Tag Archives: serial entrepreneur

Kusumo Martanto dari Blibli: Inovasi Jadi Kunci Keberlangsungan Industri E-commerce

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Tidaklah mudah mendirikan perusahaan yang berkelanjutan, perusahaan yang baik dibangun dengan fondasi dan strategi yang kokoh. Kusumo Martanto membangun Blibli dari nol menggunakan pendekatan customer-centric. Selepas merayakan ulang tahun ke-10, perusahaan telah meraih pencapaian signifikan. Selain itu, beliau juga berperan sebagai COO dari GDP Venture sebagai saluran dalam menciptakan kendaraan investasi untuk lebih mengembangkan industri digital Indonesia.

Sebelum memasuki era industri teknologi, Kusumo yang akrab disapa Pak Kus telah terlatih dalam mengatasi tantangan. Mulai dari pendidikan, adaptasi terhadap budaya baru dengan kosa kata yang terbatas, serta bertahan hidup sebagai mahasiswa asing dengan tuntutan beasiswa dan pekerjaan paruh waktu. Namun, semua upayanya terbayar saat ia mendapat kesempatan untuk mengejar karir di industri teknologi.

Sebagai Co-Founder dan CEO Blibli, salah satu perusahaan e-commerce terkemuka di Indonesia, Kusumo bertujuan untuk menciptakan perusahaan yang berkelanjutan dengan membawa nilai dan dampak positif bagi masyarakat. Dalam proses mendaki puncak tertinggi, tantangan kerap muncul dan perusahaan harus siap. Ia mempercayai bahwa kunci dari industri yang dinamis ini adalah inovasi, dan kolaborasi menjadi jalur yang tepat untuk membangun keberlanjutan.

DailySocial berkesempatan untuk melakukan wawancara eksklusif dengan Pak Kus dan mendiskusikan lebih lanjut pemikirannya tentang lanskap e-commerce Indonesia dan potensinya di masa depan.

Seperti apa masa-masa awal perjalanan Anda sebelum memasuki industri teknologi?

Menilik kebelakang, saya telah terlatih untuk mengatasi tantangan. Sejak masa sekolah saya sudah tertarik dengan ilmu teknik, yang ketika itu tidak dapat dipisahkan dari perangkat komputer dan saya tidak memilikinya saat itu. Lagipula, saya hanyalah seorang anak laki-laki dari Jawa Tengah dengan mimpi besar. Tidak pernah terpikir oleh saya untuk bisa belajar di luar negeri mengingat banyaknya biaya dan dokumen yang harus dipersiapkan, tetapi saya memiliki kemauan yang kuat. Kemudian, dengan semua sumber daya yang tersedia saat itu, saya mencoba mencari jalan ke daerah metropolitan. Untungnya, orang tua saya sangat mendukung. Dengan banyak pertimbangan serta melalui proses yang panjang, saya berhasil mendaftar dan melanjutkan studi di Iowa State University.

Perjuangan nyata terjadi dalam dua tahun pertama beradaptasi dengan negara dan budaya baru menggunakan kosakata yang terbatas. Sementara itu era sebelum internet. Saya harus merekam kelas kuliah dari waktu ke waktu dan mendengarkannya beberapa kali sebelum benar-benar bisa memahami intinya. Tahun kedua, saya mengajukan permohonan beasiswa sembari bekerja paruh waktu untuk menutupi biaya hidup, tidur 8 jam saja tidak memungkinkan. Kondisinya tidak mudah, tapi saya tidak menyerah.

Kusumo Martanto / GDP Venture

Anda berhasil lulus dari program teknik ternama di Iowa State University dan melanjutkan program Master di Institut Teknologi Georgia. Pengalaman seperti apa yang bisa Anda bagikan terkait kondisi kehidupan dan studi di luar negri mempengaruhi keahlian dan perspektif Anda hingga saat ini?

Melihat kembali ke zaman saya, banyak sekali yang berbeda dalam hal pengajaran dan pembelajaran. Di Indonesia, menghormati berarti mentaati. Di kelas, kita dapat mengajukan pertanyaan tetapi tidak untuk mempertanyakannya. Di Amerika, kami dipaksa untuk berpartisipasi, untuk berbicara. Tidak hanya berpikir kritis tetapi juga memahami konteks. Konsep itu tertanam dan telah membentuk pola pikir saya.

Apa yang membuat Anda memutuskan untuk pulang? Mengapa tidak melanjutkan mengejar karir di Amerika?

Sejujurnya, saya pernah berpikir kembali ke tanah air untuk bekerja sebelum melanjutkan gelar master. Saya melamar beberapa pekerjaan di Indonesia, tetapi juga mempersiapkan Rencana B dan mengajukan aplikasi untuk melanjutkan studi. Ketika saya tiba di Indonesia, saya sudah mendapat tawaran untuk bekerja di sebuah perusahaan. Namun, ketika sedang menetap di kampung halaman, saya mendapat surat penerimaan dari Amerika. Setelah diskusi panjang lebar dengan orang tua, saya memutuskan untuk langsung melanjutkan studi di AS.

Perjalanan saya selanjutnya mejadi bagian yang menarik dan menyenangkan. Pertama kali saya mengejar karir di industri kedirgantaraan, mengingat dulu pernah bercita-cita menjadi pilot. Saat itulah saya terpapar industri teknologi. Selanjutnya, saya pindah ke perusahaan perangkat lunak; dan itu murni tentang teknologi. Kemudian, saya bergabung dengan intel dan sampai sekarang terbawa jauh ke dalam industri ini dan menikmati setiap perjalanannya.

Setelah itu, saya mulai memikirkan orang tua di Indonesia yang semakin bertambah usia. Lagipula, merasa cukup berkontribusi untuk negara yang mengadopsi saya, mengapa tidak mencoba membuat sesuatu dan bekerja untuk tanah kelahiran. Indonesia sendiri memiliki potensi luar biasa dengan penetrasi internetnya yang terus meningkat. Hal ini benar-benar mengubah segala hal mulai dari komunikasi sampai industri yang lebih spesifik. Saya, kemudian, mengambil kesempatan tersebut.

Bagaimana sebenarnya ide awal Blibli, salah satu produk digital pertama Djarum? Seperti apa tantangan yang Anda temui dan bagaimana mengatasinya?

Secara historis, Indonesia telah menjadi pusat perdagangan selama berabad-abad, dan konsep tersebut telah mengakar dalam masyarakatnya. Negara ini memiliki potensi besar dalam banyak hal. Salah satu yang paling esensial adalah bonus demografi. Kita punya banyak anak muda di usia produktif yang siap mencurahkan energi untuk menciptakan kemakmuran di negeri ini. Apalagi sebagian besar dari orang-orang ini memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, juga mau beradaptasi dan mengadopsi. Ritel berkembang pesat dan menjadi amunisi besar untuk menopang perekonomian.

Saat itu pada tahun 2011, penetrasi internet Indonesia hanya 12,3% dari total populasi. Namun, angka tersebut lebih signifikan daripada populasi satu negara. Dari segi geografi, negara ini amat luas, merupakan sebuah keuntungan sekaligus tantangan untuk sektor distribusi. E-commerce menjadi sebuah ide yang amat sangat mungkin muncul dengan fakta-fakta yang telah dikemukakan sebelumnya.

Kami memulai Blibli dengan tujuan untuk menjadi e-commerce pertama yang memberikan pengalaman customer-centric terbaik bagi pembeli dan penjual. Dalam proses mendaki puncak tertinggi, kami menghadapi banyak tantangan. Berbeda dengan AS dan China dengan daratan yang luas, Indonesia memiliki lautan yang luas dalam hal distribusi. Ini adalah salah satu tantangan terbesar untuk menyediakan logistik yang hemat biaya. Selanjutnya, pembayaran menjadi batu sandungan lain di industri ini. Saat itu efisiensi perbankan belum seperti sekarang.

Semua tantangan ini memaksa kami untuk lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan platform. Saya juga percaya bahwa untuk membuat ekosistem berfungsi, kita perlu bekerja sebagai satu kesatuan. Oleh karena itu kami juga bekolaborasi dengan mitra yang sangat terpercaya untuk melayani masyarakat dengan lebih baik. Inovasi adalah kunci industri yang dinamis dan kolaborasi menjadi jalur yang tepat untuk membangun keberlanjutan.

Inovasi apa saja yang sudah atau akan dikembangkan Blibli dalam waktu dekat?

Kami telah meluncurkan banyak inovasi sejak awal beroperasi. Bahkan, Blibli seringkali menjadi yang pertama menawarkan inovasi baru. Misalnya, pengiriman gratis dan cicilan 0% sementara yang lain masih mengenakan biaya tambahan untuk pembayaran kartu kredit. Selain itu, kami menjamin keaslian produk yang ditawarkan dalam platform. Untuk memastikan hal itu, kami hanya bekerja sama dengan mitra terpercaya. Inovasi lainnya adalah saat kami memperkenalkan fitur pre-order, bekerja sama dengan Telkomsel.

Kendati itu, kami percaya bahwa online tidak akan pernah 100% menggantikan ekosistem offline, namun untuk saling melengkapi. Oleh karena itu, tahun lalu kami meluncurkan inisiatif omnichannel untuk memenangkan pasar offline. Ada beberapa fitur termasuk Blibli in-store, Click & Collect, dan BlibliMart untuk grosir dalam rangka memperkuat strategi ini.

Di masa pandemi ini, kita juga menyadari bahwa banyak orang yang berjuang dengan pendapatan yang tidak stabil. Oleh karena itu, kami meluncurkan layanan PayLater dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar pengguna. Selain itu, UMKM menjadi salah satu sektor yang paling terdampak akibat pandemi ini. Kami menemukan salah satu pain points mereka berada pada tempat penyimpanan produk. Kami mencoba memecahkan masalah ini dengan memperkenalkan fulfillment oleh Blibli.

Yang terbaru, kolaborasi lintas industri dengan BCA Digital, menjadikan Blibli sebagai platform e-commerce pertama yang terintegrasi penuh dengan bank digital di Indonesia. Saya percaya bahwa pengembangan ekosistem digital di Indonesia dapat mencapai potensi penuh melalui kolaborasi. Oleh karena itu, kami akan terus berinovasi dan beradaptasi dengan pasar yang terus berubah dengan menjawab tantangan dengan pengalaman.

Peresmian gudang Blibli Cakung

Apakah menurut Anda status “unicorn” itu penting? Nilai esensial seperti apa yang harus dimiliki perusahaan untuk bida berkelanjutan?

Wajar jika sebuah perusahaan startup ingin meraih status atau pencapaian tertentu. Meskipun kami belum mengumumkan status apa pun secara terbuka, ukuran bisnis kami telah melampaui miliaran dolar. Dengan begitu, apakah saya bisa mengatakan bahwa kami telah mencapai status unicorn? Ya. Namun, sebagai perusahaan digital, yang sangat kami inginkan adalah menciptakan perusahaan yang berkelanjutan dengan membawa nilai dan dampak positif bagi masyarakat.

Dari segi nilai, saya pikir semua hasil yang luar biasa membutuhkan kerja keras dan ketekunan. Saya mencoba menanamkan pola pikir seperti ini pada semua anggota kami di Blibli. Bahwa kita bukan hanya sebuah perusahaan, tetapi juga bagian dari masyarakat. Oleh karena itu, selalu lakukan yang terbaik untuk menciptakan dampak positif melalui teknologi dan inovasi. Selain itu, ketika sebuah bisnis telah tumbuh besar, sulit untuk tidak berpuas diri, namun kita tetap perlu menjaga agility agar tetap kuat. Selalu waspada dan bersiap dengan hal yang tak terduga.

Selaku COO dari GDP Venture, bagaimana peran Anda dalam organisasi ini, apakah Anda juga melakukan investasi pribadi?

Ketika membangun Blibli, para pemegang saham kami mempertimbangkan untuk menciptakan sarana investasi untuk lebih mengembangkan industri digital Indonesia. Semua yang telah kita diskusikan hanya akan berhasil ketika seluruh negeri mencapai kemakmuran. Oleh karena itu, saya membantu Martin Hartono mendirikan perusahaan investasi dan mengusulkan ide nama GDP Venture. Saya juga telah berinvestasi sebagai angel, dan yang terpenting, saya berkontribusi dengan pengalaman saya, termasuk sebagai penasihat.

Langkah investasi GDP Venture di tahun 2017

Setelah mengelola Blibli sekian lama dari nol hingga tahap ini, pernahkah terpikir untuk membuat sesuatu yang baru? Atau menjelajahi industri lain?

Satu hal tentang kreasi adalah Anda dapat melakukannya dalam berbagai macam cara. Seseorang dapat menjadi pendiri, investor, atau bagian dari anggota tim. Saya punya banyak ide, yang sekarang lebih banyak disalurkan ke kegiatan investasi atau mentoring. Saya memulai di industri e-commerce, dan ini baru permulaan, potensi ke depan masih sangat panjang.

Mengenai minat, saya lebih suka industri “jadul” seperti kesehatan. Di Indonesia, negara lapis pertama pun masih kesulitan mendapatkan akses ke fasilitas kesehatan yang memadai. Namun, karena saya ingin membuat sesuatu di industri yang berbeda, saya ingin itu bisa menjadi bagian dari Blibli dan grup. Ketika brainstorming untuk rencana tersebut, saya diperkenalkan dengan pendiri startup yang ingin memulai bisnis serupa. Alih-alih bersaing, kami memutuskan untuk berinvestasi di startup yang saat ini kita kenal dengan Halodoc. Saya kemudian menjadi penasihat perusahaan.

Dalam hal lain, menurut saya industri edtech cukup menarik. Di atas segalanya, semua jenis industri itu bagus. Saya, secara pribadi tertarik pada bidang yang dapat berdampak langsung pada masyarakat, seperti kesehatan dan pendidikan. Selama masih ada makhluk hidup, industri ini akan selalu dibutuhkan.

Sebagai pemimpin yang berpengalaman, apa yang dapat Anda katakan untuk para penggiat teknologi di luar sana yang ingin mulai membangun sebuah warisan?

Setiap orang memiliki bakat dan panggilan hidup masing-masing. Tidak semua orang harus menjadi pengusaha, saya sendiri masih belajar. Untuk menjadi pengusaha atau apa pun, kita tidak bisa hanya mengandalkan keterampilan atau pengetahuan. Orang perlu memiliki karakter yang solid untuk membangun sesuatu yang berkelanjutan. Dan lagi, tidak ada yang namanya kesuksesan instan, kesuksesan itu diwujudkan.


Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Blibli's CEO and GDP Ventures' COO, Kusumo Martanto / Blibli

Blibli’s Kusumo Martanto on E-commerce Industry: Innovation is the Key to Sustainability

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

A company is not something you easily founded, a good company is built with a solid foundation and solid strategy. Kusumo Martanto built Blibli from scratch using a customer-centric approach. Recently celebrating its 10th anniversary, the company has reached some major milestones. Also, he plays a role as the COO of GDP Venture as a channel to create an investment vehicle to further develop Indonesia’s digital industry

Before the tech industry era, Martanto has been trained to overcome challenges. From educational struggle, adapting to the new culture with limited vocabulary, and surviving the life of an overseas student with scholarship demands and a part-time job. However, all his constant effort pays off as he finally gets a chance to pursue a career in the tech industry.

As the Co-Founder and CEO of Blibli, one of the leading e-commerce companies in Indonesia, Martanto aims to create a sustainable company with positive value and impact on society. In the process of climbing the top ladder, challenges often appear and the company has to be ready. He also believes that the key to this dynamic industry is innovation, and collaboration is a way to make it sustainable.

DailySocial has an opportunity to have an exclusive interview with Martanto and further discuss his thoughts on the Indonesian e-commerce landscape and its future potential.

How were your early days before the tech industry happened in your life?

Looking back to my journey, I was trained to overcome challenges. Engineering has started to draw my attention in school, which cannot be separated from computers and I did not have one back then. Also, I was just a boy from Central Java with big dreams. It never occurred to me that I could study abroad with all the cost and paperwork, but I have this strong will. Then, with all the resources available at that time, I look for a way in the metropolitan area. Fortunately, my parents are very encouraging. With many considerations and through a long process, I managed to register and continue my study at Iowa State University.

The real struggle happened within the first two years of adapting to a new country and culture with limited vocabulary. And that was before the internet era. I had to record my lectures from time to time and listen to them multiple times before I really grasp the gist. The second year, I have applied for a scholarship and was doing part-time to cover my expenses, 8-hour sleep was off the table. It was tough, but I was tougher.

Kusumo Martanto / Dokumentasi GDP Venture

You’ve graduated from a top-ranked engineering program at Iowa State University and a continuing Master’s program at Georgia Institute of Technology. Can you share a bit of your experience of how living and studying abroad can help you upskill and what kind of perspective you’ve gained outside this country?

Looking back to my era, it was very different in terms of teaching and learning. In Indonesia, respect means to obey. In class, we can ask questions but never questioning them. In the States, we are forced to participate, to speak up. Not only to have critical thinking but also to understand the context. It goes a long way and has shaped my mindset.

What made you decide to come home? Why not continue pursuing a career in the States?

