Sponsorship merupakan salah satu sumber pemasukan utama bagi tim esports. Bagi perusahaan yang menjadi sponsor, popularitas tim esports tidak kalah penting dari prestasi mereka. Dan salah satu cara paling mudah untuk mengukur popularitas sebuah tim esports adalah dengan mengamati media sosial mereka. Semakin banyak orang yang mengikuti akun media sosial sebuah tim esports, semakin populer juga tim tersebut. Karena itu, menjelang akhir tahun 2021, Hybrid.co.id memutuskan untuk membuat daftar tim-tim esports terpopuler di empat media sosial yang berbeda.
Instagram
Di Instagram, EVOS Esports berhasil menjadi organisasi esports yang paling populer, dengan jumlah pengikut sebanyak 7,1 juta orang. Dalam setiap post yang mereka buat, jumlah rata-rata likes yang mereka dapatkan adalah 20,4 ribu likes. Sayangnya, tingkat engagement dari akun EVOS sangat rendah, hanya mencapai 0,29%. Meskipun begitu, menurut situs Social Blade, akun Instagram EVOS pantas untuk mendapatkan nilai A-.
Setelah EVOS, Team RRQ merupakan organisasi esports terpopuler ke-2. Jumlah pengikut RRQ di Instagram adalah 3,9 juta orang. Walau jumlah pengikut RRQ lebih sedikit dari EVOS, tingkat engagement dari akun RRQ jauh lebih tinggi, mencapai 1,65%. Untuk setiap unggahan, jumlah rata-rata likes yang mereka dapat juga lebih tinggi, yaitu 61,2 ribu likes. Hanya saja, ranking RRQ di Social Blade sedikit lebih rendah dari EVOS, yaitu B+.
Dalam daftar organisasi esports terpopuler di Instagram, Bigetron Esports dan ONIC Esports ada di posisi ke-3 dan ke-4. Memang, jumlah pengikut keduanya tidak jauh berbeda; Bigetron memiliki 1,5 juta pengikut dan ONIC 1,4 juta followers. Keduanya juga sama-sama mendapatkan ranking B+ di Social Blade.
Soal tingkat engagement, akun Bigetron memiliki engagement paling tinggi dari empat tim esports lainnya, mencapai 1,96%. Sementara ONIC memiliki tingkat engagement sebesar 1,29%. Jumlah rata-rata likes yang Bigetron dapat pada setiap unggahan mereka mencapai 30,4 ribu likes, sementara ONIC hanya mendapatkan 17,4 ribu likes per post.
Posisi organisasi esports terpopuler ke-5 diisi oleh Alter Ego Esports. Akun Instagram dari organisasi esports tersebut memiliki 570 ribu pengikut, dengan tingkat engagement 1,69%, dan jumlah rata-rata likes sebanyak 9,4 ribu likes pada setiap unggahan. Di Social Blade, ranking dari akun Alter Ego adalah B.
Twitter
Instagram dan Twitter memang sama-sama media sosial. Namun, keduanya punya fokus yang berbeda. Jika Instagram fokus pada foto dan video, Twitter lebih fokus pada kata-kata singkat. Meskipun begitu, tim-tim esports yang berhasil meraih popularitas di Twitter tetaplah tim-tim besar dengan berbagai prestasi.
Di Twitter, organisasi esports asal Indonesia yang paling populer adalah Bigetron, dengan jumlah pengikut sebanyak 39,4 ribu orang. Sejak dibuat pada Februari 2019, akun Twitter Bigetron telah mendapatkan 3,6 ribu likes. Sementara itu, peringkat 2 diduduki oleh BOOM Esports yang berhasil mengumpulkan 32,3 ribu followers dan 2,1 ribu likes. EVOS — yang ada di peringkat 3 — juga punya 32,3 ribu pengikut, sama seperti BOOM. Hanya saja, jumlah likes dari akun Twitter EVOS itu hanya mencapai 366.
Dengan jumlah pengikut sebanyak 17,2 ribu orang, RRQ menjadi tim terpopuler ke-4 di Twitter. Sejauh ini, total likes yang didapat oleh akun RRQ adalah 1,3 ribu likes. Terakhir, peringkat 5 dalam daftar organisasi esports Indonesia terpopuler di Twitter diambil oleh Alter Ego, yang memiliki 11,2 ribu pengikut dan telah mendapatkan 214 likes.
TikTok
Di TikTok, EVOS Esports kembali memegang gelar organisasi esports Indonesia paling populer. Jumlah pengikut dari akun TikTok EVOS adalah 3,5 juta orang. Sejauh ini, mereka telah mengunggah 628 video pendek. Dari ratusan video tersebut, EVOS berhasil mendapatkan 23,9 juta likes.
Peringkat dua dari daftar organisasi esports terpopuler di TikTok dipegang oleh RRQ dan peringkat tiga oleh Bigetron. Jumlah pengikut RRQ di TikTok mencapai 1,1 juta, sementara Bigetron 1 juta orang. Jumlah video yang telah diunggah oleh dua organisasi esports itu juga jauh berbeda; RRQ telah mengunggah 242 video pendek, dan Bigetron 273 video. Soal jumlah likes, Bigetron berhasil mengalahkan RRQ. Jumlah total likes yang didapatkan oleh Bigetron di TikTok adalah 13,4 juta likes, sementara RRQ hanya 10,8 juta likes.
Sebenarnya, ada akun yang menggunakan atribut esports yang lebih populer daripada RRQ. Hanya saja, konten yang diunggah oleh akun tersebut sering tidak relevan dengan dunia game atau esports. Karena itu, kami memutuskan untuk tidak memasukan akun tersebut ke daftar ini.
Setelah RRQ dan Bigetron, ONIC menjadi organisasi esports paling populer keempat di TikTok. Jumlah pengikut ONIC mencapai 317,5 ribu orang, dengan total likes sebanyak 3,6 juta likes. Terakhir, posisi kelima diisi oleh Alter Ego. Organisasi esports itu memiliki 271,6 ribu pengikut di TikTok dan telah mengumpulkan 2,1 juta likes.
YouTube
Lima organisasi esports dengan subscribers terbanyak di YouTube adalah RRQ, EVOS, Bigetron, Alter Ego, dan ONIC Esports. Empat dari lima organisasi esports itu sudah memiliki channel resmi YouTube. RRQ berhasil menjadi raja di YouTube, dengan 2,86 juta subscribers dan total views sebanyak 331,8 juta views. Menurut Social Blade, jumlah pemasukan bualanan yang RRQ dapat channel YouTube mereka ada di rentang US$2,4 ribu (sekitar Rp34,2 juta) sampai US$38,2 ribu (sekitar RP545,5 juta).
EVOS berhasil menjadi organisasi esports dengan jumlah subscribers terbanyak setelah RRQ. Saat artikel ini ditulis, channel YouTube EVOS memiliki 2,84 subscribers dan telah mengumpulkan 303,9 juta views. Diperkirakan, setiap bulannya, pemasukan yang didapat oleh EVOS dari channel YouTube mereka mencapai sekitar US$1,5 ribu (sekitar Rp21,4 juta) sampai US$23,4 ribu (sekitar Rp334,2 ribu).
Dengan 1,6 juta subscribers dan 203,1 juta views, Bigetron menjadi organisasi esports paling populer ke-3 di YouTube. Total pemasukan bulanan Bigetron dari YouTube diperkirakan mencapai US$1,2 ribu (sekitar Rp17 juta) sampai US$19,3 ribu (sekitar Rp275,6 juta).
Sementara itu, Alter Ego ada di posisi ke-4 dalam daftar organisasi esports terpopuler di YouTube. Channel organisasi tersebut memiliki 515 ribu subscribers dan 49,6 juta views. Alter Ego diperkirakan mendapatkan US$175 (sekitar Rp2,5 juta) sampai US$2,8 ribu (sekitar Rp40 juta) setiap bulannya dari channel YouTube mereka. Daftar organisasi esports terpopuler di YouTube ditutup oleh ONIC, yang memiliki 337 ribu subscribers dan 40 juta views.
Sekarang, menjadi pemain esports memang bukan hanya mimpi di siang bolong. Gaji pemain profesional bisa mencapai lebih dari Upah Minimum Region (UMR) Jakarta. Sayangnya, kesempatan untuk menjadi pemain profesional juga sangat kecil, kurang dari satu persen. Kabar baiknya, jika Anda tertarik untuk masuk ke dunia esports, ada berbagai pekerjaan lain yang bisa Anda lakukan, mulai dari manajer, videografer, sampai psikolog. Dan meskipun game dan esports sering dielu-elukan sebagai dunia laki-laki, bahkan perempuan juga punya tempat di industri ini.
Demi mencari tahu tentang bagaimana organisasi-organisasi esports besar Indonesia mencari staf baru, Hybrid.co.id menghubungi dua narasumber yang pernah bekerja di dua organisasi esports Indonesia. Keduanya memilih untuk tidak disebutkan namanya. Satu hal yang pasti, dua organisasi esports tempat narasumber kami bekerja pernah memenangkan turnamen esports di tingkat nasional dan internasional.
Ketika ditanya tentang bagaimana mereka bisa menjadi bagian dari organisasi esports besar, dua narasumber kami mengungkap, karir mereka di esports berawal dari ajakan teman. Meskipun begitu, salah satu narasumber kami mengatakan, saat ini, proses penerimaan karyawan di organisasi esports besar sudah sama seperti proses penerimaan kerja di perusahaan-perusahaan dari industri lain.
“Sebenarnya, kalau sekarang, proses penerimaan pegawai sudah mirip kayak job vacancy pekerjaan lain,” ujar narasumber kami saat dihubungi melalui pesan singkat. “Cuma, waktu aku ditawarin, memang masih pakai asas kepercayaan dan ajak-ajak orang yang sudah dikenal.”
Hal serupa diungkapkan oleh Yohannes “Joey” Siagian, CEO Morph Team. Dia menjelaskan, ketika hendak mencari pegawai baru, Morph akan membuka lowongan. Setelah itu, mereka akan meninjau CV yang dikirimkan oleh pelamar. Dari sana, mereka akan memilih pelamar yang akan diwawancara. Untuk jabatan tertentu, pelamar akan diberikan tes atau diminta untuk menunjukkan portofolio mereka.
“Tapi, apabila kita melihat ada orang yang menurut kita memiliki talent, kita akan approach, meskipun mungkin saat itu, tidak ada posisi kosong di Morph,” ujar pria yang akrab dengan panggilan Joey ini. “I’m a firm believer that you don’t waste talent. So, if you see it, see how it can fit in your organization.”
Tidak heran jika proses penerimaan kerja di organisasi esports tidak berbeda dengan perusahaan lain. Pasalnya, sekarang, esports sudah menjadi industri. Jadi, orang-orang yang bekerja di dalamnya pun dituntut untuk bersikap profesional. Setelah seseorang diterima untuk bekerja di organisasi esports, mereka juga harus melalui masa probasi. Waktu probasi di setiap organisasi esports berbeda-beda.
Dua narasumber anonim kami mengungkap, saat pertama kali diterima bekerja, mereka harus melalui masa probasi selama 3 bulan. Sementara di Morph, Joey mengatakan, masa probasi adalah sekitar 2-3 bulan. BOOM Esports memiliki masa probasi paling singkat, yaitu hanya sekitar 1-2 bulan. Waktu probasi yang ditetapkan oleh organisasi esports tidak jauh berbeda dengan masa probasi di perusahaan lain. Sebagai perbandingan, pada awal bekerja di Hybrid.co.id, saya juga harus melalui masa probasi selama 3 bulan sebelum diangkat sebagai pegawai tetap.
Pegawai Tetap, Pegawai Kontrak, dan Beban Kerja
Pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah No. 35/2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja, Hubungan Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja pada Februari 2021. Dengan itu, maksimal durasi kontrak antara pekerja dan perusahaan bertambah, menjadi 5 tahun. Sebelum PP No. 35 disahkan, maksimal durasi kontrak antara pegawai dan perusahaan hanyalah 3 tahun.
Meskipun begitu, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan bahwa perlindungan yang didapat oleh pekerja kontrak alias Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) sama dengan pekerja tetap, khususnya terkait kompensasi setelah hubungan bekerja berakhir, menurut laporan Bisnis.
Pada prakteknya, dalam sebuah perusahaan, sebagian pegawai akan memegang status pegawai tetap dengan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) dan sebagian yang lain menjadi pegawai kontrak. Misalnya, Di Merah Cipta Media, sebanyak 91% karyawan merupakan pegawai tetap dan 9% sisanya pegawai kontrak.
Arif Hardiyanto sebagai GM Operations, DailySocial.id. menjelaskan, untuk diangkat sebagai pegawai tetap, seseorang yang terikat dengan PKWTT harus lolos masa probasi. Sementara jika seseorang terikat dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), dia harus mendapatkan penilaian kontrak yang bagus.
Salah satu perbedaan antara pegawai kontrak, pegawai tetap, dan freelancer adalah jatah cuti. Pegawai tetap mendapatkan 14 cuti dalam 1 tahun, sementara pegawai kontrak tergantung pada lama kontrak kerja. Dan pegawai freelance tidak mendapatkan cuti atau pun benefit kesehatan, seperti asuransi. Selain itu, freelancer juga tidak harus bekerja setiap hari. Jadi, gaji yang diberikan akan tergantung pada kesepakatan perjanjian bersama.
Perusahaan punya alasan tersendiri untuk mempekerjakan seseorang sebagai pegawai tetap atau pegawai kontrak. Masing-masing status punya keuntungan tersendiri untuk perusahaan. Ketika ditanya tentang hal ini, Arif menjawab, “Keuntungan karyawan tetap adalah karyawan lebih loyal. Keuntungan karyawan kontrak adalah ketika pekerjaan sudah selesai, maka manpower tidak besar. Dan keuntungan freelancer adalah tidak ada biaya untuk tambahan benefit lain.”
Satu hal yang membedakan organisasi esports dengan perusahaan biasa adalah kebanyakan organisasi esports tidak punya pegawai tetap. Jadi, semua pekerja yang mereka pekerjakan merupakan pegawai kontrak. Tentu saja, ada beberapa organisasi esports yang menawarkan status sebagai pegawai tetap, seperti BOOM Esports.
Dua narasumber anonim kami mengatakan, organisasi esports tempat mereka bekerja hanya menggunakan sistem kontrak. Dan kontrak mereka ditinjau setiap tahun. Salah satu dari mereka menyebutkan, terkadang, tugas yang dia dapat di lapangan berbeda dengan kontrak. “Namanya juga startup yang lagi berkembang jadi perusahaan. Tapi, itu biasa sih. Soalnya, gaji naik sesuai dengan beban kerja,” ujarnya. “Pas naik gaji, dapat kontrak baru.”
Bagi manajer tim, kontrak mereka juga akan ditinjau setiap musim. Salah satu narasumber kami mengatakan, jika performa tim turun, maka pihak manajemen organisasi esports akan mencoba untuk mencari tahu sumber dari masalah penurunan performa.
“Kalau memang ada masalah, akan selalu diusahakan untuk diselesaikan secepatnya,” ujar sang narasumber. “Hal-hal itu yang akan dilihat dari manajer juga.” Di atas kertas, tugas seorang manajer “hanyalah” mendampingi para pemain yang menjadi tanggung jawabnya. Namun, dia menjelaskan, seorang manajer biasanya akan tinggal di gaming house, yang juga merupakan kantor mereka. Hal itu berarti: “Bangun dan tidur adalah penanda jam kerja,” ceritanya sambil tertawa. Kabar baiknya, durasi jam kerja yang lebih panjang berarti para manajer bisa mendapatkan benefit lain selain gaji.
