Pernahkah kamu mendengar istilah scrum? Dalam dunia bisnis, scrum adalah salah satu strategi yang populer untuk digunakan, terutama dalam mengerjakan sebuah proyek. Pasalnya, scrum bertujuan untuk meminimalisir kesulitan saat mengerjakannya.
Lantas, apa itu scrum dan mengapa hal ini cukup penting untuk dilakukan? Baca penjelasan selengkapnya dalam artikel ini!
Pengertian Scrum
Scrum adalah cara-cara yang dilakukan untuk memecahkan suatu masalah. Metode ini memiliki kunci utama pada kolaborasi tim yang mengacu pada nilai Agile Manifesto, yakni berkala (iterative) dan bertahap (incremental).
Istilah scrum sendiri pada awalnya berasal dari makalah Hirotaka Takeuchi dan Ikujiro Nonaka (1986) untuk Harvard Business Review, di mana mereka menggunakan olahraga rugby sebagai metafora untuk menggambarkan manfaat tim yang mengatur diri sendiri dalam pengembangan dan pengiriman produk yang inovatif.
Sementara metode scrum pertama kali digunakan dalam pengembangan software yang dimulai oleh Jeff Sutherland pada tahun 1993. Metode ini digunakan untuk membantu tim dalam memecahkan masalah dalam segala macam proyek, mulai dari software, website, hardware, marketing, hingga event planning.
Manfaat Scrum
Scrum adalah strategi bisnis yang digunakan untuk menghasilkan keuntungan yang lebih banyak. Metode ini juga sangat efektif untuk menghemat waktu dan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan.
Tak hanya itu, scrum juga bermanfaat dalam proses product atau project management. Tujuannya, agar perusahaan dapat selalu berkembang di masa depan dan konsumen juga selalu puas dengan hasil yang didapat.
Peran-Peran dalam Scrum
Agar dapat digunakan secara maksimal, scrum memiliki peran-peran yang dapat mensukseskannya.
Product Owner
Product owner adalah pihak yang memastikan bahwa kinerja tim Scrum sudah sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Dalam hal ini, mereka harus memahami kebutuhan pelanggan hingga tren pasar.
Scrum Master
Scrum master adalah pihak yang bertanggung jawab untuk memastikan bahwa tim proyek sudah beroperasi seefektif mungkin dengan nilai-nilai scrum. Mereka juga harus bertanggung jawab dalam mengatasi segala bentuk hambatan yang ada.
Development Team
Development team atau tim pengembang adalah tim yang bertugas untuk melakukan pekerjaan secara langsung untukmenyelesaikan tugas dalam sprint scrum. Tim ini terdiri atas computer engineer, desainer, penulis, data analyst dan peran lain yang diperlukan untuk mencapai tujuan proyek.
Tahap-Tahap Scrum
Product Backlog
Tahap pertama adalah product backlog yang berisi daftar apa saja yang harus dilakukan sesuai dengan skala prioritas perusahaan. Perwakilan perusahaan bersama stakeholder bertugas untuk menata ulang product backlog. Tahap ini menjadi tanggung jawab product owner atau manajer.
Sprint Planning
Dalam tahap ini, produk teratas dalam product backlog disusun kembali menjadi sprint backlog. Tim scrum bertugas untuk menentukan bagaimana mereka akan menyelesaikan apa yang ada dalam sprint backlog.
Sprint
Scrum dilakukan melalui kegiatan daily scrum, yakni saat di mana tim berkumpul dan bekerja untuk memastikan perkembangan produk terus berjalan. Tahap ini membutuhkan scrum master yang bertugas untuk membantu tim agar tetap fokus.
Sprint Review
Sprint review adalah tahapan sprint terakhir. Untuk itu, segala produk atau proyek yang dikerjakan harus sudah selesai dan siap digunakan pada tahap ini.
Retrospective Process
Seluruh tahap scrum perlu dilakukan secara berulang dalam proses scrum proyek selanjutnya.
Nah, itulah penjelasan mengenai scrum dalam bisnis. Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa scrum adalah strategi bisnis yang digunakan untuk meningkatkan keuntungan dalam bisnis.
Era digital yang dinamis, menuntut perusahaan untuk cepat berinovasi membuat produk yang dapat menjawab kebutuhan konsumen dan dirilis dalam waktu singkat. Cara ini untuk menjawab bupaya perusahaan agar tetap terdepan dibandingkan kompetitor.
Ada banyak metodologi yang dapat dipakai untuk mengakomodasi proses pembuatan produk tersebut hingga sampai ke tangan konsumen. Ini disebut fase delivery, setelah proses design thinking selesai.
Dalam fase ini, Anda akan menghadapi tantangan bagaimana mengimplementasikan produk dengan cepat, efisien, atau dikenal dengan teknik agile. Teknik ini sekarang kian tenar karena dipakai untuk proyek kompleks, disebut dengan istilah scrum.
Scrum dibuat oleh Jeff Sutherland dan Ken Schwaber yang merupakan seorang pengembang pada medio tahun 1990-an di Amerika. Berkat temuannya ini, bisa menggiring perusahaan teknologi seperti Amazon, Google, dan Facebook menjadi raksasa sampai sekarang.