Honestly, I thought of getting back home to work before continuing my master’s degree. I applied for several jobs at home country, but also prepared for Plan B and submitted an application to continue studying. When I arrived in Indonesia, I already got an offer to work for a company. However, during my stay in my hometown, I received an acceptance letter from the States. After a lengthy discussion with my parents, I decided to pursue my master’s degree in the US.

My next journey is actually the interesting and fun part. My first career attempt is in the aerospace industry since I dream of becoming a pilot. That time I got exposure to the tech industry. Furthermore, I moved into a software company; and it was pure technology. Then, I joined intel and up until now I have drifted deep into this area and enjoy where I’m going.

After that, I started to think of my parents in Indonesia as they’re getting old. Besides, I already contribute enough to the country that adopted me, why not try to make something work in my home country. Indonesia alone has excellent potential with its growing internet penetration. It totally changed the whole thing from communication to a lot more specific industries. I, then, take my chance.

What was the idea behind the creation of Blibli, one of Djarum’s first digital products? What kind of challenges you’ve encountered and how to overcome that?

Historically speaking, Indonesia has been a center of commerce for ages, and the concept has been deep-rooted in its people. This country holds great potential in terms of many factors. One of the most essential is the demographic bonus. We have many young people in the productive age, ready to pour energy into building this country’s prosperity.  Moreover, most of these people have high curiosity, also willing to adapt and to adopt. Retails are rapidly growing and have become the great ammo to support the economy.

Back then in 2011, Indonesia’s internet penetration was only 12,3% of the total population. Still, it is more significant than one country’s population. In terms of geography, this is a vast country, it is an advantage as well as a challenge for distribution. The idea of e-commerce will be very much likely to appear given the previous facts stated.

We started Blibli with the aim to be the 1st leading e-commerce to deliver the best customer-centric experience for both buyers and sellers. In the process of climbing the top ladder, we encounter lots of challenges. Unlike the US and China with vast land, Indonesia has a wide ocean in terms of distribution. This is one of the biggest challenges to provide cost-efficient logistics. Furthermore, the payment becomes another rocky road in this industry. It was not as efficient as today’s banking.

All these challenges only forced us to be more creative and innovative in developing our platform. I also believe that to make the ecosystem work, we need to work as a unity. That is why we also collaborated with our very trusted partners to serve the community better. Innovation is the key to the dynamic industry and collaboration is what makes it sustainable.

What kind of innovations Blibli has or will develop in the near future?

We have launched lots of innovations since the very beginning of our operations. In fact, Blibli is often the first one to offer new innovation. For example, the free delivery and 0% installment while others still charge additional costs for credit card payment. Also, we guarantee the originality of the products offered on our platform. To ensure this, we only collaborated with trusted partners. Another highlight is when we introduce the pre-order feature, in collaboration with Telkomsel.

Moreover, we believe that online will never 100% replace the offline ecosystem, only to complement each other. Therefore, last year we launched our omnichannel initiative to win the offline market. There are several features including Blibli in-store, Click & Collect, and BlibliMart for grocery to strengthen this strategy.

In this time of the pandemic, we also realize that many people are struggling with stable income. Therefore, we also launched the PayLater service to cover basic needs for users. Aside from that, MSME becomes one of the most affected sectors due to this pandemic. We discover one of their pain points is the place to keep their products. We tried to solve this problem by introducing fulfillment by Blibli.

The latest one, a cross-industry collaboration between BCA Digital and us, has made Blibli the first e-commerce platform fully integrated with digital banks in Indonesia. I believe that the development of a digital ecosystem in Indonesia can reach its full potential through collaboration. Therefore, we will continue to innovate and adapt to the changing market by responding to the challenges and experiences.

The launching of Blibli’s warehouse Cakung

Do you think “unicorn” status is important? What kind of essential value the company should have in order to reach sustainability?

It is only reasonable for a startup company to want to achieve a certain status or major milestone. Although we have not openly announced any kind of status, our business size has exceeded billions of dollars. Can I say that we have reached unicorn status? Yes. However, as a digital company, what we really want is to create a sustainable company with positive value and impact on society.

In terms of value, I think all the remarkable outcomes require hard work and perseverance. I tried to plant this kind of mindset in all of our members in Blibli. That we are not just a company, but also part of the society.  Therefore, always do your best to create a positive impact through technology and innovation. Also, when a business has grown large, it is hard not to be complacent, that is why we need to keep the agility strong. Always be prudent and expect the unexpected.

You’re also the COO of GDP Venture. What kind of role you’ve played in this organization, do you also make personal investments?

During the Blibli creation, our shareholders also consider creating investment vehicles to further develop Indonesia’s digital industry. Everything we have been discussing will only work when the whole country can prosper. Therefore, I helped Martin Hartono set up the investment company and proposed the idea of the name GDP Venture. I have also been investing as an angel, and above all, I contribute with my experience, including as an advisor.

GDP Venture’s investment activity circa 2017

After a long time managing Blibli from scratch to this stage, have you ever thought of starting another company? Or exploring another industry?

The thing with creation is you can do it in various kinds of ways. One can be a founder, investor, or part of a team member. I have lots of ideas, which now channeled more to the investment or mentorship activities. I started in the e-commerce industry, and this is just the beginning, the potential is still very long ahead to the future.

In terms of interest, I prefer the old-fashioned industry such as health. In Indonesia, even the first-tier country is still facing difficulty to have access to sufficient health facilities. However, as I want to create something in a different industry, I want this to be part of Blibli and the group. While brainstorming for the plan, I was introduced to the startup founder who wants to start a similar business. Instead of competing, we decided to invest in the startup that we have currently known as Halodoc. I became the advisor to the company.

Another thing, I reckon the edtech industry is quite interesting. Above all, any kind of industry is good. I, personally attracted to fields that can directly impact society, such as healthcare and education. As long as there are people, these industries will strive.

As an experienced leader, what can you say for those tech enthusiasts out there wanting to build their own legacy?

Everyone has their talents and call to life. Not everyone has to be an entrepreneur, I, myself, am still learning. To be entrepreneurs or anything, we cannot only rely on skill or knowledge. People need to have a solid character in order to build something sustainable. Also, there is no such thing as instant success, and success is earned.

Q&A Bersama Aldi Haryopratomo: Dari CEO GoPay Sampai Jadi Investor dan Mentor Startup

Penyair Prancis Victor Hugo pernah berkata, “Orang bijak adalah dia yang tahu kapan dan bagaimana untuk berhenti.” Kutipan tersebut berlaku untuk banyak pemimpin di dunia bisnis yang memutuskan untuk meninggalkan perusahaan mereka saat sedang berada di puncak—Aldi Haryopratomo adalah salah satunya. Dia mengundurkan diri dari posisi CEO-nya di GoPay, divisi fintech Gojek, pada Januari 2021, setelah memimpin selama lebih dari tiga tahun.

Alasan kepergiannya terdengar sederhana. “Kami [di GoPay] telah mengubah industri keuangan, dan saya pikir ini adalah waktu yang tepat bagi saya untuk bergerak dan membuat perubahan di sektor lain,” ujarnya kepada KrASIA.

Sebelum GoPay, Aldi pernah mendirikan aplikasi fintech bernama Mapan pada tahun 2009. Platform ini memungkinkan pembayaran online terjadi di berbagai lokasi fisik di Indonesia tetapi daya tariknya semakin meningkat ketika mulai menawarkan fitur social commerce yang disebut Mapan Arisan pada tahun 2015. Fitur ini pada dasarnya adalah sebuah arisan digital—bentuk informal dari simpan pinjam bergilir yang umum di Indonesia, terutama di kalangan perempuan.

Startup ini diakuisisi oleh Gojek pada tahun 2017, bersama dengan dua startup fintech lainnya—gerbang pembayaran Kartuku dan Midtrans—untuk membentuk GoPay. Mapan masih beroperasi sebagai aplikasi terpisah dan saat ini memiliki 3 juta pengguna, sebut Aldi.

Aldi kini tengah menikmati waktu cuti bersama istri dan ketiga anaknya. “Memimpin perusahaan teknologi dengan pertumbuhan tinggi bisa sangat melelahkan, dan sebagai manusia, saya perlu istirahat. Jadi saya mengambil cuti sebelum memulai usaha baru,” ujar sang mantan CEO.

Namun, istirahat tidak berarti hanya bermalas-malasan dan tidak melakukan apa-apa di rumah. Sebagai orang yang sangat percaya pada hukum bimbingan dan timbal balik, Aldi sekarang membantu pengusaha lain mengembangkan bisnis mereka. Tak lama setelah meninggalkan GoPay, ia diangkat menjadi komisaris di startup akuakultur e-Fishery. Dia juga bergabung dengan dewan penasihat di perusahaan teknologi kesehatan Halodoc pada bulan Maret. Belum lama ini, Aldi berinvestasi dalam putaran pendanaan Seri A BukuWarung senilai USD 60 juta.

“Saya tidak akan bisa berada di sini tanpa orang-orang baik yang telah membantu saya, jadi saya ingin mereplikasi ini kepada pengusaha lain yang ingin memecahkan masalah yang tepat,” katanya.

KrASIA baru-baru ini berbincang dengan Aldi tentang perjalanan dan kehidupannya berwirausaha setelah mengundurkan diri dari GoPay.

Co-CEO Gojek, Kevin Aluwi (paling kiri) bersama Aldi Haryopratomo (masker merah di kanan) di pusat vaksinasi Halodoc Jakarta. Dokumentasi oleh Halodoc

KrASIA (Kr): Bagaimana awal mula ketertarikan Anda dalam dunia fintech? Seperti apa proses menemukan ide membangun Mapan di tahun 2009, ketika fintech masih belum eksis di Indonesia?

Aldi Haryopratomo (AH): Mapan adalah perusahaan pertama yang saya dirikan, tetapi karir fintech saya dimulai ketika bergabung dengan Kiva pada tahun 2006. Kiva adalah platform pinjaman peer-to-peer yang memberikan pinjaman kepada bank keuangan mikro di seluruh dunia. Di Kiva, saya berperan dalam menemukan bank keuangan mikro di Asia Tenggara, jadi saya menghabiskan banyak waktu di daerah pedesaan di Indonesia, Vietnam, dan Kamboja. Kursus kilat saya di industri fintech terjadi kala melakukan due diligence di lebih dari 1.000 bank untuk Kiva.

Setelah Kiva, saya sempat bekerja di Boston Consulting Group, dimana saya mengunjungi banyak daerah pedesaan di penjuru India dan Pakistan. Saya sangat tertantang untuk bisa menyelesaikan lebih banyak masalah di desa, dan merasa pinjaman saja tidak cukup, jadi saya memutuskan untuk membangun Mapan untuk terus bekerja dengan para tokoh masyarakat di desa-desa di Indonesia, mempromosikan arisan versi digital, yang juga adalah sebuah bentuk keuangan mikro.

Kr: Seperti apa cerita dibalik akuisisi Gojek atas Mapan di tahun 2018?

AH: Saya dan Nadiem Makarim [co-founder Gojek] sama-sama kuliah di Harvard Business School, dia menjalani magang di Mapan pada musim panas 2010. Nadiem sangat pandai menjual, jadi dia membantu saya menyelesaikan putaran pendanaan. Saya rasa dia mendapat ide untuk Gojek sekitar waktu itu. Kami mendirikan perusahaan masing-masing tepat setelah lulus. Kami bahkan menyewa rumah dan mengubahnya menjadi kantor bersama. Menjadi pendiri startup saat itu adalah perjalanan penuh kesepian, kami kerap berkumpul untuk berbagi rasa frustrasi setiap minggunya.

Pada November 2016, salah satu pemimpin komunitas di Mapan meminta bantuan saya karena membutuhkan penghasilan tambahan. Saya berbicara dengan Nadiem, ia pun membantu menjadikannya pengemudi Gojek. Dari situ kami berkata, “Hei, bagaimana kalau kita membuat pilot project di mana para pemimpin perempuan Mapan dapat merekrut suaminya ke Gojek.” Kami melakukan proyek pertama di Yogyakarta, dan kami melihat bagaimana keluarga yang kami rekrut dapat meningkatkan pendapatan mereka.

Nadiem sangat bersemangat karena dia selalu memiliki visi besar untuk memiliki satu aplikasi untuk semua. Fintech merupakan bagian penting dari visi itu, dan dia cukup rendah hati untuk memahami bahwa dia tidak memiliki pengalaman untuk melakukannya sendiri. Mapan sudah mendapatkan lisensi P2P lending saat itu, jadi kami putuskan untuk menggabungkan keduanya.

Kr: Penyesuaian apa saya yang harus Anda lakukan selama transisi Mapan ke Gojek, sebuah divisi dengan ekosistem Gojek yang sudah memiliki jutaan pengemudi, merchant dan pengguna?

AH: Penyesuaian terbesar adalah mengintegrasikan ketiga startup, karena masing-masing perusahaan dibangun oleh pendiri yang berbeda dan memiliki kemampuan yang berbeda. Mereka juga memiliki budaya yang berbeda. Beruntung bagi kami, kami semua memiliki tim luar biasa yang sangat rendah hati dan mau belajar satu sama lain.

Perbedaan besar lainnya adalah skala dan kecepatan. Saat Anda mencoba mengubah industri dan memiliki persaingan yang ketat, Anda harus bergerak sangat cepat. Saat kami memulai GoPay, hanya ada beberapa ribu transaksi di luar layanan transportasi dan pesan-antar makanan Gojek. Kami harus mencari cara untuk menumbuhkan transaksi tersebut dengan cepat, yang berarti membuat pertaruhan dan keputusan besar, beberapa di antaranya tidak sepenuhnya kami yakini saat itu.

Kr: Apa milestone yang paling berkesan selama menjadi bagian dari GoPay?

AH: Ada tiga momen: Ketika kami memulai pada tahun 2018, kami menyadari bahwa UKM tidak dapat dengan mudah mengadopsi pembayaran digital karena mahalnya biaya mesin Electronic Data Capture. Oleh karena itu, kami percaya bahwa kontribusi kode QR sangat penting. Sementara kompetisi kami berfokus pada perangkat dan nomor telepon, kami sudah mulai beralih ke kode QR. Itu adalah hal pertama yang kami lakukan. Selama enam bulan selanjutnya, kami meningkatkan transaksi QR sebesar 1.000x dan mencapai satu juta transaksi dalam sehari pada Desember 2018.

Momen kedua adalah ketika saya bertemu dengan banyak merchant yang mengatakan bahwa Gojek dan GoPay membawa perubahan nyata dalam hidup mereka; mereka bisa membeli rumah, menyekolahkan anak-anak mereka ke perguruan tinggi, dan pergi haji ke Mekah. Hal itu sangat berharga bagi kami.

Lalu, setiap kali kami menutup putaran pendanaan dengan raksasa teknologi global, hal itu akan selalu berkesan, karena validasi dari investor global ini sangat penting bagi kami.

Kr: Anda bergabung dengan e-Fishery dan Halodoc setelah meninggalkan GoPay. Apa alasan dibalik keputusan ini?

AH: Saya bertemu Gibran [Huzaifah, CEO e-Fishery] lima tahun lalu ketika kami berpartisipasi di Forum Ekonomi Dunia sebagai pemimpin muda global dan pembangun muda global. Dia menghampiri saya dan mengatakan bahwa ingin membantu petani ikan di daerah pedesaan dengan membangun sistem pemberi pakan pintar yang dapat mendeteksi ikan saat lapar sehingga peternak ikan dapat memberi makan dengan lebih efisien. Saya terkesan karena itu adalah masalah yang sangat unik dan tidak banyak orang yang cukup peduli. Setiap bulan, kami berbicara tentang startupnya, dan GoVentures akhirnya berinvestasi di e-Fishery, sehingga persatuan kami menjadi lebih formal. Ketika saya meninggalkan GoPay, Gibran dan saya ingin bekerja lebih erat. Saat ini saya membantunya dengan strategi bisnis dan skalabilitas, serta strategi penggalangan dana.

Sementara itu, kilas balik Jonathan Sudharta [CEO Halodoc] dan saya—kami bertemu di sekolah menengah. Kami banyak berdiskusi tentang Halodoc dan misinya untuk membuat layanan kesehatan yang dapat diakses oleh semua orang. Saya juga memiliki minat dalam teknologi kesehatan. Di sekolah bisnis, saya membuat tiga rencana bisnis untuk sebuah kompetisi: startup teknologi kesehatan yang menghubungkan dokter dengan masyarakat pedesaan, perusahaan pembangkit listrik tenaga air, dan Mapan, yang memenangkan kompetisi. Gojek juga berinvestasi di Halodoc, jadi saya sudah bekerja dengan tim Halodoc untuk sementara waktu dan melihat bagaimana perusahaan itu dapat tumbuh dan mengumpulkan semua apotek berikut ribuan dokter ke dalam satu platform. Saya senang bisa menjadi bagian dari pertumbuhan ini.

Sebagai komisaris, Aldi (kiri) membantu CEO eFishery, Gibran Huzaifah (di sebelahnya) untuk mengembangkan bisnis. Dokumentasi oleh eFishery

Kr: Belum lama ini Anda juga berinvestasi di BukuWarung. Apakah ini kali pertama? Sepenting itukah bekerja dengan pengusaha lain?

