Startup D2C untuk anak Little Joy mengumumkan telah meraih pendanaan Seri A dengan nominal dan investor yang dirahasiakan. Dana akan dimanfaatkan untuk memperluas dampak ke lebih banyak ibu dan anak dalam rangka memerangi malnutrisi anak di Indonesia.
Ini adalah penggalangan dana ketiga yang diperoleh sejak berdiri di 2021. Sebelumnya, Little Joy memperoleh suntikan dana dari beberapa investor strategis, family fund, dan VC. Serta, didukung dengan pengalaman pernah menjadi peserta di dua program akselerator, yakni Sequoia (berganti nama menjadi Peak) Spark Batch 2 dan Grab Velocity Batch 5.
CEO Little Joy Carina Lukito menyampaikan sejak berdiri fokus perusahaan berpegang teguh pada memerangi malnutrisi anak di Indonesia selama 1000 hari pertama pertumbuhan yang kritis dan pengembangan.
“Pendanaan putaran ke-3 ini mewakili dedikasi kami terhadap ekspansi yang lebih luas, bukan didorong oleh kebutuhan, namun oleh akar kami yang mengakar komitmen dalam menciptakan dampak jangka panjang pada kehidupan anak-anak dan ibu mereka,” ujarnya dalam keterangan resmi, Senin (30/10).
Indonesia adalah rumah bagi lebih dari 31 juta ibu dan 15 juta bayi setiap tahunnya. Namun masih terjadi kesenjangan prevalensi kekurangan gizi, 1 dari 3 anak mengalami stunting dan telah menyebabkan 50% kematian anak dibawah 1 tahun. Adapun, rata-rata keluarga di Indonesia memiliki dua hingga tiga anak, sehingga potensi memberikan dampak yang berarti dalam kehidupan keluarga Indonesia sangatlah besar.
Little Joy tidak hanya ingin menurunkan angka kematian bayi akibat kekurangan gizi, namun juga ingin meningkatkan kualitas hidup dengan membangun ekosistem berbasis teknologi yang berkelanjutan dan saling terhubung.
Perusahaan didukung dengan tim berdedikasi, terdiri dari ahli gizi anak, dokter anak, dan pakar industri, untuk menawarkan ekosistem produk yang holistik dan dukungan komunitas secara holistik untuk menciptakan dampak jangka panjang kehidupan anak-anak dan para ibu.
Produk yang dikembangkan adalah bubuk tabur yang kaya akan nutrisi dan dapat dicampur dengan makanan atau air agar mudah dikonsumsi anak. Diklaim produk Little Joy telah terjual telah terjual lebih dari 1 juta dan memberikan manfaat bagi 500 ribu ibu dan anak. Seluruh produknya dijual melalui platform marketplace dan dan bermitra dengan lebih dari 1.000 pengecer offline.
Di samping itu, Little Joy membuat program komunitas, seperti Little Joy Edu, Dapur Little Joy, dan MomsJoy agar para ibu bisa saling bertukar wawasan, tip, mengakses ulasan produk terperinci, pakar rekomendasi, dan panduan yang dipersonalisasi. Komunitas ini tidak hanya memberi para ibu pengetahuan penting, namun merupakan wadah untuk meringankan tanggung jawab berat sebagai ibu.
–
*) Kami menambahkan keterangan tambahan informasi mengenai investor terdahulu Little Joy
Startup aquatech DELOS mengumumkan telah menutup putaran pertama pendanaan seri A dengan nominal yang dirahasiakan, dipimpin oleh Monk’s Hill Ventures. Namun, menurut data di situs Crunchbase, investasi yang diraih DELOS mencapai $5,75 juta (sekitar Rp88 miliar).
Pendanaan ini diumumkan selang sebulan setelah DELOS merumahkan sejumlah karyawannya.
DELOS akan memanfaatkan dana segar tersebut untuk melipatgandakan produksi melalui pengembangan AquaHero dan AquaLink, menggiatkan penelitian, dan mengembangkan fitur demi meningkatkan dampak pada efektivitas rantai pasok.
Dalam keterangan resmi yang disampaikan pada hari ini (7/9), Co-Founder dan Managing Partner Monk’s Hill Ventures Kou-Yi Lim menuturkan, DELOS memajukan penggunaan ilmu dan teknologi data dalam industri budidaya udang di Indonesia. Perusahaan terbukti mampu meningkatkan produktivitas pertanian dengan mengurangi biaya input, sekaligus memungkinkan ketertelusuran dan keberlanjutan dalam praktik pertanian.
“Kami senang dapat bermitra dengan tim DELOS dalam mentransformasi industri akuakultur yang penting dan strategis, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh Asia Tenggara. Ini merupakan investasi yang berpotensi memberikan dampak besar bagi kami,” kata Lim.
DELOS didirikan pada 2021 oleh Guntur Mallarangeng, Aris Noerhadi, Alexander Farthing, dan Bobby Indra Gunawan Wibisono. DELOS punya misi memajukan Indonesia menjadi pusat produksi makanan laut berbasis akuakultur internasional pada dekade berikutnya.
Revolusi ini akan menjadi perubahan radikal untuk mendorong pertumbuhan dan modernisasi industri akuakultur Indonesia yang bernilai $2,5 miliar dan semakin mengintegrasikannya ke dalam rantai pasokan makanan laut global.
Sejak mendapat pendanaan putaran awal pada Maret 2022, DELOS telah meluncurkan produk pertanian, AquaHero, yakni sistem produktivitas pertanian lengkap yang menggabungkan keahlian ilmiah, teknologi, dan keunggulan operasional untuk meningkatkan hasil pertanian dan mempertahankan profitabilitas.
AquaHero menggunakan metode pengumpulan data kelas atas dan model biologis mutakhir untuk memprediksi dan memitigasi risiko panen, model yang akan dilatih di ratusan tambak udang dalam ekosistem DELOS di seluruh Indonesia. Hal ini dipadukan dengan teknologi yang diperlukan dan keahlian operasional, diklaim terbukti mampu meningkatkan produktivitas peternakan bagi industri akuakultur Indonesia.
