perusahaan pada tahun lalu.

Menurut situs perusahaan, di Indonesia saja, perusahaan telah memiliki 100 gateway center dengan peralatan profesional, lebih dari 4 ribu titik operasi dan 30 ribu SDM terlatih, dan ribuan armada untuk mendukung layanan messenger antar kota, antar provinsi dan lintas pulau.

Tren IPO di Hong Kong

Menurut Refinitiv, Hong Kong adalah pasar IPO terbesar ketiga di dunia pada tahun lalu. Di kota tersebut telah melantaikan 90 perusahaan, mengumpulkan HK$104,57 miliar. Sebelumnya, saham teknologi dan biotek mendominasi dalam daftar IPO, tapi digeser oleh industri yang lebih tradisional, seperti ritel dan consumer goods, sektor bahan dan jasa baru.

Kota ini juga mendapat dorongan dari profilnya yang berkembang sebagai alternatif “pelabuhan aman” bagi Amerika Serikat yang telah menjadi badai untuk saham dari perusahaan Tiongkok selama dua tahun terakhir. Sebanyak 11 perusahaan Tiongkok yang sudah IPO di Amerika Serikat, melakukan dual listing di Hong Kong. Beberapa namanya adalah Nio Inc, KE Holdings, Tencent Music, dan lainnya.

Mengutip dari Seeking Alpha, berbagai lembaga akuntan global menaruh optimismenya yang tinggi terhadap kondisi pasar saham global yang membaik akan berpengaruh secara positif pada antusiasme IPO di Hong Kong.

Sejumlah insentif dari regulator setempat disiapkan sebagai booster, di antaranya “dual tranche, dual counter” yang memungkinkan perdagangan di sekuritas berdenominasi dolar Yuan dan Hong Kong. Langkah ini diharapkan akan menarik lebih banyak stok mata uang ganda untuk dicantumkan di bursa saham Hong Kong.

Selain itu, berencana untuk memodifikasi aturan listing untuk menurunkan ambang batas (thresholds) untuk lima industri teknologi mutakhir, termasuk IT, perangkat keras, advanced material, energi baru, dan konservasi energi dan perlindungan lingkungan. Aturan baru ini ditargetkan dapat diterapkan pada kuartal tahun ini setelah periode konsultasi berakhir pada Desember 2022.

Application Information Will Show Up Here

Pemodal Ventura Dorong Startup untuk Ubah “Playbook” Bisnis

Para pemodal ventura (venture capitalist) di Indonesia tak henti-hentinya menekankan para startup untuk tetap resilient di tengah berbagai gejolak ekonomi dunia tahun ini. Apalagi, di sepanjang tahun ini, kita telah menyaksikan sejumlah startup melakukan efisiensi, ada yang menutup layanan dan ada juga yang merumahkan banyak karyawannya.

Gejolak ekonomi yang terjadi diketahui merupakan salah satu langkah antisipasi global untuk menghadapi resesi dengan adanya inflasi dan kenaikan suku bunga tinggi. Bahkan, gejolak baru bertambah pasca-pemerintah Indonesia mengumumkan kenaikan harga BBM.

Sebetulnya, CEO BNI Ventures Eddi Danusaputro menilai sentimen yang terjadi tak selalu berarti buruk, baik itu tren bullish, bearish, atau market correction. “It’s a market adjusting itself. Apalagi valuasi [startup] mahal dalam beberapa tahun terakhir,” ujarnya pada sesi Nexticorn International Summit 2022 beberapa waktu lalu.

Kendati demikian, founder startup juga untuk jangan terlalu overlook pada cash management yang dapat memicu startup menjadi lalai terhadap penggunaan modal mereka. Startup perlu menahan diri melakukan shopping spree, bakar uang untuk kegiatan promo, atau menambah banyak tim.

“Kita lihat startup mulai melakukan efisiensi, bisa berupa mengurangi biaya marketing atau human resource. Startup harus mengubah playbook di situasi saat ini. Cobalah untuk fall in love dengan produk yang mereka kembangkan,” tutur Eddie.

Senada dengan di atas, Co-founder dan Managing Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe berpendapat bahwa situasi ‘tech winter‘ dapat menjadi momentum founder untuk merefleksi dan fokus kembali pada pengembangan produk. Para founder juga perlu mengubah cara mereka untuk membangun bisnis.