AH: Saya sudah berinvestasi di sepuluh startup, termasuk BukuWarung, Crewdable, Green Spot, dan Beehive Drones. Sebagai seorang wirausahawan, pengalaman dan pelajaran Anda bisa terbatas pada perusahaan yang Anda bangun. Namun, dengan menjadi mentor bagi perusahaan lain, Anda dapat melihat apakah pengalaman dan pengetahuan industri Anda dapat bekerja di sektor lain. Saya merekomendasikan agar setiap pengusaha menjadi mentor karena ada lebih banyak pelajaran sebagai mentor daripada mentee. Misalnya, Gibran mengajari saya banyak tentang budidaya ikan, dan saya belajar tentang kesehatan dari Jonathan.

Saya percaya dengan karma yang baik, dan investasi angel adalah tentang memberi kembali. Bagian tersulit dari startup tahap awal adalah menemukan pendukung awal yang percaya pada misi Anda. Investor pertama Mapan adalah Muhammad Yunus dari Grameen Bank. Sungguh menakjubkan bahwa seseorang seperti Yunus percaya pada seseorang seperti saya, dan saya pun ingin melakukan hal yang sama untuk pengusaha lain.

Kr: Lalu, apa yang akan menjadi langkah selanjutnya? Apa yang ingin Anda lakukan ke depannya?

AH: Hal terpenting tentang cuti panjang adalah benar-benar cuti panjang. Saat ini, saya mempelajari banyak hal berbeda: bagaimana menjadi ayah yang lebih baik, mentor yang lebih baik, dan investor yang lebih baik. Saya berharap dengan mempelajari banyak hal berbeda, saya dapat menemukan masalah dalam industri yang membutuhkan bantuan saya. Saya berjiwa wirausaha dan suka membangun perusahaan dan mengembangkan tim, jadi saya akan terus melakukan yang terbaik dalam hal itu.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Arip Tirta: Teknologi Bisa Mengubah Orang dan Bisnis Secara Cepat dan Signifikan

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Silicon Valley menjadi ‘surga’nya industri startup dan Arip Tirta sempat menjajal kawasan ini selama hampir 7 tahun, menganalisis pasar untuk perusahaan pasar modal terkemuka yang berbasis di AS yang memberikan pinjaman kepada perusahaan teknologi, ilmu hayati, dan teknologi berkelanjutan.

Pada tahun 2011 ia memutuskan untuk pulang dan membangun usahanya sendiri. Ia memulai debut di bidang properti bersama UrbanIndo, sebuah layanan online yang membantu penggunanya untuk memasarkan, menjual, dan membeli properti di Indonesia. Setelah diakuisisi oleh startup proptech lain 99.co, Arip melanjutkan berjalanan bisnisnya di sektor akomodasi, Bobobox. Selain membangun usaha, dia juga aktif berinvestasi di startup, termasuk terlibat langsung dalam operasional perusahaan di beberapa startup.

Saat ini, Arip sedang fokus pada Evermos, sosial commerce pertama yang memberdayakan Usaha Kecil Menengah dan individu, dengan menghubungkan pemilik merek ke pengecer hingga konsumen akhir melalui platform. Ia memiliki semangat yang luar biasa dalam mengembangkan ekosistem UKM, juga berperan menjadi bagian dari komisaris BRI Ventures untuk membantu membangun ekosistem VC di Indonesia.

Selain pengalamannya di Silicon Valley, Arip Tirta memiliki spesialisasi di bidang modal ventura, pinjaman ventura, perusahaan ekuitas, start-up, wirausahawan, manajemen keuangan, dan model bisnis. Tim DailySocial berkesempatan untuk berdiskusi mengenai bisnis dan ekspektasi masa depan industri teknologi Indonesia.

Kapan pertama kali Anda menyadari ketertarikan pada industri teknologi?

Saya memiliki latar belakang pendidikan di bidang komputasi ilmiah. Sebuah ilmu kombinasi dari matematika terapan, statistik, dan ilmu komputer. Selama di kampus, saya selalu bermimpi untuk masuk ke Wall Street dan menjadi seorang trader. Namun, hidup tak selalu berjalan sesuai rencana. Di tahun terakhir kuliah saya, saya mendapat kesempatan wawancara dengan salah satu perusahaan modal ventura & ekuitas swasta yang berbasis di Palo Alto. Saat itu, sudut pandang saya tentang industri teknologi masih terbatas, namun, akhirnya saya diterima karena kemampuan teknis.

Perjalanan awal saya di industri teknologi adalah menjadi analis untuk perusahaan pasar modal terkemuka yang berbasis di AS yang memberikan pinjaman kepada perusahaan teknologi, ilmu hayati, dan teknologi berkelanjutan. Selama beberapa tahun pertama, saya adalah generalis sampai pada akhirnya memutuskan untuk fokus pada industri teknologi di tahun ketiga. Saat itu, semuanya mulai terasa lebih menarik. Selama hampir 7 tahun menganalisis pasar di Silicon Valley, saya memutuskan untuk pulang serta mengaplikasikan apa yang sudah saya pelajari di sana.

Pertemuan tahunan Hercules Capital tahun 2008

Setelah menghabiskan waktu cukup lama di Silicon Valley, apa yang meyakinkan Anda untuk meninggalkan kawasan itu dan pulang ke Indonesia?

Jika ada satu hal yang saya pelajari di Silicon Valley, teknologi dapat mengubah orang dan bisnis secara cepat dan signifikan. Contohnya, dalam hal pemasaran. Pada era ketika internet sangat eksklusif, orang harus mengeluarkan banyak uang untuk iklan. Saat ini, pilihan semakin banyak, banyak hal yang bisa dilakukan bahkan dengan keterbatasan finansial. Teknologi mengubah cara kerja pemasaran dan hal ini akan terus berkembang.

Pada tahun 2010, Indonesia mengalami era ledakan internet yang pertama, salah satu momen bersejarah adalah akuisisi Koprol oleh Yahoo! Saya menyaksikan pertumbuhan perusahaan teknologi Indonesia dari jauh dan cukup terkesan. Dengan beberapa pertimbangan serius, saya akhirnya mengambil keputusan besar dan meninggalkan Silicon Valley untuk berkontribusi dalam kapasitas saya dengan pengalaman saya ke pasar Indonesia.

Bagaimana pengalaman pertama Anda dalam membangun startup?

Ketika kita ingin memulai sesuatu, tidak yang namanya perfect timing. Beberapa bulan sebelum berangkat ke kampung halaman, saya sudah mengerjakan beberapa ide dan rencana bisnis, salah satunya adalah industri real estate.

Penampakan Indonesia di tahun 2010 adalah seperti wild wild west dimana infrastruktur dasar sangat terbatas. Oleh karena itu, kami [penggiat teknologi] secara kolektif berusaha mengembangkan fondasinya. Saya melakukannya di sektor properti, lalu yang lain juga melakukannya di berbagai sektor. Pada saat yang sama, kita pun perlu mengedukasi pasar. Dalam kasus ini, pasar tidak hanya mewakili pengguna akhir tetapi juga pemerintah, termasuk keluarga alias masyarakat.

Ketika menginjakkan kaki kembali di tanah air, saya sadar bahwa tidak seharusnya membandingkan kultur kerja di sini dengan yang ada di Silicon Valley. Oleh karena itu, semua saya lakukan tanpa ekspektasi tinggi, yang penting bisa berjalan lancar. Kami mendirikan UrbanIndo pada tahun 2011, layanan online yang membantu pengguna memasarkan, menjual, dan membeli properti di Indonesia.

Kegiatan akhir tahun UrbanIndo tahun 2014

Pertama, saya melihat dunia properti Indonesia kekurangan data pasar dan memutuskan untuk melakukan disrupsi agar lebih banyak orang dapat memiliki lebih banyak wawasan di sektor ini. UrbanIndo dibangun untuk menjadi situs properti terbaik di Indonesia dengan mendefinisikan ulang cara pandang masyarakat Indonesia terhadap properti. Dengan demikian, seluruh masyarakat Indonesia dapat mengambil keputusan terbaik terkait investasi properti. Kami fokus pada wawasan pasar, perubahan harga, proyeksi, undervalued property yang tersedia, dan sebagainya.

Kami melakukan segalanya dalam kapasitas kami untuk membangun platform ini, didukung oleh Gree Ventures, IMJ Fenox, East Ventures, dan angel investor terkemuka. Sebuah masa yang menyenangkan selama hampir 7 tahun membangun bisnis sampai pada akhir tahun 2017, kami akhirnya memutuskan untuk menerima unsolicited offer dari startup pencarian properti Singapura 99.co.

Diketahui aktif sebagai angel investor, Anda juga salah satu Co-Founder Bobobox serta secara langsung berkontribusi dalam operasionalnya sebagai Managing Director selama hampir satu tahun. Bagaimana Anda mengelola waktu dan kepentingan?

Ketika di UrbanIndo, saya juga menjalankan angel investing. Ada beberapa sektor yang rentan disrupsi. Dengan bobobox, saya terlibat sejak awal. Saya melihat industri travel sedang dalam puncak kejayaan. Banyak orang bepergian, sekedar untuk konten atau dengan harapan mendapat ketenangan pikiran. Lalu kami menemukan bahwa akomodasi yang memakan banyak biaya menjadi masalah besar di segmen ini. Salah satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan memaksimalkan ruang sehingga menghasilkan penawaran harga yang hemat biaya.

Bobobox didirikan pada tahun 2018, solusi akomodasi baru, muda, ramping, gesit, dan cerdas untuk semua orang. Bobobox menjadi akomodasi alternatif bagi para pelancong milenial dan smart traveler yang ingin mencoba sesuatu yang baru dan berbeda. Platform ini dibangun untuk merevolusi kebiasaan tidur dan membantu orang tidur lebih baik dan menyajikan pengalaman lebih banyak melalui teknologi.

Angel Investing di Indonesia semakin populer karena banyak pendiri startup telah exit dan individu dengan kekayaan berlimpah yang semakin tertarik untuk berinvestasi langsung di startup. Berbeda halnya dengan Silicon Valley, karena di sana sudah terjadi siklus penuh dari pendirian startup hingga exit. Sementara di Indonesia, tahun ini bisa terjadi full cycle ketika unicorn/decacorn nasional berhasil exit di bursa luar negeri.

Sebagai social commerce, Evermos fokus untuk memberdayakan UMKM dan individu pada platformnya, secara khusus brand-brand Muslim. Mengapa anda memutuskan menggunakan pendekatan seperti ini?

Kilas balik ke Silicon Valley, dulu saya sempat berpikir untuk memulai usaha di ranah e-commerce. Di setiap daerah, sektor yang biasanya lebih dulu take off adalah e-commerce, juga yang pertama menjadi unicorn. Namun, ketika saya melihat situasi di Indonesia saat itu, sudah ada beberapa pemain papan atas dan jika harus menambahkan, tidak akan ada perbedaan yang signifikan dalam hal value proposition.

Melaju ke 2018, saya melihat ada banyak pain points di industri ritel. Ada banyak perantara yang dibutuhkan untuk menyelesaikan siklus dari pemilik merek hingga pengguna akhir. Dan saya berpikir, bagaimana mendisrupsi pasar ritel ini? Bertahun-tahun telah berlalu sejak e-commerce berkembang di seluruh Indonesia, tetapi persentase pembelian online masih terhitung tidak cukup besar. Ada beberapa alasan, salah satunya adalah manusia sebagai makhluk sosial dan budaya.

Saat itu, perdagangan sosial belum menjadi sesuatu. Bahkan, kami juga berusaha membawa dampak positif e-commerce ke pasar yang lebih besar. Didirikan pada November 2018, Evermos menjadi social commerce pertama yang memberdayakan Usaha Kecil Menengah dan individu, dengan menghubungkan pemilik merek ke pengecer hingga konsumen akhir melalui platform kami.

Kami ingin menciptakan ekonomi dan kesejahteraan yang inklusif dengan memberikan akses, kesempatan, dan pelatihan bagi individu dan UKM untuk lebih mandiri secara finansial.

Indonesia adalah negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, oleh karena itu, kami memutuskan menjadi platform yang berbasis syariah. Namun, ini tidak eksklusif dan terbuka untuk semua jenis pedagang terlepas dari basis syariah tersebut. Pendekatan ini semata-mata demi membuat platform lebih inklusif.

Saya memutuskan fokus dengan UKM karena industri ini telah menyumbang 60% dari PDB kita dan menyerap sekitar 97% tenaga kerja domestik. Belum dihitung dengan pekerja unskilled. Evermos dianggap mengambil jalan yang sulit, jauh lebih mudah menjangkau merek global dengan pola pikir yang berkembang dan teknologi yang canggih. Namun, kami mempertanyakan diri sendiri, dampak seperti apa yang ingin diberikan, apakah itu menghasilkan keuntungan jangka pendek atau keuntungan jangka panjang. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk fokus pada merek lokal yang dapat memberikan dampak bagi perekonomian bangsa.

Kami percaya sekelompok orang atau UKM yang bekerja sama dengan platform dan insentif yang tepat, dapat mencapai sesuatu yang substansial. Itulah mengapa kami menaruh kepercayaan pada social commerce, karena ini adalah ekonomi kerakyatan, di mana kami dapat menjadi jembatan bagi UKM di tahap awal. Dengan Evermos, mereka dapat fokus pada produksi untuk menciptakan harga yang kompetitif dengan pemain global. Saluran penjualan kami tersebar di seluruh Indonesia, sehingga merek lokal otomatis akan memiliki jangkauan nasional. Inilah yang menjadi proposisi nilai kami.

Ketakutan terbesar saya dari sisi startup teknologi atau UKM adalah negara kita menjadi konsumen tunggal. Kita harus bisa membangun nilai, bukan menjadi pedagang tunggal. Perekonomian Indonesia harus memiliki dampak positif, itu adalah bagian penting dari bangsa ini.

Perjalanan pitching pertama Evermos di 2018

Anda telah mengarungi sektor properti, akomodasi, lalu social commerce. Apa yang menjadi tantangan terbesar atau pelajaran berharga dari semua pengalaman tersebut?

Setiap industri memiliki masalah yang berbeda. Sebenarnya, ada beberapa masalah serupa yang harus kita waspadai dan tingkatkan secara kolektif. Di Indonesia, beberapa startup biasanya mengalami kesulitan dalam monetisasi. Kesalahan kami sebelumnya adalah memikirkan pangsa pasar dan menjadi yang terdepan lebih dulu, lalu memikirkan tentang monetisasi. Strategi ini telah terbukti di banyak negara. Nyatanya, Indonesia adalah bangsa yang unik, banyak orang berpendapat solusi internet seharusnya gratis. Strategi seperti ini mungkin berhasil di negara lain tetapi di Indonesia adalah sebuah peruntungan.

Kedua, sumber daya manusia. Hingga saat ini, Indonesia masih mengalami krisis karena kurangnya pekerja di lapisan tengah. Dari sisi suplai, talenta masih cukup langka, terutama yang berlatar belakang teknologi. Saya pikir kedua masalah ini terjadi di hampir semua sektor.

Berpengalaman sebagai venture capitalist serta venture builder, bagaimana Anda melihat iklim investasi di Indonesia serta proyeksi pertumbuhan industri teknologi Indonesia beberapa tahun terakhir?

Seperti yang saya katakan sebelumnya, Indonesia belum pernah menciptakan satu siklus penuh dalam hal investasi ventura. Mulai dari investasi hingga panen. Tahun ini akan menjadi tahun validasi bagi unicorn/decacorn yang sudah memiliki rencana IPO. Semoga exit tersebut juga bisa menjembatani startup lain untuk kegiatan M&A. Indonesia sudah menjadi pasar yang sangat menarik, ini adalah cara kita untuk memicu lebih banyak kisah sukses yang berdampak pada seluruh ekosistem.

Di era pandemi, banyak orang mencari modal, sementara VC semakin selektif dengan investasinya. Melalui dua perspective, bagaimana menurut Anda sebuah bisnis layak mendapat investasi serta apa value utama yang dicari investor dari sebuah bisnis/seorang founder?

Pandemi ini adalah sebuah anomali dan yang menjadi reaksi pertama adalah menunggu dan mengamati. Seiring berjalannya waktu, investor semakin beradaptasi dan menyesuaikan dengan kondisi saat ini, melihat beberapa perusahaan dapat melewatinya dengan pertumbuhan yang sehat. Lagipula, ada sejumlah uang yang harus dikucurkan ke perusahaan. Ketika masa menunggu dan mengamati berlalu, para investor mulai masuk secara selektif.

Saat ini, banyak startup yang juga sedang menggalang dana, dan situasinya diharapkan semakin membaik. Mengenai penilaian VC, itu sangat tergantung pada pasar dan pengalaman pribadi. Ada kalanya pertumbuhan menjadi hal yang mendasar,  dewasa ini, bukan lagi perihal pertumbuhan dengan cara apapun, tetapi pertumbuhan yang sehat.

Sebagai salah satu komisaris di BRI Ventures, saya pribadi memiliki dua hal. Pertama, perusahaan ingin membangun ekosistem VC di Indonesia. Karena banyak VC membangun kantor di negara ini, uangnya tidak tinggal di sini. Hal ini adalah tentang bagaimana membuat VC dan uangnya bisa tinggal untuk membangun ekosistem. Kedua, BRI sebagai bank yang fokus pada UKM sangat selaras dengan passion saya terhadap UKM.

Para direktur dan komisaris BRI Ventures di 2020

Sebagai salah seorang yang layak disebut seasoned entrepreneur, apa hal yang dapat Anda sampaikan untuk para penggiat teknologi yang saat ini sedang berjuang membangun bisnis di era pandemi?

Untuk membuat startup teknologi, diperlukan pola pikir tertentu serta tidak menunggu waktu yang tepat. Selalu pikirkan jalan keluar terbaik dari situasi apa pun. Bagaimana kita bisa membuat kartu yang jelek bisa bekerja. Faktanya, ketika kita memutuskan untuk membangun usaha, tantangan adalah sesuatu yang sudah diantisipasi. Jika Anda harus menunggu waktu yang tepat, bagaimana Anda bisa menghadapi lebih banyak tantangan di depan.

Saya pribadi suka tangan saya kotor, itulah mengapa saya selalu terlibat di level operasional. Namun, saya mengerti bahwa inilah saatnya bagi kaum muda untuk berkembang. Saat ini saya sedang memfokuskan energi saya untuk membimbing dan sudah waktunya untuk menyerahkan tongkat estafet ini. Kita hidup di masa yang sangat menyenangkan. Sekitar 400 tahun yang lalu, hampir tidak mungkin menciptakan dampak besar dalam waktu sesingkat itu. Teknologi menciptakan kesempatan yang sama dan menarik kesenjangan lebih dekat bagi orang-orang untuk menciptakan dampak yang besar.


Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Arip Tirta has specialties in venture capital, venture lending, private equity, start-ups, entrepreneurs, financial structuring and business models

Arip Tirta: Technology Can Change People and Business in a Fast and Significant Way

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

Silicon Valley is the paradise of the startup industry and Arip Tirta spent nearly 7 years analyzing the market for the US-based leading capital market company that lends to technology, life sciences, and sustainable technology companies. He has specialties in venture capital, venture lending, private equity, start-ups, entrepreneurs, financial structuring, and business models.

In 2011 he decided to come home and built his own venture. His startup debut is in the property sector, with UrbanIndo, an online service that helps its users to market, sell, and buy property in Indonesia. After being acquired by another proptech startup 99.co, Arip moved to the next venture in the accommodation sector, Bobobox. Aside from building a venture, he also actively invest in startups, he also directly involved in some of the startups.

Arip’s current focus now lies in Evermos, the first social commerce to empower Small Medium Enterprises and individuals, by connecting brand owners to resellers to end consumers through the platform. He’s currently very passionate about cultivating the SME ecosystem, also become a part of BRI Ventures’ commissioner to help to build the VC ecosystem in Indonesia.

Aside from his experience in Silicon Valley, Arip Tirta has specialties in venture capital, venture lending, private equity, start-ups, entrepreneurs, financial structuring, and business models. DailySocial team has an opportunity to discuss his venture and future expectations of the Indonesian tech industry.

When was the first time you realize that you’re in the tech industry?

I have an educational background in scientific computing. It’s a combination of applied math, statistics, and computer science. During my campus life, I always dreaming about making it into Wall Street and become a trader. Then, life got in the way. In my last year of college, I got an interview with one of the venture capital & private equity-based in Palo Alto. My viewpoint of the tech industry was limited at that time, however, I managed to pass the interview with my technical skill.

My first attempt in the tech industry was being an analyst for the US-based leading capital market company that lends to technology, life sciences, and sustainable technology companies. During my first few years, I was being a generalist until I decided to focus on the tech industry in my third year. I think that was when it all started to become more interesting. I spent 7 years analyzing the market in Silicon Valley and leaving with the finest seeds to plant in the home country.

Hercules Capital annual meeting circa 2008

You’ve had the time of your life in Silicon Valley, what makes you leave the “it” city and decided to come home?

If there is one thing I’ve learned in Silicon Valley, technology can change people and business in a fast and significant way. In terms of marketing, back in the day when the internet is very exclusive, people have to pay loads of money for ads. Nowadays, when there are options, everything is made possible even with just a little money. Technology is changing the way marketing works and still counting.

In 2010, Indonesia was having its first internet boom, one of the historical moments was Koprol’s acquisition by Yahoo! I was watching Indonesian tech companies’ growth from afar and quite impressed. With some serious considerations, I finally pull the trigger and leave Silicon Valley to contribute more in my capacity with my experience to the Indonesian market.

How was your first experience building a startup?

When we want to start anything, there is no such thing as perfect timing. Few months before leaving for my hometown, I’ve already worked on some ideas and business plans, one of which is the real estate industry.

Indonesia circa 2010 is like a wild wild west where basic infrastructure is very limited. Therefore, we [tech enthusiasts] collectively trying to develop the foundation. I did it in the property sector, there are others in different sectors. At the same time, we need to educate the market. Market in this sense not only stands for end-users but also the government, including families a.k.a societies.

When I set my foot back in this archipelago, I’m aware that I shall not compare how things work in here with the way things are in Silicon Valley. Therefore, I did it all without high expectation, just try to make it work. We founded UrbanIndo, an online service that helps users market, sell, and buy property in Indonesia in 2011.

UrbanIndo year-end event circa 2014

First, I see the Indonesian property lacks market data and decided to disrupt this industry for more people can have more insights on this sector. UrbanIndo was build to become the best property site in Indonesia by redefining the way Indonesians looking at properties. Therefore, all Indonesian people can make the best decision regarding investment in property. We’re focused on market insights, changing prices, projections, available undervalued property, and so on.

We did everything in our capacity to build this platform, it was backed by Gree Ventures, IMJ Fenox, East Ventures, and prominent angels. It was an exciting nearly-7-years time of making business work until in late 2017, we finally decided to accept an unsolicited offer from Singapore’s property search startup 99.co.

It is said that you are also an active angel investor. With Bobobox, you become the Co-Founder and directly contribute to managing day-to-day operations as Managing Director for almost a year. How did you manage?

While I was working with UrbanIndo, I also did some angel investing. There are several sectors that are worth disrupting. With bobobox, I was involved since the beginning. I see the travel industry is at its peak. Many people are traveling a lot, despite for content or just for peace of mind. We then found out that accommodation becomes a big cost-related issue in this segment. One of the ways to solve this problem is to maximize space resulting in cost-effective price.

Bobobox was founded in 2018, a new, young, sleek, nimble, and smart accommodation solution for everyone. Bobobox becomes the alternative accommodation for millennial adventurers and smart travelers who crave something new and refreshing. The platform was built to revolutionize sleeping habits and help people sleep better and experience more through technology.

Angel investing in Indonesia is getting popular as many startup founders have exited with high net worth individuals growing interested to invest directly in startups. In Silicon Valley, it’s different indeed as they have passed some full cycle from startup founding to exit. Meanwhile in Indonesia, it’ll make its full cycle this year when the nation’s unicorn/decacorn succeeded to exit in the overseas stock exchange.

As social commerce, Evermos focuses to empower SMEs and individuals on its platform, especially Muslim brands. Why do you take this approach?

Throwback to Silicon Valley, I used to think I would start my venture with e-commerce. In every region, the sector that is usually taking off first is e-commerce, the first one to make it into a unicorn. However, when I examine the current situation in Indonesia, there are already some leading players and if I added one more, there will not be a significant difference in terms of a value proposition.

Fast forward to 2018, I see the there are lots of pain points in our retail industry. It requires many middlemen to complete the cycle from brand owners to end-users. And I think to myself, how to disrupt this retail market? Years have passed since e-commerce expanding all around Indonesia, but the percentage of online purchasing is considered not big enough. There are several reasons, including people as a social being and culture.

Back then, social commerce is yet to be a thing. In fact, we also tried to bring the positive impact of e-commerce to a bigger market. Founded in November 2018, Evermos is the first social commerce to empower Small Medium Enterprises and individuals, by connecting brand owners to resellers to end consumers via our platform.

We want to create inclusive economy and prosperity by giving access, opportunity and training for individuals and SMEs to become more financially independent.

Indonesia is a country with the largest Muslim population in the world, therefore, we decided our platform be sharia compliance. However, it is not exclusive and it’s open for all kinds of merchants regardless of the sharia compliance. The approach is to make the platform more inclusive.

SME becomes one of my focus since it contributes to 60% of our GDP and absorbs around 97% of domestic employment. Try counting the unskilled workers, too. Evermos is considered to take the hard road as it is easier to deal with global brands with a growth mindset and sophisticated technology. However, we did questioning ourselves about the impact we want to create, is it to make a short term gain or long term gain. Thus, we decided to focus on local brands that can create an impact on the nation’s economy.

We believe whether the group of people or SMEs work together with the right platform and incentives, we can achieve something substantial. That is why we put our trust in social commerce because this is people’s economy, where we can be the bridge for SMEs in the early stage. With Evermos, they can focus on production to create a competitive price with global players. Our sales channels are distributed throughout Indonesia, therefore, the local brands automatically become national companies. This has become our value proposition.

My biggest fear in terms of tech startups or SME is that our country became a sole consumer. We have to be able to build the value, instead being a sole trader. Indonesian economy should have the positive impact, it’s an essential part of this nation.

Evermos first pitch to investor trip circa 2018

You’ve been venturing in the property sector, accommodation, and now the social commerce, Evermos. What is the biggest challenge or the lesson learned from all your experiences?

Every industry holds different issues. In fact, there are some similar concerns we should be aware of and collectively improve. In Indonesia, some startups are usually having difficulty with monetization. Our previous blunder was thinking of market share first and being the leading one, then we can turn on monetization. This strategy has proven in many countries. After all, Indonesia is indeed a unique nation that some people are not willing to pay a certain amount for an internet solution. It might work in other country but it’s a leap of faith in Indonesia.

Second, it’s the human resources. To date, Indonesia still experiences a crisis due to the lack of a middle layer. In terms of supply, talent is still quite rare, especially in a tech background. I think both issues are happening in almost every sector.

You’ve had experience as a venture capitalist and venture builder, what do you think of Indonesia’s investment climate, and how do you see the Indonesian tech industry’s growth for the past few years?

As I said previously, Indonesia is yet to create one full cycle in terms of venture investment. From investing to harvesting. This year will be the year of validation for the unicorn/decacorn which already have plans for IPO. Hopefully, the exit can also bridge other startups for M&A activities. Indonesia is already a very attractive market, it’s how we trigger more success stories to impact the whole ecosystem.

In this time of the pandemic, people are looking for capital everywhere, and VCs have been tight and selective with their investment. Using both perspectives, what do you think a business can do to get funding and what kind of value most investors are seeking for in a founder/business.

The pandemic is an anomaly and people’s first reaction is to wait and see. In time, investors are getting adapt and adjust to the current condition seeing some companies can make it through with healthy growth. Also, there’s a certain amount of money to be planted to companies. When the wait-and-see season is finally passed, they started to chip in selectively.

There are also lots of startups fundraising at this moment, hopefully, the situation gets better. Regarding VC’s assessment, it’s really depend on the market and personal experience. There are times when growth becomes the fundamental, today, it’s not really about growing at any cost, but growing in a healthy way.

As one of the commissioners in BRI Ventures, I personally have two things. First, the company wants to build VC ecosystem in Indonesia. As many VCs build offices in this country, the money did not stay here. It’s about how to make VCs and its money can stay to generate the ecosystem. Second, BRI as an SME-focused bank is very aligned with my passion for SMEs.

BRI Ventures directors and commissioners circa 2020

As a seasoned entrepreneur, do you have anything to say to those tech enthusiasts who tried to start something in this time of pandemic?

In order to create tech startup, it requires certain mindset and no perfect timing. Always think of the best way out of any situation. How can we make an unfortunate card works. In fact, when we decided to venture, challenge is something expected. If you have to wait for the perfect timing, how can you face the more challenges ahead.

I personally like my hands dirty, that’s why I involved in the operation level. However, I understand that this is the time for young people to blossom. I’m currently focusing my energy to mentor and it’s already time to pass the baton. We live in a very exciting time. About 400 years ago, it’s almost impossible to create big impact in such short time. Technology creates equal opportunity and pulling the gap closer for people to create a big impact.

Turochas "T" Fuad dalam perjalanannya dari bekerja di perusahaan teknologi raksasa lalu mendirikan salah satunya hingga tiga kali "exit"

Turochas “T” Fuad Tentang Strategi “Exit”: Kecepatan dan Eksekusi adalah Segalanya

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Memulai petualangan baru sepertinya tidak pernah membuat saya bosan. Kesibukan, kelelahan, kecemasan, kegembiraan, semuanya bercampur. Tidak pernah sama, namun terasa sangat familiar.

Tulis Turochas “T” Fuad dalam paragraf pembuka mengenai bisnis teranyar, Pace.

Sebuah penjelasan yang singkat namun menyeluruh tentang kehidupan seorang serial entrepreneur, setidaknya untuk Turochas Fuad, atau lebih akrab dipanggil T. Lahir di Indonesia dan sempat belajar bahasa Inggris di Singapura, ia memutuskan untuk mengejar gelar Sistem Informasi Manajemen jauh-jauh ke Amerika di The University of Texas, Austin. Namun hal ini menjadi awal dari ketertarikannya yang besar pada teknologi.

Mulai dari berdirinya usaha pertama yang akhirnya diakuisisi oleh raksasa teknologi asal Amerika, Yahoo!; lalu mendirikan usaha ikonik travelmob, yang kemudian diakuisisi oleh Homeaway pada tahun 2013 seharga $11,5 juta; kemudian kisah raksasa coworking WeWork yang mengakuisisi Spacemob buatannya untuk meningkatkan ekspansi dan pertumbuhan di Asia Tenggara.

Tim DailySocial berkesempatan mendapat sesi wawancara tentang perjalanan bisnisnya sebagai pengusaha veteran dan visi menuju masa depan yang lebih baik di industri teknologi.

Mulai dari bisnis teranyar. Sebelum Pace, bukankah Anda belum pernah benar-benar terjun ke dunia fintech? Apa yang membuat Anda tertarik untuk memulai hal ini?

Hal yang paling menggairahkan bagi saya perkara memulai bisnis baru adalah kemungkinan untuk menciptakan dampak positif pada individu dalam skala besar. Dari perusahaan pertama saya hingga startup terakhir saya, Spacemob, ini selalu menjadi kekuatan pendorong di balik apa yang saya lakukan dan terus berlanjut, bahkan sekarang dengan sektor Fintech.

Terkhusus Pace, peluang untuk menciptakan inklusi keuangan di seluruh Asia adalah peluang yang terlalu sulit untuk ditolak. Lanskap keuangan tetap terfragmentasi, dengan ruang para pemegang jabatan untuk disrupsi dalam semua segmen, terlepas dari pembayaran. Misi kami adalah menyediakan inklusi keuangan dengan membangun mesin perbankan yang dapat beroperasi di banyak negara dengan mudah – yang membantu pedagang menciptakan efisiensi penjualan, dan memberi konsumen pilihan untuk berbelanja secara berkelanjutan.

pace 2

Menyelesaikan sarjana di Amerika dan sempat bekerja sebentar di sana, mengapa Anda memutuskan untuk berkarya di Singapura? [Mengingat Anda lahir di Indonesia]

Singapura, sebagai pusat bisnis utama di Asia, merupakan cara saya untuk membangun karier yang dapat memberi eksposur internasional juga jaringan kontak global dapat dibangun seiring waktu. Berada di sekitar orang yang tepat membantu Anda berpikir secara makro, dan saya cukup beruntung mendapatkan perspektif dari banyak orang berbakat di sini. Sejujurnya, selama di Singapura, saya juga mengembangkan bisnis di seluruh Asia Utara dan Asia Tenggara.

Meski begitu, hati saya masih tertaut dengan Indonesia, dan dengan kecepatan pertumbuhan serta populasi yang besar ini, setiap startup yang tidak menempatkan Indonesia dalam rencana ekspansinya kehilangan potensi untuk menciptakan dampak positif yang besar. Lagipula, sulit untuk mengabaikan negara terbesar keempat di dunia ini, bukan?

Anda pernah menikmati masa bekerja di perusahaan teknologi raksasa seperti Yahoo! dan Skype. Bagaimana pengalaman itu membentuk pribadi serta apa yang akhirnya mendorong Anda untuk memulai sebuah bisnis?

Jika ditanya, pengalaman ini menunjukkan kepada saya betapa pentingnya budaya bagi kesuksesan perusahaan mana pun. Saya merasa senang bekerja dengan orang-orang dari seluruh dunia, dan saya telah melihat bagaimana yang paling sukses dari mereka yang telah lebih dulu sukses, belajar untuk selalu menjadi orang yang pertama bahkan dalam situasi yang paling sulit. Bagi saya, itu adalah budaya yang hebat.

