Di awal bulan Desember lalu, Sea Group, perusahaan induk Shopee, diberi lisensi perbankan digital penuh di Singapura, bersama dengan konsorsium Grab-Singtel, dalam sebuah langkah yang diharapkan dapat membuka lebar jalan industri keuangan di negara tersebut.
Selain Singapura, Indonesia — ekonomi terbesar di Asia Tenggara — juga menjadi pasar seksi bagi fintech dan bank digital. KrASIA menemukan bahwa Sea Group kemungkinan besar mengakuisisi pemberi pinjaman lokal di negara tersebut untuk membangun bisnis perbankannya sendiri. Menurut situs karier Shopee (sudah ditutup ketika diakses saat ini), perusahaan saat ini tengah merekrut tim lokal untuk ditempatkan di “SeaMoney Bank” di Jakarta dan Bandung, yang mencakup peran manajemen talenta, pajak, dan manajemen pendanaan.
Ketika disinggung mengenai hal ini, Sea Group menolak berkomentar. Perusahaan juga tidak berkomentar tentang peningkatan perekrutan di Jakarta dan Bandung. Laman karir tersebut menunjukkan bahwa tim baru akan ditempatkan di “SeaMoney – Bank BKE (bagian dari Sea Group), berlokasi di Menteng, Jakarta Pusat”. Artinya, perusahaan yang dimaksud bisa jadi adalah Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE) yang berkantor pusat di Menteng.
Menurut situsnya, Bank BKE didirikan pada tahun 1992 dan hampir 95% sahamnya dimiliki perusahaan bernama Danadipa Artha Indonesia. Informasi publik mengenai pemegang saham memang masih minim, namun salah satu direktur Danadipa Artha Indonesia bernama Intan Apriadi juga menjabat sebagai komisaris di Lentera Dana Nusantara, menurut profil LinkedIn-nya. Lentera Dana Nusantara adalah perusahaan fintech yang mengoperasikan ShopeePay Later. Maka dari itu, besar kemungkinan Sea memiliki hubungan langsung ke Bank BKE melalui Danadipa Artha Indonesia.
Menurut seorang analis yang mengetahui hal tersebut, perkembangan perbankan digital di Indonesia berbeda dengan di Singapura. “Di Singapura, pemain fintech baru akan mengajukan izin pembukaan bank, sementara di Indonesia, calon bank digital mengakuisisi bank lokal yang sudah memiliki izin,” ujarnya.
Bank digital menjadi sektor yang makin dilirik
Saat ini belum jelas produk apa yang akan ditawarkan oleh bank digital Sea di Indonesia. Situs karier Shopee hanya menyebutkan bahwa SeaMoney “memungkinkan dan mendorong inovasi dengan menyediakan berbagai macam produk dan layanan keuangan untuk individu dan UKM di seluruh wilayah”.
Analis yang berdiskusi dengan KrASIA mengatakan bahwa bank baru tersebut kemungkinan akan menawarkan pinjaman untuk penjual di ekosistem Shopee. “Untuk perusahaan teknologi seperti Shopee dan Gojek, saya berharap layanan perbankan dapat membantu masyarakat yang sudah berada di dalam ekosistem,” ucapnya. “Misalnya, pengemudi Gojek mencari kredit mobil atau motor, atau bahkan kredit perumahan. Begitu pula bank Sea kemungkinan besar akan menawarkan produk untuk penjual Shopee ke depannya.”
Ketika sektor fintech semakin matang, perbankan digital akan menjadi sektor yang sangat menarik perhatian di Indonesia. Perusahaan teknologi lain sudah memposisikan diri mereka di pasar. Gojek baru-baru ini berinvestasi di Bank Jago melalui unit pembayaran dan layanan keuangannya, yang memiliki sekitar 22% pemberi pinjaman. Pada 2019, perusahaan fintech Akulaku mengakuisisi Bank Yudha Bhakti, yang berganti nama menjadi Bank Neo Commerce tahun lalu.
– Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial
Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.
Dalam beberapa tahun terakhir, Pandu Sjahrir menjadi sorotan dalam industri teknologi. Dari Ketua SEA Group Indonesia, Anggota Dewan Gojek, dan yang terbaru ditunjuk menjadi Komisaris BEI termuda.