Mengingat kebanyakan turnamen esports digelar pada akhir pekan dan tugas manajer adalah mendampingi tim, maka biasanya, manajer tim esports tidak libur pada akhir pekan. Narasumber kami menjelaskan, hari libur para manajer biasanya disesuaikan dengan jadwal dari tim, baik ketika musim pertandingan berlangsung atau setelah musim kompetisi usai.
“Kalau untuk manajer tim, pas season ada satu hari libur. Biasanya hari Senin atau Selasa karena weekend dipakai tanding,” ujar sang narasumber. “Kalau lagi offseason, biasanya mengikuti jadwal persiapannya. Libur panjang juga bisa tapi, ya tergantung jadwal season depannya bagaimana. Biasanya, jeda season itu 2 bulanan. Ada libur sekitar hampir satu bulan bagi tim. Jadi, manajer libur juga di situ. Tapi, jadwal liburnya kalau offseason dikurangi 2 hari. Karena, manajer adalah orang terakhir yang meninggalkan GH dan orang pertama yang datang ke GH sebelum pada datang.”
Bagi organisasi esports, popularitas tidak kalah pentingnya dengan prestasi. Karena itu, banyak organisasi esports yang punya divisi khusus untuk menangani streamer atau brand ambassador. Menurut salah satu narasumber kami, orang-orang yang bekerja di bagian manajemen talenta biasanya punya kesempatan untuk mendapatkan status sebagai pegawai tetap.
BOOM Esports adalah salah satu organisasi esports yang mempekerjakan pegawai kontrak dan pegawai tetap. Gary Ongko Putera, CEO BOOM Esports mengatakan, salah satu hal yang menentukan apakah seseorang menjadi pegawai tetap atau pegawai kontrak di BOOM adalah tugas yang dia emban. Orang yang duduk di posisi manajemen punya kesempatan untuk menjadi pegawai tetap.
“Kalau manajemen, seperti office work, lebih aman dan tidak terlalu ada kaitannya dengan performa tim,” ujar Gary. “Kalau manajer tim kan sebenarnya ada kemungkinan tidak cocok. Sementara untuk videografer atau tim kreatif, sebagian full-time dan sebagian proyek-based. Tergantung dengan senioritas dan job description mereka sih.”
“Yang penting buat saya, kita di BOOM Esports nggak punya niat buruk,” kata Gary. “Jadi sebenarnya, lebih ke formalitas.” Dia mengungkap, kontrak antara BOOM dan pegawainya dibuat untuk mencegah tentang masalah di masa depan. Pasalnya, di esports, kontrak yang bermasalah memang sesuatu yang masih terkadang terjadi. Misalnya, untuk pemain di bawah 18 tahun, kontrak tidak ditandatangani oleh orang tua. Anda bisa membaca lebih lanjut tentang masalah bursa transfer dan kontrak pemain esports di Indonesia di sini.
Terkait cuti, Gary menjawab bahwa cuti atau libur staf dan pemain di BOOM biasanya disesuaikan dengan jadwal mereka. “Kalau tim, ya pas tim libur. Kalau tim kreatif, ya menyesuaikan jadwal,” ujarnya. “I’m not rigid. Saya tipe orang yang, you do you, but get your job done good. Lumayan banyak freedom di BOOM.”
RRQ adalah organisasi esports lain yang menggunakan sistem kontrak dan tetap. CEO RRQ, Andrian Pauline alias AP mengatakan, RRQ punya sekitar 50 staf yang bukan atlet. Sebagian dari mereka merupakan pegawai tetap, dan sebagian yang lain pegawai kontrak. AP menjelaskan, performa menjadi kriteria utama untuk menentukan status ketenagakerjaan seseorang. Namun, dia juga mengungkap, pegawai kontrak dan pegawai tetap mendapatkan benefit dan perlakuan yang sama.
Sementara itu, Morph adalah salah satu organisasi esports yang hanya menggunakan sistem kontrak untuk semua pegawai mereka. Joey menjelaskan, di Morph, salah satu kriteria yang mereka cari dari pelamar kerja adalah potensi.
“Kadang memang ada tugas yang memerlukan skillset yang sudah baku, seperti psikolog atau pengacara. Tapi, secara umum, saya lebih memilih untuk mencari staf yang mungkin masih kurang pengalaman atau masih ada yang perlu dipelajari, tapi punya potensi besar daripada mempekerjakan staf yang sudah punya jam terbang, tapi tidak banyak berkembang lagi,” ujar Joey.
“Overall yang saya biasa cari di staf adalah potensi berkembang, skill, kreativitas, dan kemampuan berkomunikasi yang baik,” katanya. “Saya juga sangat mempertimbangkan niat dan antusias yang ditunjukkan oleh calon staf. Mungkin ini alasannya kenapa bagi saya wawancara merupakan salah satu bagian terpenting dari proses hiring staff di Morph. CV yang penuh, ijazah dari kampus ternama, atau referensi itu semua bisa memberikan informasi yang bagus, tapi until you sit across from a candidate and talk for awhile it’s hard to know if its a potential good fit or not.”
Sementara itu, bagi Gary, salah satu kesulitan yang biasa dihadapi oleh organisasi esports ketika hendak mencari pegawai baru adalah mencari orang yang tidak hanya punya pengetahuan tentang industri esports, tapi juga punya pengalaman. “Biasanya, kita bisa mendapat orang yang punya pengalaman atau orang yang mengerti esports, tapi tidak punya pengalaman,” ungkapnya sambil tertawa. Untuk posisi seperti manajer, masalah yang biasa ditemukan adalah kecocokan dengan tim.
Kesimpulan
Pada awalnya, orang-orang yang bekerja di dunia esports adalah mereka yang memang punya passion di bidang competitive gaming. Namun, sekarang, esports sudah semakin diterima oleh masyarakat luas. Walau, tak bisa dipungkiri, akan selalu ada orang-orang yang memandang industri esports sebelah mata atau menganggap game sebagai pengaruh buruk pada anak dan remaja.
Seiring dengan semakin populernya esports, semakin banyak pihak yang tertarik untuk menjajaki dunia ini, bahkan perusahaan-perusahaan yang tidak punya kaitannya dengan industri esports, seperti bank. Karena esports kini sudah menjadi industri, maka orang-orang yang bekerja di dalamnya pun dituntut untuk bersikan profesional. Jadi, tidak heran jika organisasi esports sekali pun mencari pegawai baru dengan metode yang sama seperti perusahaan konvensional.
Tentu saja, bekerja di industri esports akan menawarkan tantangan tersendiri, khususnya bagi orang-orang yang terlibat langsung dengan para pemain profesional. Misalnya, jam kerja yang tidak tentu atau harus bekerja di akhir pekan. Pada akhirnya, jika Anda memang senang dengan dunia esports dan siap untuk bekerja sesuai ritme para pelaku dunia esports, Anda bisa mencoba untuk menjadi bagian dari ekosistem esports, walau tidak sebagai pemain.
Bidang sports engineering terbukti bisa menghasilkan peralatan yang dapat meningkatkan performa atlet olahraga tradisional. Seiring dengan semakin populernya esports, maka semakin banyak pula perusahaan yang tertarik untuk membuat peralatan bagi para gamers profesional. Dan perangkat itu tidak terbatas pada smartphone, mouse, keyboard, atau peripheral elektronik lainnya, tapi juga kursi gaming, sepatu gaming, smartwatch, dan perangkat yang bisa dikenakan lainnya.
Perusahaan sepatu ternama — seperti Nike, Puma, dan adidas — juga pernah membuat sepatu untuk gamers. Seperti Air Jordan 1 Zoom dari Nike atau X9000 dari adidas. Puma bahkan meluncurkan “Active Gaming Footwear”, kaos kaki yang diklaim bisa memberikan kenyamanan yang diperlukan oleh gamers profesional. Dan tampaknya, di masa depan, akan ada semakin banyak produk yang ditujukan untuk gamers atau atlet esports profesional.
Adakah Regulasi untuk Peralatan yang Digunakan oleh Pemain?
Fairness adalah bagian penting dari kompetisi olahraga, tidak terkecuali esports. Karena itu, penyelenggara turnamen atau game esports biasanya akan membuat regulasi terkait peralatan yang boleh digunakan oleh para peserta. PUBG Mobile adalah salah satu game yang tidak hanya mengatur peralatan yang bisa digunakan oleh pemain, tapi juga regulasi terkait seragam yang dikenakan oleh peserta.
Dalam PUBG Mobile Rulebook V1.2.1 yang dirilis pada Juni 2021, disebutkan bahwa semua pemain yang ikut serta dalam kompetisi hanya boleh menggunakan perangkat berbasis Android dan iOS. Untuk PUBG Mobile Pro League (PMPL) Indonesia Season 4, bahkan sudah ada smartphone resmi yang digunakan, yaitu realme GT Master Edition. Selain itu, peserta juga tidak boleh menggunakan aksesori tanpa izin dari pihak penyelenggara turnamen. Contoh aksesori yang disebutkan dalam buku regulasi itu adalah adapter, controllers, keyboard Bluetooth, dan mouse.
Rulebook PUBG Mobile juga membahas tentang pakaian yang boleh dikenakan oleh para peserta kompetisi. Di buku itu, tertulis bahwa semua anggota tim esports yang bertanding harus menggunakan seragam tim, yang terdiri dari jersey, jaket, topi, dan celana. Khusus untuk jaket dan topi, pemain dibebaskan untuk mengenakan atau melepasnya sepanjang turnamen. Di PUBG Mobile Rulebook, juga disebutkan bahwa pihak penyelenggara punya hak untuk melarang peserta menggunakan pakaian tertentu jika pakaian itu melanggar Regulasi Umum.
Selama kompetisi, peserta juga diharuskan untuk mengenakan celana panjang dan sepatu. Avatar pemain dalam game juga diwajibkan untuk mengenakan pakaian. Pemain juga dilarang untuk mengganti pakaian dari avatar mereka, demi kepentingan estetika atau comic effect. Sementara itu, pelatih tim diharuskan mengenakan pakaian resmi.
Terkait smartphone yang digunakan dalam kompetisi esports, Herry Wijaya, Head of Operation Mineski Global Indonesia mengatakan, dua hal yang harus diperhatikan daalah touchscreen dan WiFi.
“Dulu, ada banyak smartphone yang touchscreen-nya tidak bisa sensitif saat digunakan dengan lebih dari dua jari. Sekarang, kebanyakan sudah responsif bahkan dengan lebih dari tiga jari,” ujar Herry saat dihubungi oleh Hybrid. Sementara untuk masalah WiFi, yang harus diperhatikan adalah apakah performa smartphone akan mengalami penurunan ketika ia terhubung ke WiFi serta charger secara bersamaan. Herry mengaku, Mineski biasanya akan menguji smartphone yang akan digunakan di kompetisi, untuk memastikan ponsel itu memang punya performa yang mumpuni.
Di sisi tim esports, ketika ditanya tentang smartphone yang digunakan oleh tim RRQ, CEO Andrian Pauline alias AP mengungkap bahwa mereka selalu menggunakan smartphone yang disarankan oleh publisher game. Alasannya adalah agar pemain sudah terbiasa menggunakan smartphone itu. Sehingga mereka tidak kagok ketika bertanding di kompetisi resmi.
Sekarang, mari beralih ke skena fighting game. Jika dibandingkan dengan mobile esports, fighting game menawarkan opsi perangkat yang lebih beragam, mulai dari gamepad, arcade stick, sampai hit box. Faktanya, komunitas fighting game sempat terbelah menjadi dua: kubu arcade stick dan kubu gamepad. Hybrid pernah membahas tentang perbedaan antara keduanya di sini.
Pada September 2019, EVO — turnamen fighting game terbesar di dunia — mengeluarkan peraturan terkait controllers yang bisa digunakan oleh para peserta. Mereka membuat regulasi ini sebagai jawaban dari banyak pertanyaan terkait controller dan modifikasi yang dibolehkan dalam kompetisi resmi. Pertanyaan itu datang dari peserta dan manufaktur controllers.
To resolve the ambiguity around custom controllers, we’re developing guidelines around what is and is not tournament legal at @Evo. We’d like feedback from the community. Here’s a sneak peek: https://t.co/hKEtN4fqfd
“Para pemain tidak tahu controllers apa yang boleh digunakan di turnamen, sehingga mereka memilih untuk menggunakan gamepad dan fightstick tradisional. Hal ini membatsi opsi controller yang bisa dipilih oleh pemain, membuka kemungkinan bahwa pemain tidak memilih controller yang paling sesuai dengan gaya mereka,” tulis EVO dalam Google Docs. “Manufaktur controllers juga menjadi bimbang apakah produk mereka bisa digunakan di turnamen resmi, yang bisa menghambat inovasi. Untuk menjawab ketidakpastian ini, EVO telah membuat peraturan terkait controller buatan pihak ketiga.”
Secara garis besar, ada tiga peraturan yang EVO tetapkan. Pertama, satu mekanisme input dalam controller tidak boleh mengaktifkan beberapa input sekaligus. Pengecualian dari aturan ini adalah input arah (atas, bawah, kiri, dan kanan). EVO membolehkan penggunaan lever yang bisa memasukkan input Bawah+Kanan sekaligus. Namun, EVO melarang penggunaan tombol dengan makro yang bisa mengaktifkan sekumpulan input dalam game. Selain itu, penggunaan tombol analog yang bisa memasukkan input A atau input B — tergantung pada seberapa keras tombol itu ditekan — juga dilarang.
Peraturan kedua, controller bisa mengirimkan input game dari mekanisme input analog atau digital, selama ia tidak melanggar peraturan pertama. Peraturan terakhir, controller tidak boleh memasukkan input arah yang berlawanan secara bersamaan (Simultaneous Opposite Cardinal Direction alias SOCD), seperti Atas+Bawah atau Kanan+Kiri. Ketika EVO mengumumkan akan regulasi itu, penggunaan PlayStation 4 DualShock masih diizinkan. Karena, controller itu dianggap sebagai controller standar dan tidak punya fitur ekstra. Namun, peraturan itu ditinjau ulang pada 31 April 2021, seperti yang disebutkan oleh Dot Esports.
Sebagai penyelenggara turnamen esports, ESL juga punya peraturan sendiri. ESL tetap membuat sejumlah regulasi, bahkan ketika mereka menggelar turnamen dari game yang sudah punya rulebook sendiri, seperti PUBG Mobile. Biasanya, peraturan yang ditetapkan oleh ESL akan disesuaikan dengan game yang diadu. Namun, memang, mereka tidak membuat peraturan spesifik tentang aksesori atau pakaian yang digunakan oleh pemain. ESL hanya menegaskan, jika ada pemain yang ketahuan berbuat curang, maka dia akan dikenakan sanksi dan akan secara otomatis dikeluarkan dari turnamen.
Contoh Aksesori di Dunia Esports
Herry bercerita, saat ini, kebanyakan aksesori yang digunakan oleh pemain esports mobile adalah in-ear earphone. Memang, sudah muncul berbagai aksesori wearable, seperti gaming gloves. Namun, kebanyakan — jika tidak semua — pemain profesional di Indonesia bermain tanpa bantuan aksesori tersebut. Karena itu, tidak heran jika belum ada regulasi yang mengatur tentang penggunaan gaming gloves atau aksesori wearable lainnya. Ke depan, apakah aksesori seperti gaminggloves boleh digunakan, Mineski akan menyerahkannya pada pihak publisher.
Pendiri dan CEO BOOM Esports, Gary Ongko Putera mengatakan, peripheral seperti mouse, headphone, atau keyboard memang punya pengaruh pada performa pemain game esports PC. Alasannya karena aksesori yang digunakan akan mempengaruhi pada kenyamanan dan response time dari para pemain. Namun, sekarang, peralatan yang bisa digunakan oleh pemain esports tak terbatas pada aksesori untuk smartphone, PC, atau konsol saja. Aksesori seperti compressionsleeves, sarung tangan, dan celana pun mulai bermunculan.
