Tag Archives: santoso

Blibli dan BCA luncurkan kartu kredit co-brand Kartu Kredit BCA Blibli Mastercard, pengajuan secara online melalui aplikasi Blibli

Blibli dan BCA Rilis Kartu Kredit “Co-Brand”

Blibli dan BCA mengumumkan peluncuran kartu kredit co-brand Kartu Kredit BCA Blibli Mastercard, guna meningkatkan transaksi belanja online di platform e-commerce. Seluruh proses pengajuan dilakukan melalui aplikasi Blibli melalui ikon thumbnail “KK BCA Blibli”.

Direktur BCA Santoso menjelaskan pandemi membuat kebiasaan belanja sehari-hari konsumen berubah ke platform digital. Kebiasaan tersebut akan berlanjut ketika post pandemi, dan perlu diantisipasi oleh bank agar tetap relevan dengan kondisi.

“Sebelum kerja sama co-brand ini, sudah ada kerja sama kami dengan Blibli dan progresnya selalu menunjukkan peningkatan. Blibli memenuhi berbagai kebutuhan konsumen, kami juga melihat progres BlibliMart menunjukkan peningkatan yang signifikan. Kami ingin hadir di berbagai kebutuhan konsumen,” katanya saat konferensi pers virtual, Senin (11/10).

Co-founder & CEO Blibli Kusumo Martanto menambahkan, kolaborasi ini adalah yang pertama di sektor e-commerce Indonesia yang memanfaatkan teknologi Mastercard Sonic untuk memastikan kualitas keamanan, serta kenyamanan transaksi. “Sekaligus memperkuat sinergi antara BCA dan Blibli dalam menghadirkan solusi yang inovatif,” katanya.

Kartu Kredit BCA Blibli Mastercard menyasar para pengguna Blibli yang terbiasa dengan belanja digital. Proses pengajuannya sepenuhnya secara online di aplikasi Blibli melalui ikon thumbnail “KK BCA Blibli”. Bila sudah menjadi nasabah debit BCA dan sudah memiliki kartu kredit BCA, maka nasabah cukup memberi tahu nomor kartu kredit sebelumnya agar dapat segera dikirim ke alamat rumah atau menghubungi call center BCA.

Bila sudah menjadi nasabah debit, namun belum memiliki kartu kredit, nasabah perlu menyiapkan data diri, di antaranya, KTP, NPWP, foto selfie, dan tanda tangan. “Kita pastikan prosesnya seamless karena kami menargetkan konsumen yang belanja di Blibli yang terbiasa belanja online,” tambah EVP BCA I Ketut Alam Wangsawijaya.

Sebagai nilai lebih, kartu kredit co-brand ini menawarkan berbagai bentuk bonus saat berbelanja di Blibli. Di antaranya, nasabah akan otomatis mendapat welcome bonus hingga Rp650 ribu, bebas annual fee untuk tahun pertama, cashback untuk setiap transaksi di aplikasi Blibli maupun di luar aplikasi dalam bentuk saldo Blipay.

“Blipay ini tidak ada expiry date-nya, sehingga suatu saat konsumen mau belanja di Blibli bisa memanfaatkan saldo Blipay-nya. Ini bisa menjadi value buat konsumen karena ada berbagai diskon dan cashback berlipat. Meski ini bukan yang pertama, kami ingin yang terbaik,” kata Ketut.

Sebelumnya unit bank digital BCA “blu” juga telah menjalin kemitraan strategis dengan Blibli. Di tahap awalnya, kerja sama tersebut memungkinkan pengguna Blibli melakukan pembukaan rekening blu, pembayaran e-commerce, hingga bertransaksi lewat in-app payment.

Permudah kepemilikan kartu kredit

Ketut melanjutkan, bisnis kartu kredit ikut melesu semenjak pandemi. Namun pihaknya optimis sudah terlihat indikator pemulihan, ditandai dengan sektor pariwisata yang kembali menggeliat. Sektor ini termasuk penyumbang terbesar transaksi di bisnis kartu kredit.

“Nilai transaksi kartu kredit BCA sampai September 2021 mencapai Rp42 triliun. Ini sangat positif, bila kita lihat trennya setelah second wave Covid-19 di Juli karena beberapa toko offline sempat tutup hingga Agustus.”

Bank Indonesia mencatatkan volume transaksi kartu kredit sebesar 157,01 juta kali per Juli 2021. Secara year on year (yoy) angka tersebut turun dibandingkan posisi yang sama tahun lalu sebanyak 164,95 juta kali. Begitu pun secara nominal, turun 7,81% yoy dari Rp144,84 triliun menjadi Rp133,52 triliun.

Sebelum Blibli dan BCA, sebelumnya sudah ada beberapa kerja sama serupa antara perbankan dan platform digital untuk mendongkrak transaksi online. Di antaranya, Shopee dengan Bank Mandiri, lalu Traveloka dengan Bank Mandiri dan BRI.

Bank melirik platform online karena mereka memiliki traffic kunjungan dan transaksi yang tinggi. Shopee misalnya, menurut iPrice, adalah platform marketplace dengan rata-rata kunjungan tertinggi hingga 90 juta kali sepanjang tahun lalu.

Application Information Will Show Up Here
Chatbot kini menjadi norma baru layanan pelanggan di perbankan

Ramai-Ramai Mengembangkan Chatbot

Industri perbankan menjadi sasaran berikutnya yang ‘terganggu’ dengan kehadiran teknologi. Perkembangan teknologi yang tidak terbendung, mau tak mau tidak bisa dilawan, tapi harus jadi kawan.

Inilah yang terjadi ketika bank dihadapi dengan salah satu perkembangan teknologi terkini, chatbot. Sebuah robot yang diprogram untuk membalas pesan dibantu dengan kecerdasan buatan agar percakapan terasal lebih natural. Dari sana, lahirlah Vira (BCA), Cinta (BNI), Mita (Bank Mandiri), dan Sabrina (BRI).

Dalam mengembangkan chatbot, bank tidak harus bekerja keras sendiri, bisa gandeng startup yang spesialis di bidangnya. Ada Kata.ai, Bang Joni, Sprint Asia, Botika, Eva, dan lainnya. Persis seperti yang dilakukan oleh BRI dengan gandeng Kata.ai, Bank Mandiri dengan InMotion, BNI dengan Bang Joni.

Pertimbangannya, tren yang terjadi saat ini melakukan kegiatan perbankan sekarang tidak harus lagi harus datang ke cabang tapi bisa lewat ponsel saja tanpa harus unduh aplikasi tambahan apapun. Cukup pakai aplikasi chat messaging atau sosial media yang dipakai untuk bisa akses layanan bank.

Perlu diketahui, pada dasarnya fungsi chatbot digolongkan ke dalam dua kategori, yakni otomasi percakapan dan kebutuhan fungsional. Untuk otomasi percakapan umumnya sering diimplementasikan oleh pedagang online demi meningkatkan interaksi secara kontinu dengan konsumennya.

Sedangkan kebutuhan fungsional, umumnya dirancang secara spesifk dengan melibatkan fitur lain yang kompleks seperti API khusus, otomatisasi pembayaran dan lainnya.

Untuk tahap awal fungsi chatbot yang dihadirkan keempat perbankan tersebut masih menjalankan fungsi customer service yang ada di lapisan pertama. Bertugas membantu jawab pertanyaan yang sifatnya umum dan repetitif.

Dari fungsinya tersebut, chatbot jadi manuver bank bagaimana menjadikan selayaknya saat nasabah menghubungi CS, yang mana bisa dihubungi kapan saja, tutur bahasa yang ramah, dan dapat diandalkan.

Tidak menutup kemungkinan bank lainnya akan menyusul hal serupa seperti yang dilakukan keempat bank besar ini. Mengapa belakangan bank ramai-ramai lirik peluang dari chatbot?

CEO Sprint Asia Technology Setyo Harsoyo punya jawabannya. Menurutnya, pada dasarnya semua perusahaan termasuk bank ingin meningkatkan engagement dengan para customer-nya. Banyak cara yang sudah dilakukan, seperti lewat situs, call center, email, SMS, dan lainnya.

Kemudian lahirnya teknologi chatbot yang berbeda dari semua channel di atas. Dengan chatbot, nasabah dari suatu bank dapat dengan mudah berhubungan dengan bank karena chatbot bisa melayani secara interaktif ribuan nasabah pada saat bersamaan dengan biaya jauh lebih murah dibandingkan call center.

“Misalnya untuk dapat melayani 1.000 nasabah pada saat bersamaan cukup dengan satu bot, sementara call center memerlukan 1.000 agen,” terang Setyo.

Menambahkan pernyataan Setyo, CEO Kata.ai Irzan Raditya menuturkan chatbot adalah salah satu pilihan strategis karena mereka menyadari tren yang terjadi di masyarakat Indonesia.

Aplikasi messaging sudah jadi bagian terpenting dalam kehidupan sehari-hari. Maka dari itu, hal tersebut jadi peluang untuk lebih mudah jangkau nasabah melalui akun chatbot di aplikasi messaging favorit mereka.

“Hal inilah yang menurut kami menjadi kelebihan chatbot di bandingkan aplikasi. Friksi dan upaya yang diperlukan dari nasabah untuk mengakses chatbot jauh lebih kecil dibandingkan meng-install aplikasi, buka situs, atau menelepon CS,” terangnya.

“Terlebih lagi, banyak dari bank tersebut telah berinvestasi di kanal media sosial mereka sebagai sarana marketing untuk menggaet ratusan ribu bahkan jutaan audiens. Maka dari itu chatbot hadir sebagai layanan yang memberikan nilai tambah bagi nasabah mereka dengan berbagai macam kegunaan,” sambung Irzan.

Chatbot adalah suatu keniscayaan

DailySocial pun mencoba menghubungi perwakilan keempat bank tersebut untuk mengutarakan pendapatnya. Semuanya sepakat bahwa chatbot adalah suatu keniscayaan yang sudah saatnya untuk diadaptasi lantaran harus mengikuti tren yang terjadi.

“Teknologi yang dipilih dan dikembangkan tentunya didasarkan atas kebutuhan nasabah dari bank. Kami menerapkan pola customer centric dan research yang memadai sebelum launching suatu produk. Kami pilih chatbot untuk jawab kebutuhan masyarakat yang semakin dinamik lewat digital channel,” ujar Direktur BRI Indra Utoyo.

General Manager E-Banking Division BNI Anang Fauzie menambahkan, “Orang spending waktu lebih banyak di aplikasi chat dan mereka lebih menyukai menerima info dan promo lewat media sosial atau aplikasi.”

Pun demikian bagi BCA, Direktur BCA Santoso bilang, “Adopsi terhadap suatu teknologi harus seirama dengan fokus kami yaitu memberikan pengalaman terbaik bagi nasabah.”

Oleh karenanya, BCA melihat chatbot mampu menyampaikan dengan baik tujuan tersebut. Menurutnya informasi yang disampai Vira tidak hanya terbatas untuk nasabah saja, masyarakat umumpun dapat menikmati informasi-informasi yang diberikan Vira.

Bagi Bank Mandiri, chatbot mampu menciptakan komunikasi dua arah seperti selayaknya menghubungi customer service. Sebelumnya perseroan sudah menggunakan social messaging seperti Line untuk promosi dan edukasi, namun sifatnya hanya satu arah, dan masyarakat tidak bisa berinteraksi lebih lanjut.

“Pada perkembangannya, layanan contact center digital Bank Mandiri melalui email dan media sosial telah mencapai 10% dari total interaksi nasabah ke CS,” ujar Senior VP Customer Care Group Bank Mandiri Lila Noya.

Lila melanjutkan, “Pada tahap awal, nasabah dapat berinteraksi melalui chatbot untuk memperoleh informasi tentang produk, layanan, program promosi, dan informasi finansial. Sebab sekitar 70% nasabah yang berinteraksi dengan CS permintaannya terkait hal tersebut.”

Investasi yang worth it

Sekalinya sudah terjun, tentunya bank tidak bisa mundur begitu saja dari chatbot ini. Apalagi implementasinya ini masih tahap awal. Begitupun bagi BNI, Anang bilang keputusan bank untuk terjun ke chatbot ini worth it dengan manfaat chatbot bagi pengembangan bisnis.

Pihaknya mengaku investasi IT akan terus berlanjut menyesuaikan dengan tren industri. Sayangnya Anang tidak menerangkan lebih detil soal nominalnya.

Santoso pun menddukung pernyataan Anang. “Pastinya dengan shifting dunia yang semakin digital, teknologi jadi komponen yang tidak bisa dilepaskan dalam semua aspek kehidupan maupun dalam organisasi. Tentunya ini akan seiring dengan jumlah investasi IT yang akan dikeluarkan.”

“Kami melihatnya dari sisi efektifitas dan efisiensi layanan. Melalui chatbot, nasabah dapat lebih mudah berinteraksi dengan Bank Mandiri, sehingga bisa memperkuat loyalitas mereka yang pada akhirnya dapat mendorong peningkatan bisnis bank,” tutur Lila Noya.

Dari kacamata para pengembang, menurut Irzan, biaya pengembangan dan operasional chatbot sangat bervariasi, tergantung pada fitur yang ingin dihadirkan seiring ambisi bank ingin seberapa jauh teknologi AI dan machine learning yang ingin diimplementasikan. Termasuk pula pengaruh berapa banyak pengguna yang ingin disasar.

“Kami sendiri menagih biaya operasional chatbot berdasarkan penggunaan (berapa banyak pesan yang masuk, berapa pengguna yang mengajak ngobrol, berpaa lama sesi percakapan antara chatbot dengan pengguna).”

Berdasarkan pengalamannya, meski tidak tidak disebutkan nominalnya, jumlah investasi di chatbot tidak lebih mahal dari jumlah investasi IT yang biasa dihabiskan oleh perusahaan besar.

Sementara bagi CEO Bang Joni Diatche Harahap, biaya untuk pembuatan chatbot sekarang sudah relatif turun tapi tergantung sistem dan kegunaan apa yang akan dilakukan. Bahkan, di dalam platformnya, biaya pembuatannya sangat terjangkau, relatif tanpa harus lewati proses coding, kecuali untuk fitur yang dikostumisasi untuk spesifik perbankan.

Setyo Harsoyo turut berpendapat, “Biaya sangat relatif, tergantung dibandingkan dengan apa? Jika dibandingkan dengan biaya pengadaan dan pengelolaan call center jelas lebih murah.”

Kendati dianggap sebagai investasi yang worth it, masih ada kekurangan yang dirasa oleh para pemain. Lila Noya berpendapat, meski perekaman data melalui Mita sangat mudah dan dapat jadi bahan evaluasi untuk meningkatkan layanan kepada nasabah dan internal kontrol.

Akan tetapi, pengembangan sistem bot untuk dapat merespons permintaan nasabah yang kompleks masih membutuhkan waktu yang relatif lama.

Senada, Anang Fauzie melihat pengkayaan kosa kata sangat menantang karena akan sangat variatif cara orang bertanya dan berbahasa. Namun hal tersebut bisa diakali dengan mengoptimalkan kecerdasan buatan untuk pelajari bahasa, agar ia semakin pintar deteksi bahasa.

 

Teknologi baru, tantangan baru

Irzan Raditya memahami karena masih implementasi tahap awal, kemampuan chatbot yang diterapkan bank di Indonesia tergolong cukup terbatas. Banyak sekali pengembangan yang perlu dilakukan untuk memastikan chatbot memiliki fungsionalitas sekaya aplikasi atau situs.

Saat ini, sambungnya, tantangan utama untuk chatbot yang diimplementasi di kanal media sosial adalah keamanan data. Ketika chatbot merambah fitur transaksi (core banking), opsi terbaik untuk melakukannya adalah lewat aplikasi atau situs milik bank tersebut.

“Maka dari itu mayoritas chatbot yang ada saat ini masih terfokus di fungsi-fungsi komplementer, seperti CS, cari promo kartu kredit/debit, cari ATM terdekat, cari tahu soal produk, daftar kartu kredit, dan gimmick marketing lainnya. Namun kami yakin di masa yang akan datang, chatbot akan bisa mencapai fungsionalitas lebih baik dari sisi teknologinya.”

Ditambah pula, dari sisi teknis mengenai keamanan data, bank tidak diperkenankan untuk menyimpan data nasabah di server eksternal atau cloud. Semua data dan sistem teknologi harus tersimpan di server milik mereka sendiri (on premise).

Dampaknya, terletak pada biaya investasi yang perlu mereka keluarkan saat mencoba mengimplementasikan teknologi baru karena harus bangun infrastruktur teknologi mereka sendiri. Namun di sisi lain, bank hanya akan berinvestasi pada teknologi yang sudah terjamin mengingat kerumitan yang harus mereka hadapi saat implementasi teknologi baru.

“Dengan berlomba-lombanya bank di Indonesia eksplorasi chatbot, ini menunjukkan chatbot bukan lagi sekadar eksperimen teknologi. Tapi sudah jadi sebuah pilihan teknologi yang strategis untuk proses bisnis mereka.”

Di samping itu, tantangan lainnya yang masih harus dihadapi bank saat implementasi teknologi baru adalah soal regulasinya. Menurut Diatche Harahap, regulasi bank terkesan sangat terlambat untuk mengikuti perkembangan teknologi chatbot dengan AI.

Dia mencontohkan, untuk regulasi pembukaan rekening dan transaksi. Saat ini setelah hampir setahun, tak kunjung ada restu dari regulator padahal kebutuhan utama dari chatbot adalah regulasi yang mendukung.

“Regulasi adalah tantangan terbesar, bukan hanya data,” kata Ache, panggilan akrab Diatche.

Selalu membutuhkan sentuhan manusia

Kendati chatbot adalah robot yang menyerupai manusia, namun perbankan memastikan bahwa mereka akan selalu membutuhkan sentuhan manusia yang nyata dalam memberikan pelayanan kepada nasabah.

“Sampai saat ini, kami belum melihat bahwa robot akan menggantikan manusia 100%. Akan selalu dibutuhkan sentuhan manusia dalam setiap teknologi. Apalagi untuk jenis usaha finansial seperti bank,” kata Santoso.

Bagi bank, berhubungan dengan nasabah secara langsung merupakan sesuatu yang sangat penting. Teknologi atau robot dalam hal ini akan membuat beberapa hal lebih efisiens dan lebih cepat (responsif), baik dari sisi perusahaan maupun nasabah.

Diungkapkan bahwa manusia memiliki unsur relationship yang tidak dapat tergantikan oleh robot. Anang Fauzie menambahkan, chatbot jadi alat untuk bantu dan melengkapi layanan, bukan untuk menggantikan penuh tenaga manusia.

Chatbot, menurutnya, akan membantu tim melayani hal-hal yang simpel namun banyak sekali dibutuhkan atau ditanyakan. Dengan demikian SDM bisa lebih fokus untuk pekerjaan yang lebih kompleks, sehingga tidak menyita waktu mereka.

“Sebagian layanan yang tidak bisa direspon via chatbot misalnya, yang sifatnya konsultatif maka tetap membutuhkan kehadiran layanan manusia,” ucap Indra Utoyo.

Masa depan Vira, Mita, Cinta, dan Sabrina

Tak hanya berguna untuk meringankan beban pekerjaan tim CS, chatbot juga dapat dimaksimalkan untuk keperluan lainnya. Lila Noya mengatakan Mita juga dimanfaatkan perseroan untuk keperluan marketing, menggali kebutuhan nasabah lewat survei dan representasi Bank Mandiri secara korporat.

Selain itu, Anang menambahkan, chatbot dipakai sebagai alat peningkat transaksi dan akuisisi nasabah baru. Serta, data mining untuk mengetahui preferensi nasabah.

“Kelak nasabah bebas memilih sarana atau channel apa yang sesuai dengan keinginan atau preferensi dan pola laku (behavior) yang cocok bagi nasabah,” tandas Santoso.

Sejauh ini bisa dikatakan BCA sebagai bank pelopor yang menghadirkan Vira ke publik pada pertengahan tahun lalu. Santoso menuturkan dampaknya bagi perusahaan adalah peningkatan pengguna dan interaksi dengan nasabah setiap bulannya. Sayangnya, dia tidak disebutkan berapa angka detailnya.

Bagi BCA, hal tersebut menjadi pencapaian yang positif karena semakin sering Vira diajak ngobrol, dia akan semakin “pintar”.

Sedangkan bagi Cinta, dampak bagi BNI adalah perseroan dapat menyebarkan informasi dengan biaya yang rendah karena lewat aplikasi messaging.

“Dengan demikian setiap blast promo yang kami kirimkan dapat dilihat langsung oleh user lewat gadget mereka,” terang Anang.

Perjalanan Vira, Mita, Cinta, dan Sabrina masih sangat panjang. Masih banyak sekali fitur-fitur yang bisa dikembangkan dan akan terus bertambah. Inisiasi empat bank beraset terbesar di Indonesia ini dengan memulainya lebih dahulu bisa menjadi faktor pemicu untuk bank lainnya melakukan hal serupa.

Mengintip Gurihnya Uang Elektronik di Indonesia

Gita, Adi, dan Agnes adalah salah satu dari sekian juta pengguna aktif uang elektronik atau lebih dikenal dengan e-money di Indonesia. Gita mengungkapkan e-money sudah menjadi alat bayar yang cukup praktis ketika harus menggunakan Commuter Line.

Penumpang tidak harus bersusah payah untuk mengantre saat membayar ongkos. Di dalam dompet Gita, ada dua kartu e-money yakni Flazz dari BCA dan Tap Cash dari BNI. Gita juga terdaftar sebagai pengguna Mandiri e-cash.

Hanya saja, dia memiliki pengalaman yang tidak baik saat menggunakan Tap Cash. Setelah sukses melakukan isi ulang dari ATM, rupanya uangnya tidak masuk ke kartu e-money miliknya. “Padahal saya sudah pastikan nomor kartunya dua kali sebelum transfer dilakukan di ATM,” tuturnya.

Setelah kejadian itu, akhirnya Gita lebih memilih untuk top up saldo di petugas Trans Jakarta demi jaminan dananya. Selain menggunakan untuk transportasi, terkadang Gita juga memakainya saat berbelanja di gerai minimarket dan cafe. Sementara itu, untuk Mandiri e-cash lebih banyak dipakai ketika membeli pulsa.

Senada, Adi sering menggunakan e-money untuk membayar sarana transportasi publik. Secara spesifik Adi mengungkapkan dirinya adalah pengguna setia Flazz. Menurutnya, dari segi umur Flazz adalah pemain pertama e-money di Indonesia. Hal inilah yang membuat dirinya terasa lebih familiar dengan Flazz.

“Dari segi desainnya, Flazz sangat bervariasi. Saya rela bayar mahal demi dapat kartu Flazz yang sesuai selera.”

Beda halnya dengan Agnes, dirinya termasuk jarang menggunakan e-money. Untuk memakainya pun, hanya saat dia menggunakan Transjakarta. Agnes kebanyakan pakai Flazz untuk mendapatkan diskon dari toko buku ternama di Indonesia.

“Kebetulan beli Flazz cuma buat dapat diskon saja saat beli buku. Itupun tidak perlu top up saldo, makanya saya tertarik.”

Salah satu bentuk promosi yang dilakukan oleh pemain e-money bekerja sama dengan gerai ritel / Pexels
Salah satu bentuk promosi yang dilakukan oleh pemain e-money bekerja sama dengan gerai ritel / Pexels

Ketiga konsumen di atas merupakan salah satu dari sekian juta pengguna e-money di Indonesia. Data dari Bank Indonesia menyebut, hingga September 2016 volume transaksi sebesar 476,56 juta dengan nilai transaksi 4,89 triliun Rupiah dan jumlah e-money beredar sebanyak 352,07 juta.

[Baca juga: E-money Mungkin adalah Kunci Pembayaran di Masa Depan]

Di 2014, volume transaksi mencapai 203,38 juta atau naik 47,48% secara year-on-year (yoy) dibanding tahun sebelumnya. Kemudian, 535,57 juta transaksi di 2015 atau setara dengan kenaikan 163,35%. Dari segi nominal transaksi, di 2014 sebanyak 3,31 triliun Rupiah, naik 14,17%. Di tahun berikutnya menjadi 5,28 triliun Rupiah, naik 59,17%.

Perlahan tapi pasti, e-money mulai menggeser penggunaan transaksi ritel di Tanah Air yang kini masih didominasi oleh uang tunai.

Susiati Dewi, Asisten Direktur Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran Bank Indonesia, menerangkan jumlah uang elektronik yang dipegang oleh masyarakat mencapai 37,3 juta. Secara ekosistemnya, penggunaan uang elektronik tidak hanya dipakai untuk pembayaran di gerai ritel offline maupun online.

Kini e-money juga bisa digunakan untuk penyaluran bantuan sosial (bansos) Program Keluarga Harapan dari Kementerian Sosial kepada 600 ribu orang penerima bansos. “Penggunaan uang elektronik jadi kian pesat karena banyak sektor transaksi ritel yang bisa dimanfaatkan,” terangnya kepada DailySocial.

Bentuk dukungan BI terhadap dorongan terciptanya ekosistem e-money yang kondusif, salah satunya dengan meningkatkan plafon maksimal instrumen Layanan Keuangan Digital (LKD) untuk pengguna terdaftar menjadi 10 juta Rupiah dari sebelumnya 5 juta Rupiah.

Berikutnya, sambung Susi, BI akan kembali mengeluarkan ketentuan lainnya terkait dengan penyelenggaraan transaksi pembayaran yang lebih difokuskan untuk mengatur layanan pembayaran e-commerce. E-money merupakan salah satu instrumennya. “Untuk penerbitan regulasinya belum bisa dipastikan waktunya, namun dalam waktu dekat.”

Adopsi e-money card based terbanyak dari sarana transportasi

Ilustrasi penggunaan Flazz sebagai alat pembayaran Trans Jakarta / BCA
Ilustrasi penggunaan Flazz sebagai alat pembayaran Trans Jakarta / BCA

Beberapa tahun belakangan, pemerintah dengan semangat Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) mulai menerapkan sejumlah aturan untuk mempercepat adopsi penggunaan e-money. Salah satu yang paling gencar adalah menerapkan e-money card based untuk sarana transportasi publik, mulai dari Transjakarta, Commuter Line, dan pembayaran tol.

Terbukti, dari langkah ini menjadi kontributor utama bagi sejumlah pemain e-money. Beberapa di antaranya adalah Flazz BCA dan Mandiri E-money.

Bank Mandiri merupakan pemain dominan untuk pembayaran tol. Hal ini diungkapkan Rico Usthavia Frans, Direktur Bank Mandiri. Menurutnya, dari total kartu uang elektronik yang sudah beredar mayoritas dikontribusikan dari pembayaran tol, kemudian disusul sarana transportasi lainnya seperti Transjakarta dan Commuter Line. Sisanya, pembelian barang di gerai minimarket.

Saat ini total kartu beredar e-money milik Bank Mandiri sudah mencapai 8 juta sejak pertama kali diluncurkan pada 2009. Kini volume transaksinya per bulan mencapai 30 juta transaksi.

Rico mengatakan perusahaan menargetkan volume transaksi uang elektronik pada tahun ini dapat meningkat 30% dari 251 juta transaksi menjadi 37 juta transaksi. Nilai transaksi yang diharapkan bisa mencapai 3,5 triliun Rupiah, naik 40% dari pencapaian sebelumnya 2,5 triliun Rupiah di tahun sebelumnya.

Flazz BCA adalah pemain tertua untuk uang elektronik, pertama kali diluncurkan pada 2007. Mira Wibowo, General Manager Kepala Divisi Pengembangan Bisnis dan Pemasaran Transaksi Perbankan BCA menerangkan frekeuensi penggunaan Flazz banyak diarahkan untuk pembayaran sarana transportasi publik, tol, parkir, juga di restoran dan minimarket.

Kini Flazz BCA sudah beredar lebih dari 9,5 juta kartu. Pertumbuhan kartu beredar dalam lima tahun terakhir, menurut Mira, sudah lebih dari 20% begitupula untuk volume transaksinya. Untuk nominal transaksinya, pada tahun lalu Flazz menembus kisaran 1 triliun Rupiah.

Bagaimana dengan adopsi e-money server based?

Secara desain, e-money server based nampaknya sangat tepat untuk digunakan sebagai alat pembayaran belanja online. Baik BCA maupun Mandiri keduanya memiliki e-money berbasis server based. Dari segi umur, keduanya masih merupakan produk baru dan membutuhkan waktu untuk edukasi ke masyarakat.

Santoso Liem, Direktur BCA, menerangkan Sakuku baru menginjak usia satu tahun sejak pertama kali diluncurkan pada tahun lalu. Menurutnya, jumlah pengguna Sakuku mencapai lebih dari 135 ribu orang dengan volume transaksi rata-rata per bulan sekitar 80 ribu sampai 90 ribu transaksi. Penggunaan terbesarnya dipakai untuk pembelian pulsa, berbelanja di merchant offline, dan banyak juga yang tarik tunai.

“Sakuku tergolong masih baru, sehingga pertumbuhannya belum secepat Flazz. Kami lebih mengutamakan pertumbuhan natural, sehingga masih difokuskan untuk meningkatkan jumlah pengguna untuk menikmati fitur Sakuku.”

LINE Pay e-Cash adalah kolaborasi LINE dan Bank Mandiri memanfaatkan platform e-money Mandiri e-Cash / DailySocial
LINE Pay e-Cash adalah kolaborasi LINE dan Bank Mandiri memanfaatkan platform e-money Mandiri e-Cash / DailySocial

Rahmat Broto Triaji, SVP Transaction Banking Retail Bank Mandiri, menjelaskan perusahaan akan menggenjot transaksi Mandiri e-cash untuk bertransaksi di layanan e-commerce. Untuk itu perusahaan akan memperbanyak jumlah merchant. Diharapkan tahun depan dapat bertambah 300 merchant dari posisi tahun ini sebanyak 1.000 merchant.

“Pada September 2016 produk e-money dan e-cash dari Bank Mandiri telah menguasai 65% pangsa pasar industri e-money,” ujar Rahmat seperti dikutip dari Kontan.

Dalam upayanya ini, Bank Mandiri baru-baru ini meresmikan kemitraan strategis dengan Line sebagai platform untuk menjembatani transaksi online yang terjadi antara pengguna Line dengan 300 ribu offline dan online shop yang terdaftar di social messaging tersebut.

Mengukur segi keamanan e-money bagi pengguna

Kejadian yang menimpa Gita umum dialami pengguna e-money card based yang tergolong sebagai pengguna tidak terdaftar. Keamanan pengguna e-money card based tidak dijamin siapapun, termasuk oleh pihak penerbit kartu.

Untuk itu Bank Indonesia membuat sistem pengamanan yang berbeda untuk e-money mulai dari penetapan plafon nominal. Untuk card based, nominal maksimalnya adalah 1 juta, sementara server based adalah 10 juta Rupiah.

“Sejak awal e-money card based memang didesain tidak diberi perlindungan konsumen, maka dari itu BI menerapkan untuk melakukan limitasi nominal uang yang bisa disimpan hanya sampai 1 juta Rupiah. Sementara, untuk pengguna terdaftar terhitung lebih aman dan nyaman bila kehilangan smartphone-nya mereka bisa klaim ke pihak penerbit,” terang Budi Armanto, Deputi Komisioner Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Masih lemahnya adopsi e-money di segmen e-commerce

Pemanfaatan e-money sebagai alat pembayaran di e-commerce masih kecil / Shutterstock
Pemanfaatan e-money sebagai alat pembayaran di e-commerce masih kecil / Shutterstock

Dari hasil survei yang dipaparkan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), terungkap bahwa saat ini pilihan pembayaran untuk transaksi di layanan e-commerce sebagian besar masih banyak yang menggunakan ATM secara langsung sebanyak 36,7% disusul dengan pembayaran dengan cara Cash on Delivery sebanyak 14,2% dan terakhir pembayaran dengan menggunakan internet banking hanya 1,5% saja.

Data tersebut membuktikan masih rendahnya kepercayaan pengguna yang melakukan pembayaran dengan memanfaatkan internet dalam hal ini e-money. Di sisi lain golongan masyarakat yang unbankable juga merupakan salah satu alasan mengapa penggunaan uang elektronik masih minim jumlahnya.

Kami pun, pada pertengahan tahun lalu, juga merilis survei kecil-kecilan. Dari 1.002 responden yang menjawab, 763 responden mengaku berbelanja secara online dalam tiga bulan terakhir.

Mereka mengaku metode pembayaran transfer bank adalah metode terbaik dan paling dipercaya oleh mayoritas responden. Komposisinya, 75% responden memilih transfer bank, 13% untuk Cash on Delivery (CoD), dan 7% memilih kartu kredit.

Pihak e-commerce sendiri hingga kini masih enggan untuk memberikan informasi berapa banyak pembayaran dengan menggunakan e-money yang kemudian dipilih oleh pengguna, namun bisa diperkirakan adopsi e-money masih kecil.

Meskipun pemerintah dan Bank Indonesia telah mendukung kelancaran aturan penyelenggara uang elektronik, yang diharapkan bisa memberikan manfaat lebih untuk industri e-commerce dalam hal pilihan pembayaran, jika pemanfaatan uang elektronik oleh konsumen masih rendah.

Untuk itu edukasi tentunya perlu untuk dilakukan baik dari pelaku e-commerce, operator, perusahaan keuangan, juga dari pemerintah untuk meningkatkan minat penggunaan uang elektronik di Indonesia.


Yenny Yusra berkontribusi untuk penulisan artikel ini

Denny Santoso Bergabung Dengan Layanan Kotak Kecantikan BeautyTreats Indonesia

Layanan langganan kotak kecantikan BeautyTreats baru saja mengumumkan bergabungnya seorang digital entrepreneur sekaligus founder dari duniafitness dan sixreps, Denny Santoso sebagai pemegang saham dan strategist. Kemitraan yang baru dijalin ini diharapkan memicu inovasi dan meningkatkan kekuatan core business dari BeautyTreats ini sendiri.

(null)