Dimulai dari hobi yang produktif, investasi kini menjadi bisnis utamanya sebagai profesional juga sebagai salah satu investor terkemuka di Asia Tenggara untuk perusahaan tahap awal dan yang mulai berkembang. Pandu juga menjabat sebagai Managing Partner of Indies Capital yang mengelola Indies Special Opportunities Fund, manajer aset alternatif terkemuka di kawasan ini, serta Indies Pelago, secondary fund teknologi di Asia Tenggara. Dan yang belum lama ini diperkenalkan, adalah entitas baru bernama AC Ventures.
Dengan pola pikir ekonomi yang mengalir dalam gen-nya, Pandu Sjahrir berhasil bertahan melalui perjuangan finansial dan mengakui tidak takut akan kegagalan. Selama ia masih memiliki keluarga yang luar biasa mendukung serta tim yang solid di sisinya. Ia memiliki impian yang cukup besar untuk industri teknologi Indonesia, dan inilah skenarionya.
Sebagai seorang investor yang fokus pada perusahaan berkembang, bagaimana Anda melihat lanskap industri investasi di Indonesia di masa pandemi COVID-19 ini?
Dunia sebelum pandemi COVID adalah dunia yang berbeda dari yang ada saat ini, teknologi telah berkembang jauh lebih besar dari sekadar bisnis. Setiap paruh, perkembangannya semakin pesat karena banyaknya adopsi. Dalam hal belanja, bermain game, bahkan sekarang bekerja dan belajar online. Orang-orang beradaptasi dengan dunia baru ini menggunakan platform teknologi untuk terhubung satu sama lain.
Hal ini turut mengubah cara kita memandang investasi. Mulai dari bisnis yang dapat mengambil manfaat dari cara baru berinteraksi dan berkomunikasi. Namun, kehidupan terus berjalan dan masyarakat tetap harus memenuhi kebutuhannya sehari-hari, tetapi cara untuk memenuhi hal-hal tersebut telah berubah. Kita harus berpikiran terbuka menghadapi dunia baru setelah pandemi COVID-19 ini, bagaimana fase baru ini akan berjalan.
Hal lain yang juga layak dibahas adalah peran deglobalisasi. Apa yang terjadi di perusahaan-perusahaan AS tidak serta merta terjadi di Indonesia. Hal yang sama berlaku untuk perusahaan Cina. Kita telah melihat lebih banyak solusi lokal untuk masalah sehari-hari, tidak melulu tentang solusi global. Hal-hal baik yang terjadi dalam 30 tahun terakhir dari “globalisasi” ini adalah peningkatan aset manusia serta kasta negara, negara-negara berkembang semakin bergerak menjadi negara-negara yang lebih maju.
Menurut Anda, bagaimana posisi Indonesia dalam skema deglobalisasi ini?
Indonesia akan tetap menjadi Indonesia. Ketika globalisasi membentuk perkembangan ekonomi begitu juga di negara besar lainnya, dengan perusahaan bernilai miliaran dolar yang sekarang ada dalam portofolio ekonomi kita, pada akhirnya kita harus bisa menemukan solusi lokal.
Jika ini benar menjadi sebuah tesis, tentu saja, akan memakan waktu. Dalam hal logistik saja, kita tidak bisa lepas dari rantai pasok global karena masih bergantung pada negara lain untuk mengembangkan suatu produk. Bayangkan jika faktanya ada banyak negara yang menerapkan deglobalisasi. Karena itu, muncul satu alasan lagi untuk lebih mendalami penilaian risiko.
Satu hal menarik, jaman dulu ada defisit kepercayaan yang besar pada perusahaan baru di Indonesia. Generasi kita sebelum ini mungkin belum bisa berpikiran digital, tetapi generasi saat ini benar-benar mengadopsi dan mampu memberikan kepercayaan. Tidak hanya untuk perusahaan besar berumur lebih dari 20 tahun yang dijalankan oleh pemerintah atau lembaga milik negara, tetapi juga untuk perusahaan baru yang dirintis 10 tahun terakhir.
Bayangkan apa saja yang bisa dilakukan oleh semua perusahaan teknologi dalam satu dekade terakhir dan juga perilaku generasi muda yang mau mencoba. Saat ini, semuanya jelas sangat berdampak. Kepercayaan itu dibangun tidak dengan waktu singkat.
Anda pertama kali dikenal sebagai pimpinan Toba Bara Sejahtera, juga mengepalai asosiasi terkait. Namun, beberapa tahun terakhir, Anda terlihat aktif dalam industri teknologi dalam negeri. Apa yang mendorong Anda untuk masuk ke dalam industri digital?
Ketika saya akhirnya kembali ke Jakarta untuk meneruskan bisnis keluarga di sektor energi, keluarga saya belum memiliki mindset digital. Karena itu, pada awalnya saya sendiri. Sebagai karyawan pertama di Toba, saya memberi nama Toba Bara dan membawanya public pada tahun 2012.
Sejujurnya, saya mulai berinvestasi dalam teknologi pada tahun 2013-2014, tanpa sorotan. Saat itu, tidak ada yang tahu nama perusahaan kami, mulai dari Garena lalu menjadi SEA, tetapi kemudian Shopee lahir sebagai perusahaan yang mereka rintis. Saya telah berinvestasi selama 7 tahun terakhir, tetapi tidak ada yang tahu sampai beberapa tahun terakhir karena meningkatnya popularitas perusahaan.
Selama itu, saya bertemu banyak teman investor, juga mempelajari berbagai hal seiring perjalanan. Semua dana yang keluar adalah dari kantong saya sendiri sampai sekitar tahun 2017, saya bergabung dengan Indies Capital, manajer aset alternatif terkemuka yang berfokus pada industri di Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Dan belum lama ini, ada entitas baru juga di AC Ventures. Sebenarnya itu berawal dari hobi produktif yang berkembang menjadi bisnis utama. Sekarang, orang mengenal saya sebagai investor di tahap awal serta beberapa hal lainnya.
Anda baru saja dilantik sebagai salah satu komisaris BEI, boleh share sedikit mengenai rencana ke depan untuk mendorong industri teknologi Indonesia menjadi lebih baik?
Tujuannya adalah untuk melangkah lebih jauh dalam 10-12 tahun ke depan. Faktanya, sepuluh perusahaan teratas Amerika adalah perusahaan teknologi. Di Indonesia, daftar ini masih didominasi oleh perusahaan-perusahaan perbankan dan telekomunikasi – persis seperti 10 tahun yang lalu. Adalah tugas kami untuk menangkap nilai ekonomi dari semua perusahaan teknologi ini untuk sampai ke sana. Saya menyebutnya outlier, perusahaan luar biasa yang berkembang sangat cepat, bisa melihat Indonesia, terdaftar, dan menjadikan kita sebagai tujuan utama.
Selanjutnya, untuk menyeriusi pasar modal dan memberikan tempat investasi yang aman dan andal menuju masa depan yang lebih baik. Selalu ada satu atau dua masalah dalam hal ini, intinya berkaitan dengan institusi saat ini. Kita harus proaktif dalam hal mengelola setiap masalah. Kita harus bisa mengatakan, “Kami terbuka bagi setiap investor, tidak terkeciuali investor minoritas, dan kami dapat membuat perusahaan besar terdaftar di Indonesia.” Mengikuti tujuan utama untuk menjadi lima ekonomi teratas di dunia pada tahun 2025, industri pasar modal kita juga harus ada di sana.
Berada pada posisi Anda saat ini, apakah ada kendala untuk berpacu dengan geliat industri yang cenderung cepat? Adakah kisah atau pengalaman sulit selama berkecimpung dalam industri?
Ada sebuah masa kelam, dimana saya sempat mengalami kehilangan anggota keluarga juga penyusutan secara finansial. Lalu saya banyak berinvestasi, namun mengalami beberapa kegagalan. Sepanjang jalan, saya belajar bagaimana mengelola risiko dengan lebih baik dan belajar lebih banyak dalam hal ini. Namun, saya lega mengetahui fakta bahwa hal ini tidak mungkin lebih buruk daripada masa kelam itu. Selama itu tidak melumpuhkan saya, secara finansial, semua akan baik-baik saja. Saya belajar banyak tentang karakter manusia dengan cara ini. Pada akhirnya, saya berinvestasi dalam prinsip, karakter, dan model bisnis.
Kegagalan tidak bisa dihindari, tetapi bagaimana Anda berdiri lagi adalah yang terpenting. Ini sebuah ungkapan klasik, tetapi terbukti. Saya sangat senang memiliki keluarga yang luar biasa, istri yang sangat mendukung juga aktif dalam membangun bisnisnya, dan seorang putri yang cantik. Dalam hal pekerjaan, kami telah membentuk sebuah tim yang solid.
Sejujurnya, situasi Covid-19 seharusnya bisa menjadi alasan saya untuk kecewa, sebaliknya, saya merasa sehat dan bersyukur secara pribadi. Meskipun, seluruh ketidakpastian ini menciptakan efek finansial dimana saya beserta kebanyakan orang tidak dapat menyangkal. Saya selalu mengatakan pada diri sendiri bahwa hal ini layaknya krisis lain yang harus Anda lalui sebelum mulai beradaptasi.
Apa atau siapa yang sudah berjasa dalam kesuksesan serta berbagai pencapaian Anda? Adakah sosok yang menjadi inspirasi atau support system di balik kerja keras selama ini?
Dalam hal teladan, ayah saya adalah nomor satu. Dia adalah seorang yang idealis, dengan cara berpikir beliau yang memiliki efek tersendiri bagi saya. Selain itu, ibu saya juga sosok yang memiliki pendirian kuat, sama seperti paman saya yang sekarang menjabat sebagai salah satu menteri Indonesia. Belian adalah salah satu yang mendorong saya untuk kembali ke Indonesia dan membantu saya memahami negara ini lebih baik melalui sudut pandangnya.
Ada satu kisah yang menarik, ketika orang tua saya mengatakan, “Kami tidak punya warisan apapun untuk kamu selain pendidikan dan etos kerja”. Seketika, rasa takut akan hidup tanpa memiliki apapun menghantam saya dan mendorong saya untuk mulai bekerja sejak dini. Jika saya tidak akan mewarisi kekayaan materi, saya harus bisa mendapatkannya sendiri. Hal ini menjadi awal dari hobi investasi saya. Selain itu, keluarga akan selalu menjadi support system nomor satu saya.
Dari sisi pendidikan, apakah menurut Anda latar belakang studi di luar negeri menjadi sebuah privilege dalam membangun mindset?
Memiliki kedua orang tua yang hanya peduli tentang pendidikan menciptakan perasaan yang campur aduk. Mereka benar-benar prihatin dengan cara saya belajar sehingga mengirim saya ke luar negeri demi memberikan pendidikan terbaik. Saat itu, adalah di Amerika. Saya belajar ekonomi di Chicago, kemudian pergi ke Standford untuk sekolah bisnis. Saya bertemu banyak perusahaan berbasis teknologi juga banyak teman.
Untungnya, tinggal di luar negeri membentuk rasa disiplin saya, dengan biaya tinggi dan segala permasalahannya. Kembali ke Jakarta, menjadi masa-masa sulit bagi yang memiliki mindsetNew Yorker seperti saya. Selama dua hingga tiga tahun pertama, Indonesia sangat sulit. Namun, dari usaha menjadi pendengar yang baik juga lancar berkomunikasi, saya belajar secara progresif untuk membuat keputusan yang lebih baik. Saya mendapat pelajaran dengan tinggal di luar negeri, tetapi kembali ke Indonesia adalah berkah lain.
Pernahkan Anda membayangkan menjadi seorang Founder? Melihat banyaknya VC di Indonesia yang dibentuk oleh ex-Founder atau mereka yang bekerja di perusahaan teknologi.
Saya belum berpikir sejauh itu. Saya tidak pernah menempatkan diri saya atau berfikir bahwa akan menjadi seperti itu. Bahkan, saya sudah merasaa bersyukur dengan kesempatan untuk berbincang seperti ini. Saya belum merasa pantas untuk disebut expert dalam marketing. Pola pikir saya selalu tentang berinvestasi dulu. Saya masih harus banyak belajar.
– Artikel ini ditulis dalam Bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian
This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.
In the past few years, Pandu Sjahrir has captured spotlights all over the tech industry. From the Chairman of SEA Group Indonesia, Board Member of Gojek, and the latest one is appointed to be the youngest IDX’s Commissioners.
Starting off with a productive hobby of investing, he currently has a full-time business as a professional and one of Southeast Asia’s leading investors in the seed and early growth stages. He is also the Managing Partner of Indies Capital, which controls Indies Special Opportunities Fund, the leading alternative asset manager in the region, and Indies Pelago, a secondary tech fund in Southeast Asia. And most recent, is the new entity called AC Ventures.
With the economic-mindset runs in his genes, Pandu Sjahrir managed to survive through a financial struggle and admit to not afraid of failure. As long as he has a very supportive family and a strong team on his side. He has quite a big dream for Indonesia’s tech industry, and here’s the scenario.
As an active investor with a focus on the growth companies, how do you see the current investment landscape in Indonesia during COVID-19 pandemic?
Pre-COVID is a different world than today, technology has become a much bigger part of the business. Every quarter, the number increases very strongly because of the adoption. In terms of shopping, playing games, even now working and studying online. People are adapting to this new world using technology platforms to connect to each other. That also changes the way we should look at investing. Starting from businesses that can benefit from this new way of relating, communication, or interacting. In fact, life goes on and people still have to do their daily needs, but the way to deliver has changed. We have to be very open-minded about the new COVID-19 world, on how should we look at the new world stage.
Another thing worth mentioning is the role of deglobalization. What happens in the US companies doesn’t t necessarily translate into happening in Indonesia. The same thing applies to China companies. We’re seeing more local solutions to everyday problems, not necessarily a global solution. What’s good about what has happened within the last 30 years of this “globalization” has been the improvement of human capital as well as tier countries, developing countries turning into more developed countries.
Where do you think Indonesia will be in this deglobalization era?
Indonesia will be Indonesia. As globalization shaped our economic development as well as other large countries, with billion-dollar companies that now exist in our economic portfolios, we will eventually find local solutions. If that makes it a thesis, obviously, it’ll take time. In terms of logistics, our world is actually a global supply chain as we still rely on other countries to develop a product. Imagine if it’s true a lot of countries to become deglobalized. Indeed, it’s another reason to do the risk assessment.
Interestingly, there used to be a big trust deficit in new companies in Indonesia. Our previous generation might not be as digital-minded, but today generation actually adopts and capable of giving trust. Not only for those over-20 year big companies run by the government or state-own institutions but also for the past 10 year companies. Imagine the fact of all these tech companies have done in the last decade and also the behavior of the younger generation willing to give a try. Nowadays, that’s obviously quite prevailing. It takes time to build trust.
You’re first known as the Executive of Toba Bara Sejahtera, also head of the related association. However, in the past few years, you’ve seen quite active in the Indonesian tech sector. What triggers you to chip in the digital industry?
When I finally moved back to Jakarta for the family business in the energy sector, my family was barely into digital. Therefore, it was basically just me. I was the first employee at Toba, built the name Toba Bara and took it public in 2012.
In fact, I started investing in technology in 2013-2014, but quietly. Back then, nobody even knows the name of the companies, starting from Garena turn into SEA, but then Shopee was the company that they built. I’ve been doing it for the last 7 years, but nobody knows until the last couple of years due to the company’s increasing popularity.
During this time, I met fellow investors, also learned this and that along the way. It was practically my own capital until around 2017, I joined Indies Capital, a leading alternative asset manager focusing on Southeast Asia, especially Indonesia. And recently, the new entity called AC Ventures. It was actually just a productive hobby that turned into a full-time business. Now, people know me as an investor, early-stage to many different things.
You’re recently appointed as IDX commissioner, what kind of plans do you have in mind to drive the Indonesian tech business to a better future?
The aim goes further in 10-12 years ahead. In fact, America’s top ten companies are technology companies. In Indonesia, it is still being dominated by banking and telco companies –exactly how it was 10 years ago. It is our job to capture the economic value of all these technology companies to get there. I’d like to call them outliers, amazing companies growing really fast, to look at Indonesia, to be listed, and set us as the main destination.
Next, deepening the capital market and providing a safe and reliable investment towards a better future. There’s always this kind or two issues, essentially with today’s institutions. We have to be proactive in terms of managing that issue. We have to be able to say, “We are investor-friendly, especially minority investors, and we’re able to have great companies listed in Indonesia.” Following our goal to be the top five economies in the world by 2025, our capital market has to be there as well.
At your current position(s), have you had any difficulty to cope up with the fast-moving industry? Would you share some stories, bad decisions, rough season, or any kind of hardships?
It was one of my darkest, after experiencing the loss of a family member also down in financial. I invested a lot, I failed a bit. Along the way, I learn how to manage risk better and more to this lesson. However, I was glad to know the fact that it couldn’t be more at a bottom than that. As long as it doesn’t kill me, financially, I’m okay. I learned a lot about people that way. In the end, I invest in principles, character, and business models.
Failure is inevitable, but how you stand up again is what matters. It’s classic, but it’s true. I’m so glad to have a great family, a supportive wife who also very active in building her business, and a lovely daughter. In terms of work, we’ve turned into a strong team.
To be honest, the Covid-19 situation should’ve let me down, instead, I feel personally healthy and thankful. Although, the whole uncertainty creates such a financial effect that I and most other people can’t deny. I always taught myself that this is just like the other crisis where you have to go through before you start to adapt.
On what or who can you attribute the current success or achievement? Do you have any figure, or role model, that keeps your dream high, or the kind of support system that stops you from giving up?
When it comes to role models, my father is one. He was an idealist, somehow it’s really got to me how he used to think. Also, my mother is also a very strong-minded person, as well as my uncle who is now served as one of the Indonesian ministers. He also the one who encouraged me to moved back to Indonesia and helped me understand this country better through his point of view.
Interesting story, it started off when my parents told me “We have no legacy for you other than education and work ethic”. Instantly, the fear of having nothing to live off hits me and that encouraged me to start working early. If I won’t be inherited anything material, I better make my own. This is also the beginning of my investing hobby. Otherwise, the family will always be my number one support system.
In terms of educational background, do you think it’s a privilege to be able to study abroad and learn about other country’s mindset?
Having both parents who only cared about education is quite a mixed feeling. They’re really concerned about the way I put up with mine that they sent me abroad to provide the best-guaranteed education. Back then it was in the US. I studied economics in Chicago and later went to Standford for business school. I met a bunch of tech-based companies and lots of friends.
Fortunately, living abroad gives me a sense of discipline due to the high-cost and everything in between. Moving back to Jakarta, it was very hard for a New Yorker-minded person like me. For the first two to three years, Indonesia was very difficult. However, from listening well and communicating well, I’m learning progressively to make better decisions. I have my lessons by living abroad, but moving back to Indonesia is another blessing.
Have you ever picture yourself as a tech founder? Given the circumstances of most VCs in Indonesia also created by ex-Founders or formerly working at tech companies.
I haven’t thought that far. I’ve never put myself or thought of myself that way. It’s simply a blessing the fact that I mattered enough to have this conversation. I don’t think I’m quite enough to be said an expert in marketing. My mindset is always been about investing first. I still have a lot to learn.
Shopee, Singapore-based e-commerce company, ensures that it will use most of the fresh fund from Sea Limited (Shopee’s parent company)’s IPO to expand its business in Indonesia. One of the biggest investments Shopee will make is to boost the marketing.
“IPO makes our company more confident in front of the investors, already obtained IPO makes it so much easier to accelerate our business. We can make sure most of the IPO results will be widely used to invest in Indonesia,” Shopee‘s CEO Chris Feng said in a limited media event on Tuesday (19/12).
Feng did not explicitly explain on how much the fund percentage Shopee earns from IPO will be used for expanding its business in Indonesia. He only made sure that most of the fresh fund will be used for Shopee Indonesia, considering the country has become Shopee’s biggest market with 40% business contribution to Shopee’s total market in Asia.
Chris implicitly mentioned that Shopee will intensely giving promotions such as free shipping to attract new transactions. So far, Shopee is quite active and consistent in providing promotions both for the sellers and the buyers.
Within only two years, it has successfully embraced more than 1 million sellers and brands in Indonesia, with more than 100 million active listings and 25 million apps downloaded. Globally, Shopee app has been downloaded 80 million times, gaining 4 million sellers, 5 thousand brands, and 180 million active listings. Shopee is claimed to have recorded more than US$ 5 billion GMV.
Yet To Apply Advanced Technology
Fang added, Shopee will continue to innovate and to increase sellers and buyers convenience in making transactions. Only, Shopee is yet to apply the latest technology development, for example, artificial intelligence or chatbots.
Chris argued as his team view the Indonesian market condition is not exactly right for using advanced technology. The company is not in the position to be the forefront of advanced technology, but prefer to adjust to the market condition without lagging the emerging trend
For customer service, Shopee chooses human services over bots. Based on the existing condition, Indonesian people prefer to communicate directly with agents rather than a machine.
“We continue to monitor the growing technology trends, but does not mean it can be directly applied. Basically, we prefer to keep growing based on the market condition, not to be the forefront or left behind.”
In terms of service, for Fang, Shopee will stay focus on e-commerce path that connects sellers and buyers. It claims that there is no plan to develop digital products outside of e-commerce services such as selling train tickets, top-up balance, etc.
“Shopee does not intend to take other fields’ business, we think that e-commerce in the C2C segment is still very interesting and has a great potential to develop,” Fang concluded.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Shopee, layanan e-commerce berbasis di Singapura, memastikan akan menggunakan sebagian besar perolehan dana segar dari hasil IPO Sea Limited (induk Shopee) untuk membesarkan bisnisnya di Indonesia. Salah satu investasi terbesar yang akan dilakukan Shopee adalah lebih gencar melakukan pemasaran.
“IPO membuat perusahaan kami jadi lebih percaya diri di hadapan investor, karena sudah IPO pula lah kami jadi lebih mudah mengakselerasi bisnis. Kami bisa pastikan sebagian besar hasil IPO akan banyak dipakai untuk berinvestasi ke Indonesia,” kata CEO Shopee Chris Feng dalam pertemuan terbatas dengan media, Selasa (19/12).
Chris tidak secara gamblang menerangkan berapa besar persentase dana dari IPO yang didapat Shopee untuk mengembangkan bisnisnya di Indonesia. Dia hanya memastikan sebagian besar akan dipakai untuk Shopee Indonesia, mengingat negara ini menjadi pasar terbesar Shopee dengan kontribusi bisnis terbesar sekitar 40% dari total pasar Shopee di Asia.
Chris secara implisit menyebutkan bahwa Shopee akan lebih gencar memberikan promosi seperti gratis ongkos kirim untuk menarik transaksi baru. Sejauh ini Shopee bisa dikatakan cukup aktif dan konsisten dalam memberikan promosi baik untuk penjual maupun pembeli.
Hasil promosi tersebut, dalam kurun waktu dua tahun, sukses merangkul lebih dari 1 juta penjual dan brand di Indonesia, lebih dari 100 juta listing aktif serta 25 juta unduhan aplikasi. Secara global, aplikasi Shopee telah diunduh 80 juta kali, 4 juta penjual, 5 ribu brand, dan 180 juta listing aktif. Shopee diklaim berhasil membukukan GMV senilai lebih dari US$5 miliar.
Belum manfaatkan teknologi mutakhir
Chris melanjutkan, Shopee juga akan terus berinovasi untuk meningkatkan kenyamanan penjual dan pembeli agar semakin nyaman dalam bertransaksi jual beli. Hanya saja, Shopee belum menggunakan pengembangan teknologi yang mutakhir. Contohnya memanfaatkan kecerdasan buatan atau chat bot.
Chris beralasan pihaknya masih melihat kondisi pasar Indonesia belum tepat bila menggunakan teknologi mutakhir. Perusahaan tidak memilih untuk menjadi terdepan dari pemanfaatan teknologi, namun ingin menyesuaikan dengan kondisi pasar tanpa tertinggal dari tren yang sedang berkembang.
Untuk layanan konsumen, Shopee masih memilih menggunakan jasa manusia daripada bot. Menurutnya, dari kondisi yang ada, masyarakat Indonesia lebih menyukai komunikasi langsung dengan CS daripada dengan mesin.
“Kami tetap memantau tren teknologi yang berkembang, tapi belum tentu teknologi tersebut dapat langsung kami implementasikan. Sebab pada dasarnya kami lebih memilih untuk tetap berkembang sesuai kondisi pasar, tidak ingin jadi terdepan dan juga tidak terbelakang.”
Secara layanan, menurut Chris, juga masih akan tetap fokus pada jalur layanan e-commerce dengan menghubungkan penjual dan pembeli. Pihaknya mengaku belum ada rencana untuk mengembangkan produk digital di luar layanan e-commerce, seperti penjualan tiket kereta, pulsa, atau lainnya.
“Shopee tidak ingin mengambil bisnis tetangga, menurut kami bisnis e-commerce di segmen C2C masih sangat menarik dan punya potensi yang besar untuk dikembangkan,” pungkas Chris.
Celebrating its 2nd anniversary, Shopee claims to have significant development in 7 markets (Singapore, Malaysia, Taiwan, Thailand, Vietnam, Phillipine and Indonesia), with annualized Gross Merchandise Value (GMV) over $5 billion and 80 million downloads in the areas.
In Indonesia, Shopee which mostly focus on C2C sector, claims to have more than 100 million active listings, over 1 million sellers and brands with 25 million downloads. This number has increased 350% from last year.
Shopee’s determination in Indonesia also showed in various sellers recruitment and community training all across Indonesia. They regularly held Kampus Shopee in 13 cities and reached more than 10 thousands participants.
“We are working to help enterprisers in improving their sales and learn from us in developing online business,” Handika Jahja, Shopee’s Head of Marketing, said to media (11/29).
Furthermore, to accommodate more employees in the first quarter of 2018, Shopee plans on moving their office to unspecified location.
Prepare new plan and feature post-IPO
As an e-commerce under Sea Limited (previously known as Garena), after the last Initial Public Offering (IPO) on New York Stock Exchange, Sea Limited will pour in fresh funding for Shopee. Regarding this plan, Handika said the team is proceeding features and promotions to be launched in Indonesia.
“According to the plan, Shopee will announce the latest plans and features by the end of 2017 directly from Shopee’s CEO Chris Feng,” Jahja said.
“Free Shipping” still apply
Since launched in Indonesia last 2015, most customers are coming from Jakarta and mostly women. A reason behind the increasing number of 50 million Shopee’s customers in last October is free shipping feature.
Whether any other strategies beside free shipping, Jahja said the feature will keep going due to observation of old and new customer’s interest.
“One of the reasons behind new customers and the loyal ones is free shipping and Shopee will continuously using this feature to invite customers,” Jahja concluded.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Sea Limited, sebelumnya dikenal dengan nama Garena, baru saja melakukan penawaran saham perdananya atau Initial Public Offering (IPO) di New York Stock Exchange. Rencana IPO ini sebenarnya sudah terdengar sejak bulan Mei lalu, yang ditaksir akan memberikan penambahan modal senilai lebih dari 12 triliun rupiah. Tiga unit bisnis Sea yang banyak dikenal di Indonesia, yakni Garena (untuk industri game), AirPay (untuk industri fintech) dan Shopee (untuk industri e-commerce).
Shopee menjadi salah satu yang paling signifikan posisinya di Indonesia. Menanggapi IPO Sea dan pengaruhnya terhadap operasional bisnis Shopee di Indonesia, DailySocial menghubungi Chris Feng, CEO Shopee. Chris meyakini bahwa akan banyak peluang baru yang hadir bersama IPO ini, termasuk untuk bisnis, performa karyawan dan kepercayaan pengguna.
Chris menyampaikan sementara ini belum ada agenda khusus yang akan dilakukan Shopee menyusul IPO yang diumumkan beberapa waktu lalu. Fokus yang diinginkan Chris saat ini lebih soal growth, bukan proposisi harga saham di grup perusahaannya.
“Operasional Shopee di Indonesia akan terus difokuskan untuk memastikan keberlanjutan pertumbuhan dan kesuksesan bisnis, dibandingkan perubahan harga saham harian. Harapan kami, para investor dapat dipandu dengan performa bisnis kami, dan menyadari kelebihannya, serta peluang besar yang akan hadir ke depannya,” ujar Chris.
Kendati demikian, tidak ditampik bahwa dengan bertanggarnya saham Sea di bursa maka akan berpengaruh memberikan penambahan modal bagi perusahaan, pun demikian untuk Shopee. Untuk itu sudah ada beberapa rencana yang akan digulirkan Chris untuk menguatkan pangsa pasar dan kinerja Shopee di Indonesia.
“Dengan adanya penambahan modal, kami dapat lebih menginvestasikan untuk pengembangan ekosistem, terkait pengembangan platform dan fitur, dan tentunya membantu penjual dalam mengembangkan bisnis mereka. Kami percaya hal ini juga merupakan cara yang unik bagi Shopee untuk menarik dan menjaga talenta-talenta terbaiknya, sehingga kami dapat terus memberikan pelayanan terbaik bagi pembeli dan penjual kami,” imbuh Chris.
Chris belum mau mengungkapkan secara detail realisasi pembaruan seperti apa dalam strategi bisnis dan penambahan fitur untuk Shopee. Yang jelas, sudah ada beberapa agenda yang disiapkan sebelum menutup tahun 2017 ini untuk Shopee Indonesia.