Kalau kamu lagi mencari perangkat yang praktis buat bikin konten video, kamera terbaru Sony ZV-1 patut dipertimbangkan. Ia adalah kamera compact dengan sensor 1 inci sama seperti RX100 series, tetapi telah dioptimalkan untuk pengambilan video.
Beberapa modifikasi penting antara lain layar vari-angle yang sangat berguna untuk nge-vlog, pengambilan video vertikal, dan memudahkan mengambil footage low-angle atau high-angle. Kualitas mikrofon internal-nya di atas rata-rata dengan directional 3-capsule microphone dan dapat menangkap suara yang datang dari depan kamera dengan cukup baik.
Dalam paket penjualannya turut disertakan dead cat yang menempel melalui hot shoe, berguna untuk meredam suara tidak jelas akibat semburan angin. Bagian terbaiknya, Sony tetap menyediakan port mikrofon 3,5mm dan hot shoe. Mikrofon bawaannya memang cukup dapat diandalkan di kondisi darurat, tapi untuk mendapatkan kualitas audio yang lebih proper sebaiknya menggunakan mikrofon eksternal.
Meski dibekali fitur video yang berlimpah, sebagai kamera compact dengan bodi mungil, Sony ZV-1 tentu punya batas kemampuan. Lalu, cocoknya buat siapa? Berikut review Sony ZV-1 selengkapnya.
Fitur-fitur Video
Selain layar vari-angle dan mikrofon internal yang mengesankan. Sony ZV-1 juga dibekali sistem autofocus yang kencang dengan Real-time Eye AF dan Real-time Tracking, serta sejumlah fitur video baru seperti Background Defocus dan Product Showcase.
Background Defocus bukan rekayasa software, hanya mempercepat proses untuk mendapatkan foto maupun video dengan background bokeh secara otomatis. Singkatnya kita tidak perlu repot-repot mengatur aperture secara manual dan kemudian mengimbanginya dengan shutter speed dan ISO.
Walaupun aperture-nya besar F1.8-2.8, namun karena sensor Sony ZV-1 relatif kecil yaitu 1 inci. Maka jangan berharap mendapatkan hasil bokeh yang dramatis seperti yang dihasilkan sensor APS-C apalagi full frame.
Beralih Product Showcase, fitur ini akan memastikan produk yang kita tampilkan ke depan kamera mendapatkan fokus. Mungkin terdengar sepele, tapi pasti berguna bagi para tech reviewer gadget misalnya.
Saat fitur Product Showcase dinyalakan, kamera akan menonaktifkan Face Priority di pengaturan fokus. Sehingga objek yang lebih dekat dengan kamera akan terfokus meski wajah kita berada di dalam frame. Karena sistem autofocus Sony ZV-1 memang cepat, perpindahan fokusnya terasa halus.
Selain itu, mode video Intelligent Auto memungkinkan kita membuat konten video tanpa perlu memikirkan aspek teknis seperti mengatur shutter speed, aparture, ISO, white balance, dan lainnya. Layaknya menggunakan kamera smartphone, kita cukup tekan tombol recording.
Posisi Sony ZV-1
Barangkali masih ada yang bingung, di mana posisi Sony ZV-1 sebenarnya? Menurut saya, Sony ZV-1 mengisi celah antara smartphone dan kamera mirrorless, juga merupakan alternatif dari action camera.
Kualitas rekaman video dari kamera smartphone memang sudah lumayan bagus, tetapi kurang dapat diandalkan di kondisi minim cahaya. Jelas bahwa smartphone bukan perangkat yang optimal untuk produksi video rutin.
Saya pikir untuk urusan video, kamera mirrorless pilihan yang lebih tepat. Namun karena ukuran kamera mirrorless relatif cukup besar, beberapa orang merasa kurang nyaman dalam menggunakannya.
Sementara, kalau dibanding action camera, kamera compact tentu lebih fungsional. Sony mengatakan bahwa ZV-1 dirancang untuk pengambilan video kasual durasi pendek atau panjang, momen sehari-hari dan membagikannya ke media sosial atau membuat konten video YouTube. Hasil rekamannya bisa dengan mudah ditransfer ke smartphone dan diedit menggunakan aplikasi Imaging Edge Mobile. Hasil foto Sony ZV-1 sebagai berikut:
Kamera ini memang ditujukan untuk para content creator dan kalian bisa menggunakan Sony ZV-1 sebagai satu-satunya kamera, tetapi saya merekomendasikan sebagai kamera sekunder. Untuk YouTuber bisa menggunakan ZV-1 untuk solusi multi-camera dan memudahkan bikin video di tempat umum. Juga merupakan alat yang powerful bagi influencer dan selebgram, untuk menciptakan konten lebih baik dari yang dihasilkan smartphone.
Lalu, apa bedanya dengan RX100 series? Kamera ini dirancang untuk mereka yang berpengalaman di bidang fotografi. Sony menjejalkan teknologi canggih pada kamera mirrorless mereka ke dalam bodi point-and-shoot.
Sony ZV-1 ini dibanderol Rp9.999.000 dan fakta yang menarik adalah kamera mirrorless Sony A6100 dengan lensa kit dan ultra-compact camera Sony RX0 II juga dijual dengan harga yang sama. Ketiga kamera tersebut dirancang untuk memenuhi kebutuhan dasar pembuatan video dengan cara yang berbeda tergantung kebutuhan.
Modifikasi RX100 Series
Untuk mendeskripsikan Sony ZV-1, kita harus membandingkannya dengan RX100 series. Ia mengemas sensor CMOS bertipe stacked 1 inci beresolusi 20MP, dilengkapi chip DRAM, dan prosesor BIONZ X generasi terbaru dengan LSI front-end.
Sony ZV-1 mengemas lensa zoom setara 24-70mm F1.8-2.8 ZEISS Vario-Sonnar T* seperti yang terdapat pada RX100 V (A), lengkap dengan ND filter untuk menekan shutter speed saat syuting di luar ruangan. Sayangnya bukan lensa 24-200mm F2.8–4.5 ZEISS Vario-Sonnar T* seperti yang ditemukan pada RX100 VII.
Pada focal length 24mm kita bisa menggunakan aperture f1.8, bila menggunakan fitur electronic stabilization SteadyShot standar, dan menggunakan tripod mini, bidang pandangnya masih lumayan luas. Pundak masih terlihat sedikit dan masih ada ruang untuk menampilkan background.
Masalah muncul bila menggunakan SteadyShot active, karena crop-nya mencapai 25 persen. Bidang pandangnya menjadi lebih sempit dan frame dipenuhi wajah, tidak banyak ruang kosong yang tersisa. Solusinya kita dapat menggunakan tripod mini yang bisa dipanjangkan, Sony juga menjual shooting grip yang cocok untuk ZV-1 yaitu GP-VPT1 yang dijual seharga Rp1.599.000.
Menurut Sony, SteadyShot active 11x lebih baik daripada stabilisasi standar, kinerja lumayan untuk mengkompensasi goyangan saat nge-vlog. Kalau ingin gerakan yang mulus, tetap harus investasi gimbal dan sudah ada gimbal yang ukurannya kecil seperti Zhiyun Tech Crane M2.
Bagaimana dengan desainnya? Sony merancang ulang desain dan tombol fisik kontrolnya. Mulai dari layar vari-angle, mengorbankan pop-up EVF untuk hot shoe, dan pop-up flash diganti untuk mikrofon directional 3-capsule.
Masih dibagian atas, mode dial fisik untuk mode kamera diganti tombol biasa, bersama tombol perekam video, tombol shutter dengan tuas untuk zoom, tombol untuk Background Defocus, dan tombol on/off.
Cincin kontrol pada lensa juga dipangkas dan bagi penggemar tali kamera mungkin akan sedikit kecewa. Sebab ZV-1 hanya menyediakan pengait tali di sebelah kanan saja, tetapi bisa dimaklumi karena akan mengganggu layar saat diputar bila ada pengait tali di sebelah kiri.
Satu-satunya roda kontrol ada di bagian depan dan multi fungsi, baik untuk mengatur shutter speed, aperture, ISO, manual focus, dan navigasi menu. Seperti kebanyakan kamera Sony, layar sentuh 3 inci beresolusi 921.600 titiknya fungsinya terbatas untuk touch focus dan aspek rasionya 3:2 daripada rasio 16:9 yang digunakan untuk video.
Port mikrofon dan HDMI berada di sebelah kanan. Sayangnya untuk pengisian daya masih menggunakan port jenis lawas microUSB, jadi pastikan membawa kabel data microUSB saat bepergian. Kita tidak bisa menggunakan charger smartphone karena kebanyakan sudah pakai USB Type-C.
Sony ZV-1 menggunakan baterai tipe NP-BX1 yang sama seperti RX100 series. Kapasitasnya kecil, hanya menyediakan 260 jepretan atau 45 menit perekaman video. Biar tidak was-was kehabisan baterai tiap bepergian, sebaiknya membeli satu atau dua baterai. Kabar baiknya, batera tipe ini bisa dengan mudah ditemukan dan seharga cukup terjangkau sekitar Rp400 ribuan.
Kemampuan Video
Sony ZV-1 dapat merekam video UHD 4K 24p/30p full pixel readout tanpa pixel binning pada format XAVC S, secara default durasi perekaman video 4K-nya dibatasi 5 menit. Untuk menghapus batasan tersebut, kita harus mengubah pengaturan ‘auto power off temp‘ dari standar menjadi high.
Sony mengklaim, ZV-1 dapat merekam video 4K lebih dari 30 menit dan mendukung SteadyShot active. Hal ini memang cukup menarik, tetapi bukan berarti bodi Sony ZV-1 tidak kepanasan karena bodinya kecil sebelum 30 menit sudah muncul peringatan overheat.
Sementara pada resolusi 1080p, Sony ZV-1 mendukung 24 fps, 30 fps, 60 fps, dan 120 fps. Fitur favorit saya ialah mode high frame rate yang diambil pada resolusi rendah dan di-upscale menjadi 1080p. Pada frame rate 240 fps hasilnya cukup bagus, tapi pada 480 fps dan 960 fps sudah mulai muncul noise.
Perekam videonya didukung picture profile seperti S-Log2, S-Log3, HLG, dan lainnya. Fitur yang cukup mewah yang memberikan fleksibilitas saat post-production, meskipun output videonya masih 8-bit.
Verdict
Menurut saya, Sony ZV-1 merupakan perpanjangan tangan dari kamera smartphone. Batas kemampuan smartphone dalam mengambil video sangat jelas, begitu pula dengan Sony ZV-1. Sebagai kamera compact, kemampuannya tidak lebih luas dibanding kamera mirrorless.
Formula utamanya diambil dari RX100 series, kemudian dirancang ulang. Sony membuat beberapa perubahan penting, sebut saja layar vari-angle, mikrofon internal berkualitas, dan sebagainya, yang secara fundamental mengubah kamera foto menjadi kamera video berfitur komplet.
Saya juga ingin menekankan ukurannya, sangat ringkas tidak butuh banyak ruang untuk menyimpannya sehingga nyaman dibawa bepergian berdampingan dengan smartphone. Juga tentunya tidak terlalu mencolok saat digunakan di tempat umum.
Sparks
- Layar vari-angle yang memudahkan membuat konten
- Mikrofon internal cukup berkualitas
- Tetap tersedia hot shoe dan port mikrofon
- Sensor 1 inci dan sistem autofocus dengan face/eye tracking seperti RX100 series
- Video 4K dan dibekali banyak fitur video
Slacks
- Lensa 24mm tidak cukup lebar bila stabilisasi SteadyShot active digunakan
- Daya tahan baterai tidak lama
- Masih menggunakan port micro USB