Kepada DailySocial, Head of Department Digital Growth Asset Telkomsel Wisnu Ario Supadmono memaparkan, scrum adalah tahap lanjutan dari design sprint. Bedanya, design sprint adalah fase penemuan (discovery) dari ide yang cepat hingga menjadi prototipe.
Sementara, scrum adalah fase delivery dari prototipe hingga menjadi produk yang bisa digunakan konsumen. Ia dikenal sebagai kerangka kerja yang memungkinkan perusahaan mengawal pembuatan produk yang kompleks, tapi adaptif dengan perubahan pasar sehingga punya nilai tinggi bagi konsumen.
“Scrum ini adaptif terhadap perubahan, tapi dengan kualitas yang bagus, developer pun happy karena enggak akan bingung. Teknik ini mengakomodir success fast fail fast,” terang dia.
Dalam era yang dinamis, sambungnya, tidak ada produk yang langsung sempurna. Maka yang bisa dilakukan adalah meluncurkan minimum viable product (MVP), tetapi yang sudah bisa memecahkan masalah terbesar dari konsumen. Proses iterasi secara bertahap dari waktu ke waktu agar dapat selalu mengikuti kemauan pasar yang bergerak cepat.
Dia mencontohkan, implementasi scrum yang dapat dilihat jelas adalah revolusi Gojek. Dari awalnya hanya menyediakan layanan ojek online, kini sudah menyentuh vertikal bisnis lintas industri.
Pemahaman awal tentang scrum
Mengapa harus scrum? Apakah ada metode lain yang bisa digunakan. Tentu saja ada, contohnya adalah kanban dan waterfall. Keduanya masih dapat dipakai tergantung kompleksitas proyeknya.
Kerangka kerja scrum lebih banyak digunakan untuk proyek kompleks dengan dinamika perubahan yang dinamis. Sebab ia adaptif dengan perubahan, sehingga bisa menyesuaikan apabila ada syarat (requirement) yang perlu ditambahkan. Scrum membutuhkan waktu paling lama sebulan hingga MVP siap dipakai konsumen.
Sedangkan waterfall, misalnya, seluruh syarat sudah dikunci sejak awal perancangan tidak boleh berubah sampai ia jadi. Apabila inovasi di ubah di tengah jalan, ia tidak seadaptif scrum, malah membuat pengembang jadi kelimpungan sebab harus mengubah dari awal.
Tapi kondisi ini tidak serta merta membuat scrum lebih unggul daripada waterfall. Ada kondisi tertentu, kalau memakai scrum justru jadi lebih makan waktu. Waterfall cenderung lebih cocok untuk proyek simpel dengan syarat yang fixed.
“Di tempat kami, waterfall masih dipakai, kita kombinasikan karena metode ini enggak salah juga buat project-project yang requirement-nya fixed. Memang bagusnya pakai waterfall, contohnya seperti sesuatu yang sudah menjadi rutinitas.”
Dari revolusi layanan Gojek, menjadi gambaran jelas. Apabila suatu perusahaan membuat aplikasi yang kompleks seperti super apps, maka akan sulit mendapatkan syarat yang pasti. Ini bukan karena kesalahan pengembang atau pemilik produk (product owner) karena tidak bisa membuatnya, melainkan mengikuti kebutuhan pasar yang dinamis.
“Biasanya developer kalau di tengah jalan tiba-tiba berubah, mereka akan pusing. Tapi scrum menganulir itu, mau berubah kapanpun tidak masalah, meski banyak yang diubah, kualitas akan tetap baik.”
Mengambil dari ilustrasi di atas, membuktikan ada perbedaan kerangka kerja antara scrum dan waterfall. Ada solusi yang ingin diberikan moda transportasi yang cepat buat konsumen.
Perjalanan untuk menjawab solusi di atas ada perbedaan cara. Untuk waterfall, syarat yang diminta pemilik produk sudah jelas, ialah membuat mobil. Tahapan awalnya adalah dengan menyusun posisi ban mobil, kerangka mobil, hingga jadi mobil yang bisa dipakai.
Tapi, di dalam scrum justru tidak langsung membuat mobil, melainkan membuat skateboard sebagai MVP dengan maksud mempermudah konsumen sampai ke tempat yang dituju. Pengembangan berikutnya adalah membuat setang, perlahan berkembang jadi sepeda, motor, hingga akhirnya mobil setelah berkali-kali meminta masukan dari konsumen.
“Kita enggak tahu di tengah jalan ternyata maunya konsumen bukan mobil tapi cukup sepeda. Kita bisa berhenti di situ, bila konsumen kasih masukan, bisa belok buat sepeda listrik.”
“Kalau waterfall, setelah mobil jadi baru bisa terima masukan, padahal prosesnya sudah lama. Tapi di scrum, dari MVP bisa langsung dicoba konsumen, kalau gagal bisa berhenti,” sambungnya.