Hal lain yang sangat lazim di perusahaan-perusahaan ini adalah kecepatan eksekusi mereka. Anda dapat memiliki rencana paling brilian di dunia, tetapi jika menyangkut sebuah masalah, bagian tersulit adalah bagaimana caranya bisa mengiterasi dan mengeksekusi secepat mungkin, sembari mempertahankan kualitas produk atau layanan Anda. Terutama ketika beroperasi di ruang yang penuh disrupsi, Anda akan menghadapi rentetan tantangan; tetap fokus pada eksekusi dalam masa-masa sulit, menjadi sangat penting untuk bisa sukses.

Dalam perjalanan menuju “exit”, apakah Anda punya pertimbangan atau target spesifik sebelum memutuskan untuk menjual perusahaan?

Pengusaha hebat tidak pernah memulai sebuah perusahaan untuk dijual, karena tanpa memiliki keyakinan misi yang berfokus pada terciptanya perubahan, perusahaan sering kali goyah di bawah tekanan, dan akhirnya hancur.

Ketika harus mengevaluasi perjalanan exit sebelumnya, pertanyaan yang selalu saya tanyakan pada diri saya adalah, “Apakah akuisisi ini akan meningkatkan visi perusahaan kita?”. Jika ada keraguan barang sedikit pun, maka akan sangat mudah untuk menolak keputusan tersebut dengan besar hati.

Contoh yang baik adalah akuisisi Spacemob lima tahun lalu. Kami mulai membangun ruang kerja kolaboratif di seluruh Asia Tenggara dan membantu orang-orang mewujudkan visi mereka, lalu dengan akuisisi oleh WeWork kami semakin yakin bisa melakukannya. Tim inti Spacemob tetap bersama, memperluas bisnis ke sepersekian banyak ruang di enam negara di Asia Tenggara, dan menyampaikan misi yang ingin kami capai.

Anda sendiri telah mendirikan dan menjual tiga startup sejauh ini, apa saja pelajaran berharga yang bisa Anda petik dari masing-masing pengalaman?

Banyak yang berucap bahwa kecepatan & eksekusi adalah segalanya, dan melalui berbagai pengalaman di situasi sebelumnya, saya belajar bahwa hal itu sangat nyata. Itu, lalu memastikan Anda memiliki tim hebat yang terdiri dari orang-orang yang bersedia berkomitmen untuk mengerjakan sesuatu. Jika Anda melakukan beberapa hal ini dengan cukup baik, tidak ada alasan mengapa Anda tidak berhasil.

Apakah Anda memiliki sosok atau figur spesial yang menjadi inspirasi hingga bisa menjadi seperti saat ini?

Meski terdengar klise, ayah adalah sosok yang jadi inspirasi saya. Tumbuh di Medan, saya melihat dia bekerja keras di bisnis kecilnya sendiri, yang masih dia jalankan sampai sekarang. Meskipun saya dan saudara laki-laki saya cukup beruntung dapat bersekolah di AS, itu tidak mudah baginya. Keseharian hingga larut malam dan akhir pekan yang tidak terasa, ia membuat pengorbanan pribadi untuk memastikan kami mendapatkan yang terbaik yang dia bisa berikan. Kekuatan dan komitmen untuk bekerja keras dan tetap fokus pada kesibukan sehari-hari adalah sesuatu yang membuat saya terus maju setiap hari.

Ketika pandemi Covid-19 belum akan berakhir, bagaimana Anda melihat perkembangan industri teknologi di Asia Tenggara?

Singkatnya, cerah dan sangat menjanjikan! Asia Tenggara telah menghasilkan talenta teknologi hebat dalam beberapa tahun terakhir dan perusahaan sekarang memiliki lebih banyak pilihan daripada sebelumnya, dalam usaha membentuk tim. Kami juga melihat ekspansi besar ke wilayah ini baik dari perusahaan Amerika seperti Amazon dan perusahaan China seperti Bytedance, yang memvalidasi kualitas orang di industri dan skala peluang bisnis di Asia Tenggara.

Lebih spesifik untuk negara yang berbeda, saya pikir Singapura akan terus menjadi pusat bisnis untuk kawasan ini dan tempat pendaratan pertama bagi perusahaan yang ingin berekspansi ke Asia Tenggara secara keseluruhan. Namun, begitu operasi telah ditetapkan, perusahaan segera melihat ke arah Indonesia sebagai sumber utama pertumbuhan jangka panjang, dan yang terbaik adalah mereka bergerak cepat untuk mendapatkan pangsa pasar di sana.

Fintech juga dengan cepat menjadi andalan di wilayah ini, dengan perusahaan-perusahaan mendapatkan putaran pendanaan baru bahkan selama masa ekonomi yang tidak menentu. Ditambah dengan healthtech, kedua kategori ini adalah yang harus diperhatikan dalam hal pertumbuhan dan inovasi.

Dengan beragam pengalaman di dunia bisnis, adakah hal lain yang masih menjadi mimpi Anda? Mungkin cita-cita yang belum tercapai?

Bersama setiap startup, saya terus berkata pada diri sendiri bahwa ini akan menjadi yang terakhir bagi saya. Lalu, segera setelah itu, saya menemukan diri saya memulai perusahaan lain. Dalam beberapa hal, saya merasa ini adalah sebuah panggilan hidup dan saya bersyukur dapat terus membangun bisnis karena ini adalah hak istimewa yang tidak didapat semua orang.

Dalam hal tujuan, saya harus mengatakan bahwa dengan melihat putri saya tumbuh dan bisa bersama mereka di setiap langkah, akan menjadi pencapaian paling berharga yang akan saya dapatkan dalam hidup. Keluarga memberi saya kebahagiaan terbesar, dan melihat mereka masing-masing berhasil dengan caranya sendiri adalah tujuan yang patut diperjuangkan.

Apa yang ingin Anda sampaikan kepada para penggiat teknologi di luar sana yang ingin menciptakan sebuah solusi namun harus terhalang oleh pandemi?

Menurut saya tidak pernah ada waktu yang tepat untuk memulai bisnis. Selalu ada alasan untuk tidak melakukannya, dan Anda hanya perlu terus mencari solusi untuk setiap rintangan yang mungkin Anda hadapi. Entah itu sesederhana tidak punya cukup waktu, atau sesulit mencoba mencari pendanaan untuk memulai bisnis Anda, akan selalu ada solusi jika Anda bekerja dengan cukup keras. Tetapi dengan kemauan yang cukup untuk melakukannya, ditambah dengan kemauan untuk meluangkan waktu dan usaha, tidak ada alasan untuk Anda tidak bisa sukses. Dan ketika Anda sudah berhasil, ingatlah untuk menemukan jalan untuk bisa membayarnya.


Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

J.P. Ellis menceritakan perjalanannya menjalankan bisnis di Indonesia. Kewirausahaan tidak pernah mudah di negara mana pun, terutama bila bukan penduduk asli

Perjalanan Berliku J.P. Ellis Membangun Bisnis Sebagai Penduduk Asing di Indonesia

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

John Patrick Ellis, yang akrab disapa J.P., adalah pengusaha teknologi dan keuangan yang telah berbasis di Indonesia selama 15 tahun terakhir. Lahir di Amerika Serikat lalu tumbuh besar di Asia dan Eropa, ia pertama kali datang ke Indonesia untuk bekerja di bidang pembangunan (NGO) pada tahun 2005 dan tetap di sini hingga saat ini sebagai pendiri startup fintech.

Perjalanan karir J. P. penuh dengan pilihan dan kebetulan yang tidak terduga. Berawal dari industri hukum New York hingga pendidikan dan pelayanan kesehatan masyarakat di Flores, berperan dalam asosiasi di firma ekuitas swasta regional, meluncurkan aplikasi pesan berbasis lokasi yang dimulai pada tahun 2012, hingga terlibat dalam pendirian Asosiasi Fintech Indonesia dan mendirikan sebuah perusahaan fintech regional yang terbilang sukses.

Dengan latar belakang ilmu politik, hubungan internasional, dan bahasa, J. P. memiliki pengalaman luas dalam kewirausahaan, teknologi, dan perencanaan. Dalam perannya saat ini sebagai CEO grup C88 Financial Technologies, ia mengawasi bisnis fintech yang beragam dalam pengambilan keputusan kredit, analisis keuangan, penilaian kredit, dan ruang peminjaman pasar dengan lebih dari 400 karyawan di Indonesia, Filipina, Singapura, Thailand, Australia dan Cina. Tim DailySocial berkesempatan untuk berdiskusi J. P. terkait perjalanannya, mengapa Indonesia, mengapa fintech dan bagaimana rasanya mencoba dan berhasil sebagai imigran non-pribumi. Setengah dari diskusi kami terjadi dalam bahasa Inggris, dan dilanjutkan dengan bahasa Indonesia yang sangat baik, di mana J.P. berekspresi cukup fasih tetapi dengan sedikit aksen.

Ketika masih muda, pernahkah terpikir oleh Anda untuk memulai bisnis atau menjadi seorang CEO?

Saya lahir di Amerika Serikat tetapi saya menghabiskan masa kecil saya dengan berpindah-pindah setiap beberapa tahun di Asia dan Eropa. Pengalaman berpindah-pindah ini mendefinisikan masa muda saya, dan menjadikan saya orang yang mudah beradaptasi, tangguh, dan berpikiran terbuka.

Sewaktu kecil, impian saya adalah menjadi perenang profesional. Saya berlatih keras dan hasilnya cukup baik dalam kompetisi. Tetapi sekitar usia 16 tahun, saya menyadari kemampuan saya belum bisa mencapai level Olimpiade. Kemudian, saya mengurangi fokus pada olahraga lalu beralih lebih kepada sekolah dan belajar. Tetapi etos kerja yang kuat dari pelatihan renang tetap melekat pada saya, dan telah sangat membantu saya selama bertahun-tahun.

Sejak usia muda, saya selalu suka memikirkan cara memecahkan masalah, tetapi baru di umur ke sekian saya menyadari bahwa hal itu dapat diwujudkan sebagai pendiri. Banyak hal yang saya lakukan sebelum mencapai titik itu, tetapi benang merah karir saya fokus pada pemecahan masalah.

Anda memiliki latar belakang pendidikan di bidang ilmu politik dan hubungan internasional, apa yang sesungguhnya menjadi passion Anda dan bagaimana keduanya bisa berjalan seiring?

Saya gemar memecahkan masalah dan mempertanyakan bagaimana dunia bekerja. Mungkin hal inilah yang benar-benar mendorong dan mendefinisikan saya. Di Indonesia, dan di seluruh dunia, banyak sekali masalah yang harus diselesaikan, hal itu menciptakan peluang bisnis. Memang tidak semuanya, namun kebanyakan. Banyak perusahaan raksasa dunia berawal dari sini.

Saya lulus dari Universitas Columbia. Lulusan seperti saya biasanya akan melanjutkan gelar Juris Doctor dari sekolah hukum. Kebanyaan teman sudah melakukan ini dan saya berniat melakukannya juga. Setelah lulus, saya bekerja di industri hukum New York di bidang penyelesaian sengketa. Hal itu sangat menarik dan pekerjaan berjalan sangat lancar, tetapi saya hanya duduk di meja sepanjang hari. Ada sedikit rasa hampa. Kemudian, saya melamar beberapa program untuk pekerjaan pembangunan (NGO) dunia. Saya menerima banyak tawaran termasuk satu dari Princeton-in-Asia, tetapi tawaran yang paling menarik adalah dari program afiliasi Universitas Stanford bernama ViA untuk bergabung dengan sebuah proyek di Flores, pedesaan timur Indonesia.

Saat itu, segala sesuatu di Flores sangat terbatas. Tidak ada listrik, tidak ada sinyal, dan tidak ada air ledeng. Kami harus berjalan melewati hutan untuk sampai ke desa-desa. Mungkin karena ini, tempat itu menjadi penuh dengan kehangatan dan komunitas yang luar biasa. Saya berinteraksi dengan orang Tado, belajar bahasa Manggarai, dan membantu mewujudkan beberapa inisiatif baik di bidang pendidikan dan kesehatan masyarakat untuk masyarakat desa, bekerja dengan guru dan Puskesmas mereka. Itu adalah pengalaman yang sangat memuaskan tetapi juga membuka mata saya.

J.P. Ellis with the district head and ethnic leaders At Rumah Tua Golo Beo Tado, Manggarai Barat, Flores, NTT in 2015
J.P. Ellis bersama Bupati dan Tokoh Etnis di Rumah Tua Golo Beo Tado, Manggarai Barat, Flores, NTT pada tahun 2005

Setelah itu, saya bekerja dengan pengusaha sukses, John dan Cynthia Hardy, yang menjual perusahaan perhiasan internasional mereka kepada perusahaan ekuitas swasta. Setelah penjualan, John dan Cynthia kemudian meminta saya untuk membantu mereka mengubah sebidang tanah kosong di Sibang Kaja, selatan Ubud, menjadi Sekolah Hijau; sebagai karyawan pertama di sana. John dan Cynthia sangat karismatik dan sangat inovatif. Sungguh menyenangkan dikelilingi antusiasme dan energi positif setiap hari. Melalui mereka, saya bertemu dengan istri saya Agatha yang juga bekerja di sana. Saat ini kami telah menikah selama hampir 13 tahun dan memiliki dua anak.

Saya kemudian mendapat kesempatan untuk bergabung dengan firma ekuitas swasta regional di Singapura dan Jakarta yang didirikan oleh Tom Lembong. Itu disebut Quvat Capital dan Principia Management. Saya belajar banyak dari Tom dan sangat menikmati bekerja untuknya, Brata, dan tim. Saya menghabiskan lebih dari empat tahun di sana dan melakukan banyak proyek yang bervariasi termasuk due-diligence perusahaan, pengadaan dan eksekusi kesepakatan, penggalangan dana, relasi investor, penelitian, restrukturisasi situasi khusus, dan bahkan perdagangan.

Sepanjang waktu ini, saya sangat menikmati berada di sekitar orang-orang pintar dan bekerja langsung dengan perusahaan dalam lingkungan yang dinamis dan bergerak cepat. Meskipun Jakarta adalah kota besar dalam banyak hal, Jakarta mempertahankan nilai-nilai komunitas yang lebih kecil; sopan santun. Saya merasa waktu yang saya habiskan di pedesaan Indonesia bisa membantu saya memahami keaadaan di ibukota pada tingkat yang lebih dalam daripada jika saya datang ke Jakarta langsung dari New York, Paris, atau San Francisco. Adalah sangat penting untuk memahami berbagai hal baik di tingkat mikro maupun makro. Anda tidak dapat benar-benar memahami satu tanpa yang lain.

Sebelum memulai C88Group dan CekAja, Anda sempat mendirikan Harpoen Mobile. Boleh berbagi sedikit cerita tentang perusahaan tersebut?

Sejak tahun 2011, saya yakin bahwa internet akan menjadi kekuatan ekonomi yang sangat kuat di Asia Tenggara. Melihat ke belakang, saya mendapati bahwa tindakan ini terlalu awal. Namun saat itu saya belum menyadarinya. Ditambah lagi, setelah beberapa tahun di bidang private equity, saya merasa ingin memulai dan mengembangkan bisnis sendiri. Saya ingin menciptakan sesuatu dan memecahkan masalah, mudah beradaptasi, dan suka tantangan dan petualangan. Dalam banyak hal, startup teknologi menjadi sarana yang tepat untuk mengekspresikan dan mendalami semua ini.

Kami meluncurkan Harpoen Mobile di atas meja makan saya dan rilis produk pertama kami adalah aplikasi iOS dan Android berbasis lokasi yang disebut Harpoen. Kami kemudian menambahkan tumpukan produk gratis yang disebut Mapiary, yang pada dasarnya adalah server iklan berbasis lokasi, dalam upaya untuk menghasilkan pendapatan lebih.

Saya dan rekan pendiri saya senang kami mencoba sesuatu yang orisinal. Saat itu, banyak startup di kawasan ini cenderung meniru model yang sudah ada. Kami merasa bangga karena kami mencoba ide baru. Syukurlah, kami memiliki banyak teman di komunitas teknologi serta media yang mendukung dan menyemangati kami. Kami sempat mewakili Indonesia di World Summit Awards untuk inovasi seluler di Abu Dhabi pada awal 2013, dan menang! Itu merupakan sebuah pencapaian yang cukup bisa diakui dalam hal inovasi.

Tetapi inovasi saja tidak cukup. Pada startup pertama, kemungkinan besar, Anda akan melakukan banyak kesalahan. Kami merasakannya sendiri. Dalam memilih lokasi sebagai inti layanan kami, kami tertahan pada matematika GPS yang tidak fleksibel dan kompleksitas saturasi informasi. Untuk meringkasnya secara singkat, di jaringan informasi biasa konten ada pada dua sumbu, biasanya pencipta dan kebaruan atau relevansi. Lokasi memperkenalkan sumbu ketiga dan dengan demikian mencapai kepadatan informasi matematika secara eksponensial lebih sulit: dunia adalah tempat yang besar dan tidak peduli seberapa besar Anda membuat vektor GPS, akan selalu ada tempat di luar jangkauan dengan konten lama atau tidak ada konten sama sekali. Inilah alasan mengapa banyak layanan berbasis lokasi seperti FourSquare dan Highlight tidak sesukses yang diperkirakan semua orang pada tahun 2012. Dalam bahasa ilmu komputer, konten berbasis lokasi akan digambarkan sebagai algoritma dengan “kompleksitas eksponensial”.

Secara retrospektif, bahkan jika kami telah sukses besar-besaran dan mencapai DAU, model komersial tidak akan berhasil karena monetisasi iklan dan CPM secara komersial sangat sulit untuk diukur di Indonesia bahkan sekarang, apalagi di tahun 2012.

Jadi, setelah setahun mencoba – dan banyak pengalaman luar biasa termasuk menjadi pendiri pertama yang melakukan pitch di TechInAsia Summit pertama di Jakarta pada tahun 2012 – saya bertemu dengan perusahaan periklanan berbasis di Toronto, Kanada yang berencana untuk mengkomersialkan lokasi ke klien perusahaan. Server iklan lokasi Mapiary kami dapat membantu klien mereka seperti Nike mengajak orang-orang melakukan joging interaktif, atau Heineken mengajak orang-orang menjelajahi pub interaktif. Ada banyak kasus penggunaan yang menarik dan mereka sangat antusias, dan saya merasa teknologinya juga lebih cocok untuk Amerika Utara, jadi mereka akhirnya mengakuisisi apa yang telah kami bangun dan saya dapat mengembalikan modal kepada investor. Secara keseluruhan, memang bukan kesuksesan komersial, tetapi memberi saya banyak keberanian dan pengalaman.

Apa yang mendorong Anda untuk membuat CekAja?

Setelah Harpoen Mobile, saya tetap bersemangat mengenai startup. Saat itu, komunitas startup di Indonesia masih cukup kecil dan semua orang saling mengenal. Saya banyak berpikir tentang perubahan dan peluang apa yang akan diciptakan dengan meningkatkan digitalisasi ekonomi, dan teman dekat saya Sebastian Togelang dan Andy Zain juga melakukan hal yang sama. Di penghujung 2013, kami semua berkumpul untuk mendirikan Kejora Ventures. Saya bertindak sebagai entrepreneur-in-residence. Saya mulai membangun perusahaan fintech saya di gedung Barito Pacific di Jakarta, berdampingan dengan Kejora.

Kami memutuskan untuk melakukan sesuatu yang tidak biasa dan diluncurkan di Jakarta dan Manila pada waktu yang bersamaan. Sangat tidak biasa untuk meluncurkan produk di dua negara secara bersamaan, tetapi kami memiliki sumber daya teknis yang dalam dan pendiri yang kuat seperti Stephanie Chung di Manila. Ditambah lagi, fintech di kedua pasar cukup mirp di awal tahun 2013; tidak terjadi satu pasar lebih maju dari yang lain. Jadi kami merasa mengambil pendekatan “sekali dayung dua tiga pulau terlampaui” akan membantu kami berkembang lebih cepat.

Kami menjadi salah salah satu perusahaan pertama di Jakarta dan Manila yang berhubungan dengan bank terkait model kerjasama fintech/bank. Dengan cepat kami berlari melihat dan mengunjungi setiap ruang rapat di bank. Tetapi yang tidak kami manfaatkan dengan baik saat itu adalah lamanya bank harus beradaptasi dan berubah. Bahkan sekarang, saya masih heran ada banyak bank di wilayah ini yang masih belum mengarah ke digital. Hal ini sebagian dapat dijelaskan oleh sisa trauma sektor perbankan dari krisis ’98, dan bahwa institusi besar memiliki insentif yang menghukum kegagalan lebih dari mereka menghargai kesuksesan, sedangkan startup adalah kebalikannya. Jadi insentif asimetris adalah penjelasan terbaik saya ketika orang bertanya kepada saya mengapa laju perubahan tidak secepat ini. Perubahan sedang terjadi, dan COVID-19 telah mempercepatnya.

Di masa-masa awal, kami juga menyadari bahwa undang-undang dan peraturan perlu dikembangkan untuk mendukung inovasi fintech. Mulai tahun 2014, saya bergabung dengan beberapa pengusaha fintech lainnya seperti Niki Luhur, Karaniya Dharmasaputra, Budi Gandasoebrata, Aldi Hariyopratomo, Ryu Kawano, Alison Jap, dan banyak lagi lainnya untuk memulai apa yang kini telah menjadi Asosiasi FinTech Indonesia. Kami juga melakukan pekerjaan advokasi kebijakan serupa di Filipina. Ini menciptakan apa yang menurut saya merupakan momentum untuk banyak regulasi dan aktivitas fintech yang kita lihat saat ini di kedua pasar ini.

Selama bertahun-tahun, baik bisnis maupun asosiasi telah tumbuh dan berkembang. Dalam bisnis sekarang, kami memiliki agregasi pasar, pinjaman pasar, penilaian kredit, agregasi skor, insurtech, solusi manajemen data, analitik, dan manajemen risiko kredit, dan perangkat lunak pengambilan keputusan yang tersedia di cloud dan sebagai lisensi. Kami bermitra dengan Anton Hariyanto, Sulaeman Liong dan Rainier Widjaja untuk kapabilitas perusahaan dan klien kami hampir di setiap bank di negara ini.

Kami memiliki tim yang luar biasa, dan tentu saja ada banyak kemunduran dan tantangan di sepanjang jalan, namun kami bertumbuh dan memberikan nilai kepada klien dan industri. Sementara di Asosiasi, pertumbuhan luar biasa sedang terjadi dan sekarang terdapat ratusan perusahaan fintech di negara ini, dan undang-undang fintech yang jelas, serta keterlibatan yang luar biasa dengan OJK dan BI. Karena itu, menurut saya Indonesia memiliki beberapa hukum dan kebijakan fintech paling inovatif dan jelas di seluruh dunia. Ini adalah pekerjaan seluruh industri dan saya sangat bangga telah memainkan peran kecil di dalamnya.

Pada tahun 2018, C88 Financial Technologies (perusahaan induk CekAja), menerima investasi minoritas strategis dari perusahaan penilaian kredit global Experian.

Anda telah melihat pasar di beberapa belahan dunia, apa yang membuat Asia Tenggara berbeda, khususnya Indonesia?

Wilayah ini unik karena demografi, tingkat pertumbuhan, dan tingkat suku bunganya. Secara regional, Indonesia unik karena ukurannya. Pasar lain di Asia Tenggara masing-masing memiliki kepentingannya sendiri, dan untuk menjadi sukses secara regional, ada prinsip yang harus Anda perhatikan dengan benar untuk menyeimbangkan kekuatan setiap pasar secara harmonis disamping kelemahan pasar lainnya. Misalnya, walaupun Indonesia besar dan penuh potensi, monetisasi sangat sulit dan konsumen serta perusahaan sangat sensitif terhadap harga. Pasar lain mungkin memiliki jalur monetisasi yang lebih mudah, tetapi ukuran pasar yang lebih kecil dan pertumbuhan yang lebih sedikit. Oleh karena itu, pendekatan terbaik untuk wilayah tersebut menciptakan keseimbangan di antara elemen-elemen ini.

Bagi mereka yang ingin memulai bisnis teknologi di wilayah ini, mereka harus tahu bahwa pasar sedang bergerak cepat, dan akan tetap seperti ini selama bertahun-tahun yang akan datang. Jangan terintimidasi oleh seberapa cepatnya bergerak atau berpikir itu “terlambat” sama sekali. Sekarang ada penggunaan internet dan penetrasi perangkat seluler yang signifikan, ekosistem usaha yang dinamis dengan banyak modal dan investor profesional, pemimpin dan kisah sukses yang menginspirasi, ada super-app dan juga kisah exit yang sukses melalui penjualan dan IPO. Teknologi cloud mulai muncul dan semakin berkembang dan ini akan membuka jalan bagi model SaaS, undang-undang lebih jelas, dan sekarang COVID-19 telah menciptakan dorongan digitalisasi besar-besaran ini. Setelah semua orang divaksinasi dan ekonomi terbuka kembali, jelas akan ada percepatan model bisnis yang didukung teknologi.

Namun, penting juga untuk tidak membangun startup. Namun, mulailah dengan bisnis. Ketahui ekonomi Anda, ketahui jalan menuju monetisasi dan laba, fokuslah untuk melakukannya dengan baik daripada metrik canggih atau sekedar viral. Terkadang sulit untuk membedakannya, terutama bagi pendiri muda, dan ketika media terengah-engah dan investor menuntut pertumbuhan untuk memenuhi ekspektasi pengembalian dari portofolio mereka. Tetapi sebagai seseorang yang telah melakukan banyak hal dalam bidang ini selama bertahun-tahun, mengalami kesuksesan dan kegagalan, saya dapat mengatakan bahwa ketika Anda benar-benar ingin memulai, mulailah dari bisnisnya dan bukan hanya startupnya.

Menjadi entrepreneur itu tidak mudah, terlebih sebagai sorang pendatang. Apa saja tantangan yang Anda hadapi ketika sampai dan membangun bisnis di Indonesia?

Saya merasa sangat disambut di sini. Negara ini telah memberi saya begitu banyak dan saya bersyukur untuk itu. Saya menyukai pekerjaan yang saya lakukan setiap hari, orang-orang yang bekerja dengan saya, dan peluang yang kami miliki untuk memecahkan masalah dan membangun industri yang lebih baik, masyarakat yang lebih baik, dan negara yang lebih makmur.

Saya pikir setiap kesulitan yang saya alami adalah kesulitan yang dialami setiap pendiri: menyesuaikan diri dengan pasar produk, bergulat untuk berada di sisi kanan unit ekonomi, membangun tim yang hebat dan budaya yang sehat, menavigasi krisis COVID-19, dan sebagainya. Saya bahkan tidak akan menyebut kesulitan ini – inilah inti dari menjadi seorang pendiri.

Dalam hal sebagai orang asing, sejujurnya saya bahkan tidak merasakannya lagi. Bagi orang yang mengenal saya dengan baik, hanya ada sedikit gesekan antara diri bule saya dan diri Indonesia saya. Saya merasa nyaman di kedua sisi dan saya menyukainya.

Dengan segudang pengalaman dalam berbisnis, apakah masih ada harapan Anda yang belum tercapai? Pernahkah terpikir untuk pada akhirnya kembali ke Amerika Serikat?

Saya tertarik pada banyak hal dan saya merasa dapat terus menciptakan produk dan layanan yang baru dan inovatif selama beberapa dekade mendatang. Ada banyak hal yang ingin saya lakukan, banyak masalah yang harus diselesaikan, dan inovasi baru yang harus dibuat.

Khususnya di fintech, industri ini masih di tahap awal. Saya sangat yakin dalam dekade mendatang, perusahaan teknologi akan menjadi yang memanfaatkan data, membuat produk, menulis perangkat lunak, membangun analitik, dan membuat pengalaman pelanggan untuk membuat konsumen dan bisnis Indonesia menjadi bank universal, serta kompetitif secara regional dan global.

Mengenai Amerika Serikat, saya mengakui bahwa negara tersebut perlu membangun kembali masyarakat dan mempercayai serta memulihkan lembaganya dalam konteks pasca-Trump. Amerika Serikat akan membutuhkan orang-orang yang energik dan berkomitmen yang bersedia menyingsingkan lengan baju dan membantu melakukan itu. Saya tidak mengesampingkan bahwa suatu hari nanti, saya mungkin ingin kembali untuk berperan di dalamnya. Tapi sekarang, perusahaan, klien, teman, dan keluarga saya membutuhkan saya di sini, di Indonesia dan di Asia Tenggara. Perlu diingat, kami juga memiliki kehadiran yang signifikan di Filipina, dan ratusan karyawan serta bisnis besar di sana, dan ada banyak peluang di sana yang menyemangati saya.

Terkait pandemi yang sedang terjadi, apakah ada perubahan signifikan yang terjadi pada bisnis Anda?

Klien kami adalah bank dan lembaga jasa keuangan. Banyak yang terpaksa menunda atau menghentikan proyek dan kegiatan karena pandemi. Meskipun mereka tidak berniat untuk menunda, beradaptasi dengan sistem  kerja dari rumah untuk organisasi besar seperti itu merupakan sebuah tantangan, banyak penundaan yang tidak disengaja. Sebagai sebuah bisnis, kami harus sangat fleksibel dan adaptif dengan kenyataan ini untuk memastikan kami dapat terus melebihi ekspektasi klien kami. Kabar baiknya adalah klien kami membutuhkan solusi digital. Kami mengantisipasi iklim pasca-vaksin yang sangat menggembirakan bagi klien dan bisnis kami.

Memasuki tahun 2020, kami merasa siap seperti perusahaan mana pun untuk apapun yang terjadi. Kami memiliki beberapa eksekutif di Beijing, dan karena itu, tim eksekutif dan saya telah menyadari sedini mungkin sejak pertengahan Januari tahun lalu bahwa pandemi global mungkin terjadi. Kami memiliki skenario yang mengarah ke tingkat yang menakutkan yang untungnya penyakit itu tidak pernah mendekati.

Ketika lockdown mulai terjadi di Filipina dan Indonesia pada bulan Maret tahun lalu, saya mengumpulkan seluruh perusahaan dan kami menyusun strategi yang jelas tentang apa yang akan kami lakukan untuk bertahan dari krisis dan memastikan kelangsungan bisnis.

Kami memiliki tingkat kesinambungan bisnis yang sangat spesifik, dan kami menyuruh semua orang pulang untuk bekerja sesuai arahan, kebijakan, dan instruksi yang jelas. Saya juga membuka memo strategi dwi-bahasa kami dan mengirimkannya ke banyak perusahaan dan startup lain. Saya ingin apa yang kami lakukan untuk menanggapi COVID-19 dapat diakses oleh orang lain yang mungkin memiliki keragu-raguan apakah itu akan memengaruhi mereka. Kami mengira COVID-19 akan menciptakan krisis yang akan berlangsung lama dan berat, dan sayangnya, kami benar.

Jelas, tim saya dan saya mampu membuat perubahan yang sesuai pada bisnis untuk menempatkan kami di jalur yang baik. Kami terus melayani klien kami dengan baik, tumbuh secara menguntungkan, dan berinovasi di segmen pasar kami. Dengan vaksin yang mulai diluncurkan sekarang, kami mulai beralih ke pola pikir optimis untuk tahun 2022 dan seterusnya. Kami merasa tahun 2021 akan terus sulit untuk sebagian besar tahun ini, dengan beberapa peningkatan menjelang semester kedua.

Apa yang ingin Anda sampaikan pada para entrepreneur di luar sana yang ingin memulai bisnisnya namun terhalang oleh pandemi?

Menurut saya, tidak ada waktu yang lebih baik untuk memulai bisnis teknologi. Ya, virus menciptakan tantangan, tetapi vaksinnya juga hampir tiba. Fokus pada tahun 2022 dan seterusnya. Dan jangan berpikir akan terlambat. Dalam teknologi, tidak ada yang benar-benar berakhir karena inovasi akan selalu lahir. Kode terus dikompilasi ulang. Memang benar bahwa hampir 90% dari startup gagal, tetapi jika Anda fokus membangun bisnis daripada memulai, Anda sudah meningkatkan peluang sukses Anda. Hampir setiap pengetahuan yang Anda butuhkan dapat diakses dan mudah dipelajari. Yang dibutuhkan hanyalah komitmen dan kerja keras untuk melakukannya. Saya melakukan ini, dan banyak kolega serta teman saya yang berkinerja tinggi juga melakukannya. Kami tidak hanya secara ajaib mempelajari subyek baru. Sebaliknya, ini adalah upaya terus-menerus untuk tetap mengetahui apa yang baru dan terkini dengan teknologi dan dunia.

Untuk memulai sebuah perusahaan, Anda harus mengidentifikasi di mana letak masalah besar, bagaimana Anda menyelesaikannya dan bagaimana Anda mengubahnya menjadi sebuah bisnis. Pola pikir ini adalah sesuatu yang saya pelajari dan kembangkan selama bertahun-tahun. Fokus pada masalah dan pelanggan, jadilah mesin pembelajaran, jadilah optimis dan realistis pada saat yang sama, perlakukan orang lain dengan baik, fokus pada komunitas, dan hasilnya akan baik. Indonesia membutuhkan lebih banyak pemecah masalah, hal itu bisa menjadi alasan untuk Anda bisa maju dan menyelesaikan masalah. Kita bisa. Anak bangsa bisa. Saya optimis kok.


Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Turochas "T" Fuad on his journey from working in giant tech companies to making three "exit" and creating one himself

Turochas “T” Fuad on The “Exit” Stories: Speed and Execution is Everything

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

“Starting a new venture never seems to get old for me. The rush, the pain, the anxiety, the joy, all mix together. It is never the same yet, it is also so familiar.”

Turochas “T” Fuad wrote in the opening paragraph about his latest venture, Pace.

It’s a compact yet thorough explanation about the life of a serial entrepreneur, at least for Turochas Fuad, or sometimes called T. Was born in Indonesia and had a chance to study English in Singapore, he decided to pursue his Management Information System degree all the way to the US at The University of Texas, Austin. That is quite the beginning of his big passion for technology.

From the story of the founding of his first venture which finally acquired by an American-based tech giant, Yahoo!; next to the founding of the iconic travelmob, which then acquired by Homeaway in 2013 for $11.5 million; then the story of Coworking-space giant WeWork acquired Spacemob to ramp up its expansion and growth in Southeast Asia.

DailySocial team had a chance to interview him on his business journey as a veteran entrepreneur and the vision towards a better future in the tech industry.

Let’s start with your latest venture. Before Pace, I don’t recall you have been involved in the fintech industry? What makes you interested and started this one?

What excites me most about starting a new business is the possibility to create a positive impact on individuals on a large scale. From my very first company till my last startup, Spacemob, this has always been the driving force behind what I do and continues to be the case, even now with Fintech.

With Pace specifically, the chance to create financial inclusion across Asia is an opportunity that is too difficult to turn down. The financial landscape remains fragmented, with room for incumbents to be disrupted across all segments, payments notwithstanding. Our mission is to provide financial inclusion by building a banking engine that can operate across multiple countries easily – one that helps merchants create sales efficiencies, and provides consumers with an option to spend sustainably.

pace 2

Completing a bachelor’s degree in the US and manage to work there for a while, why did you finally decide to build a career in Singapore? [Since you were born in Indonesia]

Singapore, being a major business hub in Asia, represented a way for me to build a career that could give me international exposure and provided me a global network of contacts that I could build over time. Being around the right people helps you think big, and I’ve been lucky enough to gain perspective from the many talented people I’ve gotten to know here. Truth be told, given my time here in Singapore, I’ve also developed businesses across North Asia and Southeast Asia.

That said, my heart is still very much with Indonesia, and with its current speed of growth and large population, any startup that does not have Indonesia as a part of its expansion plans is missing out on the potential to create a large positive impact. After all, it is hard to ignore the fourth largest country in the world, ya?

You’ve had your history with some tech giants like Yahoo! and Skype. How did those past experiences shape you and what finally encouraged you to build your own company?

If anything, these experiences showed me how important culture is to the success of any company. I’ve had the pleasure of working with people from all over the world, and I’ve seen how the most successful of them, learn to always be people-first even in the most difficult situations. That, to me, is a great culture.

The other thing that was very prevalent in these companies was their speed of execution. You can have the greatest plan in the world, but when it comes down to it, the most difficult part of it is figuring out how to iterate and execute as fast as you can, while maintaining the quality of your product or service. Especially when you’re operating in a disruptive space, you’re going to face a barrage of challenges; staying focused on executing through tough times, is imperative for success.

On the journey to “exit”, did you have certain considerations or specific targets before deciding to sell the company?

Great entrepreneurs never start a company to sell it, because without having a convicted mission that is focused on creating change, a company often wavers under pressure, and eventually crumbles.

When it came to evaluating the previous exits I’ve had, the question I’ve always asked myself was, ‘will this acquisition furthers our company’s vision?’ If there was any doubt at all, then a decision against it would be easily made with a clear heart.

A great example of this was the acquisition of Spacemob five years ago. We set out to build collaborative workspaces across Southeast Asia that helped people to bring their visions to life, and with the acquisition by WeWork we were able to do just that. The core Spacemob team stayed together, expanded the business to dozens of spaces across six countries in Southeast Asia, and delivered on the mission we set out to achieve.

You’ve launched and sold three startups so far, what is the biggest lesson you’ve learned among all those experiences?

It’s often said that speed & execution is everything, and through the different situations I’ve been in, I’ve learned that to be very true. That, and making sure you have a great team of people who are willing to commit themselves to the grind. If you do these few things well enough, there’s no reason why you can’t succeed.

Do you have a particular individual or figure that inspired you to become your today self?

As cliche as it sounds, I’ve always been inspired by my father. Growing up in Medan, I saw him work hard at his own small business, which he still runs today. Although my brothers and I were fortunate enough to be put through school in the US, it didn’t come easy for him. Through permanent late nights and non-existent weekends, he’s made personal sacrifices to ensure we got the best he could provide. That strength and commitment towards putting in the hard work and staying focused on the daily grind is something that keeps me going every single day.

Especially when the Covid-19 still around, how do you see the development of the tech industry in Southeast Asia?

In short, it’s bright and full of promise! Southeast Asia has been churning out great tech talent in recent years and companies now have more options than before, in how they want to set up their teams. We’ve also seen large expansions into the region both from American companies like Amazon and Chinese companies like Bytedance, which validates the quality of people in the industry and the scale of the business opportunity in Southeast Asia.

More specific to different countries, I think Singapore will continue to be a business hub for the region and the first landing spot for companies looking to expand into Southeast Asia as a whole. But once operations have been set up, companies immediately look towards Indonesia as a key source of long-term growth, and the best of them move quickly to gain market share there.

Fintech is also fast becoming a mainstay in this region, with companies getting fresh rounds of funding even during economically uncertain times. Coupled with healthtech, these two categories are the ones to look out for in terms of growth and innovation.

With tons of experience in the business, do you still aim for something more in this industry? Maybe you have other goals yet to be achieved?

With each startup, I keep telling myself that it will be my last one. And then, soon enough, I find myself starting yet another company. In some way, I guess this is my calling in life and I’m thankful to be able to continue building businesses because it’s a privilege that not everyone gets.

In terms of goals, I would have to say that seeing my daughters growing up and being with them each step of the way, will be the most rewarding achievement that I will have in life. The family gives me the greatest joy, and seeing each of them succeed in their own way is a goal worth striving hard for.

What would you say to all the tech enthusiasts out there trying to make something but hindered with pandemic stuff?

I’d say that there never is a right time to start a business. There’ll always be a reason not to, and you just have to keep finding solutions to any hurdles you might face. Whether that’s as simple as not having enough time, or as difficult as trying to look for funding to get your business off the ground, there will always be a solution if you search hard enough. But with enough will to do so, coupled with a willingness to put in the time and work, there is no reason for success to evade you. And when you do make it, remember to find your own ways to pay it forward.

J.P. Ellis shares his journey on running business in Indonesia. Entrepreneurship was never easy in any country, especially when you're not a native

J.P. Ellis’ Unexpected Journey as a Non-Native Tech Entrepreneur in Indonesia

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

John Patrick Ellis, well known in the industry as J. P, is a technology and finance entrepreneur based in Indonesia for the past 15 years. Born in the United States and raised in Asia and Europe, he first came to Indonesia to work in development in 2005 and remains here until today as a fintech founder.

J. P.’s career journey is full of unexpected choices and serendipity. From New York’s legal industry to education and public health work in Flores, associate roles in a regional private equity firm, launching an early location-based messaging application from his Jakarta dining room table in 2012, to helping establish the Indonesian Fintech Association and founding a successful regional fintech company.

With a background in political science, international relations, and languages, J. P. has extensive experience in entrepreneurship, technology and deal-making. In his current role as the CEO of the C88 Financial Technologies group, he oversees a diverse fintech business in the credit decisioning, financial analytics, credit scoring and marketplace lending spaces with over 400 employees in Indonesia, the Philippines, Singapore, Thailand, Australia and China. We caught up with J. P. to discuss his journey, why Indonesia, why fintech and what it’s like to try and succeed as a non-native immigrant here. Half of our discussion was in English, and the other half in his excellent Bahasa Indonesia, where he expresses himself fluently but with a small accent.

When you were young, did you ever dream to start your own business or become a CEO?

I was born in the United States but I spent my childhood moving every few years around Asia and Europe. This experience of movement and change defined my youth, and has made me a very adaptable, resilient and open-minded person.

As a kid, my dream was to be a competitive swimmer. I trained hard and did reasonably well in competition. But around the age of 16, I realized that I wouldn’t quite make it to an Olympic level. So around that time, I decreased my focus on sport and increased my focus on school and study. But a strong work ethic from swim training has remained with me, and has been a big help to me over the years.

From a young age, I always liked thinking about how to solve problems, but it wasn’t until later in life that I realized I could do that as a founder. So I did a lot of things before I became a founder, but the common thread of my career is a focus on problem solving.

You have background study in political sciences and international relations, what is your actual passion and how does it align with your career?

I like to solve problems, and I like to understand how the world works. I think this is what really drives and defines me. In Indonesia, and all over the world, there are so many problems to solve, and solving problems also creates business opportunities. Not all problems are business opportunities, but many of them are. Many of the world’s great companies were founded this way.

I graduated from Columbia University and the typical next step after studying what I did is to earn a Juris Doctor degree from a law school. Many of my friends did this, and I was intending to as well. After graduation, I worked in New York’s law industry in dispute resolution. It was very interesting and I was very good at my job, but I was sitting at a desk all day. I felt like something was missing. So I applied to several programs for development work around the world. I received many offers including one from Princeton-in-Asia, but the most interesting offer was from a Stanford University-affiliated program called ViA to join a project in Flores, in rural eastern Indonesia.

At that time, everything in Flores was very limited. There was no electricity, no mobile phone signal, and no running water. We had to walk through the forest to get to the villages. Perhaps because of this, it was a place of incredible warmth and community. I connected with the Tado people, learned the Manggarai language, and helped bring about some good initiatives in education and public health for the village communities, working with their teachers and their Puskesmas. It was a very fulfilling but also an eye-opening experience.

J.P. Ellis with the district head and ethnic leaders At Rumah Tua Golo Beo Tado, Manggarai Barat, Flores, NTT in 2015
J.P. Ellis with the district head and ethnic leaders At Rumah Tua Golo Beo Tado, Manggarai Barat, Flores, NTT in 2005

After that, I worked for very successful entrepreneurs John and Cynthia Hardy, who sold their international jewelry company to a private equity firm. After the sale, John and Cynthia then asked me to help them transform a bare plot of land in Sibang Kaja, south of Ubud, into what is now the Green School; so I was the first employee there. John and Cynthia are so charismatic and so innovative. It was a real pleasure to be around that enthusiasm and energy every day. Through them, I also met my wife Agatha. She also worked there and we met at the team lunch table. We have now been married for close to 13 years and have two young children.

I then had the opportunity to join a regional private equity firm in Singapore and Jakarta founded by Tom Lembong. It was called Quvat Capital and Principia Management. I learned so much from Tom and really enjoyed working for him, Brata, and the team. I spent a little more than four years there and did a lot of varied projects including company due diligence, deal sourcing and execution, fundraising, investor relations, research, special situation restructuring, and even some trading.

Throughout this time, I was really enjoying being around such smart people and working directly with companies in such a dynamic, fast-moving environment. Even though Jakarta is a megacity in many ways it retains the values of a smaller community; its manners and politenesses. I think my time in rural Indonesian villages definitely helped me understand its capital on a deeper level than if I had come to Jakarta directly from New York, Paris, or San Francisco. I think the lesson is that it’s really important to understand things on both a micro-level as well as macro level. You can’t really know one without the other.

Before your current company and CekAja, you founded Harpoon Mobile, are you willing to share some stories about the company?

From 2011 on, I was convinced that the mobile internet will be a very powerful economic force in Southeast Asia. With hindsight, I can see that I was very early in my actions. But I did not realize that at the time. Plus, after several years in private equity, I felt that I wanted to start and grow a business myself. I like creating things and solving problems, I’m very adaptable, and I like challenge and adventure. In many ways, technology startups are the perfect vehicle to express and experience all of this.

We launched Harpoon Mobile from my dining room table, and our first product release was a location-based iOS and Android application called Harpoen. We later added a complimentary product stack called Mapiary, which was basically a location-based ad-server, in an attempt to monetize better.

My co-founders and I liked that we were trying something original. Back then, many startups in the region were likely to be copycat models. We felt proud that we were trying a new idea. Thankfully, many of our friends in the tech community and its media supported and encouraged us. My co-founders and I actually also represented Indonesia at the World Summit Awards for mobile innovation in Abu Dhabi in early 2013, and we won! It was a cool experience to be recognized for innovation.

But innovation alone isn’t enough. Your first startup, the odds are, you will get a lot of things wrong. And that was true for us. In selecting a location as our service core we were locked into the inflexible mathematics of GPS and the complexity of information saturation. To summarize it briefly, in usual information networks content exists on two axes, typically creator and recency or relevancy. Location introduces the third axis and thus achieving a mathematical density of information is exponentially harder: the world is a big place and no matter how large you make the GPS vectors, there will always be places out of coverage and with old content or no content at all. This is the reason a lot of location services like FourSquare and Highlight were not as successful as everyone predicted back in 2012. In the language of computer science, location-based user content would be described as an algorithm with “exponential complexity.”

In retrospect, even if we had been massively successful and achieved hockey-stick DAUs, the commercial model wouldn’t have worked anyway because ad monetization and CPM are commercially very hard to scale in Indonesia even now, let alone back in 2012.

So, after a year of trying — and a lot of awesome experiences including being the first founder to pitch at the first TechInAsia Summit in Jakarta in 2012 — I met a Toronto, Canada-based advertising company who was planning to commercialize location to enterprise clients. Our Mapiary location ad-server could help their clients like Nike take people on interactive jogs, or Heineken takes people on interactive pub crawls. There were a lot of interesting use cases and they were excited about it, and I felt the technology was more suitable for North America as well, so they ended up acquiring what we had built and I was able to return capital to my seed and angel investors. Overall, it was not a resounding commercial success, but it gave me a lot of grit and experience.

How did you come up with the idea of CekAja?

After Harpoon Mobile, I remained very passionate about startups. At that time, the startup community in Indonesia was still quite small and everyone knew each other. I was thinking a lot about what changes and opportunities would be created by increasing economic digitization, and my close friends Sebastian Togelang and Andy Zain were doing the same. In late 2013, we all came together to found Kejora Ventures. I was the founding entrepreneur-in-residence. I started building my fintech company at the Barito Pacific building in Jakarta, side-by-side with Kejora.

We decided to do something unusual and launched in Jakarta and Manila at the same time. It’s quite unusual to launch a product in two countries simultaneously, but we had deep technical resources and strong co-founders like Stephanie Chung in Manila, so it made sense. Plus, fintech in both markets was equally early in 2013; it wasn’t the case that one market was more advanced than the other. So we felt taking a “two birds with one stone” approach would help us scale faster.

We were definitely one of the first companies in Jakarta and Manila to engage with banks about fintech/bank cooperation models. We hit the ground running and visited every bank boardroom pretty quickly. But what we didn’t appreciate back then was how long it would take banks to adapt and change. Even now, I am still amazed that more banks in this region aren’t doing more digitally. This can partially be explained by residual banking-sector trauma from the ‘98 crisis, and that large institutions have incentives that punish failure more than they reward success, whereas startups are the exact opposite. So asymmetrical incentives are my best explanation when people ask me why the pace of change hasn’t been faster. Change is happening though, and COVID-19 has accelerated it.

In the early days, we also realized quite early on that laws and regulations would need to evolve to support fintech innovation. Starting from 2014, I joined with several other fintech entrepreneurs including Niki Luhur, Karaniya Dharmasaputra, Budi Gandasoebrata, Aldi Hariyopratomo, Ryu Kawano, Alison Jap, and many others to start what has now become the Indonesian FinTech Association. We did similar policy advocacy work in the Philippines, too. This created what I think is the momentum for a lot of fintech regulations and activities that we see today in both of these markets.

Over the years, both the business as well as the Association have grown and matured. In the business now, we have marketplace aggregation, marketplace lending, credit scoring, score aggregation, insurtech, data management solutions, analytics, and credit risk management, and decisioning software available in the cloud and as a license. We partnered with Anton Hariyanto, Sulaeman Liong and Rainier Widjaja for enterprise capabilities and our clients are pretty much every banks in the country.

We have an awesome team, and while of course there have been many setbacks and challenges along the way, we are growing and delivering value to our clients and the industry. And in the Association, we have experienced tremendous growth and now there are hundreds of fintech companies in the country, and clear fintech laws, and incredible engagement with OJK and BI. Because of this, I would say that Indonesia has some of the most innovative and clear fintech laws and policies in the whole world. This is the work of a whole industry and I am so proud to have played a small part in it.

In 2018, C88 Financial Technologies (parent company of CekAja), received a strategic minority investment from global credit scoring company Experian.

You’ve seen the market in some other places, what makes Southeast Asia market different, especially Indonesia?

The region is unique because of its demographics, growth rates, and interest rates. In the region, Indonesia is unique because of its size. The other markets of Southeast Asia each have their own importance, and to be successful regionally there are principles that you must get right to balance the strengths of each market harmoniously versus the weaknesses of others. For example, while Indonesia is large and full of potential, monetization is very difficult and consumers and enterprises are very price sensitive. Other markets may have easier monetization paths, but smaller market sizes and less growth. The best approach for the region therefore creates balance among these elements.

For those who want to start a technology business in the region, I would advise them that the market is fast-moving, and it will remain like this for many years to come. Don’t be intimidated by how fast it moves or think it is “too late” at all. There is now significant internet usage and mobile device penetration, a vibrant venture ecosystem with plenty of capital and professional investors, inspiring leaders and success stories that are locally visible and accessible, there are super apps and also successful exits via both trade sale and IPO, cloud technology is starting to emerge and become viable and this will start to enable SaaS models, laws are clearer, and now COVID-19 has created this massive digitization push. After everyone is vaccinated and the economy opens again, there is clearly going to be an acceleration of tech-enabled business models.