Terdapat pula, AquaLink, sebuah platform pemanenan dan logistik yang memungkinkan DELOS menangkap dan menyediakan pasokan makanan laut yang berkelanjutan dan dapat ditelusuri di bagian hilir rantai nilai. Perusahaan ini saat ini bertanggung jawab memproduksi dan mendistribusikan ribuan ton udang setiap tahunnya, dan telah mengambil langkah-langkah untuk mengintegrasikan pasokannya ke pasar makanan laut global senilai $300 miliar.
CEO DELOS Guntur Mallarangeng mengatakan bahwa sektor budidaya perikanan di Indonesia membutuhkan pertumbuhan selama beberapa dekade terakhir. Sebagian besar keputusan bertani masih dibuat berdasarkan firasat dan tradisi, bukan berdasarkan data dan praktik pertanian empiris.
“Keunggulan alam Indonesia sebagai negara maritim tropis terbesar di dunia memberikan semua teka-teki yang dibutuhkan Indonesia untuk menjadi produsen makanan laut terbesar di dunia. Meningkatkan penerapan teknologi dan praktik terbaik di industri akuakultur akan membantu kita mewujudkan potensi sebenarnya. Ini bisa menjadi industri yang sangat strategis bagi Indonesia,” kata Guntur.
Industri akuakultur di Indonesia diketahui terhambat oleh sejumlah tantangan klasik pada aspek rantai pasok. Rendahnya adopsi teknologi hingga kurangnya akses terhadap fasilitas pembiayaan juga ikut menghambat produktivitas budidaya dan produksi udang yang ditargetkan tumbuh 250% dalam tiga tahun ke depan.
Tantangan-tantangan di atas dinilai membatasi output prosesor hilir hingga rata-rata 40%-60% dari total kapasitas. Selain itu, tak sampai 5% sektor pertanian yang memiliki produktivitas lebih dari empat kali dibandingkan pertanian tetangganya (40 ton vs 10 ton/Ha).
Praktis, startup penyedia solusi rantai pasok menyeluruh, telah mengumpulkan dana sebesar $20 juta (lebih dari 294 miliar Rupiah) untuk putaran seri A yang dipimpin oleh East Ventures (Growth Fund), dengan partisipasi dari Triputra Group dan SMDV.
Investasi ini akan dialokasikan perusahaan untuk mempercepat peningkatan teknologi bagi para brand sekaligus para pemasok yang ingin memiliki proses bisnis yang lebih mudah. Lalu, membangun tim dan meningkatkan ekosistem rantai pasok secara end-to-end.
Dalam keterangan resminya, Co-Founder dan CEO Praktis Adrian Gilrandy menyampaikan, dalam riset internalnya, terdapat lebih dari $30 miliar pasar fesyen dan kecantikan di Indonesia yang diisi oleh UKM. Melalui proses agregasi, peningkatan proses, dan implementasi teknologi, pihaknya optimistis dapat membantu mereka memiliki proses rantai pasok yang lebih efisien sehingga dapat fokus meningkatkan dan mengembangkan bisnisnya.
“Hal ini menjadi tujuan kami sejak hari pertama, dan tercermin dari pertumbuhan kami yang luar biasa dan kesuksesan dalam menjaga keuntungan yang telah kami capai sejauh ini,” ucap Adrian.
Sementara, Co-Founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menuturkan, pihaknya kembali berinvestasi di Praktis karena alasan upaya mereka memberdayakan brand D2C di Indonesia dan pencapaian profitabilitas yang jauh lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya.
“Kami yakin pada kemampuan Praktis untuk merevolusi solusi di industri rantai pasok di Indonesia, sejalan dengan usahanya dalam membantu para bisnis untuk berkembang dan menghadirkan dampak positif bagi masyarakat,” kata Willson.
East Ventures dan Triputra Group merupakan investor terdahulu di Praktis. Sebelumnya, kedua investor ini memimpin pendanaan pra seri A dengan nominal yang dirahasiakan pada Desember 2021.
Solusi Praktis
Praktis adalah end-to-end supply chain enabler dengan rangkaian solusi, mulai dari pembelian bahan baku, produksi, fulfillment, dan logistik dengan peningkatan teknologi untuk menyediakan proses operasi yang mudah, efisien, dan dapat diandalkan, baik untuk direct-to-consumer (D2C) brand dan pemasok berfokus di industri fesyen dan kecantikan.
Hal ini memungkinkan brand untuk fokus pada kompetensi utama mereka dan membiarkan Praktis menangani sisa operasi bisnis mereka melalui platform berbasis data dan teknologi yang andal untuk kelancaran proses rantai pasok. Dengan visibilitas penuh dari semua proses supply chain, Praktis membantu brand untuk mengoptimalkan operasinya.
Diklaim Praktis mencatatkan pertumbuhan yang signifikan sebesar 12 kali lipat pada 2021 (YoY) dan pertumbuhan sebesar empat kali lipat pada 2022 (YoY).
Semua inisiatif dieksekusi dengan baik karena kesesuaian produk dengan kebutuhan pasar dan kemampuan dalam menyelesaikan pain point yang sebenarnya. Pandemi COVID-19 turut membantu perusahaan untuk mempercepat tingkat penyerapan produk ke pasar.
Startup e-commerce enabler Plugo mengumumkan perolehan pendanaan seri A senilai $9 juta atau sekitar 140 miliar Rupiah jelang peluncuran ke publik pada awal tahun depan. Putaran ini dipimpin oleh Altos Ventures, dan partisipasi dari investor lain termasuk BonAngels Venture Partners, Access Ventures, Mahanusa Capital, Prodigy Investment, dan Pearl Abyss Capital.
Plugo akan memanfaatkan dana segar untuk mengembangkan produk, merekrut tim di berbagai divisi, dan memperluas cakupan operasionalnya.
“Kami bangga mengumumkan perolehan dana segar ini, yang merupakan bukti nyata dari kepercayaan para investor terhadap bisnis kami,” ucap Founder dan CEO Plugo Kyungmin Bang dalam keterangan resmi.