Proses kerja dalam scrum
1. Nilai penting scrum
Dalam kerangka kerja scrum, ada lima nilai penting yang harus dijunjung tinggi oleh tim. Kelima itu adalah komitmen, keberanian, fokus, keterbukaan, dan menghormati. Ketika ini dijunjung, maka tiga pilar penting dalam scrum, yakni transparansi, inspeksi, dan adaptasi bisa lebih hidup dan rasa percaya antar anggota tim lebih terjaga.
2. Susunan tim
Tim scrum biasanya terdiri dari pemilik produk (product owner), tim pengembang, dan scrum master. Sama seperti design sprint yang memerlukan sprint master sebagai fasilitator, memastikan supaya proses scrum terjadi. Minimal satu tim terdiri dari enam sampai sembilan orang.
Disarankan juga, sebaiknya scrum master harus memiliki sertifikat yang dikeluarkan lembaga resmi, seperti Scrum Alliance. Apabila tidak ada, agak disangsikan karena kemungkinan memberikan hasil yang berbeda. Semangat scrum itu sendiri adalah memastikan bahwa maksimal dalam waktu satu bulan produk MVP bisa dirilis ke pasar.
Sertifikat ini bersifat terpisah dari sprint master. Artinya, tidak perlu mengambil sertifikat jadi sprint master sebelum mengajukan scrum master, sebab keduanya ini adalah dua hal yang berbeda.
“Bisa dipilih, kalau sekop pekerjaannya end to end dari fase discovery sampai delivery, sebaiknya iya. Tapi kalau hanya salah satunya scoop-nya, cukup ambil salah satu tergantung kebutuhan dari pekerjaannya.”
Orang yang menjadi scrum master setidaknya disarankan punya pengalaman sebagai pengembang agar dia paham bagaimana cara tim pengembang bisa bekerja secara optimal.
Kembali soal tim, mereka bekerja secara mandiri dan lintas fungsi (cross function). Bebas untuk memilih cara terbaik dalam menyelesaikan pekerjaannya tanpa diperintah orang lain di luar tim. Lintas fungsi ini maksudnya semua anggota tim punya semua keahlian yang dibutuhkan tanpa bergantung pada orang lain di luar tim.
Pemilik produk
Ia adalah orang yang bertanggung jawab untuk memaksimalkan nilai bisnis dari produk yang dihasilkan tim pengembang. Ia juga adalah satu-satunya orang yang bertanggung jawab dalam pengelolaan product backlog. Tanggung jawab tersebut meliputi, menyampaikan isi product backlog item secara jelas, memilih prioritasnya untuk mencapai misi dengan cara terbaik.
Berikutnya, mengoptimalkan nilai bisnis dari pekerjaan yang dilakukan tim pengembang, memastikan agar product backlog dapat dilihat, transparan, dan jelas untuk semua pihak, dan memastikan tim pengembang memahami product backlog item hingga batas tertentu.
Wisnu juga menyarankan sebaiknya pemilik produk punya kemampuan discovery selayaknya dalam design sprint. Ini berguna untuk membantunya dalam mengambil keputusan yang lebih mantap atas produk apa yang ingin dibuat.
Tim pengembang
Di dalam tim ini berisi front end engineer, back end engineer, UI/UX engineer, quality assurance, system analyst, dan software tester. Mereka bekerja secara mandiri, diberi wewenang oleh tim untuk menyusun dan mengelola pekerjaan mereka sendiri. Hasil sinergi dari tim ini akan mengoptimalkan efisiensi dan efektivitas secara keseluruhan.
Meski produk yang akan dirilis adalah punya pemilik produk, tapi tim pengembang bisa mempertanyakan apakah prioritas yang ia ingin penting atau tidak. Diskusi ini diharapkan membuat kedua belah pihak saling transparan satu sama lain.
Karakteristik yang diberikan scrum untuk tim pengembang adalah mereka kerja mandiri, tidak ada satu orang pun, termasuk scrum master, yang mengarahkan bagaimana memanifestasikan product backlog menjadi gabungan fungsionalitas yang berpotensi untuk dirilis.
Mereka juga bersifat lintas fungsi, punya semua keahlian yang diperlukan untuk membuat increment; tidak ada jabatan dan pengelompokkan, terlepas dari jenis pekerjaan yang mereka kuasai; setiap orang bisa saja memiliki keahlian khusus di bidang tertentu, tapi tanggung jawab adalah milik seluruh anggota tim.
Idealnya jumlah tim ini tidak kebanyakan atau terlalu sedikit, demi memastikan tim tetap lincah. Pastikan jumlah anggota cukup untuk menyelesaikan pekerjaan secara signifikan. Kalau kurang dari tiga orang maka interaksi semakin berkurang dan tingkat produktivitasnya lebih rendah. Pada akhirnya berdampak pada hasil increment.
Scrum master
Scrum master adalah orang yang bertanggung jawab untuk mengenalkan dan memandu proses, teori, praktik, aturan, dan tata nilai scrum agar berkualitas dan memberikan hasil maksimal. Ia bisa dikatakan sebagai ahli scrum yang direkrut oleh perusahaan, jika tidak ada talenta di bidang scrum, untuk memandu proses scrum yang digelar oleh mereka.