But it’s also important not to start a startup. Instead, start a business. Know your economics, know the path to monetization and profit, focus on doing that well instead of vanity metrics or headline-chasing. It’s sometimes hard to distinguish between these, especially for young founders, and when the media is breathless and boardroom investors demand growth to meet their own portfolio return expectations. But as someone who has done a lot in this space for many years, experiencing both success and failure, I can tell you that you really want to be starting a business and not just a startup.

Entrepreneurship is never easy, especially when you’re not a native. What kind of hardships have you encountered when you first arrived and while building businesses in Indonesia?

Indonesia has been very welcoming to me. It has given me so much and I am thankful for that. I love the work I do every day, the people I work with, and the opportunities we have to solve problems and construct a better industry, a better society, and a more prosperous country.

I think any hardships I have experienced are hardships that any founder experiences: getting to product-market fit, wrestling to be on the right side of unit economics, building a great team and healthy culture, navigating the COVID-19 crisis, and so on. I wouldn’t even call these hardships – this is what being a founder is all about.

In terms of being a foreigner, I honestly don’t even register that anymore. For people who know me well, there is very little friction between my bule self and my Indonesian self. I feel comfortable in both worlds and I like that.

With so much experience in the business, do you still aim for something more in this industry? Have you ever thought of going back to the US for some kind of bottom line?

I’m interested in many things and I feel like I can keep creating new and innovative products and services for many decades to come. There are a lot of things I want to do, and a lot of problems to solve, and new innovations to create.

In fintech specifically, we are still very much at the beginning of the industry. I really believe over the next decade, technology companies will be the ones that harness data, create products, write software, construct analytics, and craft customer experiences to make Indonesian consumers and businesses become universally banked, as well as regionally and globally competitive.

Regarding the United States, I do admit that the country needs to rebuild society and trust and restore its institutions in a post-Trump context. The United States will need energetic and committed people willing to roll up their sleeves and help to do that. I don’t rule out that one day, I might want to go back to play a part in that. But right now, my company, clients, friends, and family need me here in Indonesia and in Southeast Asia. Keep in mind, we also have a significant presence in the Philippines too, and hundreds of employees and a big business there, and there is a lot of opportunity there that I am incredibly excited about too.

About the current pandemic, is there any significant change in your business?

Our clients are banks and financial services institutions. Many were forced to suspend or delay projects and activities due to the pandemic. Even if they didn’t intend to delay things, adapting to work-from-home for such big organizations is a challenge, so many delays are inadvertent. As a business, we have had to be very flexible and adaptive to this reality to ensure we can continue to exceed our client expectations. The good news is that our clients need digital solutions. We anticipate a very encouraging post-vaccine climate for our clients and our business.

Going into 2020, we felt we were as prepared as any company could be for what happened. We have a small executive presence in Beijing, and because of this the executive team and I were aware as early as mid-January of last year that a global pandemic was a possibility. We had scenarios that went all the way up to frightening levels of mortality that thankfully the disease never came close to.
As lockdowns started to happen in the Philippines and Indonesia in March of last year, I gathered the whole company and we laid out a clear strategy of what we were going to do to survive the crisis and ensure business continuity.

We had very specific levels of business continuity, and we sent everyone home to work with clear guidance, policies, and instructions. I also open-sourced our bi-lingual strategy memo and sent it around to many other companies and startups. I wanted what we were doing to respond to COVID-19 to be accessible to others who maybe had uncertainty on whether it would affect them. We thought COVID-19 would create a crisis that would be long and hard and unfortunately, we were right.

Obviously, my team and I were able to make the appropriate changes to the business to put us on a good path. We continue to serve our clients well, are growing profitably, and innovating in our market segments. With vaccines starting to roll-out now, we are beginning to shift to an optimistic mindset for 2022 and beyond. We do feel 2021 will continue to be hard for most of the year, with some improvement towards the second semester.

Something you want to say to those entrepreneurs who wanted to start a business but constrained by pandemic?

I would say It’s never been a better time to start in tech entrepreneurship. Yes, the virus creates challenges but the vaccine is almost here too. Focus on 2022 and beyond. And do not think it’s too late. In technology, it’s never really over because innovation is always innovating versus itself. The code is constantly re-compiling. Yes, it is true that close to 90% of startups fail, but if you focus on building a business instead of a startup, you will already improve your odds of success. Nearly every knowledge you need is accessible and easy to learn. All it takes is the commitment and hard work to do it. I do this, and a lot of my high-performing colleagues and friends do it too. We don’t just magically learn new subjects. Instead, it is a constant effort to stay on top of what is new and be current with technology and the world.

To start a company, you must identify where the big problems are, how do you solve them and how do you turn them into a business. This mindset is something that I spent years learning about and developing. Focus on the problem and the customer, be a learning machine, be both optimistic and realistic at the same time, treat others well, focus on community and you’ll be fine. Indonesia needs more problem-solvers, so you could also argue it is a duty to go out there and solve problems. Kita bisa. Anak bangsa bisa. Saya optimis kok.

On Lee dari GDP Membahas Potensi AI dalam Industri Teknologi Tanah Air

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Menghabiskan hampir lebih dari tiga puluh tahun di negeri orang, CEO & CTO GDP Labs juga sebagai CTO GDP Venture, On Lee akhirnya kembali ke Indonesia pada tahun 2011. Dalam kurun waktu 10 tahun, ia berhasil mengembangkan GDP Venture dan membangun GDP Labs dari awal berbekal pengalaman matang hasil merantau. Selain itu, ia sebelumnya menjabat sebagai CEO & CTO Kaskus, forum komunitas online Indonesia terbesar di Indonesia.

Dengan lebih dari 30 tahun pengalaman dalam dunia internet, seluler, AI, Blockchain, Semantic Web, Knowledge Graph, pengembangan perangkat lunak konsumen dan perusahaan, ia telah memegang berbagai posisi manajemen dan teknis sebagai salah satu pendiri, CEO, CTO, Wakil Presiden Eksekutif Teknik, dan teknisi di perusahaan startup dan Fortune 500 di AS.

On Lee sangat tertarik dengan inovasi Artificial Intelligence. Beliau sempat mengampu jurusan teknik elektro sebelum akhirnya beralih jurusan ke ilmu komputer. Keyakinannya pada industri teknologi Indonesia dan teknisi lokal telah memberinya inspirasi untuk mendirikan GDP Labs. Dari tahun 2012 hingga saat ini, GDP Labs telah mempekerjakan 160 orang [kebanyakan insinyur] di lima kota di Indonesia, Jakarta, Bandung, Bali, Yogyakarta, dan Surabaya.

Melalui GDP Venture, sebagai venture builder, dengan fokus pada komunitas digital, media, perdagangan, dan perusahaan solusi di industri internet konsumen Indonesia. Mereka telah berinvestasi di lebih dari 50 portofolio dan masih terus bertambah. Selain itu, ia telah membangun tim untuk memulai produk baru yang strategis di perusahaan rintisan dan perusahaan besar di AS, Indonesia, Cina, dan India.

DailySocial berhasil mendapat waktu beliau untuk berbagi cerita penuh wawasan sepanjang perjalanan entrepreneurship-nya.

Sebagai CTO GDP Ventures, juga CEO & CTO GDP Labs, menurut Anda apakah industri teknologi Indonesia berpotensi untuk membangun pusat global untuk teknologi tinggi dan inovasi atau menjadi sebuah hub?

Pastinya. Teknologi digital dan AI mewakili peluang emas bagi Indonesia, dengan populasi yang relatif muda dan bersemangat lebih dari 260 juta orang. Negara ini menawarkan usia rata-rata produktif 30 tahun dan tingkat literasi 95 persen. Ekosistem start-up digital Indonesia sudah prima dan siap mengikuti jejak negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, Taiwan, Korea, dan China yang telah berhasil mentransformasi negaranya melalui teknologi. Mereka telah secara signifikan meningkatkan keterampilan individu, standar hidup, dan produktivitas serta telah diakui sebagai pemain global utama di dunia. Pemerintah Indonesia memiliki banyak inisiatif teknologi; kebanyakan universitas menawarkan kelas ilmu komputer; dan investor lokal dan asing berinvestasi besar-besaran dalam ekonomi digital, dan semua hal ini meningkat selama pandemi.

Setelah sekian lama merantau, hampir tiga puluh tahun menggali ilmu di negeri Paman Sam. Apa yang mendorong Anda kembali ke Indonesia dan memulai GDP Labs? Apa yang menjadi mimpi Anda?

Saya kembali ke Indonesia karena alasan keluarga. Orang tua kami semakin tua, dan kami perlu merawat mereka.

Saya kemudian menemukan banyak talenta teknisi perangkat lunak yang hebat tetapi masih mentah di Indonesia. Banyak dari mereka tidak memiliki kesempatan untuk menerima pelatihan yang tepat, bimbingan, dll. Pak Martin Hartono, CEO di GDP Venture, dan saya membina beberapa pemimpin muda yang paling cemerlang dan paling menjanjikan yang akan menjadi ahli teknologi dan berpengetahuan luas dalam bisnis dan kepemimpinan di GDP Labs. Upaya kami menunjukkan hasil awal yang menjanjikan.

On Lee at GDP Labs Team Building 2018 with Martin Hartono
On Lee dalam acara GDP Labs Team Building 2018 bersama Martin Hartono

Kapan pertama kali Anda mengecap industri teknologi? Apakah hal ini memang menjadi passion Anda?

Awalnya saya mengambil jurusan teknik elektro, sebelum kemudian beralih ke jurusan ilmu komputer dengan minor dalam matematika.

Salah satu hobi saya adalah bermain catur. Dulu saya sempat menjadi pemain catur profesional. Saya tertarik pada ilmu komputer, matematika, dan catur karena keduanya memiliki dua kesamaan: logika dan pemecahan masalah. Hal ini membantu meningkatkan hidup saya secara pribadi dan profesional.

on lee 9
On Lee sedang bermain catur secara simultan dengan 2 orang teknisinya

Saya sempat membaca beberapa artikel Anda terkait Artificial Intelligence (AI). Apa yang menjadi alasan Anda percaya bahwa teknologi dapat menjadi solusi bagi seluruh masalah di dunia?

McKinsey memprediksi AI memiliki potensi untuk menambah aktivitas ekonomi global sekitar USD13 triliun pada tahun 2030. Betul sekali, besarnya USD13 triliun. Beberapa ahli mengatakan bahwa AI sama pentingnya dengan penemuan api dan listrik. Meskipun itu mungkin tampak berlebihan, intinya adalah bahwa AI akan menjadi salah satu teknologi terpenting yang pernah ditemukan manusia, meninggalkan dampak pada masyarakat dan bisnis dengan cara yang sangat mendalam. Kemungkinan besar akan memiliki kelasnya sendiri. Hal ini akan menjadi bagian dari kehidupan pribadi kita, di hampir semua industri. AI akan membantu mempercepat pemulihan dan pertumbuhan ekonomi global serta memposisikan Indonesia dengan baik untuk masa depan dunia baru di hadapan kita.

2020 bukanlah situasi yang ideal bagi semua orang, namun apakah Anda yakin bahwa industri teknologi tanah air berperan penting dalam pemulihan kondisi negara ini?

Tahun 2020 menjadi sulit bagi semua orang karena pandemi yang menyebabkan kebangkrutan, pengangguran, dan masalah sosial. Selain mengurangi biaya, meningkatkan produktivitas dan kenyamanan, teknologi akan membantu kita menjadi lebih aman dan sehat. Hal ini akan turut membantu mempercepat pemulihan ekonomi.

Bagaimana dengan GDP Venture dan GDP Labs sendiri? Apakah situasi ini mempengaruhi kinerja perusahaan secara signifikan?

Tentunya, tidak ada yang kebal. Kami telah meminta perusahaan kami untuk merevisi rencana tahun 2020 mereka tentang bagaimana bertahan dalam jangka pendek dan berkembang dalam jangka panjang. Pandemi ini bisa diibaratkan seperti kaca pembesar dan akselerator. Ia menyoroti apa yang telah Anda lakukan dengan benar tetapi juga apa yang telah Anda lakukan salah. Kami telah memilih untuk mempercepat beberapa inisiatif. Singkatnya, kami mencoba beradaptasi.

Dalam hal investasi, apakah menurut Anda Indonesia sudah memiliki iklim yang bagus untuk industri teknologinya? Apakah Anda melihat perubahan pada lanskap investasi sebelum dan sesudah pandemi?

Iya. Kami mendapat dukungan pemerintah yang cukup baik. Universitas menghasilkan banyak teknisi perangkat lunak setiap tahunnya, dan terdapat hampir 200 juta pengguna Internet di Indonesia, pengusaha, investor lokal dan asing.

Pandemi adalah salah satu bentuk peringatan yang baik. Startup fokus pada apa yang paling penting untuk bertahan dan berkembang, penilaian dan ekspektasi perusahaan menjadi lebih realistis. Ini adalah pengalaman yang mengajarkan banyak hal.

Beberapa portofolio GDP

Sebagai serial entrepreneur dengan pengalaman lebih dari 30 tahun dalam dunia teknologi, Anda pasti pernah ditempatkan dalam situasi yang sulit sebelumnya. Apakah Anda berkenan berbagi kisah jatuh bangun membangun perusahaan? Serta bagaimana Anda berhasil melewati masa-masa sulit itu?

Benar. Waktu dan keberuntungan memainkan peran besar dalam keberhasilan atau kegagalan perusahaan mapan dan startup. Salah satu perusahaan rintisan tempat saya bekerja berada di jalur yang tepat untuk mencapai valuasi miliaran dolar di Silicon Valley. Sayangnya, resesi 2008 melanda AS serta perkara hutang teknis. Perusahaan itu dijual dengan harga lebih rendah dari ekspektasi kami meskipun kami masih mendapat untung.

Apakah Anda memiliki sosok panutan (mentor) untuk melewati masa-masa sulit? Mungkin semacam support system.

Pastinya. Saya beruntung mendapat bantuan dari banyak orang – teman, keluarga, pembimbing, rekan kerja, guru, dan bahkan orang asing.

Setiap orang akan memiliki titik terendah dalam hidup mereka. Mereka membutuhkan support system untuk melewati kesulitan. Saya belum melihat ada orang yang berhasil melakukannya sendiri.

Siapa yang menginspirasi Anda hingga seperti saat ini? Apakah Anda masih punya mimpi yang belum tercapai?

Banyak orang – ahli teknologi, ilmuwan, olahragawan, seniman – menginspirasi saya. Mereka memiliki karakteristik sebagai berikut: mereka terus-menerus belajar untuk dapat memiliki pengetahuan yang lebih luas dalam kepemimpinan, bisnis, dan pemimpin dalam domain masing-masing.

Saya percaya, adalah hal yang penting untuk membantu generasi muda karena banyak orang membantu dan memberi saya kesempatan ketika saya masih muda dan belum berpengalaman. Ada begitu banyak peluang untuk mendisrupsi banyak bidang dengan menggunakan teknologi, sementara beberapa perusahaan mapan masih menggunakan teknologi abad ke-20. Tetaplah sehat.

Apa yang ingin Anda sampaikan pada para tech enthusiast yang masih berjuang menapaki jalan menuju industri namun terhadang oleh pandemi?

Kejelasan. Kepercayaan. Keyakinan. Memiliki kejelasan tentang apa yang ingin Anda lakukan. Jalankan dengan kepercayaan dan keyakinan tanpa henti. Ada peluang tersembunyi selama pandemi.

Artificial Intelligence disebut akan menggantikan pekerjaan manusia. Sebagai seorang individu, pernahkah Anda memikirkan tentang skenario terburuk yang bisa diakibatkan oleh teknologi ini?

AI akan menggantikan beberapa pekerjaan yang ada. Tapi, itu juga akan menciptakan jenis pekerjaan baru; lebih dari itu menghilangkan. Mari kita lihat dua skenario berikut.

Pertama, industri mobil menggantikan industri kuda. Ada lebih dari 1,4 miliar mobil dan hanya ada 58 juta kuda di dunia sekarang. Industri mobil – produksi, layanan, mobilitas yang baru ditemukan, dll. – telah menciptakan lebih banyak pekerjaan daripada yang dihilangkan dari industri kuda.

Kedua, ada perusahaan yang mengimplementasikan robot bertenaga AI di gudang mereka. Banyak karyawan yang khawatir akan kehilangan pekerjaan. Ternyata perusahaan mempekerjakan lebih banyak orang karena robot. Ini mungkin tampak kontra-intuitif. Mengapa? Karena robot efisien dan bekerja 24 jam sehari sehingga menghasilkan lebih banyak; manusia menjadi penghambat dan lebih banyak manusia perlu disewa untuk mengimbangi robot. Meskipun robot dapat melakukan tugas tertentu, mereka tidak dapat melakukan segala hal.

Manusia akan bebas melakukan pekerjaan yang lebih kreatif, sementara teknologi dan AI menangani pekerjaan mekanis. Selain itu, teknologi dan AI membebaskan sebagian waktu umat manusia sehingga kita dapat menghabiskan waktu kita dengan orang lain.

Singkatnya, AI meningkatkan kreativitas manusia dan pada akhirnya menjadikan kita lebih manusiawi.


Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian