DailySocial mendapat kesempatan berbincang langsung dengan Melvin Hade, Partner Global Founders Capital (GFC) untuk Asia Tenggara, Pakistan, dan Australia seputar tren, lanskap, dan rencana investasi di tahun ini.
Melvin, begitu ia disapa, dikenal sebagai anak muda Indonesia yang menjejakkan namanya dalam jajaran bergengsi Forbes “30 Under 30” angkatan 2020. Ia merupakan first hire GFC dari Indonesia yang telah menutup kesepakatan investasi di Indonesia, Singapura, Hong Kong, dan Filipina dengan total $22,15 juta per Januari 2020 mengacu data Forbes. Sebelumnya ia berkarier di perusahaan manajemen konsultan McKinsey & Company.
Global Founders Capital adalah perusahaan berafiliasi dengan Rocket Internet, perusahaan internet asal Jerman yang memiliki peran signifikan dalam mempopulerkan model bisnis berbasis internet/teknologi, termasuk di Indonesia. Rocket Internet adalah pendiri Lazada dan Zalora, platform e-commerce yang juga menjadi motor penggerak industri digital Asia Tenggara.
GFC didirikan sebagai kendaraan investasi yang memiliki model berbeda. Berdasarkan data terakhir, GFC telah mengelola lebih dari $1 miliar dana investasi di tahap seed dan growth di dunia, termasuk di antaranya Traveloka, Meta, LinkedIn, dan Eventbrite.
Berikut ini adalah rangkuman perbincangan kami dengan Melvin.
Perubahan karier dari consulting ke venture capital
Jawab: Saya memilih untuk menempuh jalur karir sebagai venture capitalist karena dua hal. Pertama, saya melihat ada banyak transisi orang bekerja di consulting atau investment banking, lalu pindah ke perusahaan teknologi. We are in the shifting period where technology and digitalization are happening across different sectors.
“Kedua, I think legacy is something that I’m striving for because being able to spot great companies in the early days is definitely a luxury. Before it becomes mainstream, I want to be part of their journey, sampai menjadi unicorn ke depannya. Similar to Patrick Walujo, the early investor of Gojek.”
Selain itu, [model pekerjaan] di consulting cukup mirip dengan VC. Kita bekerja dengan berbagai macam klien, industri, dan negara. Di venture capital space juga demikian di mana kami membantu banyak partner, perusahaan, dan founder.
Yang membedakan adalah consulting tidak berinvestasi di perusahaan. Di VC, stake lebih tinggi karena we’re basically voting with our dollar. From the decision-making point of view, there’s a need to be more convincing.
I felt like the VC role was more of an interesting role. So, I took a leap of faith and joined GFC in 2019 to start in Indonesia. I was the first hire in Indonesia back then. Initially, memang untuk [pasar] Indonesia saja.
Di 2020, we started to see SEA as a region and then added Pakistan and Australia into the scope in 2021. Ini evolusi dari pasar kami.
Bagaimana Melvin menemukan peluang bisnis yang menarik
Jawab: We are slowly building the team in Indonesia, then in SEA. When we enlarge the new market, we also have a local team yang membantu melihat peluang ini. Di Asia Tenggara, kami punya tim di Vietnam, Filipina, dan Pakistan. Di Australia, kami sedang hiring. I think the team expansion is one of the thing that help me in covering these different markets. Total saat ini ada 11 orang di Asia Tenggara dan Pakistan, termasuk tujuh orang di Indonesia. Penambahannya cukup banyak karena hanya ada dua orang di 2019.
These markets is actually quite similar, especially Pakistan and SEA. Apa yang terjadi di Indonesia dua tahun lalu, sekarang sedang terjadi di Pakistan. Misalnya saja, vertikal edtech dan healthtech. Jadi untuk memahami model apa yang akan berhasil di sana, itu tidak terlalu sulit, karena kami melihat pola serupa di Indonesia dan India.
At the model level, seharusnya bisa applicable untuk startup tahap awal di SEA. Misalnya, ride-hailing dan quick commerce ada di hampir semua negara. Di Indonesia ada Gojek, di Singapura ada Grab.
Perbedaannya terletak di level operasional saja, target pasar, dan skema pricing. We see so many local champions, 90% mirip, baik itu regulasi, demografi, atau culture. Mungkin perbedaan signifikan apabila kita membandingkan negara maju dan negara berkembang. Indonesia vs Singapura misalnya.
I think metrics paling relevan untuk mengukur kemiripan itu adalah GDP per capita, how developed is the economy. Thats how we look at the different market.
Model yang berubah ketika sudah scale up
Jawab: Ketika perusahaan masuk ke fase growth, langkah pertama adalah mencari peluang baru di pasar. Kita lihat Traveloka ekspansi ke food dan lifestyle, dari sebelumnya yang hanya fokus di transportasi dan hospitality. Ketika perusahaan semakin besar, mereka harus meningkatkan pangsanya. Kalau tetap di situ-situ saja, tidak ada ekspansi, valuasi akan mentok. That’s the reason larger companies expand to other verticals.
If we talk about fintech, everyone wants to become a bank karena itu yang membuka kesempatan baru dan meningkatkan profitabilitas. Xendit mau menjadi bank. Lalu, di ranah e-commerce, Astro has already introduced their own product aside from groceries and are also thinking of entering food delivery. Those are the expansion opportunities in the growth stages. Tapi ini natural karena mereka harus berkembang dan meningkatkan valuasi. There are a lot of expectations to continue to grow.
Bentuk support GFC ke portofolionya
Jawab: Kami tidak bisa berjalan sebagai VC dengan memberikan investasi saja. Industri ini kompetitif sekali. Apabila ada great company, great founder, kami akan coba lakukan yang terbaik. Bagaimana meyakinkan mereka untuk bekerja bersama GFC? Kami tidak menanamkan mindset, “I’m a shareholder, you should work for me”, tetapi justru sebaliknya. Kami bekerja untuk mereka.
Kami membantu pitch deck, menetapkan strategi, dan bagaimana melakukan pitching. Kami memiliki portfolio support team di mana kami berperan sebagai consultant untuk founder. Selain itu, kami juga bantu, misalnya, melakukan benchmarking dengan portofolio kami di global terkait UI/UX apa yang bagus. Kemudian, kami compile riset dan pengalaman di lapangan, apakah dapat diterapkan di Indonesia.
Given that we back companies globally and we can back the same models across the market, we can extract learning some of the best practices. Contoh, we backed eight players in quick commerce and e-grocery, dari UK, Kanada, Australia, India, dan Mesir. Kami bisa ambil pembelajaran dan pengalaman mereka dan kami bagikan ke portofolio early stage kami.
Kami ingin memastikan setiap portofolio kami dapat dapat memberikan testimoni yang baik terhadap GFC, karena yang dapat membuat kami win in this game adalah bagaimana pengalaman mereka bekerja dengan kami. Apa gunanya buat tech unicorn tapi mereka bilang hal yang buruk tentang GFC.
Proyeksi dan tren industri digital di 2022
Jawab: Saya melihat perkembangan di industri ini sedang melambat. Maka itu, saya pikir tahun ini akan menjadi tahun yang sulit bagi startup untuk fundraising dibandingkan 2021. Tahun ini trennya akan kembali ke fundamental. Companies that will thrive are the companies with strong fundamentals dan unit economics. Bukan seolah-olah ‘meningkatkan’ valuasi perusahaan saja.
Tahun lalu menjual mimpi masih memungkinkan, tetapi sekarang akan sulit karena public market sedang melambat. Beberapa pemberitaan global melaporkan growth-staged investors is pulling back their term sheet, valuasi di global dikoreksi even though the term sheets are already issued. I think we’ll see more of that, [investor] akan lebih cautious ke valuasi.
In terms of sector, I think a mix of new retail in Indonesia will continue to grow. It’s always an exciting story, thanks to Kopi Kenangan being the first new retail unicorn company in SEA, vertikal ini bisa berpeluang menghasilkan unicorn juga. Pada portofolio kami, we backed a new retail company called Fithub in Indonesia. Modelnya mirip dengan Kopi Kenangan, sama-sama untuk mass market, tetapi Fithub ini ingin menjadi fitness chain. Fithub ingin menjadi fitness center dengan biaya lebih terjangkau dari penyedia fitness terkemuka yang sudah ada.
Vertikal selanjutnya adalah e-grocery. Kami lihat pemain e-grocery terus berkembang, seperti Astro dan Eden Farm di Indonesia. Dengan situasi Indonesia saat ini menghadapi gelombang ketiga pandemi, saya rasa vertikal ini akan terus tumbuh.
And then neobank. Banking is always the end game for many fintech, and the first hurdle is to buy a bank or get a license. Contohnya, portofolio kami, HonestBank yang akan beroperasi tahun ini. Ada juga BukuWarung yang ingin menjadi neobank dengan memberikan lending untuk UMKM. Itu karena produk mereka dipakai UMKM atau warung. Lalu, ada RocketPocket yang ingin menjadi neobank untuk segmen remaja di tahun ini. Model ini mengikuti FamPay, neobank asal India yang juga salah satu portofolio kami.
Rencana investasi GFC untuk Asia Tenggara, Pakistan, dan Australia di 2022
Jawab: Today we have more than 60 companies across the region. In terms of investment, we see ourselves as an early-stage VC (pre-seed, seed, dan pre-series A). Kami sangat jarang masuk di series C dan D untuk di investasi pertama karena entry point kami selalu di pre-seed to series A.
Meskipun kami cukup sector-agnostic, kami terbuka terhadap berbagai industri. Kami melihat ada tiga sektor utama di Asia Tenggara, Pakistan, dan Australia, yaitu (1) consumer tech; misal Traveloka dan Astro jika bicara pasar Indonesia, (2) fintech sebagai salah satu big pillar, dan (3) B2B software enterprise solution. Tapi sebetulnya kami cukup agnostik juga.
Kami tidak pernah tentukan target tertentu karena kami tidak bisa memprediksi berapa banyak startup yang berkualitas bagus. Biasanya ini bergantung pada kondisi pasar. Secara historical, kami umumnya berinvestasi antara 10-20 startup baru setiap tahunnya. There are also a follow-on investment for our existing portfolio companies about 10-15. Jadi total investasi baru dan existing adalah 35.
Ticket size untuk early stage berkisar $250.000 sampai $5 juta, sedangkan untuk growth stage bisa up to $25 juta. Indonesia punya peran dominan mayoritas in the deployment, Indonesia is a key market for GFC, we can see around 40%-50% of the investment pipeline originates from Indonesia. For now, we still have a lot of capital to deploy karena kami tutup fund kedua di Desember 2019.
Bagaimana GFC mendorong akselerasi portofolio di early stage saat pandemi
Jawab: Ada dua hal. Pertama, kami membantu proses fundraising secara end-to-end, mulai dari timing, pembuatan materi fundraising, hingga introduction to top investors. Kedua, kami mengumpulkan insight tentang tren di global bagi portofolio kami. With regards to specific models, misalnya, kami melihat bagaimana sentimen pasar terhadap e-grocery.
“Fundraising in the early stages menjadi ajang untuk ‘land grabbing’ investor to the cap table, karena ketika investor sudah berinvestasi di satu startup, mereka tidak bisa berinvestasi di [startup] kompetitor lainnya.”
Jadi ini menjadi tiga forte kami bagi startup early stage di GFC, yaitu global insight and network, keterlibatan terhadap proses fundraising, dan portfolio consulting project.