Lebih dari sebulan kemudian, tepatnya tanggal 1 Februari 2023, perusahaan meresmikan kehadirannya secara publik. Bang menuturkan, momentum kehadirannya ini bertepatan dengan tren bermigrasinya para brand dari marketplace ke platform direct-to-consumer (D2C) seperti Plugo.
Potensi bisnis e-commerce enabler terbilang menggiurkan, apalagi di Indonesia. Sektor e-commerce Indonesia merupakan salah satu pasar dengan pertumbuhan terpesat di dunia. Ekonomi digitalnya bernilai sekitar $77 miliar pada tahun ini menurut laporan e-Conomy 2022, dan diprediksi mencapai $130 miliar pada 2025 dengan dominasi dari sektor e-commerce.
“Tidak hanya nilainya yang besar dan signifikan, tetapi di sana masih banyak peluang tak terhingga. Terlebih lagi, bisnis lokal telah mengadopsi teknologi digital dengan sangat cepat karena inovasi ekosistem e-commerce yang terus berkembang dan juga perubahan perilaku konsumen yang dinamis,” ujar Bang.
Partner Altos Ventures Moon-suk Oh menambahkan, “Misi Plugo sejalan dengan misi kami untuk menciptakan nilai ekonomi yang signifikan seraya memberikan kontribusi positif kepada masyarakat. Kami sangat senang bermitra dengan Plugo untuk mendukung visi serta pertumbuhan bisnis mereka.”
Solusi Plugo
Plugo merupakan platform e-commerce all-in-one yang membantu siapa saja yang ingin memulai bisnis online. Plugo memberi kendali lebih besar kepada para penggunanya, brand identity yang lebih kuat, serta kemampuan untuk mengatur harga jual barang yang lebih bersaing sekaligus scalable atau terukur.
Fitur-fiturnya diperkaya demi memberikan kebebasan kepada para pengguna, mulai dari personalisasi toko online dengan beragam template website, integrasi dengan metode pembayaran dan kurir, omnichannel, SEO, dan perangkat marketing. Plugo memanfaatkan cloud dan hosted, memungkinkan penggunanya untuk mengakses dan mengelola bisnis mereka dari mana saja dan kapan saja.
Selain dapat menyambungkan toko online-nya dengan platform marketplace, Plugo juga menyediakan integrasi dengan TikTok Shop, Facebook Catalog, dan Instagram Shop. Tidak hanya itu, merchant pun dapat menjalankan iklan di platform social commerce tersebut langsung dari dasbor Plugo.
Bang melanjutkan, “Selama dekade terakhir, tren pasar selalu didominasi oleh business-to-consumer [B2C] atau marketplace. Platform direct-to-consumer [D2C] seperti Plugo baru-baru ini menjadi tren untuk bisnis yang lebih transparan dan efisien. Namun, kami percaya Plugo memiliki potensi besar karena masih banyak ruang untuk tumbuh dan celah besar di pasar, khususnya UMKM.”
Beberapa tahun ke belakang, ekosistem e-commerce dirancang sedemikian rupa yang membuat pendirian toko menjadi tantangan sulit, dan berjualan bahkan lebih sulit lagi. Faktor-faktor ini menciptakan lingkungan yang mana ukuran, pengalaman, dan ketersediaan dana menjadi halangan bagi sebagian besar merchant baru.
Selain itu, merchant yang memulai usaha juga memiliki kekhawatiran dalam membangun branding untuk jangka panjang. Hal ini terutama lebih penting di masa sekarang, di mana bisnis baru bermunculan di mana saja setiap saatnya.
“Platform kami dirancang untuk menghilangkan rintangan tersebut. Kami ingin mendemokratisasi e-commerce dan mempermudah merchant kami untuk meraih kebebasan.”
Startup ini didirikan di Singapura pada tahun ini, dengan kantor di Jakarta dan Seoul. Saat ini statusnya masih closed beta. Adapun peluncuran penuhnya bakal dilakukan pada awal 2023, menyasar calon pengguna di Indonesia. Di Indonesia, solusi yang ditawarkan Plugo bukan barang baru. Sebelumnya, diramaikan oleh Sirclo, Jet Commerce, aCommerce, AturToko, hingga Ginee.
Salah satu pengguna awalnya, brand fesyen lokal Gonegani, menyampaikan banyak pebisnis yang merasa betapa pentingnya branding dikala persaingan yang sangat ketat di marketplace. Platform e-commerce seperti Plugo dirasa cocok karena tidak hanya menyediakan akses untuk transaksi pelanggan, tetapi juga untuk mengembangkan brand identity.
Menurut Khairul Gani, pemilik Gonegani, bahkan ada banyak pelanggan yang tidak menyadari bahwa ketika mereka berbelanja produknya di marketplace, mereka sebenarnya membeli dari Gonegani, bukan dari marketplace itu sendiri. Ketidakmampuan pelanggan untuk membedakan keduanya membuat brand kesulitan untuk membangun channel penjualan tersebut sebagai 100% milik sendiri. Brand akan selamanya menjadi perpanjangan tangan dari marketplace.
Dengan solusi Plugo, brand seperti Gonegani dapat memegang kendali penuh dari toko online mereka. Mulai dari pilihan layout, logo, warna, hingga font. Homepage mereka juga tidak akan sumpek oleh produk dari kompetitor, melainkan hanya memamerkan penawaran khusus dan produk unggulan yang ingin mereka tampilkan. Dengan kemampuan untuk mengedit hampir semua aspek di toko online mereka, brand jadi dapat mengekspresikan kepribadian mereka dengan leluasa.
–
*) Kami menambahkan informasi tambahan tentang peresmian kehadiran Plugo dan pernyataan dari salah satu brand pengguna Plugo
Startup pedagang aset kripto Reku, rebrand dari Rekeningku, mengumumkan pendanaan seri A senilai $11 juta (lebih dari 163 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh AC Ventures, dengan partisipasi dari Coinbase Ventures dan Skystar Capital.