Scrum master bisa disebut juga sebagai agile coach atau servant leader karena menjadi penengah untuk pihak-pihak yang ia layani. Mulai dari pemilik produk. Scrum master memastikan tujuan, ruang lingkup, dan ranah produk dipahami sebaik mungkin oleh semua orang di dalam tim; menemukan teknik yang paling efektif untuk mengelola product backlog.
Membantu tim scrum memahami perlunya product backlog item yang jelas dan padat; memastikan product owner paham bagaimana mengelola product backlog yang memaksimalkan nilai bisnis; memahami dan mempraktikkan agility; dan memfasilitasi acara-acara scrum.
Berikutnya untuk melayani tim pengembang, membimbing tim agar dapat mandiri dan lintas fungsi; membantu tim menghasilkan produk bernilai bisnis tinggi; menghilangkan hambatan yang memperlambat perkembangan pekerjaan tim; membimbing tim pengembang di organisasi, di mana scrum belum sepenuhnya dipraktikkan dan dipahami.
Terakhir, melayani perusahaan, untuk memimpin dan membimbing organisasi dalam penggunaan scrum; merencanakan implementasi scrum dalam organisasi; membantu karyawan dan pemilik kepentingan untuk memahami dan menggunakan scrum dan pengembangan produk secara empiris, dan sebagainya.
3. Proses scrum
Scrum memiliki beberapa kerangka kerja yang wajib dilaksanakan untuk menciptakan keberlanjutan dan mengurangi gesekan lain yang bukan bagian dari scrum. Setiap prosesnya punya batasan waktu maksimal. Ketika sprint dimulai, durasinya tidak bisa dipersingkat ataupun diperpanjang. Berikut urutannya:
Pembuatan product backlog
Proses pembuatan product backlog untuk informasi produk adalah daftar yang sudah diurutkan semua hal yang telah diketahui hingga saat ini. Isi, ketersediaan, dan urutan dari product backlog merupakan tanggung jawab sepenuhnya pemilik produk.
Product backlog berisi pengalaman cerita konsumen yang sudah dirumuskan terlebih dahulu supaya terbayang interaksi yang akan dilakukan. Karena berbasis pengalaman konsumen dan perubahan pasar, isi product backlog terus berevolusi mengikuti arah.
Oleh karenanya, sebuah product backlog ini tidak pernah tuntas. Selama produk masih ada, maka product backlog juga akan selalu ada.
Di samping itu, product backlog terdapat daftar dari seluruh fitur, fungsi, kebutuhan, peningkatan, dan perbaikan yang perlu diterapkan terhadap produk pada perilisan mendatang.
Ia juga dilengkapi informasi penting deskripsi, urutan, estimasi, dan nilai bisnis. Deskripsi meliputi keterangan pengujian produk yang akan menjadi bukti ketuntasan ketika product backlog item dinyatakan selesai.
Sprint planning
Sprint planning adalah perencanaan sebelum sprint yang dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh anggota tim scrum. Kisaran waktu kerjanya bervariasi ada yang delapan jam sehari atau lebih, untuk sprint yang berdurasi satu bulan. Untuk sprint yang lebih singkat, maka alokasi waktunya juga akan lebih singkat.
Scrum master bertugas untuk memastikan tahap ini dilakukan dengan baik agar peserta paham tujuannya. Ia juga memberitahu tim untuk menjaga sprint planning tetap dalam batasan waktunya.
Sprint planning berguna untuk menjawab berbagai pertanyaan penting. Misalnya, apa yang dapat dimasukkan ke dalam increment dari sprint? dan bagaimana tim menyelesaikan pekerjaan yang dibutuhkan untuk menghantar increment?.
Biasanya tim pengembang mulai merancang sistem dan apa saja yang perlu dikerjakan untuk mengubah product backlog menjadi increment yang berfungsi. Saat sprint planning, tim scrum juga menentukan objektif atau sprint goal.
Sprint goal akan dicapai selama sprint melalui implementasi product backlog dan menyediakan panduan untuk tim pengembang dalam mengembangkan increment. Pada akhirnya, sprint planning akan menghasilkan sprint backlog, yakni daftar pekerjaan dan bobotnya yang akan dikerjakan oleh tim pengembang saat sprint.
Sprint
Proses ini adalah jantung dari seluruh rangkaian scrum. Sprint adalah proses pembuatan produk atau layanan sampai digunakan konsumen dan berpotensi untuk dirilis dengan batasan waktu maksimal satu bulan. Sprint memiliki durasi yang konsisten sepanjang daur hidup pengembangan produk.
Satu sprint dapat langsung dimulai setelah sprint sebelumnya selesai. Sehingga, maksimal dalam satu bulan, perusahaan bisa merilis produk yang dibuat melalui proses scrum.
Wisnu mengingatkan ada beberapa hal yang perlu diingat saat sprint. Diantaranya, tidak boleh ada perubahan yang mengancam sprint goal; tingkat kualitas tidak boleh menurun; ruang lingkup dapat diklarifikasi dan dinegoisasi ulang antara pemilik produk dan tim pengembang setiap ada hal baru yang mereka pelajari.
Karena waktu maksimal tiap sprint adalah satu bulan, peran tim scrum sangat penting untuk melakukan slicing produk mana yang masuk ke MVP, tapi bisa membawa dampak positif bagi konsumen. Ada kondisi anomali, jika sprint tiba-tiba dibatalkan, yang mana otoritasnya hanya dipegang oleh pemilik produk.
Daily meeting scrum
Di sini adalah kegiatan di mana tim pengembang dengan batasan waktu 15 menit dan wajib dilakukan setiap hari selama sprint berlangsung. Tujuannya adalah untuk mengetahui pembaruan yang akan dicantumkan di scrum board. Tim pengembang juga memberi tahu rencana kerja mereka untuk sehari ke depan.
Kegiatan ini dapat mengoptimalkan kolaborasi dan performa dari tim dengan melakukan inspeksi pada scrum sebelumnya. Selain itu, untuk mengetahui estimasi pekerjaan di tahap selanjutnya di dalam sprint.
Dengan demikian, product owner dapat secara langsung melihat progres produknya tanpa harus membebani tim pengembang dengan menghujani berbagai pertanyaan. Dampaknya apabila tim pengembang terlalu di-push adalah mereka tidak bisa memberikan hasil yang maksimal.
“Dari pengalaman saya, product owner mengatakan bahwa scrum ini jadi jelas, semuanya transparan. Developer bisa dapat transparansi apa yang diinginkan product owner, begitupun sebaliknya. Jadi no hidden agenda.”
Daily scrum berguna untuk meningkatkan kualitas komunikasi tim, mengeliminasi pertemuan lain yang tidak perlu, mengidentifikasi hambatan yang harus dihilangkan, menyoroti dan mendukung pengambilan keputusan secara cepat, dan meningkatkan tingkat pengetahuan dari tim pengembang.
Setiap daily scrum, biasanya tim pengembang akan memindahkan backlog di scrum board apabila ada progres yang signifikan.
Sprint review
Sprint review diselenggarakan di akhir sprint untuk menginspeksi increment dan mengadaptasi product backlog bila diperlukan. Saat sprint review, tim scrum dan pemegang kepentingan berkolaborasi untuk meninjau apa yang diselesaikan di sprint.
Berdasarkan hasil tinjauan tersebut dan perubahan product backlog di dalam sprint, seluruh tim berkolaborasi menentukan langkah selanjutnya untuk mengoptimalkan nilai bisnis. Biasanya pertemuan ini bersifat informal, bukan seperti daily scrum.
Presentasi increment diperlukan guna mendapat umpan balik dan mengembangkan kemampuan kolaborasi. Pertemuan ini dilakukan paling lama empat jam untuk sprint berdurasi satu bulan.
Di dalam sini, kegiatan yang dilakukan diantaranya penjelasan product backlog item yang sudah selesai dan yang belum selesai oleh product owner; lalu keadaan product backlog hingga saat ini; dan memproyeksikan target dan tanggal penghantaran produk berdasarkan perkembangan hingga hari ini apabila ditanyakan.
Dari sisi tim pengembang, mereka bertugas untuk menjelaskan apa yang berjalan baik sepanjang sprint, masalah yang mereka hadapi, dan solusinya; mendemostrasikan pekerjaan yang telah selesai dan menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai increment.
Seluruh tim, dan hadirin lainnya yang diundang product owner seperti pemegang kepentingan utama, berdiskusi mengenai apa yang akan dilakukan selanjutnya untuk sprint planning berikutnya; meninjau keadaan pasar atau potensi penggunaan produk yang mungkin telah berubah, dan hal apa yang paling bernilai untuk dikerjakan selanjutnya.
Sprint retrospective
Ini adalah acara bagi tim scrum untuk menginspeksi diri sendiri dan membuat perencanaan mengenai peningkatan yang akan dilakukan di sprint berikutnya. Acara ini dilakukan setelah sprint review dan sebelum sprint planning berikutnya maksimal empat jam.
Tujuan akhir yang ingin disasar dari sprint retrospective adalah wadah untuk mengeluarkan hal-hal yang mengganjal dalam melakukan proses sprint dengan nuansa positif demi perbaikan ke depannya.
Wisnu menerangkan di sini, semua orang boleh mengeluarkan unek-uneknya dan menyampaikan tidak suka sama siapa. Tapi uniknya dengan scrum, teknik penyampaiannya atau framing-nya dibuat terdengar positif.
“Di sini semua orang dipaksa untuk terbuka. Tapi sebelum diutarakan ke orang yang bersangkutan, harus di-brief terlebih dahulu oleh scrum master untuk diarahkan menjadi framing positif. Orang yang dituju bakal merasa tim care dengan dia karena diberikan solusi, bukan asal menyalahkan saja.”
Penutup
Seluruh rangkaian scrum, mulai dari pembuatan user journey, pembuatan product backlog, proses sprint planning untuk memilih prioritas product backlog yang akan menjadi sprint backlog, melakukan sprint maksimum satu bulan, daily scrum setiap hari selama 15 menit, sprint review, sprint restrospective, dan perilisan produk. Jam kerjanya pun masuk kategori normal, maksimal delapan jam setiap hari.
Wisnu menerangkan seluruh kerangka kerja ini harus dilakukan secara disiplin, tidak boleh satupun sesi yang dihilangkan demi memastikan perilisan produk tetap sesuai dengan target awal.
Meski tenggat maksimal sprint adalah satu bulan, ada kondisi anomali yang memaksa untuk ditoleransi hingga harus diperpanjang. Wisnu menyebut kondisi tersebut memang ada kemungkinannya bakal terjadi. Malah dari pengalamannya, pernah sampai diperpanjang tambahan satu bulan.
Toleransi ini penting karena saat sprint perdana dalam MVP harus punya fondasi yang kuat untuk keberlangsungan suatu produk, sehingga wajar bila ini adalah masa terberat. MVP adalah fondasi untuk menjawab pertanyaan dasar ‘Apakah benar solusi yang Anda tawarkan bisa memuaskan kebutuhan user yang paling dasar?.’
Selain perilisan produk dan inovasi bisnis bisa lebih cepat dan adaptif, metode scrum juga memiliki kemungkinan gagal yang lebih kecil dibanding kerangka kerja lainnya, seperti waterfall sebagai contoh yang paling familiar. Scrum memperkecil kegagalan produk dan inovasi saat diluncurkan ke pasar.
“Kalaupun ujung-ujungnya fail, ya enggak apa-apa kan ini terjadinya dalam waktu dua bulan saja. Ini success fast fail fast,” pungkasnya.
Sejak era Wii, kita bisa melihat esensialnya sistem kendali bagi penyajian konten kreasi Nintendo. Lewat console generasi ketujuh itu, sang produsen memperkenalkan metode kontrol berbasis gerakan. Teknologinya terus disempurnakan hingga berinkarnasi sebagai Joy-Con untuk Switch. Tapi Anda mungkin sudah menerka, upaya pengembangannya tidak berhenti sampai di sana.
Di bulan Januari 2018 kemarin, Nintendo memperkenalkan Labo, yaitu platform mainan konstruksi berbasis kardus yang memungkinkan kita berinteraksi dengan Switch melalui cara berbeda. Labo rencananya akan dirilis di tanggal 20 April besok. Namun bahkan sebelum produk ini dilepas, Nintendo diketahui melangsungkan kolaborasi bersama Scrum Ventures untuk mencari startup buat membantu mereka menyempurnakan pengalaman menikmati Switch.
Bersama perusahaan asal San Francisco itu, Nintendo berniat buat menghimpun lebih banyak talenta demi mengembangkan lebih banyak aksesori Switch – di antaranya komponen, sensor, chip, hingga add-on lain. Baik Nintendo maupun Scrum tidak bermaksud buat berinvestasi secara langsung ke startup-startup itu, melainkan memberi tim developer arahan serta mempermudah mereka menyajikan produk pasar.
Langkah ini berbeda dari strategi Nintendo terdahulu. Biasanya, mereka melangsungkan kerja sama dengan pemasok-pemasok hardware (baik ternama ataupun perusahaan baru) dan melepasnya di bawah brand Nintendo. Melalui pendekatan anyar ini, Nintendo boleh jadi mencari lebih banyak ide kreatif yang dapat menghidangkan pengalaman baru sembari menjaga momentum penjualan Switch.
“Kami selalu berusaha mengeksplorasi cara-cara baru untuk menghibur,” kata Ko Shiota selaku senior executive officer Nintendo via Bloomberg. “Kami sangat menanti teknologi-teknologi unik untuk memberikan sensasi baru dalam menikmati Nintendo Switch melalui program yang dikelola Scrum Ventures.”
Scrum sendiri adalah firma venture capital baru, dan mereka mengajukan gagasan ini ke Nintendo pada musim gugur tahun lalu. Perusahaan tersebut juga mengaku telah mencoba mengemukakan ide berupa software, tapi Nintendo menolaknya. Scrum sebelumnya juga sempat menggandeng Panasonic untuk membantu mereka mengidentifikasi teknologi-teknologi yang dikembangkan produsen asal Osaka itu buat dijadikan perusahaan spin-off.
Di era console generasi kedelapan ini, Ninendo memang tampak lebih berani bereksperimen, dan hal tersebut sangat baik untuk mereka. Contohnya saja, investor merespons Nintendo Labo dengan sangat antusias, dan harga saham Nintendo tak lama segera naik.
Melalui strategi baru ini, siapa tahu Switch mendapatkan opsi aksesori sebanyak platform Windows PC, lalu muncul juga periferal-periferal unik yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.
Agile Indonesia Conference 2017 akan segera dilaksanakan, menghadirkan banyak ahli perencanaan pengembangan perangkat lunak “Agile” baik dari Indonesia ataupun luar negeri. Salah satu pemateri yang akan hadir adalah Renee Troughton, Founder Unbound DNA dan Enterprise Agile Coach.
Dalam sebuah kesempatan, Renee memberikan pandangannya tentang ragam metodologi dan pendekatan yang ia sering ajarkan dalam pengembangan produk perangkat lunak.
“Saya adalah seorang polymath yang penuh gairah. Saya ingin membuat dunia lebih baik melalui menemukan cara kerja baru dan membagikannya kepada orang lain. Saya tidak akan mengatakan bahwa saya hanya seorang pelatih Agile, saya menggunakan banyak metodologi dan pendekatan yang berbeda, mencoba untuk fokus pada sains dan apa yang terbukti bekerja dalam kenyataan,” ujar Renee memperkenalkan dirinya.
Dalam konferensi mendatang, scaling adalah salah satu tema pembahasan yang akan dibawakan Renee. Akan cukup menantang, pasalnya dalam konsep pengembangan masalah skalabilitas belum populer di Indonesia. Dalam blog tentang Agile yang sering ditulis, Renee membahas secara mendetail “Scaling Agile Tricks”.
Dari tulisan tersebut disimpulkan empat prinsip utama dalam scaling, yaitu: (1) mengurangi handoff dan dependensi, (2) memperbaiki arus proses, (3) memvalidasi dan memperbaiki hingga menjadi sesuatu yang benar, dan (4) terakhir mengintegrasikan Agile, Lean dan Desain Thinking. Namun demikian, Renee menggarisbawahi, empat prinsip dasar tersebut harus mampu berjalan beriringan untuk terciptanya sebuah hasil proses yang utuh.
Antara Scrum dan Kanban
Di Indonesia, khususnya di kalangan korporasi, Scrum menjadi pendekatan primadona. Di sisi lain, Kanban adalah salah satu pendekatan yang didalami oleh Renee. Ia menjelaskan karakteristik dan perbedaan di antara keduanya.
“Mungkin perbedaan utama antara Scrum dan Kanban akan berada pada pendekatan dasarnya. Di Scrum, tim merasa bahwa proses tersebut menggantikan proses pengembangan yang ada. Di Kanban, adopsi dimulai dengan apa yang dilakukan sekarang dan menambahkan beberapa praktik dan prinsip ekstra,” jelas Renee.
Ia juga menambahkan, selain dari sudut pandang adopsi dalam memulai, perbedaan inti kedua adalah dalam timeboxing. Scrum memiliki timeline yang jelas dan teratur, sedangkan Kanban lebih berfokus pada arus yang terus menerus dan terkelola. Scrum cenderung memiliki manajemen visual yang sangat sederhana dengan pekerjaan dipecah menjadi “To Do”, “Doing”, dan “Done”. Di Kanban, pekerjaan tidak dipecah menjadi beberapa tugas, namun sebaliknya, pengelolaan visual merupakan representasi arus kerja menurut kelas pelayanan.
Lalu lebih baik yang mana untuk diterapkan di korporasi? Selengkapnya akan dibahas dan didemokan oleh Renee Troughton pada sesi Agile Indonesia Conference 2017. Selain membahas tentang Scrum dan Kanban, konsep Holacracy dari Brian Robertson turut akan disampaikan Renee.
Para profesional IT, manajer proyek perangkat lunak, manajer produk, programmer, tester dan komponen lainnya yang tertarik untuk mengikuti konferensi ini dapat segera mendaftarkan diri melalui laman resmi Konferensi Agile Indonesia http://2017.agileindonesia.org.
– Disclosure: DailySocial merupakan media partner Konferensi Agile Indonesia.
Penelitian yang dilakukan Standish Group mengungkapkan bahwa sekitar 60% proyek pengembangan perangkat lunak mengalami kegagalan dan diragukan kualitasnya. Salah satu penyebabnya adalah adanya proses yang sesuai dalam rangkaian proses pengembangan tersebut. Banyak penelitian yang mencoba memecahkan masalah tersebut, sehingga terlahir sebuah metode yang disebut Agile Software Development. Saat ini metode tersebut cukup umum digunakan, karena mampu menyajikan efektivitas dan hasil yang lebih terukur dalam proses pengembangan.
Untuk meningkatkan pemahaman tentang metodologi tersebut, Konferensi Agile pertama di Indonesia akan diselenggarakan. Tepatnya pada tanggal 12-13 Juli di Menara BTPN Jakarta. Puluhan pemateri ahli akan dihadirkan untuk berbagi tentang praktik terbaik dan strategi penerapan Agile Software Development dalam lingkungan bisnis. Konferensi ini juga memiliki visi untuk menyebarkan kesadaran, pengetahuan dan pengalaman tentang agile melalui perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia.
Di hari pertama konferensi, pembahasan akan difokuskan pada tema “Enterprise Agility”. Tema ini akan mengupas tentang leadership dan management dalam proses pengembangan perangkat lunak. Sedangkan hari kedua akan memfokuskan pada “Practitioner Day”, menghadirkan para praktisi untuk menceritakan praktik terbaiknya. Termasuk membahas tentang manajerial produk, scrum master, testing dan sebagainya.
“Tujuan kami adalah untuk berbagi dan menyebarkan ilmu tentang agile dan scrum di Indonesia. Kami mengadakan meetup setiap bulan di berbagai daerah di Indonesia dan memiliki komunitas aktif di Facebook. Kami juga memiliki lingkaran agile (pertemuan yang lingkupnya lebih kecil) dan grup Slack,” sambut perwakilan komunitas Agile Indonesia selaku penyelenggara konferensi ini.
Konferensi dini diharapkan dapat menjadi ajang bagi para profesional industri teknologi informasi untuk mendiskusikan ragam proses pengembangan perangkat lunak yang berkualitas. Bagi para profesional IT, manajer proyek perangkat lunak, manajer produk, programmer, tester dan komponen lainnya yang tertarik untuk mengikuti konferensi ini dapat segera mendaftarkan diri melalui laman resmi Konferensi Agile Indonesia http://2017.agileindonesia.org.
– Disclosure: DailySocial merupakan media partner Konferensi Agile Indonesia.
Agile is a relatively new movement in Indonesia. Scrum adoption is accelerating and will spread through the IT and startup world in the upcoming years. I have been an agile fan since 2011 and saw the impact first hand on organizations in India, The Netherlands, and beyond. In mid 2016, I moved to Bali. As I noticed that agile was growing in popularity, I decided to start an agile agency. In November I did my first scrum training in Jakarta and since then I’ve been quite busy. In the past months, I have seen how agile and Indonesia match and where the challenges and opportunities are.
Challenges
First, some challenges. Most people know the Agile Manifesto. This manifesto was created in 2001 by 17 smart guys. What most people don’t know is that there’s 12 principles underlying the manifesto. For some strange reason, whenever I go to conferences, every slide deck has the manifesto in it. But I never see the principles, which I believe are crucial if you want to move your company culture towards agility. One of the principles is:
Build projects around motivated individuals.
Give them the environment and support they need,
and trust them to get the job done.
This is about ‘self organized teams’. Now the Indonesian culture is based on hierarchy. People are used to having a boss and wait for ‘instructions’. To me personally, the basis of this command and control style of management is a lack of trust. What a leader thinks is ‘I know what needs to be done’ and then gives his subordinates tasks. The agile principle above turns this upside down: a leader can give a problem or a challenge plus the resources the team needs. He then steps aside and lets the team figure out how to solve the challenge. If they need him, he’s there. But not to give orders, only to provide mentoring, so the team can get the job done. This is based on trust and assumes teams outsmart a single brain.
Habits are hard to change. Cultural habits maybe even harder, because everyone else is behaving the same way. When I started a software development office in India in 2008, I faced the same challenge. There are vast differences between Indian and Indonesian culture. But they share a high power distance. Geert Hofstede developed a measurement of hierarchy, called power distance. From this article you can see that India scores 77 and Indonesia 78. In comparison, Netherlands (I’m Dutch so that’s my reference point) scores 38. I refer to the article for explanation on the measurement and the exact meaning.
I have experienced first-hand that by creating a company that is flatly organized, supported by a set of strong values (potentially based on the agile principles), teams can get self-organized. A company creates its own culture and this culture can ‘beat’ habits that exist within a country. Of course it’s not easy.
Another challenge. One of the values of the scrum framework is ‘openness’. Last week, I organized a meetup in Yogyakarta. One of the topics we discussed was openness. I was facilitating a discussion with a group of about 25 people, all Indonesian. As is common in groups, there were a few outspoken people and most were quiet. Now there are many forces at play on the topic of openness: some people are shy and don’t like speaking up (are less open); some people are comfortable speaking English, some are not (so they appear less open, but might ‘pop open’ when they speak their own language); some might consider it rude to speak up because of their role within the group. As a person, I’m used to this (in India I have similar experiences and I work with different cultures for over a decade). Some of the participants suggested that people in Indonesia are ‘not open’. It’s not Indonesian to share one’s thoughts, because that might hurt someone else’s feelings.
One of the values my company has had since its inception in 2005 is ‘openness’ (I had never heard of the manifesto in that period). What I have described above already is that company culture can ‘beat’ country habits. In the case of openness, I have seen this work too. You can hire for openness. Once you have a team existing of mostly open people, they will attract more open people and openness can spread. You can have events to share thoughts openly. You can reward being open. You can tie back compliments to open behavior.
Opportunities
I believe the opportunities exist exactly in the transformation on the above two topics. Companies that move towards self-organization will beat other companies that stay with command and control. To make self organization possible, openness is key.
Command and control has it roots in the factory model. People who made pins had to be very efficient at making pins and needed strict instructions to do so. But in today’s knowledge economy, most people don’t create pins. They have creative jobs, making software or related smart products. If you want to win in the marketplace, you need smart people, using their smartness to continually improve what they do and to create new products. And that smartness will only come to fruition if people are empowered. They need to have freedom and authority to do what they believe is right. Once people have that authority, they realize growth. They stretch themselves and perform more than they (and their boss) thought they could.
Adopting agile helps realize the above. And scrum provides the framework to get started. Agile is ‘open’, it’s a mindset, a set of principles to guide behavior. I believe that for Indonesia we need more. Scrum is also very open, but at its core it has roles, events and artifacts that give people guidance on ‘what to do’. It doesn’t tell them what to do specifically in their role, but scrum gives enough to organize the work.
– This guest post is created by Hugo Messer, agile entrepreneur and scrum trainer. Hugo has been working in the software industry for more than a decade. Since june 2016 he moved to Bali and started an agile agency Ekipa Indonesia. He’s been an evangelist for the agile movement in Indonesia, organizing meetups, online groups and training programs.