POINT3 adalah salah satu perusahaan apparel yang membuat pakaian untuk gamers. Mereka bahkan punya gaming collection yang dibuat menggunakan DRYV, teknologi manajemen keringat yang sudah dipatenkan. Sebelum membuat koleksi pakaian untuk gamers, POINT3 telah membuat pakaian untuk atlet olahraga tradisional.
Michael Luscher, pendiri dan CEO POINT3 mengatakan bahwa setelah memperhatikan komunitas esports, POINT3 menemukan, atlet esports membutuhkan pakaian yang nyaman dan menghilangkan segala gangguan. Tangan yang berkeringat adalah masalah yang ingin POINT3 selesaikan dengan pakaian berteknologi DRYV mereka. Pada 2020, mereka sempat mengirimkan contoh produk ke para influencers di industri esports. Hal ini berujung pada kontrak endorsement antara POINT3 dan Nidal “MamaImDatMan” Nasser, pemain NBA2K League, menurut laporan Inven Global.
Nasser bercerita, tangannya sering berkeringat saat menggenggam controllers. Saat mengenakan celana dari POINT3, dia bisa dengan mudah mengelap keringat itu di celananya. “Sejujurnya, pada awalnya, saya juga skeptis,” kata Nasser, seperti dikutip dari Washington Post. “Tapi, semakin sering saya mengenakan celana ini, semakin saya sadar bahwa saya mengelap tangan saya ke celana ini setiap hari.”
Luscher merasa, saat ini, memang belum banyak inovasi yang ada untuk membuat “performance wear” — pakaian yang diklaim bisa meningkatkan performa atlet — untuk bidang esports. Namun, dia percaya, pasar performance wear untuk esports masih akan berkembang dalam beberapa tahun ke depan. Gamers akan memiliki peran penting dalam mendorong pertumbuhan pasar tersebut.
Selain Nasser, sejumlah pemain esports profesional lain mengatakan bahwa memang ada pakaian yang membuat mereka merasa nyaman dan meningkatkan performa mereka, walau sedikit. Ialah Audric “JaCkz” Jug, pemain Counter-Strike: Global Offensive untuk G2 Esports. Dia mengatakan, compression sleeves adalah hal wajib untuk pemain game esports PC yang sering mengistirahatkan lengan mereka di meja.
“Fungsi compression sleeves adalah untuk mengurangi gesekan,” kata Jug. “Lengan saya terkadang menempel ke permukaan meja. Saya tidak perlu mengkhawatirkan hal itu ketika saya menggunakan compression sleeve.” Jug mengaku bahwa dia tidak disponsori oleh perusahaan manufaktur compression sleeves. Namun, dia telah menggunakan compression sleeves selama bertahun-tahun. Belakangan, dia menyadari bahwa semakin banyak pemain profesional yang mengenakan compression sleeves. Dia memperkirakan, ada setidaknya satu atau dua pemain dari setiap tim yang dia lawan yang mengenakan compression sleeve atau gaming gloves.
Atlet esports lain yang mengenakan compression sleeves adalah Mohamed “Revenge” Kaddoura, pemain League of Legends untuk Immortals. Tim esports itu punya kerja sama dengan POINT3. Biasanya, Kaddoura menggunakan compression sleeve dan sweater dari POINT3. Salah satu keunggulan sweater POINT3 adalah karena ia terbuat dari bahan yang menyerap keringat. Kaddoura mengungkap, dia mengenakan compression sleeve dan sweater demi kenyamanan. Dia ingin memastikan bahwa dia tidak merasa kedinginan ketika bertanding di arena esports, yang biasanya memang bersuhu rendah.
Tak hanya performance wear, sekarang, juga ada smartwatch khusus untuk gamers, seperti Garmin Instinct Esports Edition. Dalam Instinct Esports Edition, Garmin mencoba untuk menggabungkan fitur-fitur karakteristi smartwatch — seperti GPS dan fitur pelacak kesehatan — dengan tools untuk streamers dan pemain profesional. Salah satu fitur yang ada di Instinct Esports Edition adalah tracker kegiatan esports. Fitur ini memungkinkan Instinct untuk melacak detak jantung pengguna layaknya ketika dia berolahraga. Dari detak jantung pengguna, smartwatch itu akan menunjukkan indeks stres pengguna.
Menurut The Gamer, data dari Instinct Esports Edition bisa membantu para pelatih atau bahkan pemain profesional sendiri tentang bagaimana stres mempengaruhi performa gaming seseorang. Setelah mengetahui informasi ini, pemain atau pelatih diharapkan akan bisa menemukan cara untuk mengatur stres. Fitur lain yang ada di Instinct Esports Edition adalah STR3AMUP, yang memungkinkan pengguna untuk melihat data yang dilacak oleh smartwatch di PC secara langsung. Sehingga, pengguna bisa langsung mengetahui kapan dia mulai merasa stres, yang bisa terlihat dari detak jantungnya.
Ketika ditanya apakah wearable seperti smartwatch akan bisa mempengaruhi performa pemain, Gary mengaku sangsi. “Memang ada waktu untuk lihat jam saat main? Saya rasa, fungsinya lebih ke arah kesehatan saja deh,” ujarnya.
Sementara itu, AP mengatakan bahwa untuk para pemain mobile esports, belum diketahui apakah aksesori seperti sarung tangan bisa meningkatkan performa atlet esports. “Earphone-pun, beberapa pemain pakai, dan beberapa tidak,” katanya. “Untuk lebih tepatnya, belum ada studi khusus sih… Masih di-explore.” Lebih lanjut dia menyebutkan, saat ini, dia belum ada percobaan yang menunjukkan apakah wearable seperti smartwatch memang akan bisa membantu pemain untuk bermain dengan lebih baik.
Chuck Tholl adalah seorang Research Associate di German Sport University Cologne. Selama enam tahun terakhir, dia dan timnya meneliti tentang beban mental dan fisik yang dihadapi oleh para atlet esports. Mereka juga berusaha untuk mengembangkan program pelatihan dan pemulihan bagi pemain profesional yang cedera.
Tholl mengaku tidak heran jika nantinya, semakin banyak performance wear yang muncul untuk pemain esports. Dia berkata, sekarang, memang semakin banyak tim esports profesional yang memperlakukan para pemain layaknya atlet tradisional. Tim-tim tersebut tidak hanya mempekerjakan psikologis, tapi juga ahli nutrisi. Jadi, menurutnya, kemunculan produk performance wear adalah langkah berikutnya.
Meskipun begitu, Tholl juga mengakui bahwa, saat ini, masih belum diketahui apakah performance wear memang akan dapat meningkatkan performa pemain profesional. Satu hal yang pasti, dia menyebutkan, produk performance wear setidaknya bisa memberikan dampak psikologis positif.
“Sekarang, belum ada bukti fisik yang menunjukkan bahwa produk-produk itu — seperti compression sleeves dan lain sebagainya — memang bisa meningkatkan performa pemain,” ujar Tholl. “Tapi, efek placebo sering kita bahas. Jika Anda pikir produk itu bisa membantu Anda, bisa jadi, kepercayaan itu bisa menjadi nyata. Mengenakan pakaian tertentu bisa membantu Anda menjadi lebih fokus.”
Di dunia kesehatan, placebo effect didefinisikan sebagai efek semu ketika seseorang mengonsumsi “obat palsu”. Jadi, walau seseorang mengonsumsi obat kosong (tanpa zat aktif tertentu), otaknya akan meyakinkan tubuh bahwa dia telah mendapatkan pengobatan sehingga tubuh akan terpicu untuk melakukan proses penyembuhan.
“Placebo effect bukan sekadar berpikir positif bahwa sebuah metode pengobatan akan bekerja,” kata Ted Kaptchuk dari Beth Israel Deaconess Medical Center, seperti dikutip dari blog Harvard. “Placebo effect adalah upaya untuk membuat ikatan yang lebih kuat antara tubuh dan pikiran.”
Terlepas dari apakah aksesori wearable bisa memberikan efek placebo, Herry mengatakan, fairness tetap menjadi hal yang paling harus diperhatikan oleh pihak penyelenggara turnamen. Dia menambahkan, jika penyelenggara turnamen ingin memperbolehkan penggunaan aksesori/alat bantu seperti gaming gloves dan compression sleeves, maka ada dua hal yang harus dipastikan. Pertama, aksesori tidak meningkatkan performa pemain secara signifikan. Kedua, semua pemain bisa menggunakan aksesori itu, untuk memastikan pertandingan tetap berjalan dengan adil.
Teknologi Majukan Olahraga Tradisional, Juga Bakal Terjadi di Esports?
Seiring dengan berjalannya waktu, industri olahraga terus berubah. Pada awalnya, raket tennis terbuat dari kayu. Kemudian, raket metal mulai populer untuk digunakan pada 1970-an. Setelah itu, material baru digunakan untuk membuat raket tennis, seperti aluminium dan graphite. Perubahan material ini membuat raket tennis menjadi lebih ringan.
Tak hanya material, desain raket tennis juga mengalami perubahan. Sekarang, bagian kepala raket menjadi lebih besar. Dalam sebuah video, Sports Engineering Research Group menjelaskan bagaimana raket dengan ukuran kepala yang lebih besar akan meningkatkan momen inersia. Dengan begitu, ketika raket digunakan untuk memukul bola, rotasi yang terjadi pada raket bisa diminalisir. Hal ini memungkinkan petenis untuk mengarahkan bola yang dia pukul.
Teknologi juga bisa meningkatkan performa atlet olahraga tradisional. Faktanya, sports engineering merupakan jurusan yang mengkhususkan diri untuk mengaplikasikan bagian teknis dari matematika dan fisika untuk memecahkan masalah di dunia olahraga. Masalah yang sports engineering coba pecahkan beragam, mulai dari desain peralatan olahraga, memastikan keamanan atlet di olahhraga berbahaya, regulasi standar, sampai menganalisa performa atlet.
Salah satu manfaat sports engineering adalah kemunculan peralatan olahraga yang bisa meningkatkan performa atlet. Contohnya adalah baju renang polyutherane. Material polyutherane bersifat hidophobic, sehingga pemakainya bisa mengapung lebih tinggi. Jika atlet renang bisa mengapung lebih tinggi, dia akan bisa meminimalisir resistensi yang dia hadapi. Alhasil, perenang yang mengenakan baju renang polyutherane bisa berenang dengan lebih cepat. Inovasi baju renang polyutherane sukses meramaikan dunia renang. Buktinya, setelah atlet renang mulai menggunakan baju renang dari polyutherane, banyak rekor baru di dunia renang. Pada World Swimming Championship 2009 saja, ada 20 rekor dunia di olahraga renang yang dipecahkan.
Hanya saja, baju renang polyutherane mahal (US$500 per baju renang) dan hanya bisa digunakan beberapa kali. Jadi, tidak semua atlet renang bisa menggunakannya. Hal ini berujung pada larangan untuk menggunakan baju renang polyutherane pada 2009. Karena, pakaian renang tersebut bisa meningkatkan performa atlet secara signifikan. Dan hal ini dianggap membuat pertandingan menjadi tidak adil bagi atlet yang tidak bisa menggunakan baju renang polyutherane.
Dua contoh di atas menunjukkan bagaimana peralatan yang digunakan oleh atlet olahraga tradisional bisa berubah seiring dengan waktu. Dan teknologi yang dipakai pada peralatan atlet bisa mempengaruhi performa mereka. Saat ini, industri esports masih sangat muda. Ada beberapa hal yang industri esports tiru dari industri olahraga tradisional, seperti kompetisi franchise dan format kompetisi home-away. Ke depan, tidak tertutup kemungkinan, esports akan meniru bagian lain dari olahraga. Misalnya, penggunaan performance wear oleh atlet esports.
Namun, Herry percaya, esports tidak bisa dibandingkan begitu saja dengan olahraga tradisional. Menurutnya, keberadaan mobile esports hanya akan mendorong perkembangan teknologi smartphone. Pasalnya, smartphone adalah satu-satunya perangkat yang diperlukan untuk memainkan mobile game. Dan saat bermain mobile game, atlet esports hanya perlu menggunakan tangan dan jari. Jadi, para pemain profesional tidak membutuhkan boost dalam kekuatan fisik.
“Anggap saja esports seperti catur. Keduanya tidak menggunakan equipment yang bakal mempengaruhi fisik peserta,” kata Herry. “Berbeda dengan olahraga tradisional, yang memang sangat mengutamakan kekuatan fisik. Misalnya, basket. Kalau pemain basket memang perlu peralatan yang bisa mendorong performa, seperti sepatu.”
Kesimpulan
Esports memang tengah naik daun. Sekarang, esports juga semakin diakui oleh masyarakat. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa industri esports masih muda. Banyak pelaku esports yang masih melakukan “coba-coba”. Mengingat esports punya kesamaan dengan industri olahraga, tidak heran jika sebagian pelaku esports memutuskan untuk meniru beberapa aspek dalam dunia olahraga. Misalnya, format kompetisi.
Sekarang, teknologi merupakan bagian penting bagi olahraga tradisional. Sports engineering sukses mendorong para atlet kelas dunia untuk memberikan performa yang lebih baik. Seiring dengan meningkatnya popularitas esports, mulai bermunculan peralatan dan aksesori yang dibuat untuk meningkatkan performa gamers atau pemain esports.
Saat ini, memang masih belum ada studi yang menunjukkan apakah performance wear untuk gaming dan esports bisa meningkatkan performa penggunanya. Namun, di level global, jumlah pemain profesional yang mengenakan performance wear mulai bertambah. Jadi, tidak tertutup kemungkinan, di masa depan, pasar performance wear untuk gamers dan atlet esports memang akan menjadi semakin besar.
Perkembangan esports memang semakin matang dari tahun ke tahun. Andrian Pauline, CEO Team RRQ juga mengakui bahwa esports di Indonesia telah mengalami perkembangan pesat sejak 16 tahun terakhir.
Pada sektor mobile gaming, Indonesia telah menguasai pasar Asia Tenggara dengan 79,58% pendapatan gaming di Indonesia berasal dari mobile gaming, sebagaimana dilansir oleh Newzoo.
Menyikapi hal ini, RRQ sebagai salah satu tim esports terbesar di Indonesia menginisiasi suatu turnamen bertajuk BNI King of School 2021. Turnamen esports satu ini akan menyasar target pemain yaitu para pelajar SMA/SMK sederejat se-Indonesia.
Turnamen ini juga akan dikemas secara profesional dan bertujuan untuk mengembangkan ekosistem esports di kalangan pelajar.
BNI King of School 2021, Saatnya Esports Diakui Sebagai Prestasi
Turnamen esports di kelas pelajar SMA/SMK sederajat se-Indonesia ini akan mempertandingkan game Mobile Legends: Bang Bang.
Untuk target partisipasi sendiri CEO RRQ, Andrian Pauline mengatakan bahwa setidaknya akan ada 1.000 sekolah yang bertanding dan terdiri dari 7.000 pelajar SMA/SMK sederajat yang akan mewakili masing-masing sekolah.
Selain itu, RRQ ingin menyebarkan pesan utama bahwa hobi bermain game juga bisa diakui sebagai prestasi. Perkembangan esports di beberapa tahun belakang kian pesat dan sudah masuk sebagai cabang olahraga resmi di SEA Games ke-31 yang akan digelar di Hanoi, Vietnam.
Kompetisi BNI King of School 2021 akan dibagi dalam 4 tahap kompetisi, dengan detail sebagai berikut:
Kualifikasi Regional: 13 September-17 Oktober 2021
Kualifikasi Terbuka: 4-31 Oktober 2021
Wild Card: 4-7 November 2021
National Grand Final: 15-28 November 2021
Total hadiah sebesar Rp70 juta akan dihadirkan pada turnamen BNI King of School 2021 yang mengusung sistem pertandingan best-of-one di babak kualifikasi, best-of-three di babak Playoff dan Grand Final, hingga best-of-five di babak National Grand Final.
Seluruh pertandingan akan digelar secara online dengan babak Grand Final di setiap fase kompetisi akan ditayangkan secara langsung di channel Nimo TV dan YouTube Team RRQ.
RRQ School Ambassador, Ajang Pencarian Bakat Esports Pertama
Selain BNI King of School 2021, RRQ juga menggelar School Ambassador untuk para siswi SMA/SMK sederajat. Pemenang dari ajang pencarian bakat ini akan dikontrak secara resmi oleh Team RRQ.
Ajang ini merupakan langkah untuk memberikan kesempatan bagi para siswi yang ingin terjun langsung ke ranah kompetitif di bidang esports. Selain pemain, memang dunia hiburan esports sendiri memang memiliki banyak talenta seperti streamers, caster, model, hingga pembawa acara.
Para peserta School Ambassador akan dinilai oleh para juri perwakilan Team RRQ dan talenta di dunia esports. Voting para peserta nanti bisa dipilih melalui RRQ Apps. RRQ School Ambassador sendiri akan menyajikan total hadiah sebesar Rp7,5 juta.
Tahukah Anda, biaya produksi iPhone 11 Pro Max hanyalah US$490,5. Padahal, smartphone itu dijual dengan harga sekitar US$1.099 sampai US$1.449. Memang, Apple juga memberikan berbagai layanan untuk para pengguna iPhone. Meskipun begitu, tak bisa dipungkiri, keuntungan yang Apple dapatkan dari iPhone cukup besar.
Pada 2019, Apple hanya menguasai 14,5% pangsa pasar smartphone. Perusahaan asal Amerika Serikat itu masih kalah jika dibandingkan dengan Samsung, yang menguasai 21,8% pangsa pasar dan Huawei, dengan pangsa pasar 17,6%. Meskipun begitu, dari segi laba, Apple menguasai 66% total keuntungan industri smartphone.
Lalu, apa yang membuat iPhone menjadi lebih berharga di mata para pengguna dari smartphone lainnya? Seperti yang disebutkan oleh Investopedia, salah satu alasan kenapa konsumen mau membeli produk Apple adalah karena barang elektronik dengan logo apel tersebut memang punya reputasi sebagai barang mewah. Hal ini menjadi bukti bahwa reputasi sebuah brand bisa membuat konsumen rela membayar harga lebih mahal.
Dalam artikel kali ini, saya akan membahas tentang pengaruh reputasi merek pada perusahaan. Dan bagaimana reputasi akan memengaruhi perusahaan game atau entitas esports.
Brand Equity: Definisi dan Keuntungan yang Diberikan ke Perusahaan
Secara harfiah, brand equity berarti nilai atau valuasi dari sebuah brand. Cara untuk mengetahui apakah sebuah brand punya nilai atau tidak cukup mudah. Jika sebuah brand menawarkan sebuah produk dengan harga yang lebih mahal dari produk serupa di pasar dan konsumen tetap mau membeli produk dari merek itu, maka merek tersebut punya nilai. Buktinya, konsumen rela mengeluarkan uang lebih demi mendapatkan produk dari merek tersebut.
Mari kita ambil Louis Vuitton sebagai contoh. Ketika mereka bekerja sama dengan Riot Games untuk membuat koleksi pakaian LVxLOL, mereka membanderol kaos dengan gambar Qiyana seharga US$670 atau sekitar Rp9,4 juta. Dari semua koleksi tersebut, jaket kulit menjadi produk yang paling mahal, dengan harga US$5.650 atau sekitar Rp79 juta. Padahal, biaya produksi untuk membuat sebuah kaos bergambar atau jaket kulit jelas tidak semahal itu. Namun, harga yang jauh lebih mahal dari biaya produksi tidak menghentikan orang-orang untuk membeli koleksi LVxLOL — atau produk Louis Vuitton lainnya. Hal ini menjadi bukti bahwa merek Louis Vuitton punya nilai tersendiri di mata konsumen. Dan memang, nilai brand Louis Vuitton mencapai US$14,86 miliar pada 2021, menurut data dari Statista.
Ada beberapa keuntungan yang didapat perusahaan ketika merek mereka punya reputasi yang bagus. Menurut Investopedia, reputasi merek yang baik bisa berdampak langsung pada keuntungan perusahaan. Pasalnya, perusahaan bisa memasang harga yang lebih mahal dari pesaing ketika mereka menjual produk mereka, walau produk itu tidak jauh berbeda dari produk milik pesaing. Hal itu berarti, perusahaan bisa mendapatkan margin untung yang lebih besar. Dalam kasus Louis Vuitton — atau merek luxury fashion lainnya — mereka tentu punya margin untung yang jauh lebih besar daripada penjual kaos di pasar.
Tak hanya margin laba, brand equity juga bisa memengaruhi volume penjualan produk. Semakin baik reputasi perusahaan, semakin banyak pula orang yang mau membeli produk dari perusahaan itu. Pada akhirnya, hal ini juga akan meningkatkan keuntungan yang didapat perusahaan. Meskipun margin laba yang perusahaan dapatkan dari sebuah produk kecil, tapi jika mereka bisa menjual produk itu dalam jumlah banyak, maka keuntungan yang mereka dapat pun tetap akan menjadi besar.
Terakhir, keuntungan yang perusahaan dapat dari reputasi yang baik adalah kesetiaan pelanggan. Ketika seorang konsumen sudah setia dengan satu brand, biasanya dia akan selalu membeli produk dari merek tersebut. Ketika membeli makanan, saya cenderung memilih restoran yang mereknya sudah saya kenal. Selain menjadi repeat customer, pelanggan yang sudah menjadi fans setia dari sebuah merek juga biasanya akan membeli lebih dari satu produk dari merek tersebut. Sebagai contoh, pengguna iPhone biasanya juga menggunakan iMac. Bagi perusahaan, pelanggan yang setia berarti mereka bisa menghemat ongkos marketing. Karena, biaya untuk retensi konsumen cenderung lebih murah daripada mengakuisisi konsumen baru.
Lalu, bagaimana cara untuk menghitung brand equity?
Secara garis besar, ada tiga mteode yang bisa digunakan untuk menghitung nilai dari sebuah brand. Pertama, cost-based brand valuation. Sesuai namanya, metode ini menentukan nilai dari sebuah brand dengan menghitung total biaya yang dikeluarkan untuk membangun merek itu, mulai dari biaya promosi, biaya iklan, sampai biaya untuk mendaftarkan lisensei dan trademarks. Semua biaya tersebut harus dihitung sejak merek didirikan. Jadi, metode ini cocok digunkaan untuk menghitung valuasi brand yang masih baru, seperti yang disebutkan oleh The Balance.
Market-based brand valuation merupakan cara lain untuk menghitung nilai dari sebuah brand. Metode ini menentukan nilai brand dengan membandingkan merek tersebut dengan merek pesaing, khususnya ketika merek pesaing baru saja dijual. Dalam market-based brand valuation, nilai saham dari perusahaan pesaing juga bisa menjadi tolok ukur untuk menentukan nilai merek sebuah perusahaan.
Metode terakhir untuk menghitung nilai brand adalah income approach. Di metode ini, Anda menghitung nilai sebuah brand dengan memperkirakan pemasukan yang bisa didapatkan perusahaan dari brand tersebut. Selain potensi pemasukan yang bisa didapatkan perusahaan, hal lain yang harus diperhitungkan dalam metode ini adalah besar penghematan biaya yang bisa perusahaan lakukan. Contohnya, penghematan biaya marketing karena konsumen yang sudah loyal.
Pentingnya Reputasi Merek di Dunia Game dan Esports
Menurut data dari World Federation of Advertisers, hampir 40% konsumen tidak percaya dengan iklan tradisional. Namun, sebagian besar konsumen justru akan mempercayai komentar dari teman mereka atau review online. Hal ini menunjukkan, saat ini, reputasi merek semakin penting. Reputasi merek tidak hanya penting bagi perusahaan yang menjual barang, tapi juga entitas yang menyediakan layanan jasa, termasuk perusahaan game dan pelaku esports.
Bagi developer game, membangun reputasi sama artinya dengan membangun komunitas. Dan hal ini akan membantu mereka untuk menjual game mereka di masa depan. Topik akan pentingnya membangun komunitas bagi developer dibahas oleh Shahid Ahmad, mantan Director of Strategic Content, PlayStation, pada Casual Connect Europe pada 2016. Jason Della Rocca, mantan Executive Director dari International Game Developers Association, Cabang Montreal, juga mengungkapkan hal yang sama.
Della Rocca mengakui, developer game biasanya lebih memilih untuk fokus pada proses pembuatan game dan menyerahkan tugas membangun komunitas pada publisher. Namun, dia menyebutkan, hal ini justru bisa merugikan developer. Alasannya, developer tidak selalu bekerja sama dengan publisher yang sama ketika meluncurkan game.
“Anda bisa saja bekerja sama dengan Publisher X untuk menerbitkan game pertama Anda dan menggandeng Publisher Y untuk game Anda berikutnya,” kata Della Rocca, seperti dikutip dari GamesIndustry. “Keberadaan komunitas dan kemampuan Anda untuk berkomunikasi dengan fans secara langsung merupakan aset penting bagi developer. Bagi indie developer, komunitas adalah hal yang sangat krusial.”
Tanpa fanbase, developer akan kesulitan untuk menggunakan berbagai marketing tools yang ada secara maksimal. Della Rocca menjadikan Kickstarter sebagai contoh. Melalui Kickstarter, developer bisa mendapatkan uang yang diperlukan untuk mengembangkan game mereka. Namun, jika developer mengadakan kampanye Kickstarter tanpa membangun fanbase terlebih dulu, kemungkinan besar, kampanye mereka tidak akan berhasil atau tidak maksimal. “Kickstarter adalah alat untuk membangun komunitas. Ia bisa digunakan sebagai bagian dari proses marketing game,” ujar Della Rocca.
Sementara itu, Ahmad menjelaskan, membangun fanbase bisa membantu developer untuk membuat game-nya tampil menonjol dari game-game lain. Dia memperkirakan, setiap harinya, ada lebih dari 100 game yang diluncurkan di iOS. Ditambah dengan game-game yang diluncurkan di platform lain, maka setiap harinya, ada ratusan game baru yang diluncurkan. Membuat game yang bisa tampil menonjol dari ratusan atau bahkan ribuan game lain bukanlah perkara mudah. Sementara sebagai gamer, Ahmad menceritakan pengalaman pribadinya, dia justru sering merasa kesulitan untuk memilih game baru untuk dimainkan karena ada terlalu banyak opsi.
“Kadang saya memeriksa iPhone saya untuk mencari game baru. Saya mengunduh game baru, tapi hanya memainkannya selama sekitar 20 detik. Setelah itu, saya akan membuka Steam, yang menampilkan daftar game yang sudah dikurasi sesuai preferensi saya,” cerita Ahmad. Namun, pada akhirnya, dia justru memainkan Call of Duty. Alasannya karena dia tidak menemukan game dari indie developer yang menarik perhatiannya.
“Jadi, apa yang harus developer lakukan untuk mengatasi masalah itu? Mereka harus membangun reputasi,” ujar Ahmad. “Membangun reputasi menjadi salah satu keharusan bagi developer. Sekarang, punya reputasi yang baik sama pentingnya — atau justru lebih penting — dari membuat game yang berkualitas.” Dia menambahkan, tanpa reputasi dan tanpa komunitas, developer harus bisa membuat game yang benar-benar stand out di mata gamers.
“Padahal, sekarang, semua game terlihat sangat bagus. Karena, semua developer bisa mengakses berbagai tool hebat. Selain itu, ada banyak cara untuk meluncurkan game Anda, ada begitu banyak platform yang bisa Anda pilih,” kata Ahmad. “Jika Anda tidak berusaha untuk membangun reputasi Anda, jika Anda tidak mendekatkan diri dengan komunitas Anda, menunjukkan visi dan misi Anda di hadapan audiens Anda, Anda akan mengalami masalah.”
Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Di industri game, perusahaan besar sekalipun bisa terkena skandal. Contohnya, Blizzard. Pada akhir Juli 2021, Blizzard dituntut oleh Departemen Ketenagakerjaan California karena mereka dianggap membiarkan budaya diskriminasi dan pelecehan seksual terjadi di perusahaan. Begitu skandal ini menyebar di media, Blizzard mendapatkan reaksi negatif dari berbagai pihak, mulai dari karyawan, mantan karyawan, pemain, sampai sponsor dari liga esports yang mereka adakan.
Menanggapi kasus ini, karyawan Blizzard mengadakan aksi mogok. Selain itu, mereka juga membentuk koalisi pekerja bernama “Aliansi Pekerja ABK”. Sementara itu, beberapa sponsor dari Overwatch League memutuskan untuk mundur. Salah satu sponsor yang mengundurkan diri adalah T-Mobile, perusahaan telekomunikasi raksasa asal AS. Tak hanya itu, Kellog — perusahaan yang membawah merek Cheez-It dan Pringles — juga tidak lagi menjadi sponsor dari OWL. Sementara Coca-Cola dan State Farm mengungkap bahwa mereka akan mempertimbangkan kembali status mereka sebagai sponsor OWL.
Skandal Blizzard ini juga memengaruhi jumlah pemain game-game mereka. Pada Q2 2021, jumlah pemain aktif bulanan Blizzard hanya mencapai 26 juta orang, turun dari 46 juta orang pada Q2 2017. Menurut laporan GameRant, tren penurunan jumlah pemain Blizzard memang sebenarnya sudah terjadi sebelum muncul skandal akan diskriminasi dan pelecehan seksual, seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di atas. Alasan para pemain Blizzard berhenti bermain beragam. Sebagian memutuskan untuk berhenti bermain karena mereka kecewa dengan game dari Blizzard. Sementara sebagian yang lain berhenti bermain karena Blizzard dianggap tidak memberikan dukungan yang memadai untuk game yang mereka mainkan, seperti pada Overwatch.
Walau jumlah pemain Blizzard cenderung turun, pemasukan perusahaan tetap menembus US$1 miliar. Seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di bawah, pemasukan Blizzard pada 2018 naik menjadi US$2,3 miliar dari US$2,1 miliar pada 2017. Memang, pendapatan mereka sempat turun drastis ke US$1,7 miliar pada 2019. Namun, angka itu kembali naik ke US$1,9 miliar pada 2020.
Ramainya pemberitaan tentang budaya diskriminasi dan pelecehan seksual di Blizzard juga sempat membuat nilai saham perusahaan itu turun. Nilai saham Blizzard turun menjadi US$84,05 pada 27 Juli 2021 dari US$91,5 pada 23 Juli 2021. Meskipun begitu, pada 11 Agustus 2021, saham Blizzard sudah kembali naik, menjadi US$85 per lembar. Dan sayangnya, dampak skandal ini pada pemasukan Blizzard masih belum bisa dilihat. Jadi, belum diketahui apakah tuntutan yang diajukan pada Blizzard akan mendorong perusahaan itu untuk berubah atau mereka akan membiarkan budaya perusahaan yang tidak sehat terus berlanjut.
Blizzard bukan perusahaan game pertama yang terkena skandal. Sebelum ini, Riot Games dan Ubisoft pun pernah mendapatkan pemberitaan negatif karena budaya perusahaan yang kurang baik. Keduanya memang melakukan sejumlah perubahan. Meskipun begitu, sampai saat ini, dua perusahaan itu masih tetap menjalankan bisnis.
Pentingnya Reputasi Merek di Indonesia
Indofood Group adalah salah satu perusahaan asal Indonesia yang sukses bahkan hingga ke pasar internasional. Sebagai perusahaan Fast Moving Consumer Goods (FMCG), Indofood punya beberapa merek, seperti Indomie, Indomilk, Sarimi, Bimoli, dan Indofood. Dari semua merek tersebut, Indomie merupakan merek dengan nilai paling tinggi, mencapai US$440 juta. Sementara merek terpopuler kedua adalah Indomilk, yang bernilai US$335 juta. Untuk lebih lengkapnya, Anda bisa melihat gambar di bawah.
Perhitungan nilai merek di atas dilakukan oleh SWA Brand Finance. SWA menjelaskan, ada beberapa faktor yang mereka jadikan tolok ukur untuk menghitung nilai dari masing-masing merek di bawah Indofood Group. Faktor pertama adalah Brand Strength, yang melibatkan kinjera keuangan perusahaan, sustainability, dan hubungan emosional brand dengan konsumen. Faktor-faktor lainnya adalah Royalty Range, Royalty Rate, pemasukan dari brand, proyeksi pendapatan dari merek, biaya royalti, dan proyeksi royalti.
Lalu, seberapa penting reputasi brand untuk organisasi esports? Andrian Pauline, CEO RRQ menyebutkan, reputasi itu sangat penting bagi organisasi esports. Tidak heran, mengingat sebagian besar pemasukan organisasi esports datang dari sponsorship. Dan seperti yang terlihat dari kasus Blizzard, sponsor akan mundur begitu pihak yang mereka sponsori terlibat skandal.
Untuk menentukan baik atau buruknya reputasi RRQ, AP menceritakan bahwa ada beberapa hal yang menjadi tolok ukur. Salah satunya adalah perbandingan antara jumlah pemberitaan positif dengan pemberitaan negatif. Untuk meminimalisir pemberitaan negatif, AP mengungkap, pihak RRQ biasanya memang tidak mau berbicara tentang topik-topik tertentu. Dan ketika memberikan jawaban, mereka cenderung memberikan jawaban normatif.
“Kita semua di RRQ setuju bahwa ada beberapa hal yang tidak bisa di-share ke media. Mengumbar hal-hal jelek demi konten, it’s just not us,” ujar AP ketika dihubungi melalui telepon. Selain pemberitaan media, hal lain yang menjadi tolok ukur reputasi RRQ adalah penghargaan yang mereka menangkan. AP menjelaskan, penghargaan yang dia maksud di sini bukanlah kompetisi esports yang RRQ menangkan, tapi penghargaan yang didasarkan pada pemungutan suara penonton atau metode lainnya.
Salah satu “penghargaan” yang RRQ pernah menangkan adalah gelar sebagai tim Mobile Legends paling populer di Asia Tenggara. Hal lain yang juga bisa menunjukkan baik-buruknya reputasi organisasi esports adalah brand yang menjadi rekan mereka. “Kalau kita mengadakan kolaborasi, tidak mungkin dengan brand atau perusahaan yang reputasinya kurang baik,” kata AP.
AP mengaku bersyukur karena semua orang di bawah RRQ — baik atlet esports maupun pihak manajemen — sepakat bahwa reputasi organisasi adalah sesuatu yang harus dijaga bersama. Dia menambahkan, bahkan setelah seseorang keluar dari RRQ, dia biasanya tidak akan membocorkan masalah internal organisasi ke pihak lain. “RRQ itu paling menjaga hal-hal yang bersifat internal. Segala sesuatu yang berhubungan dengan nama baik organisasi, kita coba selesaikan secara internal,” ujar AP. “Bukan berarti kita lebih bersih dari organisasi esports lain. Hanya saja, kita coba menyelesaikan masalah yang bisa diselesaikan secara internal.” Harapannya, pemberitaan buruk terkait masalah internal RRQ bisa diminimalisir.
Namun, RRQ bukanlah organisasi esports kecil. Mereka membawahi lebih dari 40 atlet esports. Tentunya, mereka juga mempekerjakan sejumlah orang untuk mengisi posisi manajemen. Sebagai CEO, mengawasi semua orang yang bekerja untuk RRQ memang mustahil. AP menyadari hal itu. Tapi, dia tetap percaya, semua orang di bawah RRQ mau menjaga nama baik organisasi. Menurutnya, hal ini bisa terjadi karena budaya perusahaan di RRQ.
“Saya beruntung punya kolega kerja, pemain, manajer, dan pelatih yang memang tahu peraturan di RRQ,” ujar AP. “Yang saya lihat, mereka bukannya takut pada RRQ sebagai organisasi atau fans kami, tapi karena kebiasaan perusahaan, mulai dari hal-hal kecil, yang akhirnya membentuk individu yang bisa mengikuti peraturan. Kami juga memberikan contoh dari atas ke bawah. Mulai dari dulu, waktu kita hanya 4-5 orang saja, akhirnya sampai sebesar sekarang. Sampai saat ini, tidak ada yang menceritakan aib hanya demi buat konten seru-seruan. Sebisa mungkin kita bereskan secara internal.”
Organisasi esports bukan satu-satunya elemen dalam ekosistem esports. Ada berbagai entitas lain yang juga punya peran penting dalam mengembangkan ekosistem esports, mulai dari publisher sampai penyelenggara turnamen. Sayangnya, walau organisasi esports bisa menjaga nama baik mereka, terkadang, pihak lain dari ekosistem esports yang justru terkena skandal. Bisa jadi, yang tersangkut kasus justru sang publisher, seperti yang terjadi pada Blizzard. Ketika ditanya apa yang RRQ lakukan ketika publisher terkena masalah, AP menjawab bahwa RRQ akan mengambil sikap pragmatis.
“Contoh, Moonton terkena kasus di Tiongkok, dituntut oleh Tencent. Di Indonesia, apa impact-nya? Apakah orang-orang yang main bakal masuk penjara? Apa EO yang membuat event untuk Moonton bakal dituntut oleh pengacara dari Tiongkok? Jika tidak ada, ya kita tidak usah ikut campur. Masalah itu akan menjadi masalah antara tim legal Moonton dan Tencent di Tiongkok,” jelas AP panjang lebar.
AP menyebutkan, RRQ juga tetap akan berusaha untuk menyuarakan kepentingan komunitas esports. Namun, mereka juga sadar bahwa pada akhirnya, RRQ hanyalah organisasi esports. “Mau sebanyak apapun fans Persija, mereka cuma klub sepak bola. Masih ada otoritas yang lebih tinggi dari mereka,” kata AP, memberikan analogi. Dan di ekosistem esports, publisher merupakan pemegang kekuasaan tertinggi. “Kita tidak bisa pungkiri, ekosistem esports muncul berkat publisher. Dan tim esports, fans, EO, dan media merupakan bagian penting dari ekosistem esports. Kita tidak bisa jalan sendiri-sendiri,” ujarnya. Satu hal yang pasti, AP menekankan, RRQ akan mematuhi peraturan yang telah ditetapkan dalam sebuah ekosistem esports.
Bagi orang-orang yang ingin menjadi atlet esports, AP memberikan sejumlah saran tentang cara menjaga reputasi dan mengembangkan karir. Salah satunya adalah fokus pada latihan. Menurutnya, saat ini, kebanyakan orang ingin menjadi pemain esports demi popularitas. Memang, biasanya, setelah pensiun, pemain esports akan menjadi streamer. Namun, dia menyebutkan, fokus utama dari pemain esports tetaplah memberikan performa yang baik dan membawa tim ke kemenangan.
“Atlet esports seharusnya bukan ingin bisa populer. Seharusnya, dia memasang target agar bisa jago dan membawa tim menang,” ungkap AP. Dia menyebutkan, ketika seseorang memberikan performa yang baik dan membawa timnya juara, popularitas akan datang dengan sendirinya.
Saran kedua dari AP adalah untuk tidak terlalu menyibukkan diri dengan membuat banyak konten. Alasannya, ketika seorang atlet esports justru fokus untuk membuat konten, maka dia tidak bisa berlatih dengan maksimal. Dan pada akhirnya, hal ini justru bisa menghambat karir sang atlet itu sendiri. “Peluang di esports itu kan sedikit dan tidak lama. Kalau dapat kesempatan, sebaiknya Anda berlatih keras. Dan juga bersosialisasi, perbanyak teman,” ujarnya. “Membangun chemistry dengan teman satu tim itu juga penting, tidak sekadar push rank.”
Bagi atlet esports, kemampuan untuk bisa membawa diri juga menjadi penting karena kebanyakan game esports dimainkan bersama-sama dengan tim dan tidak perseorangan. AP mengatakan, tidak peduli seberapa jago seorang atlet, jika dia tidak bisa rukun dengan teman satu timnya serta pelatihanya, karirnya tidak akan bertahan lama.
Sementara saran yang AP berikan untuk pemilik organisasi esports adalah untuk mencintai esports. “Temukan passion-nya,” ujarnya. “Kalau orientasinya lagi-lagi uang, jangan deh. Dia harus fall in love with esports. Bukan berarti dia harus main 12 jam sehari juga. Tapi, dia harus punya antusiasme akan esports. Kalau dia sendiri nggak enjoy, begitu pemain ada yang ngambek, ya jadi capek sendiri.” Dia juga menyebutkan, membangun tim esports bukan sesuatu yang instan. “Di dua tahun pertama pasti bleeding, entah waktu, tenaga, atau uang.”
Penutup
Seiring dengan bertambahnya jumlah penonton esports, semakin banyak pula pihak yang tertarik untuk menjadi sponsor dari pelaku esports. Bahkan merek non-endemik sekalipun mulai menjajaki dunia esports dalam beberapa tahun belakangan. Sebagian dari mereka bahkan membeli naming rights dari organisasi esports.
Ketika sebuah brand menjadi sponsor dari pelaku esports, maka mau tidak mau, reputasi dan image dari brand juga akan melekat pada pihak yang disponsori. Karena itu, perusahaan biasanya memilih pihak yang mereka sponsori dengan hati-hati. Dan jika pihak yang disponsori tersandung skandal, pihak sponsor biasanya tidak ragu untuk membatalkan kontrak sponsorship mereka. Mengingat sebagian besar pemasukan industri esports masih berasal dari sponsorship, maka semua pelaku industri esports — mulai dari atlet, organisasi esports, penyelenggara turnamen, sampai publisher — harus dapat menjaga reputasi mereka.
After releasing Muhammad Redian “Naider” Putrama this week to make room for the new recruits to the squad, Rex Regum Qeon finally revealed their complete PUBG Mobile roster for the upcoming PMPL Indonesia Season 4 on Thursday (12/8/21).
RRQ Ryu brought on the addition of three new players to the squad: Mort, Asaa, and Chuckles. Mort is most known for his time in Geek Fam ID (now known as Livescape) that won the previous season of PMPL Indonesia.
Asaa, a former Voin Victory 88 player, was one of the best performers in his previous team that placed 3rd in PMCO 2021. Chuckles, on the other hand, is a former Dranix Esports player and a PMCO finalist.
Aside from the new three signings, RRQ Ryu will retain Yoga “Nerpehko” Malik Rahman and Rahmat “VALDEMORT” Hidayat on the roster, bringing the roster to a five-man lineup.
RRQ Ryu’s most recent outing came in March, when it competed in the PMPL Indonesia Season 3 League, finishing in 12th place.
“This time RRQ Ryu comes with three new members to complete the lineup and solidify the team’s gameplay. Welcome to the family brothers, lets chase after greatness together in PMPL S4.
Stay solid and good luck RRQ Ryu.” the announcement reads.
RRQ Ryu has always remained among the upper-echelon of Indonesian PUBGM for a long time. It will, however, try its luck against the other teams this time around, especially in PMPL Indonesia Season 4, in which Genesis Dogma GIDS, BONAFIDE, Victim Sovers have confirmed their attendance.
RRQ Ryu has the following lineup for PMPL Indonesia Season 4:
Talk is cheap. Everyone can claim that they are proficient at a certain skill or field. However, proving your competency is a whole other matter. Since the dawn of the education system, schools and universities have used scores or GPAs to measure the capabilities of students. For working professionals, certificates can be one way to validate one’s expertise. What about in the world of esports? Is there currently any form of certification system in the esports industry?
Esports Certification Institute’s Plan to Create a Certification Program
The Esports Certification Institute announced their plan to hold a certification exam in the field of esports at the end of April 2021. The goal of behind this plan is to push the culture of meritocracy and foster professionalism in esports players. Additionally, they also hope that the existence of this certification program will make the world of esports more inclusive.
How do you get a certification from ECI? Well, of course, you just need to take their exam. The test from ECI covers three main criteria: esports knowledge, problem-solving abilities, and statistics. In addition to being given a certificate, people who passed the exam will also be included in the ECI membership program, which provides the opportunity to network and discuss with ECI advisors.
ECI was founded by Sebastian Park, former Esports VP of the Houston Rockets NBA team, and Ryan Friedman, former Chief of Staff of Dignitas, an American esports organization. ECI’s advisory board members consist of executives from various companies involved in esports, from venture capital firms such as BITKRAFT, legal firms like ESG Law, to esports organizations such as Cloud 9 and Gen.G.
“One of the biggest problems that exist in the esports industry is that employers have no way of validating the skills of job applicants,” Park said, according to Yahoo. “Most esports organization wants to hire someone based on their skills and abilities, but it can be very difficult to do so.”
Of course, the exams from ECI are not free. You have to pay $400 USD to be able to take the exam. The ECI that they have conducted their market research before determining this entrance fee. They claimed that their exam fee is relatively cheaper when compared to certification exams in other fields. For example, the Chartered Financial Analyst (CFA) certification costs $1000 USD. For the underprivileged, ECI has also collaborated with various educational institutions to create a free exam program.
The reason ECI created a certified exam in the world of esports is to solve the problem of finding qualified personnel in the field. Even Activision Blizzard CEO Bobby Kotick is willing to donate US$4 million to the University of Michigan to open an esports major. However, ECI’s vision to create a certified test has actually drawn a lot of protests from parties in the esports industry, which caused ECI to postpone its plan of establishing the certification program.
Unfortunately, in Indonesia, there are currently not many programs that offer these sorts of certification. One of the only popular ones in the country is perhaps RRQ Academy. People who want to practice their gaming skills and potentially go pro in the future can join RRQ’s program. Currently, RRQ Academy offers training for four games: Mobile Legends, PUBG Mobile, LoL: Wild Rift, and Free Fire. After attending classes for two days, participants will get the certificate. Unfortunately, RRQ Academy explained that the certificate that the academy participants received does not include the assessment of their abilities. However, the certification does not have an expiration date.
Now, let us discuss the pros and cons of establishing certified exams in the world of esports.
Advantages of Having a Certification Program in Esports
Certificates can be proof of someone’s competency in a field. For example, anyone can create a Facebook account but not everyone has a Facebook Blueprint certificate. This certificate is only given to people who really understand how to use various digital marketing products provided by Facebook and its subsidiaries.
In addition to enhancing credibility, another advantage of having a certification program is that it extends knowledge and skills, according to the International Society of Automation. Furthermore, taking a certified exam will also enhance one’s reputation as a professional and prepares them to climb the career ladder. Certification will also allow companies to find employee that matches their needs.
We are excited to announce the launch of Esports Certification Institute, a Public Benefit Corporation created to foster professionalism, promote meritocracy, and increase diversity and inclusion in esports. ECI was created to give another path into esports for industry hopefuls pic.twitter.com/NQyxjiWOBc
Gary Ongko, CEO of BOOM Esports frequently compares the esports industry to the Wild West. “Many workers in esports industry are esports enthusiasts, but most of them do not have any form of certification,” he said when contacted by Hybrid.co.id. “Because there is no legitimate esports major, maybe this certificate can help us hire people who want to work/enter esports.”
Meanwhile, according to the Head of Operations, Mineski Indonesia, Herry Wijaya, the emergence of a certification system in esports is proof that more and more people are getting interested in working in the esports field. Hopefully, as more people get involved in the industry, there will also be a larger talent pool available to benefit esports.
The requirements for getting a job in the esports industry have continuously increased over the years. As mentioned previously, universities have even started to open esports majors. However, the industry will still have to ultimately wait a few more years before being able to hire people with esports majors.
Certification programs can also filter people who are truly committed and passionate about their career. Obviously, getting a certificate will require an extensive investment in money and personal effort. Getting a certificate at RRQ Academy, for example, requires you to play Rp. 199 thousand and spend 2×6 hours in online classes.
Lastly, certification allows for the appreciation of skills. For example, a person with a Facebook Blueprint certificate will be recognized as someone with the capability of maintaining an important Facebook Page.
Disadvantages of Emerging Certification Programs in Esports
As mentioned previously, one of the main functions of a certification program is to validate the competency and credibility of someone’s skill sets. However, the scope of work in the world of esports is incredibly broad. The qualifications required to become a team coach is obviously very different from a videographer. The esports industry is also still relatively young and there are no “best practices” like in other, more mature industries. The most obvious example of these differing standards is the way people write the word “esports”. While some may simply write esports, others may use e-sports or even eSports.
Indeed, certification programs can help companies find competent employees that suits their needs. However, making certificates an absolute requirement to work in an esports company can cause major problems. According to Tobiaz M. Scholz from The Esports Observer, the existence of a certified exam can hinder a lot of people from entering the world of esports because not everyone will have the chance to take them.
My esports qualifications:
University Degree❌
Esports Certificate❌
Literal World Champion ✅
ECI previously also revealed that one of its goals for making certified exams is to make the esports industry more inclusive. However, studies show that the existence of standardized tests can potentially deepen the chasm of racism or socioeconomic differences. Of course, not everyone in the world has access to the same level of education. In Indonesia, for example, high school students living in urban, more prosperous areas will have a better chance of getting high National Examination scores than students living in underdeveloped regions.
On the other hand, it is important to note that just because many people in the esports industry are against the existence of a certification program doesn’t mean that the world of esports doesn’t need credible professionals. It is quite the opposite, actually. The Head of Operations in Mineski Indonesia, Herry Wijaya, said that the esports industry is in desperate need of people who are highly skilled in the respective fields. Furthermore, he also felt that the skill sets applied in the esports world can be learned from other industries as well. He took broadcasting as an example.
Today, esports is able to attract many sponsorships due to its massive growth and young viewership demography. Esports, for the longest time, have been able to gather large audiences by making interesting broadcasts. Of course, creating an engaging show will require the collective work of skilled and experienced individuals who understand fundamental broadcasting techniques. To meet this need, many esports broadcasts frequently hired employees who had previously worked at TV stations.
“We already have a business plan, we already know what kind of people we need, so we just have to look for someone professional and experienced. For example, if we need someone to manage our events, we will hire someone who understands event and cost management, which are skills taught in economic studies,” Herry said. “This is essentially the hiring and workflow process in today’s esports industry 2.0.”
The CEO of RRQ, Andrian Pauline alias AP, also echoed Herry’s comments. He mentioned that the disciplines used in the esports industry – such as videographers, referees, or social media specialists – already exist in other industries. Those jobs are not something available only in the world of esports.
“There are a lot of similarities between the esports industry and the conventional sports industry. There are coaches, managers, analysts, players, and sponsors,” said AP. “There are people who manage the team’s training schedule, scout for new upcoming players, and run the academies to nurture young talents.”
Furthermore, the AP said, “The most distinct difference between the two industries is the product. Football has been around for more than 100 years, while esports is still very young because it is based on video games. Although games always evolve from time to time, the whole framework stays the same. The skills that are required in the field don’t change. Therefore, if there were to be some sort of certification of esports, it would be more geared towards the general understanding or knowledge of the esports world.”
Herry then compared the current esports industry with the esports industry in the early 2010s, which he labeled as the era of esports 1.0. During this era, people who work and get involved in esports are only passionate about the scene. However, they do not necessarily have expertise in the profession they are engaged in. As a result, they will need to learn these mandatory skills by themselves. Let us take Eddy Lim, President of IeSPA and founder of Ligagame, as a case study.
“Mr. Eddy does not have a broadcasting background, but Ligagame works in the broadcast sector. So, he learned the necessary knowledge and skills to fit in,” said Herry. However, nowadays, most esports companies usually look for people who are already proficient or experienced, which is why tournament organizers frequently hire employees who worked in the TV sector in the past.
Alternatives to Certification
Even though the esports industry currently does not have any form of established certification systems, there are other ways the esports organizations can use to find competent professionals. Many of them have used scouting methods in the past to find talented young players. Tournament organizers like Mineski also have their own practices to screen their employees.
“We usually examine the applicant’s portfolio and work history first,” said Herry. “After we identify their skills and abilities, we begin the testing process. During the interview, we also try to confirm their competency in their field. For example, if an applicant claims to be skilled in handling esports events, we will test him/her about the basic knowledge of handling events and how to efficiently organize them.
Fathimah Prajna Iswari, People Team Lead, Garena Indonesia, also said that certification was not the main criterion when it comes to recruiting new employees. Of course, having a certificate is always a plus. However, Garena will mostly use screen candidates in the early stage by observing their performance in formal education.
“The more important qualities that recruiters notice when selecting candidates is their problem-solving skills, motivation to complete a set of tasks, the curiosity of and willingness to learn new subjects, teamwork aspects, and so on.” Fathimah mentioned.
Generally speaking, there are three stages in the recruitment process at Garena. First, they will review all incoming applications and screen which candidates will enter the next stage. As mentioned previously, formal education will be the main focus of the Garena team in this recruitment phase. Qualified candidates will then be invited to participate in an interview with the hiring manager in the second stage. Candidates who passed this stage will proceed to the final interview with Garena Indonesia Country Head.
“Particularly for esports, Garena is looking for people who have good project management and communication skills while also prioritizing teamwork,” said Fatimah. “Candidates with relevant experiences, such as internships in broadcasting events, will have a significantly higher chance to get hired.”
Conclusion
Passion is no longer enough if you want to work in esports. Today, people who want to enter the esports industry must have the necessary skills that organizations seek. Fortunately, most knowledge and proficiency from other industries can be translated into the esports sector. Before working at Hybrid.co.id, I was mostly involved with technology. However, after switching professions to an esports journalist, I can use the writing and journalism skills I learned at my previous job.
The popularity and immense growth of esports have attracted more and more people to work in the industry, especially because it is one of the few jobs that can survive the COVID-19 pandemic. However, newer and inexperienced people have a lot of to catch up before they can be qualified to work in esports. Certified training and tests can be a simple way to learn basic esports knowledge and solve this problem.
While certificates can aid workers in proving their competency and help companies in finding the employees with the right skillset, ownership of a certificate cannot be an absolute requirement for esports-related jobs. After all, the esports sector is incredibly dynamic, and a wide range of expertise is required throughout the industry.
In the end, we cannot really blame the agencies who want to create certification programs for esports since it can be used to filter people who are passionate about pursuing a career in the sector. However, if not executed properly, these certifications might cause their own fair share of problems.
Talk is cheap. Semua orang bisa mengklaim bahwa dia jago di sebuah bidang. Namun, membuktikan pernyataan itu adalah soal lain. Di sekolah dan universitas, rapor dan IPK menjadi alat untuk mengukur kemampuan para murid dan mahasiswa. Bagi orang-orang yang sudah bekerja, sertifikat bisa menjadi salah satu cara untuk memvalidasi kemampuan seseorang. Pertanyaannya, apakah dunia esports memerlukan sistem sertifikasi?
Esports Certification Institute Ingin Membuat Ujian Bersertifikasi, untuk Apa?
Esports Certification Institute mengumumkan rencana mereka untuk mengadakan ujian sertifikasi di bidang esports pada akhir April 2021. Tujuannya, mereka ingin mendorong terciptanya budaya meritokrasi dan menumbuhkan profesionalisme di dalam diri para pelaku esports. Selain itu, mereka juga berharap, keberadaan ujian bersertifikasi ini akan membuat dunia esports menjadi lebih inklusif.
Lalu, bagaimana cara untuk mendapatkan sertifikasi dari ECI? Sederhana, Anda hanya cukup mengikuti ujian yang mereka berikan. Tes dari ECI mencakup tiga bidang, yaitu pengetahuan tentang esports, kemampuan untuk menyelesaikan masalah, dan statistik. Selain sertifikat, orang yang telah lulus ujian juga akan masuk dalam program keanggotaan ECI. Orang-orang yang menjadi anggota ECI akan dapat melakukan networking dan berdiskusi dengan para penasehat ECI.
ECI didirikan oleh Sebastian Park, mantan VP of Esports dari Houston Rockets, tim NBA dan Ryan Friedman, mantan Chief of Staff dari Dignitas, organisasi esports asal Amerika Serikat. Sementara itu, anggota dewan penasehat ECI terdiri dari eksekutif dari perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam esports, mulai dari perusahaan venture capital BITKRAFT, perusahaan hukum ESG Law, sampai organisasi esports seperti Cloud 9 dan Gen.G.
“Salah satu masalah terbesar di industri esports adalah para pelamar kerja tidak punya bukti konkret bahwa dia punya kemampuan yang diperlukan perusahaan,” kata Park, seperti dikutip dari Yahoo. “Industri esports ingin mempekerjakan seseorang berdasarkan kemampuannya. Hanya saja, tidak banyak cara yang bisa dilakukan untuk merealisasikan hal itu.”
Tentu saja, ujian dari ECI tidak gratis. Anda harus membayar US$400 untuk bisa ikut ujian tersebut. Pihak ECI menjelaskan, sebelum menentukan harga dari ujian bersertifikasi ini, mereka telah melakukan riset pasar. Mereka merasa, biaya tes yang mereka berikan relatif lebih murah jika dibandingkan dengan ujian sertifikasi di bidang lain. Misalnya, untuk bisa mendapatkan sertifikasi Chartered Financial Analyst (CFA), seseorang harus membayar US$1000. Bagi orang-orang yang kurang mampu, ECI telah berdiskusi dengan berbagai institusi pendidikan untuk membuat program ujian gratis.
Alasan ECI untuk membuat ujian bersertifikasi di bidang esports adalah karena mencari pekerja yang mumpuni di dunia esports bukan hal yang mudah. Faktanya, CEO Activision Blizzard, Bobby Kotick bahkan rela mendonasikan US$4 juta ke University of Michigan agar mereka bersedia membuka jurusan esports. Meskipun begitu, keinginan ECI untuk membuat tes bersertifikat justru menuai banyak protes dari para pelaku industri esports. Alhasil, ECI harus memunda rencana mereka untuk mengadakan ujian sertifikasi.
Saat ini, di Indonesia, jumlah program yang menawarkan sertifikat di bidang esports juga tidak banyak. Salah satunya adalah RRQ Academy, yang ditujukan untuk orang-orang yang ingin melatih kemampuan gaming mereka dan menjadi pemain profesional. Saat ini, RRQ Academy menawarkan pelatihan untuk empat game, yaitu Mobile Legends, PUBG Mobile, LoL: Wild Rift, dan Free Fire. Setelah mengikuti kelas selama dua hari, peserta akan mendapatkan sertifikat. Pihak RRQ Academy menjelaskan, sertifikat yang peserta akademi dapatkan tidak dilengkapi dengan penilaian akan kemampuan pemain. Selain itu, sertifikasi tersebut juga tidak punya waktu kedaluwarsa.
Sekarang, saya akan membahas tentang pro-kontra dari pengadaan ujian bersertifikat di dunia esports.
Pro dari Adanya Program Sertifikasi di Esports
Sertifikat bisa menjadi bukti bahwa seseorang punya kredibilitas di bidang tertentu. Misalnya, semua orang bisa saja membuat akun Facebook. Namun, tidak semua orang memegang sertifikat Facebook Blueprint. Sertifikat tersebut hanya diberikan pada orang-orang yang memang mengerti cara menggunakan berbagai produk digital marketing yang disediakan oleh Facebook dan anak-anak perusahaannya.
Selain bukti kredibilitas, keuntungan lain dari memiliki sertifikat bagi pekerja adalah memperluas pengetahuan, menurut International Society of Automation. Hal ini akan membantu seseorang untuk menanjak tangga karir. Selain itu, mengikuti ujian bersertifikat juga akan meningkatkan reputasi seseorang sebagai seorang profesional. Sementara itu, bagi perusahaan, keberadaan sertifikasi akan memudahkan mereka untuk mencari pekerja yang sesuai dengan kriteria yang mereka cari.
We are excited to announce the launch of Esports Certification Institute, a Public Benefit Corporation created to foster professionalism, promote meritocracy, and increase diversity and inclusion in esports. ECI was created to give another path into esports for industry hopefuls pic.twitter.com/NQyxjiWOBc
Gary Ongko, CEO BOOM Esports membandingkan industri esports layaknya “Wild West”. “Banyak pekerja di esports yang merupakan esports enthusiasts, tapi nggak pernah lulus ujian apapun,” katanya saat dihubungi oleh Hybrid.co.id. “Karena sekarang belum ada atau belum banyak jurusan esports, jadi mungkin, sertifikat ini bisa bantu kita untuk hiring orang yang mau kerja/terjun ke esports.”
Sementara itu, menurut Head of Operations, Mineski Indonesia, Herry Wijaya, munculnya sistem sertifikasi di esports merupakan bukti bahwa minat masyarakat untuk bekerja di esports semakin tinggi. Dan hal itu merupakan kabar baik. Karena, semakin banyak orang yang tertarik untuk masuk ke dunia esports, semakin besar pula talent pool yang tersedia. Apalagi karena sekarang, persyaratan untuk bisa bekerja di dunia esports semakin tinggi. Memang, mulai muncul universitas yang membuka jurusan esports. Hanya saja, industri perlu menunggu selama beberapa tahun sebelum mereka bisa mempekerjakan orang-orang yang mengambil jurusan esports saat ini.
Mengikuti program sertifikasi juga bisa menjadi bukti bahwa seseorang serius untuk menekuni sebuah bidang baru. Pasalnya, untuk mendapatkan sebuah sertifikat, seseorang harus siap untuk menginvestasikan uang dan waktunya dalam mempelajari suatu bidang baru. Sebagai contoh, untuk mendapatkan sertifikat dari RRQ Academy, seseorang harus membayar Rp199 ribu untuk ikut kelas online dan meluangkan waktunya selama 2×6 jam.
Terakhir, keberadaan program sertifikasi juga bisa membuat sebuah skill semakin dihargai. Contohnya, dengan adanya sertifikat Facebook Blueprint, orang-orang akan lebih mengerti bahwa membesarkan dan merawat Facebook Page perusahaan tidak semudah mengurus akun pribadi.
Kontra dari Munculnya Program Sertifikasi untuk Esports
Salah satu fungsi utama dari program sertifikasi adalah untuk memvalidasi kemampuan seseorang. Hanya saja, lingkup pekerjaan di dunia esports sangat luas. Kualifikasi yang diperlukan untuk menjadi pelatih tim akan sangat berbeda dari kriteria yang dicari dari seorang videographer. Tak hanya itu, esports adalah industri yang masih muda dan sangat dinamis. Dalam dunia esports, masih belum ditemukan “best practice” seperti di industri lain yang sudah lebih matang. Contoh sederhananya, penulisan kata “esports” pun masih belum seragam. Sebagian menulis eSports, sementara sebagian menggunakan e-sports.
Tak bisa dipungkiri, program sertifikasi memang bisa memudahkan perusahaan untuk mencari pegawai yang kredibel. Namun, jika kepemilikan sertifikat dijadikan persyaratan mutlak untuk bisa bekerja di perusahaan esports, hal ini justru akan menciptakan masalah. Karena, tidak semua orang akan bisa mengikuti ujian demi mendapatkan sertifikat. Seperti yang disebutkan oleh Tobiaz M. Scholz dari The Esports Observer, keberadaan ujian bersertifikat justru bisa mempersulit seseorang untuk terjun ke dunia esports.
My esports qualifications:
University Degree❌
Esports Certificate❌
Literal World Champion ✅
Sementara itu, ECI mengungkap bahwa salah satu tujuan mereka membuat ujian bersertifikat adalah untuk membuat industri esports menjadi semakin inklusif. Meskipun begitu, studi membuktikan bahwa keberadaan tes terstandarisasi justru akan memperdalam jurang rasisme. Alasannya, tidak semua orang bisa mendapatkan akses ke tingkat pendidikan yang sama. Di Indonesia misalnya, siswa SMA yang tinggal di kota-kota besar pasti akan punya kesempatan lebih besar untuk meraih nilai Ujian Nasional tinggi daripada murid yang tinggal di pelosok.
Satu hal yang harus diingat, hanya karena ada banyak pelaku esports yang menentang keberadaan program sertifikasi, bukan berarti dunia esports tak butuh orang-orang profesional. Justru sebaliknya. Head of Operations, Mineski Indonesia, Herry Wijaya mengatakan, saat ini, industri esports membutuhkan orang-orang yang memang ahli di bidangnya. Namun, dia merasa, keahlian yang diperlukan dalam industri esports bisa dipelajari di industri lain. Dia menjadikan ilmu broadcasting sebagai contoh.
Salah satu daya tarik esports di mata sponsor adalah jumlah penonton yang terus naik dan umur penonton yang relatif muda. Untuk menarik penonton, tentu saja, kompetisi esports harus dikemas sedemikian rupa agar menarik. Jadi, industri esports membutuhkan orang-orang yang mengerti tentang teknik siaran. Untuk memenuhi kebutuhan itu, sebagian pelaku esports memutuskan untuk “membajak” orang-orang yang pernah bekerja di stasiun TV.
“Kita kan sudah punya rencana bisnis, sudah tahu orang-orang seperti apa yang diperlukan, ya kita tinggal cari yang memang profesional. Misalnya, kita perlu orang pajak, ya kita hire orang pajak. Kita perlu orang untuk event management, kita cari orang yang paham soal cost management, yang dipelajari di perkuliahan ekonomi,” ujar Herry ketika dihubungi melalui telpon. “Dan memang hal ini yang terjadi di industri esports 2.0.”
Hal yang sama diungkapkan oleh CEO RRQ, Andrian Pauline alias AP. Dia mengatakan, disiplin ilmu yang digunakan dalam industri esports sebenarnya sudah ada dan digunakan di industri lain, mulai dari videographer, wasit, sampai social media specialist. Pekerjaan-pekerjaan itu bukan sesuatu yang hanya tersedia di dunia esports.
“Kalau dibandingkan dengan industri olahraga konvensional, esports pada dasarnya sama. Ada coach, ada manajer, ada analis, ada pemain, ada yang mencari sponsor,” ungkap AP ketika dihubungi melalui pesan singkat. “Ada yang memastikan jadwal latihan tim, ada yang memastikan semua kebutuhan tim terpenuhi, ada yang scout pemain muda berbakat, ada akademi untuk nurture pemain-pemain muda baru.”
Lebih lanjut AP berkata, “Sebenarnya esports sama dengan olahraga. Yang beda hanya produknya. Sepak bola sudah ada 100 tahun lebih, esports baru seumur jagung, karena dasarnya adalah game. Dan nature dari game itu selalu ada masanya… Evolve terus. Tapi, kerangkanya sama. Skill yang dibutuhkan sama. Mungkin, kalau mau ada sertifikasi, tujuannya akan lebih ke pemahaman esports secara garis besar.”
Herry lalu membandingkan industri esports saat ini dengan industri esports pada awal tahun 2010-an. Ketika itu — dia menyebutkan sebagai era esports 1.0 — orang-orang yang bekerja di dunia esports adalah mereka yang memang punya passion akan esports. Namun, belum tentu mereka punya keahlian di bisnis yang mereka tekuni. Alhasil, mereka dituntut untuk bisa mempelajari skill yang diperlukan. Contohnya, Eddy Lim, Presiden dari IeSPA dan pendiri Ligagame.
“Pak Eddy kan bukan orang yang punya latar belakang broadcasting, tapi Ligagame bekerja di bidang broadcast. Jadi, dia belajar otodidak untuk fit in, mempelajari ilmu yang dia perlukan,” ujar Herry. Namun, sekarang, perusahaan esports biasanya mencari orang yang memang ahli di bidangnya. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa penyelenggara turnamen mau mempekerjakan mantan pekerja stasiun televisi.
Alternatif dari Sertifikasi
Industri esports memang tidak punya sistem sertifikasi saat ini. Namun, hal itu bukan berarti pelaku esports tak punya cara untuk memastikan para pelamar pekerjaan punya skill yang mereka butuhkan. Organisasi esports punya scout untuk mencari pemain muda berbakat. Sementara itu, Herry bercerita, tournament organizer seperti Mineski juga punya metode tersendiri untuk menyaring pekerjanya.
“Secara umum, yang kita lakukan adalah meneliti portofolio dan riwayat kerja sang pelamar,” ungkap Herry. “Setelah kita tahu apa saja kemampuannya, kita tinggal uji. Saat wawancara, juga ada tes untuk membuktikan apakah seseorang memang kompeten di bidangnya. Misalnya, seorang pelamar mengaku paham tentang event. Kita akan uji pengetahuan dasar soal event, seperti tools yang dia pakai, apakah benar atau tidak, seberapa efektif dan efisien dia menggunakan tools.”
Fathimah Prajna Iswari, People Team Lead, Garena Indonesia juga mengatakan, sertifikasi bukan kriteria utama ketika mereka hendak merekrut karyawan. Meskipun begitu, jika seseorang memiliki sertifikat, hal itu memang akan menjadi nilai tambah. Sementara itu, Garena akan menggunakan pendidikan formal untuk menyaring kandidat di tahap awal.
“Namun, yang terpenting adalah perekrut dapat melihat kualitas dari setiap kandidat, seperti bagaimana kandidat menyelesaikan masalah, bagaimana kandidat termotivasi untuk menyelesaikan tugas-tugas dengan baik, seberapa rasa ingin tahunya untuk belajar mengenai hal-hal baru, bagaimana kandidat bekerja sendiri atau dengan orang lain, dan lain sebaganya,” kata Fathimah saat dihubungi melalui email.
Secara garis besar, ada tiga tahap dalam proses perekrutan di Garena. Pertama, mereka akan meninjau semua surat lamaran yang masuk dan menentukan kandidat yang akan masuk dalam tahap berikutnya. Di tahap ini, pendidikan formal jadi salah satu pertimbangan tim Garena. Di tahap kedua, para kandidat yang lolos akan diundang untuk ikut dalam wawancara dengan hiring manager. Jika lolos tahap kedua, kandidat akan diundang ke wawancara terakhir dengan Country Head Garena Indonesia.
“Khusus untuk esports, Garena mencari orang-orang yang memiliki project management yang baik, mampu berkomunikasi dan bernegosiasi dengan baik dan juga team player yang baik,” ungkap Fathimah. “Jika kandidat punya pengalaman yang relevan, seperti pernah magang atau pengalaman bekerja di event atau broadcasting, hal itu akan menjadi nilai tambah.”
Kesimpulan
Passion tak lagi cukup untuk bekerja di dunia esports. Sekarang, orang-orang yang ingin terjun ke industri esports juga harus punya keahlian yang mumpuni. Kabar baiknya, ilmu yang Anda dapatkan dari industri lain bisa diaplikasikan di industri esports. Sebelum bekerja di Hybrid.co.id, saya lebih sering berkutat dengan teknologi. Namun, setelah beralih profesi sebagai jurnalis esports, toh ilmu penulisan dan jurnalisme yang saya pelajari di pekerjaan saya sebelumnya tetap saya gunakan.
Popularitas esports membuat semakin banyak orang tertarik untuk melamar pekerjaan di perusahaan-perusahaan esports. Apalagi karena esports bisa bertahan melalui pandemi virus corona. Hanya saja, orang-orang yang sama sekali awam akan esports mungkin harus mencoba mengejar ketertinggalannya. Pelatihan dan tes bersertifikasi bisa menjadi salah satu cara untuk belajar akan pengetahuan dasar soal esports.
Walau sertifikat bisa membantu pekerja untuk membuktikan kemampuannya dan memudahkan perusahaan mencari pegawai yang punya skill, kepemilikan sertifikat tidak bisa menjadi persyaratan absolut untuk masuk ke dunia esports. Salah satu alasannya karena dunia esports yang sangat dinamis. Alasan lainnya adalah karena luasnya cakupan keahlian yang diperlukan di dunia esports.
Pada akhirnya, tidak salah jika sebuah badan ingin membuat program sertifikasi esports demi memuluskan jalan orang-orang yang memang ingin menekuni bidang competitive gaming. Namun, jika tidak dieksekusi dengan hati-hati, hal itu justru bisa menyebabkan masalah sendiri di dunia esports. After all, the road to hell is paved with good intentions.
Minggu lalu, ada beberapa kabar baik dari dunia esports Tanah Air. Salah satunya, BOOM Esports berhasil menang di VCT Challengers Indonesia – Stage 1 Week 3. Hal itu berarti, mereka akan mewakili Indonesia bersama NXL Ligagame di VALORANT Masters SEA. Sementara itu, RRQ merekrut tim Wild Rift baru di Filipina. Tim itu akan langsung berlaga di SEA Icon Series: Preseason.
RRQ Buat Tim Wild Rift di Filipina
Melalui Instagram, RRQ mengumumkan roster baru mereka untuk League of Legends: Wild Rift. Tim ini akan bermarkas di Filipina. Mereka juga akan langsung ikut serta dalam Wild Rift SEA Icon Series: Preseason pada 20-21 Maret 2021.
Anggota tim Wild Rift RRQ terdiri dari:
Ecila – Baron lane (Top lane)
Chazz – Jungler
Helios – Mid lane
V1PER – Dragon lane (ADC)
Danyel – Support
Edho Zell Buat Tim Esports, SAGA Esports
YouTuber Edho Zell memutuskan untuk terjun ke dunia esports dengan membuat tim esports bernama SAGA Esports. Selain itu, dia juga membuat akademi esports yang dinamai Esports Academy ID. Edho Zell mengaku, dia memang sudah tertarik dengan dunia esports sejak lama. Dia mengungkap, dia sering bermain game-game esports seperti Call of Duty dan Overwatch. Tidak jarang, dia bermain bersama pemain profesional Arza Satria. Karena itu, dia memutuskan untuk bekerja sama dengan Arza untuk membuat Esports Academy ID dan SAGA Esports, lapor Antara.
GoodGamingShop Buka Experience Zone, Jadi Tempat Gamer Coba Gaming Gear
GoodGamingShop – The Experience Zone resmi dibuka pada akhir Februari 2021 lalu. Tujuan Experience Zone ini dibuka adalah untuk memudahkan para gamer mencoba berbagai perangkat gaming yang ingin mereka beli. Di sisi lain, Experience Zone tersebut juga bisa menjadi tempat bagi para merek gaming untuk memamerkan produk mereka.
GoodGamingShop (GGS) didirikan pada 12 tahun lalu. Visi dan misi dari GGS adalah menyediakan perangkat gaming lengkap bagi para gamer Indonesia. Harapannya, hal ini juga akan memajukan dunia esports di Tanah Air.
BOOM Esports Jadi Salah Satu Wakil Indonesia di VALORANT master
BOOM Esports akan menjadi salah satu tim yang mewakili Indonesia di turnamen VALORANT Masters tingkat Asia Tenggara. Hal ini mereka ungkap melalui akun Facebook resmi mereka. VALORANT Masters merupakan bagian dari VALORANT Champions Tour (VCT). Sebelum ini, NXL Ligagame telah terlebih dulu terpilih sebagai wakil Indonesia setelah memenangkan VCT 2021: Indonesia Stage 1 Challengers 2. BOOM Esports mendapatkan tiket untuk berlaga di VALORANT Masters setelah mengalahkan Alter Ego 3-0 di Final Qualifier Week 3.
ESL Gaet Krafton untuk Gelar Seri Turnamen PUBG Baru
ESL bekerja sama dengan Krafton untuk meluncurkan seri turnamen PUBG baru, yaitu ESL PUBG Masters. Seri turnamen itu akan terdiri dari empat turnamen yang diadakan di Amerika dan Eropa. Masing-masing turnamen akan menawarkan total hadiah sebesar US$50 ribu. Selain mendapatkan hadiah, tim yang bertanding di ESL PUBG Masters punya kesempatan untuk mendapatkan PUBG Global Championship (PGC) Qualification Points, menurut laporan Esports Insider.
Esports sudah menjadi industri besar. Orang-orang di dalamnya pun dituntut untuk bekerja layaknya seorang profesional, termasuk para pro gamer. Dan jangan salah, gaji para pemain profesional yang bermain di liga besar sudah melampaui Upah Minimum Regional DKI Jakarta. Misalnya, gaji minimum pemain Mobile Legends Professional League adalah Rp7,5 juta. Para pemain esports yang berlaga di kancah internasional bahkan punya gaji yang jauh lebih fantastis. Di Eropa, gaji rata-rata pemain League of Legends profesional mencapai miliaran rupiah.
Namun, gaji bukan satu-satunya variabel yang harus diperhitungkan ketika seseorang hendak memilih pekerjaan. Ada beberapa faktor lain yang menjadi bahan pertimbangan, seperti asuransi atau dana pensiun. Inilah alasan mengapa bagi sebagian orang, Pegawai Negeri Sipil (PNS) masih merupakan pekerjaan idaman. Sementara bagi perempuan, peraturan terkait cuti hamil dan melahirkan bisa jadi salah satu faktor yang harus diperhitungkan.
Lalu, apakah organisasi esports menawarkan keuntungan lain bagi para pemainnya?
Keuntungan yang Bisa Ditawarkan Organisasi Esports: Jaminan Kesehatan dan Edukasi Finansial
Menjadi pemain esports tidak semudah kelihatannya. Ada beberapa pengorbanan yang harus dibuat untuk menjadi pemain profesional. Salah satunya adalah kesehatan. Ketika menjadi pemain profesional, seseorang bisa menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari untuk berlatih.
Kepada TMZ Sports, Kenny “Kenny” Williams dari Los Angeles Thieves dan Dillon “Attach” Price dari Minnesota ROKKR mengungkap jadwal latihan mereka. Attach berkata, dia dan timnya bisa menghabiskan waktu sekitar 5-6 jam sehari untuk berlatih. Dalam seminggu, mereka berlatih selama 6-7 hari. Menjelang turnamen, mereka bisa berlatih tanpa hari libur. Sementara itu, Kenny menyebutkan, ia dan timnya menghabiskan waktu sekitar 35-40 jam seminggu untuk berlatih. Jika mereka berlatih selama 6 hari, maka setiap harinya, mereka menghabiskan sekitar 6-7 jam.
“Kami punya jadwal latihan tetap. Kami bermain sejak jam 1 siang sampai sekitar jam 7 malam,” kata Kenny. “Namun, menjelang turnamen, kami biasanya akan berlatih lebih lama.” Ketika seseorang menghabiskan terlalu banyak waktu dalam posisi duduk, hal ini dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan, mulai dari naiknya risiko obesitas sampai pelemahan otot. Tak hanya itu, seorang pemain profesional juga bisa terkena cedera, mulai dari cedera pada pergelangan tangan, punggung, atau leher.
Selain waspada akan cedera, seorang pemain profesional juga harus memerhatikan asupan gizinya. Pasalnya, gizi dan nutrisi juga memengaruhi performa pemain. Jadi, salah satu benefit yang bisa ditawarkan oleh organisasi esports pada para pemainnya adalah jaminan akan gizi yang memadai. Untuk itu, sebagian organisasi esports bahkan rela mempekerjakan ahli gizi untuk memastikan bahwa para atlet mereka mendapatkan asupan gizi yang memadai. Sayangnya, tidak semua organisasi esports mau — atau mampu — melakukan hal ini.
Pemain profesional tak hanya harus peduli pada kesehatan fisik, tapi juga kesehatan mental. Jika diacuhkan, gangguan mental bahkan bisa menyebabkan seorang atlet esports mengundurkan diri. Hal ini terjadi pada Heo “PawN” Won-seok, pemain League of Legends asal Korea Selatan yang sempat diklaim sebagai rival abadi dari Lee Sang-hyeok alias Faker. PawN mengundurkan diri karena mengidap Obsessive Compulsive Disorder (OCD).
Selain itu, bertanding dalam turnamen bergengsi di hadapan banyak penonton memberikan tekanan mental untuk para atlet esports. Beban mental yang ditanggung oleh pemain profesional elit bahkan disebutkan sama seperti beban mental para atlet Olimpiade. Dan keadaan psikologis seorang pemain punya pengaruh padaa performanya. Itulah sebabnya mengapa beberapa organisasi esports mempekerjakan psikolog. Sayangnya, lagi-lagi, tidak semua organisasi esports bisa atau bersedia mempekerjakan psikolog.
Tak melulu soal kesehatan, edukasi soal literasi finansial bisa jadi salah satu benefit yang ditawarkan oleh organisasi esports pada para pemainnya agar mereka setia. Dan literasi keuangan itu memang penting untuk para pemain profesional. Hanya saja, walau sudah ada organisasi esports yang bersedia mengedukasi para pemainnya soal tabungan dan investasi, praktek ini belum menjadi standar di industri esports. Alhasil, jika pemain tidak mawas diri, uang yang mereka kumpulkan selama mereka berkarir sebagai pemain profesional bisa hilang tanpa bekas.
Jika kesehatan atlet esports penting, kenapa tidak semua organisasi esports mau mempekerjakan ahli gizi atau psikolog? Dan jika literasi finansial penting untuk masa depan para atlet esports, kenapa hanya sebagian organisasi esports yang mau mengedukasi para pemainnya tentang literasi finansial?
Esports adalah industri baru. Memang, nilai industri esports diperkirakan akan mencapai US$1 miliar. Meskipun begitu, organisasi esportsbelum menemukan model bisnis yang pasti. Karena itu, tentunya mereka juga akan berusaha untuk menekan pengeluaran. Jadi, tidak heran jika sebagian organisasi esports enggan untuk mempekerjakan ahli gizi atau psikolog. Dalam kasus ini, tanggung jawab untuk menjaga kesehatan para atlet akan jatuh ke tangan mereka sendiri.
Soal literasi finansial, alasan yang sama juga berlaku. Tidak semua organisasi esports punya biaya — atau mau mengeluarkan biaya — untuk membayar ahli finansial demi mengedukasi para atletnya tentang perencanaan finansial jangka panjang. Apalagi karena literasi finansial tidak memberikan dampak langsung pada performa pemain.
Memang, dalam dunia kerja, pekerja yang setia tidak hanya lebih produktif, tapi juga memberikan pelayanan yang lebih baik. Hal ini akan berujung pada kepuasan konsumen, dan berakhir pada meningkatnya pendapatan perusahaan. Jadi, perusahaan memang punya kepentingan untuk membuat para karyawannya puas dengan kondisi kerja mereka. Dan salah satu cara untuk membuat karyawan menjadi betah bekerja di sebuah perusahaan adalah dengan memberikan benefit ekstra — termasuk kesempatan untuk belajar hal baru. Sayangnya, kondisi di dunia esports — khususnya terkait pemain profesional — agak berbeda. Pasalnya, karir pemain profesional sangat singkat.
Menurut Esports Lane, rata-rata, karir seorang pemain esports hanya bertahan selama sekitar 4-5 tahun. Hal itu berarti, sebuah organisasi esports tidak punya urgensi untuk mempertahankan atlet esports dalam waktu lama, berbeda dengan perusahaan konvensional yang bisa mempekerjakan seseorang hingga belasan atau bahkan puluhan tahun. Karena itu, tidak aneh jika organisasi esports tak terlalu memusingkan soal benefit yang bisa mereka berikan pada para pemainnya.
Durasi Liga Esports dan Kontrak yang Singkat
Esports memang sering dibandingkan dengan olahraga tradisional. Competitive gaming bahkan kini mulai dianggap sebagai olahraga dan dimasukkan ke dalam berbagai event olahraga besar, seperti Asia Games dan SEA Games. Meskipun begitu, esports tetap punya beberapa perbedaan dengan olahraga tradisional. Salah satunya adalah game, yang menjadi media pertandingan dalam esports, merupakan produk komersil. Hal itu berarti, popularitas skena esports dari sebuah game bisa memberikan dampak langsung pada pemasukan publisher. Sebagai ilustrasi, FIFA tidak akan mendapatkan untung apapun jika jumlah pemain sepak bola amatir bertambah. Namun, jika jumlah pemain Rainbow Six: Siege naik, maka hal ini bisa memberikan dampak langsung pada pemasukan Ubisoft.
Hal lain yang membedakan antara esports dan olahraga adalah game esports punya risiko menjadi dead game. Umur rata-rata penonton sepak bola terus naik. Namun, tidak ada berita yang menyebutkan bahwa “sepak bola akan mati!” Lain halnya dengan game esports. Bahkan game yang skena esports-nya sudah tumbuh besar sekalipun, seperti Dota 2, pernah diduga akan menjadi dead game. Ekosistem Dota 2 di Indonesia pun sudah kering kerontang. Dua perbedaan antara esports dan olahraga ini membuat penyelenggaraan kompetisi esports menjadi agak berbeda dari pertandingan olahraga tradisional, misalnya dalam hal frekuensi dan durasi kompetisi.
Dalam setahun, kompetisi esports biasanya diadakan dua kali; spring split dan fall split atau summer split dan winter split. Sementara kompetisi olahraga tradisional, seperti sepak bola, biasanya hanya diadakan satu tahun sekali. Selain itu, durasi kompetisi esports juga jauh lebih pendek. Free Fire Master League Season III berlangsung selama 5 minggu, sejak 16 Januari 2021 sampai 20-21 Februari 2021. Sementara regular season dari Mobile Legends Professional League berlangsung selama 8 minggu sebelum memasuki babak playoff, yang biasanya berlangsung selama 3 hari. Sebagai perbandingan, Liga Inggris dimulai pada bulan Agustus dan berakhir pada bulan Mei di tahun berikutnya. Hal itu berarti, Liga Inggris berlangsung selama sekitar 10 bulan.
Pendeknya durasi liga esports punya pengaruh pada durasi kontrak antara pemain dan tim esports. Menurut shoutcasterWibi “8ken” Irbawanto, rata-rata, kontrak antara pemain dan tim esports hanya berlangsung selama 3-12 bulan. Memang, ada beberapa pemain yang bisa mendapatkan kontrak hingga 2 tahun. Namun, jika kontrak punya durasi lebih dari 2 tahun, hal itu sudah dianggap sebagai “taruhan besar” oleh sebuah organisasi esports. Sementara itu, rata-rata durasi kontrak pemain sepak bola adalah 3-5 tahun.
Umur karir yang singkat dan frekuensi penyelenggaraan turnamen yang tinggi; 2 hal ini tampaknya merupakan faktor mengapa para pemain esports tidak segan untuk pindah dari satu tim ke tim lain dalam waktu singkat. Dan hal itu sah saja. Pindah ke perusahaan lain memang merupakan salah satu cara untuk bisa menaikkan gaji seseorang. Jadi, wajar saja jika seorang pemain memutuskan untuk pindah ke tim lain demi mendapatkan gaji yang lebih besar atau benefit yang lebih baik.
Selain itu, organisasi esports juga tidak segan untuk mengeluarkan seorang pemain atau membubarkan tim jika performa sang pemain atau tim itu dianggap tidak memuaskan. Dalam hal ini, organisasi esports juga tidak bisa disalahkan. Pasalnya, sponsorship masih menjadi kontributor terbesar dalam pemasukan organisasi esports. Dan mendapatkan fans sebanyak-banyaknya merupakan salah satu cara untuk menarik sponsor. Untuk bisa memenangkan hati fans, sebuah organisasi esports juga harus bisa unjuk gigi.
Regenerasi pemain memang penting. Namun, jika organisasi esports terus mengganti roster pemainnya, hal ini juga akan menyebabkan masalah tersendiri. Misalnya, para pemain harus kembali menyesuaikan diri dengan ritme dan gaya bermain sang pemain baru. Sementara jika sebuah organisasi esports merekrut tim yang sama sekali baru, maka mereka harus melatih para pemain dari nol. Bagi para pemain profesional, berganti tim juga punya risiko sendiri. Tak bisa dipungkiri, chemistry antar pemain juga berpengaruh pada performa sebuah tim. Dalam sepak bola pun, bukan hal yang aneh melihat seorang striker mendadak tak bisa mencetak gol karena berganti tim.
Ekosistem Esports yang Sehat, Tanggung Jawab Siapa?
Publisher menjadi salah satu pihak yang paling bertanggung jawab dalam memastikan ekosistem esports dari game-nya tidak hanya berkembang, tapi juga tumbuh dengan sehat. Alasannya, publisher memegang wewenang paling besar atas sebuah game dan ekosistem esports dari game itu. Misalnya, Activision Blizzard bisa menentukan gaji minimum untuk para pemain yang berlaga di Overwatch League. Sementara itu, Riot Games bisa memutuskan soal penggunaan sistem franchise pada liga League of Legends. Dengan kata lain, publisher hampir punya kuasa penuh dalam menentukan bagaimana cara mereka menyelenggarakan kompetisi esports.
Mengingat singkatnya durasi liga esports menjadi salah satu faktor mengapa roster tim esports cepat berubah, salah satu hal yang bisa publisher lakukan untuk mengatasi masalah ini adalah dengan memperpanjang durasi liga esports. Dengan begitu, baik tim maupun atlet esports bisa punya waktu yang lebih panjang untuk membuat rencana. Meskipun begitu, hal ini bisa jadi memunculkan masalah baru, seperti penurunan penonton, yang pasti bakal berdampak ke pemasukan. Pasalnya, target penonton kompetisi esports adalah generasi milenial dan gen Z, yang sering disebut punya attention span singkat. Jadi, mengadakan liga esports yang lebih panjang justru bisa membuat para penonton menjadi bosan.
Sebagai bagian dari industri esports, pemain dan organisasi esports tentunya juga punya peran sendiri dalam memastikan ekosistem esports tumbuh dengan sehat. Salah satu kewajiban organisasi esports adalah memberikan kompensasi — gaji dan benefit — yang memadai untuk para pemainnya. Memang, organisasi esports bukanlah badan amal yang harus menyiapkan segala sesuatu untuk menjamin masa depan para atletnya bahkan setelah pensiun. Meskipun begitu, jika mereka tetap ingin memberikan literasi finansial tanpa mengeluarkan dana ekstra, mereka bisa menjalin kerja sama dengan institusi keuangan.
Saat ini, semakin banyak merek non-endemik yang tertarik untuk masuk ke dunia esports, tak terkecuali bank dan asuransi. Jika organisasi esports tetap ingin memberikan asuransi tapi terkendala masalah biaya, mereka bisa menggandeng institusi keuangan sebagai rekan. Hal ini telah dilakukan oleh T1. Pada Juli 2020, mereka bekerja sama dengan Hana Bank. Melalui kerja sama ini, para pemain T1 mendapatkan asuransi dan layanan finansial dari Hana Bank. Sebagai gantinya, T1 akan mempromosikan aplikasi dari Hana Bank dan membantu bank itu untuk mengembangkan produk finansial untuk fans esports.
Tak hanya edukasi, organisasi esports juga bisa membantu para pemainnya yang telah pensiun dengan cara lain. Contohnya, dengan menawarkan pekerjaan lain pasca pensiun dari pro player. CEO RRQ, Andrian Pauline alias AP pernah mengungkap bahwa pemain RRQ yang sudah pensiun bisa melamar pekerjaan di perusahaan-perusahaan anak MidPlaza Holding, yang merupakan induk dari RRQ. EVOS Esports juga sudah melakukan hal yang sama. Pada akhir Februari 2021, EVOS menunjuk Stefan Chong sebagai Business Development Lead untuk kawasan Singapura. Di Korea Selatan, kesetiaan Lee “Faker” Sang-hyeok pada T1 berbuah manis. Pada Februari 2020, T1 tidak hanya memperpanjang kontrak dengan pemain League of Legends itu. Faker bahkan mendapatkan sebagian saham dari organisasi esports tersebut.
Jika dibandingkan dengan publisher dan organisasi esports, pemain profesional memang terlihat sebagai pihak dengan bargaining power paling kecil. Namun, hal itu bukan berarti para atlet esports harsu pasrah begitu saja menerima keadaan. Salah satu hal yang pemain profesional bisa lakukan sebagai ancang-ancang sebelum pensiun adalah mempelajari kemampuan baru. Jadi, begitu karirnya selesai, dia tidak kebingungan untuk mencari pekerjaan baru. Selain itu, seorang pemain esports juga bisa banting setir ke bisnis. Karena itulah, literasi finansial penting bagi para pemain profesional.
Satu hal yang pasti, bagaimana kehidupan pemain profesional setelah karirnya selesai akan tergantung pada dirinya sendiri. Memang, organisasi esports bisa membantu dengan memberikan edukasi literasi keuangan atau menawarkan posisi manajemen. Walaupun begitu, pada akhirnya, sang pemainlah yang mengambil keputusan tentang rencananya di masa depan.
Penutup
Pada akhirnya, kontrak kerja punya konsep yang sama dengan kontrak jual-beli. Akad jual-beli hanya akan terjadi jika penjual dan pembeli setuju bahwa harga yang dibayar pembeli sesuai dengan nilai dari barang atau layanan yang dijual. Begitu juga dengan kontrak kerja. Seorang pekerja bersedia untuk memberikan tenaga dan waktunya demi perusahaan asal dia mendapatkan kompensasi yang cukup. Saya rasa, konsep ini juga berlaku di dunia esports. Hanya saja, umur para pemain esports memang jauh lebih muda dari karyawan perusahaan. Jadi, pengalaman mereka terkait dunia kerja mungkin masih minim.
Idealnya, organisasi esports tidak hanya menjaga kesehatan pemainnya, tapi juga mengajari pemainnya tentang bagaimana bersikap profesional. Lebih baik lagi jika mereka membantu para atletnya untuk mempersiapkan masa depan mereka. Walaupun begitu, pada akhirnya, tanggung jawab akan masa depan seorang pemain profesional ada di tangan sang atlet esports sendiri.