Reku akan memanfaatkan dana segar untuk menambah tim hingga menjadi 80 orang, meluncurkan inovasi baru untuk mengatasi masalah terbesar para investor kripto, baik trader berpengalaman dan pemula.
Dalam keterangan resmi, Co-founder & CEO Sumardi Fung menyampaikan, di tengah crypto winter ini permintaan lokal tetap tangguh. Masih banyak masalah yang dihadapi para pengguna, bahkan mata uang kripto ini adalah kelas aset yang rumit untuk dipahami. Untuk masuk ke dalamnya, orang Indonesia harus memiliki panduan dan kepercayaan yang cukup pada platform yang mereka gunakan pada tingkat dasar.
“Kami bertujuan untuk membantu mereka mencapai hal tersebut dengan Reku dan menawarkan mereka perlindungan semaksimal mungkin sebelum membiarkan mereka membeli dan menjual dengan murah dan aman di platform. Kepatuhan terhadap BAPPEBTI dan keamanan pengguna dimasukkan ke dalam setiap fitur dan pengalaman pengguna di Reku,” kata Sumardi, Kamis (15/9).
Pendiri dan Managing Partner AC Ventures Michael Soerijadji turut memberikan komentarnya. Dia bilang, “Kami sangat antusias untuk memimpin investasi ini ke Reku. Dengan pengalaman pengguna yang intuitif, biaya terendah di pasar, dan tim kepemimpinan yang hebat, kami yakin Reku akan memperkuat kepemimpinannya dalam industri mata uang kripto yang dinamis di Indonesia.”
Perjalanan Reku
Pada saat yang bersamaan, perusahaan juga mengumumkan bergabungnya Jesse Choi sebagai COO. Choi merupakan lulusan Universitas Columbia dengan jajaran pengalaman di perusahaan teknologi, seperti Bain & Company, Thumbtack, Playground Capital, Payfazz, AC Ventures (Entrepreneur-in-Residence), dan memperoleh gelar MBA dari Standford Graduate School of Business, sebelum resmi bergabung di Reku.
Choi menyampaikan, “Reku adalah perusahaan yang sangat menarik di ruang yang ia minati dan ketahui. Menurutnya, Sumardi dan tim benar-benar memahami semua mekanisme dalam menjalankan pertukaran — mereka telah melakukan pekerjaan yang luar biasa dalam menyiapkan teknologi dan membangun produk tercepat, paling efisien, dan paling fleksibel di pasar hingga saat ini. Seraya kami memperluas tim, membangun produk baru, meningkatkan pemasaran, dan membawa perusahaan ke tingkat berikutnya, di situlah saya masuk.”
Reku sendiri sejatinya sudah berdiri sejak lima tahun lalu, tim mengaku telah diuntungkan dengan pengalaman seputar ekspansi dan resesi ekonomi. Kemudian, mendapatkan gambaran seperti apa perilaku investor kripto di Indonesia, baik selama masa bullish dan bearish. Pengalaman tersebut memungkinkan Sumardi dan timnya untuk membangun platform yang telah teruji hingga dapat dengan cepat meningkatkan dan menanggung sentimen pasar apapun.
Tim Reku sendiri berasal dari industri perdagangan berjangka dan memiliki pengalaman lebih dari 15 tahun menangani instrumen keuangan yang kompleks. Sebelum merintis Reku, Sumardi, bersama CCO Robby bekerja di bidang perdagangan berjangka sejak 2005 hingga 2017.
Sumardi menyampaikan platform Reku dibangun sepenuhnya secara in-house dan terus disempurnakan dari waktu ke waktu dengan mempertimbangkan keamanan dan ketentuan maksimum. Menurutnya, filosofi Reku adalah keamanan dan keramahan pengguna yang maksimal dengan mempertahankan pasar yang sepenuhnya adil dan transparan, yang tidak selalu terjadi di platform lain.
“Karena sektor mata uang kripto masih berlangsung di sini, kami percaya bahwa penting bagi konsumen untuk mendapat perlindungan pada tingkat yang sama seperti mereka berada di sektor dan pasar yang lebih maju.”
Reku menawarkan biaya terendah untuk pengguna. Diklaim, perusahaan telah mencetak nilai transaksi bruto senilai $3 miliar pada 2021.
Lanskap crypto exchange di Indonesia
Dengan volatilitas yang tinggi, aset kripto nyatanya memiliki minat yang besar di Indonesia. Data Bappebti menunjukkan, per Juni 2022 jumlah investor kirpto mencapai 15,1 juta orang dengan nilai transaksi mencapai Rp212 triliun.
Namun demikian, di tengah perkembangan pesat industri investasi kripto, bulan lalu Bappebti mengumumkan penghentian penerbitan izin pendaftaran calon pedagang fisik aset kripto, tertuang dalam Surat Edaran Nomor 208/BAPPEBTI/SE/08/2022. Alasannya, terkait efektivitas pengawasan.
Sejauh ini, telah memberikan izin kepada 24 perusahaan, termasuk Reku. Berikut daftarnya:
Startup rantai pasok agribisnis Gokomodo hari ini (6/9) mengumumkan pendanaan seri A sebesar $26 juta (lebih dari 386 miliar Rupiah) dipimpin oleh East Ventures. Investor lain juga berpartisipasi dalam pendanaan ini, yakni SMDV, Eight Capital, K3 Ventures, Triputra, Waresix, Indogen Capital, Sahabat Group, dan Sampoerna Financial.
Diklaim putaran ini merupakan salah pendanaan seri A dengan nilai terbesar di Indonesia. Pengumuman ini dilakukan relatif singkat pasca dikabarkan peroleh pendanaan tahap awal pada Juli 2022. Berdasarkan informasi dari data regulator, perusahaan mengantongi pendanaan sebesar $1 juta dari East Ventures dan Waresix. Akan tetapi, pihak yang terkait tidak memberikan respons terkait pemberitaan ini.