Menurutnya, tantangan besar justru akan dialami pada startup di tahap seri A, B, dan C, bukan di early stage. Berkaca dari pengalamannya, Jefrey menilai tidak semua startup mampu menunjukkan profitabilitas di tahapan tersebut. Startup harus kembali fokus pada fundamental dan tidak perlu terjebak pada tekanan harus segera profit selama bisnisnya solid.

“Tahun lalu, kami pikir pasar sangat bullish, banyak founder dapat funding, tim bertambah. Tiba-tiba tahun ini bearish sangat ekstrem. Where’s the money, where’s the profit? Maka itu, startup yang dapat pendanaan harus take it slow. Mereka harus berubah, salah satunya mencapai product-market-fit sampai lima tahun untuk bisa achieve profitabilityWe’ll see a lot of potential growth dalam 3-5 tahun ke depan,” jelasnya.

Ekspansi regional

Pada kesempatan sama, DailySocial.id juga sempat berbincang dengan sejumlah startup unicorn menanggapi isu IPO maupun rencana ekspansi. Sebagian besar mengaku merampungkan tahun 2022 dengan fokus terhadap pengembangan produk dan ekspansi regional.

Kopi Kenangan, misalnya, akan membuka gerai regional pertamanya di Malaysia pada kuartal IV 2022. Co-founder dan CEO Kopi Kenangan Edward Tirtanata mengungkap bahwa ini merupakan bagian dari rencana ekspansi ke Asia Tenggara yang akan dilakukan secara bertahap.

Ia mengaku telah mematangkan rencana ekspansi sejak lama dengan memperhitungkan potensi kenaikan harga bahan baku. Namun, situasi tersebut diatasi dengan melakukan integrasi dari sisi upstream. Per 2021, Kopi Kenangan telah menjual sebanyak 40 juta cangkir. Kini, total outlet-nya telah mencapai 672 outlet di 45 kota di Indonesia.

Demikian juga Co-founder dan COO Xendit Tessa Wijaya yang mengaku fokus terhadap ekspansi regional alih-alih memikirkan rencana melantai di bursa saham sebagaimana telah dilakukan oleh GoTo dan Bukalapak. Sekadar informasi, Xendit telah memulai ekspansi regionalnya sejak 2020.

“Saat ini, kami baru hadir di dua tenggara dan impian kami adalah menguasai Asia Tenggara. Mungkin selanjutnya, kami melirik Malaysia, Thailand, dan Vietnam untuk [ekspansi] ini karena ada permintaan dari customer. Indonesia semakin disorot, banyak global company yang berkembang. Mereka ingin suatu produk tidak cuma di Indonesia, tapi di Asia Tenggara,” jelasnya.

Adapun,  J&T Express tengah melakukan ekspansi ke Tiongkok dan Amerika Latin. Menurut CEO J&T Robin Lo, pasar J&T telah berkembang besar di Indonesia, tetapi belum merambah ke Asia Tenggara. Per 2021, J&T telah menyandang gelar decacorn dengan valuasi sebesar $20 miliar.

“Banyak perusahaan luar masuk ke Indonesia membawa investasi super raksasa. Kalau tidak menjajal negara lain, ketika diserang luar, kita akan sulit survive karena cuma punya market di Indonesia. Once we survive in Asia Tenggara dan Tiongkok, [kita] akan mudah survive di mana saja.” Tutupnya.

Questioning J&T Express Extremely High Valuation Target

The local logistics company J&T Express (J&T) is making another headlines with plans to raise over $1 billion (more than Rp. 14.5 trillion) funding from Tencent and other investors with a pre-money valuation of $20 billion, citing The Information.

Previously, CB Insights said in April that J&T had acquired unicorn status with a valuation of $7.8 billion, through the funding worth more than $2 billion from a series of investors. The investors are PE China Hillhouse Capital, Boyu Capital, and Sequoia Capital China.

When local media asked for a response, J&T’s CEO Robin Lo did not confirm nor deny the unicorn’s status.

Referring to the CB Insight version of the valuation, it means that J&T’s valuation has grown over two times within four months. DailySocial has published a piece questioning J&T’s unicorn status.

Chairman of the Indonesian Logistics Association (ALI) Mahendra Rianto doubts this status, as compared to its closest competitor, JNE is also estimated to have become a unicorn.

Flexible valuation

Without putting aside the rumors above, the key word is that irrational valuations are something that is interesting to discuss.

Quoting from PracticalEcommerce, it is said that the valuation in private companies is speculative. Even the calculation is not as objective as imagined.

There are some considered factors, such as team expertise, product, assets, business model, market share, competitor performance, and others. There are also VCs with its own formula to find pre-value money from a business.

Therefore, calculating the startup valuation combines elements of art and science. If it’s to be compared with NFT, it is fine as both have something in common. Equally irrational. It will still be validated as long as someone buys it, regardless of the number.

However, there are eight methods of calculating valuation in general, such as The Berkus Method, Comparable Transactions Method, Scorecard Valuation Method, and so on.

It used to be commonplace for startups to raise equity funding for no more than three funding rounds and were acquired or went public within five years of operation. However, it’s not uncommon for startups to receive six rounds of funding and remain closed for more than 10 years.

As a startup grows into a mature business, both revenue and expenses, it is exposed to a different economic environment. Challenges arise — more competitor, saturated markets, acquiring customers. VCs, who profit when their startups exit, have shown great patience.

As long as it is a private company, it means that there is no obligation to notify the public of financial statements.

As startups matured, competitors emerged, and each company had to spend more on marketing and customer acquisition. The biggest need requires startups to get more money. This metric is rarely highlighted and gives a one-sided picture of the actual state of the company.

“All the hype ended, however, when the company filed to become a public entity,” PracticalEcommerce wrote.

Union Square Ventures’ Co-Founder, Fred Wilson wrote on his blog, “… valuations in the private market, especially in the late stages, can sometimes be irrational. Valuation in the public, of course after the stock has been trading for a long time and the lock-off period is over, is much more rational.”

This is clearly seen in the performance of Uber and Lyft on the stock market. When Uber went public in May 2019, its stock was valued at $45 per share at a valuation of $75.5 billion. The stock has been wildly move since then, peaking at $46 per share on June 28, 2019, then dropping to a low of $26 per share in November 2019. Currently, at September 2, 2021, $41.09 per share with a market cap of $76.59 billion.

When Lyft went public in March 2019 at a price of $72 per share with a valuation of $24 billion. Lyft’s stock price was even wilder. Now, on September 2, 2021, at $48.96 per share with a market cap of $16.41 billion, far from its initial offering price.

Fight a “different” war

In Southeast Asia, J&T has available in seven countries, before finally arrived in China in March 2020. Long before that, the founder, Robin Lo has very strong background with Chinese entrepreneurs backing.

In China, the logistics market is very bloody. There are five big players there, S&F Express, Yunda, ZTO, YTO, STO, and HT Express. In order to gain traction, J&T’s use an extreme strategy, with subsidized shipping and low prices tending to damage the market.

The relationship between Robin and Jet Lee (CEO of J&T China) in building J&T Indonesia is quite strong, considering that Jet Lee is Oppo’s former official. According to the KrAsia report, J&T’s business runs quite well thanks to the support of Oppo’s parent, BKK Electronics. It’s not only Oppo, but also other smartphone brands, Vivo, Realme, and OnePlus.

BKK’s founder, Duan Yongping played a role in J&T’s relationship with Pinduoduo as he was also a mentor to Pinduoduo’s founder, Colin Huang. Together with Pinduoduo, J&T was able to recored a daily order volume of more than 20 million packages in China alone. During the 618 Shopping Festival – the second largest annual shopping event, J&T Express’ daily package volume at that time exceeded 30 million packages.

However, with all of the backing, it is not enough to boost J&T’s strong dominance because compared to its peers, such as ZTO with 94 sorting centers and 30 thousand shipping outlets that are able to reach 99% of China’s territory. On the other hand, J&T is yet to reach rural and remote areas.

Not to focus only in China, J&T continues to create new sources of growth by shifting its attention to the Middle East and Latin America. It will focus on three densely populated countries – Egypt, Brazil and Mexico – and two countries with higher per capita incomes: the UAE and Saudi Arabia. These countries have huge population, with nearly 500 million people in total.

J&T’s growth in Indonesia

Just like China, the last-mile logistics companies in Indonesia is very crowded. Robin Loo claims the company can send up to 2.5 million packages per day thanks to its partnerships with various marketplace platforms.

J&T’s competitors largely rely on a similar strategy. For regular and one-day delivery (next day), buyers can choose delivery services from SiCepat, JNE, AnterAja, Ninja Express, to Shopee Express provided by Shopee. This is not counting Grab Express and GoSend which provide instant delivery.

These shipping options are available on every marketplace. All sellers are given free to choose the one in the coverage. Conditions are fairly reasonable whether not all logistics services are available and can be chosen by the buyer. Moreover, at Shopee, the majority of deliveries are controlled by Shopee Express.

In order to compete, J&T recently developed a cargo service for the delivery of packages with a large weight and volume with an SLA estimated delivery of 1-3 days. Premium delivery services are also increasingly being expanded in scope. not only in Greater Jakarta, but also in Bandung, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, and Jambi.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Bila mengacu dari CB Insights, dalam empat bulan, valuasi J&T telah melambung lebih dari dua kali lipat

Mempertanyakan Valuasi Luar Biasa yang Dikejar J&T Express

Perusahaan logistik lokal J&T Express (J&T) kembali menghebohkan pemberitaan dengan rencana penggalangan pendanaan lebih dari $1 miliar (lebih dari Rp14,5 triliun) dari Tencent dan investor lainnya dengan valuasi pre-money sebesar $20 miliar, mengutip pemberitaan The Information.

Sebelumnya, pada April ini, CB Insights menyebut J&T telah menyandang status unicorn dengan valuasi $7,8 miliar, melalui pendanaan yang mereka peroleh senilai lebih dari $2 miliar dari sejumlah investor. Investor tersebut adalah PE China Hillhouse Capital, Boyu Capital, dan Sequoia Capital China.

Ketika dimintai tanggapannya oleh media lokal, CEO J&T Robin Lo tidak membenarkan atau membantah soal status unicorn ini.

Bila mengacu dari angka valuasi versi CB Insight, artinya dalam waktu empat bulan, valuasi J&T telah melambung lebih dari dua kali lipat. DailySocial pernah membuat tulisan yang mempertanyakan status unicorn J&T.

Ketua Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Mahendra Rianto menyangsikan status tersebut, sebab bila disandingkan dengan peers terdekatnya, JNE diperkirakan juga sudah menjadi unicorn.

Valuasi “suka-suka”

Tanpa mengesampingkan rumor di atas, kata kuncinya adalah valuasi irasional kembali menarik untuk dibahas.

Mengutip dari PracticalEcommerce, mereka menyebutkan bahwa valuasi di perusahaan privat itu bersifat spekulatif. Bahkan penghitungannya tidak seobyektif yang dibayangkan.

Ada yang memperhitungkan faktor-faktor, seperti keahlian tim, produk, aset, model bisnis, total pasar yang dapat ditangani, kinerja pesaing, dan lainnya. Ada juga VC yang sudah memiliki formula sendiri untuk menemukan pre-value money dari sebuah bisnis.

Jadi bisa dikatakan menghitung valuasi sebuah startup itu menggabungkan unsur seni dan sains. Bila menyejajarkan valuasi dengan NFT, bukanlah suatu larangan karena keduanya punya kesamaan. Sama-sama irasional. Tetap bakal tervalidasi selama ada yang beli, berapapun angkanya.

Di luar itu, umumnya dikenal delapan metode penghitungan valuasi, misalnya The Berkus Method, Comparable Transactions Method, Scorecard Valuation Method, dan lain sebagainya.

Dulu dianggap lumrah ketika startup menggalang pendanaan ekuitas tidak lebih dari tiga putaran pendanaan dan diakuisisi atau menjadi publik dalam waktu lima tahun sejak memulai bisnis. Tapi sekarang bukan hal yang aneh bagi startup untuk menerima enam putaran pendanaan dan tetap tertutup selama lebih dari 10 tahun.

Ketika startup tumbuh menjadi bisnis yang matang, baik pendapatan maupun pengeluaran yang tumbuh, memaparkannya pada lingkungan ekonomi yang berbeda. Lebih banyak tantangan muncul — persaingan tambahan, pasar yang jenuh, memperoleh pelanggan. VC, yang mendapat untung ketika startup mereka exit, telah menunjukkan kesabaran yang luar biasa.

Selama menjadi perusahaan privat, artinya tidak ada kewajiban untuk memberitahu laporan keuangan kepada publik.

Saat startup matang, memancing pesaing bermunculan, dan setiap perusahaan harus mengeluarkan lebih banyak pemasaran dan akuisisi pelanggan. Kebutuhan terbesar inilah yang membuat startup butuh lebih banyak uang. Metriks inilah yang jarang tersorot dan memunculkan gambaran sepihak tentang keadaan perusahaan yang sebenarnya.

“Semua hype berakhir, bagaimanapun, ketika perusahaan mengajukan untuk menjadi entitas publik,” tulis PracticalEcommerce.

Co-Founder Union Square Ventures Fred Wilson menulis di blognya, “…penilaian di pasar swasta, khususnya di late stage, terkadang bisa irasional. Valuasi di publik, tentu saja setelah saham diperdagangkan untuk waktu yang cukup lama dan masa lock-off selesai, jauh lebih rasional.”

Hal ini terlihat jelas dalam kinerja Uber dan Lyft di bursa saham. Saat Uber go-public di Mei 2019, sahamnya dihargai $45 per lembar dengan valuasi $75,5 miliar. Pergerakan sahamnya liar sejak saat ini, pernah ada di posisi puncak $46 per saham pada 28 Juni 2019, lalu jatuh ke level terendah $26 per saham pada November 2019. Kini 2 September 2021, $41,09 per lembar dengan market cap $76,59 miliar.

Sedangkan Lyft go-public pada Maret 2019 dengan harga $72 per lembar saham dengan valuasi $24 miliar. Harga saham Lyft jauh lebih liar lagi. Kini 2 September 2021 berada di harga $48,96 per saham dengan market cap $16,41 miliar, jauh dari harga penawaran awal.

Perang yang “berbeda”

Di Asia Tenggara, J&T telah hadir di tujuh negara, sebelum akhirnya mendarat di Tiongkok pada Maret 2020. Jauh sebelum itu, latar belakang pendirinya Robin Lo sangat kuat dengan backing dari para pengusaha Tiongkok.

Di Tiongkok sendiri pasar logistiknya sudah sangat “berdarah-darah”. Ada lima pemain besar di sana, yakni S&F Express, Yunda, ZTO, YTO, STO, dan HT Express. Untuk menarik traksi, taktik yang dipakai J&T terbilang ekstrem, dengan memberikan subsidi ongkos kirim dan harga yang rendah cenderung merusak pasar.

Relasi Robin dan Jet Lee (CEO J&T Tiongkok) dalam membangun J&T Indonesia sudah cukup kuat, mengingat Jet Lee adalah mantan petinggi Oppo. Menurut laporan KrAsia, bisnis J&T cukup tertopang berkat bantuan induk Oppo, yakni BKK Electronics. Di situ tak hanya menaungi Oppo, juga brand smartphone lainnya, ialah Vivo, Realme, dan OnePlus.

Founder BKK Duan Yongping turut berperan dalam hubungan J&T dengan Pinduoduo karena ia turut menjadi mentor untuk founder Pinduoduo Colin Huang. Bersama Pinduoduo, J&T mampu mencetak volume pesanan harian lebih dari 20 juta paket di Tiongkok saja. Selama Festival Belanja 618 -event belanja tahunan terbesar kedua, volume paket harian J&T Express pada saat tersebut melebihi 30 juta paket.

Namun, dengan backing itu semua, belum mampu membuat dominasi J&T kuat karena dibandingkan dengan peers-nnya, seperti ZTO yang telah memiliki 94 pusat sorting dan 30 ribu outlet pengiriman yang mampu menjangkau 99% wilayah Tiongkok. Di sisi lain, J&T masih kurang menjangkau wilayah rural dan remote.

Sekadar tak ingin fokus di Tiongkok saja, J&T terus menciptakan sumber pertumbuhan baru dengan mengalihkan perhatiannya ke Timur Tengah dan Amerika Latin. Mereka akan fokus pada tiga negara berpenduduk padat – Mesir, Brasil, dan Meksiko – dan dua negara dengan pendapatan per kapita lebih tinggi: UEA dan Arab Saudi. Populasi negara-negara ini sangat besar, dengan total hampir 500 juta orang.

Perkembangan J&T di Indonesia

Sama seperti Tiongkok, kondisi perusahaan logistik last-mile di Indonesia sudah begitu ramai. Robin Loo mengklaim perusahaan bisa mengirimkan hingga 2,5 juta paket per hari berkat kemitraannya dengan berbagai platform marketplace.

Para pesaing J&T secara mayoritas mengandalkan strategi yang serupa. Untuk pengiriman reguler dan satu hari sampai (next day), pembeli dapat memilih layanan pengiriman dari SiCepat, JNE, AnterAja, Ninja Express, hingga Shopee Express yang disediakan Shopee. Ini belum menghitung Grab Express dan GoSend yang menyediakan pengiriman instan.

Seluruh opsi pengiriman ini tersedia di seluruh marketplace. Setiap penjual diberi kebebasan untuk memilih mana saja yang dapat dijangkau oleh mereka. Kondisi terbilang wajar jika tidak semua layanan logistik tersedia dan dapat dipilih pembeli. Terlebih, bila belanja di Shopee, mayoritas pengiriman dikuasai Shopee Express.

Agar tidak kalah bersaing, belakangan J&T mengembangkan layanan kargo untuk pengiriman paket dengan berat dan vokume yang besar dengan SLA estimasi pengiriman 1-3 hari. Layanan pengiriman premium juga semakin diperluas cakupannya. tak hanya di Jabodetabek, tetapi juga bisa dinikmati di Bandung, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, dan Jambi.

Mempertanyakan Status Unicorn Layanan Logistik J&T Express

Pada 2017, perusahaan jasa ekspedisi J&T Express (J&T) mencatat jumlah pengiriman barang sebanyak 300 ribu paket per hari. Tiga tahun kemudian, J&T mencatatkan rekor pengiriman tertingginya dengan 2 juta paket per hari atau hingga 20 juta paket di sepanjang 2020.

Dalam enam tahun perjalanannya sejak berdiri di 2015, J&T telah mencatatkan milestone yang signifikan di industri logistik. Perusahaan kini telah memiliki 100 gateway center, 4000 operating point, 30.000 pegawai, dan ribuan armada untuk menjangkau seluruh Indonesia.

Perusahaan yang didirikan Jet Lee dan Tony Chen, para petinggi perusahaan ponsel Oppo, telah melebarkan sayap bisnis ke sejumlah negara di Asia Tenggara. Setelah Indonesia, J&T sudah hadir di Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Thailand.

Tahun ini J&T disebut telah menyandang predikat unicorn menurut daftar CB Insights. Valuasinya pun fantastis, $7,8 miliar atau sebesar Rp113,5 triliun. J&T menempati urutan kedua unicorn dengan valuasi terbesar di Indonesia setelah Gojek dan diklaim sebagai startup logistik pertama di Indonesia.

Model bisnis dan pendanaan baru

Informasi ini cukup banyak memunculkan pertanyaan. Pasalnya, J&T dinilai menggunakan model bisnis tradisional, sama halnya seperti perusahaan logistik legacy seperti JNE. Perusahaan juga dianggap tidak termasuk dalam kategori bisnis smart logistics.

Jika patokannya adalah valuasi, nilai yang dirilis CB Insights wajar mengingat perusahaan sudah beroperasi di empat negara. Namun, jika kembali pada asas startup yang sifatnya disruptif, tidak diketahui apa saja inovasi atau teknologi yang dikembangkan perusahaan selama enam tahun berdiri.

Dari observasi dan informasi yang dikumpulkan DailySocial, satu-satunya hal yang dapat menghubungkan J&T dengan predikat unicorn tersebut adalah pengaruh besarnya dalam memberikan ongkos kirim jasa pengiriman yang murah dan gratis melalui kemitraannya dengan e-commerce.

Hal ini terlihat dari strategi kunci J&T dalam menggandeng marketplace besar sejak 2017, yaitu Tokopedia, Shopee, dan Bukalapak. Saat itu, seperti dikutip dari Merdeka, CEO J&T Robin Lo menyebut bahwa jasa logistik dari bisnis e-commerce berkontribusi sebesar 50% terhadap pendapatan perusahaan di 2017.

Di situasi pandemi Covid-19, kontribusi tersebut naik signifikan. Terlebih, riset e-Conomy SEA 2020 yang dirilis Google, Temasek, dan Bain & Company menyebutkan bahwa sektor e-commerce masih menjadi motor penggerak ekonomi digital dengan pertumbuhan 54% atau $32 miliar.

Ketua Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Mahendra Rianto bereaksi terhadap hal ini dan menilai bahwa informasi ini sepatutnya disuarakan ke publik. Apalagi J&T juga berencana untuk go public di bursa Amerika Serikat (AS). Menurutnya, jika ini semata untuk menaikkan valuasi, sudah seharusnya pemerintah mulai mengatur persaingan sehingga pemain asing tidak dapat menghancurkan pasar logistik.

“Kami mempertanyakan apa iya sebesar itu valuasinya? JNE saja mungkin [valuasinya] sudah Rp10 triliun, kenapa tidak disebut unicorn? JNE menggunakan mitra di daerah-daerah, sedangkan J&T ‘nempel’ di titik JNE dengan modal sendiri. Apakah model business process [J&T] bisa tidak tidak terbatas di Indonesia? Persaingannya harus di medan yang pas lah,” paparnya saat dihubungi DailySocial.

Dengan rencana IPO ini, J&T berencana menghimpun pendanaan sebesar U$1 miliar atau sekitar Rp14,4 triliun usai mengantongi investasi sebesar $300 juta beberapa waktu lalu. “Penawaran ini bakal menaikkan valuasi J&T Express menjadi $5 miliar,” ungkap salah seorang sumber di perusahaan seperti diberitakan Bloomberg.

Mungkin saja, apabila IPO terealisasi, gebrakan inovasi teknologi J&T di smart logistics akan lebih banyak dilakukan tahun ini.

Smart logistics

Dalam beberapa tahun terakhir, investor menaruh investasi besar di vertikal smart logistics. Berdasarkan catatan kami, ada delapan deal investasi yang diperoleh startup logistik di sepanjang 2020.

Di awal tahun ini, SiCepat Ekspres (SiCepat), yang tidak bermula di bisnis smart logistics, juga telah menerima pendanaan signifikan dari VC. SiCepat memperoleh Rp2,4 triliun dari sejumlah investor, seperti Falcon House Partners, Kejora Capital, DEG (Lembaga Keuangan Pembangunan Jerman), MDI Ventures, hingga Pavilion Capital (anak perusahaan Temasek Holdings).

Hal yang membedakan SiCepat dan J&T adalah perusahaan mengambil strategi pengembangan inovasi dengan ekspansi horizontal yang masif. Perusahaan mencaplok kepemilikan 51% saham platform food delivery DigiResto yang berada di bawah naungan PT M Cash Integrasi Tbk (MCAS). Kemudian induk SiCepat, Onstar Express Pte. Ltd., berinvestasi ke Logitek Digital Nusantara (LDN) yang merupakan anak usaha Telefast, bagian dari grup M Cash.

Ekspansi ini menjadi strategi kunci SiCepat, terutama melalui DigiResto yang disebut telah terintegrasi dengan tiga ekosistem utama, yakni multi delivery, multi merchant, dan multi payment.

Bicara inovasi smart logistics, Co-Founder Paxel Zaldy Ilham Masita menilai sebetulnya pengembangan di segmen ini dinilai lebih sulit dibandingkan dengan vertikal lain, seperti digital payment atau fintech. Smart logistics berkaitan dengan barang fisik sehingga peranan manusia masih sangat diperlukan untuk perpindahan barang. Berbeda dengan fintech yang bisa mengubah uang fisik menjadi non-tunai (cashless). Apalagi industri logistik di Indonesia dinilai belum punya standar jadi.

Alhasil, proses manual masih banyak dilakukan dan sulit untuk mendigitalisasinya. Sementara digitalisasi di sektor keuangan dinilai lebih mudah karena sudah distandarisasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI).

“Contoh minor, standarisasi data. Misalnya, maksimum jumlah karakter untuk alamat dan format nomor telepon itu belum ada sehingga menyulitkan integrasi API antar-platform. Kalau smart logistics di luar negeri tinggal plug and play. Ini baru bicara standardisasi pra kondisi dari smart logistics,” ujarnya dihubungi DailySocial.

Dari situasi ini saja, sebetulnya ada peluang bagi pelaku startup logistik untuk masuk ke ranah pengembangan tools atau solusi yang belum terstandarisasi. Namun, lanjut Zaldy, pandemi Covid-19 menjadi momentum besar bagi sektor logistik untuk membantu mempercepat digitalisasi ke arah smart logistics. Konsumen mau tak mau “dipaksa” mengikuti proses berbasis digital.