Startup penyedia platform pengelola pekerja Staffinc dikabarkan galang pendanaan seri B sebesar $3,9 juta (lebih dari Rp59,4 miliar). Berdasarkan regulatory filings seperti dikutip dari Venture Cap, Altara Ventures menjadi lead investor, dengan partisipasi dari Antler, Access Ventures, K9 Industries, dan Pacific Trustees.
Kepada DailySocial, Co-founder dan CEO Staffinc Wisnu Nugrahadi menyampaikan belum bisa berkomentar lebih lanjut terkait kabar pendanaan ini.
“Untuk saat ini, kami belum bisa menyampaikan apapun terkait pendanaan. Kami saat ini sedang fokus untuk mengembangkan teknologi untuk mempermudah proses ketenagakerjaan dari perusahaan skala besar,” kata dia.
Altara adalah investor lama yang sebelumnya memimpin dalam putaran seri A pada 2021 senilai $5 juta. Diikuti jajaran investor lainnya, yakni Access Ventures, XA Network, iSeed SEA, serta dua investor di putaran sebelumnya yakni Golden Gate Ventures dan Antler.
Didirikan pada 2018, Staffinc mengawali bisnisnya sebagai Sampingan (brand sebelumnya), sebuah platform yang menghubungkan pekerja kerah biru pada beragam pekerjaan. Dalam data terakhir yang diungkap, hingga saat ini Staffinc memiliki lebih dari 1,7 juta pekerja di lebih dari 180 kota di Indonesia. Layanannya telah digunakan oleh lebih dari 310 perusahaan.
Setelah rebrandingdengan nama baru, Staffinc memastikan bahwa kini perusahaan tidak hanya fokus pada pekerja kerah biru untuk posisi part time saja, namun juga full time, dan potensi-potensi lainnya.
Solusi Staffinc memungkinkan para klien perusahaan untuk menyederhanakan proses rekrutmen, dengan mencocokkan persyaratan spesifik setiap proyek dengan kandidat pekerja yang paling sesuai secara otomatis. Solusi tersebut memastikan mereka dapat menerima tenaga kerja berkualifikasi dengan keahlian dan pengalaman yang diperlukan agar untuk berkontribusi pada kesuksesan perusahaan.
Selain itu, platform tenaga kerja Staffinc Suite juga dapat dimanfaatkan untuk memudahkan proses administrasi seperti absensi, penjadwalan kerja, penugasan serta penggajian secara otomatis, sehingga memungkinkan klien untuk fokus memberikan layanan yang optimal.
Melalui beberapa program Staffinc juga menawarkan benefit kepada pekerja. Di antaranya, pelatihan yang lebih ke arah upskill dari pekerja tersebut, disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan. Yang kedua adalah akses finansial bagi mereka yang telah terkurasi oleh Staffinc dalam bentuk Earned Wage Access (EWA).
Layanan tersebut dihadirkan setelah menerima feedback dari para pekerja yang kerap kesulitan untuk bekerja karena berbagai alasan, mulai dari tidak ada biaya untuk membeli bahan bakar dan lainnya.
DailySocial bersama CEO Staffinc Wisnu Nugrahadi membahas tren layoff belakangan dan pengaruhnya terhadap bisnis.
Menurut Wisnu, ada perbedaan perilaku serta kebutuhan, baik dari sisi klien atau tenaga kerja kerah biru. Hal ini yang melandasi Staffinc, yang dulu bernama Sampingan, menciptakan layanan berbasis teknologi demi menunjang bisnis sektor SDM (Sumber Daya Manusia).
Bagaimana strategi Staffinc agar bisa bertahan dalam industri? Seperti apa rencana bisnis Staffinc pada 2023?
Simak pembahasannya di video berikut ini.
Untuk video menarik lainnya seputar strategi bisnis startup di Indonesia, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV di sesi DScussion.
Bertujuan untuk bisa menambah kredibilitas dan memberikan jaminan kepada pelanggan baru, Sampingan yang meluncur pada tahun 2018 lalu resmi melakukan rebranding dengan nama baru “Staffinc”.
Kepada DailySocial.id,Co-Founder & CEO Staffinc Wisnu Nugrahadi mengungkapkan, perubahan nama ini sekaligus memperkuat layanan dan produk yang mereka tawarkan, bukan hanya fokus kepada pekerja kerah biru part time saja, namun juga full time dan potensi lainnya.
“Kita tidak mau mengubah kultur yang sudah dibangun dan tidak mau menjadi brand yang terlalu korporat dan monoton. Semoga dengan nama baru bisa diterima masyarakat dengan baik, agar bisa diseimbangkan dengan tim yang kita miliki,” kata Wisnu.
Selain nama perusahaan, beberapa aplikasi yang dimiliki juga berganti nama. Aplikasi Sampingan berubah menjadi “Staffinc Jobs”, platform yang dapat dimanfaatkan pencari kerja untuk mencari pekerjaan. Sementara itu, aplikasi Kerjaan yang dapat digunakan pekerja untuk melaporkan kehadiran, memenuhi tugas, dan mendapatkan gaji mereka, semuanya di satu tempat menjadi “Staffinc Work”.
Di usianya yang ke-4, Staffinc juga memiliki target untuk bisa menjadi platform workforce solution dan labour provider terbesar di Asia Tenggara. Menyasar kepada enterprise, perusahaan mengklaim saat ini kebanyakan klien mereka bukan hanya dari startup, namun juga perusahaan yang sudah profitable hingga listing company.
Produk unggulan Staffinc Suite
Staffinc juga memperkuat lini bisnis yang bergerak di bidang sumber daya manusia (SDM) di bawah nama Staffinc Suite. Berbeda dengan platform SDM kebanyakan yang fokus mengatur proses SDM pada tenaga kerja kantoran, layanan ini merupakan platform SDM digital yang dirancang untuk memberikan transparansi dan fleksibilitas pada kegiatan operasional SDM yang bervolume tinggi dan dilakukan secara harian, contohnya kurir dan sales promotor.
Staffinc Suite memiliki 9 fitur yang difokuskan untuk mengelola kegiatan operasional SDM para pekerja lapangan hanya dalam satu platform dengan beberapa keunggulan utama seperti menyederhanakan proses perekrutan dalam jumlah besar dalam waktu singkat, memudahkan serta memastikan keakuratan proses absensi, hingga mempercepat proses penggajian dengan sistem yang otomatis. Selain menargetkan korporasi, melalui Staffinc Suite mereka juga berharap produk ini bisa digunakan untuk pelaku UMKM.
“Karena enterprise kebutuhannya cukup besar, mereka menggunakan solusi atau layanan dari kita. Untuk perusahaan yang tidak terlalu besar, bisa memanfaatkan tools yang kami miliki. Staffinc Suite adalah extension dari situ, kita menawarkan platform ke perusahaan yang ingin menjalankan proses tersebut dengan sendirinya,” kata Wisnu.
Selain memberikan solusi kepada perusahaan, melalui beberapa program Staffinc juga menawarkan benefit kepada pekerja. Di antaranya adalah training yang lebih ke arah upskill dari pekerja tersebut, disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan. Yang kedua adalah akses finansial bagi mereka yang telah terkurasi oleh Staffinc dalam bentuk Earned Wage Access (EWA).
Layanan tersebut dihadirkan setelah menerima feedback dari para pekerja yang kerap kesulitan untuk bekerja karena berbagai alasan, mulai dari tidak ada biaya untuk membeli bahan bakar dan lainnya. Dengan benefit ini bagi pekerja yang memiliki performa yang baik, berhak untuk mendapatkan akses finansial dalam bentuk EWA.
Perusahaan mengawali bisnisnya sebagai on-demand platform yang memberdayakan pekerja lapangan dengan menghubungkan mereka kepada beragam pekerjaan. Kini perusahaan telah berevolusi menjadi sebuah layanan tenaga kerja yang inklusif yang melayani kebutuhan staffing seperti rekrut dan mengelola karyawan secara digital sekaligus menjadi platform penyedia kerja bagi para pekerja di Indonesia.
Tercatat saat ini pelanggan dari kalangan enterprise yang telah menggunakan teknologi Staffinc adalah mereka yang menyasar kepada sektor ritel, F&B hingga logistik. Perusahaan tersebut pada umumnya membutuhkan pekerja dengan jumlah besar mulai dari 50 orang ke atas. Hingga saat ini, Staffinc memiliki lebih dari 1 juta mitra, di 80 kota di Indonesia. Layanan staffing digital juga telah digunakan oleh lebih dari 150 perusahaan di Indonesia.
“Di awal mula berdiri, misi kami adalah memberdayakan pekerja dengan memberikan mereka akses ke beragam pekerjaan termasuk part-time dan full-time agar mereka dapat mendapatkan penghasilan. Di sisi lain, kami pun berupaya menjadi solusi ketenagakerjaan yang terpercaya bagi rekan bisnis,” kata Wisnu.
Salah satu alasan mengapa saat ini platform yang menyasar kepada pekerja kerah biru seperti Staffinc tumbuh secara positif di Indonesia adalah, adopsi teknologi yang secara langsung mengakselerasi semua proses yang ada.
Jika dulunya proses untuk wawancara pekerja dilakukan secara langsung atau offline, pandemi membuat proses tersebut beralih secara online. Platform seperti Staffinc yang sejak awal di desain untuk melakukan proses secara digital, menjadi relevan dan tentunya dibutuhkan oleh perusahaan.
“Kita memposisikan diri kita sebagai worksforce solution powerd by technology. Yang kita lihat teknologi untuk streamed line proses, improve value dan reduce cost. Tapi pada akhirnya, untuk enterprise adalah trust, bagaimana kami bisa memberikan layanan dan kepercayaan kepada perusahaan dan pekerja,” kata Wisnu.
Disinggung apakah perusahaan memiliki rencana untuk melakukan penggalangan dana tahapan lanjutan, Wisnu menegaskan selama mereka menemukan investor yang tepat, peluang untuk menggalang dana tetap terbuka. Namun Wisnu menegaskan dengan kondisi saat ini tentunya akan ada adjustment expectation.
“Pada dasarnya kita membangun perusahaan ini untuk sustainable. Tidak hanya 5-6 tahun saja, kita sudah berusia 4 tahun dan ingin menjadi pemain terbesar. Untuk melakukan itu kita harus memikirkan sustainability. Jika kita menemukan mitra yang tepat, akan membuka kesempatan untuk fundraising,” kata Wisnu.
Awal tahun 2021 lalu perusahaan telah mengantongi pendanaan seri A senilai $5 juta atau setara 71 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin Altara Ventures, dengan partisipasi Access Ventures, XA Network, iSeed SEA, serta dua investor di putaran sebelumnya yakni Golden Gate Ventures dan Antler. Sejauh ini, startup yang didirikan Wisnu Nugrahadi, Margana Mohamad, dan Dimas Pramudya ini berhasil mengumpulkan dana hingga $7,1 juta.
Pekerja kerah biru menjadi lapis pertama yang paling terkena imbas semenjak pandemi. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, ada 29,4 juta orang yang terdampak langsung dari pandemi. Jumlah tersebut termasuk mereka yang terkena PHK dan dirumahkan tanpa upah.
Alhasil platform manajemen tenaga kerja seperti Sampingan banyak dibutuhkan oleh para pekerja. Dalam wawancara bersama DailySocial, Co-Founder dan CEO Sampingan Wisnu Nugrahadi mengatakan jumlah pekerja yang mendaftar di Sampingan naik hingga tiga kali lipat sejak pandemi tahun lalu. Kenaikan ini terjadi secara alami tanpa upaya pemasaran yang maksimal dari perusahaan.
Disebutkan saat ini Sampingan memiliki lebih dari 1 juta mitra pekerja (disebut Kawan Sampingan) yang tersebar di 80 kota dan 150 perusahaan yang memanfaatkan solusi dari Sampingan.
“Selama pandemi menyebabkan pertumbuhan bisnis melambat di berbagai sektor. Banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan, nah para pekerja ini salah satunya adalah kerah biru yang kita serve. Kita lihat tren kenaikan job seeker yang mendaftar naik tiga kali lipat,” tutur dia.
Memformalkan manajemen yang administratif
Sejak Sampingan dirintis pada 2018, Sampingan didesain untuk merevolusi manajemen kerah biru yang serba manual jadi lebih formal dengan memanfaatkan teknologi. Wisnu menjelaskan, dari sisi pencari kerja, yang dibutuhkan saat ini lebih dari sekadar sistem pencocokan kerja (job match maker).
Sampingan berupaya untuk memformalkan para pekerja biru dengan proses pekerjaan yang lebih mudah, seperti rekrutmen, pelatihan di tempat kerja, proses penggajian, hingga asuransi kesehatan.
Pun dari sisi perusahaan juga turut menghadapi tantangan, di antaranya efisiensi waktu untuk menentukan kandidat yang cocok, kurangnya tenaga dan waktu untuk mengawasi kinerja pekerja, dan tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk proses staffing terutama dalam jumlah besar.
Solusi yang disediakan Sampingan saat ini ada tiga jenis; Sampingan Systems berupa SaaS yang memudahkan rekan bisnis dalam mencari/mengelola tenaga kerja mereka; Sampingan Manpower ialah layanan perekrutan dan staffing pekerja untuk memudahkan rekan bisnis untuk memenuhi kebutuhan SDM.
Terakhir, Sampingan Solutions ialah solusi menyeluruh yang dapat dimanfaatkan rekan bisnis, Sampingan akan mengatur seluruh proses dari staffing pekerja, mengatur laju performa pekerja hingga memberikan pelaporan kinerja secara agregat.
“Dari day one, kami fokus menciptakan unit economy di industri yang bisa kita improve dan otomatiskan prosesnya di masing-masing part dengan bantuan teknologi. Jadi kita changing the game of most of these process jadi lebih efisien.”
Pada akhirnya, bagi perusahaan yang ingin mengeskalasi bisnisnya dalam waktu cepat dan butuh pekerja kerah biru dapat memanfaatkan solusi Sampingan.
Dengan seluruh struktur bisnis B2B ini, Wisnu ingin menjadikan Sampingan sebagai perusahaan yang sustainable agar dapat menciptakan lebih banyak dampak untuk pekerja kerah biru.
“Kita selalu melihat objektif bagaimana caranya Sampingan bisa automate proses yang administratif ini, sehingga perusahaan itu tetap fokus pada human approach karena unsur tersebut juga dibutuhkan.”
Perkembangan bisnis
Dari 150 perusahaan yang menggunakan solusi Sampingan, mayoritas bergerak di logistik dan pergudangan yang mencari pekerjaan untuk kurir, forklift, dan sebagainya; pemasaran lapangan untuk pekerjaan canvasser; riset untuk pekerjaan surveyor dan data collection; layanan pelanggan (customer service); pemasaran berbasis komunitas (crowdsourcing marketing); dan administrasi (back office).
“Semua kandidat ini kita test berdasarkan kebutuhan si perusahaan, ada pertanyaan-pertanyaan yang bisa match dengan kandidat yang tepat. Untuk pekerjaan yang butuh di-interview semua aktivitas bisa dilakukan secara remote di 80 kota. Kami pun enggak ada kantor cabang di sana.”
Wisnu ingin terus menambah jumlah mitra perusahaan yang dapat memanfaatkan solusi Sampingan. Pasalnya, bicara potensi pasar di industri logistik dan pergudangan saja kebutuhan untuk mencari kurir dan tenaga kerja pendukungnya begitu besar, di tengah pesatnya perkembangan e-commerce.
“Banyak dari mitra perusahaan ini mencari minimal dua sampai empat lapangan pekerjaan untuk kerah biru. Misalnya, last mile logistik pasti butuh warehousing dan kurir, juga butuh layanan pelanggan dan administrasi. Kami berdiri sebagai one stop platform karena kita bisa menyediakan full visibility dan transparansi untuk payroll dan sebagainya.”
Demi meningkatkan stickiness, kini Sampingan turut melengkapi fitur untuk pekerja berupa early wage access (EWA) dan asuransi kesehatan (bersama Gigacover). Dengan fitur EWA ini, pekerja dapat mengakses gajinya lebih awal untuk membayar kebutuhan mendadak. Terkait mitra untuk penyediaan EWA ini, Wisnu belum bersedia mengungkapkan identitasnya.
“Karena kami pegang data day to day performance-nya juga, kami bisa meyakinkan perusahaan bahwa kandidat tersebut layak mendapatkan fitur EWA ini. Kami akan terus menambah program tambahan agar tidak hanya perusahaan, tapi juga pekerja yang mendapat benefit yang maksimal.”
Inovasi teranyar lainnya yang sedang dikembangkan perusahaan adalah fitur e-learning untuk membantu pekerja meningkatkan soft skill. Menariknya, Sampingan menghadirkan fitur ini berupa audio. Dalam suatu survei yang diselenggarakan perusahaan, mayoritas pekerja kerah biru ini ada di lapangan dan berpindah-pindah tempat sehingga sulit untuk menyiapkan waktu kosong untuk belajar bila dengan audio visual.
Tema-tema yang disampaikan dalam e-learning, sejauh ini masih bersifat dasar namun penting untuk diketahui. Seperti, syarat-syarat yang dibutuhkan bila ingin menjadi kurir, atau cara menyampaikan informasi yang lebih baik jika ingin menjadi orang pemasar.
“Kami bekerja sama dengan salah satu audio company untuk menyediakan e-learning via audio. Selain karena mereka selalu commuting, platform audio ini jauh lebih ramah kuota,” pungkasnya.
Problematika industri
Menurut sebuah riset, turnover pekerja kerah biru cukup tinggi. Rata-rata di perusahaan mencapai 20%. Turnover mengacu pada keluar masuknya pegawai yang mengisi posisi tertentu. Kondisi ini sebenarnya memberatkan perusahaan, karena dari survei yang sama dikemukakan bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk mengatasi turnover ini tidak murah, bisa mencapai $4,569.
Pekerja kerah biru identik dengan “pekerjaan kasar”. Jenis pekerjaan ini nyaris ada dan dibutuhkan di setiap lingkungan bisnis – ada yang sifatnya temporer, outsource, hingga pekerja tetap. Kecenderungan segmen ini dipenuhi kalangan low skill worker, orang-orang yang memiliki kompetensi minim – umumnya disebabkan karena akses ke pendidikan yang kurang baik. Menurut data BPS, per tahun 2019 kalangan low skill worker mendominasi sektor informal dengan angka 57,27%.
Sampingan announces the closing of $5 million Series A funding or equivalent to 71 billion Rupiah. This round was led by Altara Ventures, with the participation of Access Ventures, XA Network, iSeed SEA, and two investors in the previous round, Golden Gate Ventures and Antler. Currently, the startup founded by Wisnu Nugrahadi, Margana Mohamad, and Dimas Pramudya has managed to raise up to $7.1 million in funds.
Fresh funds will be focused on strengthening the technology, product, and sales teams. Since their launch in 2019, they have served around 150 corporate clients with 850 thousand workers. Its services allow business partners to connect with blue-collar workers to perform various types of work, such as making sales, creating product reviews, conducting surveys, installing applications, etc.
In Indonesia, there are several platforms that specifically target blue-collar workers (informal workers). In general, it consists of two forms. First, there is a job marketplace that allows companies to recruit prospective workers with a more formal recruitment process. While agency services usually provide certain jobs on the platform, registered workers can take on and do the task directly, and get a commission after successful submission.
The presence of these services is based on a fairly large niche market. Based on BPS data in 2019, these workers dominate the informal sector with a rate of 57.27%. Sampingan’s internal data also recorded an increase during the pandemic. From March to December 2020, the number of Sampingan applications downloads exceeding 1 million, increased by 4 times. The number of partners also increased significantly during this period, without announcing a detailed number.
Previously, in an interview with DailySocial, the founders said that Sampingan was inspired by an outsourcing business model that applies daily or monthly targets to workers. In the process, Sampingan uses a similar approach to that model, providing pay based on performance results (pay per performance).
Sampingan was started as Antler startup generator’s first batch program in Singapore. In 2020, the program finally arrived in Indonesia to provide mentorship and investment programs to prospective founders. Apart from Sampingan, there are also local startups generated from this program, including Bubays and Cooklab.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Sampingan mengumumkan telah menutup pendanaan seri A senilai $5 juta atau setara 71 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin Altara Ventures, dengan partisipasi Access Ventures, XA Network, iSeed SEA, serta dua investor di putaran sebelumnya yakni Golden Gate Ventures dan Antler. Sejauh ini, startup yang didirikan Wisnu Nugrahadi, Margana Mohamad, dan Dimas Pramudya ini berhasil mengumpulkan dana hingga $7,1 juta.
Dana segar akan difokuskan untuk penguatan tim teknologi, produk, dan penjualan. Sejak diluncurkan pada 2019, mereka telah melayani sekitar 150 klien perusahaan dengan 850 ribu pekerja. Layanannya memungkinkan mitra bisnis terhubung dengan pekerja “blue collar” untuk melakukan berbagai jenis pekerjaan, seperti melakukan penjualan, membuat ulasan produk, melakukan survei, pemasangan aplikasi, dll.
Di Indonesia, saat ini sudah ada beberapa platform yang khusus menyasar pekerja kerah biru (pekerja informal). Secara umum terdiri dari dua bentuk, pertama ada job marketplace memungkinkan perusahaan untuk memperoleh calon pekerja dengan proses perekrutan yang lebih formal. Sementara layanan keagenan bisanya menyuguhkan pekerjaan tertentu di platform, lalu pekerja terdaftar dapat mengambil dan mengerjakan tugas tersebut secara langsung, dan mendapatkan komisi setelah berhasil melakukan submisi.
Hadirnya layanan tersebut didasari adanya ceruk pasar yang cukup besar. Berdasarkan data BPS, per tahun 2019 kalangan pekerja tersebut mendominasi sektor informal dengan angka 57,27%. Data internal Sampingan bahkan mencatat adanya kenaikan di masa pandemi. Selama Maret s/d Desember 2020, jumlah unduhan aplikasi Sampingan naik 4x lipat, melebihi 1 juta unduhan. Jumlah mitra pun juga bertambah cukup signifikan di masa tersebut kendati tidak disebutkan angkanya.
Sebelumnya dalam wawancara bersama DailySocial, para founder mengatakan pengembangan Sampingan terinspirasi dari model bisnis outsourcing yang mengenakan target harian atau bulanan ke pekerja. Dalam proses kerjanya, Sampingan menggunakan pendekatan mirip dengan model tersebut, memberikan bayaran berdasarkan hasil kinerja (pay per performance).
Sampingan lahir dari program startup generator Antler batch pertama di Singapura. Tahun 2020 lalu, program tersebut akhirnya bersinggah di Indonesia untuk memberikan program mentorship dan investasi ke calon founder. Selain Sampingan, ada startup lokal yang lahir berkat program tersebut, di antaranya Bubays dan Cooklab.
WhatsApp secara de facto adalah platform percakapan paling populer di Indonesia. Tak hanya untuk percakapan sehari-sehari, platform ini juga telah menjadi platform komunikasi di kalangan bisnis–termasuk ketersediaan akun khusus bisnis.
Sebuah tren baru mendorong pemanfaatan WhatsApp yang lebih luas. Sebuah startup, dengan sumberdaya terbatas pun, bisa mulai membangun bisnisnya menggunakan WhatsApp sebagai kanal komunikasi dan distribusi.
Di artikel ini, DailySocial mencoba menjabarkan peranan WhatsApp sebagai sebagai platform yang memudahkan startup menjalankan bisnis dan scale up.
Aplikasi untuk bisnis
WhatsApp Business adalah aplikasi yang dapat diunduh secara gratis dan didesain khusus untuk pemilik bisnis kecil. Pengguna dapat membuat katalog untuk menampilkan produk dan layanan dan terhubung dengan pelanggan menggunakan fitur-fitur untuk mengautomasi, menyortir, dan menjawab pesan secara cepat.
Semua pilihan tersebut menjadi menarik bagi startup baru yang masih terkendala untuk menciptakan platform secara mandiri.
Menurut Lisa Enckell, Partner Antler, membangun produk di atas WhatsApp terbilang lebih cepat dibandingkan membangun untuk beberapa platform, seperti web, iOS, dan Android. Hal tersebut memungkinkan startup bertemu dengan calon pengguna di platform yang sudah mereka gunakan setiap hari. Kesempatan ini juga bisa dimanfaatkan startup untuk membangun Minimum Viable Product (MVP) dan dengan cepat menguji permintaan untuk produk baru.
“Kami juga telah melihat contoh hebat beberapa startup [binaan Antler] yang telah memanfaatkan WhatsApp. Di antaranya adalah Sama [Singapura] dan Sampingan yang terus membangun produk mereka di WhatsApp saat mereka berkembang,” kata Lisa.
Beberapa startup telah menemukan jalan keluar keterbatasan sumberdaya mereka dan sekarang menjalankan banyak layanan di atas WhatsApp. Memvalidasi dengan pelanggan lebih cepat dan murah. Perusahaan-perusahaan ini tidak hanya mobile-first, tetapi mereka juga WhatsApp-first.
“Ada banyak friksi ketika mereka harus mengunduh aplikasi baru, sementara aplikasi yang digunakan setiap harinya tidak banyak. Menjadi bagian dari aplikasi yang sudah digunakan banyak orang bisa menjadi cara yang tepat untuk terlibat dengan pengguna. Ini adalah kanal komunikasi dan distribusi, mirip dengan kehadiran di media sosial atau menggunakan pemasaran email,” kata Lisa.
Ia melanjutkan, “Ini adalah emerging platform. Anda harus terbuka terhadap perubahan besar. Pelajari API mereka dan pastikan Anda dapat melakukan semua hal yang ingin Anda lakukan dengan produk Anda. Uji dan coba. Pada akhirnya alasan menggunakan WhatsApp mungkin hanya untuk onboarding atau komunikasi dengan pengguna, kemudian ciptakan produk yang independen dan relevan.”
Melayani enam ribu seller Sampingan
Untuk memastikan aktivitas bisnis yang dilakukan sudah tepat, Sampingan selalu melakukan testing dan eksperimen. Sampingan kini melayani 6000 Reseller dan menjual lebih dari 150.000 produk menggunakan WhatsApp sebagai salah satu kanal utama. Perusahaan melihat potensi WhatsApp sebagai alat untuk scaling up.
“Startup diharuskan untuk jeli dalam melihat fitur yang disediakan dan bagaimana fitur itu dapat dimanfaatkan lebih lanjut untuk mengembangkan bisnis,” kata CEO Sampingan Wisnu Nugrahadi.
Untuk memperkuat bisnis, Sampingan selalu fokus kepada customer, baik dari sisi experience, product, maupun feature.
“Keamanan data pengguna dan perusahaan adalah salah satu fokus Sampingan dalam menjalankan bisnis. WhatsApp sebagai channel komunikasi yang dipilih oleh Sampingan juga membantu dalam meningkatkan sisi keamanan. Terlebih lagi, dengan end-to-endencryption yang dimiliki oleh WhatsApp,” kata Wisnu.
SIRCLO Chat
Sebagai platform e-commerce enabler, SIRCLO memiliki alasan yang kuat mengapa perusahaan menjadi partner WhatsApp Business API. Sejak pertengahan tahun 2019, SIRCLO menjadi partner WhatsApp Business API dalam menyediakan solusi chatcommerce (SIRCLO Chat) agar merchant di Indonesia dapat semakin mengoptimalkan kanal/aset digital yang mereka miliki untuk meningkatkan transaksi via online.
“Menurut riset We Are Social, pada tahun 2019 ada 125 juta pengguna WhatsApp di Indonesia. Di sini kami melihat potensi yang besar dari medium berbasis chat (chat commerce) yang digunakan oleh pemilik bisnis untuk mengelola transaksi dengan pelanggan, khususnya melalui WhatsApp,” kata perwakilan SIRCLO.
Di Indonesia sendiri transaksi melalui chat sudah terjadi lebih dari satu dekade yang lalu, saat penjual dan pembeli menggunakan Blackberry Messenger untuk transaksi jual beli. Hanya saja, waktu itu, transaksi akan dilakukan atau direkap secara manual.
“Dengan memanfaatkan WhatsApp, penjual dengan mudah dapat terhubung dengan pelanggan mereka. Sifat orang Indonesia yang suka chat untuk membeli barang juga menjadi alasan kenapa penjual dapat beralih menggunakan WhatsApp. Dengan adanya solusi bisnis seperti SIRCLO Chat, saat ini merchant tidak hanya bisa mengirim pesan saja, tapi aktivitas ini juga didukung oleh sistem e-commerce dari sisi backend-nya.”
Untuk startup yang memiliki niat memanfaatkan WhatsApp ke dalam bisnis mereka, ada beberapa poin menarik yang ditekankan. Teknologi tidak sekadar chatbot/aplikasi untuk chat, tapi yang bisa melayani transaksi, mulai dari create order, integrasi dengan pembayaran otomatis, dan integrasi dengan sistem pengiriman. Startup juga harus siap melakukan scale up. Sistem WhatsApp yang dipilih harus siap ketika merchant menerima ratusan hingga ribuan chat tiap harinya.
“Semua tetap butuh sentuhan manusia. Robot tidak bisa menggantikan manusia seutuhnya. Ketika memilih teknologi WhatsApp, chatbot digunakan untuk membantu meringankan kerja manusia mengautomasi hal-hal repetitif. Tapi ketika bicara tentang pelanggan, pertanyaan mereka bisa jadi sangat unik dan beragam, sehingga sentuhan manusia tetap dibutuhkan.”
Asisten digital Botika
Selain popularitas WhatsApp yang tidak tertandingi di Indonesia, Botika memilih WhatsApp sebagai kanal distribusi dan komunikasi untuk memperkuat produk dan teknologi yang dimiliki. Saat ini Botika telah menyiapkan satu kanal di WhatsApp sebagai Assistant, yang nantinya memudahkan kosumen berinteraksi dengan produk Botika yang bernama LUNA.
“Botika melihat penggunaan WhatsApp oleh startup merupakan tool awal dalam scale up startup. Karena memang mereka menjaga komunikasi dan mengelola konsumen melalui WhatsApp, sehingga menjadi tantangan pengembangan selanjutnya dalam penggunaan teknologi pendukung, misalnya aplikasi. Kami juga melihat startup yang sudah besar pun saat ini menguatkan kanal komunikasinya melalui chat dengan chatbot, dan melakukan otomatisasi di kanal WhatsApp API Business,” kata Co-Founder & CMO Botika Eri Kuncoro.
Terkait concern keamanan, Botika melihat penerapan sistem yang berlapis dalam proses ini didukung standard privacy policy WhatsApp. Tujuannya agar data tidak digunakan atau diberikan ke pihak lain untuk kepentingan di luar kepentingan klien.
“Saran [saya] untuk startup yang ingin menggunakan WhatsApp untuk berinteraksi dengan klien atau konsumen mereka, mulailah gunakan tools pendukung proses interaksi di kanal WhatsApp tersebut. Salah satunya menggunakan satu dashboard yang bisa menghubungkan berbagai kanal dengan banyak tim customer service yang dimiliki,” kata Eri.
Potensi jadi platform pembayaran
Setelah Gojek mendapatkan dana segar dari Facebook awal bulan Juni 2020 lalu, gaung rencana Facebook menggunakan WhatsApp sebagai platform pembayaran di Indonesia semakin kencang. Di negara lain, seperti India dan Brazil, WhatsApp Pay sudah diimplementasikan untuk membantu UKM berjualan dan menerima pembayaran.
Uji coba penggunaa WhatsApp sebagai alat pembayaran di Brazil dilakukan atas kerja sama dengan beberapa mitra, di antaranya adalah perbankan dan penyedia layanan proses pembayaran. Di Indonesia, GoPay menjadi kandidat kuat partner perdana jika fitur ini diimplementasikan.
Sampingan is an app that offers side jobs for its users. Today (10/8) they announced pre-series A funding worth of $1.5 million or equivalent to 21.2 billion Rupiah, led by Golden Gate Ventures – a venture capital that focuses on seed funding.
Participated also in this round, Antler and some angel investors. Sampingan happened to graduate from Antler‘s startup program. Investment is to be focused on business operational expansion.
Sampingan is designed to connect business with freelancers. There are few job offers, such as reviewer, surveyor, marketing agent, many more. Users that register as an agent or worker can participate in any job and gain credit (cash) to be disbursed.
Founded in late 2018, Sampingan is currently supported by 60 officers and build a headquarter in Jakarta. They just developed an app in the Android version, however, they claimed to have more than 150 thousand applicants.
Sampingan was founded by three people, Wisnu Nugrahadi, Margana Mohamad, and Dimas Pramudya. Those are graduates from Universitas Padjadjaran. Wisnu and Dimas used to be in the product and developer team at Gojek. Margana owns and runs an outsourcing business.
Previously, the founder said in an interview with DailySocial that the service was inspired by the outsourcing business models with a daily or monthly target for users. In the process, Sampingan uses a similar approach, and provides income based on performance (pay per performance).
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Sampingan adalah aplikasi yang memungkinkan penggunanya untuk mengambil pekerjaan ringan secara paruh waktu. Hari ini (08/10) mereka mengumumkan perolehan pendanaan pra-seri A senilai $1,5 juta atau setara 21,2 miliar Rupiah, dipimpin Golden Gate Ventures – venture capital yang juga memberikan pendanaan tahap awal.
Antler dan beberapa angel investor turut berpartisipasi dalam putaran ini. Sampingan juga merupakan lulusan dari program startup generatorAntler. Investasi tersebut akan difokuskan perusahaan untuk perluasan operasi bisnis.
Aplikasi Sampingan didesain untuk menghubungkan bisnis dengan freelancer. Beberapa perkerjaan seperti memberikan ulasan, survei, agen penjualan, dan lainnya diakomodasi melalui aplikasi ini. Pengguna yang mendaftar sebagai agen atau pekerja bisa berpartisipasi pada setiap pekerjaan dan mendapatkan kredit (uang tunai) yang dapat dicairkan.
Mengudara sejak akhir 2018, saat ini Sampingan telah didukung 60 orang pekerja dan berkantor pusat di Jakarta. Mereka baru memiliki aplikasi di platform Android, namun demikian mengklaim telah memiliki lebih dari 150 ribu mitra pekerja.
Sampingan didirikan oleh tiga orang founder, yakni Wisnu Nugrahadi, Margana Mohamad, dan Dimas Pramudya. Ketiganya adalah lulusan manajemen Universitas Padjadjaran. Wisnu dan Dimas sebelumnya berpengalaman sebagai tim pengembang dan produk di Gojek. Sedangkan Margana memiliki dan menjalankan bisnis outsourcing.
Sebelumnya dalam wawancara bersama DailySocial, para founder mengatakan pengembangan layanan tersebut terinspirasi dari model bisnis outsourcing yang mengenakan target harian atau bulanan ke pekerja. Dalam proses kerjanya, Sampingan menggunakan pendekatan mirip dengan model tersebut, memberikan bayaran berdasarkan hasil kinerja (pay per performance).
Didirikan tahun 2017 lalu di Singapura, Antler sebagai startup generator berencana berinvestasi sekaligus membantu calon entrepreneur dan pendiri startup mengembangkan startup mereka di Indonesia. Masih dalam tahapan pencarian individu yang berkualitas, rencananya Antler akan meresmikan batch pertama di Indonesia tahun 2020 mendatang.
Managing Partner Antler Jussi Salovaara mengungkapkan, program yang dilancarkan perusahaannya berbeda dengan program inkubasi atau akselerator yang sudah banyak dikembangkan secara global.
Fokus ke individu yang memiliki visi, pengalaman, serta latar belakang pekerjaan dan pendidikan yang mendukung, Antler ingin membantu mereka mendirikan bisnis yang sehat dan meminimalisir terjadinya kegagalan saat mendirikan startup.
“Bukan hanya membantu mereka mendirikan startup yang relevan, program yang dihadirkan Antler juga membantu mereka menciptakan bisnis yang tidak terlalu mainstream dan mencoba untuk memberikan solusi dan peluang bisnis yang tepat.”
Antler memiliki rencana membantu 20 startup Indonesia setiap tahunnya dengan memberikan dukungan kepada pendiri startup untuk membentuk tim yang tepat, memberikan pendanaan untuk tahapan awal (pre-seed dan seed), dan memberikan akses ke platform hingga jaringan secara global.
Investasi yang akan digelontorkan Antler adalah $100 ribu per startup.
Antler juga akan memberikan berupa grant atau uang saku setiap dua bulan kepada peserta yang mengikuti program. Mereka yang berhasil bakal mengikuti program lanjutan selama beberapa bulan berikutnya yang fokus untuk meluncurkan dan mulai menumbuhkan perusahaan mereka dengan dukungan dari para mentor, penasihat, dan VC. Tidak melulu didukung mentor asing, Antler juga didukung mentor asal Indonesia yang berkualitas, termasuk CEO GDP Venture Martin Hartono dan Presiden Direktur Blue Bird Noni Purnomo.
Saat ini Antler sudah tersebar di 8 lokasi, yaitu Singapura, London, New York, Sydney, Stockholm, Oslo, Nairobi dan Amsterdam. Sejak program pertamanya di Singapura tahun 2018 lalu, Antler mengklaim telah menghasilkan lebih dari 80 perusahaan teknologi baru.
Menargetkan eks pegawai startup unicorn
Dua contoh startup lulusan program Antler adalah Sampingan yang telah mendapatkan pendanaan tahapan awal dari Golden Gate Ventures dan Base yang telah memperoleh dana tahap awal dari East Ventures dan Skystar Capital. Kedua startup ini memiliki kesamaan, yaitu para pendirinya pernah menjadi pegawai startup unicorn Gojek.
Menurut Jussi, salah satu profil peserta program Antler yang berpotensi adalah memiliki pengalaman bekerja di startup ternama atau memiliki latar belakang pengalaman bekerja di korporasi dan perusahaan besar.
“Saya melihat lulusan atau mantan pegawai startup unicorn menjadi peserta yang paling berpotensi. Seperti yang sudah dibuktikan oleh Wisnu Nugrahadi (Sampingan) dan Yaumi Fauziah Sugiharta (Base) yang sebelumnya pernah bekerja di Gojek.”