Co-founder dan CEO Gokomodo Samuel Tirtasaputra menyampaikan, dukungan dari East Ventures dan investor lainnya akan digunakan untuk mengembangkan Gokomodo. Gokomodo melakukan pendekatan ganda, yakni menggabungkan platform digital yang kuat dengan infrastruktur yang strategis. Hal ini untuk memastikan bahwa perusahaan dapat mendukung penetrasi di area yang minim akan infrastruktur digital.
“Sejalan dengan tujuan kami untuk memajukan perusahaan agribisnis dan petani kecil di seluruh Indonesia, serta penyediaan akses yang sama bagi semua pemangku kepentingan melalui teknologi. Dengan hadir lebih dekat dengan para petani, kami berharap dapat meningkatkan kesejahteraan petani dan membantu mereka membangun praktik agrikultur yang lebih berkelanjutan,” ucap Samuel.
Co-founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menyampaikan, Gokomodo hadir sebagai solusi inovatif yang dapat mengatasi masalah rantai pasok di sektor agribisnis. Sejalan dengan besarnya potensi agribisnis di Indonesia, pihaknya percaya Gokomodo memiliki potensi yang besar untuk meningkatkan produktivitas dan output signifikan menuju perekonomian Indonesia yang lebih baik. “Kami menantikan perkembangan dan inovasi Gokomodo ke depannya,” kata dia.
Agribisnis adalah sektor pemberi kontribusi terbesar kedua terhadap PDB Indonesia, dengan cakupan lebih dari 42 juta hektar lahan agrikultur dengan total pasar untuk input pemasukan pengadaan senilai $30 miliar. Terlepas dari ukuran dan potensi yang dimiliki, sistem rantai pasok di Indonesia masih terfragmentasi dan jauh dari kata efisien. Sehingga menimbulkan kesulitan bagi perusahaan dan petani kecil dalam mengakses produk kebutuhan agrikultur, seperti pupuk dan peralatan pertanian.
Produk Gokomodo
Gokomodo menawarkan solusi melalui platform pengadaan digital, perdagangan digital, dan distribusi. Ketiganya hadir untuk meningkatkan efisiensi pada proses pengadaan dan mempermudah pencarian vendor, disertai peningkatan transparansi dan kemudahan pengendalian yang seluruhnya berbasis digital untuk perusahaan agribisnis dan petani kecil.
Selain itu, lini bisnis e-commerce Gokomodo menghadirkan produk agribisnis dengan harga bersaing. Pengirimannya didukung oleh Waresix, sehingga menjamin pengantaran yang jelas dan tepat waktu. Tak hanya korporat, para petani kecil juga dipermudah karena dapat mengakses produk agribisnis yang dibutuhkan dengan harga dan ketersediaan yang lebih optimal di platform Gokomodo.
Startup ini didirikan pada 2019 oleh Samuel Tirtasaputra (CEO) dan William Pramana (CTO). Jaringannya cukup luas, mayoritas melayani sektor perkebunan. Diklaim ada lebih dari 3 ribu perusahaan yang telah bergabung dalam ekosistem, di antaranya perusahaan agribisnis Sinar Mas, First Resources, dan Sampoerna Agro.
“Gokomodo telah membuktikan bahwa kami dapat menjadi mitra terpercaya bagi perusahaan agribisnis dan petani, dengan menawarkan solusi terbaik dalam memberikan akses mudah terhadap komoditas agrikultur yang berkualitas. Tujuan kami adalah memanfaatkan teknologi untuk menjembatani kesenjangan antara perusahaan dan petani kecil, dengan memanfaatkan daya beli dan infrastruktur milik Gokomodo untuk kepentingan bersama,” ucap Co-founder dan CTO Gokomodo William Pramana.
Ke depannya, perusahaan akan memprioritaskan pertumbuhan, meliputi penambahan pilihan produk yang tersedia pada platform, mengembangkan basis pelanggan, memperkaya platform digital serta secara agresif membangun pusat distribusi terutama di daerah terpencil. Inisiatif tersebut bertujuan untuk menguatkan kehadiran Gokomodo baik di ranah digital maupun secara offline, hingga mampu mendorong penetrasi dan menjangkau daerah yang masih kurang terlayani, termasuk pelanggan di luar Jawa sebagai lokasi dari mayoritas perusahaan agribisnis dan petani.
Pada April lalu, Gokomodo meresmikan hub pertamanya dengan menggandeng Koperasi Unit Desa (KUD) Mesuji, Sumatera Selatan sebagai mitra. Hub ini berfungsi sebagai perpanjangan bisnis yang memungkinkan KUD dan toko tani memesan produk pertanian secara online. Produk tersebut selanjutnya akan dikirim dari gudang untuk diambil pembeli di hub Gokomodo di seluruh Indonesia.
Startup fintech pengelolaan transaksi keuangan Volopay mengumumkan pendanaan seri A sebesar $29 juta atau setara lebih dari 415 miliar Rupiah. Putaran ini melibatkan beberapa investor seperti JAM Fund, Winklevoss Capital Management, Rapyd Ventures, Accial Capital, Co-founder Acorns Jeffrey Cruttenden, Access Ventures, Antler Global, dan VentureSouq.
Salah satu agenda besar yang akan dilakukan perusahaan setelah menerima pendanaan tersebut adalah ekspansi ke sejumlah negara di APAC, Timur Tengah, dan Afrika Utara. Indonesia masuk ke dalam jajaran negara yang dibidik oleh startup yang sudah memiliki bisnis di Singapura dan Australia ini. Serta, melanjutkan inovasi teknologi baru dan meningkatkan integrasi dengan berbagai perusahaan dan aplikasi manajemen proyek.
Layanan finansial terpadu untuk bisnis
Volopay sejatinya dirintis untuk menyelesaikan dua isu mendesak yang dihadapi oleh UKM dan startup, yakni tingginya biaya valuta asing dan minimnya platform yang mampu mengakses semua data transaksi. Volopay menggabungkan akun bisnis, kartu perusahaan, pembayaran tagihan, penggantian biaya, kredit, cashback, dan otomatisasi akuntansi ke dalam satu platform tunggal.
Platform tersebut memungkinkan para penggunanya untuk menyimpan uang dalam Rupiah dan mata uang besar lainnya, seperti USD, SGD, EUR, GBP untuk digunakan sebagai pembayaran dan menghilangkan jumlah biaya valas yang terlalu tinggi akibat pembayaran internasional.
Platform Volopay memberikan fleksibilitas kepada perusahaan rintisan dan perusahaan dengan menerbitkan kartu perusahaan multicurrency prabayar virtual dan/atau fisik dalam mata uang lokal mereka dengan cashback hingga 5% untuk semua transaksi kartu.
Platform ini juga memroses transfer bank domestik dan internasional dengan nilai tukar mata uang asing yang rendah dan biaya transaksi. Selain itu, menyediakan manajemen biaya yang membantu melacak dan mengontrol semua pengeluaran secara real-time.
Co-founder & CEO Volopay Rajith Shaji menyatakan, saat ini pihaknya sedang membangun pusat kendali untuk perusahaan modern guna memenuhi seluruh kebutuhan manajemen keuangan mereka. Volopay dapat digunakan dengan mudah untuk perusahaan dengan jumlah karyawan lima orang, hingga perusahaan dengan karyawan sebanyak 500 orang.
“Kami memiliki visi untuk membuat platform pengelolaan keuangan terpadu untuk seluruh perusahaan di seluruh dunia setelah ekspansi pasar kami di Asia Pasifik, Timur Tengah, dan Afrika,” ucapnya dalam keterangan resmi, Selasa (1/3).
Di Indonesia sendiri sebenarnya juga sudah ada solusi serupa. Salah satunya juga dihadirkan oleh startup asal Singapura bernama Aspire. Strategi mereka sama, yakni menyajikan layanan transaksional all-in-one untuk membantu bisnis di berbagai skala. Sementara untuk isu transaksi cross-border juga ada Nium yang dibawa ke Indonesia berkat kemitraan strategis dengan pemodal lokal, termasuk MDI Ventures dan BRI Ventures.
Bantu bisnis global tangani transaksi
Volopay mengklaim telah membawa perubahan besar bagi sistem transaksi keuangan yang masih menggunakan cara tradisional. Shaji berambisi Volopay dapat menjadi solusi utama untuk kebutuhan bisnis berskala global dengan berbagai kebutuhan, seperti automasi faktur, pembayaran tagihan, layanan akun bisnis antar mata uang dan tanpa batas seperti yang dimiliki oleh bank tradisional.
Untuk mencapai ambisi tersebut, Volopay telah membangun infrastruktur sendiri dan mengajukan permohonan lisensi keuangan pada setiap region, sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh perusahaan lain secara regional. Melalui infrastruktur tersebut, Volopay dapat membantu klien global dengan menghilangkan kebutuhan integrasi dengan berbagai platform layanan keuangan pihak ketiga lainnya. Hal ini memberikan penggunanya kemudahan secara konsisten, terlepas dari wilayah tempat operasi bisnis mereka.
Volopay mengklaim telah melihat total nilai pembayarannya meningkat 98% setiap bulan dan pendapatannya melonjak 41% sejak putaran pendanaan awal. Timnya juga terus berkembang dari 20 menjadi lebih dari 150 karyawan dan mengumpulkan lebih dari 700 pelanggan seperti Funding Societies, Zipmex, Moneysmart, Smartkarma, dan Austrionova sejak awal 2021. Pertumbuhan yang menjanjikan seperti inilah yang biasanya menarik investor baru atau memperkuat dukungan dari investor sebelumnya.
Founder Tinder dan JAM Fund Justin Mateen menuturkan, “Saya telah bekerja sama dengan tim Volopay yang luar biasa sejak tahap investasi awal. Kesuksesan Volopay dalam putaran Seri A ini tentunya didukung dengan pertumbuhan bisnis dan kemampuan tim untuk berinovasi dengan cepat dan platform yang dapat disesuaikan di berbagai wilayah yurisdiksi. Saya bangga dapat bermitra dan mendukung Volopay untuk berkembang ke tingkat yang lebih tinggi.”
Education focused fintech lending startup, Pintek, announced the Series A funding of $7 million (nearly 100 billion Rupiah) through its parent company, Socap Holding Pte. Ltd. Therefore, Pintek has raised a total funding of more than $35 million.
There are new investors involved in this round, including Kaizenvest, Heritas Capital, Blue7, and Earlsfield Capital. The previous investors, such as Finch Capital, Global Founder Capital (GFC), Accion Venture Lab, Strive, and Fox Ventures, also participated.
Ioann Fainsilber as the CEO of Socap Holding Pte. Ltd. and Pintek’s Co-Founder said, Pintek aims to maximize its role in supporting the education sector in Indonesia. The company’s proposition is claimed to be validated with the increasing volume of funding, over five times in the first half of 2021, compared to the same period last year.
Throughout the Covid-19 situation, he and his team focused on maintaining capacity to operate in effective ways, such as adapting its product portfolio, launching new solutions for the education ecosystem, strengthening the capital structure, and expanding reach across Indonesia.
“We want to be one of the drivers to accelerate technology penetration of inclusive and high-quality educational and financial service products in Indonesia,” Fainsilber said in an official statement, Tuesday (23/11).
Pintek’s Co-Founder and President Director, Tommy Yuwono said that the company will use the fresh funding to focus on business development in order to reach more users, improve services, develop products and provide easier access for all students/parents, teachers, schools, and educational based SMEs.
“We discover an increasing demand in the education sector and intend to accelerate the accessibility of financial services in Indonesia by serving the whole ecosystem.”
Kaizenvest’s Principal, Gaurav Jain said, “As an education-focused investment backer, we are very impressed with what Pintek has built in Indonesia in the last three years, combining social impact and innovative financial services for their users. Kaizenvest expects to support the rapid digitization of Indonesia’s education sector by ensuring high-quality learning opportunities are available to a wider community.”
“We are very pleased to welcome our collaboration with Pintek because we believe the company is developing a comprehensive solution that will have a multiplier effect in improving the quality of access to the entire education ecosystem,” he said.
The ongoing pandemic has affected the educational infrastructure and resulting in highly limited access to education in Indonesia. More than 68 million students have to study from home, and more than 642,000 educational institutions’ operations are affected.
The difficulty of transforming educational institutions to online learning and the lack of digitalization have become significant challenges that affect teaching and learning activities, and the urgent need for education encourages Pintek to present innovation to solve these problems.
Was founded in 2018, Pintek and its affiliates have supported more than 2,750 educational institutions and 100 educational SMEs to reach more than 650 thousand students, and provide financial education content for public with 1.3 million unique monthly visitors. This series of achievements has encouraged Pintek to target 10 million customers in the ecosystem within the next five years.
Focus on educational vendor
Previously, Tommy revealed that the company has started to focus on channeling fund for educational based SMEs/vendors since last year by providing business capital loans to fulfill the procurement of school facilities and infrastructure in Indonesia.
Based on Pintek‘s analytical research in July 2021 on more than 80 educational based SMEs/vendors, most of them still rely on private funding for their company’s capital and operations. Around 90% of self-financing SMEs/vendors required Rp. 200 million cash flow in average for its operations, especially for providers of books and learning support tools. As many as 57% have experienced funding difficulties at least twice in the last two years.
“From Pintek’s research, we also found that SMEs/Vendors are still not familiar with funding from financial technology. This is certainly a challenge for us to be able to educate the audience more massively and thoroughly. Vendors/SMEs don’t need to worry because we already have a license and all services and operational activities are under the supervision of the OJK,” Tommy continued.
Pintek is targeting a disbursement of up to Rp700 billion this year, with optimal funding readiness to meet demands from educational based SMEs/vendors. Since 2019, Pintek has distributed funding to more than 3 thousand students and more than 100 educational institutions. Its realization in the first semester of 2021 is claimed to increase fourfold year-on-year with a value of hundreds of billions of Rupiah.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Startup fintech lending untuk edukasi Pintek mengumumkan perolehan pendanaan Seri A senilai $7 juta (hampir 100 miliar Rupiah) melalui perusahaan induknya, Socap Holding Pte. Ltd. Dengan demikian, total pendanaan yang terkumpul Pintek sejauh ini sudah lebih dari $35 juta.
Investor baru yang masuk pada putaran ini adalah Kaizenvest, Heritas Capital, Blue7, dan Earlsfield Capital. Investor terdahulu, seperti Finch Capital, Global Founder Capital (GFC), Accion Venture Lab, Strive, dan Fox Ventures, turut berpartisipasi dalam putaran ini.
CEO Socap Holding Pte. Ltd. & Co-Founder Pintek Ioann Fainsilber mengatakan, keinginan yang besar dari Pintek untuk memaksimalkan perannya dalam mendukung sektor pendidikan di Indonesia. Proposisi perusahaan diklaim tervalidasi dengan meningkatnya volume pendanaan naik lebih dari lima kali lipat pada semester pertama 2021 dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu.
Sepanjang Covid-19, ia dan tim fokus untuk mempertahankan kemampuan kami untuk beroperasi dengan berbagai cara yang efektif, termasuk mengadaptasi portofolio produk, meluncurkan solusi baru untuk ekosistem pendidikan, memperkuat struktur permodalan, dan memperluas jangkauan di seluruh Indonesia.
“Kami ingin menjadi salah satu pendorong untuk mempercepat penetrasi teknologi pendidikan dan produk layanan keuangan yang inklusif dan berkualitas tinggi di Indonesia,” ucap Fainsilber dalam keterangan resmi, Selasa (23/11).
Co-Founder dan Direktur Utama Pintek Tommy Yuwono menambahkan, fokus dana segar akan dimanfaatkan Pintek untuk pengembangan bisnis agar dapat menjangkau lebih banyak pengguna, meningkatkan layanan, mengembangkan produk sehingga lebih mudah digunakan untuk semua siswa/orang tua, guru, sekolah, dan UKM pemasok pendidikan.
“Kami melihat adanya peningkatan perminaan di sektor pendidikan dan ingin mendorong aksesibilitas layanan keuangan di Indonesia dengan melayani seluruh ekosistem.”
Principal Kaizenvest Gaurav Jain mengatakan, sebagai pemberi investasi yang berfokus pada pendidikan, pihaknya sangat terkesan dengan apa yang telah dibangun oleh Pintek di Indonesia dalam tiga tahun terakhir, menggabungkan dampak sosial dan layanan keuangan inovatif bagi pengguna mereka. Kaizenvest ingin mendukung digitalisasi yang cepat dari sektor pendidikan Indonesia dengan memastikan bahwa kesempatan belajar berkualitas tinggi tersedia untuk segmen masyarakat yang lebih luas.
“Kami sangat senang dengan kolaborasi kami dengan Pintek karena kami percaya bahwa Pintek sedang mengembangkan solusi komprehensif yang akan memiliki efek berganda dalam meningkatkan kualitas akses ke seluruh ekosistem pendidikan,” ujarnya.
Pandemi yang berlangsung selama ini telah memengaruhi infrastruktur pendidikan dan sangat membatasi akses pendidikan di Indonesia. Lebih dari 68 juta siswa harus belajar dari rumah, dan lebih dari 642 ribu institusi pendidikan terkena dampak operasionalnya.
Sulitnya transisi lembaga pendidikan ke pembelajaran online dan kurangnya digitalisasi telah menjadi tantangan signifikan yang memengaruhi kegiatan belajar mengajar, serta kebutuhan mendesak untuk pendidikan membuat Pintek hadir dalam memberikan inovasi kepada permasalahan tersebut.
Sejak didirikan pada 2018, Pintek dan afiliasinya telah mendukung lebih dari 2.750 institusi pendidikan dan 100 UKM pendidikan untuk menjangkau lebih dari 650 ribu siswa, serta menyediakan konten edukasi keuangan kepada masyarakat dengan 1,3 juta pengunjung unik setiap bulan. Pencapaian tersebut, membuat Pintek optimis menargetkan 10 juta pelanggan di ekosistem dalam lima tahun ke depan.
Fokus pembiayaan untuk vendor pendidikan
Sebelumnya, Tommy mengungkapkan sejak tahun lalu, perusahaan mulai memfokuskan pendanaan untuk UKM/vendor pendidikan dengan menyediakan pinjaman modal usaha untuk pemenuhan pengadaan sarana dan prasasarana sekolah di Indonesia.
Berdasarkan riset analitik Pintek di bulan Juli 2021 pada lebih dari 80 UKM/Vendor pendidikan, mayoritas masih mengandalkan pendanaan pribadi untuk modal dan operasional perusahaannya. Sebesar 90% dari UKM/vendor swadana membutuhkan arus kas di kisaran Rp200 juta untuk operasional mereka, khususnya pada penyedia buku dan alat penunjang pembelajaran. Sebanyak 57% di antaranya mengalami kesulitan pendanaan setidaknya hingga dua kali dalam dua tahun terakhir.
“Dari riset Pintek, kami juga menemukan bahwa UKM/Vendor masih belum familiar dengan pendanaan oleh financial technology. Hal Ini tentu menjadi tantangan bagi kami untuk bisa mengedukasi khalayak secara lebih masif dan menyeluruh. Vendor/UKM tidak perlu khawatir karena kami sudah mengantongi izin dan seluruh layanan serta kegiatan operasional di bawah pengawasan oleh OJK,” lanjut Tommy.
Tahun ini Pintek menargetkan penyaluran hingga Rp700 miliar dengan kesiapan dana yang optimal untuk memenuhi permintaan dari UKM/vendor pendidikan. Sejak 2019, Pintek sudah menyalurkan pendanaan ke lebih dari 3 ribu siswa dan lebih dari 100 institusi pendidikan. Realisasinya pada semester I 2021 diklaim naik empat kali lipat secara year-on-year dengan nilai ratusan miliar Rupiah.
TreeDots, a Singapore-based social commerce startup for groceries (also maximizing the decent potential of the leftovers), announced a series A funding round of $11 million (over 157 billion Rupiah) led by East Ventures (Growth Fund) and Amasia. There are other investors join this round, including ACTIVE Fund, Seeds Capital, Nir Eyal (writer), and Fiona Xie (actress).
The funds will be used for platform development, the company’s food logistics optimization, TreeLogs and regional expansion, post entering the Malaysian market last year. The company didn’t mention its next target country.
TreeDots’ Co-founder & CEO, Tylor Jong said to DailySocial that his team is currently in discussion regarding the plan. “We have plans to expand our regional coverage and we are in the middle of comprehensive exploration [the next country] where it will make sense for us,” Jong said.
TreeDots was founded by Tylor Jong, Lau Jia Cai, and Nicholas Lim in 2018. The company is a marketplace for surplus and imperfect groceries, in response to the wasted food isssues, especially decent food that is being thrown away. TreeDots technology helps redistribute unsold inventory from suppliers to businesses such as restaurants and cafes, enabling them to obtain affordable food supplies.
Globally, there is one-third food produced for consumption is wasted. In Asia, most of these problems are caused by inefficient supply chains. Imperfect food in terms of aesthetic is often dumped even though it is considered decent as the ones commonly found on grocery store shelves. This surplus food is often burned or left to rot, producing methane and other greenhouse gases with 86 times more harmful impact on global warming than carbon dioxide.
“We realized that grocery store chains tend not to buy a huge chicken or in the imperfect shape because it would look weird on the shelves. However, F&B outlets could not care less as it will be cut and processed to be served. Therefore, they’ll be very happy to be able to buy the same products for up to 90 percent cheaper than the alternatives. It encourages us to start a surplus food marketplace to match the supply and demand for these products,” Jong explained separately in an official statement, Thursday (11/11).
TreeDots’s target market is F&B franchises and social commerce to accommodate group purchasing. Thus, consumers can buy the same product with much cheaper price. TreeDots sends multiple orders at once to a single address and group buyers can pick up their individual orders from that address. It allows buyers to save on logistics costs, as well as reduce emissions compared to traditional e-commerce models that require a special trip for each order.
In terms of sales. prior to joining TreeDots, suppliers often paid for a delivery service to send their waste to a landfill. In this case, they can now earn additional income from these imperfect products in a way helping to preserve the earth.
TreeDots also helps digitize suppliers’ operations using an app, and they recently launched TreeLogs, a cold-chain logistics to improve the supplier’s operation efficiency. This vertically integrated ecosystem allows upstream suppliers to focus their efforts on their area of excellence, food processing and production.
“Food wasted has becocme a trillion dollar issue, but what excites us is the fact that suppliers are starting to use the TreeDots system for their entire income, not just leftovers. When one of their trucks can make one delivery to an area, TreeDots can make five deliveries on the same trip by working with the entire supplier group. The increased network density allows for lower logistics costs and emission levels,” East Ventures’ Managing Partner, Roderick Purwana said.
TreeDots Gross Merchandise Value (GMV) has grown more than 4 times year on year. “There are a lot of businesses serving the F&B industry that comes with difficulty during the pandemic. However, we are very impressed with the ability of the TreeDots team to drive exponential growth amid difficult circumstances,” Amasia’s Managing Partner, who also led TreeDots’ initial funding round in 2019, John Kim said.
As TreeDots business expands, Janet Sarah Neo, Vice President, Corporate Sustainability & Government Affairs at Lazada and Executive Board Member at Temasek Foundation Liveability, will join TreeDots as a Board Observer.
Startups with resembled energy
With the resembled energy to maximize the potential of surplus food, a local startup called Surplus has launched in Indonesia. The platform allows F&B businesses to sell excees and imperfect yet decent food products at certain hours before closing the shop with a half price discount.
More than 400 Surplus partners come from across Jabodetabek, Bandung and Yogyakarta. Most of them are engaged in businesses that produce a lot of excess food products, such as bakery & pastry, cafes, restaurants, hotels, supermarkets, catering, and agriculture.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian